Referat Hipertensi Emergensi Urgensi Mino Syahban 1102017138 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT HIPERTENSI EMERGENSI URGENSI



Disusun oleh : Mino Syahban 1102017138



Pembimbing : dr. Kusmardi S, Sp.PD



Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi Perkuliahan Jarak Jauh Periode 31 Mei – 27 Juni 2021



BAB I PENDAHULUAN Hipertensi ditandai dengan tekanan darah tinggi yang menetap. Tekanan darah biasanya dinyatakan sebagai rasio tekanan darah sistolik (yaitu, tekanan yang diberikan darah pada dinding arteri saat jantung berkontraksi) dan tekanan darah diastolik (tekanan saat jantung berelaksasi). Pasien dengan tekanan darah tinggi jika tekanan darah mereka secara konsisten 140/90 mmHg atau lebih tinggi berdasarkan pada pedoman yang dirilis pada tahun 2003. Pasien dengan tekanan darah tinggi jika tekanan darah mereka secara konsisten 130/80 mmHg atau lebih tinggi berdasarkan pada pedoman yang dirilis pada tahun 2017. Beberapa etiologi dapat mendasari hipertensi. Mayoritas (90-95%) pasien memiliki hipertensi esensial atau primer yang sangat heterogen dengan etiologi lingkungan gen multifaktorial. Riwayat keluarga sering terjadi pada pasien dengan hipertensi, dengan heritabilitas (ukuran seberapa banyak variasi sifat yang disebabkan oleh variasi faktor genetik) diperkirakan antara 35% dan 50% di sebagian besar studi. [1][2][3] Data dari World Health Organization (WHO) tahun 2015 menunjukkan sekitar 1,13 Miliar orang di dunia menyandang hipertensi, artinya 1 dari 3 orang di dunia terdiagnosis hipertensi. Jumlah penyandang hipertensi terus meningkat setiap tahunnya, diperkirakan pada tahun 2025 akan ada 1,5 Miliar orang yang terkena hipertensi, dan diperkirakan setiap tahunnya 9,4 juta orang meninggal akibat hipertensi dan komplikasinya. Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan menyebutkan bahwa biaya pelayanan hipertensi mengalami peningkatan setiap tahunnya yaitu pada tahun 2016 sebesar 2,8 Triliun rupiah, tahun 2017 dan tahun 2018 sebesar 3 Triliun rupiah. Berdasarkan Riskesdas 2018 prevalensi hipertensi berdasarkan hasil pengukuran pada penduduk usia 18 tahun sebesar 34,1%, tertinggi di Kalimantan Selatan (44.1%), sedangkan terendah di Papua sebesar (22,2%). Hipertensi terjadi pada kelompok umur 31-44 tahun (31,6%), umur 45-54 tahun (45,3%), umur 55-64 tahun (55,2%). [4]



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang sangat tinggi dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi kelainan organ target. Pada umumnya krisis hipertensi terjadi pada pasien hipertensi yang tidak atau lalai memakan obat antihipertensi. [6] Menurut Joint National Committee (JNC) tahun 2003 tentang Pencegahan, Deteksi, Evaluasi, dan Pengobatan Tekanan Darah Tinggi (JNC 7) krisis hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik >179 mmHg atau tekanan darah diastolik >109 mmHg. Krisis hipertensi dibagi menjadi hipertensi darurat atau hipertensi urgensi sesuai dengan ada atau tidak adanya kerusakan organ target akut pada masing-masing tipe. Kerusakan organ target dapat didefinisikan sebagai kerusakan akut dan mengakibatkan disfungsi mata (temuan funduskopi, seperti perdarahan, eksudat, atau papiledema), otak (hipertensi ensefalopati), jantung (edema paru akut), atau ginjal (gagal ginjal akut). Diferensiasi ini merupakan entitas yang sangat berguna dalam praktek klinis mengingat bahwa manajemen yang berbeda diperlukan, yang pada gilirannya memiliki efek signifikan pada morbiditas dan mortalitas pasien ini. Pada hipertensi urgensi, tekanan darah harus diturunkan dalam 24-48 jam, sedangkan hipertensi emergensi memerlukan penurunan tekanan darah segera untuk mencegah kerusakan organ target yang ireversibel. Namun, terlepas dari perbedaan ini, pasien dengan hipertensi urgensi mungkin memiliki riwayat kerusakan organ akhir sebelumnya dan hipertensi kronis tanpa disfungsi organ target yang sedang berlangsung atau segera. [7] 2.2 Epidemiologi Hipertensi ditemukan pada semua populasi dengan angka kejadian yang berbeda-beda sebab ada faktor-faktor genetik, ras, regional, sosiobudaya yang



juga menyangkut gaya hidup yang juga berbeda. Hipertensi akan makin meningkat bersama dengan bertambahnya umur. [6] Hipertensi mengambil porsi sekitar 60% dari seluruh kematian dunia. Pada anak-anak yang tumbuh kembang hipertensi meningkat mengikuti dengan pertumbuhan badan. Dengan bertambahnya umur, angka kejadian hipertensi juga makin meningkat, sehingga diatas umur 60 tahun prevalensinya mencapai 65,4%. Obesitas, sindroma metabolik, kenaikan berat badan adalah faktor risiko independen untuk kejadian hipertensi. Faktor asupan NaCl pada diet juga sangat erat hubungannya dengan kejadian hipertensi. Mengkonsumsi alkohol, rokok, stress kehidupan sehari-hari, kurang olahraga juga berperan dalam kontribusi kejadian hipertensi. Bila anamnesa keluarga ada yang didapatkan hipertensi, maka sebelum umur 55 tahun risiko menjadi hipertensi diperkirakan sekitar empat kali dibandingkan dengan anamnesa keluarga yang tidak didapatkan hipertensi. Setelah umur 55 tahun, semua orang akan menjadi hipertensi (90%). [6] 2.3 Etiologi Faktor penyebab hipertensi adalah terdapat perubahan vaskular berupa disfungsi endotel, remodeling, dan arterial striffness. Namun faktor penyebab hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi masih belum dipahami. Diduga karena terjadinya peningkatan tekanan darah secara cepat disertai peningkatan resistensi vaskular. Peningkatan tekanan darah yang mendadak ini akan menyebabkan jejas endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol sehingga membuat kerusakan vaskular, deposisi platelet, fibrin dan kerusakan fungsi autoregulasi. [8] Berbagai kejadian pemicu dapat menyebabkan hipertensi emergensi. Mayoritas kedaruratan hipertensi terjadi pada pasien yang sudah didiagnosis dengan hipertensi kronis. Ketidakpatuhan dengan obat antihipertensi dan penggunaan simpatomimetik (adrenergik) adalah dua penyebab yang paling umum. Ini mengarah pada peningkatan tekanan darah yang cepat di luar kapasitas autoregulasi bawaan tubuh. Tingkat kenaikan di atas baseline kemungkinan merupakan kontributor yang lebih penting dan menjelaskan mengapa pasien tanpa hipertensi kronis dapat menunjukkan tanda-tanda hipertensi darurat pada tingkat



yang jauh lebih rendah, sementara pasien dengan hipertensi yang berlangsung lama dapat mentolerir tekanan darah yang sangat tinggi tanpa mengalami disfungsi organ akut. [11] Ketidakpatuhan dengan terapi antihipertensi, penggunaan simpatomimetik, dan disfungsi tiroid adalah di antara banyak kemungkinan penyebab hipertensi urgensi. Bahkan kecemasan dan rasa sakit dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah yang akut dan memerlukan strategi pengobatan yang berbeda. Tekanan darah tinggi yang salah karena peralatan atau teknik yang buruk adalah penyebab potensial lain dari pembacaan tekanan darah tinggi yang harus dievaluasi dan diperbaiki. Pseudohipertensi, pembacaan tekanan darah tinggi yang salah karena arteri sklerotik atau kalsifikasi yang tidak kolaps selama inflasi manset tekanan darah, adalah kemungkinan penyebab lain dari pembacaan tekanan darah tinggi. Pseudohipertensi harus dipertimbangkan pada pasien yang datang tanpa gejala yang menunjukkan disfungsi organ akhir tetapi dengan peningkatan tekanan darah yang nyata meskipun manajemen tampaknya agresif. [12] 2.4 Patofisiologi Patofisiologi yang tepat dari krisis hipertensi masih belum jelas. Namun, dua mekanisme yang berbeda tetapi saling terkait mungkin memainkan peran sentral dalam patofisiologi krisis hipertensi. Yang pertama adalah kegagalan mekanisme autoregulasi di dasar vaskular. Sistem autoregulasi merupakan faktor kunci dalam patofisiologi hipertensi dan krisis hipertensi. Autoregulasi didefinisikan sebagai kemampuan organ (otak, jantung, dan ginjal) untuk mempertahankan aliran darah yang stabil terlepas dari perubahan tekanan perfusi. Jika tekanan perfusi turun, aliran darah yang sesuai menurun sementara, tetapi kembali ke nilai normal setelah beberapa menit berikutnya. Dalam kasus kerusakan autoregulasi, jika tekanan perfusi turun, menyebabkan penurunan aliran darah dan peningkatan resistensi pembuluh darah. Pada krisis hipertensi, terdapat kekurangan autoregulasi pada vascular bed dan aliran darah sehingga peningkatan tekanan



darah secara tiba-tiba dan resistensi vaskular sistemik dapat terjadi, yang sering menyebabkan stres mekanik dan cedera endotel.[7] Mekanisme kedua adalah aktivasi sistem renin-angiotensin, menyebabkan vasokonstriksi lebih lanjut dan dengan demikian menghasilkan siklus terus menerus dan kemudian iskemia. Selain mekanisme ini, keadaan protrombotik mungkin memainkan peran kunci dalam krisis hipertensi; sebuah penelitian, meskipun kecil, menunjukkan bahwa sP-selectin secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan krisis hipertensi dibandingkan dengan kontrol normotensif terlepas dari adanya retinopati, yang menunjukkan bahwa aktivasi trombosit adalah temuan yang relatif awal dalam gejala sisa patofisiologis dari krisis hipertensi. [7] Patofisiologi krisis hipertensi hingga saat ini masih belum diketahui dengan jelas. Diperkirakan, krisis hipertensi diakibatkan kegagalan fungsi autoregulasi dan peningkatan resistensi vaskular sistemik yang mendadak dan cepat. Peningkatan tekanan darah menyebabkan stress mekanik dan jejas endotel sehingga permeabilitas pembuluh darah meningkat. Hal tersebut juga memicu kaskade koagulasi dan deposisi fibrin sehingga terjadi iskemia serta hipoperfusi organ yang menyebabkan gangguan fungsi. Siklus tersebut berlangsung dalam sebuah lingkaran yang berkelanjutan sehingga disfungsi organ target bersifat progresif (semakin memberat). [10] Patofisiologi yang mengakibatkan disfungsi organ akhir pada hipertensi emergensi tidak sepenuhnya dipahami. Namun, tekanan mekanis pada dinding pembuluh darah kemungkinan mengarah pada kerusakan endotel dan respons proinflamasi. Hal ini menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular, trombosit, dan aktivasi kaskade koagulasi, dan deposisi bekuan fibrin menyebabkan hipoperfusi pada tingkat jaringan organ target. [11] Patofisiologi hipertensi rumit dan tidak sepenuhnya dipahami. Pada awal, perfusi jaringan jantung, ginjal, dan otak diatur secara ketat oleh berbagai mekanisme. Dengan hipertensi kronis, kurva perfusi serebral bergeser ke kanan,



mengakomodasi tekanan darah dasar yang lebih tinggi sambil mempertahankan tekanan perfusi serebral yang stabil. Kecepatan peningkatan tekanan darah dianggap sebagai faktor penting dalam menyebabkan kerusakan organ akhir. Peningkatan



akut



yang



parah



kemungkinan



terkait



dengan



masuknya



vasokonstriktor humoral, yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskular sistemik. Peningkatan tekanan dinding pembuluh darah dan hasil cedera endotel terkait dalam peningkatan permeabilitas pembuluh darah, aktivasi faktor koagulasi dan trombosit, dan deposisi fibrin. Cedera endotel yang berlanjut dan nekrosis fibrinoid menyebabkan iskemia, yang kemudian menyebabkan pelepasan lebih lanjut mediator vasoaktif dan cedera lebih lanjut [12]. 2.5 Klasifikasi Krisis hipertensi meliputi dua kelompok yaitu: [5] a. Hipertensi darurat (emergency hypertension) : dimana tekanan darah yang sangat tinggi sistolik (>180 mmHg atau diastolik >120 mmHg) dan terdapat kelainan/kerusakan target organ yang bersifat progresif, sehingga tekanan darah harus diturunkan dengan segera (dalam menit sampai jam) agar dapat mencegah/membatasi kerusakan target organ yang terjadi. Beberapa organ target pada krisis hipertensi yang harus diwaspadai, antara lain: 



Neurologi : ensefalopati hipertensi, stroke iskemik/hemoragik, papil edema, perdarahan intracranial;







Jantung : sindrom koroner akut, edema paru, diseksi aorta, gagal jantung akut;







Ginjal : proteinuria, hematuria, gangguan ginjal akut,







Preeklamsia/eklamsia, anemia hemolitik.



b. Hipertensi mendesak (urgency hypertension) : terdapat tekanan darah yang sangat tinggi (sistolik >180 mmHg atau diastolik >120 mmHg) tetapi tidak disertai kelainan/kerusakan organ target yang progresif, sehingga



penurunan tekanan darah dapat dilaksanakan lebih lambat (dalam hitungan jam sampai hari). Adapun pembagian derajat keparahan hipertensi adalah sebagai berikut: [8]



(b erdasarkan A Statement by the American Society of Hypertension and the International Society of Hypertension, 2013). Dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan hipertensi krisis antara lain: [8] a) Hipertensi refrakter Respon pengobatan yang tidak memuaskan dan tekanan darah > 200/110 mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada penderita dan kepatuhan pasien. b) Hipertensi akselerasi Peningkatan tekanan darah diastolik > 120 mmHg disertai dengan kelainan funduskopi. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna. c) Hipertensi maligna Penderita hipertensi akselerasi dengan tekanan darah diastolik > 120-130 mmHg dan kelainan funduskopi disertai papil edema, peninggian tekanan intrakranial, kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian bila penderita tidak mendapatkan pengobatan. Hipertensi maligna biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi esensial ataupun sekunder dan jarang pada  penderita yang sebelumnya mempunyai tekanan darah normal. d) Hipertensi ensefalopati



Kenaikan tekanan darah dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan sakit kepala yang hebat, penurunan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi reversibel bila tekanan darah tersebut diturunkan. 2.6 Manifestasi Klinis Hipertensi krisis pada umumnya adalah gejala organ target yang terganggu, diantaranya: [5]  Nyeri dada dan sesak napas pada gangguan jantung dan diseksi aorta;  Penglihatan kabur pada edema papila mata;  Sakit kepala hebat, gangguan kesadaran dan lateralisasi pada gangguan otak;  Gagal ginjal akut Manifestasi klinis hipertensi krisis berhubungan dengan kerusakan organ target yang ada. Tanda dan gejala hipertensi krisis berbeda-beda setiap pasien. Pada pasien dengan krisis hipertensi dengan perdarahan intrakranial akan dijumpai keluhan sakit kepala, penurunan tingkat kesadaran dan tanda neurologi fokal berupa hemiparesis atau paresis nervus kranialis. Pada hipertensi ensefalopati didapatkan penurunan kesadaran dan atau defisit neurologi fokal. Dapat ditemukan retinopati dengan perubahan arteriola, perdarahan dan eksudasi maupun papiledema. Pada sebagian pasien yang lain manifestasi kardiovaskular bisa saja muncul lebih dominan seperti; angina, akut miokardial infark atau gagal jantung kiri akut. Dan beberapa pasien yang lain gagal ginjal akut dengan oligouria dan atau hematuria bisa saja terjadi. [8] 2.7 Cara Mendiagnosis dan Diagnosis Banding Cara Mendiagnosis Menurut pedoman gabungan baru 2017 dari American College of Cardiology (ACC) dan American Heart Association (AHA), krisis hipertensi



adalah tekanan darah sistolik >180 mmHg dan/atau diastolik > 120 mmHg. Gejala krisis hipertensi sangat bervariasi termasuk sakit kepala, pusing, epistaksis, kecemasan berat, dispnea, muntah, dan palpitasi. Krisis hipertensi akut dikategorikan lebih lanjut menjadi hipertensi darurat (hipertensi emergensi), ditandai dengan tekanan darah yang tinggi dan kerusakan organ target, atau hipertensi urgensi ditandai dengan tekanan darah yang tinggi tetapi tanpa kerusakan organ target. Tanda-tanda kerusakan organ bermanifestasi neurologis sebagai stroke iskemik akut, perdarahan, atau ensefalopati hipertensi. Organ vital lainnya juga dapat dipengaruhi oleh krisis hipertensi, mengakibatkan infark miokard akut, gagal jantung ventrikel kiri akut dengan edema paru, disfungsi akut mata, dan cedera ginjal akut. [9] a. Anamnesis Pada anamnesis menanyakan tentang riwayat hipertensi, penggunaan obat bersamaan



yang



meningkatkan



tekanan



darah



(misalnya,



obat



antiinflamasi nonsteroid), riwayat sindrom sleep apnea, faktor risiko kardiovaskular, dan komorbiditas lainnya. Pemeriksaan fisik yang relevan termasuk jantung, supra-aorta, dan auskultasi perut untuk murmur (koarktasio aorta), arteri leher untuk distensi, defisit neurologis, fundoskopi untuk menilai retinopati, dan pemeriksaan perut untuk mendeteksi aneurisma aorta. Tanda vital lanjutan pemantauan penting untuk menilai perubahan kondisi pasien; misalnya, takikardia telah dikaitkan dengan hipertensi emergensi karena hubungan klinisnya dengan kegagalan ventrikel kiri akut. [9] Riwayat hipertensi dan pengobatan hipertensi sebelumnya. Riwayat konsumsi agen-agen vasopressor seperti simpatomimetik. Gejala organ target yang dirasakan (serebrovaskuar, jantung dan fungsi penglihatan). [10] b. Pemeriksaan Fisik 



Tekanan darah : tekanan darah sistolik >180 mmHg, tekanan darah diastolik >120 mmHg;







Funduskopi : spasme arteri segmental atau difus, edema retina, perdarahan retina (superfisial, berbentuk api atau titik), eksudat retina, papil edema, vena membesar;







Pemeriksaan neurologis : sakit kepala, bingung, kehilangan penglihatan, deficit fokal neurologis, kejang, koma;







Status kardiopulmoner;







Pemeriksaan cairan tubuh : oliguria pada gangguan ginjal akut;







Pemeriksaan denyut nadi perifer.



c. Pemeriksaan penunjang 



Hematokrit dan apusan darah;







Urinalisis : proteinuria, eritrosit pada urin (hematuria);







Kimia darah : peningkatan kreatinin, azotemia (ureum >200 mg/dL), glukosa, elektrolit;







Elektrokardiografi : adanya iskemia, hipertrofi ventrikel kiri;







Foto toraks (jika terdapat kecurigaan gagal jantung atau diseksi aorta)



Diagnosis banding 



Acute Kidney Injury







Koarktasio Aorta







Diseksi aorta







Chronic Kidney Disease







Eklampsia







Hipokalsemia







Hipertiroidisme







Feokromositoma







Stenosis arteri ginjal







Perdarahan subarachnoid [11]



2.8 Tatalaksana Non farmakologis Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan tekanan darah, dan secara umum sangat menguntungkan dalam menurunkan risiko permasalahan kardiovaskular. Pada pasien yang menderita hipertensi derajat 1, tanpa faktor risiko kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup sehat merupakan tatalaksana tahap awal, yang harus dijalani setidaknya selama 4 – 6 bulan. Bila setelah jangka waktu tersebut, tidak didapatkan penurunan tekanan darah yang diharapkan atau didapatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain, maka sangat dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi. [6] Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan oleh banyak guidelines adalah : [6]  Penurunan berat badan. Mengganti makanan tidak sehat dengan memperbanyak asupan sayuran dan buah-buahan dapat memberikan manfaat yang lebih selain penurunan tekanan darah, seperti menghindari diabetes dan dislipidemia.  Mengurangi asupan garam. Di negara kita, makanan tinggi garam dan lemak merupakan makanan tradisional pada kebanyakan daerah. Tidak jarang pula pasien tidak menyadari kandungan garam pada makanan cepat saji, makanan kaleng, daging olahan dan sebagainya. Tidak jarang, diet rendah garam ini juga bermanfaat untuk mengurangi dosis obat antihipertensi pada pasien hipertensi derajat ≥ 2. Dianjurkan untuk asupan garam tidak melebihi 2 gr/ hari  Olahraga. Olah raga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30 – 60 menit/ hari, minimal 3 hari/ minggu, dapat menolong penurunan tekanan darah. Terhadap pasien yang tidak memiliki waktu untuk berolahraga secara khusus, sebaiknya harus tetap dianjurkan untuk berjalan kaki, mengendarai sepeda atau menaiki tangga dalam aktifitas rutin mereka di tempat kerjanya.



 Mengurangi konsumsi alkohol. Walaupun konsumsi alcohol belum menjadi pola hidup yang umum di negara kita, namun konsumsi alkohol semakin hari semakin meningkat seiring dengan perkembangan pergaulan dan gaya hidup, terutama di kota besar. Konsumsi alcohol lebih dari 2 gelas per hari pada pria atau 1 gelas per hari pada wanita, dapat meningkatkan



tekanan



darah.



Dengan



demikian



membatasi



atau



menghentikan konsumsi alcohol sangat membantu dalam penurunan tekanan darah.  Berhenti merokok. Walaupun hal ini sampai saat ini belum terbukti berefek langsung dapat menurunkan tekanan darah, tetapi merokok merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit kardiovaskular, dan pasien sebaiknya dianjurkan untuk berhenti merokok. 2.8.1 Hipertensi Urgensi a) Penatalaksanaan Umum Manajenem penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi urgensi tidak membutuhkan obat-obatan parenteral. Pemberian obatobatan oral aksi cepat akan memberi manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal MAP/Mean Arterial Pressure dapat diturunkan tidak lebih dari 25%. Pada fase awal standard goal penurunan tekanan darah dapat diturunkan sampai 160/110 mmHg. Penggunaan obat-obatan anti-hipertensi parenteral maupun oral bukan tanpa risiko dalam menurunkan tekanan darah. Pemberian loading dose obat oral antihipertensi dapat menimbulkan efek akumulasi dan pasien akan mengalami hipotensi saat pulang ke rumah. Optimalisasi penggunaan kombinasi obat oral merupakan pilihan terapi untuk pasien dengan hipertensi urgensi. [8] b) Obat-obatan spesifik untuk hipertensi urgensi Captopril adalah golongan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dengan onset mulai 15-30 menit. Captopril dapat diberikan 25 mg sebagai dosis awal kemudian tingkatkan dosisnya 50-100 mg setelah 90-120 menit kemudian. Efek yang sering terjadi yaitu batuk, hipotensi, hiperkalemia,



angioedema, dan gagal ginjal (khusus pada pasien dengan stenosis pada arteri renal bilateral). Nicardipine adalah golongan calcium channel blocker yang sering digunakan pada pasien dengan hipertensi urgensi. Pada penelitian yang dilakukan pada 53 pasien dengan hipertensi urgensi secara random terhadap penggunaan nicardipine atau placebo. Nicardipine memiliki efektifitas yang mencapai 65% dibandingkan placebo yang mencapai 22% (p=0,002). Penggunaan dosis oral biasanya 30 mg dan dapat diulang setiap 8 jam hingga tercapai tekanan darah yang diinginkan. Efek samping yang sering terjadi seperti palpitasi, berkeringat dan sakit kepala. Labetalol adalah gabungan antara α1 dan β-adrenergic blocking dan memiliki waktu kerja mulai antara 1-2 jam. Dalam penelitian labetalol memiliki dose range yang sangat lebar sehingga menyulitkan dalam penentuan dosis. Penelitian secara random pada 36 pasien, setiap grup dibagi menjadi 3 kelompok; diberikan dosis 100 mg, 200 mg dan 300 mg secara oral dan menghasilkan penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik secara signifikan. Secara umum labetalol dapat diberikan mulai dari dosis 200 mg secara oral dan dapat diulangi setiap 3-4 jam kemudian. Efek samping yang sering muncul adalah mual dan sakit kepala. Clonidine



adalah



obat-obatan



golongan



simpatolitik



sentral



(α2-



adrenergicreceptor agonist) yang memiliki mula kerja antara diberikan 15-30 menit dan puncaknya 2-4 jam. Dosis awal bisa diberikan 0,1-0,2 mg kemudian berikan 0,05-0,1 mg setiap jam sampai tercapainya tekanan darah yang diinginkan, dosis maksimal adalah 0,7 mg. Efek samping yang sering terjadi adalah sedasi, mulut kering dan hipotensi ortostatik. Nifedipine adalah golongan calcium channel blocker yang memiliki puncak kerja antara 10-20 menit. Nifedipine kerja cepat tidak dianjurkan oleh FDA untuk terapi hipertensi urgensi karena dapat menurunkan tekanan darah yang mendadak dan tidak dapat diprediksikan sehingga berhubungan dengan kejadian stroke. [8]



2.8.2 Hipertensi Emergensi a) Penatalaksanaan Umum Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung pada kerusakan organ target. Manajemen tekanan darah dilakukan dengan obat-obatan parenteral secara tepat dan cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan ICU agar monitoring tekanan darah bisa dikontrol dan dengan pemantauan yang tepat. Tingkat ideal penurunan tekanan darah masih belum jelas, tetapi penurunan Mean Arterial Pressure (MAP) 10% selama 1 jam awal dan 15% pada 2-3 jam berikutnya. Penurunan tekanan darah secara cepat dan berlebihan akan mengakibatkan jantung dan pembuluh darah otak mengalami hipoperfusi. [8] b) Penatalaksanaan khusus untuk hipertensi emergensi Neurologic emergency. Kegawatdaruratan neurologi sering terjadi pada hipertensi emergensi seperti hypertensive encephalopathy, perdarahan intrakranial dan stroke iskemik akut. American Heart Association merekomendasikan penurunan tekanan darah >180/105 mmHg pada hipertensi dengan perdarahan intrakranial dan MAP harus dipertahankan dibawah 130 mmHg. Pada pasien dengan stroke iskemik tekanan darah harus dipantau secara hati-hati 1-2 jam awal untuk menentukan apakah tekanan darah akan menurun secara spontan. Secara terus-menerus MAP dipertahankan >130 mmHg. Cardiac emergency. Kegawatdaruratan yang utama pada jantung seperti iskemik akut pada otot jantung, edema paru dan diseksi aorta. Pasien dengan hipertensi emergensi melibatkan iskemik pada otot jantung dapat diberikan terapi dengan nitroglycerin. Pada studi yang telah dilakukan, bahwa nitroglycerin terbukti dapat meningkatkan aliran darah pada arteri koroner. Pada keadaan diseksi aorta akut pemberian obat-obatan β-blocker (labetalol dan esmolol) secara IV dapat diberikan pada terapi awal, kemudian dapat dilanjutkan dengan obat-obatan vasodilatasi seperti nitroprusside. Obat-obatan tersebut dapat menurunkan tekanan darah



sampai target tekanan darah yang diinginkan (tekanan darah sistolik >120 mmHg) dalam waktu 20 menit. Kidney Failure. Acute kidney injury bisa disebabkan oleh atau merupakan konsekuensi dari hipertensi emergensi. Acute kidney injury ditandai dengan proteinuria, hematuria, oliguria dan atau anuria. Terapi yang diberikan masih kontroversi, namun nitroprusside IV telah digunakan secara luas namun nitroprusside sendiri dapat menyebabkan keracunan sianida atau tiosianat. Pemberian fenoldopam secara parenteral dapat menghindari



potensi



keracunan



sianida



akibat



dari



pemberian



nitroprusside dalam terapi gagal ginjal. Hyperadrenergic staste. Hipertensi emergensi dapat disebabkan karena pengaruh obat-obatan seperti katekolamin, klonidin dan penghambat monoamin oksidase. Pasien dengan kelebihan zat-zat katekolamin seperti pheochromocytoma, kokain atau amphetamine dapat menyebabkan over dosis. Penghambat monoamin oksidase dapat mencetuskan timbulnya hipertensi atau klonidin yang dapat menimbukan sindrom withdrawal. Pada orang-orang dengan kelebihan zat seperti pheochromocytoma, tekanan darah dapat dikontrol dengan pemberian sodium nitroprusside (vasodilator arteri) atau phentolamine IV (ganglion-blocking agent). Golongan β-blockers dapat diberikan sebagai tambahan sampai tekanan darah yang diinginkan tercapai. Hipertensi yang dicetuskan oleh klonidin, terapi yang terbaik adalah dengan memberikan kembali klonidin sebagai dosis inisial dan dengan penambahan obat-obatan anti hipertensi. [8] 2.9 Komplikasi Kegagalan untuk membuat diagnosis atau pengobatan hipertensi emergensi dapat menyebabkan hal berikut: [11] 



Gagal ginjal







Kehilangan penglihatan







Infark miokard







Stroke



2.10 Pencegahan dan Edukasi Cara terbaik untuk mencegah hipertensi darurat adalah tetap patuh dengan obat antihipertensi. Sementara hipertensi rutin dapat dikelola oleh penyedia layanan kesehatan primer, konsultasi pada ahli penyakit jantung dianjurkan bila pasien menggunakan lebih dari 3 antihipertensi dan tekanan darah masih tetap tinggi. Sampai tekanan darah terkontrol tirah baring dianjurkan. Direkomendasikan diet rendah sodium dan penurunan berat badan. [11] 2.11 Prognosis Tampaknya hipertensi emergensi memiliki prognosis yang berbeda dengan hipertensi urgensi. Karena fakta bahwa beberapa obat dapat digunakan untuk mengobati krisis hipertensi, data epidemiologi menunjukkan bahwa kematian darurat hipertensi telah menurun secara bertahap dari 80% pada tahun 1928 menjadi 10% pada tahun 1989. Dalam sebuah penelitian baru-baru ini dengan pasien krisis hipertensi yang dirawat di unit perawatan koroner, para peneliti menemukan bahwa kematian secara keseluruhan adalah 3,7%. Pada pasien dengan hipertensi darurat, mortalitas lebih tinggi (4,6%) dibandingkan dengan pasien dengan hipertensi urgensi (0,8%). Meskipun prognosis yang berbeda antara pasien dengan dua entitas, peneliti lain mencoba untuk menemukan faktor prognostik kejadian jantung atau serebrovaskular utama yang merugikan (MACCE) yang didefinisikan sebagai gabungan dari infark miokard, angina tidak stabil, krisis hipertensi, edema paru, stroke, atau serangan iskemik transien. [7] Di masa lalu, hipertensi darurat sering dikaitkan dengan gangguan ginjal, infark miokard, stroke atau kematian. Dengan kesadaran yang lebih dan kontrol tekanan darah yang lebih baik, angka kematian telah menurun secara signifikan dalam 3 dekade terakhir. Namun, setelah pengobatan akut, kontrol tekanan darah yang tepat sangat penting jika seseorang ingin menurunkan



morbiditas



dan



mortalitas.



Prognosis



jangka



panjang



keseluruhan pasien dengan hipertensi darurat harus dijaga karena sejumlah besar pasien dapat mengembangkan kejadian jantung yang merugikan atau stroke dalam waktu 12 bulan. [11] Ad Vitam



: Dubia ad malam



Ad Sanactionam : Dubia ad malam Ad Functionam : Dubia ad malam



DAFTAR PUSTAKA 1. Oparil S, et al. 2018. Hypertension. Nat Rev Dis Primers 4: 18014.



Diakses



pada



tanggal



05



Juni



2021



dari



https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6477925/#!po=62.3077 2. National High Blood Pressure Education Program. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Bethesda, MD: National Heart, Lung, and Blood Institute; 2003. 3. Whelton PK, Carey RM, Aronow, WS, Casey DE, Collins KJ,



Himmelfarb



CD,



et



al.



2017



ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/APhA/ASH/ASPC/NMA/PCNA guideline for the prevention, detection, evaluation, and management of high blood pressure in adults: a report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical Practice Guideline. J Am Coll Cardiol. 2018; 71(19): 127-248. Diakses pada tanggal



05



Juni



2021



dari



https://www.jacc.org/doi/pdf/10.1016/j.jacc.2017.11.006 4. Kementrian Kesehatan RI. 2019. Hipertensi Penyakit Paling Banyak



Diidap Masyarakat. Jakarta: Kemenkes RI. Diakses pada tanggal 05 Juni 2021 dari https://www.kemkes.go.id/article/view/19051700002/hipertensipenyakit-paling-banyak-diidap-masyarakat.html 5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi VI. Jakarta : Interna Publishing; 2014. 6. PERKI,



2015.



Pedoman



Tatalaksana



Hipertensi



pada



Penyakit



Kardiovaskular. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Edisi pertama: Jakarta. 7. Varounis C, Katsi V, et al. Cardiovascular Hypertensive Crisis: Recent



Evidence and Review of the Literature. Front Cardiovasc Med. 2016; 3: 51.



Diakses



pada



tanggal



05



Juni



2021



dari



https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5222786/#!po=70.0000 8. Devicaesaria A. 2014. Hipertensi Krisis. Medicinus 27 (3) : 9-17.



9. Hussein M. T. El, dan Nguyen A. The Essence of Hypertensive Crises.



The Journal for Nurse Practitioners. 2021; 17: 377-381. Diakses pada tanggal 06 Juni 2021 dari https://www.npjournal.org/action/showPdf? pii=S1555-4155%2820%2930721-2 10. Tanto C, et al. (2014). Kapita Selekta Kedokteran. Ed IV Jilid II. Jakarta: Media Aesculapius. 11. Alley WD, Schick MA. Hypertensive Emergency. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021. 12. Alley WD, Copelin II EL. Hypertensive Urgency. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021.