Referat Kejang Stroke  [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT KEJANG PASKA STROKE



Disusun oleh : Arief Rachman 1102011044 Kepaniteraan Klinik Neurologi RSUD Pasar Rebo



Pembimbing : Dr. Gotot Sumantri, Sp.S



RSUD PASAR REBO JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI



0



BAB I PENDAHULUAN



Stroke merupakan penyebab paling umum terjadinya kejang pada usia lanjut yang merupakan salah satu sisa gejala neurologis yang paling umum dari stroke. Sekitar 10% dari semua pasien stroke pernah mengalami kejang, dankejang pasca stroke pada umumnya dimulai beberapa tahun kemudian setelah serangan stroke.. Kejang pasca stroke dan epilepsi pasca stroke merupakan penyebabtersering dari sebagian besar pasien yang masuk rumah sakit, baik sebagai gejala klinis ataupun sebagai komplikasi pasca stroke.Faktor usia menjadi faktor risiko independen untuk stroke, dengan kecenderungan terjadinya peningkatan kejadian dan prevalensi kejang pasca stroke dan epilepsy pasca stroke. Kejang sekunder pada penderita stroke telah ditemukan selama bertahun-tahun dan dianggap sebagai penyebab utama epilepsi pada orang tua. Meskipun frekuensi kejang pasca stroke diperkirakan hanya berkisar antara 4% hingga 10%, namun banyak dari data ini hanya didasarkan pada studi retrospektif dan tanpa konfirmasi tomografi (CT) pada lesi atau jumlah pasien begitu kecil dan juga tidak adanya analisis statistik yang dapat diandalkan. Hal ini sering terjadi pada pasien dengan malformasi arteriovenosa, stroke batang otak, perdarahan subarachnoid atau riwayat kejang atau epilepsi. Asumsi sebelumnya seperti kejang lebih sering pada perdarahan otak atau stroke kardioembolik tidak ditunjang dengan bukti-bukti yang kuat.



BAB II 1



TINJAUAN PUSTAKA



A. DEFINISI Kejang Paska Stroke Episode konvulsif tunggal maupun ganda setelah kejadian stroke yang berhubungan dengan kerusakan otak reversibel dan irreversible, berhubungan dengan onset stroke. Epilepsi Paska Stroke Bangkitan berulang setelah terjadi stroke yang di diagnosis sebagai epilepsi. Definisi yang sering dipakai sebagai Post Stroke Epilepsy (PSE) yaitu dua atau lebih bangkitan tanpa provokasi yang berlangsung lebih dari sama dengan satu minggu setelah stroke. Secara luas, bangkitan paska stroke diklasifikasikan sebagai onset cepat dan lambat. Bangkitan pertama muncul pada waktu 24 sampai 48 jam, satu minggu, dua minggu setelah stroke terjadi saat bangkitan awal. Bangkitan lambat terjadi setidaknya dua minggu setelah terjadi stroke. B. EPIDEMIOLOGI Dalam suatu studi populasi, stroke merupakan penyebab yang paling sering diidentifikasi dari kejadian epilepsi pada populasi dewasa dengan usia diatas 35 tahun. Lebih dari separuh kasus pada orang tua yang mengalami epilepsi, penyebabnya meliputi gangguan degeneratif, tumor otak, dan trauma kepala. Dari data register stroke, sekitar 5% - 20% dari semua individu yang mempunyai riwayat stroke akan mengalami kejang, namun epilepsi (kejang berulang) akan terjadi hanya pada sebagian kecil dari kelompok ini. Mengingat bahwa dalam setiap tahunnya lebih dari 730.000 orang di negara ini mengalami stroke, sehingga kejadian konservatif kejang setelah stroke berkisar sekitar 36.500 kasus baru per tahun.Upaya metodeologis terbesar dan paling teliti untuk memeriksa kejang pasca stroke adalah laporan dari kelompok penelitian prospektif multisenter kejang pasca stroke. Sebuah studi menyatakan bahwa pada1897 pasien ditemukankejadian kejang pasca stroke sebesar 8,9%. Perkembangan serangan epilepsi berulang jarang terjadi, hanya pada sekitar 2,5% pasien, tetapi dalam waktu 9 bulan perlu untuk selalu dipantau. Kejang lebih sering terjadi pada strokehemoragik daripada stroke 2



iskemik. Bladin et al menemukan kejadian kejang berkisar antara 10,6% dari 265 pasien dengan perdarahan intraserebral dan sekitar 8,6% dari 1632 pasien dengan stroke iskemik. Dalam penelitian lain, kejang terjadi pada 4,4% dari 1000 pasien,termasuk 15,4% dengan perdarahan intraserebral lobar atau lebar, 8,5% dengan perdarahan subarachnoid, 6,5% dengan infark kortikal dan 3,7% dengan serangan transien iskemik pada hemisfer. Kejang yang merupakan gambaran dari perdarahan intracranial berkisar antara 30% pada 1402 pasien. Pada 95 pasien dengan perdarahan subarachnoid, serangan kejang yang terjadi pada saat pasien berada di rumah lebih tinggi (17,9%) dari pada serangan yang terjadi saat pasien berada di rumah sakit (4,1%)



C. PATOFISIOLOGI DAN KLASIFIKASI 3



Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. lesi otak tengah, thalamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan lesi diserebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Ditingkat membrane sel, focus kejang memperlihatkan beberapa



fenomena



biokimiawi, termasuk yang berikut: -



Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan



-



Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan secara berlebihan



-



Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebakan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gammaaminobutirat (GABA).



-



Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam basa atau elektrolit, yang menggangu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada depolarisasi neuron.



Gagngguan



keseimbangan



ini



menyebabkan



peningkatan



berlebihan



neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik. Perubahan-perubahan metabolic yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energy akibat hiperaktifitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolic secara drastic meningkat lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik meningkat menjadi 1000/detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul dicairan serebrospinal selama dan setelah kejang. -



Secara fisiologis, suatu kejang merupakan akibat dari serangan muatan listrik terhadap neuron yang rentan di daerah fokus epileptogenik. Diketahui bahwa neuron-neuron ini sangat peka dan untuk alasan yang belum jelas tetap berada dalam keadaan terdepolarisasi. Neuron-neuron di sekitar fokus epileptogenik bersifat GABA-nergik dan hiperpolarisasi, yang menghambat neuron epileptogenik. Pada suatu saat ketika neuronneuron epileptogenik melebihi pengaruh penghambat di sekitarnya, menyebar ke struktur korteks sekitarnya dan kemudian ke subkortikal dan struktur batang otak. Dalam keadaan fisiologik neuron melepaskan muatan listriknya oleh karena potensial membrannya direndahkan oleh potensial postsinaptik yang tiba pada dendrit. Pada keadaan patologik, 4



gaya yang bersifat mekanik atau toksik dapat menurunkan potensial membran neuron, sehingga neuron melepaskan muatan listriknya dan terjadi kejang. Kejang pasca stroke diklasifikasikan sebagai kejang dengan onset cepat atau lambat, sesuai waktu setelah terjadinya iskemia serebral, sehingga dapat disamakan dengan kejadian epilepsi pasca trauma. Periode terjadinya kejang pasca stroke diperkirakan sekitar 2 minggu, dalam waktu 2 minggu dapat membedakan antara onset cepat dan onset lambat kejang. Pada onset cepat terjadi dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu dan lebih 2 minggu pada onset lambat. Perbedaan karakteristik dan mekanisme kejang pasca stroke dapat sesuai dengan terjadinya iskemia serebral, tetapi tidak ada dasar yang jelas tentang patofisiologi terjadinya kejang pasca stroke dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar awal kejang terjadi selama 1 sampai 2 hari pertama setelah iskemia. Hampir setengah (43%) dari semua pasien pada penelitian kejang pascastroke muncul dalam 24 jam pertama setelah stroke. Kebanyakan kejang yang disebabkan oleh stroke hemoragik juga terjadi pada 24 jam pertama. Selama cedera iskemik akut, akumulasi kalsium intraseluler dan natrium dapat menyebabkan depolarisasi potensial transmembran dan efek kalsium mediasi lainnya. Perubahan ionik lokal dapat mengurangi ambang terjadinya kejang. Eksitotoxisitas glutamat adalah mekanisme kematian sel yang ditandai dalam bentuk stroke eksperimental. Obat Antiglutamatergic mungkin memiliki peranan tersendiri dalam pengaturan saraf iskemik, selain dari perannya untuk pengobatan kejang. Disfungsi dari daerah metabolik juga mungkin relevan dalam terjadinyakejang onset cepat. Dalam konteks besar pada daerah iskemia hipoksia, tingginya tingkat neurotransmiter eksitotoksik dapat dilepaskan secara ekstraseluler. Dalam penelitian setelah terjadi iskemik otak pada model hewan percobaan, populasineuron di neokorteks hippocampus telah mengubah sifat membran dan terjadi peningkatan rangsangan, yang dapat menurunkan ambang terjadinya kejang. Pada iskemik penumbra, daerah dari jaringan yang berdekatan dengan inti infark dalam stroke iskemik mengandung jaringan elektrik yang dapat menjadi fokus untuk terjadinya aktivitas kejang. Selain iskemia fokal, hipoperfusi global dapat menyebabkan terjadinya kejang. Hipoksia iskemik ensefalopati merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya status epileptikus dan memiliki prognosis yang buruk. Pada kejang onset lambat, terjadi perubahan terus-menerus dalamrangsangan saraf. Terjadi pergantian parenkim yang sehat dengan sel-selneuroglia dan sel imun. Sebuah 5



jaringan parut gliotik telah terlibat sebagai nidusuntuk kejang onset lambat, sama seperti siktarik meningocerebral yang mungkin bertanggung jawab untuk kejadian onset lambat epilepsi pasca trauma. Sebuah lesi permanen muncul untuk menjelaskan mengapa pada pasien epilepsi dengan onset lambat, frekuensi kejadian kejang lebih tinggi dibandingkan kejadian dengan onset cepat. Seperti dalam epilepsi pasca trauma, keterlambatan timbulnya serangan dari kejang pertama membawa risiko yang lebih tinggi untuk terjadi epilepsi. Pada pasien dengan stroke iskemik didapatkan sekitar 35% pasien epilepsi muncul pada kejang onset cepat dan pada 90% pasien pada kejang onset lambat. Risiko epilepsi sebanding dengan pasien stroke hemoragik, sekitar 29% pasien dengan epilepsi muncul pada kejang onset cepat vs 93% dengan kejang onset lambat. Teori bahwa emboli kardiogenik ke otak memiliki kemungkinan menyebabkan kejang akut masih menimbulkan kontroversi. Di antara 1640 pasien dengan iskemia serebral, kejadian yang terkait dengan penyakit jantung paling sering dikaitkan dengan kejang onset cepat (16,6%), bahkan jika dibandingkan dengan hematoma supratentorial (16,2%). Namun, definisi mekanisme kardiogenik dalam seri ini sering didasarkan pada kriteria tertentu.Beberapa penulis masih mempertanyakan hubungan kejang dengan peristiwa kardioembolik. Kejang pada saat onset bukanlah kriteria dalam data penelitian tentang penyakit jantung sebagai penyebab stroke. Secara intuitif, tidak ada alasan untuk menduga bahwa lesi kardio embolikakan seperti emboli dari pembuluh darah besar mungkin dapat menyebabkan kejang, seperti emboli jantung dan pembuluh darah besar sering melibatkan lesi pada cabang kortikal distal. Mekanisme endapan emboli yang memicu kejang kortikal belum pasti,tetapi kemungkinan mencakup depolarisasi di penumbra iskemik, reperfusi cepatsetelah fragmentasi dan migrasi distal embolus, atau kombinasi keduanya. Lokasi kortikal merupakan salah satu faktor risiko yang paling dapat menyebabkan kejang pasca stroke. Kejang pasca stroke lebih mungkin untuk terjadi pada pasien dengan lesi yang lebih besar yang melibatkan beberapa lobusotak dibandingkan dengan keterlibatan lobus tunggal. Namun, setiap stroke subkortikal, kadang-kadang dapat dikaitkan dengan terjadinya kejang. Penelitian sebelumnya, mengandalkan pada teknik neuroimaging yang masih kurang sensitifitasnya, tidak dapat mendeteksi lesi kortikal yang kecil yang menyebabkan terjadinya aktivitas iktal. Mekanisme lesi subkortikal hemisfer otak, paling seringdisebabkan oleh penyakit pada pembuluh darah kecil, oleh karena itu penyebab kejang tidak dapat diketahui. 6



Dianalogikan dengan keterlibatan kortikal pada stroke iskemik, lokasi yang dianggap lebih epileptogenik pada pasien dengan perdarahan intraserebral.Pada 123 pasien terjadi peningkatan kejadian kejang yang ditandai dengan perdarahan dalam struktur kortikal lobar (54%), perdarahan retromamilar basal(19%) dan tidak ada pada perdarahan thalamus. Keterlibatan ganglia basaliskaudatus dan temporal atau parietal pada korteks diprediksi akan terjadi kejang. Perdarahan karena trombosis vena serebral biasanya muncul bersamaan dengan kejang. Pada parenkim, seringnya pada kortikal, perdarahan berasal dari kongesti vena lokal adalah kemungkinan penyebab terjadinya aktivitas kejang. Mekanisme kejang oleh karena pendarahan tidak dijelaskan. Produk dari metabolisme darah seperti hemosiderin, dapat menyebabkan iritasi serebral fokalyang mengarah pada kejang, mirip dengan model binatang dengan epilepsi fokal yang diproduksi oleh deposisi besi di korteks serebral. Pada perdarahan subarachnoid, sering terjadi perdarahan luas di cisterna basalis, yang langsung menghubungkan antara lobus frontal dan temporal. Pasien dengan



perdarahan



subarachnoid



mungkin



juga



memiliki



komponen



perdarahan



intraparenchymal. Satu-satunya prediktor klinis untuk kejang setelah stroke iskemik adalah tingkat keparahan dari awal defisit neurologis. Keparahan stroke yang lebih besar atau kecacatan pada stroke dapat menyebabkan terjadinya kejang. Pasien dengan gangguan neurologis cenderung memiliki stroke yang lebih besar yang melibatkan daerah kortikal yang lebih luas. Dalam studi retrospektif, faktor risiko kejang setelah perdarahan subarachnoid termasuk aneurisma arteri serebral media, hematoma intra parenchymal, infark serebral, riwayat hipertensi dan ketebalan tulang belakang. Sebaliknya, sudah tidak ada prediktor klinis untuk kejang setelah terjadi perdarahan intra parenchymal. Lesi vaskuler dapat menyebabkan kejang dengan mekanisme yang lain.Kejang karena malformasi arteriovenosa dan aneurisma biasanya terjadi ketika pecahnya lesi tersebut, tetapi lesi vaskuler dapat menyebabkan terjadinya kejangoleh iritasi yang berdekatan dengan parenkim otak. Akhirnya, kejang yang berhubungan dengan lesi vaskuler yang secarasignifikan terjadi dalam pengaturan reperfusi setelah prosedur revaskularisasi, paling sering endarterektomi karotis untuk stenosis karotis kronis ekstrakranial.Sindrom reperfusi, pertama dijelaskan oleh Sundt dan rekan, termasuk aktivitaskejang fokal transien, fenomena migrain atipikal, dan perdarahan intraserebral, meskipun triad klinis sering tidak lengkap. Onset dari sindrom langka ini berkisar dari beberapa hari sampai 3 minggu setelah revaskularisasi dan 7



sering ditandai oleh sakit kepala ipsilateral. Koreksi bedah malformasi dari arteriovenosa jugadapat menyebabkan intraoperatif atau hiperemia pasca operasi dengan kejang berikutnya atau perdarahan. Sebaliknya, malformasi arteriovenosa terletak di area subyek borderzone untuk laju aliran darah yang relatif rendah memiliki risiko lebih kecil untuk terjadi perdarahan. Sindrom reperfusi telah dikaitkan dengan gangguan autoregulasi otak. Dalam pengaturan hipoperfusi kronis akibat stenosis karotis tingkat tinggi, arteriol bertanggung jawab untuk autoregulasi normal di bagian hilir dari otak danmenjadi dilatasi yang kronik. Kemudian, ketika perfusi ditingkatkan dengan prosedur revaskularisasi, pembuluh darah tidak dapat vasokonstriksi dan parenkimotak mengalami peningkatan besar dalam aliran darah. Pelepasan neuropeptidavasoaktif dari saraf sensorik perivaskular dapat berkontribusi terhadap perkembangan sindrom reperfusi dalam oksidan yang berkembang sebelum revaskularisasi dan peradangan untuk mengembalikan sirkulasi.



Gambar 1.Patofisiologi Kejang



8



D. FAKTOR RESIKO Pada kejang berulang dalam suatu studi observasi. Tipe dari stroke menjadi penting: perdarahan subarachnoid, perdarahan intraserebral, pada infark dengan adanya transformasi hemoragik mempunyai resiko kejang dan epilepsy dibandingkan dengan non hemoragik infark. Letak korteks secara independen memprediksi kejang dan epilepsy pada sebuah penelitian neuroimaging. Ukuran (volume) dari lesi bersifat prediktif, dengan total infark pada sirkulasi anterior mempunyai resiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan infark parsial anterior, infark lacunar, dan infark sirkulasi posterior. E. MANIFESTASI KLINIS Mengingat bahwa sebagian besar kejang pasca stroke disebabkan oleh lesi fokal, kejang fokal pasca stroke biasanya terjadi pada awalnya. Dalam sebuah studi kejang onset cepat pada 90 pasien, kejang parsial sederhana adalah jenis yang paling sering (61%), diikuti oleh epilepsi umum sekunder (28%). Dalam penelitian lainnya, kejang onset cepat lebih cenderung bersifat parsial, sedangkan kejang onset lambat lebih cenderung generalisasi 9



sekunder. Kebanyakan serangan berulang adalah tipe yang sama dengan episode, dan cenderung kambuh rata-rata kurang dari satu tahun. Dalam serangkaian besar pasien dengan kejang pasca stroke, 9% memiliki status epileptikus. Kesimpulan itu hanya terkait dengan kecacatan fungsional yang lebih besar, status epileptikus tidak dikaitkan dengan peningkatan mortalitas, jenis stroke (iskemik atau hemoragik), topografi (keterlibatan kortikal), ukuran lesi atau pola electroencephalographic (EEG). Keistimewaan fenomenologis sindrom reperfusi adalah serupa dengan timbulnya onset fokal dengan generalisasi sekunder sesuai dengan aturan. Aktivitas kejang biasanya terjadi di wilayah vascular ipsilateral sesuai teori pembedahan pada arteri karotis interna. Kadang-kadang status epileptikus terjadi kemudian. Kejang paska stroke biasanya bersifat fokal atau umum sekunder. Pasien dengan bangkitan parsial mungkin dapat mengalami aura. Manifestasi non motorik dapat mempropagasi terjadinya bangkitan umum sekunder.



Tabel 1. Tanda dan gejala lokalisasi dan lateralisasi pada bangkitan.



Kejang fokal dapat menjadi umum dan memproduksi bangkitan tonik, yang diawali dengan fase kontraksi tonik yang diikuti dengan fase klonik. Pada bangkitan umum tonikklonik dan status epileptikus. Di definisikan sebagai bangkitan yang terjadi lebih dari 30 menit. Yang merupakan emergensi medis berhubungan dengan angka morbiditas dan mortalitas.



F. DIAGNOSIS 10



EEG EEG dapat normal pada 5% kasus dan EEG normal tidak mengeklusi epileptogenitas atau iskemia otak. Holmes menemukan bahwa pasien dengan bentuk gelombang epilepsi periodik lateralizing dan bentuk gelombang bilateral independen epilepsi periodik lateralizing pada EEG setelah stroke sangat rentan terhadap terjadinya kejang. Pasien dengan fokus paku juga memiliki risiko tinggi 78%. Penurunan fokus, menyebar dan temuan normal pada perlambatan EEG, bagaimanapun, ini dikaitkan dengan risiko yang relatif rendah masingmasing 20%, 10% dan 5%. Penelitian lain menemukan bahwa keterlibatan kortikal pada hasil studi pencitraan neuroanatomi epilepsi lebih prediktif daripada gambaran EEG tunggal. Perlambatan fokus pada EEG mungkin hanya mencerminkan wilayah yang luas dari iskemia jaringan atau infark yang melibatkan korteks serebral atau daerah subkortikal. EEG dapat membantu dalam evaluasi awal gejala neurologis yang buruk pasca stroke fokal. Pada beberapa pasien, perlambatan fokal dapat mengkonfirmasi kesan klinis iskemik hemisfer dan berlawanan dengan kejang sebagai penjelasan selama sindrom neurologis akut. Tidak adanya kelainan EEG tidak mengecualikan pasti iskemia serebral, terutama dalam struktur subkortikal atau aktivitas kejang subtentorial atau intermiten.



11



CT scan Studi menunjukan bahwa gejala fokal dari bangkitan pada pemeriksaan neurologis dan EEG berkorelasi signifikan pada kelainan CT scan pada pasien yang baru didiagnosis bangkitan epilepsi. MRI MRI merupakan pilihan lain yang dapat menunjukan kelainan yang tidak ditemukan pada CT scan seperti malformasi kortikal, sklerosis hipokampus, lesi-lesi kecil.



12



Lansberg dkk telah menjelaskan beberapa temuan terbaru tentang pencitraan resonansi magnetik akut pada 3 pasien dengan status epileptikus parsial. Studi-studi menunjukkan peningkatan intensitas gambaran tahanan difusi yang berat dan urutan T2 yang berat dan area yang sesuai dengan koefisien difusi yang rendah. Namun, hasil-hasil ini mudah dibedakan dari distribusi tanda iskemik nonvascular dari ipsilateral arteri serebral media pada gambaran angiografi resonansi magnetik dan peningkatan leptomeningeal pada pencitraan resonansi magnetik dengan kontras. Studi lain menunjukkan terjadi peningkatan intensitas pada gambaran tahanan difusi di bagian dorsolateral dari thalamus ipsilateral pada 2 pasien G. DIAGNOSIS BANDING Diagnosis diferensial iskemia akibat kejang termasuk kejang sekunder karena penyebab lain. Withdrawal obat (Benzodiazepin) dan gangguan metabolisme (misalnya kelainan glukosa) biasanya dapat menyebabkan kejang umum, kecuali memang sudah ada lesi yang mendasarinya. Migrain berhubungan dengan fenomena fokus dan serangan iskemik transien dapat memperlambat fokus pada hasil temuan EEG. Diantara semua itu, kelainan glukosa tidak boleh diabaikan.



H. PENATALAKSANAAN Memilih suatu obat antikonvulsan harus dipandu oleh karakteristik individu tiap pasien, termasuk penggunaan obat-obatan secara bersamaan dan komorbiditas medis. Sebagai pengetahuan bahwa tidak ada uji terkontrol untuk mengevaluasi kejang pasca stroke yang telah dilakukan untuk menilai agen khusus. Mungkin pertanyaan yang lebih penting adalah bagaimana cara untuk memulai pengobatan, karena hanya sedikit yang telah membuktikan bahwa kejang pasca stroke dapat kambuh. Dengan tidak adanya prediktor mutlak kejang pasca stroke, kebanyakan dokter mengobati pasien secara empiris untuk kejang ketika mereka baru terserang stroke. Bladin et al berpendapat bahwa uji terkontrol termasuk pasien dengan kejang pasca stroke akan menimbulkan permasalahan logistik yang luas dan mungkin tidak etis, meskipun insiden kejang pasca strokerelatif masih rendah. Arboix et al menyimpulkan bahwa efektivitas antikonvulsan profilaksis harus dievaluasi dalam uji prospektif secara acak yang dilakukan pada pasien dengan risiko tinggi.



13



Kejang pasca stroke biasanya dikontrol dengan baik dengan antikonvulsan tunggal. Dalam sebuah penelitian retrospektif, pada 88% dari 90 pasien kejang dapat dikontrol dengan monoterapi. Mengingat penampilan khas kejang fokal pasca stroke, pilihan pengobatan yang termasuk lini pertama adalah karbamazepin dan fenitoin natrium. Yang terakhir memiliki keuntungan dari pemberian parenteral, yang mungkin diperlukan karena kesulitan menelan atau status mental yang mungkin terganggu. Fosphenytoin natrium juga merupakan pilihan yang menonjol pada pasien dengan stroke karena toksisitas jantung lebih rendah dari fenitoin. Benzodiazepin, khususnya lorazepam, awalnya harus diberikan kepada pasien dengan kejang yang sedang berlangsung. Tidak ada data mendukung penggunaan berbagai agen untuk mengobati kejang onset cepat dan kejang onset lambat. Obat antiepilepsi yang baru sedang dipertimbangkan sebagai agen lini pertama untuk pasien tua karena efikasi dan efek samping yang menguntungkan. Sekitar 10% dari penghuni panti jompo di Amerika Serikat mendapat obat antiepilepsi, paling sering digunakan untuk pengobatan gangguan kejang. Dalam uji coba pada pasien tua dengan diagnosis epilepsi, lamotrigin baru-baru ini menunjukkan toleransi yang lebih baik dan untuk pemeliharaan pasien yang bebas dari kejang dengan interval yang lebih panjang dari carbamazepine. Meskipun banyak dari antikonvulsan baru, misalnya, topiramate dan levetiracetam, telah diteliti sebagai agen tambahan untuk terapi kejang parsial refrakter, dalam praktiknya sering digunakan sebagai monoterapi. Gabapentin telah terbukti berkhasiat sebagai monoterapi untuk kejang parsial. Untuk semua obat antiepilepsi, harus dibatasi dosis obat yang merugikan seperti sedasi, terutama pada pasien stroke pada usia lanjut. Interaksi obat merupakan pertimbangan penting, kebanyakan pasien yang terkena stroke,sudah banyak memakai obat. Agen antiepilepsi generasi pertama melewati metabolisme di hati, fenitoin dan asam valproat sangat terikat pada protein. Sebagai contoh, interaksi fenitoin dan warfarin diakui sulit untuk mempertahankan rentang terapi yang konsisten dari kedua agen. Dalam pedoman yang direkomendasikan oleh Dewan stroke dari American Heart Association menyatakan bahwa profilaksis kejang seragam dalam periode akut setelah perdarahan intraserebral dan subarachnoid. Untuk perdarahan intraserebral, aktivitas kejang dapat menyebabkan cedera saraf dan berkontribusi lebih lanjut untuk menjadi koma, meskipun tidak ada data klinis untuk mendukung rekomendasi ini. Pasien dengan lesi pada cerebellar dan subkortikal dalam (misalnya, thalamus) berada pada risiko yang sangat rendah untuk terjadi kejang dan tidak perlu untuk diobati. Pedoman tersebut menunjukkan bahwa 14



dosis fenitoin natrium dititrasi dengan tingkatan serologis (14-23 mg / mL), dengan penghentian pengobatan setelah 1 bulan tidak ada serangan kejang yang terjadi selama pengobatan. Pasien dengan aktivitas lebih dari 2 minggu setelah presentasi munculnya kejang berada pada risiko yang lebih besar untuk kambuh lagi dan mungkin memerlukan terapi jangka panjang untuk profilaksis kejang. Studi retrospektif kecil menunjukkan bahwa tidak ada manfaat dari antikonvulsan profilaksis setelah perdarahan subarachnoid. Namun, karena risiko yang relatif rendah yang terkait dengan terapi antiepilepsi dan kekhawatiran yang besar tentang perdarahan aneurisma ulang, uji klinis tentang masalah ini mungkin tidak pernah terjadi. Penggunaan jangka panjang agen antiepilepsi tidak dianjurkan untuk pasien dengan perdarahan subarachnoid yang tidak memiliki kejang, tetapi harus dipertimbangkan setidaknya ketika ada satu dari beberapa faktor risiko yang muncul. Dalam kasus sindrom reperfusi, langkah pencegahan yang penting adalah mengontrol secara ketat tekanan darah sistemik. Tidak jelas peran dari terapi antiepilepsi pada populasi pasien ini. Menurut bukti-bukti anecdotal, kejang pada sindrom reperfusi kadang-kadang merespon obat antiepilepsi, tetapi sulit untuk mengobati tanpa adanya keadaan sedasi yang cukup kuat. Beberapa ahli bedah memberikan profilaksis secara empiris karena ada kekhawatiran akan terjadinnya kejang selama 1 sampai 2 minggu setelah endarterektomi pada pasien dengan stenosis karotis derajat tinggi. Pada penanganan infark vena sering kali diberikan antikoagulasi sistemik dan, baru-baru ini, pemberian trombolisis intra thrombus melalui endovascular telah menunjukkan keberhasilan pada pasien tertentu. Menurut peraturan pemberian terapi antiepilepsi diberikan hanya jika terjadi kejang. Pada bangkitan fokal banyak pilihan obat anti epilepsy dengan monoterapi. Karbamazepin, levetiracetam, lamotrigine, oxcarbazepine, dan topiramate. Asam valproate digunakan untuk lini pertama onset bangkitan fokal, dan loading fenitoin digunakan dalam status epileptikus setelah diberikan lorazepam. Dikarenakan efikasi, toleransi, dan sedikitnya interaksi antar obat, levetiracetam menjadi lini pertama pemilihan obat, diikuti dengan carbamazepine dan lamotrigine. Untuk lini kedua atau refrakter seperti levetiracetam, pregabalin, lacosamide, atau gabapentin dapat menjadi monoterapi sekunder.



15



Tabel 3. Pemilihan obat berdasarkan bentuk bangkitan



Tabel 4. Dosis dewasa OAE



I. PROGNOSIS



16



Dampak buruk dari kejang pasca stroke masih belum jelas dan memiliki data yang bertentangan dari serangkaian kasus yang berbeda. Dalam dua studi prospektif, kejang onset cepat tidak terkait dengan tingkat kematian yang tinggi atau defisit neurologis yang memburuk. Kejang dikaitkan dengan hasil yang lebih baik dalam Skala Stroke Skandinavia dalam seri lain, peneliti menyatakan bahwa kejang adalah manifestasi penumbra iskemik yang lebih besar yang memberikan kontribusi untuk pemulihan yang lebih baik. Sebaliknya, dalam studi lainnya dinyatakan bahwa pasien yang mengalami awal kejang dalam waktu 48 jam dari serangan stroke atau transient ischemic attack memiliki angka kejadian meninggal di rumah sakit yang cenderung lebih tinggi (37,9%) dari pada mereka yang tidak menunjukkan adanya kejang (14,4%). Pada perdarahan subarachnoid, onset kejang dapat diprediksi pada kejang onset lambat dan pengukuran dasar untuk pemantauan selama 6 minggu kemudian dapat diukur dengan Skala Glasgow. Pada studi populasi di Islandia, epilepsi lebih sering terjadi pada pasien dengan residua neurologis berat (48%) dibandingkan dengan mereka yang tidak (20%). Kejang pada sindrom reperfusi biasanya sembuh sendiri. Prognosis jangka panjang tergantung pada perkembangan perdarahan intraserebral.



BAB III PENUTUP



17



DAFTAR PUSTAKA



1. Bladin C, Alexandrov A, Bellavance A, et al. Seizures after stroke: a prospectivemulticenter study. Arch Neurol. 2001;57:1617-1622. 2. Rhoney D, Tipps L, Murray K, Basham M, Michael D, Coplin W. Anticonvulsant prophylaxis and timing of seizures after aneurysmal subarachnoid hemorrhage. Neurology. 2002;55:258-265. 3. Olafsson E, Gudnumdsson G, Hauser W. Risk of epilepsy in long-term survivorsof surgery for aneurysmal subarachnoid hemorrhage: a population-based study in Iceland. Epilepsia. 2005;41:1201-1205. 4. Congar P, Gaiarsa J, Popovici T, Ben-Ari Y, Crepel V. Permanent reduction of seizure threshold in post-ischemic CA3 pyramidal neurons. J Neurophysiol. 2001; 83:2040-2046. 5. Ho D, Wang Y, Chui M, Ho S, Cheung R. Epileptic seizures attributed to cerebral hyperperfusion after percutaneous transluminal angioplasty and stenting of the internal carotid artery. Cerebrovasc Dis. 2000;10:374-379. 18



6. Stapf C, Mohr J, Sciacca R, et al. Incident hemorrhage risk of brain arteriovenous malformations located in the arterial borderzones. Stroke. 2006;31:2365-2368. 7. Cereghino JJ, Biton V, Abou-Khalil B, Dreifuss F, Gauer LJ, Leppik I. Levetiracetam for partial seizures: results of a double-blind, randomized clinical trial. Neurology. 2004;55:236-242. 8. Qureshi A, Tuhrim S, Broderick J, Batjer H, Hondo H, Hanley D. Spontaneous intracerebral hemorrhage. N Engl J Med. 2001;344:1450-1460. 9. Butzkueven H, Evans A, Pitman A, et al. Onset seizures independently predict poor outcome after subarachnoid hemorrhage. Neurology. 2003;55:1315-1320.



19