Referat Psikiatri Ketergantungan Media Sosial [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT KETERGANTUNGAN MEDIA SOSIAL



Pembimbing : dr. Herny Taruli Tambunan, Sp.KJ dr. Gerald Mario Semen, Sp. KJ dr. Imelda Wijaya, Sp. KJ Disusun Oleh : Axel Jusuf – 1765050177



KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA JAKARTA PERIODE 4 MEI – 13 JUNI 2020 RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT JAKARTA 2020



KATA PENGANTAR



Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini dengan judul “Ketergantungan Media Sosial” Referat ini disusun untuk memenuhi kewajiban akademis dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta. Dalam kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini, terutama kepada: 1. dr. Herny Taruli Tambunan, Sp.KJ, dr. Gerald Mario Semen, Sp. KJ, dan dr. Imelda Wijaya, Sp. KJ, selaku pembimbing atas pengarahannya selama penulis belajar dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta. 2. Rekan-rekan seperjuangan dalam Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Jiwa di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan berkat yang berlipat ganda kepada semuanya. Penulis sangat terbuka dalam menerima kritik dan saran karena penyusunan referat ini masih jauh dari kata sempurna. Semoga referat ini dapat memberikan banyak manfaat bagi setiap orang yang membacanya.



ii



DAFTAR ISI Hal HALAMAN JUDUL .............................................................................................



i



KATA PENGANTAR ..........................................................................................



ii



DAFTAR ISI .........................................................................................................



iii



DAFTAR GAMBAR ............................................................................................



iv



BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................



1



1.1



Latar Belakang ...........................................................................................



1



1.2



Batasan Masalah ........................................................................................



2



1.3



Tujuan dan Manfaat ...................................................................................



3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................



4



2.1



Media Sosial ..............................................................................................



4



2.1.1 Definisi................................................................................................



4



2.1.2 Dampak Media Sosial.........................................................................



5



Ketergantungan Media Sosial.....................................................................



8



2.2.1 Definisi................................................................................................



8



2.2.2 Epidemiologi.......................................................................................



9



2.2.3 Etiopatogenesis...................................................................................



11



2.2.4 Faktor Risiko.......................................................................................



13



2.2.5 Tanda dan Gejala.................................................................................



17



2.2.6 Tatalaksana Ketergantungan Media Sosial..........................................



20



2.2.7 Prognosis.............................................................................................



22



BAB III KESIMPULAN ......................................................................................



23



DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................



25



2.2



iii



DAFTAR GAMBAR Gambar



Hal



2.1 Tipe-tipe Media Sosial ....................................................................................



4



2.2 Poin-poin pada Social Media Disorder Scale...................................................



19



2.3 Poin-poin pada Social Media Disorder Scale...................................................



19



iv



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Pada saat ini sesuai perkembangan zaman maka kemajuan teknologi juga berkembang dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia. Aktivitas sehari-hari sedemikian rupa dimudahkan oleh hadirnya beberapa fasilitas, sarana dan prasarana dengan kecanggihan yang nyaris sempurna. Tidak mengherankan, kehadiran media sosial menjadi fenomenal. Media sosial adalah aplikasi yang mengizinkan user atau penggunanya berbagi informasi pribadi seperti foto dan aktivitas sehari-hari. Kebiasaan yang sudah “mendarah daging” di masyarakat rutin dilakukan oleh ratusan juta pengguna setiap harinya di seluruh dunia. Hal ini dapat dilakukan sambil melakukan berbagai aktivitas lainnya, misalnya bekerja, melakukan pekerjaan rumah tangga, melakukan kegiatan kecantikan, menyetir dan lain-lain.1 Kemudahan itu karena adanya fitur-fitur seperti chatting, mengakses jejaring sosial, games, musik, karaoke, sharing foto, video, video call sehingga memudahkan pengguna mengakses dan melakukan banyak aktivitas sekaligus. Contoh media sosial yang marak digunakan contohnya seperti Facebook, Twitter, Instagram, Line, WhatsApp, MySpace, game online, dunia virtual seperti Second Life, Sims, YouTube, Blog, dan sebagainya.1,2



Media sosial tidak hanya memberikan kemudahan dalam menyebarkan informasi dan memperluas jaringan sehingga bisa terhubung dengan siapapun yang ada di seluruh dunia tanpa ada batasan. Tidak heran hampir seluruh manusia mempunyai media sosial karena manusia sangat sulit untuk lepas dari itu. Menurut APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), pengguna media sosial di Indonesia tahun 2016 mulai dari individu yang berumur antara 10 tahun hingga 55 tahun ke atas, mulai dari ibu rumah tangga (22 juta atau 16,6%), pelajar (8,3 juta atau



1



6,3%), mahasiswa (10,3 juta atau 7,8%) hingga pekerja/wiraswasta (82,2 juta atau 62%).3



Media sosial dibantu dengan sebuah media teknologi komunikasi salah satunya yaitu smartphone yakni gabungan ponsel dengan komputer bergerak tidak hanya digunakan sebagai alat berkomunikasi melainkan mulai dilirik untuk menjadi media hiburan dan edukasi. Smartphone adalah telepon genggam yang memiliki sistem operasi untuk masyarakat luas, dimana pengguna dapat dengan bebas menambahkan aplikasi, menambah fungsi- fungsi atau mengubah sesuai keinginan pengguna. Data statistik membuktikan bahwa dalam media sosial tidak mengenal batasan umur, pekerjaan dan lainnya sehingga dapat menghapus segala batasan yang ada. Masyarakat juga dapat dengan bebas mengekspresikan diri di media sosial tanpa harus takut dan malu seperti mengekspresikan diri secara langsung. Hal itu menjadikan dunia media sosial yang biasa disebut dengan dunia maya menjadi dunia kedua setelah dunia nyata.4,5



Media sosial memberikan pengaruh besar pada berbagai aspek kehidupan digital saat ini selain dari komunikasi online, dari pemasaran ke politik, pendidikan, kesehatan, hingga interaksi dasar manusia. Remaja dan orang dewasa muda menghabiskan banyak waktu mereka dalam sosialisasi online dan karenanya berpotensi mengalami risiko yang lebih besar dari efek negatif. Sejumlah studi penelitian mengklasifikasikan hubungan antara penggunaan media sosial dan hasil yang tidak diinginkan seperti peningkatan kecemasan, stres, depresi, ketergantungan dan kesepian.4,6



1.2 Batasan Masalah



2



Pada referat ini akan dibahas mengenai adiksi/ketergantungan media sosial. Aspek-aspek gangguan kejiwaan lain akibat media sosial tidak terlalu dibahas dalam makalah ini.



1.3 Tujuan dan Manfaat Dengan mengetahui gambaran adiksi/ketergantungan media sosial dapat membantu untuk menjadi bahan pertimbangan bagi kalangan medis untuk mendeteksi lebih dini dan memberikan penanganan yang lebih tepat.



3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Media Sosial 2.1.1 Definisi Istilah media sosial tersusun dari dua kata, yakni “media” dan “sosial”. “Media” diartikan sebagai alat komunikasi. Sedangkan kata “sosial” diartikan sebagai kenyataan social bahwa setiap individu melakukan aksi yang memberikan kontribusi kepada masyarakat. Pernyataan ini menegaskan bahwa pada kenyataannya, media dan semua perangkat lunak merupakan “sosial” atau dalam makna bahwa keduanya merupakan produk dari proses sosial. Dari pengertian masing-masing kata tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa media sosial adalah alat komunikasi yang digunakan oleh pengguna dalam proses sosial.2,5 Media sosial dapat dianggap sebagai situs web atau aplikasi yang memungkinkan interaksi melalui situs termasuk aplikasi seperti Facebook, Twitter, Instagram, Line, WhatsApp, MySpace, game online, dunia virtual seperti Second Life, Sims, YouTube, Blog, dan sebagainya. Situs-situs era sekarang ini tumbuh secara eksponensial dan bertindak sebagai portal yang mudah tersedia untuk komunikasi dan hiburan bagi generasi muda. Merriam Webster mendefinisikan media sosial sebagai, bentuk komunikasi elektronik di mana pengguna membuat komunitas online untuk berbagi informasi, ide, pesan pribadi, dan konten lainnya.5,6,7



4



2.1.2 Dampak penggunaan media sosial Seseorang dalam rentang usia muda menjalani fase keenam dalam psikososial oleh Erickson yaitu intimacy vs isolation. Dimana cara Sosial dalam pemenuhan kebutuhan Gambar 2.1 Tipe-tipe Media adalah intimacy yang merupakan hubungan yang memiliki kelekatan antar sesama. Selain itu masa dewasa awal sudah mencapai tahapan kematangan dalam berkomunikasi, karena mereka dituntut untuk dapat berhubungan dengan sosialnya baik profesional maupun dalam lingkungan keluarga atau masyarakat. Dewasa awal sudah mampu mengembangkan komunikasi dan mampu memahami isi pesan serta menciptakan hubungan agar bisa diterima dengan efektif dan menghindari komunikasi yang kurang baik. Kandell menjelaskan bahwa Emerging adulthood dimana individu memiliki kurangnya kestabilan dalam perkembangan emosi, kognitif dan komunikasi interpersonalnya. Masa Emerging Adulthood merupakan suatu masa ketika seseorang tidak lagi remaja namun belum sepenuhnya dewasa. Sehingga ketika mereka memiliki kesulitan dalam berkembang maka internet menjadi salah satu komunikasi yang efektif bagi perluasan pertemanan mereka.4,8,9



Ketidak seimbangan yang diciptakan oleh penggunaan media sosial yang berlebihan merupakan perhatian besar bagi orang tua, peneliti dan masyarakat mengenai kesehatan mental individu. Salah satu kegiatan paling umum dari generasi sekarang adalah penggunaan situs web media sosial yang berlebihan. Media sosial memberikan pengaruh besar pada berbagai aspek kehidupan digital saat ini selain dari komunikasi online, dari pemasaran ke politik, pendidikan, kesehatan, hingga interaksi dasar manusia. Remaja dan orang dewasa muda menghabiskan banyak waktu mereka dalam sosialisasi online dan karenanya berpotensi mengalami risiko yang lebih besar



5



dari efek negatif. Sejumlah studi penelitian mengklasifikasikan hubungan antara penggunaan media sosial dan hasil yang tidak diinginkan seperti ketergantungan, peningkatan kecemasan, stres, depresi dan kesepian. Peningkatan penggunaan media sosial oleh generasi muda menimbulkan alarm mengenai efek buruknya.8,10



Facebook, Twitter, Line, WhatsApp dan Instagram contohnya dalam sarana komunikasi justru dijadikan sebagai proses penggantian komunikasi secara langsung. Tahapan komunikasi dimulai dari kontak, keakraban, hingga pemutusan justru dilakukan lebih intens dalam media sosial. Hasil eksperimen menunjukkan para penguna menganggap bahwa mereka menggunakan komputer itu sebagai media yang ‘nyata’. Itu berarti apa yang muncul dalam berbagai media sosial di jejaring internet dari hasil eksperimen seolah-olah nyata. Intensitas dan frekuensi kecanduan media sosial secara tidak langsung (aplikasi chatting, sharing foto dan video) tidak dapat mencapai kedalaman dan keluasan dalam komunikasi interpersonal sehingga penggunaan tidak akan maksimal karena keterbatasan penulisan karakter yang mempengaruhi.9,10,11



Para pengguna media sosial sering mengabaikan penting dan efektifnya komunikasi interpersonal tersebut dan lebih mengandalkan media sosial untuk berkomunikasi. Ketika akan memulai interaksi dengan orang lain, maka yang dilakukan ialah menciptakan persepsi mengenai orang tersebut dan akhirnya dapat dikomunikasikan secara tatap muka kepada orang tersebut. Karena petunjuk nonverbal



dapat



memberikan



informasi



dan



memperkuat



makna



dalam



berkomunikasi interpersonal. Dalam komunikasi interpersonal, paralinguistik (petunjuk verbal) menunjukkan apa yang diucapkan melalui tinggi rendahnya suara, tempo bicara, gaya verbal dan interaksi. Cara dan gaya berkomunikasi seseorang dapat memberi petunjuk tentang kepribadian persona stimuli.9,12



Komunikasi interpersonal sangat penting karena prosesnya berlangsung secara dialogis. Para komunikan saling bergantian dalam berbicara dan mendengarkan 6



sehingga munculnya saling menghormati dan empati.13 Hal tersebut bukan didasarkan pada status sosial namun dari kemanusiaan yang memiliki hak dan kewajiban untuk dihargai dan dihormati sebagai manusia. Berdasarkan penelitian oleh Subekti komunikasi interpersonal dapat membantu manusia dalam proses menyampaikan kebutuhan interpersonal dan memahami orang lain. Komunikasi interpersonal lebih efektif ketika salah satu komunikan dapat menyampaikan dengan media/bahasa yang tepat. Beebe mengatakan bahwa komunikasi yang paling efektif dalam komunikasi interpersonal terutama mengekspresikan perasaan, terjadi ketika tidak ada media yang mengganggu kejelasan pesan atau penundaan feedback penerima pesan.14,15,16 Penelitian sebelumnya menurut Asmaya menjelaskan bahwa pengguna media sosial juga merupakan makhluk sosial yang banyak melakukan interaksi dengan lingkungannya. Karena mereka memiliki dan menggunakan media sosial sehingga lupa dengan orang disekitarnya karena memiliki banyak teman di dunia maya. Selain itu seringnya menggunakan media sosial untuk berkomunikasi maka berkurangnya interaksi mereka secara tatap muka, mereka menganggap bahwa berkomunikasi melalui media sosial lebih menyenangkan.12,15



7



2.2 Ketergantungan Media Sosial 2.2.1 Definisi Andreassen dan Pallesen, mendefinisikan ketergantungan/adiksi media sosial sebagai “menjadi terlalu memikirkan media sosial, didorong oleh motivasi yang kuat untuk log on atau menggunakan media sosial dan mencurahkan begitu banyak waktu dan usaha untuk media sosial yang mengganggu kegiatan sosial lainnya, studi atau pekerjaan, hubungan interpersonal dan kesehatan psikologis serta kesejahteraan”.13 Griffiths secara operasional mendefinisikan perilaku adiktif sebagai perilaku yang memiliki enam komponen adiksi yaitu salience, modifikasi mood, toleransi, gejala withdrawal, konflik, dan relapse. Griffiths berpendapat bahwa perilaku apapun (misalnya social networking) yang memenuhi enam kriteria ini dapat secara operasional didefinisikan sebagai adiksi.14,17 Terkait dengan social networking, enam komponen tersebut adalah sebagai berikut: a. Salience Kondisi ini terjadi ketika social networking menjadi satu-satunya aktivitas paling penting dalam kehidupan seseorang dan mendominasi pikiran (preokupasi dan distorsi kognitif), perasaan (craving), dan perilaku (deteriorasi perilaku sosial). Misalnya, meskipun seseorang tidak benar- benar terlibat dalam social networking, dia akan secara terus menerus memikirkan tentang waktu berikutnya terlibat social networking (yaitu preokupasi total dengan social networking). b. Modifikasi mood



8



Kondisi ini merujuk pada pengalaman subyektif yang dilaporkan seseorang sebagai konsekwensi dari social networking dan dapat dilihat sebagai strategi koping (yaitu mereka mengalami peningkatan gairah atau sebaliknya mengalami perasaan yang menenangkan dari escape atau numbing). c. Toleransi Kondisi ini adalah proses dimana peningkatan jumlah aktivitas social networking dibutuhkan untuk mendapat efek modifikasi mood seperti sebelumnya. Hal ini pada dasarnya berarti bahwa seseorang yang terlibat dalam social networking, mereka secara bertahap meningkatkan jumlah waktu yang dipergunakan untuk social networking setiap harinya. d. Gejala withdrawal Gejala ini merupakan kondisi perasaan yang tidak menyenangkan atau efek fisik (misalnya gemetar, moodiness, iritabilitas) yang terjadi ketika seseorang tidak mampu terlibat dengan social networking karena sedang sakit, sedang berlibur, atau yang lainnya. e. Konflik Kondisi ini merujuk pada konflik antara seseorang dengan orang-orang di sekitarnya (konflik interpersonal), konflik dengan aktivitas lain (kehidupan sosial, hobi, dan minat), atau dari dalam dirinya sendiri (konflik intrapsikis atau perasaan subyektif kehilangan kendali) yang khawatir dengan menghabiskan terlalu banyak waktu untuk social networking. f. Relapse Kondisi ini merupakan kecenderungan untuk mengulangi kembali pola social networking yang berlebihan untuk terjadi lagi dan bahkan untuk pola penggunaan social networking berlebihan yang paling ekstrem terulang lagi setelah beberapa periode kontrol.



9



2.2.2 Epidemiologi Laporan Tetra Pak Index tahun 2017 yang telah diluncurkan, mencatatkan ada sekitar 132 juta pengguna internet di Indonesia. Sementara hampir setengahnya adalah penggila media sosial, atau berkisar di angka 40%. 18 Berdasarkan laporan Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna Internet di Indonesia mencapai 88 juta jiwa pada tahun 2015. Tahun berikutnya, pada tahun 2016 APJII kembali melaporkan peningkatan angka pengguna Internet di Indonesia, yaitu sebesar 132,7 juta jiwa dari total populasi penduduk Indonesia 256,2 juta jiwa, lalu pada 2017 jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 143,26 juta (54,68%) dari jumlah populasi 262 juta jiwa dengan prevalensi tertinggi terdapat di Pulau Jawa. Pengguna internet tertinggi terdapat di daerah urban dengan Provinsi DKI Jakarta menjadi daerah tertinggi dalam mengakses internet dan Jakarta Selatan menjadi kota dengan presentase tertinggi dalam hal menguasai smartphone dan mengakses internet pada penduduk yang berusia diatas 5 tahun. Peminat Internet didominasi oleh pria, yaitu sebesar 52,5%. Laporan terbaru dari APJII menyatakan bahwa pengguna Internet didominasi oleh usia 25 hingga 34 tahun (75,8%).3,18



Ditinjau dari segi alasan mengakses Internet, kebanyakan pengguna penggunaan internet dilakukan untuk mengupdate informasi (25,3%), sedangkan yang lainnya beralasan untuk keperluan pekerjaan, mengisi waktu luang, sosialisasi, keperluan pendidikan, hiburan, serta terkait dengan jual beli online. Dilaporkan bahwa konten yang paling banyak diakses oleh pengguna Internet di Indonesia adalah media sosial (97,4%). Riset yang dipublikasikan oleh Crowdtap, Ipsos MediaCT, dan The Wall Street Journal pada tahun 2014 melibatkan 839 responden dari usia 16 hingga 36 tahun menunjukkan bahwa jumlah waktu yang dihabiskan khalayak untuk mengakses internet dan media sosial mencapai 6 jam 46 menit per hari.12,18



Adiksi media sosial di semua kalangan saat ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari lagi. Hampir setiap hari pengguna mengakses media sosial hanya 10



untuk sekedar mencari informasi di Facebook atau Instagram. Hasil dari survey yang dilakukan APJII pengguna internet paling sering mengunjungi web onlineshop sebesar 82,2 juta atau 62%. Konten media sosial yang paling banyak dikujungi adalah Facebook sebesar 71,6 juta pengguna atau 54% dan urutan kedua adalah Instagram sebesar 19,9 juta pengguna atau 15%. Jumlah harus ditambah agar dapat membangkitkan kesenangan dalam jumlah yang sama, whitdrawal symptoms (khususnya menimbulkan termor, kecemasan, dan perubahan mood), gangguan afeksi (depresi, sulit menyesuaikan diri), dan terganggunya kehidupan sosial (menurun atau hilang sama sekali, baik dari segi kualitas maupun kuantitas). Isu lain yang berdampak pada penggunaan internet adalah frekuensi dan durasi penggunaan internet semakin lama dan intens.3,18



2.2.3 Etiopatogenesis Peneliti meyakini bahwa penggunaan berlebih teknologi yang baru khususnya media sosial mungkin sangat bermasalah pada anak muda. Sehubungan dengan kerangka biopsikososial untuk etiologi adiksi dan sindrom model adiksi, diakui bahwa individu yang adiksi untuk menggunakan media sosial mengalami gejala yang mirip dengan yang dialami oleh individu yang mengalami adiksi terhadap zat atau perilaku lainnya. hal ini memiliki implikasi yang signifikan untuk praktik klinis karena tidak seperti penanganan adiksi yang lain, tujuan dari penanganaan adiksi media



sosial



bukanlah



abstinen



total



menggunakan



internet



melainkan



penggunaannya yang terkontrol.13,15 Untuk menjelaskan terjadinya adiksi media sosial, Turel dan Serenko merangkum tiga perspektif teoritis sebagai berikut: 1. Cognitive-behavioral model



11



Model ini menekankan bahwa social networking yang abnormal berasal dari kognisi maladaptif dan diperkuat oleh berbagai faktor lingkungan dan akhirnya menimbulkan social networking yang kompulsif dan adiksi. 2. Social skill model Model ini menekankan bahwa abnormal social networking terjadi karena kurangnya kemampuan self-presentational dan lebih menyukai komunikasi virtual dibandingkan interaksi secara langsung (face to face) dan akhirnya menyebabkan kompulsi dan adiksi social networking. 3. Socio-cognitive model Model ini menekankan bahwa social networking yang abnormal muncul karena pengharapan luaran positif, dikombinasi dengan internet self-efficacy dan kurangnya internet self-regulation dan akhirnya menimbulkan perilaku social networking yang kompulsif dan adiksi. Argumen untuk kecanduan media sosial sesuai dengan evolusi baru-baru ini dalam konsep kecanduan itu sendiri: bukti bahwa apa yang menyebabkan pasien kehilangan kendali bukanlah substansi itu sendiri, tetapi sirkuit saraf yang mendasari yang menyala ketika disajikan dengan imbalan yang diberikan oleh substansi. Di pusat pemahaman kecanduan ini adalah sistem penghargaan otak, di mana penggunaan zat ini memicu pelepasan dopamin neurotransmitter, yang memengaruhi neuron di nucleus accumbens, serta area otak lainnya, seperti korteks prefrontal. 13,19 Sifat adiktif dari media sosial didukung terutama oleh pengguna kronis yang akibatnya cenderung mengabaikan aspek lain dari fungsi sosial mereka seperti teman dan keluarga. Penghentian tiba-tiba jejaring sosial online (yaitu, kurangnya koneksi internet) mungkin pada beberapa pengguna kronis menyebabkan tanda dan gejala yang setidaknya mirip dengan yang terlihat selama sindroma obat-obatan / alkohol / nikotin.19



12



Suatu behavioral addiction seperti adiksi media sosial dapat juga dilihat dari perspektif biopsikososial. seperti halnya adiksi terkait dengan zat, adiksi media sosial menggabungkan pengalaman gejala klasik adiksi antara lain modifikasi mood (yaitu keterlibatan dalam media sosial menimbulkan perubahan emosional yang menyenangkan), salience (preokupasi emosional, kognitif, dan perilaku dengan penggunaan media sosial), toleransi (yaitu peningkatan penggunaan media sosial dari waktu ke waktu), gejala withdrawal (yaitu mengalami gejala fisik dan emosional yang tidak menyenangkan ketika penggunaan media sosial dibatasi atau dihentikan), konflik (yaitu masalah interpersonal dan intrapsikis akibat penggunaan media sosial), dan relapse (yaitu pengguna cepat kembali ke penggunaan media sosial berlebihannya setelah periode abstinen).8,17,19 Telah diterima secara luas bahwa kombinasi faktor biologis, psikologis, dan sosial berkontribusi terhadap etiologi adiksi termasuk adiksi media sosial. dari sini dapat disimpulkan bahwa adiksi media sosial memiliki kerangka etiologi yang sama yang mendasari dengan adiksi terkait zat dan adiksi perilaku lainnya. akan tetapi, oleh karena fakta bahwa keterlibatan dalam media sosial berbeda dalam hal ekspresi aktual adiksi internet (yaitu penggunaan patologis media sosial dibandingkan aplikasi internet yang lain), fenomena tersebut mungkin layak dipertimbangkan individu, terutama ketika mempertimbangkan efek berpotensi merugikan dari adiksi terkait zat dan adiksi perilaku pada individu yang mengalami berbagai konsekuensi negatif karena



adiksi



mereka.14,15,20



2.2.4 Faktor Risiko Banyak orang menggunakan media sosial tapi hanya beberapa yang menjadi ketergantungan pada media sosial. Hal ini berarti beberapa orang lebih rentan penggunaan internet berlebih. Penggunaan media sosial yang berlebihan, hampir sama dengan perilaku adiktif lainnya, memiliki banyak faktor risiko.13,14



13



Remaja dikatakan memiliki risiko yang paling besar untuk menjadi ketergantungan pada internet. Mereka lebih mudah menjadi pengguna internet yang berlebihan karena mereka akrab dengan teknologi baru dan mereka dalam proses pematangan secara kognitif serta sedang membentuk kepribadiannya.18,20 Beberapa faktor yang dianggap berperan dalam terjadinya adiksi media sosial antara lain: A. Faktor kepribadian9,13 1. Arousal and sensation seeking Online secara permanen bekerja sebagai stimulan dengan cara menyediakan intensifikasi emosi atau sensasi yang diinginkan. Individu yang kurang bersemangat, hipomanik, depresi atau mudah merasa bosan dapat menemukan kesenangan yang terkait dengan dia sosial. Koneksi dengan media sosial menjadi alat untuk menjaga kadar semangat yang optimal. Ketika mereka kurang bersemangat atau kurang terstimulasi, efek perbaikan yang ditimbulkan saat online mungkin sangat dicari- cari dan dihargai. Pencari sensasi tinggi kemungkinan besar lebih rentan untuk penggunaan social networking yang berlebihan untuk menjaga kadar semangat dan kesenangan.



2. Impulsivitas Impulsivitas secara konsisten terkait dengan adiksi baik terkait zat maupun tidak. Impulsivitas berarti kecenderungan untuk terlibat dalam reaksi yang cepat dan tidak terencana terhadap stimulus sebelum menyelesaikan pengolahan informasi, yang berarti penurunan sensitivitas terhadap konsekuensi negatif perilaku. Orangorang yang impulsive terlibat dalam perilaku berisiko untuk mengurangi tekanan atau mendapat kesenangan dan tidak memperhatikan konsekuensi jangka panjang.



14



3. Kepercayaan diri yang rendah Kepercayaan diri yang rendah adalah salah satu faktor yang sama-sama dimiliki oleh pengguna social networking yang berlebihan. Mereka yang memiliki kepercayaan diri rendah biasanya tertantang dalam tiga area yang penting. Pertama, mereka merasa tidak memiliki kekuatan personal sehingga kemampuan mereka untuk mempengaruhi orang lain terancam. Kedua, mereka yang kurang percaya diri merasa dirinya tidak berarti bagi orang lain, tidak memiliki daya tarik dan perhatian dari orang lain yang menganggap mereka rendah. Ketiga, mereka sering merasa tidak mampu dalam satu atau lebih bidang kehidupan dan merasa orang lain kemampuan lebih baik dibandingkan mereka. Perasaan negatif ini sering mengakibatkan komunikasi yang tidak efektif dan konflik sosial yang kemudian menurunkan kepercayaan diri. Oleh karena itu, pengguna media sosial yang kurang mampu bersosialisasi atau memiliki kepercayaan diri yang rendah paling mungkin untuk membentuk virtual persona online dan menggunakan internet sebagai pengganti sosialisasi dalam kehidupan nyata. Mereka sering menggunakan media sosial dalam upaya untuk menunjukkan citra diri yang berbeda, keluar dari ketidaknyamanan emosional, dan melepaskan diri ke dunia yang memungkinkan mereka terbebas dari penderitaan dan masalah sementara waktu.



4. Kemampuan bersosialisasi rendah Orang-orang dengan kemampuan bersosialisasi yang rendah akan beralih pada internet untuk kepuasan sosial karena komunikasi internet dianggap kurang mengancam karena anonimitas dan hubungan yang tidak bertatap muka. Akibatnya, mereka cenderung berisiko lebih tinggi untuk menjadi pengguna internet berlebih karena internet menjadi satu-satunya media dimana mereka dapat memenuhi



15



kebutuhan untuk interaksi sosial. Individu yang menunjukkan preferensi untuk bersosialisasi di internet secara signifikan lebih mungkin untuk mengalami adiksi. Selain itu, pengguna yang kurang puas dengan kehidupan sosial di dunia nyata akan lebih rentan terlibat dalam penggunaan internet yang berlebihan.



B. Keadaan mood9,13 1. Regulasi mood Penggunaan media sosial berlebih telah dikonseptualisasikan sebagai perilaku yang diperkuat secara negatif melalui kemampuannya untuk memberikan bantuan emosional dari stimuli yang tidak menyenangkan. Mood disforik dan pikiran sebelum online merupakan pemicu yang penting untuk penyalahgunaan media sosial. Bagi beberapa pengguna internet berlebih, dorongan untuk online berkaitan dengan pelarian dari perasaan negatif yang kuat seperti kesedihan, kesepian, stress, maupun kecemasan. Meskipun mereka mengetahui bahwa penggunaan media sosial berlebih akan membuat perasaan negatif menjadi lebih kuat, mereka tetap melakukannya dan mengesampingkan fakta ini. Harapan hubungan virtual dan keinginan untuk pelarian yang cepat dan mudah adalah lebih kuat. Menurut studi bidang penyalahgunaan obat atau alkohol, wanita bila dibandingkan dengan laki-laki lebih sering menggunakan media sosial untuk regulasi mood dan untuk membantu memudahkan hubungan sosial.



2. Disosiasi



16



Beberapa aktivitas yang ditunjukkan di website, diantaranya permainan dan social networking, memiliki potensi untuk mengubah fungsi pikiran yang normal dimana hal ini khususnya berbahaya bagi remaja dan juga dewasa muda yang pikirannya sedang berkembang. Gejala disosiasi meliputi perubahan pemahaman diri dan waktu sering dilaporkan oleh orang-orang yang menyalahgunakan media sosial. Online dalam kondisi



ini



menimbulkan



perasaan



kehilangan



waktu



secara



subyektif,



depersonalisasi, pelarian, atau disosiasi (pergeseran identitas pribadi dan episode amnesia), dengan sekitar 6% individu mengalami beberapa dampak yang signifikan pada kehidupan mereka. Pada kasus ini, terdapat kompulsi untuk berdisosiasi dari dunia nyata mereka dan sebaliknya hidup dalam media sosial.13,19



2.2.5 Tanda dan Gejala



Beberapa tanda dan gejala adanya penggunaan media sosial berlebih yang menimbulkan adiksi antara lain sebagai berikut: 1. Peningkatan jumlah waktu yang digunakan untuk media sosial. Semakin banyak waktu yang dibutuhkan mencapai kepuasan dan terdapat beberapa kesulitan untuk menjauhkan diri dari komputer untuk dapat mengurusi kehidupannya yang nyata. 2. Menggunakan media sosial saat sedang bekerja atau belajar di sekolah. 3. Preokupasi dengan media sosial atau gejala withdrawal (iritabilitas, kurang konsentrasi, dysomnia) ketika tidak online. 4. Kehilangan waktu dan menghabiskan waktu dengan media sosial. Berulang kali gagal dalam berusaha untuk membatasi atau menghentikan online.



17



5. Merasa terganggu jika seseorang mengganggu saat sedang online. 6. Menggunakan media sosial untuk melarikan diri dari masalah atau mendapat kelegaan dari perasaan negatif. 7. Perubahan negatif pada performa pendidikan atau pekerjaan dan gangguan dalam hal psikososial. 8. Berkurangnya keterlibatan dalam keluarga maupun lingkungan sosial. 9. Terus menerus terlibat dalam media sosial walaupun mengetahui konsekuensi buruknya. 10. Perubahan pada mood atau perilaku yang tidak dapat diprediksi. 11. Peningkatan kerahasiaan perilaku digital. Terkadang penggunaan media sosial berlebih dapat menumpulkan kesadaran dan orang-orang yang mengalami hal ini seringkali tidak menyadari tugas-tugas penting yang harus dikerjakan dan tertunda sementara ia menghabiskan waktu untuk media sosial. Penggunaan media sosial berlebih dapat menimbulkan masalah yang lebih serius seperti gangguan mental, berbohong, berkurangnya konsentrasi, rendahnya peringkat akademik, kehadiran yang buruk di sekolah, dikeluarkan dari sekolah, melarikan diri dari rumah, dan krisis keluarga lainnya.1,10 ICD-10 mendefinisikan beberapa kriteria spesifik untuk sindrom ketergantungan seperti keinginan yang kuat atau rasa paksaan, kesulitan dalam mengendalikan perilaku konsumsi, keadaan penarikan psikologis setelah pengurangan atau penghentian, bukti toleransi, dan sebagainya. kecanduan internet maupun media sosial telah dimasukkan dalam manual klasifikasi penyakit terbaru seperti Diagnostik dan Statistik Manual Gangguan Mental (DSM-5).20,21



18



Kecanduan internet diawali dengan perkembangan tekonologi komunikasi yang baru dan memberikan berbagai macam kemudahan bagi para penggunanya. 1 Dependency Theory memaparkan definisi kecanduan dalam memenuhi kebutuhan mencapai tujuan yang bergantung pada sumber daya yang lain, khususnya media sosial Nurfajri menjelaskan bahwa kecanduan internet adalah suatu gangguan psikofisiologis yang meliputi tolerance (penggunaan dalam jumlah yang sama akan menimbulkan respon minimal. Ada beberapa skala yang digunakan dalam membantu menilai adiksi internet contohnya internet addiction test, bahkan sudah ada skala yang khusus untuk membahas kelainan akibat media sosial yang disebut Social Media Disorder Scale, di skala ini membahas gangguan akibat media sosial yaitu salah satunya ketergantungan media sosial yang dideklarasikan sendiri, pada responden ditanya: "Sejauh mana anda merasa ketergantungan media sosial?" Jawaban untuk pertanyaan ini diberikan pada skala 5 poin mulai dari (1) sama sekali tidak kecanduan hingga (5) sangat kecanduan.21



19



Gambar 2.2 & 2.3 Poin-poin pada Social Media Disorder Scale21 2.2.6 Tatalaksana Ketergantungan Media Sosial Beberapa literatur menyebutkan bahwa dokumentasi yang baik mengenai intervensi terapeutik untuk adiksi media sosial cukup sulit didapatkan. Akan tetapi, self- help strategies, terapi dan pencegahan yang terbukti efektif untuk perilaku adiktif lainnya diyakini dapat bekerja dengan baik pula ketika digunakan untuk manajemen adiksi media sosial.14,22 A.



Self-Help interventions Terdapat aplikasi yang dapat digunakan untuk mengurangi waktu yang



digunakan untuk media sosial dan untuk mengeliminasi distraksi. Dengan cara mengunduh beberapa aplikasi (ColdTurkey, SelfControl, Freedom), pengguna media sosial dapat memblok situs yang ingin dihindari. Selain itu, hal lain yang dapat dilakukan yaitu memasang pengaturan pada media sosial yang memberikan update



20



waktu tertentu (misalnya setiap dua jam). 13,23 Oleh karena orang-orang sering menggunakan media sosial secara berlebihan melalui smartphone, mereka dapat mematikan atau mengaturnya pada mode flight atau hening ketika mereka tidak berharap untuk diganggu. Selain itu, terdapat beberapa strategi self-help lainnya yang dapat dilakukan seperti tidak log in di media sosial ketika berada di sekolah atau tempat kerja, meninggalkan smartphone di tempat kerja atau di rumah, menjadwalkan istirahat yang cukupuntuk melihat media sosial, modifikasi pola pikir selagi melakukan social networking, mengatur batasan dan tujuan yang masuk akal sesuai dengan kewajibannya dan melakukan berbagai kegiatan offline. Teknik relaksasi untuk dapat mengatasi ketidaknyamanan emosional juga dapat membantu (misalnya mindfullness).9,23,24 B.



Intervensi terapeutik Beberapa studi mengenai penanganan behavioral addiction telah berdasarkan



Cognitive-Behavioral Therapy (CBT). Beberapa teknik CBT telah direkomendasikan untuk menangani adiksi internet. Pendekatannya meliputi mengeksplorasi proses mental dan fokus pada bagaimana adiksi dirasakan, diingat, dipikirkan, dan diucapkan, serta penyelesaian masalah.14,24 Disfungsional kognisi mengenai media sosial dan dorongannya yang berasal dari mereka ditiadakan dan kemudian direkonstruksi. Oleh karena itu, strategi dan pemikiran alternatif diperlukan untuk mengatasi ketidaknyamanan emosional, kebutuhan, dan pemisahan. Menulis buku harian tentang penggunaan internet biasanya dilakukan selama terapi. Manajemen perilaku, baik untuk perilaku online maupun offline dapat digunakan sesuai dengan teknik seperti pelatihan, modeling, pemulihan, self- instruction, dan mendapatkan kemampuan adaptif yang baru.23,24 Motivational interviewing dapat dilakukan untuk penanganan behavioral addiction. Ini merupakan metode client-centered semi direktif yang melibatkan motivasi intrinsik untuk mengubah perilaku dengan membentuk kesenjangan antara keadaan saat ini dan keadaan yang diinginkan, mengeksplorasi dan mengatasi 21



ambivalensi dalam diri klien. Tujuan utamanya untuk membantu klien menemukan sisi negatif dari perilakunya dan meningkatkan motivasi internal untuk berubah. Untuk tujuan ini, digunakan beberapa prinsip dasar (membentuk kesenjangan), kemampuan komunikasi (refleksi), dan strategi (eksplorasi ambivalensi).14,24



C. Intervensi farmakologis Beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa obat seperti Bupropion, Escitalopram, Metilfenidat bermanfaat dalam mengobati adiksi video game dan adiksi internet. Metaanalisis dari 16 studi mengenai penanganan adiksi internet melaporkan tidak ada perbedaan antara intervensi farmakologi dan psikoterapi.13,24



2.2.7 Prognosis Penggunaan media sosial terutama dengan smartphone oleh individu yang rentan dapat menjadi perilaku kompulsif. Montag et al. melaporkan bahwa mahasiswa yang secara teratur memeriksa Facebook lebih sering memiliki volume nucleus accumbens yang lebih rendah.25,26 Memeriksa media sosial melalui smartphone adalah perilaku mencari reward seperti mengantisipasi comments dan likes, dan perilaku mencari reward terkait mungkin menjadi faktor risiko untuk mengembangkan ketergantungan media sosial terutama melalui smartphone, mengingat smartphone memudahkan seseorang untuk melakukan pemeriksaan media sosial secara rutin. Namun bisa atau tidak sembuhnya kondisi ini, sama seperti behavioral addiction lainnya mis. judi, balapan dll., maka adiksi media sosial adalah kondisi yang dapat disembuhkan bila diberi dukungan serta penanganan yang tepat, dan targetnya bukan abstinen total tetapi perilaku yang terkontrol dalam menggunakan media sosial.23,25



22



BAB 3 KESIMPULAN



Aktivitas sehari-hari sedemikian rupa dimudahkan oleh hadirnya beberapa fasilitas, sarana dan prasarana dengan kecanggihan yang nyaris sempurna. Tidak mengherankan, kehadiran media



sosial menjadi fenomenal. Media sosial adalah



aplikasi yang mengizinkan user atau penggunanya berbagi informasi pribadi seperti situs web atau aplikasi yang memungkinkan interaksi seperti Facebook, Twitter, Line, Instagram, WhatsApp, MySpace, game online, dunia virtual seperti Second Life, Sims, YouTube, Blog, dan sebagainya. Media sosial adalah komunitas virtual yang penggunanya dapat membentuk profil publik individual, berinteraksi dengan teman di kehidupan nyata, dan bertemu dengan orang-orang yang memiliki kegemaran yang sama. Terkait dengan adiksi media sosial, terdapat enam komponen yang membentuk perilaku adiktif yaitu salience, modifikasi mood, toleransi, gejala withdrawal, konflik, dan relapse.



23



Terdapat tiga teori yang dirangkum untuk menjelaskan terjadinya adiksi media sosial antara lain cognitive-behavioral model, social skill model, dan sociocognitive model. Beberapa faktor yang dianggap berperan dalam terjadinya adiksi media sosial yaitu faktor kepribadian (meliputi arousal and sensation seeking, impulsivitas, kepercayaan diri yang rendah, kemampuan bersosialisasi yang rendah) dan keadaan mood (meliputi regulasi mood dan disosiasi). Beberapa tanda dan gejala yang perlu diperhatikan untuk menyimpulkan seseorang mengalami adiksi media sosial antara lain peningkatan jumlah waktu yang digunakan untuk media sosial, menggunakan media sosial saat sedang bekerja atau belajar di sekolah, preokupasi dengan media sosial atau gejala withdrawal (iritabilitas, kurang konsentrasi, dysomnia) ketika tidak online, kehilangan waktu dan menghabiskan waktu dengan media sosial, merasa terganggu jika seseorang mengganggu saat sedang online, menggunakan media sosial untuk melarikan diri dari masalah atau mendapat kelegaan dari perasaan negatif, perubahan negatif pada performa pendidikan atau pekerjaan dan gangguan dalam hal psikososial, berkurangnya keterlibatan dalam keluarga maupun lingkungan sosial, terus menerus terlibat dalam media sosial walaupun mengetahui konsekuensi buruknya, perubahan pada mood atau perilaku yang tidak dapat diprediksi, dan peningkatan kerahasiaan perilaku digital. Dewasa ini bahkan sudah dikembangkan skala yang dapat digunakan untuk menilai adiksi media sosial salah satunya yaitu Social Media Disorder Scale. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menangani adiksi media sosial antara lain self-help intervention, intervensi terapeutik yang meliputi cognitive behavioral therapy dan motivational interviewing, serta intervensi farmakologis. Kondisi ini, sama seperti behavioral addiction lainnya mis. judi, balapan dll., merupakan kondisi yang dapat disembuhkan bila diberi dukungan dan penanganan yang tepat, targetnya bukan abstinen total tetapi perilaku yang terkontrol dalam menggunakan sosial media.



24



DAFTAR PUSTAKA



1. Andreassen, C.S. Online Social Network Site Addiction: A Comprehensive Review. 2015. Curr Addict Rep, (2), pp.175–84. 2. Anugrah, A. Sosial Media : Overdosis. Indonesian Contact Center Association (ICCA), 2014. 3. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia [APJII], Profil Pengguna Internet Indonesia, 2017, Indonesia, https://apjii.or.id/survei2017. 4. Soliha, S. F. Tingkat Ketergantungan Pengguna Media Sosial dan Kecemasan Sosial. Jurnal Interaksi, 2015, Vol 4 No 1, Hal 1-10. 5. Askalani, M. Staring at the sun : Indentifying, understanding and influencing social media users. 2012.



25



6. Andreassen, C. & Pallesen, S., Social network site addiction - an overview. Curr Pharm Des, 2014, 20(25), pp.4053-61. 7. Sariroh, M. Pengaruh Media Terhadap Perkembangan Remaja. Diambil kembali dari Dampak Media Sosial Terhadap Perkembangan Remaja. 2016. 8. Cheak, A.P.C., Goh, G.G.G. & Chin, T.S., Online social networking addiction:Exploring its relationship with social networking dependency and mood modification among undergraduates in Malaysia. In Proceedings of the International Conference on Management Economics and Finance. Sarawak, 2012. Global Research. 9. Turel, O. & Serenko, A., The benefits and dangers of enjoyment with social networking websites. European Journal of Information Systems, 2012, (21), pp.512-28. 10. Echeburu ́a, E., Overuse of Social Networking. In M.M. Peter, ed. Principles of Addiction. San Diego: Elsevier. 2013. pp.911-20. 11. Elphinston, R.A. & Noller, P., Time to face it! Facebook intrusion and the implications



for



romantic



jealousy



and



relationship



satisfaction.



Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking, 2011, (14), pp.631-35. 12. Asmaya, F. Pengaruh Penggunaan Media Sosial Facebook Terhadap Perilaku Prososial di Kenegarian Kota Bangun. 2015. Vol 2 No 2. 13. Andreassen, C. S., Griffiths, M. D., Gjertsen, S. R., Krossbakken, E., Kvam, S., & Pallesen, S. The relationships between behavioral addictions and the five factor model of personality. Journal of Behavioral Addictions, 2013, 2(2), 90–99.



26



14. Griffiths, M.D., Kuss, J. & Demetrovics, Z., Social Networking Addiction: An Overview of Preliminary Findings. In K.P. Rosenberg & L.C. Feder, eds. Behavioral Addictions: Criteria, Evidence, and Treatment. London: Elsevier Inc. 2014. pp.119-41. 15. Gupta, V., Arora, S. & Gupta, M., Computer-related illnesses and Facebook syndrome: what are they and how do we tackle them? Med Update, 2013. (32), pp.676-9. 16. Subekti, R. Diambil kembali dari Manfaat Komunikasi Interpersonal dalam Proses Pembelajaran. 2015. 17. Kuss, D.J. & Griffiths, M.D., Online Social Networking and Addiction—A Review of thePsychological Literature. Int. J. Environ. Res. Public Health, 2011, (8), pp.3528-52. 18. Badan



Pusat



Statistik,



Statistik



Indonesia



Statistical



Yearbook



of



Indonesia,https://www.bps.go.id/publication/2018/07/03/5a963c1ea9b0fed64 97d0845/ statistik-indonesia-2018.html. 2018. 19. Machold, C. et al., Social networking patterns/hazards among teenagers. Irish Medical Journal, 2012, (105), pp.151-52. 20. Meena, P.S., Mittal, P.K. & Solanki, R.K., Problematic use of social networking sites among urban going teenagers. Ind Psychiatry J, 2012, 2(21), pp.94-97. 21. Van den Eijnden, RJ, Lemmens, JS, Valkenburg, PM, ‘The Social Media Disorder Scale : Validity and psychometric properties’, Computers in Human Behavior, 2016, 61, pp.478-487



27



22. Winkler, A. et al., Treatment of internet addiction: a meta-analysis. Clin Psychol Rev, 2013, (33), pp.317-29. 23. Miller, W. & Rollnick, S., Motivational interviewing: preparing people to change. 3rd ed. New York: Guikford Press. 2012. 24. Shonin, E., Van Gordon, W. & Griffiths, M.D., Practical tips for teaching mindfulness to children and adolescents in school-based setting. Educ Health, 2014, (32), pp.69–72. 25. Khoury JM, Neves MD, Roque MA, Freitas AA, da Costa MR, Garcia FD. Smartphone and Facebook addictions share common risk and prognostic factors in a sample of undergraduate students. Trends in psychiatry and psychotherapy. 2019 Oct;41(4), pp.358-68. 26. Montag C, Markowetz A, Blaszkiewicz K, Andone I, Lachmann B, Sariyska R, Trendafilov B, Eibes M, Kolb J, Reuter M, Weber B. Facebook usage on smartphones and gray matter volume of the nucleus accumbens. Behavioural brain research. 2017 Jun 30;329:221-8.



28