Referat Tinea [PDF]

  • Author / Uploaded
  • vidia
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB 1 PENDAHULUAN



Dermatofitosis atau Tinea didefinisikan sebagai penyakit jamur superfisial pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan golongan jamur dermatofita. Hingga kini dikenal lebih dari sekitar 40 spesies dermatofita, yang memiliki sifat mencerna keratin Dermatomikosis cukup banyak diderita penduduk negara tropis. Faktor yang memegang peranan terjadinya dermatomikosis ialah iklim panas, hygiene yang masih kurang, adanya sumber penularan di sekitar, penggunaan antibiotic, steroid dan sitostatika yang meningkat, adanya penyakit kronis dan penyakit sistemik lainnya. Meskipun penyakit ini tidak fatal, namun karena sering bersifat kronik dan rekuren, serta tidak sedikit yang resisten dengan obat antijamur, maka penyakit dapat menyebabkan gangguan kenyamanan dan menurunkan kualitas hidup bagi penderitanya. Dermatofitosis merupakan satu penyakit kulit yang masih merupakan masalah di Indonesia. Diperkirakan insidens penyakit ini cukup tinggi menyerang masyarakat Indonesia tanpa memandang golongan tertentu. Penggunaan obat antifungal menjadi hal penting untuk diketahui oleh tenaga medis, sehingga memerlukan informasi terapi yang tepat terhadap setiap penyakit dermatofita. Oleh karena itu penulis menulis tulisan ini dengan tujuan untuk menambah pengetahuan mengenai Tinea atau Dermatofitosis sehinggaetul tentang penyakit ini. Karena terkadang masih sulit dan keliru dalam mendiagnosa, mengingat banyak penyakit lain yang mirip dengan penyakit ini



1



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Definisi Dermatofitosis Dermatofitosis adalah penyakit jamur superfisial pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan golongan jamur dermatofita.1,2 Jamur ini dapat menginvasi seluruh lapisan stratum korneum dan menghasilkan gejala melalui aktivasi respons imun pejamu.1



2.2 Sinonim Tinea, ringworm, kurap, teigne, herpes sirsinata1



2.3 Etiologi Dermatofita ialah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur ini mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita termasuk kelas fungi imperfekti, yang terbagi dalam 3 genus, yaitu Mirosporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Selain sifat keratofilik masih banyak sifat yang sama di antara dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis, antigenik, kebutuhan zat makanan untuk pertumbuhannya, dan penyebab penyakit.1 Tiga dermatofita yang menyebabkan infeksi tinea (ringworm) : • Trichophyton : infeksi kulit, rambut dan kuku • Microsporum : infeksi kulit dan kuku • Epidermophyton : infeksi kulit dan kuku Untuk kepentingan klinis dan epidemiologis, dermatofita yang menginfeksi manusia dibagi berdasarkan tempat hidupnya/ekologi, yaitu : 



Anthropophilic : transmisi dari individu ke individu melalui fomites dan kotak langsung, misal : T.Rubrum 3







Zoophilic : transmisi hewan ke binatang oleh kontak langsung atau fomites, misal : M.Canis 3







Geophilic : transmisi dari lingkungan sekitar/tanah, misal : M.Gypseum 3 Organisme geofilik berasal dari tanah dan secara sporadic menginfeksi manusia, biasanya



melalui kontak langsung dengan tanah. Infeksi ini biasanya disebarkan melalui spora, yang dapat 2



hidup bertahun-tahun. Strain Microsporum gypseum, merupakan pathogen geofilik paling banyak dikultur dari manusia, dan lebih virulen dibandingkan fungi lainnya yang berasal dari tanah.6 Organisme zoofilik biasanya ditemukan pada binatang, tetapi dapat ditransmisikan ke manusia. Hewan domestic dan hewan peliharaan merupakan sumber infeksi di area urban (misalnya M. canis pada anjing dan kucing). Transmisi dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan atau secara tidak langsung ketika bulu binatang terbawa di baju atau terkontaminasi pada bangunan atau makanan. Daerah yang terpajan seperti kulit kepala, janggut, wajah, dan lengan merupakan tempat yang biasanya terinfeksi. Dermatofitosis inflamatori umumnya diproduksi oleh dermatofit zoofilik. 6 Organisme antropofilik telah beradaptasi dengan manusia sebagai host. Tidak seperti infeksi geofilik dan zoofilik yang sporadic, infeksi antropofilik lebih sering terjadi epidemik. Fungi tersebut ditransmisikan dari individu ke individu melalui kontrak langsung atau fomites. Infeksi spesies ini dapat bervariasi dari asimptomatik sampai dengan inflamasi yang jelas bergantung pada virulensi dan kerentanan host. 6 Dermatofita menginvasi hanya keratin, dan inflamasi disebabkan produk metabolik fungus atau untuk memperlambat hipersensitivitas. Secara umum, fungi zoophilic menyebabkan inflamasi lebih berat dibandingkan antropofilik dengan lesi lebih dalam dibandingkan infeksi fungal akibat spesies antropofilik. Beberapa lesi memiliki batas menonjol dengan bagian tengah lebih tenang dan berbentuk anular atau lesi berbentuk cincin sehingga diberi istilah “ringworm” 4,5



2.4 Epidemiologi



2.4.1 Usia Anak-anak memiliki infeksi kulit kepala (Trichophyton, Microsporum). Remaja dan dewasa memiliki infeksi intertriginosa. Insiden onikomikosis berhubungan dengan usia; di Amerika Serikat, hampir 50% individu di atas 75 tahun memiliki onikomikosis. Anak-anak di bawah usia pubertas rentan terhadap tinea capitis.3 Di banyak daerah jamur yang terisolasi umumnya disebabkan oleh antrophophilic Trichophyton tonsurans, tapi jamur dari hewan (sapi, anjing, dan kucing) dapat juga terjadi. Infeksi dari anjing dan kucing dengan jamur zoofilik (Microsporum canis) pada individu dengan imunitas kurang dapat terjadi pada semua usia. Dewasa



3



biasanya lebih sering menderita tinea pedis. Tinea cruris di lipat paha terutama pada laki-laki, dan Infeksi jamur kuku (onikomikosis) adalah sangat umum pada orang tua.4



2.4.2 Demografi Orang dewasa kulit hitam memiliki insiden lebih rendah pada dermatofitosis. Tinea kapitis lebih sering terdapat pada anak-anak kulit hitam. 3



2.4.3 Geografi Beberapa spesies jamur memiliki distribusi tersendiri, dan beberapa spesies hanya terdapat di beberapa tempat. 3



2.5 Faktor Predisposisi - Atopik : defisiensi cell mediated immune terhadap T. rubrum 3 - Imunosupresi topikal dengan aplikasi glukokortikoid, yang kadang dapat menyebabkan Tinea inkognito 3 - Immunokompromais sistemik memiliki insiden lebih tinggi dan lebih rentan dermatofitosis 3



2.6 Patogenesis Dermatofit mensintesis keratinase yang mencerna keratin dan mempertahankan keberadaan jamur di struktur keratin.1 Kemampuan dermatofit untuk membentuk perlekatan molecular dengan keratin dan menggunakan keratin sebagai sumber nutrisi membuat dermatofit dapat berkolonisasi di jaringan berkeratin, termasuk stratum korneum dari epidermis, rambut, dan juga kuku.6 Dermatofit dapat bertahan pada stratum korneum yang menyediakan sumber nutrisi untuk dermatofit dan pertumbuhan fungi. Infeksi dermatofit terbagi dalam 3 tahapan : adherens dengan keratinosit, penetrasi melalui dan antara sel, dan perkembangan respons host.6 Adherens. Fungi superfisial harus bertahan untuk mempertahankan arthrokonidia, elemen infeksium, untuk adherens dengan jaringan berkeratin. Fungi tersebut harus tahan terhadap efek sinar ultraviolet, temperatur dan kelembaban yang bervariasi, kompetisi dengan flora normal, dan sphingosine yang diproduksi oleh keratinosit. Asam lemak diproduksi oleh kelenjar sebasea 4



berperan sebagai fungsistatik. Keberadaan asam lemak ini pada anak postpubertal berperan pada penurunan dramatis infeksi tinea kapitis setelah pubertas. 6 Penetrasi. Setelah adherensi, spora harus tumbuh berkembang dan berpenetrasi ke stratum korneum lebih cepat dibandingkan deskuamasi. Penetrasi dibantuk oleh sekresi proteinase, lipase, dan enzim musinolitik, yang juga menyediakan nutrient untuk fungi. Trauma dan maserasi juga memfasilitasi penetrasi dan merupakan faktor penting dalam pathogenesis tinea pedis. 6 Perkembangan respons host. Derajat inflamasi dipengaruhi oleh status imunitas pasiendan organisme yang berhubungan. Deteksi imun dan kemotaksis dari sel inflamatori dapat terjadi melalui beberapa mekanisme. Pembentukan antibody tidak terlihat protektif pada infeksi dermatofit. Pada pasien tanpa pajanan sebelumnya terhadap dermatofit, infeksi primer menyebabkan infelamasi ringan. Infeksi fungi memproduksi eritema ringan dan sisik, sebagai hasil peningkatan turnover keratinosit. 6 Imunitas seluler dan aktivitas leukosit polimorfonuklear antimikroba membatasi dermatofit patogen. Faktor yang mendukung infeksi dermatofita antara lain atopi, topikal dan glukokortikoid sistemik, ichthyosis, penyakit pembuluh darah kolagen. Faktor-faktor lokal yang turut mendukung infeksi dermatofit seperti berkeringat, oklusi, paparan kerja, lokasi (geografis) , kelembaban tinggi (tropis atau iklim semi tropik).3 Presentasi klinis tinea tergantung pada beberapa faktor diantaranya lokasi infeksi, respon kekebalan dari individu, dan spesies jamur. Dermatofit (misalnya, T. rubrum) yang memicu respon inflamasi lebih ringan, lebih mampu membentuk infeksi kronis. Organisme seperti Microsporum canis menyebabkan infeksi akut yang berhubungan dengan respon inflamasi cepat dan resolusi spontan. Pada beberapa individu, infeksi dapat melibatkan dermis, seperti pada kerion dan granuloma Majocchi. 3



2.7 Gejala Klinis Dermatofitosis pada kulit tidak berambut mempunyai morfologi khas. Penderita merasa gatal dan kelainan berbatas tegas, terdiri atas macam-macam efloresensi kulit (polimorf). Bagian tepi lesi lebih aktif (lebih jelas tanda peradangan) daripada tengah. Gambaran klinis dermatofitosis yang bervariasi tidak hanya bergantung pada spesies penyebab dan system imun pejamu namun juga pada adanya keterlibatan folikel rambut.1



5



2.8 Klasifikasi Terminologi “tinea” atau ringworn secara tepat menggambarkan dermato-mikosis, dan diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi infeksi : 1,2 



Tinea kapitis : Dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala







Tinea barbe : Dermatofitosis pada dagu dan jenggot







Tinea kruris : Dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong, dan kadangkadang sampai perut bawah







Tinea pedis et manum : Dermatofitosis pada kaki dan tangan







Tinea unguinum : Dermatofitosis pada kuku jari tangan dan kaki







Tinea korporis : Dermatofitosis pada kulit glabarosa pada bagian lain yang tidak termasuk bentuk 5 tinea di atas



Selain 6 bentuk tinea di atas, terdapat beberapa istilah yang memiliki arti khusus, yang masih dianggap sebagai tinea korporis :1 



Tinea imbrikata : Dermatofitosis dengan susunan skuama yang konsentris dan disebabkan Trichophyton concentricum







Tinea fabosa / favus : dermatofitosis yang terutama disebabkan Tricophyton schoenleini; secara klinis antara lain terbentuk skutula dan berbagai seperti tikus (mousy odor)







Tinea fascialis, tinea aksilaris, yang juga menunjukkan daerah kelainan







Tinea sirsinata, arkuata yang merupakan penamaan deskriptif morfologis



2.8.1 Tinea Kapitis (Ringworm of The Scalp) Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala yang disebabkan oleh dermatofita. Kelainan ini dapat ditandai dengan lesi bersisik, kemerahan, alopesia dan kadang terjadi gambaran klinis yang lebih berat yang disebut kerion.1



6



Epidemiologi Biasanya terjadi pada anak usia 3-14 tahun. Jarang ditemukan pada orang dewasa.6 Lebih sering terjadi pada orang kulit hitam dibandingkan orang kulit putih di Amerika Serikat.3 Prevalensi terbesar terjadi di Afrika, Asia, dan Eropa Tenggara.7



Etiologi Etiologi bervariasi antar negara dan antar daerah.3,7 Tinea kapitis disebabkan spesies Trichophyton dan Microsporum.7 Infeksi bisa menjadi epidemic di sekolah dan institusi, terutama pada daerah padat. Amerika Serikat dan Eropa Barat : 90% tinea kapitis disebabkan oleh T. tonsurans, lebih jarang M.Canis. Di Eropa timur dan selatan, Afrika utara : T. violaceum3



Transmisi Transmisi antar manusia, hewan-manusia, melalui fomites. Spora terdapat pada karier asimptomatik seperti binatang..3 Transmisi meningkat dengan hygiene diri yang lebih buruk, lingkungan padat, dan status sosioekonomi rendah.



Patogenesis Rambut kulit kepala menangkap fungi dari lingkungan atau fomites. Trauma dapat mendukung inokulasi fungi. Dermatofit awalnya menyerang stratum korneum kulit kepala, yang mungkin diikuti oleh infeksi batang rambut. Kemudian menyebar ke folikel rambut lainnya3 Menurut Elewski (1996) jamur penyebab tinea kapitis secara invivo hidup pada keratin yang terbentuk lengkap pada bagian rambut yang sudah mati. Jamur menyebabkan keratolisis karena adanya enzim keratinase. Sementara itu, terjadinya keratolisis masih belum diketahui.7 Rockman (1990) mengemukakan bahwa insiden tinea kapitis pada anak prepubertas terjadi karena menurunnya asam lemak dalam sebum. Infeksi dimulai dengan invasi dermatofita melalui perifolikuler stratum korneum, hifa tumbuh ke dalam folikel dan berkembang dengan membentuk rangkaian spora dan berhenti tiba-tiba pada pertemuan antar sel yang berinti dan yang mempunyai keratin tebal. 7 Pada ujung hifa ditemui Adamson’s Fringe bagian luar intrapilari hifa membelah membentuk rantai spora ektotrik. Selama pertumbuhan rambut, jamur ikut tumbuh kearah batang



7



rambut yang menyebabkan patahnya rambut dan terjadi alopesia. Hifa tidak ditemukan pada rambut yang terdapat di atas kulit. 7



Gambar 2.1 Patofisiologi Tinea Capitis3



Klasifikasi Di klinik tinea kapitis dapat dilihat sebagai 3 bentuk yang jelas & bergantung pada etiologinya1,2 Tabel 2.1 Etiologi Tinea Kapitis6



Noninflammatory, human, atau epidemic type (“Grey patch”) Grey patch ringworm merupakan tinea kapitis yang biasanya disebabkan oleh genus Microsporum dan sering ditemukan pada anak-anak. Penyakit mulai dengan papul merah kecil di sekita rambut. Palpul ini melebar dan membentuk bercak, yang menjadi pucat dan bersisik. 8



Keluhan penderita adalah rasa gatal. Inflamasi minimal, warna rambut pada daerah yang terkena menjadi abu-abu dan tidak berkilat lagi. Rambut mudah patah di atas permukaan scalp dan terlepas dari akarnya, sehingga mudah dicabut dengan pinset tanpa rasa nyeri. Semua rambut di daerah tersebut terserang oleh jamur, sehingga dapat terbentuk alopesia setempat. 1,2 Tempat-tempat ini terlihat sebagai grey patch.. Pada pemeriksaan dengan lampu wood dapat dilihat fluoresensi hijau kekuning-kuningan pada rambut yang sakit melampauai batas-batas grey patch tersebut. Pada kasus-kasus tanpa keluhan , pemeriksaan dengan lampu Wood banyak membantu diagnosis.1,2



Gambar 2.2 Tinea Capitis : Gray Patch3



Inflammatory type, Kerion Kerion adalah reaksi peradangan yang berat pada tinea kapitis, berupa pembengkakan yang menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang yang padat di sekitarnya. Biasa disebabkan oleh pathogen zoofilik atau geofilik. Spektrum inflamasi berkisar mulai dari folikulitis pustular sampai kerion. Lesi biasanya gatal dapat disertai nyeri ,limfadenopati servikal posterior, demam, dan lesi lain pada kulit glabrosa.2 Bila penyebabnya Microsporum canis dan Microspoum gypseum, pembentukan kerion ini lebih sering dilihat, agak kurang bila penyebabnya, dan sedikit sekali bila penyebabnya adalah Tirchophyton violaceum. Kelainan ini dapat menimbulkan jaringan parut dan berakibat alopesia yang menetap. Jaringan parut yang menonjol kadang dapat terbentuk.1



9



Gambar 2.3 Tinea Kapitis : Kerion3



Black Dot Black dot ringworm, terutama disebabkan oleh organisme endotriks antropofilik ; Trichophyton tonsurans dan Trichophyton violaceum. Pada permulaan penyakit, gambaran klinisnya meneyerupai kelainan yang disebabkan oleh genus Microsporum. Rambut yang terkena infeksi patah, tepat pada muara folikel pada permukaan skalp, dan yang tertinggal adalah ujung rambut yang penuh spora, meninggalkan kumpulan titik hitam pada daerah alopesia (black dot). Kadang masih terdapat sisa rambut normal di antara alopesia.1,2



Gambar 2.4 Tinea Kapitis : Black Dot3 Tinea favosa / favus Tinea favosa / favus (Latin : Honeycomb) merupakan infeksi dermatofit kronik pada kulit kepala, kulit tak berambut, dan atau kuku yang dikarakteristikan oleh krusta yang berbentuk 10



mangkuk berwarna merah kuning dan berkembang menjadi berwarna kuning kecoklatan(skutula). Pada pengangkatan krusta terlihat dasar yang cekung, merah, basah, dan berbau seperti tikus (mousy odor). Pada bentuk favus dapat terjadi skar, atrofi, dan alopesia permanen. 7 Favus biasanya terjadi sebelum remaja sampai dengan dewasa. Berhubungan dengan malnutrisi dan hygiene yang buruk. T.schoenleinii merupakan penyebab terbanyak favus. 6 Favus pada tahap awal (biasanya 3 minggu awal infeksi) dikarakteristikan oleh eritema folikular dengan sedikit sisik perifolikular. Invasi prograsif meluas ke folikel, awalnya menghasilkan papul kuning kemerahan, kemudian krusta kuning konkaf seringkali terdapat di antara rambut yang kuring dan kusam. Skutula dapat mencapai diameter 1 cm, meliputi rambut sekitar dan bersatu dengan skutula lain untuk membentuk anyaman yang besar dengan bau cheese like / musky odor. Setelah beberapa tahun, lesi bertambah parah menuju ke perifer, dan menghasilkan alopesia atrofi.6



Gambar 2.5 Tinea Kapitis : Favus6 Pemeriksaan Penunjang 



Lampu Wood’s. Dilakukan pada ruang gelap. M.canis, M.audoinii, M.distortum, M.ferrugineum memberikan fluoresensi putih kebiruan, T.tonsurans tidak nampak pada fluoresensi3,7







Mikroskopi langsung. Sisik kulit mengandung hifa dan artrospora.3 Bahan diambil dari kerokan kulit kepala dan pencabutan rambut kepala dan dilakukan pemeriksaan dengan 11



KOH 10-20%. Pada ektotrik terlihat artrospora yang kecil di sekitar batang rambut dan pada infeksi endotrik terlihat rantai artrospora di dalam batang rambut. Pada skuama kulit kepala dijumpai hifa dan artrospora.7 



Kultur fungi. Tujuannya untuk menentukan spesies dermatofita penyebab tinea kapitis. Media kultur yang biasa dipakai agar Sabouraud’s.7 Pertumbuhan dermatofit umumnya terlihat dalam 10-14 hari.3







Kultur bakteri. Menyingkirkan infeksi bakteri, biasanya S.aureus3



Diagnosis Diagnosis tinea kapitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinis, pemeriksaan KOH dan kultur jamur, serta pemeriksaan lampu Wood. 7



Diagnosis Banding Dermatitis seboroika, psoriasis, alopesia areata, discoid lupus eritematosus, trikotilomania, folikulitis.7



Penatalaksanaan Pengobatan oral adalah yang paling efektif, walaupun pada saat ini cukup banuak obat topikal dari derivate imidazole yang memiliki efek fungistatik 1. Griseofulvin Masih merupakan obat pilihan karena keamanan dan dapat ditoleransi baik oleh anak. Dalam bentuk ultramicrosize diberikan dengan dosis tunggal 10-15 mg/kgBB, sedangkan microsize 15-25 mg/kgBB. Lama pengobatan bergantung keadaan klinis dan mikologik, pasien minimal 6-8 minggu sampai 3-4 bulan. 7 2. Ketokonazol Terutama efektif pada tinea kapitis yang disebabkan Trichophyton. Dosis yang diberikan 3,3-6,6 mg/kgBB selama 3-6 minggu. Ketokonazol bersifat hepatotoksik sehingga bukan merupakan obat pilihan tinea kapitis. 7 3. Itrakonazol Sangat efektif untuk tinea kapitis baik spesies Microsporum maupun Trichophyton, dengan dosis 100 mg/hari selama 5 minggu (3-5 mg/kgBB). 7 12



4. Flukonazol Efektif untuk tinea kapitis, tidak ada efek gastrointestinal, keamanannya tinggi dan ditoleransi dengan baik.7 5. Terbinafine Diberikan dengan dosis 62.5-250 mg/hari selama 6 minggu, umumnya cukup dengan dosis 3-6 mg/kgbb/hari selama 4 minggu. 7



Pengobatan Tambahan Anti jamur dapat diberikan pada penderita dan keluarganya yaitu berupa sampo Ketokonazol 2% atau selenium sulfide 1,5%, diberikan paling sedikit 3x/minggu dan didiamkan pada kulit kepala paling sedikit 5 menit. Pencegahan penularan dilakukan dengan menghindari pemakaian bersama topi, telepon, pakaian dan alat-alat rambut. 7 Antibiotic sistemik kadang digunakan pada tipe kerion. Kortikosteroid oral diberikan juga pada tipe kerion dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB selama 2-4 minggu, untuk mengurangi nyeri, bengkak, dan peradangan.7



Prognosis Kronik dan bila tidak diterapi dapat menjadi kerion dan favus, terutama jika infeksi sekunder dengan S.aureus, dapat menghasilkan alopesia dengan skar. 3



Komplikasi Alopesia menetap, infeksi bakteri7



2.8.2 Tinea Fascialis



Manifestasi Klinis Makula sampai plak dengan ukuran bervariasi, peninggian tepi dan regresi sentral (central healing). Sisik umumnya minimal. Warna merah muda sampai dengan merah; pada pasien kulit hitam terjadi hiperpigmentasi. Area pada wajah umumnya tidak simetris.3



13



Gambar 2.6 Tinea Facialis 3



Differensial Diagnosis Dermatitis seboroik, dermatitis kontak, eritema migrans, lupus eritematosus, erupsi obat3



2.8.3 Tinea korporis (tinea sirsinata,tinea glabrosa, Scherende Flechte, kurap, Herpes sircine trichophytique) Tinea korporis merupakan dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin).



Etiopatogenesis Tinea korporis dapat disebabkan oleh berbagai spesies Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton. Variasi penyebab dapat ditemukan berdasar spesies yang endemis di daerah tertentu. Tinea korporis biasanya terjadi setelah kontak dengan individu atau dengan binatang peliharaan yang terinfeksi, tetapi kadang terjadi karena kontak dengan mamalia liar atau tanah yang terkontaminasi. Penyebaran juga mungkin terjadi melalui benda misalnya pakaian, perabot, dan sebagainya. Berbagai keadaan seperti suhu panas dan kelembaban merupakan faktor predisposisi.7



Manifestasi Klinis Keluhan gatal terutama bila berkeringat. Kelainan yang dilihat merupakan lesi polisiklik, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang, penyembuhan di tengah (central healing). Tepi aktif karena tanda randang lebih jelas.Kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya 14



merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Bentuk dengan tanda radang yang lebih nyata, lebih sering terlihat pada anak-anak karena umumnya mereka mendapat infeksi baru pertama kali.1,2 Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang akut biasanya tidak terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada sela paha. Dalam hal ini disebut tinea corporis et cruris atau sebaliknya tinea cruris et corporis. Bentuk menahun yang disebabkan oleh Trichophyton rubrum biasanya dilihat bersama-sama dengan tinea unguium.1 Berat ringan bentuk klinis yang tampak, tidak bergantung pada spesies jamur penyebab, akan tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh tingkat kebersihan, umur, dan ketahanan penderita sendiri.1



Gambar 2.7 Tinea Korporis Annular6



Gambar 2.8 Tinea Korporis Dengan Konfigurasi “Ringworm-Like6



15



Gambar 2.9 Tinea Korporis : Inflammatory3



Differensial Diagnosis Dermatitis kontak, dermatitis numularis, dermatitis seboroik, pitriasis rosea, psoriasis.7



Pemeriksaan Penunjang Bahan pemeriksaan mikologi diambil dengan mengerok tepi lesi yang meninggi atau aktif. Pada lesi berbentuk vesikel, seluruh atapnya harus diambil untuk bahan pemeriksaan. Pemeriksaan mikroskopik secara langsung menunjukkan hifa yang bercabang atau artrospora. Isolasi agen penyebab pada media biakan akan dapat menentukan spesies jamur yang terlibat.7



Tatalaksana Antijamur topikal merupakan terapi pilihan untuk lesi terbatas dan dapat dijangkau, seperti preparat imidazole dan alilamin. Obat ini digunakan pagi dan sore hari sekurang-kurangnya 2-4 minggu. Terapi dioleskan sampai 3 cm di luar batas lesi dan diteruskan sekurangnya 2 minggu setelah lesi menyembuh. 7 Indikasi terapi oral jika lesi luas atau gagal dengan pengobatan topikal, obat yang digunakan antara lain : 7 



Griseofulvin microsized 500-1000 mg.hari selama 2-6 minggu







Ketokonazol 200mg/hari selama 4 minggu







Itrakonazol 100 mg/hari selama 2 minggu atau 200 mg/hari selama 1 minggu







Terbinafine 250 mg/hari selama 1-2 minggu.



16



2.8.4 Tinea Kruris (Eczema marginatum, dhobie itch, jockey itch, ringworm of the groin) Tinea kruris adalah dermatofitosis pada inguinal, dapat meluas ke suprapubis, daerah perineum, dan sekitar anus.



Etiopatogenesis Jamur dermatofita yang sering ditemukan pada tinea kruris adalah E. floccosum, T. rubrum, T. mentagrophytes. Pria lebih sering terkena daripada wanita. Maserasi dan oklusi kulit lipat paha menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban yang memudahkan infeksi. Tinea kruris biasanya timbul akibat penjalaran infeksi dari bagian tubuh lain. Penularan juga dapat terjadi melalui kontak langsung dengan individu yagng terinfeksi atau tidak langsung melalui benda yang mengandung skuama terinfeksi, misalnya handuk.7



Manifestasi Klinis Tinea kruris sering disertai gatal dengan maserasi atau infeksi sekunder.2 Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. 1 Seringkali terdapat riwayat tinea pedis yang lama dan riwayat tinea kruris sebelumnya.3 Lesi kulit dapat terbagas pada daerah genitokrural saja, atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah atau bagian tubuh yang lain.1 Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas. Peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya. Efloresensi terdiri atas macam-macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorf). Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik



erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan.1 Pada atopic,



penggarukan kronik dapat menghasilkan perubahan sekunder menyerupai liken simplex kronikus.3 Skrotum sangat jarang menunjukkan gambaran klinis, meskipun pemeriksaan mikologis dapat positif; hal yang berbeda dengan kandidiasis yang sering menunjukkan keterlibatan klinis pada skrotum dan penis.7



17



Gambar 2.10 Tinea Cruris (Inguinalis) Akut3



Gambar 2.11 Tinea Cruris (Inguinalis) Subakut3



18



Gambar 2.12 Tinea Cruris (Inguinalis) Kronik3



Gambar 2.13 Tinea Cruris4



Differensial Diagnosis Eritrasma, kandidiasis, Psoriasis 3,7



Gambar 2.14 Eritrasma4 19



Pemeriksaan Penunjang Bahan pemeriksaan mikologi diambil dengan mengerok tepi lesi yang meninggi atau aktif. Pada lesi berbentuk vesikel, seluruh atapnya harus diambil untuk bahan pemeriksaan. Pemeriksaan mikroskopik secara langsung menunjukkan hifa yang bercabang atau artrospora. Isolasi agen penyebab pada media biasakn akan dapat menentukan spesies jamur yang terlibat.7



Tatalaksana Tatalaksana sama dengan tinea korporis 2.8.5 Tinea Pedis (Athlete’s foot, ringworm of the foot, kutu air) Tinea pedis adalah dermatofitosis pada kaki, terutama pada sela-sela jari dan telapak kaki.1



Epidemiologi Tinea Pedis Onset usia sering terjadi pada anak besar atau dewasa muda. Sering juga terjadi pada usia 20-50 tahun. Faktor predisposisi berupa cuaca panas, lembab, penggunaan sepatu tertutup, hyperhidrosis.3 Di Indonesia tinea pedis banyak dilihat pada populasi tertentu yang menggunakan sepatu tertutup dan kaos kaki, misalnya olahragawan dan anggota tentara/polisi.7



Patogenesis Infeksi dermatofit ringan disebut dermatofitosis simplex, dapat timbul pada sela jari karena lingkungan yang tertutup. Infeksi jamur akan menimbulkan kerusakan stratum korneum sehingga memungkinkan untuk tumbuhnya bakteri residen dan terjadi amserasi, rasa gatal, dan bau busuk. Infeksi campuran antara dermatofit dan bakteri disebut dermatofitosis kompleks. 7 Infeksi jamur superfisial ringan dapat berkembang menjadi lebih berat pada kelembaban tinggi dan oklusif, dan bakteri oportunistik akan berkembang sehingga jamur akan sulit ditemukan. Syarat terjadinya tinea pedis kompleks diperlukan tiga komponen, yaitu jamur, bakteri, dan suasana oklusif. 7



20



Klasifikasi Tinea Pedis Tipe Interdigital (Chronic Intertriginous Type) / Athlete’s Foot Tinea pedis yang tersering dilihat adalah bentuk interdigitalis. Di antara jari IV dan V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis.1,3 Kelainan ini dapat meluas ke bawah jari (subdigital) dan juga ke sela jari yang lain. Oleh karena daerah ini lembab, maka sering dilihat maserasi berupa kulit putih dan rapuh. Bila daerah kulit yang mati ini dibersihkan, maka akan terlihat kulit baru, yang pada umumnya juga telah diserang oleh jamur.1 Bentuk klinis ini dapat berlangsung bertahun-tahun dengan menimbulkan sedikit keluhan atau tanpa keluhan sama sekali. Pada suatu ketika kelainan ini dapat disertai dengan infeksi sekunder bakteri sehingga terjadi selulitis, limfangitis, limfadenitis, dan erisipelas yang disertai gejala-gejala umum.1 Oklusi dan ko-infeksi dengan bakteri segera menyebabkan maserasi, pruritus, dan malodor (dermatofitosis kompleks atau athlete’s foot).2



Tipe interdigital terbagi menjadi 2, yaitu kering bersisik (Gambar 2.15) dan maserasi, bersisik, fisura pada sela jari kaki (Gambar 2.16 )



Gambar 2.15 Tinea Pedis : Interdigital, kering bersisik3



21



Gambar 2.16 Tinea Pedis : Interdigital, maserasi3



Tipe Hiperkeratotik Kronik / Moccasin Foot Bentuk lain ialah moccasin foot. Pada seluruh kaki, dari telapak kaki, tepi sampai punggung kaki terlihat kulit menebal dan bersisik; eritema biasanya ringan dan terutama terlihat pada bagian tepi lesi. Dapat timbul sedikit vesikel, meninggalkan skuama kolaret dengan diameter kurang dari 2 mm.2 Bersifat kronik dan sering resisten pada pengobatan. Di bagian tepi lesi dapat pula dilihat papul dan kadang-kadang vesikel.1 Tipe Moccasin dapat terjadi pada salah satu maupun kedua kaki; keterlibatan kaki bilateral lebih umum ditemukan.3



Gambar 2.17 Tinea Pedis : Tipe Moccasin3



22



Tipe Vesikobulosa Pada bentuk subakut terlihat vesikel, vesikopustul, dan kadang bula. Kelainan ini dapat mulai pada daerah sela jari, kemudian meluas ke punggung kaki atau telapak kaki. Isi vesikel berupa cairan jernih yang kental. Setelah pecah, vesikel meninggalkan sisik berbentuk lingkaran yang disebut koleret. Infeksi sekunder oleh bakteri juga dapat terjadi.1 Pus biasanya mengindikasikan infeksi sekunder dengan S. aureus.3 Jamur terdapat pada bagian atap vesikel. Untuk menemukannya, sebaikanya diambil atap vesikel atau bula untuk diperiksa seara sediaan langsung atau untuk dibiak, akan ditemukan hifa.1,3 Jarang dilaporkan pada anak-anak.2



Tipe Ulseratif Akut Terjadi ko-infeksi dengan bakteri gram negative menyebabkan vesikopustul dan daerah luas dengan ulserasi purulent pada permukaan plantar. Sering diikuti selulitis, limfangitis, limfadenopati, dan demam.2



Gambar 2.18 Tinea Pedis : Tipe Bulosa dan Ulseratif3 Tinea pedis banyak terlihat pada orang yang dalam kehidupan sehari-hari banyak bersepatu tertutup disertai perawatan kaki yang buruk dan para pekerja dengan kaki yang selalu atau sering basah. Penderita biasanya orang dewasa.3



Differensial Diagnosis 



Tipe Interdigital : Eritrasma, keratolisis3







Tipe Moccasin : Psoriasis, dermatitis eksematosus (dishidrotik, atopic, kontak alergi), keratolisis3 23







Tipe Inflamatory / bulosa : Impetigo bulosa, dermatitis kontak alergi, eksema dishidrotik, penyakit bulosa3



Pemeriksaan Penunjang 



Mikroskopi dengan sediaan langsung. Pada tipe bulosa, pemeriksaan dari atap bula untuk mendeteksi adanya hifa yang mengalami maserasi.3







Lampu Wood. Fluoresensi negative biasanya menyingkirkan eritrasma pada infeksi interdigital. Eritrasma dan tinea pedis interdigital dapat terjadi bersamaan3







Kultur. Dermatofit dapat diisolasi pada 11% sela jari yang terlihat normal dan 31% dari sela jari. Candida spp dapat menjadi kopatogen di sela jari. Pada individu dnegan maserasi interdigital, sering ditemukan S.aureus, P.aeruginosa, dan diphtheroids.3



Diagnosis Diagnosis dengan adanya temuan hifa pada mikroskopi direk, atau isolasi dermatofit pada kultur.3 Diagnosis dermatofitosis biasanya ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, pemeriksaan sediaan langsung dan biakan. Berbeda dengan tinea korporis dan tinea kruris, diagnosis tinea pedis sulit karena pemeriksaan kerokan kulit dan kultur sering tidak ditemukan jamur.7 Adanya penyakit kulit yang menyerupai tinea pedis, dapat mempersulit diagnosis tinea pedis. Hal ini karena tinea pedis yang disertai peradangan, hifa sulit ditemukan pada pemeriksaan mikroskopik. Dapat disimpulkan bahwa bakteri turut memegang peranan pada gambaran klinik dan gejala tinea pedis. 7



Tatalaksana Umum Menghindari dan menghilangkan faktor predisposisi karena penyakit ini sering rekuren. Kaki harus bersih dan kering, teruptama sesudah mandi dapat diberikan bedan dengan atau tanpa anti jamur Khusus Pengobatan tinea pedis dengan peradangan akut yang biasanya karena infeksi sekunder oleh bakteri dapat diberi antibiotic sistemik seperti eritromisin atau penisilin semisintetik. 24



Pengobatan lokal berupa kompres/rendam dalam larutan kalium permanganate 1/4000 atau larutan karbon natrikus.7 Obat antijamur topikal sukar menembus kulit sehingga pada tinea pedis papuloskuamosa dengan hipokeratosis, salap Whitfield digunakan setelah kaki direndam dalam kalium permanganate. Obat topikal baru yaitu Ketokonazol 2% telah dicoba dan memberi respons klinik baik pada semua tipe tinea pedis. Selain diberikan obat topikal anti jamur dapat pula diberikan obat peroral bila lesi luas atau menyeluruh dan kronis residif. 7 Pengobatan farmakologik tinea pedis bervariasi bergantung pada tipe dan keparahan infeksi. bentuk vesikulobulosa dan interdigitalis memiliki respon baik terhadap anti jamur topikal. Oleh karena terdapat infeksi campuran, derivate imidazole topikal sering dianjurkan karena aktif terhadap dermatofit yang sering terlibat dalam tinea pedis, semikian juga terhadap beberapa ragi, jamur saprofit, dan bakteri gram positif. Obat ini digunakan 2 kali per hari minimal selama 2minggu. Ketokonazol topikal juga efektif terhadap tinea pedis. 7 Penggunaan bedak antijamur yang ditaburkan pada kaki dan dalam sepatu, serta kaus kaki dapat mengurangi pertumbuhan jamur. Tindakan nonfarmakologi yang penting ialah pencucian kaki setiap hari, diikuti dengan pengeringan yang baik. 7



Prognosis Cenderung menjadi kronik. Dapat menjadi port d’entrée infeksi jaringan lunak, terutama pada stasis vena pada pasien. 3



2.8.6 Tinea Manum Tinea manum adalah dermatofitosis pada salah satu atau dua tangan.



Etiologi Penyebab tersering golongan jamur antropofilik golongan T. rubrum, T. mentagrophytes. Golongan zoofilik antara lain M.canis sedang pada golongan geofilik adalah M.gypseum7



Epidemiologi Infeksi ini terdapat diseluruh dunia. Penularan melalui kontak dengan manusia, binatang, atau tanah baik direk maupun indirek dan dapat terjadi autoinokulasi.7 25



Faktor Predisposisi Banyak keringat dan adanya inflamasi sebelumnya, misalnya dermatitis kontak.7



Manifestasi Klinik Klinis tampak bentuk hiperkeratosis dan penebalan lipat. Semua bentuk kelainan di kaki dapat pula terjadi pada tangan.1 Keluhan biasanya berupa pruritus. Tinea manum biasanya berhubungan dengan tinea pedis dan tinea kruris. Apabila kronik, sering berhubungan dengan tinea unguium pada kuku jari tangan dan kuku jari kaki. Tinea manum umumnya unilateral, terdapat 2 bentuk : 



Dishidrotik / eksematoid : bentuk akut berupa vesikel pada tangan sisi lateral dan palmar ibu jari atau telapak tangan disertai gatal dan rasa terbakar. Dapat mengalami fase remisi dan eksaserbasi.7



Gambar 2.19 Tinea Manum3 



Hiperkeratotik : berlangsung kronik, tak pernah sembuh spontan. Bentuk sub akut/kronik, akibat vesikel yang berdeskuamasi, gambaran macula eritem ditutupi skuama tebal berwarna putih.7 Lesi kronik dapat mengenai seluruh telapak tangan dan jari disertai fisur.2



26



Gambar 2.20 Tinea Manum, Tinea Pedis, dan Onikomikosis3



Differensial Diagnosis Dishidrosis. Biasanya bilateral simetris, vesikel berkelompok pada lateral dan volar telapak tangan dan jari , tidak disertai inflamasi.



Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan sediaan langsung dengan menggunakan larutan KOH 20% untuk mencari hifa, dan biakan ditujukan untuk menentukan spesies.



Prognosis Kronik, tidak dapat sembuh secara spontan. Setelah terapi, dapat rekuren kecuali onikomikosis pada kuku jari tangan dan kaki dieradikasi. Fisura dan erosi dapat menjadi port d’entrée infeksi bakterial. 3



Tatalaksana Topikal : 7 



Krim inidazol







Krim ketokonazol







Krim terbinafine







Sertakonazol



27



Oral : 7 



Griseofulvin







Itrakonazol







Ketokonazol







Terbinafine Tinea unguium pada kuku jari tangan maupun kuku jari kaki harus dieradikasi; juga tinea



pedis. Apabila tidak dieradikasi, maka tinea manum akan kembali muncul. Agen oral yang mengeradikasi dermatofitosis pada tangan, kaki, dan kuku : Terbinafine 250 mg/hari selama 14 hari. Itrakonazole 150-200 mg/hari selama 7 hari. Fluconazole 150-200 mg/hari selama 2-4 minggu.3



2.8.7 Tinea Unguium (Dermatophytic Onychomycosis, ringworm of the nail) Tinea unguium adalah kelainan kuku yang disebabkan oleh jamur dermatofita.



Cara penularan Pada penyebab dermatofita, penularan terjadi akibat kontak langsung dengan sumber penularan, baik orang maupun binatang yang sakit, atau lingkungan yang mengandung spora jamur misalnya tempat mandi komunal. Kelainan kuku kaki dapat berawal sebagai tinea pedis atau langsung pada kuku. 7



Patogenesis Faktor predisposisi yang memudahkan terjadinya onikomikosis serupa dengan penyakit jamur superfisial lainnya, yakni kelembaban, oklusi, trauma berulang pada kuku, penurunan imunitas. Gaya hidup tertentu misalnya penggunaan kaos kaki dan sepatu tertutup terus menerus, olahraga berlebihan, penggunaan tempat mandi umum, akan memudahkan mendapat onikomikosis. 7 Penurunan imunitas dapat terjadi pada orang tua, pasien imunokompromais, penggunaan obat imunosupresan dan antibiotic jangka panjang. Pada anak-anak onikomisosis jarang ditemukan, kemungkiann dihubungkan dengan pajanan terhadap penyebab relative jarang, pertumbuhan kuku yang lebih cepat, dan prevalensi tinea pedis yang rendah. 7 28



Manifestasi Klinis Jamur menyerang melalui beberapa rute yang akan memberikan gambaran klinis bereda, tetapi pada stadium lanjut, seluruh kuku dapat rusak.7 Terdapat beberapa bentuk klinis :



Bentuk subungual distalis Bentuk ini mulai dari tepi distal atau distolateral kuku. Proses ini menjalar ke proksimal dan di bawah kuku terbentuk sisa kuku yang rapuh. Kalau proses berjalan terus, maka permukaan kuku bagian distal akan hancur dan yang terlihat hanya kuku rapuh yang menyerupai kapur.1



Gambar 2.21 Onikomikosis Subungual Distalis



Leukonikia trikofita atau lekonikia mikotika Kelainan kuku pada bentuk ini merupakan leukonikia atau keputihan di permukaan kuku yang dapat dikerok untuk dibuktikan adanua elemen jamur. Kelainan ini dihubungkan dengan Trichophyton mentagrophytes sebagai penyebabnya1



Gambar 2.22 Onikomikosis Superfisial Putih6 Bentuk subungual proksimalis Bentuk ini mulai dari pangkal kuku bagian proksimal terutama menyerang kuku dan membentuk gambaran klinis yang khas, yaitu terlihat kuku di bagian distal masih utuh, sedangkan



29



bagian proksimal rusak. Biasanya penderita tinea unguium mempunyai dermatofitosis di tempat lain yang sudah sembuh atau yang belum. Kuku kaki lebih sering diserang dari pada kuku tangan.1



Gambar 2.23 Onikomikosis Subungual Proximalis6



Gambar 2.24 Tinea Kronik pada kuku ibu jari kaki5



Diagnosis Anamnesis dan gambaran klinis umumnya sulit untuk memastikan diagnosis, apalagi onikomikosis dapat merupakan kelainan sekunder pada kelainan kuku yang telah ada sebelumnya. Oleh sebab itu pemeriksaan penunjang harus selalu dilakukan. 7



Diagnosis Banding Psoriasis (paling sering), liken planus, infeksi bacterial, dermatitis kontak, onikodistrofi traumatic, pakionikia kongenital, tumor bantalan kuku, yellow-nail syndrome.7 30



Pada psoriasis, selain kuku pada umumnya kelianan juga ditemukan pada bagian kulit yang lain. Psoriasis kuku memberi gambaran mirip onikomikosis subungual distal. Kadang-kadang gambaran nail pitting dan tanda onikolisis berupa tetesan minyak warna coklat kemerahan yang tidak ada pada onikomikosis serta keterlibatan jari kedua tangan, dapat membantu membedakannya dari onikomikosis.7



Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan adalah pemeriksaan sediaan mikroskopik langsung yang diikuti pemeriksaan biakan untuk identifikasi spesies penyebab. 7



Tatalaksana



Obat topikal Obat topikal berbentuk krim dan solusio sulit untuk penetrasi ke dalam kuku, sehingga tidak efektif untuk pengobatan onikomikosis. Obat topikal formulasi khusus dapat meningkatkan penetrasi obat ke dalam kuku diantaranya : 7 



Bifonazol-urea : kombinasi bifonazol 1% dengan urea 40% dalam bentuk salap. Ure auntuk melisiskan kuku yang rusak sehingga penetrasi obat antijamur meningkat. Kesulitan yang ditimbulkan adalah dapat terjadi iritasi kulit sekitar kuku oleh urea7







Amorolfin : merupakan derivate morfolin yang bersifat fungisidal. Diberikan dalam bentuk cat kuku konsentrasi 5%7







Siklopiroksolamin : suatu derivate piridon dengan spectrum antijamur luas, juga digunakan dalam bentuk cat kuku7



Obat sistemik Obat sistemik golongan baru yang dapat digunakan untuk pengobatan onikomikosis adalah flukonazol, itrakonazol, dan terbinafine.7



31



Terapi bedah Pengangkatan kuku dengan tindakan bedah scalpel selain menyeabkan nyeri juga memberi gejala sisa distrofi kuku. Tindakan bedah dapat dipertimbangkan bila kelainan hanya pada 1-2 kuku, bila ada kontraindikasi terhadap obat sistemik, dan pada keadaan pathogen resisten terhadap obat. Tindakan bedah tetap harus dengan kombinasi obat antijamur topical atau sistemik. Sebagai alternative lain adalah pengangkatan (avulsi) kuku dengan bedah kimia menggunakan formulasi urea 20-40%. 7



2.8.8 Tinea Inkognito Tinea inkognito merupakan dermatofitosis dengan bentuk klinis tidak khas oleh karena telah diobati dengan steroid topikal kuat. Oleh karena gejala klinik tipikal infeksi jamur hilang (peningkatan batas lesi dengan inflamasi), diagnosis menjadi lebih sulit. Lipat paha, tangan, dan wajah adalah tempat dimana sering terjadi. Tatalaksana adalah degan menghentikan pengobatan steroid dan diterapi dengan agen antifungal topikal.4



Gambar 2.25 Tinea Incognito4,5



32



Tabel 2.2 Pengobatan Dermatofitosis6



33



DAFTAR PUSTAKA



1. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Ed 7. 2015. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI). Panduan Pelayanan Medis Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. 2011. 3. Wolf K et al. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. 7th ed. 2013. New York : McGrawHill Education. 4. Buxton PK, Jones RM. ABC of Dermatology. 5th ed. 2009. UK : Wiley-Blackwell 5. Hunter J, et al. Clinical Dermatology. 3rd ed. 2003. UK : Blackwell Publishing 6. Wolff K, et al. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.7th ed. 2008. New York : McGrawHill 7. Kelompok Studi Dermatomikosis Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia. Dermatomikosis Superfisialis – Pedoman Untuk Dokter dan Mahasiswa Kedokteran. 2001. Jakarta : Balai Penerbit FKUI



34