Rkuhp VS Kuhp [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP”



247



SANKSI PIDANA POKOK DALAM KUHP DAN RKUHP 2019 Sub tema Tulisan: Sistem Perumusan Sanksi Pidana dalam RKUHP Maria Ulfah Dosen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Jalan Ciumbuleuit Nomor 94 (gedung 2) Bandung 40141 022-2033097; [email protected]



Abstrak Sanksi pidana merupakan ujung penting dalam sistem peradilan pidana yang memberikan putusan pemidanaan bagi pelaku tindak pidana. Sanksi pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku sejak 1 Januari 1918 terdapat dua jenis yakni sanksi pidana pokok dan sanksi pidana tambahan. Hingga tahun 2019 ini, banyak kasus pidana telah diselesaikan dengan beragam sanksi pidana tersebut. Dalam perkembangan Rancangan KUHP September 2019 telah diatur pula mengenai beberapa sanksi pidana pokok dan sanksi pidana tambahan yang berbeda dengan KUHP. Tulisan ini berfokus mengkaji perumusan sanksi pidana pokok dalam KUHP dan Rancangan KUHP September 2019 tersebut dikaitkan dengan tujuan pemidanaan agar dapat dianalisis perkembangannya dan dapat diberikan masukan atas perkembangan tersebut. Kata-kata Kunci: Sanksi pidana; pidana pokok; KUHP; RKUHP



Pendahuluan Hukum pidana dapat berfungsi sebagai pencegahan terjadinya tindak pidana maupun sebagai penyelesaian dari suatu tindak pidana. Hukum pidana sebagai penyelesaian atas suatu tindak pidana yang terbukti bersalah di dalam pengadilan akan berujung pada pemberian sanksi pidana bagi pelaku. Sanksi pidana ini identik dengan sanksi negatif karena sifatnya yang memberikan penderitaan kepada pelaku. Sanksi



248



Marya Ulfah “Sanksi Pidana Pokok...”



pidana tersebut bertujuan sebagai upaya menjaga ketentraman (atau keamanan) dan pengaturan (kontrol) lebih baik di masyarakat.1 Sanksi pidana pertama kali dikenal sejak adanya peraturan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (WvSNI) di 1 Januari 1915 yang berlaku pada 1 Januari 1918.2 WvSNI kemudian dikenal menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS) atau dapat disebut sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. KUHP ini masih berlaku hingga tahun 2019. Kemudian beragam kasus pidana sejak dulu hingga sekarang terus bergulir sepanjang tahunnya. Jumlah kasus pidana dalam 10 tahun terakhir di Indonesia dapat dilihat dari grafik perkara pidana yang dikelola oleh Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) sejak tahun 2008 hingga 2018 sebagai berikut:3



Berdasarkan angka setiap tahun dalam grafik tersebut dan perkiraan di tahun-tahun sebelumnya, maka dapat dilihat kemungkinan telah banyak sekali kasus pidana yang diberikan putusan pemidanaan (sehingga sanksi pidana yang berlaku sejak zaman penjajah Belanda ini masih terus digunakan hingga sekarang). Wacana rekodifikasi KUHP telah dimulai sejak tahun 1963 hingga sekarang. Lalu pada September 2019 telah ada draft Rancangan Undang-Undang tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana (RKUHP) yang disiapkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk disahkan oleh Presiden, namun pada saat beriringan muncul banyak desakan secara bersamaan dari masyarakat (mayoritas ialah gerakan mahasiswa) melalui demonstrasi di depan Gedung DPR RI serta di beberapa lokasi maupun di wilayah lain di Indonesia.4 Melihat desakan yang terjadi, Presiden Joko Widodo berpendapat bahwa "Setelah mendengar masukan-masukan saya berkesimpulan masih ada materi yang membutuhkan pendalaman lebih lanjut. Agar pengesahan RUU KUHP ditunda dan pengesahan tidak dilakukan oleh DPR periode ini. Saya juga memerintahkan Menteri



1 J. Remmelink, Pengantar Hukum Pidana Material 3 Hukum Penitensier, terjemahan dari Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Strafrecht, Alih Bahasa, Tristam P. Moeliono, Maharsa, Yogyakarta, 2017, hlm. 4. 2 R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 22. 3 Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, Statistik Data Perkara Mahkamah Agung, http://leip.or.id/statistik-data-perkara-mahkamah-agung/ 4 Fitra Moerat Ramadhan, Kronologi Demonstrasi Mahasiswa di DPR yang Menolak RUU KUHP, https://grafis.tempo.co/read/1825/kronologi-demonstrasi-mahasiswa-di-dpr-yang-menolak-ruu-kuhp



PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP”



249



Hukum dan HAM menjaring masukkan dari pelbagai kalangan masyarakat sebagai bahan menyempurnakan RUU KUHP yang ada.”5 Dengan demikian, rekodifikasi KUHP menjadi wacana kembali hingga sekarang. Berdasarkan hal di atas, maka tulisan ini dimaksudkan untuk membahas mengenai pengaturan sanksi pidana pokok yang ada di dalam KUHP dan RKUHP September 2019. Persamaan dan perbedaan kedua pengaturan tersebut dengan analisis hal-hal penting untuk dipikirkan lebih lanjut sehingga sanksi pidana yang berlaku di masa mendatang dapat berjalan sesuai dengan tujuan pemidanaan bagi pelaku tindak pidana, korban, dan masyarakat sekitar.



Hasil Penelitian 1. Sanksi Pidana Pokok Di Dalam KUHP dan RKUHP Suatu putusan pemidanaan yang diberikan oleh Hakim dalam perkara pidana akan memberikan Terdakwa sanksi pidana (straffen) berupa sanksi pidana pokok yang dapat disertai dengan sanksi pidana tambahan (ataupun dengan tindakan/ maatregelen). Sanksi pidana pokok adalah hukuman dalam hukum pidana yang tidak dapat digabung di antara sejenisnya (terkecuali diatur secara khusus dalam aturan pidana relevan) serta bersifat mandiri (dapat dijatuhkan tanpa ada sanksi pidana tambahan).6 Sedangkan sanksi pidana tambahan ialah hukuman dalam hukum pidana yang bersifat fakultatif (dapat diberikan atau tidak diberikan oleh Hakim) serta tidak dapat berdiri sendiri dalam penjatuhannya karena harus diberikan dengan adanya snaksi pidana pokok.7 Tindakan merupakan suatu perlakuan yang diberikan kepada pelaku tindak pidana melalui vonis Hakim serta berfungsi sebagai prevensi khusus.8 Pemberian sanksi pidana dengan tindakan dalam suatu putusan pemidanaan dikenal pula sebagai double track system, di mana sistem ini berkembang sebagai solusi atas perbedaan di antara pandangan aliran klasik yang berlandaskan pada keadilan retributif dan pandangan aliran modern yang berlandaskan pada perlindungan bagi masyarakat (Carl Stoos sebagai pelopor awal sistem ini untuk KUHP Swiss).9 Selanjutnya, lex generalis mengenai sanksi pidana di Indonesia diatur di dalam KUHP. Pada ketentuan Pasal 10 KUHP telah diatur sanksi pidana pokok dan sanksi pidana tambahan. Sedangkan tindakan belum diatur secara eksplisit di dalam KUHP dan hanya tampak sebagai tindakan dalam hal Hakim berwenang memerintahkan untuk: 1) seseorang dimasukkan ke rumah sakit jiwa yang diatur dalam Pasal 44 KUHP; 2) anak yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya/ walinya/ pemeliharanya/ pemerintah tanpa pidana apapun yang diatur di dalam Pasal 45-46 KUHP (yang telah diatur lex specialis dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak). 5 Friski Riana, Jokowi Perintahkan Tunda Pengesahan RUU KUHP, https://nasional.tempo.co/read/1250237/jokowi-perintahkan-tunda-pengesahan-ruu-kuhp/full&view=ok 6 C. Djisman Samosir, Penologi dan Pemasyarakatan, Nuansa Aulia, Bandung, 2016, hlm. 20. 7 Ibid. 8 J. Remmelink, Op. Cit. 9 H. C. Fragoso, The ‘Dual-Track’ System of Sanctions in Continental Criminal Law, International Journal of Offender Therapy and Comparative Criminology, Volume 12, Issue 1, January 1968, hlm. 37



Marya Ulfah “Sanksi Pidana Pokok...”



250



Lalu di dalam Pasal 64 RKUHP September 2019 diatur bahwa jenis sanksi pidana berkembang menjadi tiga macam yakni “a. pidana pokok; b pidana tambahan; dan c. pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang”. Selain itu, tindakan di dalam RKUHP September 2019 juga telah diatur secara menyeluruh bagi subjek hukum manusia (termasuk anak) dan korporasi di dalam ketentuan Pasal 103 hingga Pasal 131. Berikut ini adalah tabel yang berisi mengenai jenis sanksi pidana di dalam KUHP dan RKUHP September 2019: Jensi Sanksi Pidana dalam KUHP



1. 2. 3. 4. 5.



a. b. c. d. e.



Pidana Pokok (Pasal 10) Pidana mati (Pasal 11 yang telah diganti dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964); Pidana penjara (Pasal 12-Pasal 17, Pasal 20, Pasal 22-Pasal 29, Pasal 32-Pasal 33, Pasal 42); Pidana kurungan (Pasal 18-Pasal 29, Pasal 31-Pasal 33, Pasal 42); Pidana denda (Pasal 30-Pasal 33, Pasal 42) Pidana tutupan10.



Pidana Tambahan (Pasal 10) 1. Pencabutan hak-hak tertentu (Pasal 34-Pasal 38); 2. Penyitaan benda-benda tertentu (Pasal 39-42); 3. Pengumuman dari putusan Hakim (Pasal 43).



Jenis Sanksi Pidana dalam RKUHP September 2019 Pidana yang Bersifat Khusus untuk Tindak Pidana Pidana Pokok Pidana Tambahan Tertentu yang Ditentukan (Pasal 65) (Pasal 66) dalam Undang-Undang (Pasal 67) pidana penjara (Pasal a. pencabutan hak pidana mati yang selalu 68-Pasal 73); tertentu (Pasal 86diancamkan secara alternatif pidana tutupan (Pasal Pasal 90); (Pasal 98-Pasal 102) 74); b. perampasan barang pidana pengawasan tertentu dan/atau (Pasal 75-Pasal 77); tagihan (Pasal 91pidana denda (Pasal 78Pasal 92); Pasal 84, Pasal 620); c. pengumuman putusan pidana kerja sosial Hakim (Pasal 93); (Pasal 85). d. pembayaran ganti rugi (Pasal 94); e. pencabutan izin tertentu (Pasal 95); f. pemenuhan kewajiban adat setempat (Pasal 96Pasal 97).



10



Berlaku berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan.



PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP”



251



Kesemua sanksi pidana maupun tindakan RKUHP September 2019 di atas, untuk pemberiannya kepada pelaku harus memperhatikan ketentuan: 1) tujuan pemidanaan (Pasal 51-Pasal 52); 2) pedoman pemidanaan (Pasal 53-Pasal 56); 3) pedoman penerapan pidana penjara dengan perumusan tunggal dan perumusan alternatif (Pasal 57); 4) pemberatan pidana (Pasal 58-Pasal 59); 5) ketentuan lain tentang pemidanaan (Pasal 60-Pasal 63). Hal ini cukup berbeda dengan penggunaan jenis sanksi pidana KUHP di atas yang belum mengenal kelima hal penting tersebut untuk diperhatikan karena tidak diatur di dalam KUHP. Tujuan pemidanaan merupakan salah satu aspek penting yang menjadi dasar analisis pengaturan sanksi pidana pokok dalam kedua aturan tersebut.



2. Pidana Mati Pidana mati adalah sanksi yang dilakukan dengan suatu pilihan perbuatan mematikan (oleh negara) kepada pelaku tindak pidana yang telah diputus bersalah atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sanksi pidana ini telah dikenal sejak zaman kerajaan di Indonesia, sebelum masa penjajahan.11 Sanksi ini juga bersifat khas dikarenakan setelah eksekusinya dilaksanakan, maka Terpidana yang sudah kehilangan nyawa tersebut tidak dapat hidup kembali (apabila ternyata muncul kekeliruan atas perkara yang bersangkutan).12 Hal inilah yang merupakan salah satu alasan banyak pihak menolak (kontra) sanksi pidana mati. Pidana mati di dalam KUHP dikenal sebagai jenis sanksi pidana pokok dengan urutan pertama (urutan ini bermakna susunan berdasarkan berat ringannya sanksi pidana), sedangkan pengaturan pidana mati di dalam RKUHP September 2019 bukan lagi sebagai jenis pidana pokok melainkan diatur sebagai pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang. Pengaturan demikian di Pasal 98 RKUHP dinyatakan bahwa pidana ini sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Berikut adalah tabel perbandingan di antara pengaturan pidana mati dari kedua aturan tersebut: PIDANA MATI KUHP RKUHP SEPTEMBER 2019 (Pasal 11 yang telah diganti dengan (Pasal 98-Pasal 102) Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964) - Awalnya diatur dalam Pasal 11 dilakukan - Pidana mati langsung diatur dengan dengan cara leher Terpidana digantung cara ditembak sampai mati kepada dengan tali oleh algojo di tiang gantungan Terpidana karena dianggap cara yang dan beberapa waktu berlalu papan tempat paling manusiawi dan dapat berdiri Terpidana dijatuhkan. disesuaikan dengan perkembangan



11 12



C. Djisman Samosir, Op. Cit., hlm 21. J. E. Sahetapy, Pidana Mati dalam Negara Pancasila, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 67.



252



Marya Ulfah “Sanksi Pidana Pokok...”



- Kemudian mengalami perubahan cara apabila terdapat cara lain yang lebih pelaksanaan pidana mati menjadi manusiawi. ditembak sampai meninggal sejak adanya - Pidana mati bagi orang yang sakit Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964. jiwa, dilakukan apabila Terpidana Lalu dirinci lebih lanjut di dalam Peraturan tersebut telah sembuh. Kapolri Nomor 12 Tahun 2010. - Pidana mati diancamkan alternatif - Pidana mati diancamkan alternatif dalam dalam pasal relevan dengan pidana pasal relevan dengan pidana penjara penjara seumur hidup dan pidana seumur hidup dan pidana penjara 20 penjara 20 tahun. tahun. - Telah ada kejelasan kepastian jangka - Tidak ada kejelasan kepastian jangka waktu pelaksanaan pidana mati bagi waktu pelaksanaan pidana mati bagi Terpidana. Diatur secara tegas dalam Terpidana setelah adanya putusan in Pasal 101 bahwa “Jika permohonan kracht. grasi terpidana mati ditolak dan - Tidak adanya kewajiban bagi Hakim pidana mati tidak dilaksanakan untuk memperhatikan mengenai tujuan selama 10 (sepuluh) tahun sejak grasi pemidanaan, pedoman pemidanaan, ditolak bukan karena terpidana pedoman penerapan pidana penjara melarikan diri, pidana mati dapat dengan perumusan tunggal dan diubah menjadi pidana seumur hidup perumusan alternatif, pemberatan pidana, dengan Keputusan Presiden”. serta ketentuan lain tentang pemidanaan. - Selain itu, pada Pasal 100 diatur



bahwa Hakim di dalam putusan pengadilannya dimungkinkan memberikan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun (dimulai sejak hari pertama setelah putusan in kracht) apabila (i) Terdakwa menunjukkan penyesalan dan harapan diperbaiki menjadi lebih baik, (ii) Terdakwa tidak terlalu penting berperan dalam tindak pidana relevan, (iii) terdapat alasan meringankan. - Diatur pula bahwa selama masa percobaan, apabila Terpidana menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji, maka pidananya dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapat pertimbangan Mahkamah Agung. - Begitu pun sebaliknya, apabila Terpidana tidak menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji, tidak ada harapan untuk diperbaiki, maka pidananya dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.



PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP”



253



- Adanya kewajiban bagi Hakim untuk memperhatikan mengenai: 1) tujuan pemidanaan (Pasal 51-Pasal 52); 2) pedoman pemidanaan (Pasal 53Pasal 56); 3) pedoman penerapan pidana penjara dengan perumusan tunggal dan perumusan alternatif (Pasal 57); 4) pemberatan pidana (Pasal 58-Pasal 59); 5) ketentuan lain tentang pemidanaan (Pasal 60-Pasal 63).



Tujuan pemidanaan yang diatur dalam Pasal 51-52 RKUHP September 2019 menunjukkan bahwa Indonesia di masa mendatang akan menggunakan teori utilitarian (teori kegunaan atau teori relatif) yang bertujuan bahwa pelaksanaan sanksi pidana bukan untuk merendahkan martabat manusia dan berorientasi pada pencegahan terjadinya tindak pidana, pemasyarakatan pelaku tindak pidana, pemulihan keseimbangan di masyarakat, serta penjeraan bagi pelakunya. Berlandaskan pada tujuan pemidanaan tersebut, maka pidana mati memang tidak sejalan dengan tujuan tersebut karena pelaksanaan pidana mati lebih berorientasi pada pembalasan atas tindak pidananya di masa lampau sehingga tidak ada individualisasi pidana bagi Terpidana tersebut. Mengingat pula bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan pada Pancasila, maka pemberian sanksi pidana mati sesungguhnya bertentangan dengan Sila Kedua Pancasila. Pelanggaran Sila Kedua karena manusia sebagai pelaku tindak pidana juga harus diperlakukan sebagaimana keluhuran harkat dan martabatnya, pidana mati dengan cara ditembak sampai meninggal bukanlah sanksi yang tepat untuk memenuhi keluhuran tersebut.13 Dipertegas pula oleh J. E. Sahetapy bahwa:14 “Manusia bukanlah binatang. Manusia ialah makhluk cipataan Tuhan. Ciptaan Tuhan memungkinkan seseorang mengubah seluruh perilaku hidupnya dan berniat menjadi warga negara yang baik dan manusia yang takut akan Tuhan. Waktulah merupakan guru dan pengalaman yang paling baik dan berharga. … Manusia perlu diberi tahu dan diberi jalan agar ia mengetahui bahwa Tuhan sajalah yang adil dan Ia mengasihi keadilan.” Selain itu, di dunia internasional juga terdapat organisasi di tingkat dunia (gabungan dari sejumlah negara) yang kontra terhadap pidana mati antara lain ialah Amnesty International15 yang ada sejak tahun 1961 dan World Coalition Against the Death Penalty



13



C. Djisman Samosir, Op. Cit., hlm 22. J. E. Sahetapy, Op. Cit., hlm 69. 15 https://www.amnesty.org/en/who-we-are/ 14



Marya Ulfah “Sanksi Pidana Pokok...”



254



(WCADP)16 yang muncul sejak tahun 2002. Oleh karena itu, melihat pula pada pandangan Auliah Andika Rukman17 disimpulkan bahwa “dari aspek sosiologis masyarakat Indonesia penerapan pidana mati menimbulkan pro dan kontra, pihak yang setuju pidana mati (pro) umumnya didasarkan pada alasan konvensional yaitu pidana mati sangat dibutuhkan guna menghilangkan orang-orang yang dianggap membahayakan kepentingan umum atau negara dan dirasa tidak dapat diperbaiki lagi, sedangkan mereka yang kontra terhadap pidana mati lazimnya menjadikan alasan pidana mati bertentangan dengan hak asasi manusia dan merupakan bentuk pidana yang tidak dapat lagi diperbaiki apabila setelah eksekusi dilakukan, ditemukan kesalahan atas vonis yang dijatuhkan Hakim”. Terlepas dari pro kontra dari pidana mati, apabila Indonesia masih menggunakan pidana mati, maka sebaiknya memperhatikan 9 panduan mengenai Jaminan Perlindungan Bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati (Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty)18 yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) agar pelaksanaan pidana mati di Indonesia sesuai dengan peruntukannya. Penting diingat pula bahwa dalam penggunaan pidana mati di Indonesia jangan sampai memberikan ‘penyiksaan’ yang berarti “keadaan sakit pada diri seseorang akibat perbuatan orang lain yang secara hukum sangat dilarang” serta jangan sampai berakibat pada terganggunya keadilan di masyarakat atas nilai-nilai kemanusiaan yang beradab.19



3. Pidana Penjara Pidana penjara merupakan sanksi pembatasan kemerdekaan/ bergerak yang diberikan kepada Terpidana dan yang bersangkutan telah didaftarkan ke suatu Lembaga Pemasyarakatan. Sanksi pidana ini baru dikenal sejak adanya masa penjajahan. Sanksi ini bersifat istimewa karena memberikan kesempatan kedua bagi pelaku agar menjadi lebih baik secara pribadi dan di kemudian hari bagi masyarakat sekitar (prevensi khusus) serta diharapkan tercapainya pula prevensi umum. Pidana penjara di dalam KUHP dikenal sebagai jenis sanksi pidana pokok dengan urutan kedua, sedangkan pengaturan pidana penjara di dalam RKUHP September 2019 diatur sebagai pidana pokok dengan urutan pertama. Berikut adalah tabel perbandingan di antara pengaturan pidana penjara dari kedua aturan tersebut: PIDANA PENJARA KUHP RKUHP SEPTEMBER 2019 (Pasal 12-Pasal 17, Pasal 20, Pasal 22-Pasal (Pasal 68-Pasal 73) 29, Pasal 32-Pasal 33, Pasal 42) - Jenis pidana penjara diatur untuk seumur - Jenis pidana penjara diatur untuk hidup maupun selama waktu tertentu. seumur hidup maupun selama waktu Dimulai dari 1 hari dan paling lama 15 tertentu (dimulai dari 1 hari dan tahun berturut-turut, serta dimungkinkan paling lama 15 tahun berturut-turut,



16 17



http://www.worldcoalition.org/History.html Auliah Andika Rukman, Jurnal Equilibrium Pendidikan Sosiologi, Volume IV Nomor 1, Mei 2016, hlm.



123. 18 19



https://www.ohchr.org/EN/ProfessionalInterest/Pages/DeathPenalty.aspx Hwian Christianto, Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor 1, April 2009, hlm. 38.



PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP”



maksimal 20 tahun yang berturut-turut juga untuk alternatif dari pidana mati/ pidana penjara seumur hidup/ pengulangan tindak pidana (dalam hitungan hari, minggu, bulan, atau tahun dan bukan dengan pecahan). - Diiringi dengan adanya kewajibankewajiban yang harus diikuti. - Dapat dilakukan di wilayah Lembaga Pemasyarakatan manapun, sebagaimana peruntukannya (tidka terbatas pada wilayah Terpidana penjara saja). - Dikenal untuk kejahatan saja. - Dimungkinkan pidana penjara dengan pidana bersyarat berdasarkan Pasal 14 a hingga Pasal 14 f dengan ketentuan dapat diberikan apabila Hakim memberikan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan. - Diatur pelepasan bersyarat setelah menjalani 2/3 dari yang dijatuhkan (pengaturan lebih lanjut tentang hal ini dan hal penting lainnya terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dengan peraturan pelaksana lainnya).



255



serta dimungkinkan maksimal 20 tahun yang berturut-turut juga untuk alternatif dari pidana mati/ pidana penjara seumur hidup). - Diiringi dengan adanya kewajiban kerja. - Dapat dilakukan di wilayah Lembaga Pemasyarakatan manapun, sebagaimana peruntukannya (tidka terbatas pada wilayah Terpidana penjara saja). - Dikenal untuk tindak pidana (karena tidak dikenal lagi istilah kejahatan dan pelanggaran). - Tidak diaturnya pidana penjara dengan pidana bersyarat, lalu yang dikenal ialah pidana pengawasan (yang dijelaskan pada poin C.7). - Adanya pengaturan dalam Pasal 69 bahwa perubahan atas narapidana yang menjalani pidana penjara seumur hidup telah menjalani pidana penjara paling singkat 15 tahun, pidana penjara seumur hidup dapat diubah menjadi pidana penjara 20 tahun dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.



- Tidak adanya kewajiban bagi Hakim untuk memperhatikan mengenai tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan, - Diatur pembebasan bersyarat setelah pedoman penerapan pidana penjara menjalani 2/3 dari yang dijatuhkan. dengan perumusan tunggal dan - Adanya pengaturan dalam Pasal 70 perumusan alternatif, pemberatan pidana, bahwa pidana penjara sebisa serta ketentuan lain tentang pemidanaan. mungkin tidak diberikan atas situasisituasi tertentu (antara lain: Terdakwa adalah Anak/ berusia di atas 75 tahun, dan lainnya. - Dikenal pidana penjara minimum khusus untuk pasal-pasal tindak pidana tertentu (yang telah berkembang di dalam peraturan pidana di luar KUHP). - Semakin banyak alternatif pengganti dari pidana penjara yang diberikan di bawah 5 tahun. - Adanya kewajiban bagi Hakim untuk memperhatikan mengenai:



256



Marya Ulfah “Sanksi Pidana Pokok...”



1) tujuan pemidanaan (Pasal 51-Pasal 52); 2) pedoman pemidanaan (Pasal 53Pasal 56); 3) pedoman penerapan pidana penjara dengan perumusan tunggal dan perumusan alternatif (Pasal 57); 4) pemberatan pidana (Pasal 58-Pasal 59); 5) ketentuan lain tentang pemidanaan (Pasal 60-Pasal 63). Berlandaskan pada tujuan pemidanaan Pasal 51-52 RKUHP September 2019, maka pidana penjara adalah jenis sanksi pidana pokok yang dapat memenuhinya. Selanjutnya, terdapat beberapa hal penting yang perlu dipahami lebih lanjut dari tabel pidana penjara di atas dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan di RKUHP September 2019 sebagai berikut: • Pidana penjara dengan pidana bersyarat di dalam KUHP belum banyak digunakan secara berkelanjutan di Indonesia. Sejalan dengan itu, Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa hal itu terjadi karena pidana penjara dengan pidana bersyarat: 20 a) tidak bersifat mengikat (imperatif); b) memunculkan ketidakpercayaan Hakim atas pelaksanaannya; c) memunculkan reaksi di masyarakat sebagai dampak dari pemberiannya kepada pelaku tindak pidana. Pidana bersyarat ini dihapuskan di dalam RKUHP September 2019 dan memunculkan pidana pengawasan (yang akan dibahas pada B.7). • Pelepasan/ pembebasan bersyarat di KUHP telah diatur lebih lanjut dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan). Pengaturan di RKUHP September 2019 diatur juga mengenai pembebasan bersyarat, namun belum menyeluruh dengan hak-hak Warga Binaan Pemasyarakatan lainnya (misal cuti mengunjungi keluarga, asimilasi, dan sejenisnya) dan tidak ada ketentuan yang merujuk pada ketentuan lain di UU Pemasyarakatan (ataupun tidak menggunakan UU Pemasyarakatan). Oleh karena itu, perlu ditegaskan bagaimana kedudukan bagi UU Pemasyarakatan dengan peraturan pelaksana lainnya yang telah ada dalam hukum positif dengan keberlakuan RKUHP tersebut di masa mendatang. Apabila tidak ditegaskan dan melihat pada asas legalitas yang memberlakukan RKUHP dan UU Pemasyarakatan secara bersamaan, maka akan menimbulkan kebingungan bagi masyarakat (keduanya saling melengkapi/ salah satunya menjadi tidak berlaku/ bagaimana).



20 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 176.



PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP”



257



• Perubahan pidana penjara seumur hidup yang lebih manusiawi serta pengaturan mengenai pidana penjara sebisa mungkin tidak diberikan atas situasi-situasi tertentu merupakan hal baik yang penting dilakukan pada masa mendatang. • Pidana penjara minimum khusus untuk tindak pidana tertentu memunculkan pertanyaan mengapa perlu diatur. Berdasarkan Penjelasan dalam RKUHP September 2019 diketahui bahwa “pada prinsipnya pidana minimum khusus merupakan suatu pengecualian, yaitu hanya untuk Tindak Pidana tertentu yang dipandang sangat merugikan, sangat membahayakan, atau sangat meresahkan masyarakat dan untuk Tindak Pidana yang dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya”. Serta hal itu dilakukan untuk: a. “menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok bagi Tindak Pidana yang sama atau kurang lebih sama kualitasnya; b. lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum, khususnya bagi Tindak Pidana yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat; c. jika dalam keadaan tertentu maksimum pidana dapat diperberat, dapat dipertimbangkan pula bahwa minimum pidana untuk Tindak Pidana tertentu dapat diperberat.” Akan tetapi, perlu diingat fakta bahwa banyak Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia telah melebihi kapasitias (over capacity). Dengan adanya pemberian pidana penjara minimum khusus itu, maka dapat ditafsirkan bahwa suatu sanksi pidana penjara wajib diberikan minimum sebagaimana diatur di dalam pasal tindak pidana relevan. Kebijakan Hakim menjadi terbatas untuk memberikan jangka waktu yang lebih ringan atau memberikan sanksi pidana pokok lainnya, sehingga turut berdampak pada semakin banyak jumlah Terpidana harus diberikan sanksi penjara dan pada semakin meningkatnya kelebihan jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan kecermatan dalam pengaturan sanksi pidana penjara minimum khusus tersebut. Analisis ini sejalan dengan pemikiran Sudarto yang berpendapat untuk dikriminalisasi suatu perbuatan perlu diperhatikan salah satu faktor yakni “penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting)”.21 • Semakin banyak alternatif pengganti dari pidana penjara yang diberikan di bawah 5 tahun (yakni dengan pidana pengawasan, pidana denda, ataupun pidana kerja sosial), namun tidak ada pidana pengganti dari pidana penjara di atas 5 tahun hingga pidana penjara 20 tahun. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, alternatif pidana juga hanya tampak untuk pidana mati atau pidana penjara seumur hidup. Mengingat pentingnya untuk mencapai tujuan pemidanaan yang telah dirancangkan dalam RKUHP September 2019 dan mengingat banyaknya jumlah pasal di Buku II RKUHP itu diancam dengan pidana penjara di atas 5 tahun, maka perlu dipertimbangkan secara cermat dalam pengaturan alternatif pidana penjara di atas 5 tahun hingga pidana penjara 20 tahun agar



21



Suhariyono A. R., Jurnal Perspektif, Volume XVII Nomor 1 Tahun 2012, Edisi Januari, hlm. 21-22.



Marya Ulfah “Sanksi Pidana Pokok...”



258



kelebihan kapasitas Warga Binaan Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia dapat diatasi. Analisis ini sejalan pula dengan pemikiran Sudarto yang berpendapat untuk dikriminalisasi suatu perbuatan perlu diperhatikan salah satu faktor yakni “penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil” (cost and benefit principle)”.22 Benar bahwa pidana penjara sejalan dengan tujuan pemidanaan yang dirancangkan pada RKUHP September 2019. Akan tetapi, fakta kelebihan kapasitas Warga Binaan Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia dapat berujung pada tidak tercapainya tujuan pemidanaan tersebut. Hal ini tampak dari pendapat yang diungkapkan oleh Kementerian Pemberdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yaitu:23 “permasalahan yang timbul akibat dari kepadatan narapidana di lembaga pemasyarakatan antara lain pembinaan/ proses rehabilitasi narapidana tidak berjalan maksimal, sulitnya pengawasan dan pengamanan, memburuknya psikologis narapidana termasuk psikologis petugas, rentan konflik antar penghuni, rentan terjadi penyimpangan seksual, rusaknya sistem sanitasi, memburuknya kondisi kesehatan narapidana, dan terjadi pemborosan anggaran Negara akibat meningkatnya konsumsi makanan, air, dan pakaian.” Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan solusi atas fakta kelebihan tersebut dengan memikirkan lebih cermat dan lebih bijak atas pengaturan mengenai pidana penjara minimum khusus serta mengenai alternatif sanksi pidana pengganti dari pidana penjara di atas 5 tahun hingga pidana penjara 20 tahun sebelum nantinya RKUHP September 2019 menjadi hukum positif di masa mendatang. Fenomena tidak terpenuhinya hak-hak Warga Binaan Pemasyarakatan seperti biaya pengobatan/ kesehatan24, biaya makanan25, sel/ kamar Lembaga Pemasyarakatan yang diperjualbelikan oleh pihak internal26, dan hak lainnya juga penting menjadi pemikiran bahwa pidana penjara dalam penerapannya di beberapa Lembaga Pemasyarakatan Indonesia memungkinkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia Terpidana, sehingga pembuat RKUHP September 2019 harus lebih bijak juga mengancamkannya dalam pasalpasal tindak pidana di Buku II RKUHP tersebut. Untuk pelaksanaan pidana penjara ini juga penting mengacu pada Aturan Minimum Standar tentang Perlakuan untuk para



22 23



Ibid. Galih Puji Mulyono dan Barda Nawawi Arief, Jurnal Law Reform, Volume 12 Nomor 1 Tahun 2016,



hlm. 3. 24



Adi Renaldi, Mirisnya Anggaran Kesehatan Napi Indonesia, Per Orang Cuma Cukup Buat Beli Paracetamol, https://www.vice.com/id_id/article/vb5qn4/mirisnya-anggaran-kesehatan-napi-indonesia-perorang-cuma-cukup-buat-beli-paracetamol dipublikasikan 21 Oktober 2019, diakses 20 November 2019. 25 Ibnu Hariyanto, Ombudsman: Hampir Semua LP di Indonesia Tak Penuhi Standar, https://news.detik.com/berita/d-4226477/ombudsman-hampir-semua-lp-di-indonesia-tak-penuhi-standar dipublikasikan 24 September 2018, diakses 20 November 2019. 26 Dani Tri Wahyudi, Ombudsman Terima Laporan Jual Beli Kamar Penjara, https://indopos.co.id/read/2019/03/28/169853/ombudsman-terima-laporan-jual-beli-kamar-penjara/ dipublikasikan 28 Maret 2019, diakses 20 November 2019.



PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP”



259



Tahanan27 (Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners)28 yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) agar pelaksanaan pidana penjara di Indonesia sesuai dengan peruntukannya.



4. Pidana Kurungan Pidana kurungan merupakan sanksi pembatasan kemerdekaan/ bergerak yang lebih ringan daripada pidana penjara kepada Terpidana dan telah didaftarkan ke suatu Lembaga Pemasyarakatan yang sewilayah dengan pengadilan yang memberikan putusan pemidanaan in kracht (dan sewilayah dengan domisili Terpidana kurungan). Sanksi pidana ini baru dikenal sejak adanya masa penjajahan. Sanksi ini bersifat istimewa karena memberikan kesempatan kedua bagi pelaku agar menjadi lebih baik secara pribadi dan di kemudian hari bagi masyarakat sekitar (prevensi khusus) serta diharapkan tercapainya pula prevensi umum. Pidana kurungan di dalam KUHP dikenal sebagai jenis sanksi pidana pokok dengan urutan ketiga, sedangkan pengaturan pidana kurungan di dalam RKUHP September 2019 dihapuskan. Berikut adalah tabel perbandingan di antara pengaturan pidana kurungan dari kedua aturan tersebut:



-



-



-



-



-



PIDANA KURUNGAN KUHP RKUHP September 2019 (Pasal 18-Pasal 29, Pasal 30-Pasal 33, Pasal 42) (Pasal 619) Jangka waktu pidana kurungan ialah satu hari - Pidana kurungan dihapuskan. hingga paling lama 1 tahun, dimungkinkan paling - Pengaturan di Pasal 619 lama menjadi 1 tahun 4 bulan apabila ada membahas mengenai: perbarengan atau pengulangan tindak pidana (1) Penggantian pidana (dalam hitungan hari, minggu, bulan, atau tahun kurungan (setelah RKUHP dan bukan dengan pecahan). ini berlaku) menjadi pidana Dikenal untuk pelanggaran maupun kejahatan denda dengan ketentuan: tanpa kesengajaan. a. “pidana kurungan Dilakukan di wilayah Terpidana kurungan berada kurang dari 6 (enam) berdasarkan putusan pengadilan in kracht yang bulan diganti dengan relevan. pidana denda paling banyak kategori I; dan Diberikan kewajiban-kewajiban yang harus b. pidana kurungan 6 diikuti, namun lebih ringan untuk dikerjakan (enam) bulan atau lebih daripada mereka yang menjalani pidana penjara. diganti dengan pidana Dimungkinkan satu tempat dengan mereka yang denda paling banyak menjalani pidana penjara tetapi harus berbeda kategori II.” sel/ kamar. (2) “Dalam hal pidana denda Orang yang diberikan pidana kurungan dapat yang diancamkan secara membiayai dirinya sendiri untuk meringankan alternatif dengan pidana nasibnya sesuai dengan aturan yang berlaku (hak kurungan sebagaimana pistole). dimaksud pada ayat (1)



27 Tahanan yang dimaksudkan di sini di Indonesia ialah Terpidana yang menjalani pidana penjara (Warga Binaan Pemasyarakatan). 28 https://www.penalreform.org/resource/standard-minimum-rules-treatment-prisoners-smr/



260



Marya Ulfah “Sanksi Pidana Pokok...”



- Dapat berfungsi sebagai sanksi pidana pengganti dari pidana denda (Pasal 30) dengan jangka waktu 1 hari hingga 6 bulan, dapat menjadi maksimal 8 bulan jika ada pemberatan denda.



melebihi kategori II, tetap berlaku ketentuan dalam peraturan perundangundangan tersebut.”



- Tidak adanya kewajiban bagi Hakim untuk memperhatikan mengenai tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan, pedoman penerapan pidana penjara dengan perumusan tunggal dan perumusan alternatif, pemberatan pidana, serta ketentuan lain tentang pemidanaan. Pidana kurungan di KUHP ini jarang digunakan dalam penyelesaian suatu kasus pidana. Kalaupun pernah ada yang diberikan pidana kurungan, dalam pelaksanaannya Terpidana kurungan dipersamakan dengan mereka yang menjalani pidana penjara (minimalnya fasilitas untuk melaksanakan pidana kurungan sehingga pada prakteknya ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan, dengan sel/ kamar yang sama dengan Terpidana penjara).29 Hal inilah yang mungkin menjadi alasan pembuat RKUHP September 2019 menghapuskan pidana kurungan di masa mendatang. Berlandaskan pada tujuan pemidanaan Pasal 51-52 RKUHP September 2019, maka pidana kurungan adalah jenis sanksi pidana pokok yang dapat memenuhinya (walau pada prakteknya berdasarkan KUHP hingga tahun 2019 belum dilaksanakan secara maksimal). Akan tetapi, pidana kurungan telah dihapuskan di dalam RKUHP September 2019.



5. Pidana Denda Pidana denda merupakan hukuman berupa wajib membayarkan sejumlah uang ke kas negara dari Terpidana. Sanksi pidana ini baru dikenal sejak adanya masa penjajahan. Sanksi ini bersifat istimewa karena memberikan kesempatan kedua bagi pelaku untuk menjadi lebih baik serta jika diberikan secara mandiri (tanpa pidana penjara), maka pelakunya akan terbebas dari stigma masyarakat dan tidak dibatasi kebebasan bergeraknya. Pidana denda di dalam KUHP dikenal sebagai jenis sanksi pidana pokok dengan urutan ketiga, sedangkan pengaturan pidana denda di dalam RKUHP September 2019 diatur sebagai pidana pokok dengan urutan keempat. Berikut adalah tabel perbandingan di antara pengaturan pidana denda dari kedua aturan tersebut: PIDANA DENDA KUHP RKUHP September 2019 (Pasal 30-Pasal 33, Pasal 42) (Pasal 78-Pasal 84, Pasal 620) - Jumlah pidana denda dimulai dari 3 rupiah - Jumlah pidana denda dirumuskan dengan kategori, dimulai dari kategori 75 sen, tanpa ada pengaturan maksimalnya. I hingga kategori VIII (Rp besaran - Pada perkembangannya, diatur di dalam maksimal 1.000.000,00 hingga Rp. Undang-Undang Nomor 18 Prp 1960 29 Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Abolisi Pidana Kurungan dalam RKUHP: Pengaruh dan Akibatnya, https://reformasikuhp.org/abolisi-pidana-kurungan-dalam-rkuhp-pengaruh-dan-akibatnya/ dipublikasikan 16 November 2015, diakses 20 November 2019.



PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP”



261



tentang Perubahan Jumlah Hukuman 50.000.000.000,00) serta jika tidak Denda Dalam Kitab Undang-Undang diatur minimum khusus maka Hukum Pidana Dan Dalam Ketentuanditentukan paling sedikt Rp 50.000,00. Ketentuan Pidana Lainnya Yang Apabila di kemudian hari terdapat Dikeluarkan Sebelum Tanggal 17 Agustus perubahan nilai mata uang Rupiah, 1945 (pidana denda di KUHP maka selanjutnya akan disesuaikan dilipatgandakan 15 kali) serta Peraturan melalui Peraturan Pemerintah. Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 - Pidana denda dapat menjadi alternatif tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana dari pidana penjara di bawah 5 tahun. Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP - Hakim wajib mempertimbangkan (pidana denda di KUHP dilipatgandakan kemampuan terdakwa dengan menjadi 1000 kali). memperhatikan penghasilan dan - Apabila pidana denda tidak dibayar, dapat pengeluaran terdakwa secara nyata digantikan dengan pidana kurungan (dari 1 (namun tidak berlaku untuk hari hingga paling lama 6 bulan, pengurangan atas pidana denda dimungkinkan menjadi paling lama 8 bulan minimum khusus). jika ada perbarengan/ pengulangan). - Pidana denda dalam Pasal 81 harus - Tidak adanya kewajiban bagi Hakim untuk dibayar sesuai jangka waktu yang memperhatikan mengenai tujuan ditentukan dalam putusan pemidanaan, pedoman pemidanaan, pemidanaan serta dapat dilakukan pedoman penerapan pidana penjara dengan dengan cara mengangsur. Selain itu, perumusan tunggal dan perumusan “jika pidana denda sebagaimana alternatif, pemberatan pidana, serta dimaksud pada ayat (1) tidak dibayar ketentuan lain tentang pemidanaan. dalam jangka waktu yang telah ditentukan, kekayaan atau pendapatan Terpidana dapat disita dan dilelang oleh Jaksa untuk melunasi pidana denda yang tidak dibayar.” - Pada Pasal 82, diatur bahwa “jika penyitaan dan pelelangan kekayaan atau pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (3) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana denda yang tidak dibayar tersebut diganti dengan pidana penjara, pidana pengawasan, atau pidana kerja sosial dengan ketentuan pidana denda tersebut tidak melebihi pidana denda kategori II.” - Pengulangan tindak pidana atas tindak pidana dengan pidana denda, maka dapat diberikan pidana pengawasan paling lama 6 bulan dan pidana denda yang diperberat paling banyak 1/3 dari yang diancamkan. - Pidana denda di luar Undang-Undang ini yang melebihi jumlah kategori VIII,



262



Marya Ulfah “Sanksi Pidana Pokok...”



- maka diganti dengan pidana denda kategori VIII (Pasal 620). - Adanya kewajiban bagi Hakim untuk memperhatikan mengenai: 1) tujuan pemidanaan (Pasal 51-Pasal 52); 2) pedoman pemidanaan (Pasal 53Pasal 56); 3) pedoman penerapan pidana penjara dengan perumusan tunggal dan perumusan alternatif (Pasal 57); 4) pemberatan pidana (Pasal 58-Pasal 59); - ketentuan lain tentang pemidanaan (Pasal 60-Pasal 63). Berlandaskan pada tujuan pemidanaan Pasal 51-52 RKUHP September 2019, maka pidana denda adalah jenis sanksi pidana pokok yang dapat memenuhinya. Selanjutnya, terdapat beberapa hal penting yang perlu dipahami lebih lanjut dari tabel pidana denda di atas dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan di RKUHP September 2019 sebagai berikut: • Pidana denda di RKUHP September 2019 telah disusun dengan kategorisasi. Berdasarkan Penjelasan dalam RKUHP itu, perumusan sistem ini dengan tujuan agar perumusan pasal-pasal Tindak Pidana di Buku II dan peraturan perundang-undangan lain di luar RKUHP tersebut dilakukan dengan menunjuk kategori denda yang sudah dirumuskan di Buku I dan tidak perlu menyebutkan jumlah pidana denda tertentu. Perumusan ini harus diapresiasi karena tidak dapat dipungkiri bahwa pidana denda yang ada KUHP selama ini (setelah Indonesia menjadi negara berkembang), maka pidana denda tidak lagi sering digunakan atas dasar nominal mata uang Rupiah yang mulai menguat dan tidak sama seperti zaman penjajahan dahulu. Telah diatur pula penyesuaiannya di masa mendatang yang dilakukan melalui Peraturan Pemerintah. Hal ini lebih memudahkan dibandingkan dengan perubahan yang berkembang melalui Undang-Undang Nomor 18 Prp 1960 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012. • Hal positif lain yang diapresiasi dari perumusan ini ialah adanyan individualisasi pidana kepada pelaku yang bersangkutan serta pidana denda dapat dilakukan dengan cara mengangsur. Akan tetapi, dimungkinkan terjadinya penyitaan dan pelelangan oleh Jaksa untuk melunasi pidana denda yang tidak dibayar. Hal ini memungkinkan terjadinya perbedaan jumlah nominal antara pidana denda dengan nominal atas barangbarang yang disita dan dilelang, sehingga tidak terpenuhinya “penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil” (cost and benefit



PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP”



263



principle)”.30 Konsep penyitaaan dan pelelangan tersebut tidaklah cocok untuk subjek hukum tindak pidana yang dilakukan manusia, dapat menjadi relevan untuk subjek hukum tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi (karena korporasi tidak diberikan sanksi pidana penjara ataupun pidana mati).31 Adapun yang dapat menjadi pertimbangan lain ialah tidak mudahnya penyitaan32 dan pelelangan33 atas kekayaan atau pendapatan Terpidana yang dilakukan Jaksa di Indonesia. • Dimungkinkan adanya pidana denda pengganti berupa pidana penjara, pidana pengawasan, atau pidana kerja sosial. Beberapa poin penting dari pengaturan ini yakni baru dapat dilakukan jika pidana denda yang diberikan tidak melebihi kategori II serta jika penyitaan dan pelelangan tidak dapat dilakukan. Apabila dilihat di dalam pengaturan Buku II RKUHP September 2019 tampak jelas banyak pasal tindak pidana yang diancamkan di atas kategori II. Oleh karena itu, pengaturan ini bersifat semu dan belum mengakomodir untuk pidana denda kategori III hingga kategori VIII bagi subjek hukum manusia maupun korporasi. Adapula jika membahas korporasi sebagai pelaku tindak pidana, dimungkinkan terjadi tindak pidana dengan nominal kerugian negara atau masyarakat yang bernilai sangat besar (dimungkinkan diberikan pidana kategori VIII) dan membutuhkan sarana penyitaan dan pelelangan yang dimaksudkan. Jadi penentuan pidana denda yang sejalan dengan tujuan pemidanaan dan yang memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil” (cost and benefit principle)34 penting untuk dicermati kembali.



6. Pidana Tutupan Pidana tutupan merupakan sanksi pembatasan kemerdekaan/ bergerak (atas tindak pidana dengan didorong maksud yang patut dihormati) kepada Terpidana yang telah didaftarkan ke suatu Rumah Tutupan. Sanksi pidana ini baru dikenal setelah masa kemerdekaan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan juncto Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1948 tentang Rumah Tutupan. Sanksi ini bersifat istimewa karena memberikan kesempatan kedua bagi pelaku agar menjadi lebih baik secara pribadi dan di kemudian hari bagi masyarakat sekitar (prevensi khusus) serta diharapkan tercapainya pula prevensi umum. Pidana tutupan yang dikenal di luar KUHP sebagai jenis sanksi pidana pokok yang dianggap sebagai pidana pokok dengan urutan kelima, sedangkan pengaturan pidana tutupan di dalam RKUHP September 2019 diatur sebagai pidana pokok dengan urutan



30



Suhariyono A. R., Op. Cit. Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Op. Cit. 32 Lihat lebih lanjut artikel Anti-Corruption Clearing House, Tata Laksana Benda Sitaan dan Barang Rampasan, https://acch.kpk.go.id/id/artikel/riset-publik/tata-laksana-benda-sitaan-dan-barang-rampasan dipublikasikan 30 Desember 2016, diakses 21 November 2019. 33 Lihat lebih lanjut artikel Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Lelang Bersifat Lex Specialis, PMK No. 13/ PMK. 06/ 2018: Peluang atau Ancaman, https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/12709/LelangBersifat-Lex-Specialis-PMK-No-13PMK062018-Peluang-atau-Ancaman.html dipublikasikan 7 Septermber 2018, diakses 21 November 2019. 34 Suhariyono A. R., Op. Cit. 31



264



Marya Ulfah “Sanksi Pidana Pokok...”



kedua. Berikut adalah tabel perbandingan di antara pengaturan pidana tutupan dari kedua aturan tersebut: PIDANA TUTUPAN Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 RKUHP September 2019 juncto Peraturan Pemerintah (Pasal 74) Nomor 8 Tahun 1948 - Pidana ini merupakan pidana pokok yang - Berdasarkan ketentuan Pasal 74 diatur menggantikan (alternatif) dari pidana bahwa: penjara atas kejahatan yang dilakukan “(1) Orang yang melakukan Tindak karena terdorong maksud yang patut Pidana yang diancam dengan dihormati. pidana penjara karena keadaan - Diiringi dengan adanya kewajiban yang harus diikuti. -



-



-



-



-



-



kewajiban-



pribadi dan perbuatannya dapat dijatuhi pidana tutupan. (2) Pidana tutupan sebagaimana Berlakunya peraturan mengenai pidana dimaksud pada ayat (1) dapat penjara bagi mereka yang mendapatkan dijatuhkan kepada terdakwa yang pidana tutupan. melakukan Tindak Pidana karena Pelaksanaan pidana ini dilakukan di Rumah terdorong oleh maksud yang Tutupan. patut dihormati. Makanan orang yang menjalani pidana (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud tutupan harus lebih baik daripada makanan pada ayat (2) tidak berlaku jika orang yang menjalani pidana penjara. cara melakukan atau akibat dari Adanya pemberian rokok yang diganti Tindak Pidana tersebut dengan sejumlah uang seharga rokok sedemikian rupa sehingga tersebut bagi Terpidana tutupan yang tidak Terdakwa lebih tepat untuk merokok. dijatuhi pidana penjara.” Adanya kewajiban bagi Hakim untuk Terpidana tutupan boleh menerima dari memperhatikan mengenai: luar atau membeli makanan, minuman, sedap-sedapan, dan lainnya (termasuk 1) tujuan pemidanaan (Pasal 51-Pasal buku baru/ surat kabar/ majalah) dengan 52); biaya sendiri. 2) pedoman pemidanaan (Pasal 53Pasal 56); Terpidana tutupan diperkenankan 3) pedoman penerapan pidana penjara menghias ruangan untuk tidur, makan, dengan perumusan tunggal dan beristirahat, selama tidak melanggar perumusan alternatif (Pasal 57); kesusilaan/ perasaan orang lain. 4) pemberatan pidana (Pasal 58-Pasal Tidak adanya kewajiban bagi Hakim untuk 59); memperhatikan mengenai tujuan 5) ketentuan lain tentang pemidanaan pemidanaan, pedoman pemidanaan, (Pasal 60-Pasal 63). pedoman penerapan pidana penjara dengan perumusan tunggal dan perumusan alternatif, pemberatan pidana, serta ketentuan lain tentang pemidanaan.



Berlandaskan pada tujuan pemidanaan Pasal 51-52 RKUHP September 2019, maka pidana tutupan adalah jenis sanksi pidana pokok yang dapat memenuhinya. Akan tetapi, terdapat hal penting yang perlu dipahami lebih lanjut dari tabel pidana tutupan di atas dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan di RKUHP September 2019 sebagai berikut:



PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP”



265



- Pidana tutupan memiliki keistimewaan yang berbeda dengan pidana penjara, beberapa diantaranya dapat dilihat pada tabel di atas. - Pelaksanaan pidana tutupan bukan di Lembaga Pemasyarakatan, tetapi di Rumah Tutupan yang hampir tidak terdengar lagi eksistensinya. - Pada hukum positif tidak ditemukan penjelasan lebih lanjut atas tafsiran otentik dari “karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati”. Sedangkan pada bagian Penjelasan dari RKUHP September 2019 hanya dimaksudkan untuk tindak pidana politik (tanpa memberikan detail ketentuan lebih lanjut). Andi Hamzah berpendapat pula bahwa pidana tutupan ada untuk politisi yang melakukan tindak pidana karena ideologi yang dianutnya35 sehingga menimbulkan kebingungan bagaimana klasifikasi pelaku tindak pidana politik yang layak diberikan pidana tutupan. Adapun ketentuan Pasal 620 RKUHP September 2019 memberikan makna bahwa penggunaan pidana tutupan di masa mendatang masih menggunakan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1948 hingga diatur aturan yang baru, sehingga multitafsir atas pidana tutupan ini masih tetap ada di masa mendatang. - Sejak tahun 1946 hingga 2019, hanya terdapat 1 perkara yang diberikan putusan pemidanaan berupa pidana tutupan. Perkara tersebut bermula dari perbedaan pandangan politik antara Sutan Sjahrir dengan Tan Malaka mengenai perjuangan bersenjata melawan Belanda yang menghasilkan 4 maklumat untuk ditandatangani Presiden Ir. Soekarno (hal ini dianggap sebagai tindak pidana makar), kemudian perkara ini diputuskan oleh putusan Mahkamah Tentara Agung di Yogyakarta pada 27 Mei 1948 dan dikenal sebagai peristiwa 3 Juli 1946.36 Berlandaskan pada beberapa hal penting di atas, maka penting dipikirkan kembali mengenai fungsi hingga teknis pelaksanaan dari pidana tutupan dalam tujuan pemidanaan di masa mendatang. Jadi penentuan pidana tutupan yang sejalan dengan tujuan pemidanaan, yang memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum (yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas/ overbelasting), dan yang memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil” (cost and benefit principle)”37 penting untuk dicermati kembali.



7. Pidana Pengawasan dan Pidana Kerja Sosial dalam RKUHP Sanksi pidana pokok lain yang belum dikaji ialah pidana pengawasan dan pidana kerja sosial. Kedua sanksi pidana tersebut merupakan alternatif dari pidana penjara. Pidana pengawasan (probation) menurut Muladi ialah “suatu sistem yang berusaha untuk mengadakan rehabilitasi terhadap seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana, dengan cara mengembalikannya ke masyarakat selama suatu periode pengawasan”.38 Sedangkan definisi pidana kerja sosial (community service order) ialah sanksi berupa kerja



35



Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm. 191. Mukhlis R. Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 47 Nomor 2, April 2018, hlm. 153. 37 Suhariyono A. R., Op. Cit. 38 I Made Ardian Prima Putra, Jurnal Kertha Wicara, Volume 6 Nomor 4, Oktober 2017, hlm. 3. 36



Marya Ulfah “Sanksi Pidana Pokok...”



266



sosial yang ditentukan oleh pihak berwenang agar pelaku tindak pidana mampu memperbaiki diri mereka agar bermanfaat bagi masyarakat sekitar.39 Berikut adalah tabel perbandingan di antara pengaturan pidana pengawasan dan pidana kerja sosial dalam RKUHP September 2019: RKUHP September 2019 Pidana Pengawasan Pidana Kerja Sosial (Pasal 75-Pasal 77) (Pasal 85) - Pidana pengawasan sebagai alternatif dari - Pidana kerja sosial sebagai alternatif pidana penjara yang diancam dengan dari pidana penjara yang diancam pidana penjara paling lama 5 tahun serta kurang dari 5 tahun serta Hakim memperhatikan Pasal 52, Pasal 54, dan Pasal memberikan pidana penjara paling 70. lama 6 bulan/ pidana denda paling banyak kategori II. - Pidana ini diberikan paling lama sama dengan pidana penjara yang diancamkan - Pidana ini diberikan paling singkat 8 tidak lebih dari 3 tahun. jam dan paling lama 240 jam (dalam 1 hari dilakukan paling lama 8 jam dan - Pemberian sanksi ini harus ditetapkan dapat diangsur paling lama dalam dengan syarat umum yaitu Terpidana tidak waktu 6 bulan) dengan pertimbangan akan melakukan tindak pidana lagi (jika atas beberapa aspek dalam Pasal 85 syarat umum ini tidak dipenuhi, maka serta tidak boleh dikomersilkan. Oleh pelaku wajib menjalani pidana penjara karena itu, putusan pemidanaan harus sebagaimana seharusnya) serta dapat memuat lengkap jangka waktu pidana diiringi dengan syarat khusus yakni harus kerja sosial yang dimaksudkan. menggati seluruh atau sebagian kerugian yang timbul akibat tindak pidana yang - Adanya kewajiban bagi Hakim untuk dilakukan dan/atau harus melakukan/ memperhatikan mengenai: tidak melakukan sesutau tanpa mengurangi 1) tujuan pemidanaan (Pasal 51-Pasal kemerdekaan beragama dan kemerdekaan 52); berpolitik (jika syarat khusus ini tidak 2) pedoman pemidanaan (Pasal 53dipenuhi, maka akan diusulkan agar Pasal 56); Terpidana menjalani pidana penjara atau 3) pedoman penerapan pidana memperpanjang masa pengawasan). penjara dengan perumusan tunggal - Terpidana dengan kelakuan yang baik, dan perumusan alternatif (Pasal dapat memberikan dampak bagi Jaksa 57); untuk mengusulkan pengurangan jangka 4) pemberatan pidana (Pasal 58-Pasal waktu pengawasan. 59); 5) ketentuan lain tentang pemidanaan - Pidana pengawasan tetap dilakukan, jika (Pasal 60-Pasal 63). diberikan bersamaan dengan sanksi pidana yang bukan pidana mati atau pidana penjara.



- Adanya kewajiban bagi Hakim untuk memperhatikan mengenai: 1) tujuan pemidanaan (Pasal 51-Pasal 52); 2) pedoman pemidanaan (Pasal 53-Pasal 56);



39



Gatot Sugiharto, Jurnal Novelty, Volume 7 Nomor 1, Februari 2016, hlm. 90.



PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP”



267



3) pedoman penerapan pidana penjara



dengan perumusan tunggal dan perumusan alternatif (Pasal 57);



4) pemberatan pidana (Pasal 58-Pasal 59); 5) ketentuan lain tentang pemidanaan (Pasal 60-Pasal 63). Kedua sanksi pidana tersebut merupakan sanksi pidana pokok yang baru dikenal dalam RKUHP September 2019. Berlandaskan pada tujuan pemidanaan Pasal 51-52 RKUHP tersebut, maka pidana pengawasan dan pidana kerja sosial adalah jenis sanksi pidana pokok yang dapat memenuhinya. Terlebih lagi keduanya merupakan alternatif dari pidana penjara di bawah 5 tahun. Akan tetapi, perlu dimatangkan perumusan hingga pelaksanaan (seperti sistem, lembaga, atau hal penting lain yang diperlukan) dari pidana pengawasan dan pidana kerja sosial yang sejalan dengan tujuan pemidanaan, yang memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum (yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas/ overbelasting), dan yang memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil” (cost and benefit principle)40. Hal ini penting agar kedua sanksi pidana pokok yang baru tersebut dapat diterapkan dan tidak hanya tercantum dalam pasal hukum positif di masa mendatang saja. Selain analisis mengenai beragam sanksi pidana pokok di atas, ketentuan dalam Pasal 57 RKUHP September 2019 yang penting diperhatikan dalam penggunaan sanksi pidana pokok di masa mendatang ialah “Dalam hal Tindak Pidana diancam dengan pidana pokok secara alternatif, penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan harus lebih diutamakan jika hal itu dipertimbangkan telah sesuai dan dapat menunjang tercapainya tujuan pemidanaan.” dengan bagian Penjelasan dari pasal tersebut yang mengatur bahwa “Meskipun hakim mempunyai pilihan dalam menghadapi rumusan pidana yang bersifat alternatif, namun dalam melakukan pilihan tersebut hakim senantiasa berorientasi pada tujuan pemidanaan, dengan mendahulukan atau mengutamakan jenis pidana yang lebih ringan jika hal tersebut telah memenuhi tujuan pemidanaan.” Hal ini penting agar prinsip ultimum remedium tetap terlaksana karena sanksi pidana bukanlah obat untuk semua kasus tindak pidana, sehingga jika masih bisa dimungkinkan menggunakan sanksi lebih ringan mengapa harus memberikan yang berat atau bahkan yang terberat.



Penutup Kesimpulan Berdasarkan analisis atas sejumlah sanksi pidana pokok di atas, maka dapat disimpulkan bahwa setiap sanksi pidana pokok yang dikaji (dalam KUHP maupun RKUHP September 2019) memiliki persamaan dan perbedaan satu sama lain. Setelah



40



Suhariyono A. R., Op. Cit.



268



Marya Ulfah “Sanksi Pidana Pokok...”



melihat pengaturan secara normatif, doktrin relevan, dan melihat beberapa fenomena yang terjadi hingga tahun 2019, maka perumusan sanksi pidana pokok di dalam RKUHP September 2019 yakni: - pidana mati telah ada kepastian mengenai pelaksanaannya, namun secara konsep pidana ini tidak sejalan dengan Pancasila, tidak sejalan dengan tujuan pemidanaan yang dirancangkan pada Pasal 51-52 RKUHP September 2019, banyak ditolak oleh organisasi internasional/ negara-negara, serta tidak ada individualisasi pidana. - pidana penjara sejalan dengan tujuan pemidanaan yang dirancangkan pada Pasal 51-52 RKUHP September 2019, telah ada individualisasi pidana. Akan tetapi, muncul banyak fenomena permasalahan dalam penerapan pidana penjara yang mengacu pada hukum positif hingga tahun 2019 serta ada beberapa masukan mengenai pengaturan baru di RKUHP September 2019. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan solusi atas fenomena tersebut dengan memikirkan lebih cermat dan lebih bijak atas pengaturan mengenai pidana penjara minimum khusus serta mengenai alternatif sanksi pidana pengganti dari pidana penjara di atas 5 tahun hingga pidana penjara 20 tahun sebelum nantinya RKUHP September 2019 menjadi hukum positif di masa mendatang. - pidana kurungan sejalan dengan tujuan pemidanaan yang dirancangkan pada Pasal 5152 RKUHP September 2019 (walau pada prakteknya berdasarkan KUHP hingga tahun 2019 belum dilaksanakan secara maksimal). Akan tetapi, pidana kurungan telah dihapuskan di dalam RKUHP September 2019. - pidana denda telah disusun secara baik dalam kategorisasi (kategori I hingga kategori VIII), sejalan dengan tujuan pemidanaan yang dirancangkan pada Pasal 51-52 RKUHP September 2019, dapat dilakukan dengan cara mengangsur, telah ada individualisasi pidana. Akan tetapi, muncul konsep penyitaan dan pelelangan atas pidana denda tidak lunas yang dapat menjadi permasalahan ketika diterapkan oleh Jaksa di Indonesia. Jadi penentuan pidana denda yang sejalan dengan tujuan pemidanaan dan yang memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil” (cost and benefit principle) penting untuk dicermati kembali. - pidana tutupan sejalan dengan tujuan pemidanaan yang dirancangkan pada Pasal 5152 RKUHP September 2019, namun banyak poin penting untuk dipikirkan kembali mengenai fungsi hingga teknis pelaksanaan dari pidana tutupan dalam tujuan pemidanaan di masa mendatang. Jadi penentuan pidana tutupan yang sejalan dengan tujuan pemidanaan, yang memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum (yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas/ overbelasting), dan yang memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil” (cost and benefit principle)” penting untuk dicermati kembali. - pidana pengawasan dan pidana kerja sosial diatur sebagai alternatif dari pidana penjara di bawah 5 tahun, sejalan dengan tujuan pemidanaan yang dirancangkan pada Pasal 51-52 RKUHP September 2019. Akan tetapi, perlu dimatangkan perumusan hingga pelaksanaan (seperti sistem, lembaga, atau hal penting lain yang diperlukan) dari kedua pidana tersebut yang memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari



PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP”



269



badan-badan penegak hukum (yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas/ overbelasting) dan yang memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil” (cost and benefit principle). Hal ini penting agar kedua sanksi pidana pokok yang baru tersebut dapat diterapkan dan tidak hanya tercantum dalam pasal hukum positif di masa mendatang saja. - pentingnya memahami ketentuan Pasal 57 RKUHP September 2019 yang relevan dengan prinsip ultimum remedium. Hal ini penting bagi perumus dan pelaksana RKUHP September 2019 karena sanksi pidana bukanlah obat untuk semua kasus tindak pidana, sehingga jika masih bisa dimungkinkan menggunakan sanksi lebih ringan mengapa harus memberikan yang berat atau bahkan yang terberat.



Saran Sanksi pidana pokok dalam RKUHP September 2019 penting untuk secara berkelanjutan dan komprehensif untuk dirumuskan lebih bijak dan lebih cermat mengenai: o tujuan pemidanaan yang telah dirancangkan; o kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum (di mana jangan sampai ada kelampauan beban tugas/ overbelasting), o prinsip “biaya dan hasil” (cost and benefit principle); o prinsip ultimum remedium yang melekat dalam penggunaan sanksi pidana pokok di masa mendatang.



Daftar Pustaka Buku Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2010. Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010. C. Djisman Samosir, Penologi dan Pemasyarakatan, Nuansa Aulia, Bandung, 2016. J. Remmelink, Pengantar Hukum Pidana Material 3 Hukum Penitensier, terjemahan dari Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Strafrecht, Alih Bahasa, Tristam P. Moeliono, Maharsa, Yogyakarta, 2017. J. E. Sahetapy, Pidana Mati dalam Negara Pancasila, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007. R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005.



Jurnal Auliah Andika Rukman, Jurnal Equilibrium Pendidikan Sosiologi, Volume IV Nomor 1, Mei 2016. Galih Puji Mulyono dan Barda Nawawi Arief, Jurnal Law Reform, Volume 12 Nomor 1 Tahun 2016. Gatot Sugiharto, Jurnal Novelty, Volume 7 Nomor 1, Februari 2016. H. C. Fragoso, The ‘Dual-Track’ System of Sanctions in Continental Criminal Law, International Journal of Offender Therapy and Comparative Criminology, Volume 12, Issue 1, January 1968.



270



Marya Ulfah “Sanksi Pidana Pokok...”



Hwian Christianto, Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor 1, April 2009. I Made Ardian Prima Putra, Jurnal Kertha Wicara, Volume 6 Nomor 4, Oktober 2017. Mukhlis R. Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 47 Nomor 2, April 2018. Suhariyono A. R., Jurnal Perspektif, Volume XVII Nomor 1 Tahun 2012, Edisi Januari.



Artikel Adi Renaldi, Mirisnya Anggaran Kesehatan Napi Indonesia, Per Orang Cuma Cukup Buat Beli Paracetamol, https://www.vice.com/id_id/article/vb5qn4/mirisnya-



anggaran-kesehatan-napi-indonesia-per-orang-cuma-cukup-buat-beliparacetamol dipublikasikan 21 Oktober 2019, diakses 20 November 2019.



Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Abolisi Pidana Kurungan dalam RKUHP: Pengaruh dan Akibatnya, https://reformasikuhp.org/abolisi-pidana-kurungandalam-rkuhp-pengaruh-dan-akibatnya/ dipublikasikan 16 November 2015, diakses 20 November 2019. Anti-Corruption Clearing House, Tata Laksana Benda Sitaan dan Barang Rampasan,



https://acch.kpk.go.id/id/artikel/riset-publik/tata-laksana-bendasitaan-dan-barang-rampasan dipublikasikan 30 Desember 2016, diakses 21



Dani



November 2019. Tri Wahyudi, Ombudsman



Terima



Laporan



Jual



Beli



Kamar



Penjara,



https://indopos.co.id/read/2019/03/28/169853/ombudsman-terimalaporan-jual-beli-kamar-penjara/ dipublikasikan 28 Maret 2019, diakses 20



November 2019. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Lelang Bersifat Lex Specialis, PMK No. 13/ PMK. 06/ 2018: Peluang atau Ancaman,



https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/12709/Lelang-BersifatLex-Specialis-PMK-No-13PMK062018-Peluang-atau-Ancaman.html



dipublikasikan 7 Septermber 2018, diakses 21 November 2019. Fitra Moerat Ramadhan, Kronologi Demonstrasi Mahasiswa di DPR yang Menolak RUU KUHP, https://grafis.tempo.co/read/1825/kronologi-demonstrasiFriski



mahasiswa-di-dpr-yang-menolak-ruu-kuhp Riana,



Jokowi



Perintahkan



Tunda



Pengesahan



RUU



KUHP,



https://nasional.tempo.co/read/1250237/jokowi-perintahkan-tundapengesahan-ruu-kuhp/full&view=ok



Ibnu Hariyanto, Ombudsman: Hampir Semua LP di Indonesia Tak Penuhi Standar,



https://news.detik.com/berita/d-4226477/ombudsman-hampir-semualp-di-indonesia-tak-penuhi-standar dipublikasikan 24 September 2018,



diakses 20 November 2019. Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, Statistik Data Perkara Mahkamah Agung, http://leip.or.id/statistik-data-perkara-mahkamah-



agung/



Website https://www.amnesty.org/en/who-we-are/ https://www.ohchr.org/EN/ProfessionalInterest/Pages/DeathPenalty.aspx https://www.penalreform.org/resource/standard-minimum-rules-treatmentprisoners-smr/ http://www.worldcoalition.org/History.html