Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KAJIAN PERKEMBANGAN USHUL FIQH



Disusun oleh : 1. Elsa Witdya Ningsih



(215211075)



2. Diah Ayu Isfah Hani



(215211076)



3. Ahmad Yusuf



(215211079)



4. Novia Rizki Fajar R



(215211080)



MANAJEMEN BISNIS SYARIAH (1C) UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA 2021/2022



KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan berbagai nikmat di antaranya nikmat iman, serta kesehatan yang tak terkira harganya. Semoga dengan melimpahnya rahmat tersebut, kita senantiasa istiqamah di jalan yang Allah ridhoi. Shalawat serta salam tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw. kepada keluarganya, para sahabatnya, para tabi’in hingga sampai kepada kita selaku umatnya. Semoga cahaya Nabi Muhammad senantiasa menuntun kita untuk menapaki kehidupan akhir zaman. Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai salah satu syarat dalam mata kuliah Ushul Fiqh. Dalam makalah ini penyusun mengangkat judul “Kajian Perkembangan Ushul Fiqh”. Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pengampu atas bimbingannya serta kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini. Penulis menyadari dalam pembuatan dan penyusunan makalah ini, masih terdapat banyak kekurangan yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu, penyusun memohon maaf sebesar-besarnya jika terdapat banyak kekurangan tersebut. Penyusun dengan senang hati menerima kritik dan saran sehingga lebih baik lagi dalam pembuatan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca umumnya dan bagi penyusun khususnya.



Surakarta, 27 September 2021



Penyusun



PENDAHULUAN Manusia hidup secara dinamis, berubah-ubah sesuai perkembangan masa atau zaman. Semakin berkembangnya manusia maka semakin banyak masalah-masalah baru yang akan timbul. Begitu pula dengan umat islam, karena semakin luas dan banyaknya bangsa luar arab yang memeluk agama islam maka masalah yang ada tidak hanya dari bangsa arab saja. Terkadang kasus-kasus itu timbul dan belum pernah ada, dalam kata lain yaitu masalah baru yang belum ada hukumnya didalam Al Qur’an dan as-Sunnah. Hukum-hukum yang belum dijelaskan dalam Al Qur’an dan as Sunnah inilah yang akan menjadi pembahasan dalam ijtihad para sahabat. Ushul fiqh adalah ilmu untuk berijtihad dalam beberapa masalah yang hadir silih berganti pada setiap zaman. Ilmu ushul fiqh juga selalu berkembang di setiap zaman, mulai dari zaman sahabat sampai saat ini. Ada penambahan bahkan penyempurnaan ilmu ushul fiqh pada iftihad para sahabat sampai dengan para mujtahid setelah sahabat, terutama pada masa imam Syafi’I. Mungkin masih ada orang yang bertanya-tanya “sebenarnya apasih arti ushul fiqh itu?” ushul fiqh menurut bahasa berarti landasan tempat membangun sesuatu, sedangakn menurut istilah ushul fiqh berarti ilmu pengetahuan dari hal kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dapat membawa kepada pengambilan hukum-hukum tentang amal perbuatan manusia dari dalil-dalil yang terperinci. Ushul fiqh terus berkembang dari masa ke masa hingga dapat digolongkan menjadi 6 periode, yaitu mulai dari periode rasulullah SAW, periode sahabat, periode tabi’in, periode imam madzhab, periode kodifikasi ushul fiqh, periode pasca imam syafi’i



I.



PERIODE RASUL Ushul fiqh pertama kali muncul pada sekitar abad kedua hijriyah. Awalnya sumber hukum islam hanya ada dua yaitu Al-Qur’an dan As sunnah, namun karena semakin luasnya daerah kekuasaan islam dan banyaknya orang yang bukan arab memeluk agama islam sehingga mulai muncullah masalah-masalah baru yang yang terdapat dikalangan umat islam. Karena itu banyak menimbulkan kesamaran nash,sehingga dirasa perlu menetapkan kaidah-kaidah bahasa yang dipergunakan dalam membahas nash, maka lahirlah ilmu ushul fiqh yang menjadi penuntun dalam memahami nash. Pada masa ini sumber ushul fiqh yang benar adalah rasulullah SAW, semua hukum yang belum jelas atau terdapat di Al-Qur’an dan As Sunnah dapat dipertanyakan kepada rasulullah secara langsung. Orang-orang mungkin bertanya “manakah yang lebih dahulu ada ushul fiqh ataukah fiqh?” Musthafa Said al-khin memberikan argumen bahwa ushul fiqh ada terlebih dahulu sebelum fiqh. Alasannya bahwa



ushul fiqh merupakan pondasi,



sedangkan fiqh merupakan bangunan yang didirikan diatas pondasi. Karena itulah sudah tentu ushul fiqh ada mendahului fiqh. Kesimpulannya, tentu harus ada ushul fiqh sebelum adanya fiqh. Ushul fiqh secara teori telah digunakan oleh beberapa sahabat, walaupun pada masa itu ushul fiqh masih belum menjadi nama keilmuan tertentu. Salah satu teori ushul fiqh adalah, jika terdapat permasalahan yang membutuhkan kepastian hukum, maka pertama adalah mencari jawaban didalam Al-Qur’an, kemudian hadist, jika dari keduanya belum ditemukan juga maka dapat berijtihat. Contoh ijtihad yang dilakukan sahabat pada masa ini adalah Ketika dua sahabat bepergian kemudian tiba waktu sholat. Sayangnya mereka tidak punya air untuk berwudhu. Keduanya lalu bertayamum dengan debu yang suci kemudian melaksanakan sholat. Kemudian mereka menemukan air pada waktu sholat belum habis. Salah satu mengulang sholat sedang yang lain tidak. Keduanya lalu mendatangi rasulullah dan menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang tidak mengulang Rasulullah SAW bersabda: “ engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu mencukupi.” Kepada orang yang berwudhu dan mengulang shalatnya, Rasulullah menyatakan “bagimu dua pahala.”



II.



PERIODE SHOHABI Masa sahabat sebenarnya adalah masa transisi dari masa hidup dan adanya bimbingan Rasulullah SAW. sahabat menggunakan tiga sumber penting dalam pemecahan hukum, yaitu alQur’an, sunnah, dan ra’yu (nalar). Meninggalnya Rasulullah SAW memunculakn kasus-kasus baru yang menuntut sahabat untuk memecahkan



hokum dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal



memiliki kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibn Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah bin Umar. Periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum, pada hakikatnya para sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk berijtihad. Hanya saja, ushul fiqh yang mereka gunakan baru dalam bentuknya yang paling awal, dan belum banyak terungkap dalam rumusan-rumusan sebagaimana yang kita kenal sekarang. Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hokum, yakni ijma’, qiyas, dan istishlah (maslahah mursalah) bilamana hukum suatu masalah tidak ditemukan secara tertulus dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Pertama, khalifah biasa melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama tentang persoalan hukum. Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli dalam bidang hukum. Keputusan musyawarah tersebut biasanya diikuti oleh para sahabat yang lain sehingga memunculkan kesepakatan sahabat Itulah momentum lahirnya ijma’ sahabat, yang di kemudian hari diakui oleh sebagian ulama, khususnya oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya sebagai ijma’ yang paling bisa diterima. Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal , yang berupa qiyas dan maslahah. Penggunaan ra’yu untuk mencari pemecahan hukum dengan qiyas dilakukan untuk menjawab kasus-kasus baru yang belum muncul pada masa Rasulullah saw. Umar bin Khattab dikenal sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan penggunaan pertimbangan maslahah dalam pemecahan hukum. Hasil penggunaan pertimbangan maslahah tersebut dapat dilihat dalam pengumpulan al-Qur’an dalam satu mushaf, pengucapan talak tiga kali dalam satu majlis dipandang sebagai talak



tiga, tidak memberlakukan hukuman potong tangan di waktu paceklik, penggunaan pajak tanah (kharaj), pemberhentian jatah zakat bagi muallaf, dan sebagainya. Sahabat juga memiliki pandangan berbeda dalam memahami apa yang dimaksud oleh al-Qur’an dan sunnah. Contohnya dalam kasus pemahaman ayat iddah dalam QS. al-Baqarah 228: “Perempuan-perempuan yang ditalak hendaknya menunggu selama tigaquru'.” Kata quru’ dalam ayat di atas memiliki pengertian ganda (polisemi), yaitu suci dan haid. Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali, Utsman, dan Abu Musa al-Asy’ari mengartikanquru’ dalam ayat di atas dengan pengertian haid, sedangkan Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan Ibn Umar mengartikannya dengan suci. Ushul fiqh pada era sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Para sahabar sering kali berbeda pandangan dan pendapat dalam mengkaji persoalan hukum. Tetapi kajian tersebut belum menagarah kepada pembentukan sebuah bidang kajian khusus tentang metodologi.pertukaran pikiran yang dilakukan oleh sahabat bersifat praktis untuk menjawab suatu permasalahan.



Pada zaman sahabat dan tabi’in, pengetahuan mereka sempurna tentang hukum-hukum yang terdapat di dalam Al-Quran dan mengetahui pula sebab-sebab turunnya, serta rahasia syariat dan tujuan karena pergaulan mereka pada zaman nabi saw. Karena itu, Mereka tidak menggunakan pengetahuan Ushul Fiqh dalam teori, tetapi dalam praktek sesungguhnya ilmu ini telah diterapkan dan menjadi teladan bagi umat sesudahnya.



III. PERIODE SAHABAT Masa sahabat sebenarnya adalah masa transisi dari masa hidup dan pada bimbingannya Rasulullah pada masa Rasulullah tidak lagi mendampingi umat Islam.ketika Rasulullah masih hidup sahabat menggunakan tiga sumber penting yaitu : 1. Al Qur'an 2. Sunnah 3. Ra'yu( nalar)



Pada era sahabat digunakan beberapa cara untuk memecah hukum diantaranya ijma' sahabat dan maslahah(Abdul Wahab Ibrahim abu Sulaiman, 1983: 38-39) musyawarah tersebut bukti kan oleh para sahabat dan ahli dalam bidang hukum. Keputusan musyawarah tersebut dibuktikan oleh sahabat dalam momentum lahirnya ijma' Periode ada masa tabiin Pada masa tabi'in adalah generasi setelah sahabat.mereka bertemu dengan sahabat dan belajar kepada sahabat. Peran sahabat ketika Islam menyebar turut tulang menyebar ke berbagai daerah seperti Ibnu Mas'ud di Irak, Umayyah di Syam, Ibnu Abbas di Mekah, Umar bin Khattab, Aisyah, dan Ibnu Umar dan Abu Hurairah di Madinah, dan Abdullah bin Amru di Mesir. sahabat itu berperan menyebarkan ajaran Islam dan menjadi tempat masyarakat masing-masing daerah minta fatwa. Kecenderungan berpikir sahabat turut mempengaruhi pola pemikiran ushul fiqh di masing-masing daerah. Ibnu Mas’ud, misalnya, dikenal sebagai tokoh yang memiliki kemampuan ra’yu yang baik. Tidak mengherankan apabila murid-muridnya di Iraq (Kufah) juga dikenal dengan ahl al-ra’yi, meskipun ada faktor lain yang tentunya berpengaruh. Karena itulah, metode istimbath tabi’in umumnya tidak berbeda dengan metode istimbath sahabat. Hanya saja pada masa tabi’in ini mulai muncul dua fenomena penting



IV. PERIODE MUTTAQADIM (Tabiin dan Tabi’ Tabi’in) Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan belajar kepada sahabat. Pada masa tabi’in, metode istinbath menjadi semakin jelas dan meluas disebabkan bertambah luasnya daerah Islam, sehingga banyak permasalahan baru yang muncul. Metode



istinbath



tabi’in



umumnya



tidak



berbeda



dengan



metode



istinbathsahabat. Perdebatan mengenai penggunaan ra’yu yang memunculkan kelompok Irak dan kelompok Madinah . Dengan demikian muncul bibit-bibit perbedaan metodologis yang lebih jelas disertai



dengan



perbedaan



kelompok



ahli



hukum



berdasarkan



wilayah



geografis.Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum



generasi tabi’in juga menempuh langkahlangkah yang sama dengan yang dilakukan para pendahulu mereka. Masa tabi’in banyak yang melakukan istinbath dengan berbagai sudut pandang dan akhirnya juga mempengarhi konsekuensi hukum dari suatu masalah. Para ulama Madinah banyak menggunakan hadits-hadits Rasulullah SAW, karena mereka dengan mudah melacak sunnah Rasulullah di daerah tersebut. Akibatnya, muncul tiga kelompok ulama’, yaitu Madrasah al-Iraq, Madrasah Al-Kufah, Madrasah AlMadinah.13. Pada perkembangan selanjutnya madrasah al-iraq dan madrasah al-kufah dikenal dengan sebutan madrasah al-ra’yi, sedangkan madrasah al-Madinah dikenal dengan sebutan madrasah al- hadits.  Masa Tabi’-Tabi’in 



Imam Abu Hanifah Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan dengan sebutan Imam Hanafi



bernama asli Abu Hanifah Nu’man bi Tsabit Al Kufi, lahir di Irak pada tahun 80 Hijriah (699 M). Beliau digelari Abu Hanifah, karena salah satu anaknya yang bernama Hanifah. Ada juga yang meriwayatkan karena beliau begitu dekat dan eratnya berteman dengan tinta.



Imam Abu Hanifah dikatakan banyak belajar berbagai Ilmu fiqh, tafsir, hadis dan tauhid dari para ulama yang alim. Beliau juga berkesempatan menimba ilmu dari beberapa orang sahabat Nabi SAW yang masih hidup, seperti ‘Abdullah ibn Mas'ud, Abdullah ibn Abi Aufa dan Sahal bin Sa’ad. Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli ibadah.



Sebab Kemunculan Perkembangan berbagai mazhab, selain didukung oleh fuqaha serta para pengikut mereka, juga mendapat pengaruh dan dukungan dari penguasaan politik. AlKharaj adalah kitab yang disusun atas permintaan khalifah Al-Rasyid dan kitab ini adalah rujukan pertama rujukan Hanafi



Sumber Hukum dalam Istinbath Abu Bakar Muhammad Ali Thaib al-Baghdadi dalam kitabnya, alBaghdadi menjelaskan bahwa dasar-dasar pemikiran fiqh Abu Hanifah sebagai berikut: "aku (Abu Hanifah) mengambil kitab Alah. Bila tidak ditemukan di dalamnya, aku ambil dari sunah Rasul, jika aku tidak menemukan pada kitab dan sunahnya, aku ambil pendapat sahabat-sahabat.  Imam Malik Biografi Nama lengkap beliau adalah Malik Bin Anas bin Malikbin Abi ‘Amar alAsybahi al-‘Arabiy al-Yamniyyah. Beliau dilahirkan tahun 93 H / 789 M. di Kota Madinah dan meninggal tahun 179 H/ 789 M. Dalam usia 87 tahun. Kakeknya bernama Malik, yang datang ke Madinah setelah Rasulullah SAW wafat. Guru yang dianggapnya paling berpengaruh adalah Abdullah ibn Yazid ibn Hurmuz, seorang Tabi’in muda. Di antara gurunya juga adalah Nafi’, tabi’in tua dan budak dari Abdullah bin Umar.



Sebab Kemunculan Mazhab Malik berkembang di khilafah timur atas dukungan alMansyur dan di khilafah barat atas dukungan Yahya Ibnu Yahya ketika diangkat menjadi qadhi oleh para khalifah Andalusia.



Sumber Hukum dalam Istinbath Sistematika sumber hukum atau istinbath Imam Malik, paada dasarnya ia tidak menulis secara sistematis. Akan tetapi para muridnya atau madzhabnya menyusun sistematika Imam Malik.  Imam Syafi’i Biografi Al-Imam al-Shafi’i lahir pada masa pemerintahan Abbasiyyah, tepatnya pada tahun 150 H/767 M di Gazza Palestina dengan nama kecil Muhammad. Nama lengkapnya ialah Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Usman bin



Shafi’i bin al-Sa’ib bin Ubayd bin ‘Abd Yazid bin Hashim bin al-Muthallib bin ‘Abd Manaf. Sedangkan nama al-Shafi’i diambil dari nama kakeknya, Shafi’i.



Sebab Kemunculan Mazhab Malik berkembang di khilafah timur atas dukungan alMansyur dan di khilafah barat atas dukungan Yahya Ibnu Yahya ketika diangkat menjadi qadhi oleh para khalifah Andalusia. Sumber Hukum dalam Istinbath Pola pikir Imam asy-Syafi’i secara gariss besar dapat dilihat dari kitab al-Umm yang menguraikan sebagai berikut: “ilmu itu bertingkat secara berurutan pertama-tama adalah al-Qur’an dan as-Sunnah apabila telah tetap, kemudian kedua Ijma’ ketika tidak ada dalam al-Qur’an an as-Sunnah dan ketiga Sahabat Nabi (fatwa sahabi) dan kami tahu dalam fatwa tersebut tidak adanya ikhtilaf di antara mereka, keempat ikhtilah sahabat Nabi, kelima qiyas yang tidak diqiyaskan selain kepada al-Qur’an dan as-Sunnah karena hal itu telah berada di dalam kedua sumber, sesungghunya mengambil ilmu dari yang teratas”  Imam Ahmad bin Hanbal Biografi Imam Ahmad bin Hanbal adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal al-Syaibani. Beliau dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabiul Awal tahun 164 H/780 M.



Sebab Kemunculan Mazhab Hanbali menjadi kuat pada masa pemerintahan AlMutawakkil.



Sumber Hukum Istinbath Adapun dasar-dasar hukum yang digunakan Imam Ahmad bin Hanbal adalah: a) Al-Qur’an dan Hadits, yakni apabila beliau mendaparkan nash, maka beliau tidak lagi memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak memperhatikan pendapat-pendapat sahabat yang menyalahinya.



b) Ahmad bin Hanbal berfatwa dengan fatwa para sahabat, ia memilih pendapat sahabat yang tidak menyalahinya (ikhtilaf) dan yang sudah sepakat. c) Apabila fatwa sahabat berbeda-beda, Ahmad bin Hanbal memilih salah satu pendapat mereka yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan asSunnah. d) Ahmad bin Hanbal menggunakan Hadits Mursal dan Dhaif apabila tidak ada atsar, qaul sahabat atau ijma’ yang menyalahinya. e) Apabila tidak ada dalam nash, as-Sunnah, qaul sahabat, riwayat masyhur, hadits mursal dan dhaif, Ahmad bin Hanbal menganalogikan (menggunakan qiyas) dan qiyas baginya adalah dalil yang digunakan dalam keadaan terpaksa.



V. MASA KONTEMPORER Kata Fiqih secara Bahasa arab berarti Al-Fahm atau pemahaman disertai ilmu pengetahuan yang dapat diperoleh melalui presepsi berfikir pemahaman yang mendalam bukan hanya sekedar tau atau mengerti secara ringkasnya. Adapun istilah fiqih didefinisikan oleh para ulama adalah yang membahas hukum-hukum syariat bidang amaliyah (perbuatan nyata) yang diambil dari dalil-dalil terperinci. Sementara itu, Fiqih Kontemporer dalam KBBI berarti sewaktu, sesama, atau pada waktu yang sama atau dapat disimpulkan bahwa fiqih kontemporer adalah perkembangan pemikiran fiqih pada masa kini dan yang menjadi titik acuan adalah bagaimana tanggapan dan metedeologi Hukum Islam dalam memberikan jawaban terhadap masalah kontemporer. Periode Islam Kontemporer dimulai sejak paruh abad ke-20 atau sejak berakhirnya Perang Dunia II sampai sekarang. Periode ini ditandai dengan 2 peristiwa utama, yaitu : 1. Dekolonisasi negara-negara muslim dari cengkraman kolinialisme Eropa. 2. Gelombang migrasi muslim ke negara-negara barat. Dua peristiwa itu telah mengubah landskap geografi dunia muslim yang kini dunia muslim tidak lagi identic dengan dunia Arab namun meliputi negara nasional yang sekarang tersebar ke seluruh penjuru dunia, dari Afrika Utara hingga Asia Tenggara. Selain itu sejak saat itu muslim menjadi bagian dari landskap demografi negara-negara barat. Dekolonisasi negara-negara berpenduduk mayoritas muslim dari cengkraman kolonialisme Eropa telah menghadapkan Islam dan kaum Muslim pada



realitas baru yaitu menjadi negara modern. Kini klaim-klaim keagamaan negara islam yang Universal mau tidak mau harus bekerja pada ranah particular.



Adapun yang melatar belakangi muculnya isu fiqh Kontemporer yaitu : 1) Akibat arus modrenisasi yang meliputi hampir sebagian besar Negara-negara yang dihuni mayoritas umat islam. Dengan adanya arus modrenisasi tersebut, mangakibatkan munculnya berbagai macam perubahan dalam tatanan social umat islam, baik yang menyangkut ideology politik, social, budaya dan sebagainya. Berbagai perubahan tersebut seakan-akan cenderung menjauhkan umat dari nilainilai agama. Hal tersebut disebabkan kemajuan modrenisasi tidak diimbangi dengan pembaharuan pemikiran keagamaan. 2) Telah mapannya system pemikiran barat (hukum positif) di mayoritas negeri muslim secara faktual lebih mudah diterima dan diamalkan apa lagi sangat didukung oleh kekuatan yang bersifat structural maupun kultural. 3) Masih terpakunya pemikiran fiqih klasik (lawan Fiqh Kontemporer) dengan pemahaman tekstual, adhoc dan persial, sehingga kerangka sistematika pengkajian tidak komprehensip dan actual, sekaligus kurang mampu beradaptasi denmgan perkembangan.



Selanjutnya untuk ruang lingkup Fiqih Kontemporer mencakup masalahmasalah fiqih yang berhubungan dengan situasi kontemporer (modern). Kajian fiqih kontemporer mencakup masalah-masalah fiqih yang berhubungan dengan situasi kontemporer (modern) dan mencakup wilayah kajian dalam Al-Qur’an dan Hadits. Kajian fiqih kontemporer tersebut dapat dikategorikan ke dalam beberapa aspek :  Aspek hukum keluarga Contohnya : akad nikah melalui telepon, penggunaan alat kontra sepsi, dan lain-lain.  Aspek ekonomi Contohnya : system bunga dalam bank, zakat profesi, asuransi, dan lain-lain.



 Aspek pidana



Contohnya : Hukum pidana islam dalam sistem hukum nasional



 Aspek kewanitaan Contohnya : busana muslimah (jilbab), wanita karir, kepemimpinan wanita, dan lainlain.  Aspek medis Seperti : pencangkokan organ tubuh atau bagian organ tubuh, pembedahan mayat, euthanasia, ramalan genetika, cloning, penyebrangan jenis kelamin dari pria ke wanita atau sebaliknya, bayi tabung, dan lain-lain.  Aspek teknologi Contohnya : Menyembelih hewan secara mekanis, seruan adzan atau ikrar basmalah dengan kaset, makmum kepada radio atau televisi, dan lain-lain.  Aspek politik (kenegaraan) Contohnya : Perdebatan tentang perdebatan sekitar istilah “Negara islam”, proses pemilihan pemimpin, loyalitas kepada penguasa (kekuasaan), dan lain-lain.  Aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah Contohnya : Tayammum dengan selain tanah (debu), ibadah kurban dengan uang, menahan haid karena demi ibadah haji, dan lain sebagainya.



Tujuan Fiqh Kontemporer. Menurut Dr. Yusuf Qardlawi dalam salah satu kitabnya secara implisit mengungkapkan betapa perlunya fiqh kontemporer ini.



Dengan adanya kemajuan yang cukup mendasar itu, timbul pertanyaan bagi kita, mampukah ilmu fiqh menghadapi zaman modren?. Masih relevankah hukum islam -yang lahir 14 abad silam- diterapkan sekarang?. Tentu saja kita, sebagai muslim, akan menjawabnya. Hukum islam mampu menghadapi zaman, dan masih relevan untuk diterapkan “tidak asal bicara, memang. Tapi, untuk menuju kesana, perlu syarat yang harus dijalani secara konsekuen. Untuk merealisir tujuan penciptaan fiqih kontemporer tersebut Qardlawi menawarkan konsep ijtihad; ijtihad yang perlu di



buka kembali. Menapak-tilasi apa yang telah dilakukan ulama salaf. Dalam hal yang berkaitan dengan hukum kemasyarakatan, kita perlu bebas madzhab. Begitu pula pandangan Prof. Said Ramadan tentang hal serupa. Bahwa Semua pendapat yang harus di timbang dengan kriteria Al-Qur’an dan sunnah. Dan semua manusia sesudah Rasulullah dapat berbuat keliru. Dalam segala hal dimana tidak ada teks yang mengikat, maka pertimbangan masalah sajalah yang mengikat; dan bahwa aturan demi maslahah dapat berubah bersama perubahan keadaan dan masa, terdahulu: “Di mana dan maslahah di sanalah letak jalan Allah”. Prebedaan antara syari’ah (sebagaimana tercantum dalam Al-Qura’an dan sunnah) yang mengikat abadi dengan detail-detail yang diterangkan oleh para fuqoha’ seharusnya memberikan pengaruh yang sangat sehat terhadap ummat islam pada zaman ini. Dari pernyataan S. Ramadan diatas dapat diambil kesimpulan yang berkenaan dengan munculnya isu fiqih kontemporer tersebut, yakni: bagaimanapun pemikiran ulama bisa di pertanyakan kembali berdasarkan kriteria al-qur’an dan sunnah di sisi lain pertimbangan maslahah dapat di jadikan rujukan dalam upaya penyesuaian fiqih dengan zaman yang berkembang.



VI. PENUTUP Kesimpulan Ushul fiqh pertamakali muncul pada sekitar abad ke dua hijriyah. Pada masa itu semua permasalahan hukum yang belum dijelaskan dalam al-Qur’an dan as Sunnah bisa ditanyakan kepada rasulullah secara langsung. ushul fiqh secara teori telah digunakan oleh beberapa sahabat yaitu teorijika terdapat permasalahan yang membutuhkan kepastian hukum, maka pertama adalah mencari jawaban didalam AlQur’an, kemudian hadist, jika dari keduanya belum ditemukan juga maka dapat berijtihat.