Semiotika Film Danur [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REPRESENTASI MISTIK DALAM FILM DANUR: I CAN SEE GHOSTS (2017)



Proposal Penelitian Disusun Sebagai Tugas Akhir Semester Mata Kuliah Metode Penelitian Komunikasi I Dan Teori Komunikasi Dosen Pengampu: Dr. Redi Panuju, M. Si



OLEH YUNITA INDINABILA NIM. 2016 91 00 40



UNIVERSITAS DR. SOETOMO SURABAYA FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI MAGISTER ILMU KOMUNIKASI 2017



BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Film merupakan salah satu media komunikasi massa dan menjadi suatu produk kebudayaan di dalam kehidupan manusia. Film diciptakan oleh manusia dan untuk manusia sehingga sedikit banyak film memiliki pengaruh dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Menurut UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang perfilman, film adalah sebuah karya seni budaya yang merupakan suatu pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasar atas kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan. Dalam buku Televisi Siaran, Teori dan Praktek, menurut Effendy, film diartikan sebagai hasil budaya dan alat ekspresi kesenian. Film sebagai komunikasi massa merupakan gabungan dari berbagai tekhnologi seperti fotografi dan rekaman suara, kesenian baik seni rupa dan seni teater sastra dan arsitektur serta seni musik. Dalam pengambilan tema untuk film tidak akan jauh dari cerminan kehidupan masyarakat. Tema atau genre yang dipilih biasanya seputar romantisme, aksi atau laga, komedi, horor atau mistik, dan lain sebagainya. Diantara berbagai macam genre film yang muncul di tanah air, horor atau mistik adalah jenis film paling populer dan diminati oleh masyarakat Indonesia, fenomena itu terlihat dari maraknya trend film bergenre horor baik sebelum ataupun sesudah masa orde baru. Genre film horor sendiri sudah ada sejak masa-masa awal kemunculan film di dunia, pada akhir abad ke-19. Tercatat F. W. Murnau dari Jerman dengan dilm Nosferatu pada tahun 1922 yang mengangkat tema vampire pertama kali di dunia, baru setelah itu diikuti dengan cerita-cerita mengenai Drakula, Mumi, Monster Frakenstein, Manusia Serigala dan banyak lagi tokoh-tokoh yang menjadi figur abadi sepanjang zaman dalam film genre horor. Menurut Pinel, genre horor merupakan wilayah fantastik yang menitikberatkan atas efek horor yang ditimbulkan kepada penonton, baik itu melibatkan monster, bencana, ataupun sisi monster yang ada pada diri manusia. Di Indonesia, film horor sudah muncul sejak tahun 1941 melalui film Tengkoerak Hidup yang merupakan tonggak perkembangan cerita-cerita horor hantu di Indonesia. Pada tahun 1980-an hingga tahun 1990-an merupakan era kejayaan film-film horor dengan bintangnya yaitu Suzana. Tercatat pada era 1980-an ada 69 film genre horor terkaryakan, bukan hanya dari segi kualitas saja tetapi juga tingginya penonton pada film genre ini pada masa itu. Keakraban penonton pada tokoh-tokoh supranatural dalm film horor bukan tanpa alasan. Selama ini masyarakat Indonesia telah begitu dekat dengan segala bentuk ilmu yang berhubungan dengan makhluk-makhluk halus atau kasat mata. Sehingga merupakan sebuah hal yang wajar jika penonton Indonesia begitu menikmati tayangan film horor Suzzana. Film horor banyak yang mengangkat tema mistik atau klenik dikarenakan dua hal. Pertama adalah baik produser maupun sutradara melihat dari banyaknya fenomena yang ada di lingkup mereka, dimana masyarakat Indonesia memang tidak bisa lepas dari hal-hal berbau mistik dan magis, karena mistik dan magis sudah menjadi akar corak kebudayaan di nusantara yang sudah ada sejak zaman nenek moyang kita menerima animisme dan dinamisme sebagai ajaran kehidupan mereka. Dan kedua karena konsumtif masyarakat atas film horor jenis ini masih sangat tinggi dan semuanya dikaitkan lagi dengan faktor kepercayaan dan kebudayaan masyarakat. Menurut Palmer untuk memahami sebuah film, penonton perlu memposisikan dirinya dalam situasi asli yang dikonstruksi film sehingga dapat mengetahui makna



dari sebuah peristiwa lebih mendalam dan lebih luas dari sekedar apa yang ditampilkan oleh film. Setidaknya penonton sudah memiliki pengetahuan tentang budaya yang ditampilkan film, pengetahuan tersebut merupakan mediasi dan proses mengolah pesan dalam film agar dipahami maksud dari ceritanya. Mistik dalam buku Antropologi Budaya karya Koentjaningrat dijelaskan sebagai aspek ruhaniah dalam diri individu yang meyakini, mempelajari, menghayati, sebuah ajaran agama beserta prakteknya. Menurut J. Kramers. Jz mistik (mystiek) adalah hal-hal yang tidak dapat dipikirkan, hal-hal yang bersifat rahasia, hal-hal yang bersifat gaib, hal-hal yang tersembunyi, gelap, hal yang diselimuti kegelapan, doktrin rahasia, bersifat misteri, pengetahuan rahasia, empowering spiritual power (esp) dalam hal kepercayaan, tidak diketahui, dan tidak jelas. 1.2. Identifikasi Masalah Pada tahun 2014, film dengan genre drama, aksi, dan komedi meramaikan bioskop-bioskop Indonesia. Dengan puncaknya, film Comic 8 yang bergenre aksi dan komedi berhasil meraih 1.624.067 penonton sejak tayang pada 29 Januari 2014. Pada tahun 2015, film Indonesia mulai diramaikan dengan genre lain yaitu religi. Film Surga Yang Tak Dirindukan dengan genre drama religi berhasil meraih sekitar 1.500.000 penonton sejak tayang pada 15 Juli 2015. Pada tahun 2016, film bergenre horor mulai bersaing dengan film-film bergenre drama dan komedi. Namun film bergenre komedi kembali berhasil mendapatkan penonton sebanyak 6.858.616 penonton pada film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 yang tayang pada 8 September 2016. Pada awal tahun 2017, perfilman Indonesia mendapatkan jumlah penonton sebanyak 1.535.728 penonton pada film Surga Yang Tak Dirindukan 2 dengan genre drama religi. Ditengah kehadiran film bergenre drama, film Danur: I Can See Ghosts hadir dengan genre horor. Film ini tayang pada tanggal 30 Maret 2017 dan hanya dalam waktu satu pekan film ini telah mendapatkan penghargaan Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai film horor dengan jumlah penonton terbanyak hanya dalam waktu enam hari yaitu sebanyak 1.000.000 penonton. Danur: I Can See Ghosts adalah film yang diangkat dari buku karya Risa Saraswati berjudul Gerbang Dialog Danur yang ditulis berdasarkan pengalamannya sendiri sebagai seorang gadis indigo. Film ini berdurasi 78 menit dan dibintangi oleh Prilly Latuconsina, Sandrinna Michelle, Shareefa Danish, Wesley Andrew, Kevin Taroreh, Gamaharitz, Indra Brotolaras, Kinaryosih, dan Inggrid Widjanarko. Dengan Awi Suryadi sebagai Sutradara dan Dian Sasmita Faisal sebagai Produser, film ini tidak hanya rilis di Indonesia namun juga dirilis di Malaysia pada tanggal yang sama dengan jadwal rilis di Indonesia yaitu 30 Maret 2017 dan di Brunei Darussalam pada 11 Juni 2017. Film ini dibuka dengan lantunan lagu Boneka Abdi. Lagu yang sekaligus berperan sebagai elemen penting dalam keseluruhan cerita Danur. Prilly Latuconsina, yang berperan sebagai Risa, melantunkan lagu ini dengan memainkan piano di rumah neneknya. Nuansa seram pun langsung terasa saat ia bernyanyi dengan perlahan sembari meneteskan air mata. Lalu dari belakang Risa muncul 3 sosok anak kecil berparas bule dengan pakaian ala Eropa zaman dulu, dan satu anak yang bertubuh paling besar membawa biola. Tiga anak ini bernama William, diperankan oleh Wesley Andrew, Jansen, diperankan oleh Kevin Taroreh, dan Peter, diperankan oleh Gamaharitz. Selanjutnya, film ini berlatar masa lalu saat Risa masih berumur delapan tahun. Risa kecil kerap merasa kesepian karena kesibukkan pekerjaan kedua orang tuanya. Di hari ulang tahunnya, Risa berdoa bisa memiliki teman. Di saat itulah Peter,



Willian, dan Jansen datang. Kehadiran ketiga anak ini membuat hari-hari Risa terasa berwarna. Risa pun sudah tak lagi kesepian. Sejak itulah Elly, ibunya, yang diperankan oleh Kinaryosih, sering mendapati anaknya tertawa sendiri dan seolah sedang bermain dengan banyak teman. Elly pun mencari jalan dengan memanggil uztad untuk memisahkan Risa dari sahabat barunya tersebut yang ternyata adalah hantu yang sudah lama meninggal. Tersadar dengan sosok sahabat-sahabatnya, Risa akhirnya melihat wujud asli mereka yang ternyata sangat menyeramkan. Akhirnya, ketiga sahabat Risa itu pergi dari rumah neneknya. Delapan tahun kemudian, Risa yang sudah beranjak dewasa kembali ke rumah tersebut untuk menjaga neneknya, yang diperankan oleh Inggrid Widjanarko, bersama adiknya, Riri, yang diperankan oleh Sandrinna Michelle. Selain mereka, ada Andri, sepupu Risa dan Riri, yang diperankan oleh Indra Brotolaras, yang ikut menjaga sang nenek. Saat Risa menjaga neneknya, Riri bermain sepeda sambil membawa bonekanya dan berhenti di sebuah pohon beringin di kebun belakang rumah. Di dekat pohon, Riri menemukan sebuah sisir, lalu ia mengambilnya dan digunakan untuk menyisir rambut bonekanya. Saat menjelang malam, Risa khawatir karena adiknya tidak kunjung pulang ke rumah. Tak lama, Riri pulang dengan membawa boneka dan sisir. Malamnya, mereka mendapatkan seorang tamu bernama Asih, dengan pakaian suster dan rambut panjang. Risa dan Riri mengira Mbak Asih adalah suster yang dipekerjakan oleh tantenya untuk membantu mereka menjaga sang nenek. Sejak itu, muncul masalah-masalah di rumah tersebut. Puncaknya adalah saat Andri memarahi Risa karena sering membiarkan Riri bermain sendiri padahal Risa melihat bahwa Riri sedang bermain bersama Mbak Asih, saat itulah Risa menyadari bahwa Mbak Asih adalah sesosok hantu. Sayangnya saat menyadari hal tersebut, Riri telah diculik oleh Mbak Asih dengan dibawa ke dunia lain atau dunia hantu. Bimbang harus berbuat apa, sembari menunggu kehadiran Ibunya, Risa akhirnya memanggil teman-teman hantu lamanya dengan memainkan piano dan menyanyikan lagu Boneka Abdi. Dengan bantuan teman-teman hantunya, Risa bisa ke dunia lain dan menyelamatkan Riri. Di dunia nyata, sang Ibu membantu Risa dengan membawa uztad ke rumah nenek. Dengan bantuan uztad tersebut, sang Ibu mengetahui penyebab anak-anaknya berada di dunia lain yaitu karena Riri mengambil sisir milik Mbak Asih dan sang Ibu mengembalikan sisir tersebut ke tempatnya semula yaitu di dekat pohon beringin di kebun belakang rumah. Akhirnya diketahui bahwa di pohon beringin itu Mbak Asih bunuh diri dengan menggunakan sisir tersebut. Mbak Asih bunuh diri dengan membawa jasad bayinya yang ia bunuh sendiri. Konon, siapapun yang mengambil sisir dari pohon beringin tersebut terutama anak-anak akan dibawa oleh Mbak Asih ke dunia lain. Di akhir cerita, Risa, Riri, Ibunya, Sepupunya, dan sang nenek pergi dari rumah tersebut. Film Danur: I Can See Ghosts dipilih oleh peneliti dikarenakan peneliti melihat masih sedikit penelitian yang dilakukan peneliti lain atas tema kebudayaan mistik dalam perfilman horor Indonesia. Selain itu karena prestasi-prestasi yang diraih oleh film ini. Tak hanya mendapatkan penghargaan MURI, namun film ini menjadi film horor Indonesia terlaris dalam kurun waktu 1 dekade terakhir. Sejak dirilis, film ini telah meraih pendapatan sekitar Rp 41,8 miliar. Jumlah tersebut akan terus bertambah seiring dengan penayangannya di bioskop hingga saat ini. Alasan lainnya, konsep cerita serta sinematografi yang dibangun dalam film ini mengandung hal-hal mistik yang kental dengan budaya Indonesia, terutama di tanah Jawa. Kepercayaan masyarakat dalam film ini tersimbolkan dalam adegan kepercayaan atas hal-hal gaib seperti sisir dan pohon beringin, lalu adanya lagu Boneka Abdi yang sarat akan makna.



Menurut Roland Barthes dalam The Romans in Films, ia menunjukkan bahwa tampilan seorang pemain akting merupakan hasil konstruksi yang dilakukan secara saksama. Sebagai tambahan bagi atribut fisik seperti jubah, pedang, dan terompah, Barthes menunjukkan bahwa hampir setiap pemerannya dihias dengan potongan rambut pendek, yang mendukung perannya. Dengan kata lain, banyak cara yang diberikan untuk memberikan muatan simbolis dalam film yaitu antara lain lewat tokoh-tokoh yang ada di dalam film seperti cara berpakaiannya, dan segala hal yang ada di dalamnya sesuai dengan keinginan kita memaknainya. Berdasarkan pertimbangan di atas maka pendekatan semiotik dengan menggunakan metode milik Roland Barthes dianggap sangat sesuai untuk menjawab makna kebudayaan mistik yang terdapat dalam film Danur: I Can See Ghosts melalui lambang audio visual. 1.3. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimana representasi mistik dalam film Danur: I Can See Ghosts (2017)? 1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan, untuk mengetahui bagaimana representasi mistik dalam film Danur: I Can See Ghosts (2017). 1.5. Manfaat Penelitian Manfaat akademis: 1. Memperkaya teori-teori terutama yang berkaitan dengan semiotik film yang didasarkan pada metode semiotik bagi penelitiannya selanjutnya. 2. Memperkaya wawasan mengenai budaya yang menjadi akar di Indonesia yang sering terdapat dalam perfilman tanah air, terutama mengenai budaya mistik. 3. Agar peneliti lain mau, berani, dan tertarik untuk mengangkat hal-hal menarik lain sebagai penelitian mereka dan tidak hanya sekedar terpaku pada tema-tema yang sudah ada sebelumnya. Manfaat praktis: 1. Dapat menjadi konstribusi bagi para sineas muda agar dapat melahirkan film bergenre horor yang jauh lebih baik lagi dan memiliki muatan cerita yang kuat dan tidak sekadar demi keuntungan semata.



BAB II STUDI ATAU KAJIAN PUSTAKA 2.1. Teori Yang Mendukung 2.1.1. Film Sebagai Komunikasi Massa Film merupakan salah satu media komunikasi massa. Dikatakan sebagai media komunikasi massa karena merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dengan komunikan secara massal, tersebar, khalayaknya heterogen dan anonim, dan menimbulkan efek tertentu. Film dan televisi memiliki kemiripan, tetapi dalam proses penyampaian pada khalayak dan proses produksinya agak sedikit berbeda (Tan dan Wright, dalam Vera, 2014:91). Film diciptakan oleh manusia dan untuk manusia sehingga sedikit banyak film memiliki pengaruh dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Nilai, norma, dan gaya hidup yang berlaku pada masyarakat akan disajikan dalam film yang diproduksi. Menurut Deddy Mulyana dalam bukunya Komunikasi Populer: Kajian Komunikasi dan Budaya Kontemporer, film juga berkuasa menetapkan nilai-nilai budaya yang penting dan perlu dianut oleh masyarakat, bahkan nilai-nilai yang merusak sekalipun. Menurut UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang perfilman, film adalah sebuah karya seni budaya yang merupakan suatu pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasar atas kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan. Dalam buku Televisi Siaran, Teori dan Praktek, menurut Effendy, film diartikan sebagai hasil budaya dan alat ekspresi kesenian. Film sebagai komunikasi massa merupakan gabungan dari berbagai tekhnologi seperti fotografi dan rekaman suara, kesenian baik seni rupa dan seni teater sastra dan arsitektur serta seni musik. 2.1.2. Representasi Representasi berarti menggunakan bahasa untuk menyatakan sesuatu secara bermakna atau mempresentasikan pada orang lain. Representasi dapat berwujud kata, gambar, sekuen, cerita, dan sebagainya yang mewakili ide, emosi, fakta, dan sebagainya. Representasi bergantung pada tanda dan citra yang sudah ada dan dipahami secara kultural, dalam pembelajaran bahasa dan penandaan yang bermacam-macam atau sistem tekstual secara timbal balik. Hal ini melalui fungsi tanda mewakili yang kita tahu dan mempelajari realitas (Hartley, 2010:265). Representasi juga berarti konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia: dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahasa. Menurut Stuart Hall, representasi adalah salah satu praktik penting memproduksi budaya. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut pengalaman berbagi. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam bahasa yang sama dan saling berbagi konsep-konsep yang sama. Danesi dkk dalam bukunya yang berjudul Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi, tanda adalah segala sesuatu yang dapat berupa warna, isyarat, kedipan mata, objek, rumus matematika, dan lain-lain yang merepresentasikan sesuatu yang lain selain dirinya. Hal yang dirujuk oleh tanda dikenal sebagai referen dan citraan dari



tanda tersebut disebut konsep. Tanda merujuk kepada sesuatu dan manusia melihat sebuah tanda, memiliki konsep mengenaik rujukan tersebut dalam pikirannya. Oleh sebab itu dapat dikatan bahwa tanda merupakan sesuatu yang merepresentasikan seseorang atau sesuatu yang lain dalam kapasitas dan pandangan tertentu. 2.1.3. Mistik Mistik dalam buku Antropologi Budaya karya Koentjaningrat dijelaskan sebagai aspek ruhaniah dalam diri individu yang meyakini, mempelajari, menghayati, sebuah ajaran agama beserta prakteknya. Menurut J. Kramers. Jz mistik (mystiek) adalah hal-hal yang tidak dapat dipikirkan, hal-hal yang bersifat rahasia, hal-hal yang bersifat gaib, hal-hal yang tersembunyi, gelap, hal yang diselimuti kegelapan, doktrin rahasia, bersifat misteri, pengetahuan rahasia, empowering spiritual power (esp) dalam hal kepercayaan, tidak diketahui, dan tidak jelas. Mistik sering dikaitkan dengan mitos, cerita yang beredar di masyarakat. Cerita, dongeng, legenda, maupun folklore telah lama berkembang di masyarakat dan mayoritas bentuk narasi tersebut dituturkan secara lisan, turun temurun dari satu generasi ke generasi lain. Narasi dapat dimasukkan ke dalam salah satu bentuk dari tipe pembicaraan atau Barthes menyebutnya dengan a type of speech yang nantinya akan dapat berubah menjadi mitos, dan mitos juga merupakan sebuah sistem komunikasi yang tetap memiliki pesan di dalamnya. Mitos dipahami bukan hanya sekedar sebagai suatu objek, konsep atau gagasan tertentu karena mitos merupakan a mode of signification atau mode penandaan yang memiliki suatu bentuk atau a form. Sehingga apa yang disebut sebagai cerita, dongeng, legenda, folklore memiliki bentuk sekaligus pesan di dalamnya. Pesan yang berada dalam suatu narasi biasanya adalah pesan moral tradisional masyarakat tertentu. Barthes juga mengartikan mitos sebagai cara berpikir kebudayaan tentang sesuatu, sebuah cara mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu hal. Barthes menyebut mitos sebagai rangkaian konsep yang saling berkaitan (Sudibyo dalam Sobur, 2003:224). Sehingga boleh jadi mitos adalah kebutuhan manusia. Itulah sebabnya mitos dieksploitasi sebagai media komunikasi. Barthes dalam bukunya Mythologies (1993), sebagai bentuk simbol dalam komunikasi, mitos bukan hanya diciptakan dalam bentuk diskursus tertulis, melainkan sebagai produk sinema, fotografi, advertensi, olah raga, dan televisi (Sobur, 2003:208). 2.1.4. Semiotika Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia (Sobur, 2003:15). Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek itu hanyak membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes dalam Sobur, 2003:15). Dalam sejarah perkembangan semiotika, terdapat dua induk yang memiliki tradisi dasar berbeda. Pertama, Charles Sanders Pierce (1839-1914), seorang



filosof Amerika terkemuka. Pierce terkenal dengan teori tanda, bahwa semiotika tidak lain dan tidak bukan adalah tentang logika. Teori tanda milik Pierce dibentuk oleh tiga sisi, simbol atau representamen (S/R) yang disebut juga dengan tanda oleh Pierce, objek (O) yang dirujuknya, dan interpretant (I) yaitu hasil hubungan dari simbol (S/R) dan objek (O) (Cobley dan Jansz, 2002:21). Di sisi lain, terdapat tradisi semiotik yang dibangun oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913). Saussure menggunakan istilah semiologi dan menolak menggunakan semiotika, karena menurutnya sains yang mempelajari kehidupan tanda-tanda dalam masyarakat niscaya menjadi bagian dari psikologi sosial, dan konsekuensinya, sebuah psikologi umum (Cobley dan Jansz, 2002:13). Saussure mendefinisikan tanda linguistik sebagai dua sisi (dyad), sisi pertama adalah penanda (signifier) dan sisi kedua adalah petanda (signified). Petanda merupakan konsep mental (Cobley dan Jansz, 2002:110-11). 2.1.5. Semiologi Roland Barthes Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi (Cobley dan Jansz, 2002:51). Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran ke-dua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama (Sobur, 2003:69). Melanjutkan studi Hjelmslev, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja (Cobley dan Jansz, 2002:51).



Sumber: Paul Cobley & Litza Jansz. 2002. Tanda denotatif (3) terdiri dari penanda (1) dan petanda (2). Namun, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika Anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin. Dan penanda konotatif haruslah terkait dengan sebuah petanda konotatif (5). Kedua kemudian mengonstruksi tanda konotatif (6) (Cobley dan Jansz, 2002:51-52). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat



berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif (Sobur, 2003:69). Barthes juga menekankan teorinya pada mitos dan pada masyarakat budaya tertentu (bukan individual). Barthes mengemukakan bahwa semua hal yang dianggap wajar di dalam suatu masyarakat adalah hasil dari proses konotasi. Seperti misalnya, bunga mawar dapat diartikan sebagai tanda kasih kepada seseorang. Tanda kasih kepada seseorang inilah yang disebut sebagai konotasi.



DAFTAR PUSTAKA Buku Cobley, Paul dan Litza Jansz. 2002. Mengenal Semiotika For Beginners. Bandung: Mizan Media Utama. Danesi, Marcel dan Peron. 2004. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra. Littlejohn, Stephen W. & Karen A. Foss. 2012. Teori Komunikasi Theories Of Human Communication. Jakarta: Salemba Humanika. Mulyana, Deddy. 2001. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Non Buku Adhiyuda, Fransiskus. 2017. Hampir Tembus 3 Juta Penonton, Film Danur Raih Peringkat Pertama Sinema Horor Di Indonesia, (http://style.tribun news.com/2017/05/22/hampir-tembus-3-juta-penonton-film-danur-raih-peringkat-p ertama-sinema-horor-di-indonesia, diakses pada 25 Mei 2017). Kementerian Pariwisata Indonesia. Tanpa tahun. UU 33 Tahun 2009, (www.kemen par.go.id/userfiles/file/5168_1434-UU33Tahun2009Perfilman.pdf, diunduh pada 24 Mei 2017). Pujiati, Kus. 2009. Film Mistik Indonesia, Sebuah Representasi Keyakinan Tradisional Masyarakat, (https://klubkajianfilmikj.wordpress.com/2009/04/ 30/filmmistikindonesiasebuahrepresentasikeyakinantradisionalmasyarakat/, diakses pada 24 Mei 2017). Rohanawati, Nana. 2017. Review Film: Kisah Nyata Anak Indigo Di Film Danur, (https://id.bookmyshow.com/blog-hiburan/review-film-danur-kisah-nyata-anak-ind igo/, diakses pada 25 Mei 2017). Tanpa nama. 2017. 5 Film Horor Indonesia Terlaris, (http://www.rappler.com/ indonesia/gaya-hidup/166336-5-film-horor-indonesia-terlaris, diakses pada 25 Mei 2017). Tanpa nama. 2017. Review Danur: Mencoba Memanusiakan Hantu, (http://kutufilm. weebly.com/home/review-danur-mencoba-memanusiakan-hantu, diakses pada 25 Mei 2017). Wikipedia. Tanpa tahun. Danur, (https://id.wikipedia.org/wiki/Danur, diakses pada 26 Mei 2017).



LAMPIRAN