Sinopsis Buku Sosiologi Hukum (Suatu Pengantar Dimensi Hukum Dan Masyarakat) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Sinopsis Buku Sosiologi Hukum (Suatu pengantar Dimensi Hukum dan Masyarakat) karangan Esmi Warassih Pujirahayu, Derita Prapti Rahayu, Faisal &



Sosiologi Hukum Esai-Esai Terpilih karangan Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.



Sosiologi hukum merupakan ilmu deskriptif, eksplanasitoris dan membuat prediksi-prediksi yang menjadi kerangka acuan bagi sosiologi hukum keika melihat, menerima, dan memahami hukum sebagai bagian yang berhubungan dengan gejala sosial dari kehidupan manusia bermasyarakat. Pada dasarnya, berlakunya hukum tidak terlepas dari fenomena-fenomena sosial di man ahukum itu sendiri berlaku, berjalannya fungsi hukum dipengaruhi oleh gejala-gejala sosial yang tengah berlangsung di dalam suatu masyarakat. Hukum tidak dilihat sebagai stereotip-stereotip perbuatan atau konsep-konsep abstrak, melainkan sesuatu yang substansial.dengan kata lain, sosiologi hukum memperhatikan verifikasi empiris dan validitas empiris dari hukum yang berlaku. 



Ruang Lingkup Kajian Sosiologi Hukum Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan dapat dihunakan sebagai basis analisis dalam kajian problem sosial di tengah masyarakat. Auguste Francois Xavier Comte mengemukakan sosiologi merupakan : “ A General Social Science” yaitu ilmu pengetahuan kemasyarakatan yang bersifat umum atau suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat dengan segenap aspeknya. Soerjono soekanto mengatakan sosiologi jelas merupakan ilmu sosial yang objeknya adalah masyarakat. Sosilogi merupakan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri karena memenuhi segenap unsur-unsur ilmu pengetahuan. Pertama, sosiologi bersifat empiris. Kedua, sosiologi bersifat teoritis. Menurut Satjipto Rahardjo, sosiologi hukum merupakan disiplin yang berdiri paling depan dalam membuka tabir ekslusivisme tersebut. Hukum



yang tadinya serba kaku dan murni, diurai dan dicairkan oleh sosiologi hukum. Hukum tampil sebagai skema-skema abstrak, melainkan realistas. Perspektif Holmes, selaras dengan Donald Black yang menegaskan jika hukum bukan semata-matanya rulle and logic, akan tetapi social structure dan behavior. Dominasi aturan dan logika memanglah menjadi ciri ekslusivisme dari hukum yang beraliran positivisme, ternyata dalam ranah empiris hukum sering berurusan dengan struktur sosial dan perilaku. Satjipto Rahardjo memberikan arti pada sosiologi hukum sebagai suatu



ilmu



yang



mempelajari



fenomena



hukum



dengan



beberapa



karakteristik. Pertama, bertujuan untuk memberikan penjelasan tentang praktik hukum, baik oleh hakim maupun dalam masyarakat. Kedua, berusaha untuk menguji keabsahan emiris dari sautu aturan atau pernyataan hukum. Ketiga, tidak melakukan penjelasan tentang hukum. Jadi, berbeda dengan ilmu hukum karena perhatian utama dari sosiologi hukum hanyalah memberikan penjelasan semata-mata. Tujuan kajian sosiologi hukum yang pada hubungannya melakukan pemetaan terhadap objeknya yaitu hukum dan masyarakat. keberlakuan hukum itu sendiri sangat bergantung dari kepatuhan perilaku ossial masyaraatnya. Itulah mengapa perilaku menjadi aspek yang sangat menentukan interasksi antara hukum dan masyarakatnya. Sosiologgi hkum mendetailkan masalah. Satu demi satu fakta sosial diulas dan diungkapkan dalam koridor kebenaran dengan dalih legitimasi sosial. Meskipun sosiologi hukum menghindari anaisr-anasir yag bersifat spekulatif, ia tetap diberikan kebebasan untuk memprediksi yang bersifat hipotesis. Penelaahan hukum secara sosiologis menunjukkan bahwa hukum merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat. Pertama, hukum merupakan refleksi dari kebiasaan, tabiat, dan perilaku masyarakat. Kedua, hukum merupakan refleksi, baik dari moralitas masayrakat maupun moralitas universal. Ketiga, hukum merupakan refleksi dari kebutuhan masyaraat terhadap suatu keadilan dan ketertiban sosial dalam menata interaksi antar anggota masyarakat.







Teori, Aliran dan Metode Sosiologi Hukum Satjipto Rahardjo menyajikan tiga teori sosiologi hukum yang pada umumnya ketiga teori hukum tersebut dapat memberikan jawaban terhadap masalah hukum secara empirik.



(buku Sosiologi Hukum Suatu pengantar Dimensi Hukum



dan Masyarakat karangan Esmi Warassih Pujirahayu, Derita Prapti Rahayu, Faisal)



a. Teori Klasik Ehrlich membicarakan hubungan antarakelompok dan sosial dengan menggunakan metodologi sosiologi sebenarnya. Tidak melihat hukum dalam wujud sebagai kaidah melainkan melihat hukum dalam wujudnya di dalam masayrakat. Kemudian ia melahirkan kosep tentang living law. b. Teori Makro Menjelaskan hubungan atau kaitan antara hukum dengan bidang-bidang lain diluarnya, seperti budaya, politik , dan ekonomi. Dengan memberika penjelasan tersebut teori makro ini memberi tahu kepada kita tempat hukum adalah dalam konteks yang luas yaitu hukum tidak dapat dibicarakan terlepas dari faktor-faktor disekelilingnya. Hukum memiliki habitat dan kenyataan. c. Teori Empiris Donald Black memisahkan hukum sebagai fakta dari unsur lain, seperti tujuan, nilai, ideologi, dan sebagainya. Hukum adalah sesuatu yang dapat diamati secara eksternal. Teori menjelaskan fakta dan hanya fakta itu saja yang boleh menjadikan bahan proposisi dan ada perilaku hukum (bhavior of law). Di buku Sosiologi Hukum karangan Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. ada dua teori besar yaitu: Teori Struktural 1. Setiap masyarakat adalah relatif konsisten, yang merupakan struktur elemen-elemen yang stabil. 2. setiap masyarakat merupakan struktur elemen-elemen terintegrasikan dengan baik.



3. Setiap elemen dalam masyarakat mempunyai fungsi sendiri, yaitu memberikan sumbangannya dalam raangka mempertahankan bagunan sistem yang ada. 4. Setiap struktur sosial bekerja atas dasar konsensus nilai oleh para anggotanya. Teori Konflik 1. Setiap masyarakat, setiap saat selalu dihadapkan kepada perubahanperubahan sosial merupakan hal yang umum 2. Setiap masyarakat, dalam segala bidangnya selalu memperlihatkan adanya ketidak-cocokan dan konflik-konflik sosial merupakan hal yang umum. 3. Setiap masyarakat didasarkan pada pemaksaan oleh segolongan anggota-anggota msayarakat yang lain. Satjipto Rahardjo membedakan beberapa aliran dalam sosilogi hukum, aliran tersebut muncul karena paradigma yang digunakan dua aliran tersebut ialah Aliran Positif dan Aliran Normatif. Aliran Positif, hanya membicarakan kejadian yang dapat diamati dari luar secara murni. Sedangkan Aliran Normatif, pada dasarnya menyatakan bahwa hukum itu bukan hanya fakta yang teramati, tetapi juga suatu institusi nilai. Secara garis besar dan singkat, dapat dikatakan metode dalam sosiologi hukum bertumpu pada kedua komponen yaitu komponenkomponen data dan teori. Secara sedikit terperinci, dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Membuat abstraksi-abstraksi atas dasar pengamatan yang telah dilakukan mengenai masalah yang dipelajari. 2. Menentukan



hubungan-hubungan



dari



abstraksi-abstraksi



ini



(menyusun korelasi variabel-variabel). 3. Akhirnya, membuat penjelasan-penjelasan dan/atau prediksi-prediksi atas dasar hubungan-hubungan tersebut.







Negara, Masyarakat, Hukum, dan Perubahan Sosial di Indonesia Dalam pemahaman filsafat keterkaitan sistematik antara hukum dengan lingkungan serta basis sosialnya, hukum tidak dapat diterima sebagai suatu lembaga yang memiliki kekuasaan otonomi penuh dan mampu merencanakan apa



yang



ingin



dikerjakannya



tanpa



perlu



memperhatikan



dan



memperhitungkan lingkungannya. Pemahaman sistem hukum sekarang ini menjadi tidak lengkap apabila hanya memprthitungkan unsur peraturan dan kelembagaan saja tanpa memasukkan kultur hukum di dalamnya. Di dalam hidup bermasyarakat pasti ada yang dinamakan perubahan sosial. Perubahan sosial tersebut menimbulkan pergeseran-pergeseran serta perubahan dalam hubungan sosial yang ada, misalnya sedang berlangsungnya suatu transformasi masyarakat secara total dari yang berkualitas pra-modern menjadi modern-industrial. Dengan adanya perubahan-perubahan yang terjadi dalam waktu yang bersamaan tersebut maka menimbulkan suatu krisis sosial di dalam masyarakat. Faktor utama terjadinya krisis sosial tersebut yaitu perubahan dalam standar pengukuran perilaku yang berpengaruh terhadap mutu pekerjaan, baik secara individual maupun sebagai keseluruhan bangsa. 



Pemikiran Sosiologi Hukum Pemikiran sosiologi hukum Roscoe Pound, memberikan batasan yang dimaskud sebagai hukum adanya tahap perkembangan dari hukum. Tahap pertama, hukum adalah sistem pengaturan hubungan-hubungan dan penerbitan tingkah lakumanusia dengan menerapkan secar sistematis dan teratur, kekuatan masyarakat yang terorganisir secara politis. Tahap kedua, memandang hukum sebagai seperangkat pedoman yang berwibawa atau dasar-dasar pengambilan putusan, yang dikembangkan dan ditetapkan oleh suatu teknil tertentu, yang memiliki otoritas berdasarkan cita-cita tentang ketertiban masyarakat dan hukum. Pound, mengatakan suatu hukum yang baik adalah hukum yang ideal-realistik yang merupakan kombinasi dari paham idealisme dan paham pragtisme. Pemikiran sosiologi hukum Benjamin Cardozo,



hakim sebagai



seorang pencitpta hukum memang harus berupaua mengarahkan hukum ke



tujuan utamanya yaitu memenuhi kebutuhan banyak orang yang harus hidup di tengah masyatakat yang sedang mengalami transformasi sebagai akibat perubahan-perubahan teknologi dan proses industrialisasi. Perhatian utama nya adalah aktivitas lembaga pengadilan, diamana ketidaktepatan yang semakin bertambah oleh keputusan pengadilan adalah suatu manifestasi yang tidak dapat dicegah dari kenyataan bahwa proses pengadilan bukanlah penemuan melainkan penciptaan. Sebagaimana apa yang diungkapkan oleh Satjipto Rahardjo, ia melakukan



analisa



tentang



perilaku



tentang



hakim



dengan



mengadopsipendapat Holmes, yaitu: Sekalipun putusan hakim harus didasarkan undag-undang, tetapi mengakui adanya faktor atau unsur perilaku ituakan membebaskan hakim sebagai tawanan undang-undnag. Inilah yang menjadi esensi dari pendapat Holmes dengan diktum nya logika hukum yang dibawa terlalu jauh akan menjadikan hakim sebagai tawanan undang-undang, sedang perilaku akan membebaskannya. Indonesia sangat memerlukan hakimhakim yang menyadari paradigma pembebasan itu. Dalam kkonsepsi Holmes, basis empiris “pengalaman” akan menuntun hakim mengambil keputusan atas dasar konsepsi-konsepsnya mengenai keadilan sebelum ia mempertimbangkan perkara hukum dihadapannya. Keputusan yang sesungguhnya didasarkan pada anggapan hakim mengenai keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai, latarbelakang pribadi, dan mau apa tidaknya ia membuka diri dengan dinamika hukum yang hidup di masyarakat. 



Sejarah Perkembangan Sosiologi Hukum Ada lima tahapan perkembangan yang ditandai dengan



pengaruh



beberapa era dan filsafat pemikiran, yaitu; 1. Pengaruh Hukum Alam Hukum alam merupakan basis intelektual dari sosiologi hukum sumbangan besar terhadap sosiologi hukum terletak pembebasannya dari hukum positif oleh karena itu selalu mengaitkan pembicaraan mengenai hukum kepada basis hukum baik berupa perilaku manusia maupun lingkungan sosial. Seperti dikatakan oleh Wolfgang Friedman hukum alam selalu



membayangi hukum positif sebagai kekuatan pendorong ke arah pencapaian ideal kadilan. 2. Pengaruh Aliran Sejarah Pertama, hukum tidak dibuat melainkanditemukan. Kedua, hukum tumbuh dari hubungan-hubungan hukum yang sederhana pada msayarakat primitif sampai menjadi hukum yang besar dan kompleks dalam peradaban modern. Ketiga, hukum tidak mempunyai keberlakuan dan penerapan yang universal. 3. Pengaruh Filsafat Hukum Pikira filsafat yang lebih dekat adalah ilmu sosiologis dari Rescoe Pound. Filsafat hukum tidak menempatkan hukum pada posisi sterul yang terisolasi dari lingkungan sosialnya. Pikiran-pikiran filsafat menjadi pembuka jalan bagi kelahiran sosiologi hukum, oleh karena secara tuntas dan kritis seperti lazimnya watak filsafat menggugat sistem hukum perundang-undangan.



4. Sosiologi Hukum Abad ke Dua Puluh Pada dekade awal abad ke dua puluh muncul pengkajian yang melepaskan diri dari “self-sustaining analysis” hukum



dalam



konteks



sosialnya.



positivisme dengan menempatkan Rescoe



Pound



tampil



untuk



mengartikulasikan kajian sosial terhadap hukum secara lebih rinci yang kemudian bahkan menjadi suatu aliran tersendiri dalam ilmu hukum yang disebut sociological jurisprudance. 5. Sosiologi Hukum Klasik dan Modern Sosiologi hukum berkembang dalam era yang klasik dapat dilihat dari jejak pemikiran Aristoteles, Thomas Aquinas, Locke, dsb. Mereka terlibat dalam pergulayan pemikiran hukum alam yang memberikan aspek alami dari hukum dan dengan demikian membuaka jalan kepada masuknya variabel-variabel sosial dan perilaku ke dalam hukum.smentara sosiologi hukum di era modern boleh ditandai oleh perkembangan atau kemajuan



aspek metodologinya. Ehrlich, durkheim, weber, memulai dengan menempatkan hukum itu dalam konteks yang lebih luas. 



Hukum Dalam Ruang Perubahan Sosial Setiap masyarakat selama hidupnya psti mengalami perubahanperubahan, didalam masyarakat berkaitan dengan nilai-nilai, kaidah-kaidah, pola sikap tindal dan seterusnya. Perubahan sosial menimbulkan pergeseranpergeseran sertaperubahan dalam hubungan sosial yang ada, sehingga diperlukan usaha untuk mengatasi keadaan tersebut.perubahan sosial dianggap telah terjadi hanya jika perubahan dalam struktur soasial, pola-pola hubungan sosial, norma-norma sosial uang telh berdiri dan peran-peran sosial berubah. Apabila berbicara mengenai hukum dan perubahansosial, maka relevansi masalah yang dikajinya itu ditentukan oleh dua hal yaitu: 1. Berhubungan dengan fungsi hukum sebagai lembaga atau mekanisme untuk menerbitkan msayrakat, dan 2. Berhubungan dengan masalah perubahan sosial yang nampaknya merupakan suatu proses yang menjadi ciri masyarakat di dunia pada abad sekarang ini. Maka mengenai hukum dan perubahan sosial akan berkisar pada pengkajian bagaimana hukum bertuga untuk menerbitkan masyarakat dapat bersaing dengan perubahan sosial itu. Untuk dapat memastikan mengenai adanya hubungan antara hukum dan perubahan sosial kiranya perlu diperhatikan bagaimana hukum berkait pada msayrakatnya. Salah satu berkaitannya hukum dan masyarakat dapat dilihar dari fungsi yang dijalankan oleh hukum di msayarakat, yaitu funsi hukum sebagai sarana pengendali sosial dan sebagai



sarana untuk



melakukan “social



engineering’. Arnold M. Rose mengemukakan tiga teori umum perihal perubahan sosial yang kemudian dihubungkan dengan hukum yaitu Pertama. Kumulasi yang progresif daripada penemuan-oenemuan di bidang teknologi, Kedua, kontak atau konflik anta kebudayan. Ketiga,



gerakan sosial (social movement). 3Menurut ketiga teori tersebut, maka hukum lebih merupakan akibat daripada faktor penyebab terjadinya perubahan-perubahan sosial. 



Budaya Hukum dan Bekerjanya Hukum di Masyarakat Sebagai sebuah konsep, budaya merupakan internalisasi sebuah sikap yang mencerminkan interaksi nilai dan cara pandang masyarakat tertentu. Menurut Koenjaraningrat, terdapat tiga wujud kebudayaan Pertama, wujud yang berypa komplesk ide-ide, gagsan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan yang merupakan wujud ideal dan sifatnya abstrak, Kedua, wujud berupa kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. Ketiga, wujud yang berupa benda-benda hasil karya manusia yang sangat konkret sifatnya. Hubunngan hukum dan kebudayaan tersebut tergambarkan dalam sistem tata kelakuan manusia yang berupa norma-norma, huku, dan aturanaturan khusus, semua berpedoman pada sistem nilai budaya msayrakat. Suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup di dalam alam pikiran sebagian besar masayrakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernila dalam hidup. Sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia, termasuk pula sistem hukum. Budaya hukum inilah yang menentukan sikap, ide-ide, nilai-nilai seseorang terhadap hukum di dalam masyarakat. Budaya hukum merupakan kunci untuk memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalam sistem hukum yang satu dan sistem hukum yang lain. Teori bekerjanya hukum dalam masyarakat dari Chambliss-Seidman, bisa nmenjelaskan dan sekaligus mendeskripsikan bagaimana perbedaan budaya hukum penegakan hukum dan masyarakat. Ada pengaruh faktorfaktor atau budaya hukum mulai dari tahap pembuatan hukum yang akan terus berusaha untuk masuk dan mempengaruhi setiap proses legalisasi secara efektif dan efisien, penerapan atau penegakannya sampai pada peran yang diharapkan snagat bergantung pada kekuatan sosial yang melingkupinya. Beberapa faktor penting tersebut, yaitu:



1. Peraturan-peraturan hukumnya 2. Badan pembuat undang-undang 3. Badan pelaksana hukum 4. Badan pelaksana hukum masyarakat sebagai sasaran pengaturan 5. Proses penerapan hukum 6. Komunikasi hukumnya 7. Komplesitas kekuatan sosial-politik dan lain-lain yang bekerja atas diri pembuat undang-undang maupun masyarakat sendiri sebagai pemegang peran 8. Proses umpan balik atara semua komponen tersebut. Prinsipnya budaya hukum sangat berpengaruh terhadap bekerjanya hukum di masyarakay, begitupun sebaliknya baik proses maupun hasil dari bekerjanya hukum dalam pengertian operasional hukum akan memberi pengaruh pula terhadap budaya hukum masyarkat dan penegakan hukumnya. 



Pluralisme Hukum dalam Kajian Hukum dan Masyarakat Menurut Satjipto Rahardjo, bahwa studi hukum dan masyarakat lebih bersifat deskriptif berbeda dengan studi-studi yang normatif. Studi ini mencoba untuk meperlihatkan hubungan kasual dari hal-hal yang terjadi di dalam kehidupan hukum di masyarakat. Ia tidak menolak atau membenarkan suatu keadaan. Hukum modern biasanya hadir sebagai representasi negara. Biasanya, hukum modern sangat ekspansif melakukan hegemoni dalam menyisikan hukum lokal. Paham sentralisme hukum menjadi watak dari hukum modern. Keberlakuannya menghendaki secara universal, dan operasionalisai hukum. Padahal, relasi hukum masyarakat tidak berwajah tunggal. Disitu ada kearifan hukum lokal yang juga memiliki keberlakuan. Pluralisme hukum telah menjadi tema utama dalam pendekatan ilmu sosial terhadap kajian hukum. Pluralisme hukum disebut sebagai kunci dalam pandangan hukum postmodern, tema sentral dalam rekonseptualisasi hubungan hukum dan masyarakat, dan mampu mengidentifikasi fenomena hukum otentik yang berpotensi di tingkat global. Pluralisme ini begitu dapat



diterima secara luas sehingga dapat diasumsikan sebagai sebuah konsep yang dapat membuat hukum berinteraksi dengan dimensi sosialnya. Pada hakekatnya, kajian pluralisme hukum menerangkan relasi antara masyarakat dengan berbagai sistem hukum yang bekerja di dalamnya. Kajian pluralisme hukum didasari oleh pemikiran kritis atas arus dominan pemikiran sentralisme dan positivisme hukum dalam mempelajari hubungan antara hukum dengan masyarakat. Pada umumnya pemikiran mengenai adanya kenyataan pluralisme hukum dimunculkan sebagai tanggapan terhadap adanya paham sentralisme hukum, yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa hukum adalah dan sudah seharusnya merupakan hukum negara berlaku seragam untuk semua oran, berdiri sendiri dan terpisah dari semua hukum yang lain dan diajalankan oleh seperangkat lembaga-lembaga negara. 



Penegakan Hukum Dalam Pendekatan Hukum Progresif Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang cukup abstrak menjadi tujuan hukum secara konkrit. Tujuan hukum memuat nilai-nilai moral, seperti keadilan dan kebenaran. Nilai-nilai tersebut mampu diwujudkan dalam realitas nyata. Masalah penegakan hukumpada dasarnya merupakan kesenjangan antara hukum secara normatif (das sollen) dan hukum secar asosiologis (das sein) atau kesenjangan antara perilaku masyarakat yang seharusnya dengan perilaku hukum masyarakat yang senyatanya. Ruang lingkup masalah diseputar penegakan hukum ini dapt diperluas dengan berbagai msalah, yaitu apakah peran aparat penegak hukum sesuai dnegan standar perilaku yang digarikan hukum, bagaimanakan tingkat kepatuhan hukum masyarakat, apakah mekanisme penyelesaian sengketa atau pelanggara hukum mengikuti prosedur yang dikehendaki hukum, dan faktor-faktor apakah yang mempengaruhi proses penegakan hukum. Menurut Soerjono Soekanto, faktor-faktor yang membpengaruhi efektivitas penegakan hukum adalah faktor hukumya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor kesadaran masayrakat, dan faktor budaya hukum. Dari berbagai faktor



tersebut terlihat faktor hukum (undang-undang) dan faktor penegak hukum merupakan dua diantara lima faktor yang sangat menentukan efektivitas penegakan hukum. Karena itu, membuat suatu aturan sama pentingnya dan mungkin sama susahnya dengan menegakkan aturan tersebut. Satjipto Rahardjo melahirkan suatu gagasan yang berdiri pada maksim



“hukum



untuk



manusia,



dan



bukan



sebaliknya”.



Menstransformasikan istilah yang dipopulerkan dengan kata “hukum Progresif”. Hukum progresif hendak melampaui paham positivisme hukum yang hanya melihat hukum sekedar institusi formal dan peraturan. Kehadiran hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, hukum progresif adalah bagian dari proses searching of the truth (pencarian kebenaran) yang todak pernah berhenti. Hukum progresif yang dapat dipandang sebagi konsep yang sedang mencari jati diri, bertola dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum di masyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan kinerja dan kualitas penegaka hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20. Secara umum karakter hukum progresif dapat diidentifikasi sebagi berikut: 1. Kajian hukum progresif berusaha mengalihkan titik berat kajian hukum yang semula menggunakan optik hukum menuju ke perilaku 2. Hukum progresif secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat dengan manusia dan masyarakat. 3. Hukum progresif berbagai paham dnegan legal realism karena hukum tidak dipandang dari kacamata hukum itu sendiri tetapi dilihat dan dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapai dan akibat yang timbul dari bekerjanya hukum. 4. Hukum progresif memiliki kedekatan denga social jurisprudance dari Roscoe Pound yang mengkaji hukum tidak sebatas pada studi tentang peraturan tetapi keluar dan melihat efek dari hukum dan bekerjanya hukum.



5. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan teori hukum alam, karena peduli terhadap hal-hal yang metayuridis (keadilan) 6. Hukum progresif memiliki kedekatan critical lega studies namun cakupannya lebih luas. Penegakan hukum progresif menampilkan wajah hukum dan penegak hukumnya: 1. Penegakan hukum progresif akan berpijak pada landasan filosifis hukum untuk manusia, bukan sebaliknya. Penegakan hukum progresif akan membawa hukum pada dinamika kemanusaian. Manusia akan menjadi pusat perhatian dalam menghadirkan keadilan. Tujuan hukum bukan untuk kepentingan dirinya, melainkan kepentingan yang lebih besar yaitu persoalan nilai-nilai luhur yang diyakini masuia; kejujuran;kepedulian;kebahagiaan dan pemuliaan terhadap keadilan. 2. Penegakan hukum progresiff menempatkan hukum pada dinamika perkembangan masayarkatnya. Hukum bukan merupakan institusi yang final. 3. Penegakan hukum progresif mengambil sikap untuk tidak terjebak status quo dalam berhukum. 4. Penegakan hukum progresif bisanya berwatak pembebasan. Memposoisikan penegakan sebagai penegak hukum progresif, berarti tidak ingin terkungkung dalam cara berfikit legal-positivis. Watak pembebasan, akan menjadi pintu masuk penegakan hukum progresif yang mau melihat hukum sebagai rana substansial ketimbang hanya prosedural. 



Wanita dalam Proses Transformasi ke Masyarakat Industri Seperti yang kita ketahui bahwa pada zaman dahulu wanita itu dianggap rendah dan berada di bawah laki-laki, wanita dianggap hanya bisa mengurus pekerjaan rumah dan tidak bisa bekerja membantu suami untuk memenuhi kebutuhan hidup degan cara berladang, berburu, dan lainnya.



Lambat laun waktu berjalan, tidak lagi dijumpai tanah, hutan, dan danau yang luas untuk dijadikan ladang pekerjaan karena sekarang sudah bergeser menjadi pekerjaan perkantoran, industri, dan pabrik. Baik laki-laki maupun wanita terkena dampak dari perubahan pola kehidupan dari desa ke kota tersebut. Hal tersebut memberikan dampak terhadap peranan dan pekerjaan wanita. 



Menghadapi Kemelut dengan Membangun Suatu Kultur Berhukum yang Baru Hukum bukan hanya teks, tetapi juga perilaku manusia. Secara luas penegakan hukum di Indonesia masih jauh dari kata ideal karena sistem peradilan pidana di Indonesia perlahan memburuk yang palung banyak disebabkan karena korupsi atau komodifikasi peradilan dan pengadilan. Hukum modern mengatakan bahwa hukum adalah sebuah konstitusi tertulis dan dibuat dengan sengaja oleh manusia yang diidentikan dengan hukum negara. Hukum modern berangkat dan dikembangkan dalam kosmologi Barat yang individualistis. Namun, negara-negara di Kawasan Asia Timur menempatkan individu dalam masyarakat tidak dalam posisi independent penuh, melainkan sebagai bagian integral dari masyarakatnya. Dalam pengajuan gagasan alternatif berupa hukum dan penegakan hukum yang progresif, harus membuat tusukan dan pembelokan terhadap sistem yang ada dengan melakukan tindakan intervensi yang nyata.







Sosiologi Sengketa Pertanahan dan Sosiologi Hukum Mati Tanah dan permasalahan tanah memiliki ruang sosial yaitu negara, konstitusi, dan komunitas-komunitas yang disebut sebagai “di luar angkasa”. Konstitusi atau hukum merupakan ruang sosial yang lain lagi, sejak Indonesia adalah suatu negara hukum maka konstitusi menjadi penting. Pembuatan undang-undang yang tidak hati-hati dapat menimbulkan efek yang merugikan seperti penegasan hukum adat sebagai landasan hukum agrarian secara tidak tuntas. Struktur sosial masyarakat yang masih penuh dengan ketimpangan sosial juga memberi saham terhadap suatu sengketa pertanahan, struktur ini menampilkan pelampiasan sosial sehingga terjadi kesenjangan berarti ini



tidak hanya bersifat ekonomis tetapi juga sosial dan politik. Penyeelsaian sengketa pertanahan dilihat sebagai suatu konser besar dimana masingmasing sektor mengambil peranan penting. Akar dari ketimpangan dan ketidakadilan sudah ada sebelum muncul sebagai masalah sosial kongkret dan mendesak. Terkait dengan masalah pidana mati, sosiologi melihat terlebih dahulu bagaimana pidana mati itu muncul, mencari latar belakang dan sebabsebabnya, sehingga diperoleh pemahaman yang sebaik-baiknya. Apabila berbicara mengenai pidana mati, maka secara sosiolohis dilakukan dengan cara melihat lembaga, proses dalam masyarakat dalam konteks sosial tertentu. Hukuman mati berbicara mengenai suatu cara penghukuman yang mengakibatkan matinya seseorang, maka dari itu persoalan kematian menjadi sentral. Apabila menggunakan optic sosiologis, maka kita akan tergoda untuk mempertanyakan kemungkinan-kemungkinan adanya kematian yang tidak hanya fisik melainkan juga sosial. Seseorang dapat disebut masih hidup secara fisik tetapi sekaligus mengalami kematian sosial. Hal itu terjadi apabila seseorang



berada



dalam



kondisi



sosial



sedemikian rupa



sehingga



kebebasannya melakukan aktivitas sosial dirampas habis. 



Kebebasan Ekspresi dan Hak Asasi Manusia Hak Asasi Mannusia (HAM) muncul seiring dengan kesadaran individual atau posisi individu yang makin menguat di banyak bagian dunia. Dalam sejarah peradaban dan hukum dunia abad-abad terakhir ini, HAM mengalami penyebaran internasional yang kuat. Tetapi itu tidal sama dengan membuat konstatasi bahwa HAM adalah inherently universal. Secara ilmiah ditegaskan bahwa HAM memiliki struktur sosialnya sendiri maka kita dapat mengatakan bahwa HAM adalah sebuah fenomena universal dan sekaligus memiliki struktur sosial. Lalu apabila berbicara mengenai kebebasan berpendapat atau berekspresi, hal tersebut sudah dijelaskan dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia Tahun 1948. Kebebasan mengeluarkan pendapat dan ekspresi visual tidak dapat secara mutlak



dikembalikan kepada kebebasan individu, karena ada bagian-bagian dunia yang mengakar pada filsafat dan tradisi komunal-kolektif. 



Delik Pers dan Dunia Jurnalis Pada sekarang ini, pers dan para jurnalis Indonesia sedang menggugat hukum yang mengatur kehidupan dan pekerjaan mereka. Pers merasa kurang memiliki kebebasan untuk dapat menjalankan fungsinya secara optimal sebagai seseorang yang berada di luar dunia profesi jurnalis, tentu saja tidak dapat merasakan sepenuhnya apa yang disebut dengan distorsi terhadap ruang kebebasan. Para jurnalis merasa kurang dalam menjalankan tugasnya adalah para legislator, polisi, jaksa dan hakim. Para legislator memegang porsi penting sebab merekalah yang mendesain struktur dan atmosfer dunia jurnalis. Tetapi para jurnalis dapat bersikap menolak terhadap produk legislative, sementara para legislator tidak dapat berbuat apa-apa. Legislator memang berwenang membuat undang-undang, tetapi tidak berwenang untuk menjalankan dan memutuskan. Dunia Pers/Jurnalis sering disebut sebagai kekuasaan keempat disamping legislative, eksekutif, dan yudikatif. Para jurnalispun memiliki pedoman hukum sendiri yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.