SKIZOFRENIA [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TINJAUAN PUSTAKA SKIZOFRENIA



Oleh: Siska Putri Utami 016.06.0011



Pembimbing: dr. Pande Sura Oka, Sp.KJ



DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN/SMF PSIKIATRI RSU BANGLI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM 2020



1



BAB I PENDAHULUAN 1.1.



Latar Belakang Gangguan psikosis adalah gangguan kejiwaan berupa hilang kontak dengan kenyataan yaitu penderita kesulitan membedakan hal nyata dengan tidak, umumnya akan dimulai dengan kesulitan konsentrasi, berbicara tidak jelas dan kesulitan mengingat. Penderita gangguan psikosis akan terlihat menyendiri dengan emosi yang datar tetap secara mendadak emosi menjadi sangat tinggi atau depresi Skizofrenia merupakan gangguan mental yang ditandai dengan gangguan proses pikir dan emosi. Pada umumnya gejala yang muncul adalah halusinasi dengar, paranoid atau waham, cara berfikir kacau, dan disertai disfungsi sosial. Gejala yang muncul biasa dalam usia dewasa muda, dengan prevalensi global 0,3 % sampai 0,7%. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pengamatan perilaku danpengalaman yang dilaporkan. Faktor lingkungan bisa menjadi penyebab gangguan ini dan perkembangan skizofrenia. Faktor genetika juga berperan dalam proses penurunan sifat gangguan pada anggota keluarga. Resiko terbesar penyakit skizofrenia ini adalah 6,5%. Satu teori mengasumsikan keterlibatan genetik dalam evolusi sifat manusia yaitu alami, namun belum ada teori resminya hingga saat ini. Selain faktor genetika, faktor lingkungan seperti tempat tinggal, penggunaan obat, stres juga mampu mempengaruhi. Penderita yang diberikan dukungan oleh orang sekitarnya akan berkembang lebih baik daripada yang lebih banyak dikritik oleh orang tuanya. Faktor lainnya yang memiliki peranan penting juga seperti isolasi sosial, disfungsi keluarga, pengangguran, dankondisi ekonomi yang buruk atau kehidupan yang penuh tekanan dari oprang orang sekitar.



2



BAB II PEMBAHASAN 2.1. Definisi Skizofrenia Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang (Sadock, 2010). 2.2. Etiologi Skizofrenia Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab skizofrenia, antara lain: a.



Faktor genetik Faktor keturunan juga menentukan timbulnya skizofrenia. Hal



ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia terutama anak-anak kembar satu telur, bagi kembar satu telur (monozigot) 61 – 86%,



kembar dua telur



(heterozigot) 2 -15%, bagi saudara kandung 7 – 15%; bagi anak dengan salah satu orangtua yang menderita skizofrenia 7 – 16%; bila kedua orangtua menderita skizofrenia 40 – 68%.



Risiko untuk mengalami



skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang memiliki penyakit ini dan tingkat keparahan pada orangorang yang mengalami gangguan ini berbeda-beda(dari ringan sampai berat), ini karena Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut quantitative trait loci (Sadock, 2010). b.



Faktor Biokimia Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi



otak yang disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli



mengatakan



bahwa



skizofrenia



berasal



dari



aktivitas



neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagian bagian tertentu



3



otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamine. Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang berlebihan



saja



tidak



cukup



untuk



skizofrenia.



Beberapa



neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinephrine tampaknya juga memainkan peranan (Sadock, 2010). c.



Faktor psikososial Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam



keluarga mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah schizophregenic



mother



kadang-kadang



digunakan



untuk



mendeskripsikan tentang ibu yang memiliki sifat dingin, dominan, dan penolak, yang diperkirakan menjadi penyebab skizofrenia pada anakanaknya. keluarga pada masa kanak-kanak memegang peranan penting dalam pembentukan kepribadian (Sadock, 2010). 2.3. Jenis-Jenis Skizofrenia A. Tipe Paranoid Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok atau halusinasi Auditorik.Waham biasanya adalah waham kejar atau waham kebesaran, atau keduanya, tetapi waham dengan tema lain (misalnya waham kecemburuan, keagamaan, atau somalisas) mungkin juga muncul. Ciri-ciri lainnya meliputi ansietas, kemarahan, menjaga jarak dan suka berargumentasi, dan agresif (Elvira, 2017). B. Tipe Disorganized (tidak terorganisasi) Ciri utama skizofrenia tipe disorganized adalah pembicaraan kacau, tingkah laku kacau dan afek yang datar atau inappropriate. Pembicaraan yang kacau dapat disertai kekonyolan dan tertawa yang tidak erat kaitannya dengan isi pembicaraan (Elvira, 2017). C. Tipe Katatonik Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang dapat meliputi ketidakbergerakan motorik (waxy flexibility). Aktivitas motor yang berlebihan, negativism yang ekstrim, sama sekali 4



tidak mau bicara dan berkomunikasi (mutism), gerakan-gerakan yang tidak terkendali, mengulang ucapan orang lain (echolalia) atau mengikuti tingkah laku orang lain (echopraxia) (Elvira, 2017). D. Tipe tak terinci / Undifferentiated Pasien mempunyai halusinasi, waham, dan gejala-gejala psikosis aktif yang menonjol (misalnya kebingunan dan inkoheren) atau memenuhi kriteria skizofrenia tapi tidak dapat digolongkan dalam type paranoid, katatonik, heberfrenik, residual atau depresi pasca scizofrenia (Elvira, 2017). E. Tipe residual Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas dari skizofrenia tetapi masih memperlihatkan gejala-gejala residual atau sisa, seperti keyakinan keyakinan negatif, atau mungkin masih memiliki ide-ide tidak wajar yang tidak sepenuhnya delusional. Gejala-gejala residual itu dapat meliputi menarik diri



secara sosial, pikiran-pikiran tak logis,



inaktivitas, dan afek datar (Elvira, 2017). F. Depresi pasca skizofrenia Merupakan episode depresif yang berlangsung lama dan terjadi setelah serangan skizofrenia selama 12 bulan terakhir. Gejala skizofrenia masih ada tetapi tidak menonjol, gejala yang menetap ini bisa gejala positif atau negative tapi paling sering negative (Elvira, 2017).



5



2.4. Patofisiologi Skizofrenia



Pada skizofrenia terdapat penurunan aliran darah dan ambilan glukosa, terutama di korteks prefrontalis. Selain itu, migrasi neuron abnormal selama perkembangan otak secara patofisologis sangat bermakna. Atrofi penonjolan dendrit dari sel piramidal telah ditemukan pada korteks prefrontalis dan girus singulata. Penonjolan dendrit mengandung sinaps glutaminergik, sehingga transmisi glutamineriknya terganggu. Selain itu, pada area yang terkena, pembentukan GABA dan atau jumlah neuron GABAnergik tampaknya berkurang sehingga penghambatan sel piramidal menjadi berkurang (Tyaswati, 2017). Makna



patofisiologis



khusus



dikaitkan



dengan



dopamin.



Availabilitas dopamin atau agonis dopamin yang berlebihan dapat menimbulkan gejala skizofrenia. Penghambatan pada reseptor dopamin-D2 6



telah sukses digunakan dalam penatalaksanaan skizofrenia. Di sisi lain, penurunan reseptor D2 yang ditemukan pada korteks prefrontalis dan penurunan reseptor D1 dan D2 berkaitan dengan gejala negatif skizofrenia., seperti kurangnya emosi. Penurunan reseptor dopamin mungkin terjadi akibat pelepasan dopamin yang meningkat dan ini tidak memiliki efek patogenetik (Tyaswati, 2017). Dopamin berperan sebagai transmiter melalui beberapa jalur (Silbernagl, 2003): a. Jalur dopaminergik ke sistem limbik (mesolimbik) b. Jalur dopaminergik kekorteks (sistem mesokorteks) mungkin penting dalam perkembangan skizofrenia c. Pada sistem tubuloinfundibular, dopamin mengatur pelepasan hormon hipofisis (terutama pelepasan prolaktin) d. Dopamin mengatur aktivitas motorik pada sistem nigrostriatal. Serotonin mungkin juga berperan dalam menimbulkan gejala skizofrenia. Kerja serotonin yang berlebihan dapat menimbulkan halusinasi dan banyak obat antipsikotik akan menghambat reseptor 5-HT2A (Tyaswati, 2017). Hipotesis



yang



paling



banyak



yaitu



adanya



gangguan



neurotransmitter sentral yaitu terjadinya peningkatan aktivitas dopamin sentral (hipotesis dopamin). Hipotesis ini dibuat berdasarkan tiga penemuan utama (Elvira, 2017): 1. Efektivitas obat-obat neuroleptik (misalya fenotiazin) pada skizofrenia, ia bekerja memblok reseptor dopamin pasca sinaps (tipe D2). 2. Terjadinya psikosis akibat penggunaan amfetamin. Psikosis yang terjadi sukar dibedakan, secara klinik dengan psikosis skizofrenia paranoid akut. Amfetamin melepaskan dopamin sentral. Selain itu, amfetamin juga memperburuk skizofrenia.



7



3. Adanya peningkatan jumlah reseptor D2 di nukleus kautdatus, nukleus akumbe dan putamen pada skizofrenia. Hipotesis Dopamin Skizofrenia Pengenalan bahwa dopamin, suatu neurotransmitter eksitator, yang kemungkinan memainkan peran dalam patogenesis, patofisiologi, dan farmakoterapi skizofrenia merupakan temuan kunci di jalan untuk meringankan gangguan tersebut (Brasic, 2013). Dopamin merupakan neurotransmitter endogen biasanya ada di seluruh tubuh manusia. Untuk memungkinkan komunikasi antara neuron, neuron presinaptik melepaskan dopamin ke dalam sinaps untuk melakukan perjalanan ke neuron postsynaptic dengan mengikat reseptor dopamin dan kemudian menstimulasi neuron pasca-sinaptik. Dopamin yang tersisa di sinaps ini kemudian dibawa kembali ke dalam neuron presinaptik oleh transporter dopamin untuk ditempatkan dalam paket yang akan dilepas bila diperlukan (Sadock, 2010). Garis besar bukti berkumpul untuk mengkonfirmasi gagasan bahwa perubahan dalam densitas, distribusi, dan fungsi neuroreseptor D2 dan D3 di otak berperan dalam patogenesis dan patofisiologi skizofrenia. Hipotesis dopamin pada skizofrenia mengusulkan bahwa skizofrenia adalah hasil dari disfungsi neurotransmisi dopaminergik di otak. Kemungkinan terdapat beberapa subtipe biologis yang berbeda dari orang dengan skizofrenia.Temuan yang berbeda dari penelitian yang diterbitkan tentang neuroreseptor pada orang dengan skizofrenia mungkin hasil dari perbedaan subkelompok biologis yang tidak diketahui dari populasi orang dengan sindrom klinis skizofrenia.Sebuah subkelompok biologis orang dengan skizofrenia tampaknya memiliki penurunan basal, level tonik dopamin



intrasinaptik



dopaminergik



pada



yang



skizofrenia.



mengakibatkan Gejala-gejala



hiperfungsi positif



sistem



skizofrenia,



menyajikan pada masa remaja dan dewasa muda, termasuk halusinasi,



8



delusi, dan masalah proses berpikir, yang diduga hasil dari sebuah kelebihan fase intermiten dopamin di sinaps dalam subkelompok orang yang bermanifestasi sindrom klinis skizofrenia. Gejala-gejala negatif skizofrenia, termasuk apatis, penarikan, dan kurangnya motivasi, yang diduga hasil dari defisit tonik intermiten dopamin dalam sinaps pada subkelompok orang dengan sindrom klinis skizofrenia (Sadock, 2010). SEROTONIN. Serotonin telah menerima banyak perhatian dalam penelitian skizofrenia sejak dilakukannya pengamatan yang menyatakan bahwa obat antagonis serotonin-dopamin (SDA) (contohnya. klozapin, risperidon, sertindol) memiliki aktivitas terkait serotonin yang poten. Secara spesifik, antagonisme pada reseptor 5-HT2, serotonin ditekankan sebagai sesuatu yang penting dalam mengurangi gejala psikotik dan meredakan timbulnya gangguan pergerakan terkait antagonisme-D2. Pemeriksaan profil afinitas reseptor untuk masing-masing antagonis serotonin-dopa- min menunjukkan tidak adanya pola atau rasio aktivitas yang seragam selain afinitasnya terhadap reseptor 5-HT2, serotonin yang lebih tinggi dibanding terhadap reseptor D2. Klozapin memiliki afinitas tertinggi untuk reseptor histamin, sementara kuetiapin paling erat berikatan dengan reseptor adrenergik-α, dan ziprasidon merupakan satusatunya anggota kelompok tersebut yang berinteraksi kuat dengan reseptor 5-HT1. Afinitas terhadap reseptor 5-HT2, dan D2, bervariasi dengan kisaran lebih dari 100 kali lipat dalam kelas obat ini. Meski demikian, masingmasing merupakan agen antipsikotik yang lebih efektif daripada ratusan senyawa terkait yang hanya berbeda sedikit afinitasnya. Oleh sebab itu, tampaknya berbagai sistem neurotransmiter berinteraksi dalam suatu keseimbangan tertentu untuk mengatur tanda dan gejala skizofrenia dan, lebih lanjut, bahwa obat antipsikotik dapat memodulasi sirkuit ini dengan mengacaukan



secara



samar



salah



satu



dari



beberapa



sistem



neurotransmiter tersebut. Seperti yang diisyaratkan pada penelitian mengenai gangguan mood, aktivitas serotonin dianggap terlibat dalam



9



perilaku impulsif dan bunuh diri yang juga dapat tampak pada pasien skizofrenik (Sadock, 2010). NOREPINEFRIN. Sejumlah peneliti melaporkan bahwa pem berian obat antipsikotik jangka panjang menurunkan aktivitas neuron noradrenergik di lokus seruleus dan bahwa efek terapeutik beberapa obat antipsikotik mungkin melibatkan aktivitasnya pada reseptor adrenergik-α dan adrenergik-α2,. Meski hubungan antara aktivitas dopaminergik dan noradrenergik masih belum jelas. Terdapat peningkatan jumlah data yang menyatakan



bahwa



dopaminergik



dalam



sistem suatu



noradrenergik cara



sehingga



memodulasi



sistem



abnormalitas



sistem



noradrenergik mempredisposisikan pasien untuk mengalami relaps yang sering (Sadock, 2010). GABA. Neurotransmiter asam amino inhibitorik, asam γaminobutirat (GABA) juga dianggap terlibat dalam patofisiologi skizofrenia. Data yang tersedia sejalan dengan hipotesis bahwa sejumlah pasien skizofrenia mengalami kehilangan neuron GABAnergik di hipokampus. Hilangnya neuron GABAnergik inhibitorik secara teoretis dapat



mengakibatkan



hiperaktivitas



neuron



dopaminergik



dan



noradrenergic (Sadock, 2010). GLUTAMAT. Hipotesis yang diajukan tentang glutamat mencakup



hiperaktivitas,



hipoaktivitas,



dan



neurotoksisitas



terinduksi



glutamat. Glutamat dilibatkan karena ingesti akut fensiklidin, suatu antagonis glutamat, menimbulkan sindrom yang menyerupai skizofrenia (Sadock, 2010). 2.5. Gejala – Gejala Skizofrenia Gejala psikotik ditandai oleh abnormalitas dalam bentuk dan isi pikiran, persepsi, dan emosi serta perilaku. Berikut ini beberapa gejala yang dapat diamati pada skizofrenia. A. Penampilan dan Perilaku Umum



10



Tidak ada penampilan atau perilaku yang khas skizofrenia. Beberapa bahkan dapat berpenampilan dan berperilaku "normal". Mungkin mereka tampak berpreokupasi terhadap kesehatan, penampilan badan, agama atau minatnya. Pasien dengan skizofrenia kronis cenderung menelantarkan penampilannya. Kerapian dan higiene pribadi juga terabaikan. Mereka juga cenderung menarik diri secara sosial (Maramis, W., 2012). B. Gangguan Pembicaraan Pada skizofrenia inti gangguan memang terdapat pada proses pikiran. Yang terganggu terutama adalah asosiasi. Asosiasi longgar berarti tidak adanya hubungan antaride. Kalimat-kalimatnya tidak saling berhubungan. Kadang- kadang satu idea belum selesai diutarakan, sudah dikemukakan idea lain. Atau terdapat pemindahan maksud, misalnya maksudnya "tani" tetapi dikatakan "sawah". Bentuk yang lebih parah adalah inkoherensi (Maramis, W., 2012). Neologisme.



Kadang-kadang



pasien



dengan



skizofrenia



membentuk kata baru untuk menyatakan arti yang hanya dipahami oleh dirinya sendiri. Mutisme. Sering tampak pada pasien skizofrenia katatonik. Kadang-kadang pikiran seakan-akan berhenti, tidak timbul idea lagi. keadaan ini dinamakan blocking, biasanya berlangsung beberapa detik saja, tetapi kadang- kadang sampai beberapa hari (Maramis, W., 2012). C. Gangguan Perilaku Salah satu gangguan aktivitas motorik pada skizofrenia adalah gejala katatonik yang dapat berupa stupor atau gaduh gelisah (excitement). Pasien dengan stupor tidak bergerak, tidak berbicara, dan tidak berespons, meskipun ia sepenuhnya sadar. Sedangkan pasien dengan katatonik gaduh gelisah menunjukkan aktivitas motorik yang tidak terkendali. Kedua keadaan ini kadang-kadang terjadi bergantian. Pada stupor katatonik juga bisa didapati fleksibilitas serea dan katalepsi. Gejala



11



katalepsi adalah bila suatu posisi badan dipertahankan untuk waktu yang lama. Fleksibilitas serea: bila anggota badan dibengkokkan terasa suatu tahanan seperti rada lilin atau malam dan posisi itu dipertahankan agak lama (Maramis, W., 2012). Gangguan perilaku lain adalah stereotipi dan manerisme. Berulang-ulang melakukan suatu gerakan atau mengambil sikap badan tertentu disebut stereotipi; misalnya menarik-narik rambutnya, atau tiap kali bila mau menyuap nasi mengetuk piring dulu beberapa kali. Keadaan ini dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa tahun. Stereotipi pembicaraan dinamakan verbigerasi, kata atau kalimat diulang-ulangi. Hal ini sering juga terdapat pada gangguan otak organik Manerisme adalah stereotipi tertentu pada skizofrenia, yang dapat dilihat dalam bentuk grimas pada mukanya atau keanehan berjalan dan gaya berjalan (Maramis, W., 2012). Negativisme: menentang atau justru melakukan yang berlawanan dengan apa yang disuruh. Otomatisme konando tcommand automatism) sebetulnya merupakan lawan dari negativisme: semua perintah dituruti secara otomatis, bagaimana ganjil pun. Termasuk dalam gangguan ini adalah ekholalia (penderita meniru kata-kata yang diucapkan orang lain) dan ekhopraria (penderita meniru perbuațan atau gerakan orang lain) (Maramis, W., 2012). D. Gangguan Afek Kedangkalan respons emosi (emotional blunting), misalnya penderita menjadi acuh-tak-acuh terhadap hal-hal yang penting untuk dirinya sendiri seperti keadaan keluarganya dan masa depannya. Perasaan halus sudah hilang Juga sering didapati anhedonia (Maramis, W., 2012). Parathimi, apa yang seharusnya menimbulkan rasa senang dan gembira, pada penderita timbul rasa sedih atau marah (Maramis, W., 2012). Paramimi, penderita merasa senang dan gembira, akan tetapi ia menangis. Parathimi dan paramimi bersama-sama dinamakan incongruity



12



of affect dalam bahasa Inggris dan inadequaat dalam bahasa Belanda (Maramis, W., 2012). Kadang-kadang emosi dan afek serta ekspresinya tidak mempunyai kesatuan, misalnya sesudah membunuh anaknya penderita menangis berhari-hari, tetapi mulutnya seperti tertawa. Semua ini merupakan gangguan afek dan emosi yang khas untuk skizofrenia (Maramis, W., 2012). Gangguan afek dan emosi lain adalah: Emosi yang berebihan, sehingga



kelihatan



seperti



dibuat-buat,



seperti



penderita



sedang



bersandiwara. Yang penting juga pada skizofrenia adalah hilangnya kemampuan untuk mengadakan hubungan emosi yang baik (emotional rapport). Karena itu sering kita tidak dapat merasakan perasaan penderita (Maramis, W., 2012). Sensitivitas emosi. Penderita skizofrenia sering menunjukkan hipersensitivitas terhadap penolakan, bahkan sebelum menderita sakit. Sering hal ini menimbulkan isolasi sosial untuk menghindari penolakan (Maramis, W., 2012). E. Gangguan Persepsi Halusinasi: Pada skizofrenia, halusinasi timbul tanpa penurunan kesadaran dan hal ini merupakan suatu gejala yang hampir tidak dijumpai pada keadaan lain. Paling sering pada skizofrenia adalah halusinasi pendengaran (auditorik atau: akustik) dalam bentuk suara manusia, bunyi barang-barang atau siulan. Halusinasi penciuman (olfatorik), halusinasi pengecapan (gustatorik) atau halusinasi rabaar (taktil) jarang dijumpai. Misalnya penderita mencium kembang ke mana pun ia pergi, atau ada orang yang menyinarinya dengan alat rahasia, atau ia merasa ada racun di dalam makanannya. Halusinasi penglihatan (optik) agak jarang pada skizofrenia, lebih sering pada psikosis akut vang berhubungan dengan sindrom otak organik. Bila terdapat, maka biasanya pada stadium permulaan, misalnya penderita melihat cahaya yang berwarna atau muka orang yang menakutkan (Maramis, W., 2012).



13



F. Gangguan Pikiran Waham: Pada skizofrenia waham sering tidak logis sama sekali dan sangat bizar Penderita tidak menginsafi hal ini dan baginya wahamnya merupakan fakta yang tidak dapat diubah oleh siapa pun. Sebaliknya ia tidak mengubah sikapnya yang bertentangan, misalnya penderita berwaham bahwa ia raja, tetapi ia bermain-main dengan air ludahnya dan mau disuruh melakukan pekerjaan kasar. Mayer-Gross membagi waham dalam 2 kelompok; yaitu waham primer dan waham sekunder. Mungkin juga terdapat waham sistematis. Ada juga tafsiran yang bersifat waham (delusional interpretations) (Maramis, W., 2012). Waham primer timbul secara tidak logis sama sekali, tanpa penyebab apa-apa dari luar. Menurut Mayer-Gross hal ini hampir patognomonik buat skizofrenia. Misalnya waham bahwa istrinya sedang berbuat serong sebab ia melihat seekor cicak berjalan dan berhenti dua kali, atau seorang penderita berkata "dunia akan kiamat" sebab ia melihat seekor anjing mengangkat kaki terhadap sebatang pohon untuk kencing. Waham sekunder biasanya logis kedengarannya: dapat diikuti dan merupakan cara bagi penderita untuk menerangkan gejala-gejala skizofrenia lain. Waham dinamakan mernurut isinya: waham kebesaran atau expansif, waham nihilistik, waham kejaran, waham sindiran, wahram dosa, dan sebagainya. Waham primer agak jarang terjadi dan lebih sulit ditentukan dengan pasti. Waham kejaran (persecutory dehusion) sering didapatkan tetapi tidak spesifik untuk skizofrenia. Waham referensi dan waham kendali serta waham pikiran sisipan atau pikiran siaran lebih jarang terjadi tetapi mempunyai arti diagnostik yang lebih besar untuk skizofrenia (Maramis, W., 2012). Gejala positif 



Waham



14



Waham adalah kepercayaan palsu yang tetap dipertahankan walaupun



diperlihatkan



bukti



yang



jelas



untuk



mengoreksinya.Semakin akut skizofrenia semakin sering mengalami waham. (waham kejar, yaitu percaya bahwa dirinya selalu dikejarkejar orang; waham curiga, yaitu rasa curiga yang berlebihan; waham kebesaran, yaitu kepercayaan bahwa dirinya adalah orang penting) (Elvira, 2017). 



Halusinasi Halusinasi adalah gangguan penerimaan pancaindra tanpa ada stimulus eksternal (halusinasi pendengaran, penglihatan, pengecapan, penciuman, dan perabaan). Jenis halusinasi yang sering terjadi pada skizofrenia yaitu halusinasi audiotorial, tapi bisa juga terjadi halusinasi jenis lain. Jenis halusinasi audiotorial berupa suara satu orang atau beberapa orang, orang yang dikenal atau belum, isinya komentar tentang pasien ataupun perintah. Halusinasi ini terjadi saat sadar penuh, jika terjadi saat ingin tidur: hipnogogik, dan jika terjadi saat bangun tidur: hipnopompik (Elvira, 2017).







Pembicaraan terganggu o Dalam pembicaraan tiba-tiba tidak dapat melanjutkan isi pembicaraan. o Inkoheren: berbicara tidak selaras dengan lawan bicara (bicara kacau). o Neologisme: menggunakan kata-kata yang hanya dimengerti oleh diri sendiri, tetapi tidak dimengerti oleh orang lain (Elvira, 2017).







Perilaku disorganisasi



Gejala Negatif  Berkurangnya ekspresi emosi pada wajah, kontak mata, intonasi pembicaraan, gerakan tangan, kepala. 15



 Avolisi yaitu berkurangnya keinginan untuk melakukan aktivitas yang bertujuan Dua hal ini yang paling menonjol pada skizofrenia  Alogia yaitu jarang bicara  Anhedonia yaitu berkurangnya kemampuan untuk merasakan senang  Asosialisasi yaitu berkurangnya minat untuk interaksi social (Elvira, 2017). 2.6. Diagnosis Skizofrenia Adapun kriteria diagnostik skizofrenia beserta pembagiannya menurut PPDGJ-III 



Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya 2 gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) : (a) - “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran



ulangan



walaupun



isinya



sama,



namun



kualitasnya berbeda; atau - “thought insertion or withdrawal” = isi pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan - “thought broadcasting” = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya; (b) - “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar atau - “delusion of influence” = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar atau



16



- “delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang dirinya = secara jelas merujuk ke pergerakan tubuh / anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau pengideraan khusus); - “delusional perception” = pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat; (c) Halusinasi auditorik : -



suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien atau



-



mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau



-



jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian



(d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan atau politik tertentu, atau kekuatan di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain. 



Atau paling sedikit dua gejala di bawa ini yang harus selalu ada secara jelas : (e) halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus;



17



(f) arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme; (g) perilaku



katatonik,



(excitement),



posis



seperti tubuh



keadaan tertentu



gaduh



gelisah



(poturing),



atau



fleksibilitas cerea, negativisme, dan stupor; (h) gejala-gejala “negative”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan social dan menurunnya kinerja social; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika; 



Adanya gejala-gejala khas tersebut di atas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal);







Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.



Diagnosis Jenis-Jenis Skizofrenia F20.0 Skizofrenia Paranoid 



Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.







Sebagai tambahan: - halusinasi dan/atau waham harus menonjol: (a) suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk



18



verbal berupa bunyi pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing); (b) halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-lain perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol; (c) waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau “passivity” (delusion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling khas - gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik secara relatif tidak nyata/tidak menonjol F20.1 Skizofrenia Hebefrenik 



Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.







Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun)







Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas: pemalu dan senang menyendiri (solitary), namum tidak harus demikian untuk menentukan diagnosis.







Untuk diagnosis hebefrenik yang meyakinkan umumnya diperlukan pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan gejala berikut bertahan: -



Perilaku tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diramalkan, serta mannerisme; kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan



-



Afek dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate), sering disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas 19



diri (selfsatisfied), senyum sendiri (self-absorbed smiling), atau oleh sikap tinggi hati (lofty manner), tertawa menyeringai (grimaces), mannerisme, mengibuli secara bersendau gurau (pranks), keluhan hipokondriakal, dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated phrases); -



Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu (rambling) serta inkoheren.







Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya tidak menonjol (fleeting and fragmentary delusions and hallucinations). Dorongan kehendak (drive) dan yang bertujuan (determination) hilang serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty of purpose). Adanya situasi preokupasi yang dangkal dan dibuatbuat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar orang memahami jalan pikiran pasien. F20.2 Skizofrenia Katatonik







Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.







Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya: (a) Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam Gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara) (b) Gaduh-gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal) (c) Menampilkan posisi tertentu (seacara sukarela mengambil dan mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar



20



atau aneh) (d) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakan kearah yang berlawanan) (e) Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan upaya menggerakkan dirinya) (f) Fleksibilitas cerea/ “waxy flexibility” (mempertahankan anggota gerak dan tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan (g) Gejala-gejala (kepatuhan



lain



seperti



secara



otomatis



“command terhadap



automatism” perintah),



dan



pengulangan kata-kata serta kalimatkalimat 



Pada pasien yang tidak komuikatif dengan manifestasi perilaku dari gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejala-gejala lain. Penting untuk diperhatikan bahwa gejalagejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan afektif. F20.3 Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated)







Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.







Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, atau katatonik







Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pascaskizofrenia F20.4 Depresi Pasca-Skizofrenia







Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau:



21



(a) pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria umum skizofrenia) selama 12 bulan terakhir ini (b) beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi gambaran klinisnya); dan (c) gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling sedikit kriteria untuk episode depresi (F32.-), dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2 minggu 



Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia, diagnosis menjadi Episode Depresif (F32.-). Bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai (F20.0-F20.3). F20.5 Skizofrenia Residual







Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipeuhi semua: (a) gejala “negatif” dari skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non-verbal ynag buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja social yang buruk; (b) sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia; (c) sedikitnya sudah melampaui kurun waktu 1 tahun dimana intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom “negatif” dari skizofrenia



22



(d) tidak terdapat demensia atau penyakit/gangguan otak organik lain, depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negatif tersebut. F20.6 Skizofrenia Simpleks 



Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari: -



gejala “negatif” yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik, dan



-



disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial







Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan sub tipe skizofrenia lain



Diagnosis skizofrenia ditegakkan melalui kriteria diagnosis yang tercantum dalam DSM V. Sehingga segala gejala yang timbul pada seseorang dapat dikategorikan sebagai skizofrenia jika memenuhi kriteria yang sudah ditetapkan. Adapun kriteria diagnostik skizofrenia berdasarkan DSM V: A. Dua atau lebih gejala dibawah ini, berlangsung paling sedikit satu bulan (atau bisa kurang bila berhasil diterapi). Paling sedikit satu dari gejela ini harus ada (1), (2) dan (3): 1. Waham 2. Halusinasi. 3. Pembicaraan yang tidak terorganisir (misalnya, inkoheren). 4. Perilaku disorganisasi atau katatonik. 5. Simtom negatif (berkurangnya ekspresi emosi atau avolisi). 23



B. Sejak awitan gangguan, untuk periode waktu yang cukup bermakna, terdapat penurunan derajat fungsi dalam satu atau lebih area penting, misalnya fungsi pekerjaan, hubungan interpersonal, perawatan diri (di bawah derajat yang pernah dicapai sebelum awitan). Bila awitannya terjadi pada masa anak dan remaja, terdapat kegagalan dalam mencapai derajat fungsi pekerjaan, akademik dan hubungan interpersonal yang diharapkan. C. Tanda-tanda, secara terus menerus menetap paling sedikit enam bulan. Dalam periode enam bulan tersebut harus terdapat paling sedikit satu bulan simtom (bisa kurang bila berhasil diterapi) yang memenuhi Kriteria A (simtom-simtom pada fase aktif) dan juga dapat termasuk simtom periode prodromal atau residual. Selama periode prodromal atau residual, tanda- tanda gangguan dapat bermanifestasi hanya dalam bentuk simtom negatif atau dua atau lebih simtom yang terdapat pada Kriteria A dalam derajat yang lebih ringan (misalnya, kepercayaan-kepercayaan aneh, pengalaman persepsi yang tak lumrah). D. Harus telah disingkirkan gangguan skizoafektif dan gangguan depresi atau bipolar dengan ciri psikotik; 1) Tidak terdapat secara bersamaan dengan episode depresi atau manik selama simtom fase-aktif 2) Bila terdapat episode mood selama fase-aktif, ia harus terlihat dalam minoritas durasi total periode aktif atau residual penyakit. E. Gangguan yang terjadi tidak disebabkan oleh efek fisiologi zat (misalnya, penyalahgunaan zat atau medikasi) atau kondisi medis lainnya. F. Bila terdapat riwayat gangguan spektrum autisme atau gangguan komunikasi awitan masa anak, diagnosis tambahan skizofrenia dibuat hanya bila waham atau halusinasi yang menonjol. Simtom-simtom lainnya yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis gangguan skizofrenia juga harus terjadi paling sedikit satu bulan (kurang bila berhasil diterapi). 2.7. Pengobatan Skizofrenia a. Fase Akut



24



1. Farmakoterapi Pada fase akut terapi bertujuan mencegah pasien melukai dirinya atau orang lain, mengendalikan perilaku yang merusak, mengurangi beratnya gejala psikotik dan gejala terkait lainnya misalnya agitasi, agresi dan gaduh gelisah (KemenkesRI, 2015). Langkah Pertama: -



Berbicara kepada pasien dan memberinya ketenangan.



Langkah Kedua: -



Keputusan untuk memulai pemberian obat. Pengikatan atau isolasi hanya dilakukan bila pasien berbahaya terhadap dirinya sendiri dan orang lain serta usaha restriksi lainnya tidak berhasil. Pengikatan dilakukan hanya boleh untuk sementara yaitu sekitar 2-4 jam dan digunakan untuk memulai pengobatan. Meskipun terapi oral lebih baik, pilihan obat injeksi untuk mendapatkan awitan kerja yang lebih cepat serta hilangnya gejala dengan segera perlu dipertimbangkan (KemenkesRI, 2015).



Obat injeksi: (a) Olanzapine, dosis 10 mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang setiap 2 jam, dosis maksimum 30mg/hari. (b) Aripriprazol, dosis 9,75 mg/injeksi (dosis maksimal 29,25 mg/hari), intramuskulus.



25



(c) Haloperidol, dosis 5mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang



setiap



setengah



jam,



dosis



maksimum



20mg/hari. (d) Diazepam 10mg/injeksi, intravena/intramuskulus, dosis maksimum 30mg/hari.



Obat oral: Pemilihan antipsikotika sering ditentukan oleh pengalaman pasien sebelumnya dengan antipsikotika misalnya, respons gejala terhadap antipsikotika, profil efek samping, kenyamanan terhadap obat tertentu terkait cara pemberiannya. Pada fase akut, obat segera diberikan segera setelah diagnosis ditegakkan dan dosis dimulai dari dosis anjuran dinaikkan perlahan-lahan secara bertahap dalam 26



waktu 1 – 3 minggu, sampai dosis optimal yang dapat mengendalikan gejala (KemenkesRI, 2015). 2. Psikoedukasi Tujuan Intervensi adalah mengurangi stimulus yang berlebihan, stresor lingkungan dan peristiwa-peristiwa kehidupan. Memberikan ketenangan kepada pasien atau mengurangi keterjagaan melalui komunikasi yang baik, memberikan dukungan atau harapan, menyediakan lingkunganyang nyaman, toleran perlu dilakukan (KemenkesRI, 2015). b. Fase Stabilisasi 1. Farmakoterapi Tujuan fase stabilisasi adalah mempertahankan remisi gejala atau untuk



mengontrol,



meminimalisasi



risiko



atau



konsekuensi



kekambuhan dan mengoptimalkan fungsi dan proses kesembuhan (recovery).



Setelah



diperoleh



dosis



optimal,



dosis



tersebut



dipertahankan selama lebih kurang 8 – 10 minggu sebelum masuk ke tahap rumatan. Pada fase ini dapat juga diberikan obat anti psikotika jangka panjang (long acting



injectable),



setiap 2-4 minggu



(KemenkesRI, 2015). 2. Psikoedukasi Tujuan Intervensi adalah meningkatkan keterampilan orang dengan skizofrenia dan keluarga dalam mengelola gejala. Mengajak pasien untuk mengenali gejala-gejala, melatih cara mengelola gejala, merawat



27



diri, mengembangkan kepatuhan menjalani pengobatan. Teknik intervensi perilaku bermanfaat untuk diterapkan pada fase ini (KemenkesRI, 2015). c. Fase Rumatan 1. Farmakoterapi Dosis mulai diturunkan secara bertahap sampai diperoleh dosis minimal yang masih mampu mencegah kekambuhan. Bila kondisi akut, pertama kali, terapi diberikan sampai dua tahun, bila sudah berjalan kronis dengan beberapa kali kekambuhan, terapi diberikan sampai lima tahun bahkan seumur hidup (KemenkesRI, 2015). 2. Psikoedukasi Tujuan Intervensi adalah mempersiapkan pasien kembali pada kehidupan masyarakat. Modalitas rehabilitasi spesifik, misalnya remediasi kognitif, pelatihan keterampilan sosial dan terapi vokasional, cocok diterapkan pada fase ini. Pada fase ini pasien dan keluarga juga diajarkan mengenali dan mengelola gejala prodromal, sehingga mereka mampu mencegah kekambuhan berikutnya (KemenkesRI, 2015). 2.8. Prognosis Skizofrenia Untuk menetapkan prognosis kita harus mempertimbangkan semua faktor di bawah ini: 1.



Kepribadian prepsikotik: Bila skizoid dan hubungan antarmanusia memang kurang memuaskan, maka prognosis lebih jelek.



2.



Bila skizofrenia timbul secara akut, maka prognosis lebih baik daripada bila penyakit itu mulai secara pelan-pelan. 28



3.



Jenis: Prognosis jenis katatonik yang paling baik dari semua jenis. Sering penderita dengan skizofrenia katatonik sembuh dan kembali ke kepribadian prepsikotik. Kemudian menyusul prognosis jenis paranoid. Banyak dari penderita ini dapat dikembalikan ke masyarakat. Skizofrenia hebefrenik dan skizofrenia simplex mempunyai prognosis yang sama jelek. Biasanya penderita dengan jenis skizofrenia ini menuju ke arah kemunduran mental.



4.



Umur: Makin muda umur permulaannya, makin jelek prognosis.



5.



Pengobatan: Makin lekas diberi pengobatan, makin baik.



6.



Faktor keturunan: prognosis menjadi lebih berat bila di dalam keluarga terdapat yang juga menderita skizofrenia.



29



BAB III KESIMPULAN 3.1.



Kesimpulan Skizofrenia adalah gangguan suatu psikosis fungsional dengan gangguan utama pada proses pikir serta disharmonisasi antara proses pikir, afek atau emosi, kemauan dan psikomotor disertai distorsi kenyataan, terutama karena waham dan halusinasi, assosiasi terbagi-bagi sehingga muncul inkoherensi, afek dan emosi inadekuat, serta psikomotor yang menunjukkan



penarikan



Etiopatofisiologi



diri,



skizofrenia



ambivalensi yaitu



faktor



dan



perilaku



genetik,



bizarre. gangguan



neurotransmitter, gangguan morfologi dan fungsional otak, gangguan imunitas, faktor kehamilan, faktor keluarga. Pasien dengan skizofrenia selain membutuhkan terapi farmakologi juga perlu psikoterapi dan psikoedukasi agar pasien mendapat dukungan oleh keluarga serta mempercepat penyembuhan pasien. Prognosis skizofrenia menjadi lebih buruk bila pasien menyalahgunakan zat atau hidup dalam keluarga yang tidak harmonis.



30



DAFTAR PUSTAKA Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto. 2017. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2015. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa. 26 Februari 2015. Jakarta Maslim, Rusdi. 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan DSM-5 Sadock, B. J., Sadock, V. A. 2010. Kaplan & Sadock’s Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. Jakarta: EGC



31