Sosiologi Hukum [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Disusun sebagai tugas terstruktur Ujian Tengah Semester (UTS) mata kuliah Sosiologi Hukum



Dosen Pengampu: Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos



Disusun Oleh:



Nama



: Sri Dewi Hafifatul H.



NIM



: L1C018100



Prodi/Kelas



: Sosiologi/C



PROGRAM STUDI SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MATARAM 2021



1



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI.....................................................................................................................2 BAB I.................................................................................................................................3 A. Pengertian Sosiologi Hukum..................................................................................3 B. Konsep Sosiologi Hukum.......................................................................................5 C. Ruang Lingkup Sosiologi Hukum........................................................................11 BAB II.............................................................................................................................17 A. Hukum Dalam Perspektif Teori Fungsional Struktural........................................17 B. Hukum Dalam Perspektif Teori Interaksionisme Simbolik.................................19 C. Teori Strukturasi...................................................................................................20 BAB III............................................................................................................................23 A. Urgensi Hukum dalam Interaksi Sosial Masyarakat............................................23 B. Justifikasi Hukum dalam Interaksi Sosial Masyarakat.........................................24 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................30



2



BAB I Pengertian, Konsep, dan Ruang Lingkup Sosiologi Hukum



A. Pengertian Sosiologi Hukum Dari sudut sejarah, sosiologi hukum untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh seorang Itali yang bernama Anzilotti, pada tahun 1882. Sosiologi hukum pada hakekatnya lahir dari hasil-hasil pemikiran para ahli, baik di bidang filsafat hukum, ilmu, maupun sosiologi. Sosiologi hukum saat ini sedang berkembang pesat, ilmu ini diarahkan untuk menjelaskan hukum positif yang berlaku artinya isi dan bentuknya berubah-ubah menurut waktu dan tempat, dengan bantuan faktor kemasyarakatan. Sosiologi hukum pada hakekatnya dua istilah ilmu yang menjadi satu, yakni kata “sosiologi” yang memiliki arti ilmu pengetahuan tentang masyarakat dan “hukum” yang bermakna aturan yang terjadi sebagai penyesuaian terhadap berbagai bentuk gejala sosial yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itulah sosiologi hukum dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang mengkaji kehidupan masyarakat dalam pandangan ilmu hukum, sebagai upaya menciptakan keteraturan sosial yang terjadi di dalamnya. Sosiologi hukum adalah ilmu pengetahuan yang empiris analitis sebagai bentuk mendalami tentang hubungan-hubungan yang karena gejala sosial yang terjadi dalam masyarakat. Baik dilihat dari arti lembaga hukumnya, pranata sosial, dan perubahan bentuk. Menurut



C.J.M



Schuyt,



salah



satu



tugas



sosiologi



hukum



adalah



mengungkapkan sebab atau latar belakang timbulnya ketimpangan antara tata tertib masyarakat yang dicita-citakan dengan keadaan masyarakat yang ada di dalam kenyataan. Menurut Ronni Hanitijo Soemitro, ilmu hukum dapat dibedakan ke dalam dua cabang spesialisasi, yaitu studi tentang law in books dan studi tentang law in actions. Law in books disebutkan bagi studi atau kajian tentang hukum sebagaimana tercantum di dalam kitab Undang-Undang atau sebagaimana di dalam peraturan Perundangundangan, dengan kata lain studi tentang hukum sebagai norma atau kaedah. Hukum sebagai norma atau kaedah bersifat otonom, artinya bahwa hukum tersebut berdiri 3



sendiri dan bebas dari segala pengaruh. Sedangkan law in actions disebutkan bagi studi atau kajian tentang hukum sebagai gejala atau proses sosial. Hukum sebagai gejala atau proses sosial sifatnya heteronom, artinya hukum tersebut memiliki pengaruh dan hubungan timbal balik dengan gejala sosial lainnya seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, agama dan lain-lain. Hukum sebagai gejala sosial yang bersifat empiris, dapat dipelajari sebagai independent variable maupun sebagai dependent variable. Hukum yang dipelajari sebagai dependent variable merupakan resultante (hasil) dari berbagai kekuatan dalam proses sosial dan studi tersebut dikenal sebagai sosiologi hukum. Dilain pihak, hukum dipelajari sebagai independent variable menimbulkan pengaruh dampak kepada berbagai aspek kehidupan sosial dan studi yang demikian dikenal sebagai studi hukum masyarakat. Studi tentang law in books dan law in actions yang dikemukakan oleh Ronni Hanitijo Soemitro tersebut tidak berbeda jauh dengan pemikiran Soerjono Soekanto yang mengetengahkan ruang lingkup ilmu hukum yang mencakup : 1. Normwissenschaften atau Sollenwinssenschaften, yakni ilmu yang mempelajari hokum sebagai norma/kaedah, yang terdiri dari: a. Ilmu tentang pengertian hukum b. Ilmu tentang kaidah hukum 2. Tatsachenwissenschaften atau Seinwissenschaften, yakni ilmu hukum yang mempelajari hukum sebagai gejala sosial, yang terdiri dari: a. Sosiologi hukum b. Antropologi hukum c. Psikologi hukum d. Sejarah hukum e. Perbandingan hukum Dari uraian di atas, lebih lanjut dapat disimak beberapa pendapat para ahli terkait dengan pengertian atau definisi terkait sosiologi hukum, antara lain: 1. Soerjono Soekanto



4



Sosiologi Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris menganalisa atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala lainnya. 2. Satjipto Raharjo Sosiologi Hukum (sosiologi of law) adalah pengetahuan hukum terhadap pola perilaku masyarakat dalam konteks sosial. 3. R. Otje Salman Sosiologi Hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analitis. 4. H.L.A. Hart H.L.A. Hart tidak mengemukakan definisi tentang sosiologi hukum. Namun, definisi



yang



dikemukakannya



mempunyai



aspek



sosiologi



hukum.



Hart



mengungkapkan bahwa suatu konsep tentang hukum mengandung unsur-unsur kekuasaan yang terpusatkan kepada kewajiban tertentu di dalam gejala hukum yang tampak dari kehidupan bermasyarakat. Menurut Hart, inti dari suatu sistem hukum terletak pada kesatuan antara aturan utama (primary rules) dan aturan tambahan (secondary rules). Aturan utama merupakan ketentuan informal tentang kewajibankewajiban warga masyarakat yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pergaulan hidup sedangkan aturan tambahan terdiri atas : a. Rules of recognition, yaitu aturan yang menjelaskan aturan utama yang diperlukan berdasarkan hierarki urutannya, b. Rules of change, yaitu aturan yang mensahkan adanya aturan utama yang baru. c. Rules of adjudication, yaitu aturan yang memberikan hak-hak kepada orang



perorangan



untuk



menentukan



sanksi



hukum



dari



suatu



peristiwa



tertentu apabila suatu aturan utama dilanggar oleh warga masyarakat. B. Konsep Sosiologi Hukum



5



Sosiologi hukum memiliki setidaknya tujuh konsep, berikut penjelasan tentang konsep-konsep sosiologi hukum. 1. Hukum berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial (social control) Hukum sebagai pengendalian sosial: kepastian hukum, dalam artian UndangUndang yang dilakukan benar-benar terlaksana oleh oenguasa, penegak hukum. Fungsinya masalah penginteraksian tampak dominan, dengan terjadinya beberapa perubahan-perubahan pada faktor tersebut diatas, hukum wajib menjalankan usahanya semaksimal mungkin sehingga konflik-konflik serta kepincangan-kepincangan yang mungkin timbul tidak mengganggu ketertiban serta produktivitas masyarakat. Pengendalian sosial adalah suatu cara untuk menciptakan kondisi seimbang di dalam masyarakat, yang bertujuan terciptanya suatu keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat. Maksudnya adalah hukum sebagai alat memelihara ketertiban dan tercapainya keadilan. Pengendalian sosial terdiri atas semua elemen yang menciptakan serta memelihara ikatan sosial. Hukum merupakan sarana yang dipaksakan untuk melindungi warga masyarakat dari perbuatan dan ancaman yang membahayakan dirinya dan harta bendanya. 2. Hukum Berfungsi Sebagai Sarana Social Engineering Hukum dapat bersifat sosial engineering merupakan fungsi hukum dalam pengertian konservatif, fungsi tersebut diperlukan dalam tiap bentuk masyarakat, termasuk pada masyarakat yang sedang mengalami proses pergolakan dan pembangungan, mencakup kekuatan-kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan sosial yang meganut teori imperative tentang fungsi hukum. Hal tersebut dimaksudkan dalam rangka memperkenalkan lembaga-lembaga hukum modern untuk mengubah alam pikiran masyarakat yang selama ini tidak mengenalnya, sebagai konsekuensi Negara sedang membangun, yang kaitannya menuju modernisasi dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat. Maksudnya adalah hukum sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat. Hukum bias berperan dalam mengubah bentuk pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional atau modern. 3. Wibawa Hukum 6



Melemahnya wibawa hukum seperti yang diutarakan O. Notohamidjoyo, diantaranya disebabkan karena hukum tidak memperoleh dukungan yang semestinya dari norma-norma sosial bukan hukum, norma-norma hukum belum sesuai dengan norma-norma sosial yang bukan hukum, tidak ada kesadaran hukum dan kesadaran hukum dan kesetaraan norma yang semestinya, penjabat-penjabat hukum yang tidak sadar akan kewajibannya untuk memelihara hukum Negara, adanya kekuasaan dan wewenang, ada paradigm hubungan timbal balik antara gejala sosial lainnya dengan hukum. Dalam artian sebagai berikut: a. Hukum tidak memperoleh dukungan yang semestinya dari norma norma sosial bukan hukum, melemahnya value sistem dalam masyarakat pada umumnya sebagai akibat dari modernisasi b. Norma-norma hukum tidak batau belum sesuai dengan norma norma sosial yang bukan hukum, hukum yang dibentuk terlalu progresif sehingga dirasakan sebagai norma-norma asing bagi rakyat c. Tidak ada kesadaran hukum dan kesadaran norma yang semestinya d. Pejabat-pejabat hukum tidak sadar akan kewajibannya yang mulia untuk memelihara hukum negara, lalu mengkorupsikan, dan merusak hukum negara itu e. Pemerintah pusat dan daerah berusaha membongkar hukum yang berlaku untuk madsud-maksud tertentu. Dapat terjadi bahwa pemerintah yang seharusnya mendukung hukum sebagai kewajibannya, malah menghianati hukum yang berlaku 4. Ciri-ciri Sistem Hukum Modern Sistem hukum yang modern haruslah merupakan hokum yang baik, dalam arti hukum tersebut harus mencerminkan rasa keadilan bagi para pihak yang terlibat atau diatur oleh hukum tersebut. Hukum tersebut harus sesuai dengan kondisi masyarakat yang diaturnya. Hukum tersebut harus dibuat sesuai dengan prosedur yang ditentukan. Hukum yang baik harus dapat dimengerti atau dipahami oleh para pihak yang diaturnya. Ciri-ciri hukum modern: a. Terdiri dari peraturan yang isi dan pelaksanaannya seragam



7



b. Sistem hukum yang transaksional dimana hak dan kewajiban dalam perjanjian tidak memandang usia, kelas, agama dan jenis kelamin c. Bersifat universal dan dilaksanakan secara umum d. Adanya hirarkis yang tegas e. Melaksanakan hukum sesuai dengan prosedur f. Rasional g. Dilaksanakan oleh orang yang berpengalaman h. Spesialisasi dan diadakan penghubung diantara bagian bagian i. Hukum mudah berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat j. Penegak hukum dan lembaga pelaksana hukum adalah lembaga kenegaraan, artinya negara memonopoli kekuasaan k. Perbedaan yang tegas diantara 3 lembaga negara (eksekutif – legislatif – yudikatif) Ciri-ciri manusia modern: a. Rasional b. Jujur c. Tepat waktu d. Efisien e. Orientasi ke masa depan f. Tidak status simbol (gengsi) 5. Suatu kenyataan bahwa hukum hanya diperlukan untuk mereka yang stratanya rendah sedangkan strata tinggi seolah kebal hokum Hingga saat ini banyak pelaku kejahatan kelas atas atau yang disebut kejahatan Kerah Putih (White Colour Crime) yang dihukum sangat ringan bahkan tidak sedikit yang divonis bebas, karena mereka memegang kekuasaan dan wewenang yang dapat mengintervensi para penegak hukum, hal ini berakibat bahwa mereka yang berstrata tinggi seolah kebal hukum dan sebaliknya hukum hanya dipergunakan untuk mereka yang berstrata rendah. 6. Efektifitas Hukum dan Peranan Sanksi



8



Merupakan naskah yang berisikan sorotan sosial hukum terhadap peranan sanksi dalam proses efektivitas hukum. Efektivitas hukum merupakan proses yang bertujuan agar supaya hokum berlaku efektif. Keadaan tersebut dapat ditinjau atas dasar beberapa tolok ukur efektivitas. Menurut Suryono, efektivitas dari hokum diantaranya: a. Hukum itu harus baik 



Secara sosiologis (dapat diterima oleh masyarakat)







Secara yuridis (keseluruhan hukum tertulis yang mengatur bidang bidang hukum tertentu harus sinkron)







Secara filosofis



b. Penegak hukumnya harus baik, dalam artian betul betul telah melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana digariskan oleh hukum yang berlaku. c. Fasilitas tersedia yang mendukung dalam proses penegakan hukumnya d. Kesadaran hukum masyarakat. Syarat kesadaran hukum masyarakat : 



Tahu hukum (law awareness)







Rasa hormat terhadap hukum (legal attitude)







Paham akan isinya (law acqium tance)







Taat tanpa dipaksa (legal behaviore)







Budaya hukum masyarakat



e. Perlu ada syarat yang tersirat yaitu pandangan Ruth Benedict tentang adanya budaya malu, dan budaya rasa bersalah bilamana seseorang melakukan pelanggaran terhadap hukum hukum yang berlaku f. Cara mengatasinya : 



Eksekutif harus banyak membentuk hukum dan selalu mengupdate,







Para penegak hukumnya harus betul betul menjalankan tugas kewajiban sesuai dengan hukum hukum yang berlaku dan tidak boleh pandang bulu







Lembaga mpr sesuai dengan ketentuan uud 1945 melakukan pengawan terhadap kerja lembaga lembaga negara.



7. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum Kesadaran hukum merupakan konsepsi abstrak didalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang dikendaki atau sepantasnya. Kesadaran hukum sering dikaitkan dengan pentaatan hukum, pembentukan hukum, dan



9



efektivitas hukum. Kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan. Kesadaran



hukum



berkaitann



dengan



kepatuhan



hukum,



hal



yang



membedakannya yaitu dalam kepatuhan hukum ada rasa takut akan sanksi. a. Kesadaran: tidak ada sanksi, merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang telah dilakukan secara ilmiah, nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hokum yang diharapkan ada. Indikator kesadaran hukum: 1. Pengetatuan hukum 2. Pemahaman hukum 3. Sikap hukum 4. Pola perilaku hokum a. Kepatuhan Ada sanksi positif dan negatif, ketaatan merupakan variabel tergantung, ketaan hukum tersebut didasarkan kepada kepuasaan diperoleh dengan dukungan sosial. Faktor yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum: a. Compliance, yaitu kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghidarkan diri dari hukuman yang mungkin dikenakan apabila seseorang melanggar ketentuan hukum. Adanya pengawasan yang ketat terhadap kaidah hukum tersebut. b. Identification, terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan karena nilai intrinsiknya, akan tetapi agar ke anggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengn mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah kaidah hukum tersebut c. Internalization, seseroang mematuhi kaidah kaidah hukum dikarenakan secara intrinsic kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isinya sesuai dengan nilai nilainya dari pribadi yang bersangkutan. d. Kepentingan-kepentingan para warga yang terjamin oleh wadah hukum yang ada



10



C. Ruang Lingkup Sosiologi Hukum Telah dikemukakan di muka bahwa pengertian Sosiologi maupun Hukum ternyata cukup beragam. Hal ini sudah barang tentu berimplikasi terhadap penentuan ruang lingkup Sosiologi Hukum. Keragaman pandangan dalam penentuan batasan itu tidak berarti bahwa di antara sejumlah ilmuwan belum mencapai kesepakatan dalam menentukan pengertian maupun ruang lingkup Sosiologi Hukum. Hal itu terjadi hanyalah karena mereka memiliki pendekatan dan sudut pandang yang berbeda dalam memahami Sosiologi Hukum. Oleh William M. Evan dalam bukunya berjudul The Sociology of Law (1980) dikemukakan, bahwa: A variety of theoretical approaches have been formulated in recent years, and a multitude of empirical studies have been undertaken. Under the circumtances, a book purporting to encompass this growing fields must be highly selective. Six Major theoretical perspectives have been choosen for consideration: behavioralist theory, jurisprudential theory, functionalist theory, conflict theory, socialization theory, and systems theory. For sometime to come, these alternative paradigms will be the subject of analysis and controversy as well as a source of ideas for different stifles of inquiry in this field. It is my judgement, however, that in the course of the next decade one or another version of a systems theory of law, “integrating several of the key concepts and propositions of competing theories will be developed”. Ada banyak pendekatan yang digunakan untuk memahami Sosiologi Hukum, yaitu meliputi: teori perilaku, teori jurispruden, teori fungsional, teori konflik, teori sosialisasi, dan teori sistem. Akan tetapi pada perkembangan lebih lanjut, ternyata teori sistem dapat menyatukan beberapa teori yang lainnya. Dengan



tidak



bermaksud



akan



menguraikan



secara



rinci



mengenai



masingmasing pendekatan atau teori, penampilan pernyataan William tersebut dimaksudkan sebagai pemberi isyarat bahwa kita boleh saja mempelajari berbagai sudut pandang, akan tetapi jangan sampai terjebak dalam pertentangan yang terjadi di kalangan para pencetusnya. Kita justru harus mampu menemukan benang merah, bahwa



11



di balik pertentangan itu, pada akhirnya ditemukan pula suatu kristalisasi dari berbagai pandangan yang ada. Seperti halnya sikap kita terhadap keberadaan batasan pengertian Sosiologi yang nampak beragam, kita pun tidak terjebak dalam pertentangan pendapat, namun justru pada akhirnya dapat menemukan suatu pemahaman bahwa sesungguhnya keberadaan proses pengaruh-mempengaruhi di antara individu terhadap kelompok atau masyarakat, sebagaimana dikemukakan oleh Herbert Spencer beserta kawan-kawannya dari Inggris, maupun pengaruh kelompok atau masyarakat terhadap individu sebagaimana dikemukakan oleh Ferdinand Tonnis beserta kawan-kawannya dari Jerman, ternyata tercipta oleh adanya interaksi atau hubungan antar dua belah pihak, baik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok atau masyarakat, kelompok atau masyarakat dengan individu, maupun kelompok atau masyarakat yang satu dengan kelompok atau masyarakat lain. Interaksi atau hubungan sebagaimana dikemukakan di atas itu, dalam kenyataan hidup sehari-hari dapat beraneka ragam ujud, sifat maupun kualitasnya. Keragaman ujud, sifat maupun kualitas interaksi atau hubungan di antara anggota masyarakat tersebut, akan selalu berkembang sejalan dengan perkembangan kegiatan manusia itu sendiri. Kehidupan bersama yang semula bersifat kolektif, serba bersama-sama di masa lampau, pada perkembangannya lambat laun akan berubah ke arah sifat individual, sebab pada kenyataannya tidaklah mungkin, semua kegiatan anggota masyarakat yang satu harus dapat diikuti oleh anggota masyarakat yang lain. Perbedaan-perbedaan individual secara fisik, psikis maupun biologis misalnya, sudah boleh menjadi penyebab munculnya perbedaan-perbedaan kemampuan antara individu yang satu dengan individu yang lain. Apalagi jika dikaitkan dengan adanya perbedaan-perbedaan kepentingan. Hal ini akan membawa kehidupan manusia yang semula bersifat homogen serba sama, menjadi berubah ke arah heterogen atau bervariasi. Keragaman kemampuan fisik, psikis, maupun biologis anggota masyarakat di satu pihak, dan keragaman kepentingan di lain pihak, pada tingkat tertentu akan membawa manusia pada kegiatan-kegiatan individual, yang artinya bahwa pada kondisi tertentu kehidupan manusia akan sulit menemukan kebersamaannya. Pada saat seperti



12



inilah keberadaan budaya, nilai, maupun norma-norma sosial mulai diperlukan, agar kehidupan manusia dapat kembali harmonis. Teori perilaku, sebagai hasil karya Skinner dan kawan-kawan yang mendasarkan pada keterkaitan antara stimulus dan respons. Dalam melihat kecenderungan itu teori ini akan menuturkan bahwa kelahiran budaya, nilai, dan norma-norma sosial adalah respons dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia, termasuk sifat yang heterogen. Jadi dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa berkenaan dengan adanya perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia, maka diperlukan serangkaian pedoman perilaku sebagaimana tersebut di atas. Teori Jurispruden, yang muncul berkenaan dengan adanya kritik dari Carl. A Aurbach terhadap beberapa pertanyaan atau dari pertumbuhan perspektif Berkeley mengenai Sosiologi Hukum yang diikuti oleh Selznick, Skolnick, Carlin, dan Philippe (William M. Evan, 1980: 46) yang mencerca usulan mengenai pengertian sentral Sosiologi Hukum ke arah studi tentang dasar-dasar sosial dari ide legalitas, serta pemikiran Donald Black yang semula memandang nilai-nilai normatif sebagai tidak relevan dengan dunia empiris, akhirnya memandang bahwa keberadaan hukum itu diperlukan oleh manusia, dan hendaknya hukum dapat berdampingan dengan kehidupan sosial. Teori fungsional sebagaimana dicetuskan oleh Emile Durkheim dan kemudian dikembangkan oleh Robert K. Merton menekankan pada keteraturan (order) dan mengabaikan konflik dan perubahanperubahan dalam masyarakat. Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen elemen dan masing- masing elemen itu saling berkaitan dan saling fungsional dengan dan bagi elemen yang lain termasuk keterkaitan antara elemen atau unsur hukum dan unsur perilaku manusia itu sendiri. Jadi antara hukum dan aspek-aspek sosial terdapat hubungan yang fungsional. Menurut teori ini masyarakat senantiasa berada dalam keadaan berubah secara berangsur-angsur dengan memelihara keseimbangan. Masyarakat



dilihat



dalam



kondisi



dinamika



yang



selalu



mempertahankan



keseimbangan. Berbeda dengan Durkheim dan Merton, Dahrendorf melihat bahwa masyarakat itu mempunyai dua wajah, yaitu konsensus dan konflik, sehingga dalam



13



perkembangannya teori Sosiologi mengenal dua pandangan, meliputi: teori integrasi dan konflik. Di satu sisi teori konsensus memfokuskan pada nilai-nilai integrasi dalam masyarakat, sementara teori konflik justru memandang masyarakat sebagai senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai dengan pertentangan yang terus menerus di antara unsur-unsurnya. Teori ini melihat bahwa setiap unsur dalam masyarakat memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial. Teori ini menilai bahwa keteraturan yang terdapat dalam masyarakat hanyalah disebabkan oleh adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa. Konsep sentral teori ini adalah wewenang dan posisi. Tugas utama menganalisis konflik adalah mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik terlalu mengabaikan keteraturan dan stabilitas yang memang ada dalam masyarakat. Teori Sosialisasi, menempatkan hukum sebagai agen sosialisasi, hokum akan menjadi alat bagi manusia untuk memperkenalkan pola-pola perilaku yang semestinya dilakukan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Teori Sistem, hampir sama dengan teori fungsional, bahwa di dalam kehidupan manusia ada sejumlah unsur yang saling berkaitan dan saling memberi fungsi. Apabila ada satu unsur saja yang tidak berfungsi, maka unsur yang lain akan mengalami hambatan. Demikian juga hukum, yang bagi kehidupan manusia, keberadaannya sangat diperlukan. Berbagai pendekatan atau teori-teori di atas, ternyata pada dasarnya menyatakan bahwa antara hukum dan kehidupan sosial terdapat hubungan yang saling mengait. Apapun kedudukannya, manusia memerlukan keberadaan hukum, dan hukum pun sangat memerlukan wadah atau penggunanya. Dalam kehidupannya, manusia memiliki budaya, yang mengatur manusia dalam rangka berinteraksi dengan sesamanya, dan apabila budaya dirasa kurang kuat dalam kedudukannya sebagai pedoman hidup manusia, maka hukumlah yang akan hadir melengkapinya. Dengan demikian menjadi makin jelas, bahwa ruang lingkup, objek atau sasaran sosiologi hukum adalah meliputi: Pertama, pola-pola perikelakuan anggota masyarakat.



14



Sampai sejauh mana hukum membentuk pola-pola perilaku, atau sebaliknya pola-pola perilaku macam apa yang dapat membentuk hukum. Dengan kata lain, cara-cara apakah yang paling efektif dari hukum untuk membentuk pola perilaku manusia atau sebaliknya pola-pola perilaku macam apa yang dapat membentuk hukum. Kedua, kekuatan-kekuatan apa yang dapat membentuk, menyebarluaskan atau bahkan merusak pola-pola perilaku yang bersifat yuridis. Ketiga, hubungan timbal balik antara perubahan-perubahan dalam hukum dengan perubahan perubahan sosial buday. Hukum berusaha untuk mengatur perilaku manusia, namun untuk menciptakan suatu pedoman perilaku manusia yang tepat guna, diperlukan suatu pemahaman lebih dulu terhadap kehidupan manusia itu sendiri, dan untuk melakukan pemahaman itu, bidang hukum akan memerlukan bantuan Sosiologi. Seorang ahli hukum yang sedang berusaha mengadili seseorang yang dianggap bersalah, sudah barang tentu ia akan mengalami kesulitan dalam proses penentuan keputusannya, apabila tidak didahului dengan serangkaian upaya mencari bukti-bukti nyata atas perbuatan orang yang bersangkutan. Sementara itu ilmu yang mempelajari tentang kenyataan-kenyataan di dalam kehidupan manusia adalah Sosiologi. Oleh karena itu, secara langsung maupun tidak, Sosiologi sangat diperlukan dalam proses penentuan sanksi terhadap pelanggaran hukum. Sekali lagi perlu dipahami bahwa sasaran atau objek sebagaimana dimaksudkan di atas adalah sesuatu yang bersifat nyata atau yang senyatanya ada (das sein), bukan sesuatu yang seharusnya ada (das sollen). Maksudnya adalah bahwa Sosiologi itu berusaha menjelaskan suatu kenyataan-kenyataan atau realitas-realitas sosial, dan juga Sosiologi mempelajari fenomena yang tidak harus mengevaluasi fenomena tersebut. Namun demikian dalam perkembangan lebih lanjut, tidak dapat dihindari bahwa berkenaan dengan pemahaman terhadap keajegan-keajegan yang berulangkali muncul, akhirnya Sosiologi menjadi mampu juga melakukan prediksi-prediksi serta analisis terhadap sesuatu yang terjadi, maupun yang telah terjadi dan yang akan terjadi, sehingga Sosiologi diharapkan pula melahirkan pemikiran-pemikiran tentang sesuatu yang sepantasnya atau seharusnya terjadi dalam kehidupan masyarakat, dan jika suatu ilmu telah melahirkan harapan-harapan yang seharusnya terjadi, maka akhirnya ilmu itu pun menjadi terdorong pula ke arah penilaian-penilaian terhadap suatu realitas sosial.



15



Sosiologi tidak lagi selalu dapat dinyatakan sebagai ilmu murni, akan tetapi diharapkan pula dapat berperan sebagai ilmu terapan, yang dalam kaitannya dengan bidang hukum, Sosiologi akan menempatkan dirinya sebagai sarana untuk menentukan keputusan-keputusan di bidang hukum. Melalui uraian di atas akhirnya secara singkat dapat dikemukakan bahwa ruang lingkup Sosiologi Hukum adalah: Pola-pola perilaku dalam masyarakat, mencakup caracara bertindak yang sama dan orang-orang yang hidup bersama dalam masyarakat.



16



BAB II Hukum Dalam Perspektif Teori Fungsional Struktural, Interaksionisme Simbolik, dan Teori Strukturasi.



A. Hukum Dalam Perspektif Teori Fungsional Struktural Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial. Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismic kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisis substantif Spencer dan penggerak analisis fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminologi organismic tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat bagian-bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing-masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern.



17



Teori Fungsionalisme mengajarkan bahwa secara teknis masyarakat dapat dipahami denan melihat sifatnya sebagai suatu analisis system sosial, dan subsistem sosial, dengan pandangan bahwa masyarakat pada hakekatnya tersusun kepada bagianbagian secara struktural, dimana dalam masyarakat ini terdapat berbagai sistem-sistem dan faktor-faktor yang satu sama lain mempunyai peran dan fungsinya masing-masing, saling berfungsi, dan mendukung dengan tujuan agar masyarakat dapat terus bereksistensi, dimana tidak ada satu bagian pun dalam masyarakat yang dapat dimengerti tanpa mengikutsertakan bagian yang lain, dan jika salah satu bagian masyarakat yang berubah akan terjadi gesekan-gesekan ke bagian lain dari masyarakat ini. Jadi, paham fungsionalisme ini lebih menitiberatkan perhatiannya kepada faktor dan peranan masyarakat secara makro dengan mengabaikan faktor dan peranan dari masingmasing individu yang terdapat di dalam masyarakat ini. Fungsionalisme ialah suatu teori sosial murni yang besar (grand theory) dalam Ilmu Sosiologi, yang mengajarkan bahwa secara teknis masyarakat dapat dipahami dengan melihat sifatnya sebagai suatu analisis sistem sosial, dan subsitem sosial, dengan pandangan bahwa masyarakat pada hakikatnya tersusun kepada bagian-bagian secara struktural, dimana di dalam masyarakat ini terdapat berbagai sistem-sistim dan faktorfaktor, yang satu sama lain mempunyai peran dan fungsinya masing-masing, saling berfungsi dan saling mendukung dengan tujuan agar masyarakat ini terus bereksistensi, dimana tidak ada satu bagianpun dalam masyarakat yang dapat dimengerti tanpa mengikutsertakan bagian yang lain, dan jika salah satu bagian dari masyarakat yang berubah, akan terjadi gesekan-gesekan dan goyangan-goyangan ke bagian yang lain dari masyarakat ini. Menurut pandangan perspektif teoritis ini, perilaku atau struktur sosial atau sesungguhnya hukum, dalam mempelajari haruslah dalam kaitannya dengan fungsifungsi manifestasi yang mana dimaksudkan dengan fungsi-fungsi manifestasi ini adalah konsekuensi-konsekuensi yan diharapkan dari tindakan-tindakan sosial; dan dalam kaitannya dengan fungsi-fungsi latent baik yang tidak diharapkan maupun yang tidak diketahui. Model-model



fungsionalisme



yang



menggambarkan



suatu



masyarakat



permulaanya sangat bernilai karena model-model dapat memperlihatkan bahwa hukum



18



adalah merupakan suatu fenomena sosial yang dependen atau tergantung kepada faktorfaktor lain dalam masyarakat karena sistem hukum dibentuk oleh kekuatan-kekuatan yang berada di luar sistem tersebut. B. Hukum Dalam Perspektif Teori Interaksionisme Simbolik Salah satu teori dalam sosiologi, yang sangat banyak digunakan dalam analisis sosiologi hukum adalah teori Interaksionisme Simbolik. Kita dapat menyebut beberapa penulis yang menerbitkan buku tentang teori ini, seperti dari penggagasnya yaitu George Herbert Mead (1932) dan kemudian dilengkapi oleh Herbert Blumer (1969). Patut diingat bahwa teori ini pada dasarnya memfokuskan diri pada analisis perilaku individu dengan individu yang lain dalam kelompok kecil. Teori ini tidak ditujukan untuk menganalisis masyarakat dalam skala yang besar, seperti masyarakat adat atau masyarakat umum. Ia lebih mencermati perilaku komunitas kecil yang memiliki keunikan tertentu dalam interaksi sosial di antara mereka. Dalam pandangan teori Interaksionisme Simbolik, manusia adalah mahluk pembuat atau produsen simbol; suatu pemikiran yang mengingatkan kita pada pernyataan filosof Jeman dari kubu neo-kantian Ernst Cassirer bahwa manusia adalah “animal symbolicum”. Segala sesuatu (objek) yang ada di dalam kehidupan manusia mempunyai makna simbolik. Makna-makna ini tidak datang dengan sendirinya, melainkan dihadirkan dan kemudian disepakati dan dijadikan simbol. Simbol di sini dipahami sebagai tanda yang mengandung kesepakatan makna. Oleh sebab itu, perilaku manusia, baik sebagai individu maupun kelompok bertitik tolak dari makna-makna simbolik dari objek itu tadi. Sebagai contoh, kita menyaksikan ada tanda lalu lintas yang di bagian ujung tiangnya terdapat lempengan berbentuk lingkaran dengan  tanda huruf P yang dicoret. Tanda itu adalah simbol, yang disepakati bermakna larangan untuk parkir di seputar tempat itu. Kesepakatan ini diyakini sudah bersifat universal karena di berbagai negara, tanda lalu lintas yang bermakna larangan parkir diberi simbol sama seperti itu. Pembentuk hukum, khususnya peraturan perundang-undangan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan, mengadopsi makna simbolik ini dan menganggapnya sebagai hasil kesepakatan juga. Simbol ini lalu disosialisasikan, diperkenalkan sejak kecil kepada anak-anak yang pernah belajar tentang etiket berlalu lintas sampai pada saat mereka



19



dewasa nanti ketika akan mendapatkan surat izin mengemudi. Artinya, makna simbolik dari tanda larangan parkir itu telah dihadirkan dalam interaksi sosial. Uniknya, dalam kenyataan kita menyaksikan tetap saja ada orang yang melanggar tanda tersebut. Bahkan, kita menyaksikan mobil aparat penegak hukum (katakan Kepolisian) ada yang kerap diparkirkan tepat di bawah atau di sebelah tanda larangan tersebut. Teori Interaksionisme Simbolik berusaha memahami fenomena sosial ini dengan mengkaji bagaimana aparat tadi memahami simbol tanda larangan parkir tersebut. Tentu saja, kajian ini akan menarik jika perilaku parkir di bawah tanda larangan parkir itu berulangkali terjadi; bukan kejadian secara kebetulan atau karena kecelakaan. Tindakan repetisi seperti itu akan memperkuat tentang adanya pemaknaan yang benar-benar telah bergeser di benak pelakunya terhadap suatu simbol. Dalam rangka keperluan penegakan hukum dan penciptaan budaya hukum yang sehat, teori ini memberi sumbangan pemikiran tentang kaitan antara aksi dan reaksi dalam perilaku manusia. Polisi itu tahu benar makna tanda P yang dicoret itu. Tanda ini ditujukan kepada umum (subjek normanya adalah setiap orang). Operator normanya adalah larangan. Objek normanya adalah memarkirkan kendaraan. Kondisi normanya adalah di sepanjang jalan tersebut. Karena tidak ada keterangan waktu larangan pakir, seharusnya dipahami kondisi normanya tidak berbicara tentang pembatasan waktu. Larangan parkirnya berlaku sepanjang waktu. C. Teori Strukturasi Teori strukturasi merupakan teori yang menepis dualism (pertentangan) dan mencoba mencari likage atau pertautan setelah terjadi pertentangan tajam antara struktur fungsional dengan konstruksionisme fenomenologis. Giddens tidak puas dengan teori pandangan yang dikemukakan oleh structural fungsional, yang menurutnya terjebak pada pandangan naturalistik. Pandangan naturalistik mereduksi aktor dalam stuktur, kemudian sejarah dipandang secara mekanis, dan bukan suatu produk kontengensi dari aktivitas agen. Tetapi Giddens juga tidak sependapat dengan konstruksionisme fenomenologis, yang baginya disebut sebagai berakhir pada imperalisme subjek. Oleh karenanya ia ingin mengakiri klaim-klaim keduanya dengan cara mempertemukan kedua aliran tersebut.



20



Giddens menyelesaikan debat antara dua teori yang menyatakan atau berpegang bahwa tindakan manusia disebabkan oleh dorongan eksternal dengan mereka yang menganjurkan tentang tujuan dari tindakan manusia. Menurut Giddens, struktur bukan bersifat eksternal bagi individu-individu melainkan dalam pengertian tertentu lebih bersifat internal. Terkait dengan aspek internal ini Giddens menyandarkan pemaparannya pada diri seorang subjek yang memiliki sifatnya yang otonom serta memiliki andil untuk mengontrol struktur itu sendiri. Giddens memaparkan struktur tidak disamakan dengan kekangan (constraint) namun selalu mengekang (constraining) dan membebaskan (enabling). Hal ini tidak mencegah sifat-sifat struktur sistem sosial untuk melebar masuk kedalam ruang dan waktu diluar kendali aktor-aktor individu, dan tidak ada kompromi terhadap kemungkinan bahwa teori-teori sistem sosial para aktor yang dibantu ditetapkan kembali dalam aktivitas-ativitasnya bisa merealisasikan sistem-sistem itu. Manusia melakukan tindakan secara sengaja untuk menyelesaikan tujuan-tujuan mereka,



pada



saat



yang



sama,



tindakan



manusia



memiliki unintended



consequences  (konsekuensi yang tidak disengaja) dari penetapan struktur yang berdampak pada tindakan manusia selanjutnya. Manusia menurut teori ini yaitu agen pelaku bertujuan yang memiliki alasan-alasan atas aktivitas-aktivitasnya dan mampu menguraikan alasan itu secara berulang-ulang. Tidak menutup kemungkinan alasan yang diuraikan oleh manusia secara berulang-ulang tersebut memiliki tujuan-tujuan yang didasarkan atas apa yang hendak ia perlukan pada dimensi ruang dan waktu yang berbeda-beda. Bisa dikatakan tindakan dari seorang agen tak jarang pula untuk mempengaruhi struktur di mana mereka tengah menjalankan kiprahnya. Aktivitas-aktivitas sosial manusia ini bersifat rekursif dengan tujuan agar aktivitas-aktivitas sosial itu tidak dilaksanakan oleh pelaku-pelaku sosial tetapi diciptakan untuk mengekspresikan dirinya sebagai aktor atau pelaku secara terus menerus dengan mendayagunakan seluruh sumberdaya yang dimilikinya. Pada dan melalui



akivitas-aktivitasnya,



agen-agen



mereproduksi



kondisi-kondisi



yang



memungkinkan dilakukannya aktivitas-aktivitas itu. Menurut Barker, strukturasi mengandung tiga dimensi, yaitu sebagai berikut: Pertama, pemahaman (interpretation atau understanding), yaitu menyatakan



21



cara agen memahami sesuatu. Kedua, moralitas atau arahan yang tepat, yaitu menyatakan cara bagaimana seharusnya sesuatu itu dilakukan. Ketiga, kekuasaan dalam bertindak, yaitu menyatakan cara agen mencapai suatu keinginan.



22



BAB III Urgensi dan Justifikasi Kehadiran Hukum di Dalam Interaksi Sosial Masyarakat



A. Urgensi Hukum dalam Interaksi Sosial Masyarakat Urgensi hukum bagi masyarakat terletak pada fungsi dan tujuan hukum itu sendiri yaitu: 1. Fungsi Hukum Dalam sejarah pemikiran ilmu hukum, terdapat dua paham menge nai fungsi dan peran hukum dalam masyarakat: Pertama, paham yang mengatakan bahwa fungsi hukum adalah mengikuti dan mengabsahkan (justifikasi) perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, arti-nya hokum sebagai sarana pengendali sosial. Maka yang tampak adalah hukum bertugas mempertahankan ketertiban atau pola kehidupan yang ada. Paham ini dipelopori ahli hukum mazhab sejarah dan kebudayaan dari Jerman yang diintroduksi oleh Friedrich Carl von Savigny (1799-1861). Kedua, paham yang menyatakan bahwa hukum berfungsi sebagai sarana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Pa-ham ini dipelopori oleh ahli hukum dari Inggris, Jeremy Bentham (1748-1852), untuk kemudian dipopulerkan oleh Juris Amerika dengan kon-sepsi “hukum (harus juga) berfungsi sebagai sarana untuk mengadakan perubahan masyarakat” (law as a tool of social engineering) 2. Tujuan Hukum Dalam menjalankan fungsinya sebagai sarana pengendali dan per-ubahan sosial, hukum memiliki tujuan untuk menciptakan tatanan ma-syarakat yang tertib, damai, adil yang ditunjang dengan kepastian hu-kum sehingga kepentingan individu dan masyarakat dapat terlindungi. Dalam beberapa literatur ilmu hukum, para sarjana hukum telah meru-muskan tiga teori tujuan hukum dari berbagai sudut pandang: a. Teori Etis Teori etis pertama kali dikemukakan oleh filsuf Yunani, Aristote-les, dalam karyanya ethica dan rhetorika, yang menyatakan bahwa hukum memiliki tujuan



23



suci memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Menurut teori ini, hukum semata-mata ber-tujuan demi keadilan. Isi hokum ditentukan oleh keyakinan etis kita, mana yang adil dan mana yang tidak. Singkatnya, hukum menurut teori ini bertujuan mewujudkan keadilan. b. Teori Utilitis Menurut teori ini, hukum bertujuan untuk menghasilkan kemanfaatan yang sebesar-besarnya



pada



manusia



dalam



mewujudkan



kesenangan



dan



kebahagiaan. Penganut teori ini adalah Jeremy Bentham dalam bukunya Introduction to the Morals and Legislation. Pendapat ini dititikberatkan pada hal-hal yang berfaedah bagi orang banyak dan bersifat umum tanpa memperhatikan aspek keadilan. c. Teori Campuran Menurut Apeldoom tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan adil. Untuk mewujudkan kedamaian masyarakat, maka harus diciptakan kondisi masyarakat yang adil dengan mengadakan perimbangan antara kepentingan satu dengan yang lain, dan setiap orang (sedapat mungkin) harus memperoleh apa yang menjadi haknya. Dengan demikian, pendapat ini dikatakan sebagai jalan tengah antara teori etis dan utilitis. B. Justifikasi Hukum dalam Interaksi Sosial Masyarakat Salah satu bentuk justifikasi hukum dalam interaksi sosial masyarakat yaitu hukum pidana terhadap kebijakan kriminalisasi pelanggaran hak cipta. Dengan adanya beberapa teori dan Universal Declaration of Human Right 1948 yang menjadi dasar perlindungan hukum terhadap hak cipta, maka dasar hukum pemberian perlindungan atas kekayaan intelektual yang dimanifestasikan ke dalam satu bentuk ciptaan menjadi semakin kuat karena perlindungan tersebut juga merupakan hak asasi yang kedudukannya sama dengan hak untuk hidup dan hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Namun kemudian yang menjadi persoalan, apakah perlindungan terhadap suatu karya cipta dengan sarana penal (hukum pidana) memiliki justifikasi yang kuat, sehingga dibenarkan adanya kriminalisasi terhadap pelanggaran hak cipta.



24



Untuk menjawab persoalan di atas perlu dicermati Penjelasan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC 2002) yang menyebutkan bahwa maksud dari pembuatan undang-undang memberikan perlindungan terhadap hak cipta, yaitu: 1. Indonesia sebagai Negara kepulauan memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang kaya. Hal itu sejalan dengan etnik, suku bangsa, dan agama yang secara keseluruhan merupakan potensi nasional yang perlu dilindungi. Kekayaan seni dan budaya itu merupakan salah satu sumber dari kekayaan intelektual yang dapat dan perlu dilindungi oleh undang-undang; 2. Indonesia telah ikut dalam pergaulan masyarakat dunia dengan menjadi anggota dalam Agreement Eshtablishing The World Trade Organization yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Right (TRIPs) melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1994. Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi beberapa konvensi internasional lain yang terkait dengan hak cipta (property right). Melihat pertimbangan kedua Penjelasan UUHC 2002 dapat disimpulkan bahwa Indonesia dalam membuat rumusan UUHC mendasarkan pada ketentuan TRIPs (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Right) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1994.28 TRIPs menentukan norma-norma dan standar substantif minimum mengenai bagaimana perlindungan diberikan dan bagaimana perlindungan tersebut diaplikasikan. Sepanjang tidak bertentangan dengan TRIPs, negara anggota dapat menerapkan norma-norma atau standar substantif yang melebihi dari yang diharuskan oleh TRIPs dalam hukum nasionalnya. Pengaturan sanksi pidana sebagaimana dipergunakan dalam kebijakan kriminalisasi terhadap tindak pidana hak cipta di Indonesia memiliki dasar pijakan sebagaimana diatur dalam TRIPs, yaitu: Members shall provide for criminal procedures and penalties to be applied at least in cases of wilful trademark counterfeiting or copyright piracy on a commercial scale.... Members may provide for criminal procedures and penalties to be applied in other cases of infringement of intellectual property right, in particular where they are committed wilfully and on a commercial scale.



25



Dengan demikian, sesungguhnya TRIPs lebih mengutamakan penerapan pidana pada pelanggaran pemalsuan merek dagang atau pembajakan hak cipta untuk kegiatan komersil yang dilakukan dengan sengaja (dolus). Sementara untuk yang lainnya hanya merupakan pilihan kebijakan untuk ditempuh atau tidak oleh negara-negara anggota. Indonesia sendiri sebenarnya telah menerapkan pidana pada pelanggaran hak cipta sebelum TRIPs disetujui dan diratifikasi pada tahun 1994. Penerapan pidana terhadap pelanggaran hak cipta sudah digunakan oleh Indonesia sejak berlakunya Auteurswet 1912 dan tetap dipertahankan di dalam UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, UU No. 7 Tahun 1987, UU No. 12 Tahun 1997 sampai UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang berlaku saat ini, bahkan pidananya semakin diperberat. Menurut L. J. Van Apeldoorn, isi peraturan-peraturan hukum bergantung kepada hakekat kepentingan-kepentingan yang diatur oleh hukum. Kepentingankepentingan yang diatur hukum dapat berupa kepentingan-kepentingan umum (publik) atau kepentingan-kepentingan khusus (privat). Sepanjang peraturanperaturan hukum mengatur kepentingan-kepentingan umum, maka ia disebut hukum publik. Sedangkan sepanjang peraturan-peraturan hukum mengatur kepentingan-kepentingan privat, maka ia disebut hukum perdata. Hukum pidana termasuk di dalam hukum publik, sehingga hukum pidana merupakan perangkat norma yang mengatur kepentingan-kepentingan yang bersifat umum (publik). Dalam prosedur acara pidana, jaksa penuntut umum bertindak mewakili negara dalam membela kepentingan umum. Doktrin yang diungkapkan L. J. Van Apeldoorn di atas sulit untuk dijadikan sebagai justifikasi kriminalisasi terhadap pelanggaran hak cipta karena perlindungan terhadap hak cipta sebenarnya lebih kepada perlindungan terhadap kepentingan yang bersifat pribadi (privat) dimana perlindungannya seharusnya menggunakan instrument hukum perdata. Pasal 56 UUHC 2002 juga mengakui bahwa pelanggaran terhadap hak cipta memiliki unsur pelanggaran terhadap kepentingan individu, sehingga pencipta atau pemegang hak cipta dapat mengajukan gugatan perdata ke pengadilan niaga terhadap pelanggar hak ciptanya. Namun demikian, doktrin kepentingan umum sebagai justifikasi kebijakan kriminalisasi terhadap suatu perbuatan sudah hampir ditinggalkan oleh banyak negara. Doktrin kepentingan umum sudah mulai bergeser kepada teori-teori



26



kriminalisasi lain yang berkembang saat ini, diantaranya adalah teori liberal individualistik dan teori moral. Teori liberal-individualistik memiliki titik tolak yang sama dengan dasar teori kriminalisasi yang dikemukakan Beccaria, yaitu prinsip kerugian. Dalam menjelaskan teorinya, Beccaria memakai istilah “injury done to society”, sementara dalam teori liberal-individualistik digunakan istilah “social harm” atau “harm to society”. Menurut Jerome Hall, “social harm” merupakan kata kunci untuk menyebut suatu perbuatan sebagai kejahatan. Pemikiran John Stuart Mill menjadi rujukan teori liberal-individualistik. Dalam bukunya On Liberty, Mill menegaskan bahwa kekuasaan negara untuk mengatur masyarakat dibatasi oleh kebebasan warganegara. Negara hanya boleh campur tangan terhadap kehidupan pribadi warganegara bila warganegara tersebut merugikan kepentingan orang lain. Jika tindakan seseorang tidak merugikan orang lain, maka tidak boleh ada pembatasan terhadap kebebasannya, tetapi jika suatu tindakan merugikan orang lain, maka negara berwenang untuk mengkriminalisasikannya. Kalau diterapkan dalam persoalan hak cipta, maka teori liberalindividualistik ini dapat menjadi justifikasi kriminalisasi terhadap pelanggaran hak cipta karena dapat merugikan orang lain. Pihak yang dirugikan tentunya para pencipta karya cipta yang berdasarkan teori hukum alam, rewarad theory, recovery theory, incentive theory dan risk theory, berhak mendapatkan perlindungan terhadap karya cipta yang telah ia ciptakan melalui suatu proses yang memerlukan tenaga dan pikiran bahkan modal yang bersifat materi. John Lock berpendapat bahwa umumnya semua orang memiliki kewajiban untuk tidak merugikan orang lain kecuali dalam kasus khusus dan kebutuhan yang sangat mendesak yang dapat dibenarkan. Hak untuk tidak dirugikan (the right not to be harmed) secara leksikal ada sebelumnya sebagai hak alamiah. Ada dua kunci hak bebas, yakni: “all persons have a liberty right to dispose of their efforts as they see fit dan all persons have a liberty right to use the common; the earth and all its fruit which God give to humankind”. Dengan demikian maka tidak boleh ada orang yang menuntut kepada orang lain atas penggunaan yang tidak merugikannya atau tidak merugikan masyarakat.



27



Dalam diskursus hukum pidana, nilai-nilai moral dapat dijadikan sebagai justifikasi terhadap kriminalisasi suatu perbuatan. Artinya perbuatan yang immoral dapat dilegalisasi oleh legislatif menjadi perbuatan kriminal atau tindak pidana. Ketika perbuatan immoral tidak dikriminalisasi, maka akan terjadi ketegangan antara hukum pidana dan moral.34 Ketegangan ini dapat terjadi karena hukum pidana akan dinilai tidak bisa menjaga nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi dalam pergaulan hidup masyarakat. Mungkin ada sejumlah perilaku yang dipandang tidak baik atau bahkan buruk dalam masyarakat akan tetapi karena tingkat ancamannya pada masyarakat dipandang tidak terlalu besar maka perilaku tersebut tidak dirumuskan sebagai suatu tindak pidana. Menurut Oemar Seno Aji, hal semacam ini juga mencerminkan bentuk atau kualitas hubungan antara hukum pidana dan ukuran ukuran moral (moral standards). Perumusan tindak pidana semacam ini dimaksudkan untuk menjaga moral dalam masyarakat.36 Jika diimplementasikan, maka pelanggaran terhadap hak cipta bisa dikatakan sebagai perbuatan yang melanggar moralitas yang hidup dalam masyarakat karena merupakan tindakan mengambil hak orang lain tanpa seizin pemiliknya. Jay A Singler berpendapat bahwa kriminalisasi tidak hanya bisa dilakukan terhadap perbuatan yang menimbulkan bahaya terhadap masyarakat saja, namun juga terhadap perbuatan yang menggangu dan memalukan. Menurutnya pelanggaran terhadap hak cipta dapat dikriminalisasikan karena termasuk dalam kejahatan terhadap hak kepemilikan orang lain. Berdasarkan uraian di atas, kriminalisasi terhadap pelanggaran hak cipta memiliki dasar legitimasi yang kuat, namun perlu di perhatikan pula bahwa sesuai dengan Pasal 56 UUHC 2002, perlindungan hukum terhadap hak cipta menurut selain bersifat pidana, juga bersifat perdata. Hanya saja, untuk mengajukan gugatan perdata forumnya pada pengadilan niaga, sehingga tidak bisa digabungkan dengan perkara pidananya. Sistem peradilan yang demikian ini sangat tidak efektif. Oleh karena itu idealnya perkara pelanggaran hak cipta cukup diselesaikan melalui pengadilan pidana saja, dengan memasukkan ganti rugi sebagai salah satu alternatif pidananya. Sistem sanksi ganti rugi ini memang sekarang sedang direncanakan untuk bisa masuk dalam hukum pidana sebagai pidana tambahan, karena tidak mustahil suatu tindak pidana



28



dapat merugikan korban secara materiil, termasuk dalam pelanggaran hak cipta ini dimana potensi kerugian korban secara materiil bisa sangat besar.



29



DAFTAR PUSTAKA



Umanailo, M. C. B. (2017).Sosiologi Hukum. https://doi.org/10.31219/osf.io/5ymwh Soeprapto. (2013). Modul 1 Pengertian Dasar Sosiologi Hukum, Ruang Lingkup, dan Aspek-aspek Hukum. 1–42. Andry,



P.



(2016).



7



Konsep



Sosiologi



Hukum.



https://sosialsosiologi.blogspot.com/2012/12/konsep-konsep-sosiologihukum.html Dermantono,



A.



(2013)



Teori



Strukturasi



Dari



Anthony



Giddens.



https://argyo.staff.uns.ac.id/2013/02/05/teori-strukturasi-dari-anthony-giddens/ Anto, R. (2018). Teori-teori Sosiologi hukum Fungsional Struktural. Shidarta.



(2019).



Teori



Interaksionisme



Simbolik:



Analisis



Sosial-Mikro.



https://business-law.binus.ac.id/2019/10/23/teori-interaksionisme-simbolikanalisis-sosial-mikro/ Warjiyati, S. (2018). MEMAHAMI DASAR ILMU HUKUM: Konsep Ilmu Hukum (Edisi Pert). Prenamedia Group. Wibowo, A. (2015). Justifikasi Hukum Pidana terhadap Kebijakan Kriminalisasi Pelanggaran Hak Cipta, Serta Perumusan Kualifikasi Yuridis dan Jenis Deliknya. Jurnal Hukum IUS QUALA IUSTUM, 22, 63-68.



30