Tafsir 1 PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TAFSIR SURAT AL-FATIHAH AL FATIHAH DALAM PRESPEKTIF SHARIAH



Makalah Revisi: Disus untuk memenuhi tugas matakuliah Disusun Tafsir 1



Oleh: FATICHATUS SA'DIYAH (E032120248)



Dosen Pengampu: DRS. H. ACHMAD CHOLIL ZUHDI, M. AG (195009211988031001)



JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL



SURABAYA 2013



2



KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan karunianya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul ‘Tafsir Surat Al-Fatihah dalam Perspektif Shariah’. Kami menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang kami miliki sehingga makalah ini selesai dengan baik. Dan karena makalah ini jauh dari kesempurnaan, kami mengharap saran dan kritik baik dari Dosen pengampu ataupun dari teman-teman satu juang kami, jika ditemukan kesalahan atau ketidaksesuaian dalam makalah kami. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.



Surabaya, Desember 2013



penulis



ii



3



DAFTAR ISI COVER……………………………………………………………...



1



KATA PENGANTAR.........................................................................



2



DAFTAR ISI.......................................................................................



3



BAB I



BAB II



BAB III



PENDAHULUAN A. Latar Belakang........................................................



5



B. Identifikasi Masalah...............................................



7



C. Rumusan Masalah...................................................



8



D. Tujuan Penelitian....................................................



8



E. Manfaat Penelitian..................................................



8



F. Kajian Pustaka........................................................



8



G. Outline....................................................................



10



SHARIAH DAN AL-FATIHAH A. Shariah....................................................................



12



B. Al-Fatihah...............................................................



26



SHARIAH DALAM SURAT AL-FATIHAH A. Ayat, Mufradat, dan Terjemah...............................



27



B. Asbab Al-nuzul......................................................



29



C. Munasabah Ayat.......................... ........................



33



D. Tafsir surat Al-Fatihah ayat Lima, Enam, dan Tujuh.



34



E. Isi Kandungan surat Al-Fatihah…………............



46



F. Analisis...................................................................



59



iii



4



BAB IV



PENUTUP A. Kesimpulan..............................................................



61



B. Saran........................................................................



61



DAFTAR PUSTAKA



iv



5



BAB I PENDAHULUAN A.



Latar Belakang Masalah Alquran adalah pedoman kehidupan yang menyeru kepada orangorang



yang



mengimaninya



untuk



bisa



merealisasikan



kehidupan



keberagamannya pada semua aspek dalam dirinya, getaran hatinya, kerinduan ruhnya, gerakan fisiknya, perilakunya terhadap Tuhan yang terimplikasi dalam interaksinya dengan keluarga dan sesamanya. Dengan keimanan model inilah ia bisa mendekatkan diri ke hadirat Allah SWT.1 Alquran tediri dari atas 114 surat, terbagi ke dalam 6236 ayat, seluruh ayat yang 6236 itu disimpulkan Allah dalam surat yang pendek dan terdiri hanya atas tujuh ayat saja, yaitu Surat Al-fa>tihah.2 Surat ini memuat Akidah Islamiyah secara global, memuat konsep islam secara garis besar, memuat segenap rasa dan arahan, yang nota benenya mengisyaratkan hikmah dipilihnya surat ini untuk diulang-ulang pada setiap rakaat, dan hikmah batalnya salat yang tidak dibacakan surat ini di dalamnya.3 Diriwayatkan dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “beliau bekata pada Ubay, tidakka aku memberitahukanmu tentang surat yang tidak diturunkan di Taurat, Injil, dan dalam Alquran yang serupa dengannya? 1



Sari Narulita dan Miftahul Jannah, dkk, Al-Hayaatu fil-Qur’an al-Kariim, cetakan pertama (Depok: Gema Insani, 2006), xi. 2 Bey Arifin, Samudera Al-fa>tihah, cetakan kedua (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1972), XV. 3 Sayyid Quthub, Fi Zhilallil Quran, cetakan ketiga, (Jakarta: Gema Insani, 2004), 25.



5



6



Ubay menjawab: tidak, wahai Rasulullah. Rasulullah berkata: itu adalah



Fa>tiha al-kita>b, sesungguhnya dia adalah sab’u al-mathani dan Alquran yang mana aku juga berperan di dalamnya.”4 Adapun ayat-ayat di dalam surat Al-fa>tihah ini mengandung pujian dan pengajaran bagaimana memuji Allah yakni dengan menghususkan segala macam pujian padaNya dan dengan menyebut namaNya yang paling dominan yaitu al-rah}ma>n al-rah}i>m. Surat ini juga memuat pengakuan akan kemutlakan kekuasaan dan pembalasannya di hari kemudian serta petunjuk bagi manusia bagaimana bermohon dan apa yang seharusnya dimohonkan, yakni agar diantar di jalan yang luas dan lurus yang pernah ditempuh oleh mereka yang sukses, bukan jalan orang yang sesat, karena tidak mengetahui kebenaran dan tentu bukan juga cara hidup mereka yang telah mengetahui kebenaran tapi enggan menelusurinya. Jika bermaksud mengelompokkan maka dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama, berbicara tentang Allah dan sifat-sifatnya sedang kelompok kedua merupakan permohonan yang diajarkan Allah kepada hamba-hambaNya.5 Dengan demikian, alangkah baiknya jika Al-fa>tihah ini diulas secara lebih mendalam lagi, karena kebanyakan orang Islam baik yang bodoh atau pintar, mengerti atau tidak, pelan atau keras seringkali membaca Al-fa>tihah tanpa tau kandungan di dalamnya.6 Dalam makalah ini penulis akan sedikit mengurai tentang kandungan shariah yang terdapat dalam Surat Al-fa>tihah 4



Thanthawy al-Jauhary, al-Jawahir, juz 1,(Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, tt), 3. M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 9. 6 al-Jauhary.., al-Jawahir.., 20. 5



7



yang berkenaan tentang ibadahnya muslim, agar mereka mengerti bahwa tiada pula yang lain yang kita puja atau kita sembah yang berupa beribadah. Karena kita semuanya adalah makhlukNya belaka.7 Dan tiada pula permohonan pertolongan kecuali kepada Allah juga.8 B.



Identifikasi Masalah Terkait



tentang



penafsiran



surat



Al-fa>tihah



ada



beberapa



permasalahan yang dikaji: 1. Ayat pertama tentang Basmalah. 2. Ayat kedua tentang Hamdalah. 3. Ayat ketiga tentang memahami rahmat Allah. 4. Ayat keempat memahami tentang hari pembalasan. 5. Ayat kelima memahami tentang Ibadah dan memohon perlindungan kepada Allah. 6. Ayat keenam memahami tentang makna dan hakikat hidayah. 7. Ayat ketujuh menjelaskan tentang jalan yang lurus. Dari beberapa permasalahan yang telah diidentifikasi tersebut, perlu adanya pembatasan masalah agar pembahasan dalam tulisan ini dapat menetapkan batasan-batasan masalah yang lebih tegas. Oleh karena itu, makalah ini dibatasi tentang masalah penafsiran syari’ah dalam surat Alfa>tihah.



7



Hamka, Tafsir Al-azhar, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 2000), 103. Sayyid Quthub, Fi Zhilallil Quran, cetakan ketiga, (Jakarta: Gema Insani, 2004), 30.



8



8



C.



Rumusan Masalah 1. Bagaimana kandungan ayat syari’ah dalam surat Al-fa>tihah?



D.



Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui kandungan ayat syari’ah dalam surat Al-fa>tihah.



E.



Manfaat Penelitian 1. Menambah wawasan mengenai kandungan ayat syari’ah dalam surat Al-fa>tihah.



F.



Kajian Pustaka Kajian yang menelaah tentang tafsir surat Al-fa>tihah, khususnya yang mengulas tentang kandungan shariah yang terdapat dalam surat Al-fa>tihah ayat lima ini dapat dilihat dari sumber rujukan yang digunakan oleh penulis dalam menyelesaikan makalah ini, baik dari buku dan kitab yang memiliki literatur arab maupun indonesia. Beberapa diantaranya: 1. Samudera Al-fa>tihah karya H. Bey Arifin yang diterbitkan oleh PT. Bina Ilmu Surabaya pada tahun 2002. Buku ini dikarang dengan tujuan untuk menggali sedalam mungkin menjelajah atau menyelami sejauh mungkin akan Samudera Al-fa>tihah yang maha dalam dan maha luas, untuk menambah iman dan khusyu’nya muslim terhadap semua persoalan yang dikandungnya.9 2. Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni juz 1 karya Muhammad Ali Ash-Shabuni yang diterjemahkan oleh H. Mu’ammal Hamidy dan Drs. Imron A. Manan dan diterbitkan oleh PT. Bina Ilmu Surabaya 9



H. Bey Arifin, Samudera Al-fa>tihah, cetakan kedua (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1972),



xv.



9



pada tahun 2003. Dalam kitab ini, Ash-Shabuni berpendapat bahwa yang benar yaitu pendapat para muh{aqqiu>n (peneliti) dari kalangan ahli tafsir yang menyatakan bahwa (penyebutan kata “isim” dalam “basmalah”) itu untuk membedakan antara sumpah dan tabarruk.10 3. Berdasarkan Misteri Surat Al-fa>tihah karya Abdul Hakim bin Abdullah Al-Qasim yang diterbitkan oleh eLBA Surabaya pada tahun 2007, beribadah kepada Allah SWT merupakan bukti kecintaan tulus sang hamba kepada Allah SWT. Suatu ibadah tidak bisa sah kecuali jika seseorang mengerjakannya sesuai dengan tuntutan Nabi Muhammad SAW (muta>ba’ah).11 4. Ucapan itu bagian dari ibadah yang tidak dapat diganti atau direvisi oleh siapapun, maka lafadz “kami menyembah” harus diucapkan apa adanya tanpa perubahan sedikitpun; meskipun yang mengucapkannya sendirian.12 Ini terdapat dalam buku Nashruddin Baidan yang berjudul Tafsir Kontemporer Surat Al-fa>tihah yang diterbitkan oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta pada tahun 2012. 5. Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab yang diterbitkan oleh Lentera Hati Tangerang pada tahun 2007. Quraish Shihab berkata dalam kitab ini, bahwa ayat-ayat surat Al-fa>tihah mengandung pujian dan pengajaran bagaimana seseorang memuji Allah yakni dengan



10



Muammal Hamidy dan Drs. Imron A. Manan, Terjemahan tafsir Ayat Ahkam AshShabuni, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003), 4. 11 Abdul Hakim bin Abdullah Al-Qasim, Misteri Surat Al-fa>tihah, cetakan kedua (Surabaya: eLBA. 2007), 85. 12 Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surat Al-fa>tihah, cetakan pertama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 74.



10



mengkhususkan segala macam pujian kepadaNya dan dengan menyebut nama-namaNya yang paling dominan yaitu al-rah{ma>n dan al



rah{i>m.13 6. Berdasarkan Tafsir Al-Baidhowy karya Nashir Al-Din Abi Sa’id Abdullah Abi Umar bin Muhammad Al-SyairazyAl-Baidhowy yang diterbitkan oleh Dar Al-Fikr, ibadah yang jelas itu menunjukkan sahnya kemukallafan seseorang dan itu semua ada jika disertai dengan kemampuan.14



13



2007), 9.



M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, cetakan kesepuluh (Tangerang: Lentera Hati,



14



Nashir Al-Din Abi Sa’id Abdullah Abi Umar bin Muhammad Al-Syairazy AlBaidhowy, Tafsir Al-Baidhowy, (Lebanon: Dar Al-Fikr, tt), 67.



11



G.



Outline



COVER KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I



PENDAHULUAN H. Latar Belakang I. Identifikasi Masalah J. Rumusan Masalah K. Tujuan Penelitian L. Manfaat Penelitian M. Kajian Pustaka N. Outline



BAB II



SHARIAH DAN AL-FATIHAH C. Shariah D. Al-Fatihah



BAB III



SHARIAH DALAM SURAT AL-FATIHAH G. Ayat, Mufradat, dan Terjemah H. Asbab Al-nuzul I. Munasabah Ayat J. Tafsir surat Al-Fatihah ayat Lima, Enam, dan Tujuh K. Isi Kandungan Shariah dalam surat Al-Fatihah L. Analisis



BAB IV



PENUTUP



12



C. Kesimpulan D. Saran DAFTAR PUSTAKA



13



BAB II SHARIAH DAN AL-FATIHAH A. Shariah Hukum Islam sebagai sistem hukum yang bersumber dari Din al-Islam sebagai suatu sistem hukum dan suatu disiplin ilmu, hukum Islam mempunyai dan mengembangkan istilah-istilahnya sendiri sebagaimana disiplin ilmu yang lain. Dalam studi hukum Islam, di Indonesia, seringkali dijumpai istilah Hukum Islam, shariah, fiqh, serta beberapa istilah teknis lainnya. Istilah hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia, sebgai terjemahan al-fiqh al-Islamy atau dalam konteks tertentu dari al-shari’ah al-Islamy. Istilah ini dalam wacana ahli hukum orang barat disebut Islamic Law. Dalam Alquran maupun Sunnah istilah al-hukm al-Islam tidak dijumpai tetapi digunakan ialah kata shariah yang dalam penjabarannyakemudian lahirlah istilah fiqh. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai hukum Islam perlu dipahami dahulu pengertian istilah shariah dan fiqh.15 1. Pengertian dan Definisi Shariah Golongan ulama yang muncul sesudah abad III hijriyah telah memakai kata shariah untuk nama-nama hukum fiqh atau hukum Islam, yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf. Atas dasar pemakaian ini, timbul perkataan Islam



15



Abd. Shomad, Hukum Islam, cetakan kedua, (Jakarta: Kencana Preneda Media group, 2012), 22-23



15



14



adalah akidah dan shariah, yang dinamakan atau yang dimaksud dengan shariah adalah arti yang sempit yang berarti qanun.16 Secara harfiyah, shariah adalah jalan (ketepian mandi) yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim. Shariah memuat ketetapan-ketetapan Allah SWT dan ketentuan RasulNya, baik berupa larangan maupun berupa suruhan. Ia meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia.17 Imam Syafi’i mengartikan shariah dengan pengaturan-pengatuan lahir bagi umat Islam yang bersumber pada wahyu dan kesimpulan (deductions) yang dapat ditarik dari wahyu.18 Manna’ Al-Qathan berpendapat bahwa istilah shariah itu mencakup segala aspek akidah dan akhlak disamping aspek hukum, sebagaimana dia katakan bahwa shariah adalah “segala ketentuan Allah SWT yang disyariatkan bagi hamba-hambaNya, baik menyangkut akidah, ibadah, akhlak maupun muamalah. Dengan pengertian ini, dia ingin membedakan antara shariah sebagai ajaran yang datang langsung dari Tuhan, dengan perundang-undangan hasil pemikiran manusia. Namun, dia mengidentikkan shariah dengan agama.19 Menurut Faruq Nabhan, shariah itu mencakup aspek-aspek akidah, akhlak, dan amaliyah. Namun, menurutnya istilah shariah itu terkadang berkonotasi fiqh, yaitu norma-norma amaliah beserta implikasi kajiannya.20



16 17



Ibid, 24 Mohammad Daud Ali, Hukum islam, cetakan ketiga (Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada,



1993), 42 18



Abd. Shomad, Hukum Islam, cetakan kedua, (Jakarta: Kencana Preneda Media group,



2012), 24. 19



Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, cetakan ketiga (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,1995 ), 3. 20 Ibid .,



15



Pengertian



yang



dikemukakan



Manna’



al-Qathan



kurang



dapat



mengakomodir norma-norma hukum hasil kajian para ulama, termasuk kajian yang tradisional. Sementara Faruq Nabhan belum membedakan secara tegas antara shariah dan fiqh. Dan kini Mahmud Syaltout memberikan pengertian yang jelas, dia mengartikan bahwa shariah itu adalah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah SWT, atau hasil pemahaman atas dasar ketentuan tersebut, untuk dijadikan pegangan oleh umat manusia baik dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan umat manusia lainnya, orang Islam dengan non-muslim, dengan alam, maupun dengan menata kehidupan ini.21 Mahmud Syaltout lebih jauh berpendapat bahwa aspek akidah tidak termasuk pada pembahasan dan kajian shariah, karena akidah –menurutnyamerupakan landasan bagi tumbuh dan berkembangnya shariah. Sedang shariah merupakan sesuatu yang harus tumbuh di atas aqidah tersebut.22 Pengertian yang dikemukakan Syaltout ini relatif lebih akomodatif, karena dapat mewakili dua jenis shariah, yaitu ketentuan-ketentuan yang diturunkan serta dikeluarkan oleh Allah SWT dan RasulNya, serta norma-norma hukum kajian para ulama mujtahid, baik melalui qiyas maupun mashlahah. Kemudian, pengertiannya itu juga membatasi shariah pada aspek hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan manusia lain, alam dan lingkungan sosialnya.23 Kompetisi untuk menetapkan hukum tersebut pada dasarnya berada pada Tuhan, karena Dia adalah pencipta umat manusia dan segenap makhlukNya yang 21



Ibid., 3-4. Ibid., 4. 23 Ibid., 22



16



lain, sementara norma-norma hukum itu merupakan ketentuan yang mengatur kehidupan mereka. Kemudian juga para RasulNya sebagai orang yang Dia utus untuk menyampaikan dan menerangkan norma-norma tersebut kepada umat manusia. Akan tetapi, karena pernyataan-pernyataan eksplisit Alquran itu banyak yang mujmal, umum dan merupakan respon yuridis terhadap produk-produk kultur manusia, sementara penjelasan-penjelasan Sunnah juga terkait dengan zaman dan lingkungan tertentu, maka untuk beberapa hal perlu kajian-kajian ijtihadi sebagai penjelasan lebih lanjut terhadap tuntutan nash, serta jawaban terhadap berbagai persoalan yang belum tersentuh oleh kedua sumber hukum tersebut.24 Maka dari itu, dengan melihat dari subyek penetapan hukumnya, para ulama membagi tasyri’ menjadi dua, yaitu tasyri’ samawi (Ilahy) dan tasyri’ wadh’i.25 Singkatnya, jika hukum itu berasal dari ketetapan agama, dinamailah tasyri’ samawi (Ilahy), dan jika berasal dari pemikiran otak manusia, dinamai tasyri’ wadh’i.26 Adapun kata yang sangat dekat hubungannya dengan perkataan shariah adalah syara’ dan syar’i yang diterjemahkan oleh agama. Oleh karena itu, seringkali jika orang berbicara tentang hukum syara’ yang dimaksudnya adalah



24



Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, cetakan ketiga (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,1995 ), 1-2. 25 Ibid., 2. 26 Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, cetakan pertama (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), 20.



17



hukum agama yaitu hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan dijelaskan oleh RasulNya, yakni hukum shariah.27 Apabila dikatakan hukum shariah, maksudnya ialah: “hukum-hukum fiqh yang berpautan dengan masalah-masalah amaliyah yang dikerjakan oleh para mukallaf sehari-hari.28 Hukum ini dinamai juga hukum furu’, karena dipisahkan dari ushulnya, yakni diambil dan dikeluarkan dari dalil-dalilnya (dalil-dalil syar’i) yang menjadi obyek Ushul Fiqh. Jelasnya fiqh Islam memiliki ushul (pokok-pokok atau dasardasar) dan furu’ (cabang-cabang) yang diambilkan dari pokok tersebut.29



2. Fiqh Secara sistematis kata fiqh bermakna “mengetahui sesuatu dan memahaminya dengan baik.”30 Juga dapat berarti tahu dan paham.31 Sedang menurut istilah adalah mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amaliyah yang dikaji dari dalil-dalilnya yang terinci.32 Para fuqaha` (jumhur mutaakhirin) mendefinisan fiqh dengan “ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang diperoleh dari dalil-dalil tafs}iyly (dalil tafs}iyly yakni dalil-dalil yang khusus, diambil dengan jalan nadhar ijtihad).”33 Sosiolog Muslim terkenal Ibnu Khaldun menerangkan: 27



Mohammad Daud Ali, Hukum islam, cetakan ketiga (Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada,



1993), 43. 28



Shiddieqy.., Pengantar Ilmu Fiqih.., 30. Shiddieqy.., Pengantar Ilmu Fiqih.., 30-31. 30 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, cetakan ketiga (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,1995 ), 4. 31 Shiddieqy.., Pengantar Ilmu Fiqih.., 30. 32 Rosyada.., Hukum Islam.., 4. 33 Shiddieqy.., Pengantar Ilmu Fiqih.., 30. 29



18



“fiqh adalah ilmu yang dengannya diketahui segala hukum Allah SWT yang berhubungan dengan segala pekerjaan mukallaf, baik yang wajib, yang haram, dan yang mubah-harus-yang diambil (diistinbatkan) dari Alquran dan Sunnah dan dalil-dalil yang telah tegas ditegakkan syara’, seperti qiyas umpamanya.apabila dikeluarkan hukum-hukum dengan jalan ijtihad dari dalil-dalinya, maka yang dikeluarkan itu, dinamai fiqh.”34 Hasan Ahmad Al-Khatib berkata: “yang dimaksud dengan fiqh Islami, ialah sekumpulan hukum syara’ yang sudah dibukukan dari berbagai madzhabmadzhab, baik dari madzhab empat atau madzhab-madzhab lainnya, dan yang dinukilkan dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, baik dari fuqaha’ tujuh (Sa’id ibn Musaiyab, Abu Bakar ibn Abdur Rahman, Urwah ibn Zubair, Sulaiman ibn Jassar, Al Qasim ibn Muhammad, Kharidjah ibn Zaid, dan Ubaidillah ibn Abdillah) di Madinah, ataupun fuqaha’ Makkah, fuqaha’ Syam dan fuqaha’ Mesir, Iraq, Bashrah, dan sebagainya.35 Abdul Wahhab Khalaf berpendapat bahwa ilmu fiqh ialah pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at Islam mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalilnya secara detail. Atau koleksi-koleksi hukum shariah Islam tentang perbuatan manusia yang diambil berdasarkan dalil-dalilnya secara detail.36 Jadi, ilmu yang mempelajari Shariah disebut dengan Ilmu fiqh.37



34



Abd. Shomad, Hukum Islam, cetakan kedua, (Jakarta: Kencana Preneda Media group,



2012), 27. 35



Shiddieqy.., Pengantar Ilmu Fiqih.., 32 Shomad.., Hukum Islam.., 27 37 Abd. Shomad, Hukum Islam, cetakan kedua, (Jakarta: Kencana Preneda Media group, 2012), 25. 36



19



Hukum fiqh diambil dari wahyu, baik wahyu yang ditilawahkan (Alquran), maupun wahyu yang tidak ditilawahkan (Sunnah Rasul). Selain itu, apabila mujtahid tidak memeroleh nash, maka dia menggali hukum itu dari ruh (jiwa) shariah dan maksud-maksudnya.38 Sesuai dengan beberapa definisi di atas, setidaknya ada dua obyek kajian fiqh, yaitu: 1. Hukum-hukum syara` yang bersifat `amaliyah. Dengan demikian, normanorma agama yang berkaitan dengan aspek aqidah tidak termasuk pada obyek kajian fiqh.39 2. Dalil-dalil terinci dari Alquran dan Sunnah yang menunjuk suatu kejadian tertentu, atau menjadi rujukan untuk kejadian-kejadian tertentu. Seperti riba itu haram karena ditegaskan dalam Alquran surah Al-Baqarah ayat 279, yang berbunyi:40 ٤١



.‫ﻻ ﺗﻈﻠﻤﻮ‬ Hai



‫ﻤﻮ‬ ‫ﻣﻮ ﻟﻜﻢ ﻻ ﺗﻈﻠ‬ orang-orang



‫ﺗﺒﺘﻢ ﻓﻠﻜﻢ‬ yang



beriman



‫ﻣﺎ ﺑﻘﻲ ﻣﻦ ﻟﺮﺑﺎ‬ bertaqwalah



‫ﻳﺎ ﻳﻬﺎ ﻟﺬﻳﻦ ﻣﻨﻮ ﺗﻘﻮ ﷲ‬ kepada



Allah



dan



tinggalkanlah riba. Dan jika kalian bertaubat (dari riba), kalian hanya boleh mengambil pokok piutangnya saja.42 Ayat ini merupakan dalil tafshil yang menunjuk keharaman riba dalam tradisi perniagaan masyarakat Arab dahulu, dan juga menjadi rujukan dalam pembahasan jenis-jenis riba pada saat ini. Demikian pula pada ayat 38



Shiddieqy.., Pengantar Ilmu Fiqih.., 33 Rosyada.., Hukum Islam dan ..,4 40 Ibid., 41 Alquran karim. 42 Alquran dan terjemahnya. 39



20



188 surah al-Baqarah yang menjadi dasar keharaman memakan harta orang lain secara tidak sah. Dan ayat 90 surah al-Maidah yang menjadi dasar keharaman khamr.43 Menurut Wahbah al-Zuhaili, pembahasan fiqh ini mencakup dua bidang, yaitu fiqh ibadah, yakni yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti salat, puasa, zakat, ibadah haji, memenuhi nadzar dan membayar kafarat terhadap pelanggar sumpah. Dan ke dua, fiqh muamalah yakni yang mengatur hubungan manusia dengan manusia yang lainnya. Pembahasannya mencakup seluruh bidang fiqh selain masalah-masalah ubudiah, seperti ketentuan-ketentuan tentang jual-beli, sewa-menyewa, perkawinan, perceraian, ketentaun pembagian harta pusaka, jinayah dan lain-lain.44 Sementara itu, Mushtafa Zarqa membagi pembahasan fiqh itu menjadi enam bidang, yaitu45: 1. Ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan bidang ubudiah, seperti salat, puasa, zakat, dan ibadah haji. Inilah yang kemudian ia sebut sebagai fiqh ibadah.46 2. Ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan kehidupan keluarga, seperti perkawinan, perceraian, nafakah dan ketentuan nasab.inilah yang kemudian ia sebut sebagai ahwal al-syakshiyyah.47



43



Rosyada.., Hukum Islam .., 5. Ibid., 63-64. 45 Ibid., 64. 46 Ibid., 47 Ibid., 44



21



3. Ketentuan hukum yang berkaitan dengan hubungan sosial antara umat Islam, dalam konteks hubungan ekonomi dan jasa. Seperti jual beli, sewa menyewa dan gadai. Bidang ini kemudian ia sebut sebagai fiqh muamalah.48 4. Ketentuan hukum yang berkaitan dengan sanksi-sanksi terhadap pelaku tindak kejahatan kriminal. Seperti qishas, diyat, dan hudud. Bidang ini kemudian disebut sebagai fiqh jinayah.49 5. Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur masalah-masalah hubungan warga negara dengan pemerintahannya, serta hubungan antara satu negara dengan yang lainnya. Pembahasan bidang ini dinamakan sebagai fiqh siyasah.50 6. Ketentuan-ketentuan yang mengatur etik pergaulan antara seorang muslim dengan yang lainnya dalam tatanan kehidupan sosial. Bidang ini kemudian ia sebut sebagai al-ahkam khuluqiyah.51 Dengan demikian, kajian ilmu fiqh itu adalah mengetahui hukum dari setiap perbuatan mukallaf, tentang halal, haram, wajib, mandub, makruh atau mubahnya, beserta dalil-dalil yang menjadi dasar ketentuan-ketentuan hukumhukum tersebut, apakah dalilnya itu dinyatakan dalam Alquran atau Sunnah.52 Fiqh diambil dan digali dengan jalan ijtihad. Untuk mengetahuinya diperlukan perhatian dan ketekunan yang mendalam.53



48



Ibid., Ibid., 50 Ibid., 51 Ibid., 52 Rosyada.., Hukum.., 5. 53 Shiddieqy.., Pengantar Ilmu Fiqih.., 33. 49



22



Satu kelebihan dari norma-norma hukum Islam adalah bahwa ketentuan ubudiyah memiliki hikmah yang berkaitan dengan aspek-aspek sosial, seperti pelaksanaan ibadah salat yang dilakukan secara berjamaah, dalam kesempatan itu, umat Islam dapat melakukan komunikasi lokal antara sesama jama’ah. Sementara dalam pelaksanaan ibadah haji, mereka dapat melakukan komunikasi global, dan bisa saling mengenal antara berbagai bangsa yang berbeda-beda.54 Kemudian, seluruh ketentuan hukum itu merupakan sarana potensial untuk membuktikan ketaatan umat Islam kepada Allah SWT sebagai Tuhannya. Dan sekaligus merupakan sarana untuk mempersiapkan kehidupan akhirat yang lebih baik, karena ketaatan terhadap semua ketentuan-ketentuan hukumnya itu merupakan kegiatan ibadah. Seperti hukum yang mengatur persoalan-persoalan kemasyarakatan, baik dalam masalah muamalah, ahwal al-syakhshiyyah dan bahkan jinayah memiliki nilai ibadah dan tidak lain hanya mengharap ridha Allah SWT.55



3.



Antara Shariah dan Fiqh



Pada pokok perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut56: 1. Shariah, seperti telah disinggung di atas, terdapat di dalam Alquran dan kitab-kitab hadis. Kalau berbicara tentang syari’at, yang dimaksud adalah wahyu Allah dan Sunnah nabi muhammad sebagai RasulNya. Fiqh terdapat dalam kitab-kitab fiqh. Kalau berbicara tentang fiqh, yang 54



Rosyada.., Hukum Islam .., 98-99. Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, cetakan ketiga (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,1995 ), 99. 56 Mohammad Daud Ali, Hukum islam, cetakan ketiga (Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada, 1993), 45. 55



23



dimaksud adalah pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang shariah dan hasil pemahaman itu.57 2. Shariah bersifat fundamental dan mempunyai ruang lingkup yang lebih luas karena ke dalamnya, menurut banyak ahli, dimasukkan juga akidah dan akhlak. Fiqh bersifat instrumental, ruang-lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia, yang biasanya disebut sebagai perbuatan hukum.58 3. Shariah adalah ketetapan Allah dan ketentuan RasulNya, karena itu berlaku abadi; fiqh adalah karya manusia yang tidak berlaku abadi, dapat berubah dari masa ke masa.59 4. Shariah hanya satu, sedang fiqh mungkin lebih dari satu seperti (misalnya) terlihat pada aliran-aliran hukum yang disebut dengan istilah mazahib atau madzab-madzab.60 5. Shariah menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedang fiqh menunjukkan keragamannya.61 6. Dalam shariah, objeknya meliputi bukan hanya batin saja akan tetapi juga lahiriyah manusia dengan Tuhannya (ibadah). Sedangkan dalam fiqh, objeknya yaitu peraturan manusia yaitu hubungan lahir antara manusia dengan manusia, manusia dengan makhluk lain.62



57



Ibid ., Ibid ., 59 Ibid ., 60 Ibid.., 45-46. 61 Mohammad Daud Ali, Hukum islam, cetakan ketiga (Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada, 1993),46. 62 http://shariahdanfiqih.blogspot.com/2011/09/pengertian-persamaan-danperbedaan.html, 15 Oktober 2013, 11:35. 58



24



4.



Dasar Hukum Fiqh Dilihat dari segi kebahasaan, kata “Ushul al-fiqh” terdiri dari dua



penggalan kata yang masing-masing memiliki makna, yaitu ushul dan al-fiqh. Kata “ushul” yang merupakan bentuk jama’ dari al-ashlu bermakna dasar-dasar yang menjadi landasan bagi tumbuhannya sesuatu yang lain. Sama halnya dengan akar yang tertancap di dalam bumi sebagai dasar tumbuhnya pohon yang menjulang ke atas. Sedangkan fiqh, sebagaimana telah terurai dalam pembahasan sebelumnya adalah, mengetahui ketentuan-ketentuan hukum syara’ untuk berbagai perbuatan mukallaf melalui kajian-kajian ijtihad dari dalil-dalilnya yang terinci. Dengan demikian, ushul al-fiqh adalah sekumpulan dalil yang menjadi dasar tumbuh dan terbinanya fiqh, serta menghubungkannya pada dalil-dalil nash dan ijma’ sahabat. Yang dimaksud dengan dalil-dalil yang diambil dari Alquran dan Sunnah.63 Abu Zahrah mengatakan bahwa ushul al-fiqh adalah kaidah-kaidah yang dapat dijadikan sebagai patokan untuk mengkaji ketentuan-ketentuan hukum untuk berbagai perbuatan mukallaf, yang ditelaah dari dalil-dali terinci.64 Fikrah (ide) mengikuti sesuatu manhaj tertentu dalam mengistinbath kan hukum, telah ada semenjak adanya fiqh. Lantaran fiqh itu menghendaki adanya manhaj untuk istinbath, walaupun manhaj itu belum jelas dan belum merupakan kaidah. Inilah keadaannya di masa sahabat dan tabi’in.65



63



Rosyada.., Hukum Islam .., 101. Rosyada.., Hukum .., 101-102. 65 Shiddieqy.., Pengantar Ilmu Fiqih.., 187. 64



25



Setelah banyak macamnya furu’ dan beraneka pula fatwa serta berkembangnya fiqh dan lahir tokoh-tokoh fiqh yang terkenal, maka manhaj ini menjadi jelas dan masing-masing mujtahid memiliki manhaj sendiri. Seperti Abu Hanifah, dan mujtahid-mujtahid yang lain. Sesudah itu, barulah lahir ulama-ulama yang memberi perhatian untuk memperkembangkan ilmu ini. Imam Ahmad menulis kitab dalam ilmu ushul fiqh. Penganut-penganut madzhab Hanafi dan Maliki juga demikian. Selain itu, ulama-ulama Hanafiyah memiliki ciri khas dalam bentuk kaidah-kaidah fiqh. Mereka mengambil kaidah ushuliyyah dari furu’ fiqhiyah yang dinukilkan dari tokoh-tokoh fiqh mereka, sedang fuqaha’-fuqaha’ yang lain menetapkan kaidah yang dapat disendikan kepada dalil-dalil yang kuat tanpa melihat kepada hukum furu’ yang telah ada. Kemudian dari golongan Hanafiyah ini lahir segolongan ulama yang berusaha mengumpulkan kedua-dua jalan itu.ini adalah awal munculnya ushul fiqh.66 Adapun tujuan ushul fiqh ialah, membuhur jalan untuk mengetahui hukum-hukum shariah, mengetahui cara-cara mengistinbathkan hukum dari dalil yang menurut biasa dengan memergunakan jalan itu terhindar dari kesalahan. Walaupun ada fuqaha yang mengumandakan fatwa, bahwa pintu ijtihad telah ditutup sejak abad ke-4 hijriyah. Namun, kebutuhan kita kepada ilmu ini tetap besar, karena fatwa mereka bukanlah suatu fatwa yang harus diterima, lantaran tak berdalil, fatwa itu timbul karena dikhawatiri orang yang tidak berhak berijtihad akan turut berijtihad. Ringkasnya, ilmu ushul fiqh ini diperlukan oleh segala ahli fiqh dan oleh orang yang ingin mendalami bidang fiqh ini selama masih



66



Shiddieqy.., Pengantar Ilmu Fiqih.., 187-188.



26



berkembang fiqh selama itu pulalah masih diperlukan ilmu ushulnya. Di Indonesia ini barulah dalam masa akhir-akhir ini, kembali ilmu ini mendapat perhatian.67 Menurut Dede Rosyada, fungsi utama dari ushul fiqh adalah mengangkat ketentuan-ketentuan hukum Islam yang terpapar dalam Alquran dan Sunnah, sehingga setiap orang mukallaf dapat mengetahuinya dengan baik, dan menerimanya sebagai ketentuan syara’, baik secara yakin maupun dzan.68 Adapun pembahasan dalam ushul al-fiqh itu mencakup rumusan kaidahkaidah kulli, yang disimpulkan secara induktif dari rangkaian nash-nash Alquran dan Sunnah. Kemudian pembahasan ushul al-fiqh juga mencakup rumusanrumusan kaidah kulli sebagai hasil analisis nalar mujtahid, yang disimpulkan secara tradisional dengan memerhatikan isyarat-isyarat nash dan bertujuan membawa berbagai furu’ dan nash, dan dapat disimpulkan secara rasionaln dengan lebih memerhatikan kepentingan-kepentingan sosiologis, namun, tetap memperoleh legalitas nash.69 Kaidah-kaidah ushul al-fiqh berbeda dengan kaidah fiqhiyah. Ringkasnya, ushul al-fiqh membahas hukum syar’i daris segi hakikat, khasiat, macammacamnya; membahas hakim (orang yang menetapkan hukum) dari segi memerhatikan dalil-dalil yang menegaskan bahwa hukum itu benar datang dari hakim yang berhak menetapkan hukum dan membahas mahkum alaihi (sesuatu yang dihukumi) dan ijtihad. Sedangkan, kaidah-kaidah fiqhiyah adalah kumpulan 67



Shiddieqy.., Pengantar Ilmu Fiqih,., 188-189. Rosyada.., Hukum .., 103. 69 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, cetakan ketiga (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,1995 ), 105. 68



27



hukum yang serupa lalu dikembalikan pada suatu qiyas atau dhabit, seperti kaidah dhaman dan kaidah khiyar.70



B. Al-Fatihah Surat ini juga dinamakan fa>tihat al-kita>b, surat hamd, Umm al-Qur’an (induk Alquran), Umm al-kitab, sab’ al-matha>niy sebab surat ini selalu digunakan dan dipuji di setiap salat, juga dinamakan ka>fiyah al-wa>fiyah. Ini membuat pembaca heran dengan namanya yang banyak dan selalu dibaca ketika salat. Karena memiliki banyak nama, dapat dipastikan juga memiliki berbagai keutamaan.71 Surat ini memiliki banyak keutamaan, diantaranya ialah72: 1. Salat tidaklah sah tanpa al-Fatihah. Sebagaimana pilar Islam itu salat, maka pilar salat adalah al-Fatihah. 2. Al-Fatihah adalah surat paling agung dalam Alquran. 3. Al-Fatihah memiliki kedudukan dalam hal ruqyah (jampi-jampi). 4. Al-Fatihah adalah nuur (cahaya), yang hanya diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW secara khusus, bukan kepada Nabi-Nabi yang lain.



70



Shiddieqy.., Pengantar Ilmu Fiqih.., 190. Thanthawy al-Jauhary, al-Jawahir, juz 1,(Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, tt), 20. 72 Abdul Hakim bin Abdullah Al-Qasim, Misteri Surat Al-Fatihah, Cetakan Kedua (Surabaya: eLBA, 1429 H), 26-30. 71



28



BAB III SHARIAH DALAM SURAT AL-FA>TIHAH Surat al-Fa>tihah adalah “Mahkota Tuntunan Ilahi”. Dia adalah “umm al



Qur’an” atau “Induk Alquran”. Banyak nama yang disandangkan kepada awal surat Alquran ini. Tidak kurang dari dua puluh sekian nama. Dari nama-namanya dapat diketahui betapa besar dampak yang dapat diperoleh bagi para pembacanya. Tidak heran jika doa dianjurkan agar ditutup dengan Al-h{amd li Allahi rabb al-



‘a>lami>n atau bahkan ditutup dengan surat ini.73 A. Ayat, Terjemah, dan Mufradat



‫ﻟﻠﺬﻳﻦ ﻧﻌﻤﺖ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻏ‬



‫ ﺻﺮ‬.‫ﳌﺴﺘﻘﻴﻢ‬



‫ﻳــــﺎ ﻧﺴﺘﻌﻴـﻦ ﻫﺪﻧﺎ ﻟﺼﺮ‬ ٧٤



‫ﻳــــﺎ ﻧﻌﺒﺪ‬



..‫ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻻ ﻟﻀﺎﻟﲔ‬



‫ﳌﻐﻀﻮ‬



Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya Engkaulah yang kami minta pertolongan. Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orangorang yang telah Engkau anugrahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. ٧٥



. ‫ ﺿﻤ ﻧﺼﺐ ﺎﻃﺐ ﺑﻪ ﻟﻮ ﺣﺪ‬:‫ﻳﺎ‬



( dhomir mukhatab nashab yang tertuju pada satu orang)



73



M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, cetakan X (Tangerang: Lentera Hati, 2007), 3. Alquran karim. 75 Abi> Bakr Ja>bir Al-Jaza>iry, Aysar Al-Tafaasiri, (Madinah Munawwarah: Maktabah AlUlum wa Al-Hikam, 1994), 14. 74



28



29



٧٦



. ‫ ﻧﻄﻴﻊ ﻣﻊ ﻏﺎﻳﺔ ﻟﺬ ﻟﻚ ﻟﺘﻌﻈﻴﻢ ﳊﺐ‬: ‫ﻧﻌﺒﺪ‬



(taat dengan segala kekurangan dan pengagungan beserta cinta) ٧٧



. ‫ ﻧﻄﻠﺐ ﻋﻮﻧﻚ ﻟﻚ ﻋﻠﻲ ﻃﺎﻋﺘﻚ‬: ‫ﻧﺴﺘﻌﲔ‬



(kami mencari pertolonganu atas taat kepadaMu) ٧٨ . ‫ﻫﺪ ﻳﺘﻨﺎ‬



‫ ﺷﺪﻧﺎ‬: ‫ﻫﺪﻧﺎ‬



(tunjukkanlah kami dan langgengkanlah hidayah kami) ٧٩ . ‫ﺟﻨﺘﻚ ﻫﻮ ﻹﺳﻼ ﻟﻚ‬



‫ﺿﺎ‬



‫ ﻟﻄﺮﻳﻖ ﳌﻮﺻﻮ‬:‫ﻟﺼﺮ‬



( jalan yang sampai kepada ridho dan surgaMu yakni IslamMu) ٨٠



.‫ ﻟﺬ ﻻ ﻣﻴﻞ ﻓﻴﻪ ﻋﻦ ﳊﻖ ﻻ ﻳﻎ ﻋﻦ ﺪ‬: ‫ﳌﺴﺘﻘﻴﻢ‬



( yang tidak serong dari kebenaran dan tidak berpaling dari petunjuk) ٨١



.‫ﻟﺼﺎﳊﻮ‬



‫ﻟﺸﻬﺪ‬



‫ﻟﺼﺪﻳﻘﻮ‬



‫ ﻫﻢ ﻟﻨﺒﻴﻮ‬: ‫ﻟﻠﺬﻳﻦ ﻧﻌﻤﺖ ﻋﻠﻴﻬﻢ‬



(Yakni para nabi, orang-orang yang jujur para syuhada’ dan orang-orang yang shalih) ٨٢ . ‫ ﻟﻔﻆ ﻳﺴﺘﺜ ﺑﻪ ﻛﺈﻻ‬:



(lafadz istisna’ seperti illa) 76



Ibid., Ibid., 78 Ibid., 79 Ibid., 80 Ibid., 81 Ibid., 82 Ibid., 77



‫ﻏ‬



30



٨٣



.‫ﻛﺎﻟﻴﻬﻮ‬



‫ﻷ‬



‫ﻓﺴﺎ ﻫﻢ‬



‫ ﻣﻦ ﻏﻀﺐ ﷲ ﺗﻌﺎ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻟﻜﻔﺮﻫﻢ‬: ‫ﳌﻐﻀﻮ ﻋﻠﻴﻬﻢ‬



(orang yang Allah telah murka kepadanya atas kekafiran atau kerusakannya. Seperti orang-orang Yahudi) ٨٤



. ‫ ﻣﻦ ﺧﻄﺄ ﻃﺮﻳﻖ ﳊﻖ ﻓﻴﻌﺒﺪ ﷲ ﲟﺎ ﻳﺸﺮﻋﻪ ﻛﺎﻟﻨﺼﺎ‬: ‫ﻟﻀﺎﻟﲔ‬



(orang yang salah mengambil jalan kebenarannya kemudian menyembah Allah dengan apa yang tidak disyara’kan olehNya seperti orang-orang Nasrani ) Maka, seluruh lafadz tersebut bisa diartikan sebagai



‫ﺷﺪﻧﺎ ﻟﻴﻪ ﻳﺒﺪ ﻣﻨﻪ‬



.‫ﻏ‬



‫ﻧﻄﻠﺐ ﳌﻌﻮﻧﺔ ﻋﻠﻲ ﻟﻌﺒﺎ‬



‫ﻏ‬ ٨٥



‫ﺼﻚ ﺑﺎﻟﻌﺒﺎ ﻣﻦ ﺗﻮﺣﻴﺪ‬



.‫ﺑﺎ ﺪ ﻳﺔ ﻳﺒﺪ ﻣﻦ ﻟﺬﻳﻦ ﺑﺼﻠﺘﻪ‬



Yakni, kami beribadah kepadaMu, seperti mentauhidkan/mengesakan dan lain-lainnya, dan kami memohon pertolongan hanya kepadaMu dalam menghadapi semua hambaMu dan lain-lainnya. Dengan mengharap ridho Allah dan hidayahNya semata. Dan orang-orang yang mendapatkan hidayah itu bukan orang-orang Yaahudi, bukan pula orang-orang Nasrani. Hanya Allahlah yang Maha Mengetahui, dan hanya Allahlah yang dikembalikan segala sesuatu.86



83



Ibid., Ibid., 85 Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahaaly dan Jalaluddin Muhammad Abdurrahman bin Abi Bakar Ash-Shuyuthi, Tafsiir Jalaalyn, (Beirut Lebanon: DKI, tt) th. 86 Jalaluddin Al-Mahally dan Imam Jalaluddin Ash-Suyuthi, Tafsir Jalalain, cetakan 9, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011), 2. 84



31



B. Asbab Al-Nuzul dari Surat Al-Fa>tihah Bukan tanpa alasan jika surat ini dinamakan fa>tihat al-kita>b (pembuka Alquran), karena kenyataannya Allah menempatkannya sebagai surat yang mengawali seluruh rangkaian firmanNya dalam Alquran. Dan penempatan itu pasti bukan sekedar penempatan. Ada aspek keagungan di dalamnya. Bukan anpa alasan jika surat ini disebut Umm al-kita>b (induk Alquran), Al-S{ala>t (bacaan yang menjadi syarat sah salat), Al-Shifa>’ (obat), Al-Sab’u Al-Mathani (tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang), Al-Ruqyah (sebagai jampi-jampi),dan nama lain yang menyiratkan keistimewaan.87 Para ulama berselisih pendapat mengenai letak turunnya surat ini. Mayoritas dari mereka berpendapat bahwa surat ini diturunkan di Makkah dan termasuk sebagian dari ayat Alquran yang diturunkan di awal-awal penurunan Alquran.88 Pendapat ini diperkuat oleh beberapa hadis, yakni89: 1. Dari Abu Utsman Said bin Muhammad bin Ahmad Al-Zahid dari Judy dari Abu Amrun Al-Hiry dari Ibrahim bin Harits dan Ali bin Sahal bin Mughirah, keduanya berkata: kami diberitahu oleh Yahya bin (Abi) Bakir, dari Israil Abi Ishaq dari Abi Maisaroh bahwa Rasulullah SAW keluar, Ia mendengar suatu panggilan yang memanggilnya: hai Muhammad, jika kau mendengar suatu suara, maka berpergilah sambil berlarian, kemudian Waraqah bin Naufal berkata kepadanya: ketika kau mendengarkan suara, maka tetaplah sampai kau mendengarkan apa yang dikatakan untukmu. Lalu berkata: ketika ia keluar, ia mendengar suara: 87



Abdul Hakim bin Abdullah Al-Qasim, Misteri Surat Al-Fa>tihah, Cetakan Kedua (Surabaya: eLBA, 1429 H), 5. 88 Abi Al-Hasan Ali bin Ahmad Al-Wahidy, Asbab Nuzul Al-Quran, (Beirut, Lebanon: DKI, tt), 21. 89 Ibid., 21-22.



32



wahai Muhammad. Lalu ia menjawab: labbaik. Lalu suaa itu berkata lagi: katakanlah Ashhadu an la> ila>ha illa Allah wa ashhadu an la> muhammadan rasu>l



Allah. Kemudian berkata lagi: katakanlah alh{amdu li Allahi rabbi al-‘a>lami>n * Alrah{ma>ni al-rah{i>m * ma>liki yaumi al-di>n (hingga akhir surat fatihah). Ini berdasarkan pendapat Ali bin Abi Thalib.90 2. Dari Abu Ishaq Ahmad bin Muhammad Al-Mufassir dari Al-Hasan bin Ja’far Almufassir, berkata: kami diberitahu oleh Abu Al-Hasan bin Muhammad bin Mahmud Al-Mawarziyyi, dari Abdullah bin Mahmud Al-Sa’diy dari Abu Yahya Al-Qashriy, dari Marwan bin Muawiyah, dari Ala’ bin Musayyab dari Al-Fudhail bin Amrun dari Ali bin Abi Thalib berkata: pembuka Alquran itu turun di Makkah dari kanz di bawah ‘Arsy.91 3. Ibnu al-anbari pun meriwayatkan bahwa dia menerima riwayat dari Ubadah bin ash-Shamit bahwa surat Fa>tihat al-kita>b ini memang diturunkan di Mekkah.92 Pendapat yang mengatakan bahwa surat Al-Fa>tihah diturunkan di madinah itu berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Mushannaf dan oleh Abu Sai’d bin Al-A’rabi dalam kitab Mu’jamnya dan oleh Ath-Thabrani dalam kitab al-Ausath dari sanad mujahid yang diterima oleh sahabat Abi Hurairah, isi hadisnya yakni: iblis telah dipenjara tatkala Fa>tihat al-



kita>b diturunkan, surat ini diturunkan di Madinah.93



90



Ibid., Ibid., 92 Hamka.., Tafsir Al-Azhar.., 80. 93 Ibid., 43. 91



33



Tetapi, entah karena sengaja hendak mengumpulkan dua pendapat, ada pula segolongan yang menyatakan bahwa surat ini diturunkan dua kali, pertama di Mekkah, kemudian diturunkan sekali lagi di Madinah.94 Tetapi, menjadi kuatlah pendapat golongan yang terbesar tadi bila diingat bahwa sembahyang lima waktu mulai difardhukan ialah sejak di Mekkah,95 sedang tidak masuk akallah jika Nabi saw salat selama di Mekkah tanpa surat ini.96 C. Munasabah Ayat Pada surat Al—Fa>tihah ayat lima yang berbunyi:



‫ﻳــــﺎ ﻧﺴﺘﻌﻴـﻦ‬



‫ﻳــــﺎ ﻧﻌﺒﺪ‬



Dari ayat ini, diketahui jelas bahwa persembahan, ibadah, serta meminta pertolongan itu tiada lain kecuali kepada Allah. Karena, Dia sendiri tidak bersekutu dalam mengkonsep dan mengatur segala sesuatu yang ada di muka bumi ini. Hal ini terdapat korelasi dengan Surat Al—Fa>tihah ayat kedua97 yang berbunyi:



‫ﻟﻌﺎﳌﲔ‬



‫ﳊﻤﺪ ﷲ‬



Dalam ayat ini, lafadz ila>h lebih didahulukan dari pada lafadz rabb, ini merupakan pernyataan bahwa hanya Allahlah yang patut dipji, karena Dia telah



94



Ibid., 81. Ibid., 81. 96 Abi Al-Hasan Ali bin Ahmad Al-Wahidy, Asbab Nuzul Al-Quran, (Beirut, Lebanon: DKI, tt), 23. 97 Arifin.., Samudera Al-Fa>tihah.., 211. 95



34



memelihara alam semesta.98 Karena, rabb disitu hanya sebagai keterangan yang bersifat na’at.99 Dengan demikian, menjadikan Allah sebagai dzat satu-satunya yang disembah dan dimintai pertolongan karena Allah adalah penguasa seluruh alam.100 D. Tafsir Surat Al-Fa>tihah Ayat Lima, Enam, dan Tujuh Pada empat ayat pertama sebelum ayat ini terasa sekali nuansa pujian dan sanjungan kepada Allah sangat kental. Kecuali itu Allah juga menjelaskan bahwa Dia Maha Pengasih dan Penyayang. Dengan kasih sayangNya yang demikian besar itulah Dia mengatur, mengayomi, dan mendidik alam semesta ini dengan segala isinya,101 sambil mengundang hambaNya untuk mendekatkan diri kepadNya, karena Dia adalah al-rah{ma>n dan al-rah{i>m dan Dia adalah Raja dan Penguasa Tunggal, khususnya pada hari Pembalasan, maka tidak heran jika hamba-hambaNya yang memahami dan menyadari hal itu, datang mendekat dan memohon kepadaNya.102 Dengan prolog itu, manusia diantar pada ayat ke-5 ini yang berisi statemen tulus dari seorang hamba kepada Tuhannya yang menegaskan bahwa dia hanya menyembah keadaNya dan minta tolong juga kepadaNya sendiri; tidak kepada yang lain dariNya. Untuk lebih jelas inilah tafsirannya.103



98



Hamka.., Tafsir Al-Azhar.., 103. Baidan.., Tafsir Kontemporer .., 47. 100 Shihab.., Tafsir Al-Misbah.., 56. 101 Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surat Al-Fa>tihah, cetakan pertama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 71. 102 Shihab, Tafsir Almisbah.., 49. 103 Baidan.., Tafsir Kontemporer .., 71. 99



35



Ada beberapa bacaan dalam Al-Fa>tihah ayat lima ini. Al-Syaukani dalam



Fath Al-Qadi>r menjelaskan, bahwa iyyaka dalam ayat ini dibaca dengan mentasydidkan ya’ oleh Qira’ah Sab’ah dan lainnya. Umar bin Fayd membaca dengan meringankan ya’nya (tidak ditasydid) dan dikasroh. Al-Fadl dan AlRaqasyi membaca dengan fathah pada hamzahnya. Sedangkan, Abu Suwar AlGhanawi membaca kedua iyyaka tersebut dengan hayya>ka (‫)ھﯿّﺎك‬.104 (‫ ) ﻳﺎ ﻧﻌﺒﺪ‬dalam lafadz ini terjadi iltifat (iltifat yakni perpindahan dari bentuk takallum ke bentuk ghoib atau khitob atau sebaliknya, yakni dari bentuk ghoib ke bentuk takallum atau khitob, atau dari bentuk khitob ke bentuk ghoib atau takallum105), dengan cara menganekaragamkan kalimat, karena hal itu lebih mengena dalam kecenderungan jiwa serta menarik sugesti. Dalam iltifat ini adalah salah satu macam metode Ilmu Balaghah. Kalau mengikuti kalimat sebelumnya tentu berbunyi “iyya>hu na’budu” (kepadaNya kami menyembah), tetapi kemudian dialihkan dari dhamir ghaibah ke dhamir mukhatab karena untuk maksud menggunakan metode iltifat.106 Hal ini untuk menarik perhatian pendengar agar memerdulikan pembicaraan, tujuan ini akrab disebut dengan iltifat.107 Karena, sesungguhnya pembicaraan itu jika dipindahkan dari bentuk aslinya ke bentuk



104



Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syaukani, Fath Al-Qadi>r, juz 1, (Beirut, Lebanon: DKI, 1994), 25. 105 M. Sholihuddin Shofwan, Pengantar Memahami Nadzom Jauharul Maknun, cetakan pertama, (Jombang: Darul Hikmah, 2007), 162. 106 Muammal Hamidy dan Drs. Imron A. Manan, Terjemah Ayat ahkam Ash-Shobuni, cetakan keempat (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003), 7. 107 Muhammad Ali Al-Shobuny, Rawai’ Al-Bayan, juz 1 (Beirut Lebanon: DKI, 1999), 29.



36



yang lain itu memiliki nilai yang bagus untuk mengambil perhatian orang banyak sebagaimana yang diulas pada ilmu Ma’ani dalam Balaghah.108 Di samping itu, iltifat tersebut juga bertujuan untuk mengkhususkan (ikhtishos), bahwa seorang hamba hanya menyembah kepadaNya, tidak kepada yang lain.109 Ibadah yang dilakukan tidak kepada siapapun kecuali kepada Allah SWT. Jika demikian pandangan hati sepenuhnya hanya kepadaNya dan dengan demikian, untuk kedua kalinya muncul hakikat pengawasan yang menjadi tema utama surat Al-Fa>tihah. Ini diperkuat oleh kata ibadah yang intinya adalah penyerahan diri secara penuh kepada Allah.110



Na’budu dan nasta’i>nu ini menggunakan kata jama’, tidak menggunakan kata a’budu atau asta’i>nu. Ini menyimpan beberapa hikmah. Diantaranya: 1.



Nun tersebut bertujuan untuk pernyataan halus, yakni pengakuan seorang hamba dengan segala kerendahannya (tawadhu’), bukan untuk memulyakan diri111 kepada Rajanya segala raja yang Maha Agung dan Maha Tinggi, dan memohon pertolongan (isti’anah) dan hidayah dengan sendirian tanpa orang lain, ini seakanakan ia berkata, “wahai Tuhan, saya hamba yang hina dina dan saya tidak patut untuk berdiri di tempat ini dalam bermunajat kepadaMu dengan diriku sendiri, tetapi saya menyatukan diri bersama ahli tauhid, kemudian saya berdoa bersama mereka dan kami semua menyembahMu dan beristianah kepadaMu.112



108



Al-Syaukani.., Fath Al-Qadi>r.., 25. Al-Qadhi Nashir Al-Din Abi Sa’id Abdullah Abi Umar Muhammad Al-Syairazy AlBaidhowi, Tafsir Al-Baidhowy, (Lebanon: Dar Al-Fikr, tt) 63. 110 Shihab.., Tafsir Al-Misbah.., 52. 111 Al-Syaukani.., Fath Al-Qadi>r.., 25. 112 Al-Shobuny.., Rawai’ Al-Bayan.., 29. 109



37



2.



Nun tersebut juga bertujuan sebagai peringatan bahwa salat secara berjamaah itu lebih utama. Sebagaimana hadis Nabi:



‫ﺻﻼ ﳉﻤﺎﻋﺔ ﺧ ﻣﻦ ﻟﺪﻧﻴﺎ ﻣﺎ ﻓﻴﻬﺎ‬



‫ﻷ‬



‫ﻟﺘﻜﺒ‬



Yakni, takbir pertama dalam salat berjamaah lebih baik daripada bumi dan seisinya.113 3.



Maksud dari jama’ tersebut adalah aku menyembahMu dan para malaikat bersamaku. Bukan atas nama semua yang hadir, melainkan semua hambahambaMu yang shalih.114



4.



Semua orang mukin adalah saudara. Maka seakan-akan Allah berkata: “untuk apa kau memujiku dengan perkataanmu (‫ ﻟﺮ ﻦ ﻟﺮﺣﻴﻢ ﻟﻌﺎﳌﲔ‬.



‫ ﳊﻤﺪ ﷲ‬.) maka



meninggilah derajatmu di hadapan kami, maka jangan meringkas pembenahan keadaanmu, tetapi kamu harus berusaha untuk membenahi keadaan semua saudara-saudaramu, maka katakanlah (‫ﻳــــﺎ ﻧﺴﺘﻌﻴـﻦ‬



‫) ﻳــــﺎ ﻧﻌﺒﺪ‬115



Frase na’budu juga mengandung makna spesifik yang berbeda dari kosakata lainnya yang seakar dengannya seperti ‘abadna> (‫)ﻋﺒﺪﻧﺎ‬, kata kerja masa lampau (fi’il madhi). Ungkapan ini berkonotasi “kami sudah mengabdi”. Perbedaan maksan tersebut dikarenakan bedanya dua bentuk kosakata itu. Yang satu menginformasikan peristiwa yang terjadi di masa lampau (madhi) dan yang lain menjelaskan tentang peristiwa yang terjadi di masa sekarang (fi’il mudhari’).



113



Nidzom Al-Din Al-Hasan bin Muhammad Husain Al-Qammy Al-Naisabury, Tafsir Gharaib Alquran wa Raghaib Al-Furqan, cetakan pertama (Beirut Lebanon: DKI, tt), 104. 114 Ibid., 115 Ibid., 104-105.



38



Dapat digunakannya kata kerja masa sekarang untuk menyatakan pengabdian kepada Allah, maka berarti pengabdian tersebut berlangsung secara terus-menerus secara berkesinambungan. Seandainya yang digunakan adalah kata kerja masa lampau (‘abadna>), maka ungkapan untuk menginformasikan bahwa pengabdian yang dilakukan tersebut sudah berlalu; boleh jadi sekarang tidak mengabdi lagi.116 (‫)و إﯾّــــﺎك ﻧﺴﺘﻌﯿـﻦ‬, paruh kedua dari ayat ke-5 ini pemahamannya tidak jauh dari yang pertama, yakni sama-sama menegaskan ketulusan mengabdi sematamata kepada Allah, sedangkan yang kedua menegaskan ketulusan minta pertolongan juga semata-mata dari Allah, tidak dari yang lain. Mengingat kondisi yang demikian maka frase ‘‫ ’إﯾّــــﺎك‬tidak perlu diulang lagi karena konotasinya sama dengan yang telah diuraikan pada paragraf yang lalu itu (penggunaan iltifat dan penggunaan fiil mudhari’).117 Huruf wawu yang terletak sebelum iyya>ka yang kedua adalah wawu ‘athof, yakni menunjukkan kesatuan (musytarok) dalam i’rob dan ma’na dengan lafadz yang sebelumnya.118 Adapun sin dari lafadz nasta’i>n adalah sin dari wazan istaf’ala (‫ )إﺳﺘﻔﻌﻞ‬yang berfaedah untuk permintaan (li al t{alab). Maksudnya, seorang hamba meminta pertolongan kepadaNya atas ibadah.119 Dalam ayat ini lafadz na’budu lebih didahulukan daripada lafadz nasta’i>n serta mengulangi lafadz iyya>ka. Ibadah merupakan upaya mendekatkan diri kepada Allah, karena itu ia lebih wajar didahulukan dari pada meminta 116



Baidan.., Tafsir Kontemporer ..,75. Ibid., 76. 118 Abi Hafs Umar bin Ali bin ‘Adil Al-Dimasyq Al-Hanbaly, Al-Lubab Fii ‘Ulum AlKitab, juz 1 (Beirut, Lebanon: DKI, 1971), 200. 119 Ibid., 117



39



pertolonganNya. Bukankah sebaiknya seseorang mendekat sebelum meminta? Di sisi lain ibadah dilakukan oleh orang yang bermohon sedang meminta bantuan adalah mengajak pihak lain untuk ikut serta. Memulai dengan upaya yang dilakukan sendiri, lebih wajar didahulukan daripada upaya dengan meminta bantuan pihak lain. Selanjutnya salah satu hal yang diharapkan bantuanNya adalah menyangkut ibadah itu sendiri, sehingga menjadi sangat wajar menyebut ibadah terlebih dahulu yang merupakan azam dan kebulatan tekad si pemohon baru kemudian memohon agar dibantu antara lain dalam meraih kesempurnaan ibadah dimaksud. Ini dari segi makna, sedang dari segi redaksi, adalah lebih tepat menyebut nasta’in sebagai akhir ayat agar iramanya sama atau mirip dengan ayat sebelum dan sesudahnya.120 Menurut Al-Syaukani, didahulukannnya na’budu daripada nasta’in adalah sebab ibadah dalam lafadz na’budu adalah suatu washila (perantara) demi tercapainya pertolongan yang terdapat dalam lafadz nasta’in. Dan perantara itu harus didahulukan untuk menghasilkan sesuatu yang dicari.121 Selain itu, alasan mendahulukan lafadz na’budu dan mengakhirkan lafadz



nasta’i>n adalah karena menyembah Allah adalah suatu kewajiban manusia terhadap TuhanNya. Tetapi, pertolongan dari Allah kepada hambaNya adalah hak hamba itu. Maka Allah mengajarkan hambaNya agar menunaikan kewajibannya terlebih dahulu, sebelum ia menuntut haknya.122



120



Shihab.., Tafsir Al-Misbah.., 62. Al-Syaukani.., Fath Al-Qadi>r.., 25. 122 Kementrian Agama RI,Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Ikrar Mandiriabadi, 2011), 121



19.



40



Pengulangan kata iyya>ka dianggap perlu, karena iyya>ka yang berkaitan dengan ibadah mengandung arti penghususan mutlak. Tidak diperkenankan memadukan motivasi ibadah dengan apapun selain Allah. Karena kalau demikian, hilang unsur keikhlasan dan muncul unsur pamer atau riya’. Sedang dalam meminta bantuan, memang tidak ada salahnya meminta pula bantuan kepada selain Allah dalam hal-hal yang termasuk hukum sebab-akibat (segala sesuatu yang etrjadi dan memiliki alasan mengapa terjadi. Seperti, karena kesusahan dalam hal materi, maka si A meminta pinjaman kepada si B). Bukankah Allah memerintahkan kita untuk saling tolong menolong? Tetapi harus disadari bahwa pada hakikatnya bantuan yang diharapkan itu tidak dapat terwujud tanpa izin dan restu Allah.123 Orang yang mengetahui bahasa arab sesempurna-sempurnanya, sehingga dapat merasakan “al-dhauq al-‘araby” yaitu satu macam “rasa” yang hanya terdapat dalam bahasa dan kesusatraan arab saja, akan dapatlah merasakan kuat, kokoh, tegas dan indahnya susunan sastra bahasa yang mendahulukan kata-kata



iyya>ka sebelum kata-kata na’budu dan nasta’i>n, dan berulang dua kali kata-kata iyya>ka itu, satu sebelum na’budu dan satu lagi sebelum nasta’i>n lalu dibatasi antara keduanya dengan kata penghubung dan yaitu wa.124 Jika pembaca merasa-rasakan susunan ayat yang berulang-ulang ini.



Iyya>ka na’budu, yang artinya hanya Engkaulah yang kami sembah dan iyya>ka nasta’i>n, yang artinya hanya kepada Engkaulah kami minta pertolongan. Dan jika 123 124



213.



Shihab.., Tafsir Al-Misbah.., 62-63. Bey Arifin, Samudera Al-Fa>tihah, cetakan kedua (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1972),



41



pembaca membaca susunan yang biasa, “kami sembah Engkau dan kami meminta tolong kepada Engkau.” Pada susunan yang pertama, dapat dimengerti bahwa penyembahan itu tidak kepada yang lain kecuali hanya Engkau. Namun pada susunan yang kedua, bisa jadi pembaca mengartikannya menjadi, selain menyembah yang lain, kami juga menyembah Engkau.125



Ihdina> itu mabni waqaf dan fa>`ilnya adalah d{ami>r tetap yang kembali kepada Allah SWT. Sedangkan, Hamzah dalam huruf dal dikasroh, berkiblat pada tingkah dal ketika dalam fi`il mud{ari` itu juga dikasroh. Kemudian, nun dan alif dari ihdina> dibaca nasab menjadi maf`u>l bih. Sedangkan, s{irat{ itu dibaca nasab karena ia menjadi maf`u>l kedua dari ihdina> .126 Dalam frase tuntunlah kami (‫ )إھﺪﻧﺎ‬adalah bentuk kata kerja imperatif (fi’il amar) dari kata dasar (mashdar) “‫ ”اﻟﮭﺪاﯾﺔ‬yang bermakna tuntunan, atau petunjuk, dan sebagainya. Dari sinilah maka frase ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan “tuntunlah kami” atau “tunjukilah kami.” Para ahli bahasa Arab menyebutkan kosa kata yang terbentuk dari huruf ha’, dal, dan ya’ sehingga membentuk “huda, hidayah, dan hadiyah” pada dasarnya menunjukkan perilaku yang lembut-lembut. Jadi tuntunan atau petunjuk itu diberikan dengan cara yang halus, santun dan lemah-lembut; tidak dengan kasar atau membentak-bentak, dan



125



Ibid., Abu `Ali> al-Fad{l bin al-H{asan al-T{abarsi>, Majma` al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur`a>n, juz 1, (Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 1994), 37. 126



42



sebagainya.127 Adapun bentuk jama na-nya sama dengan sebab-sebab pada na’budu dan nasta’in.128 Kata (‫ )إھﺪﻧﺎ‬ini juga merupakan doa dari orang-orang yang beriman agar mereka diberi hidayah yang berarti penetapan (terus menerus) dan juga berarti mencari hidayah yang lebih. Karena kemurahan-kemurahan dan hidayah-hidayah semuanya dari Allah SWT.129 Shirat ini dibaca sin (‫)اﻟﺴﺮط‬diriwayatkan oleh Uwais bin Ya’qub. Hamzah membacanya dengan za’ (‫)اﻟﺰراط‬. Kesemuanya ini benar. Tetapi shad lebih dipilih menurut kebanyakan qurra’ untuk kesepakatan mushaf.130 Kosakata shirat adalah bahasa Arab resmi. Kata ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan “jalan”. Secara etimologis berarti menelan. Jalan raya disebut shirat karena dia mampu menampung banyak kendaraan dan apa saja yang ada di atasnya, sehingga seakan jalan itu menelan semuanya. Kosakata ini juga bersinonim dengan “‫ ”اﻟﺴﺒﯿﻞ‬dan “‫”اﻟﻄﺮﯾﻖ‬. Namun, konotasi antara keduanya berbeda. Kalau shirat berkonotasi pada jalan yang lebar, tetapi dua kata tadi itu merupakan sebaliknya.131 Menurut Ibnu Abbas dan Jabir Al-shirath al-mustaqim ini adalah Islam yang lebih luas dari pada langit dan bumi.132 Menurt Ibnu Mas’ud Al-shirath al-



127



Baidan.., Tafsir Kontemporer .., 84-85. Al-Qasim., Misteri Surat .., 140. 129 Ala’uddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdady, Luba>b al-Ta’w>il fi> Ma’any> al-Tanzi>l, Juz 1, (Beirut, Lebanon: DKI, 1995), 29. 130 Ibid., 30. 131 Baidan.., Tafsir Kontemporer ..,92-93. 132 Al-Syaukani.., Fath Al-Qadi>r.., 26. 128



43



mustaqim adalah Alquran. Juga diriwayatkan oleh Ali secara marfu’, Al-shirath al-mustaqim adalah kitab Allah. Menurut Sa’di bin Jabir, Al-shirath al-mustaqim adalah surga. Sahal bin Abdullah berpendapat bahwa Al-shirath al-mustaqim adalah jalan ahlus sunnah wal jama’ah. Menurut Bakar bin Abdullah al-Mazni, Al-shirath al-mustaqim adalah jalan Rasulullah SAW. Abu ‘Aliyah dan Hasan berpendapat, bahwa Al-shirath al-mustaqim adalah Rasulullah, keluarga-keluarga dan sahabat-sahabatanya. Adapun asal etimologinya, yakni jalan yang jelas.133 Al-shirath al-mustaqim adalah jalan paling dekat yang menyampaikan seorang hamba kepada Rabb, serta rumah kemuliaanNya. Dan maksud dari Alshirath al-mustaqim dalam surat ini adalah mengetahui jalan kebenaran dan mengamalkannya. Jadi, jalan inilah yang menyampaikan kita pada ridha Allah SWT dan rumah kemuliaanNya.134 Dalam kata (‫ﳌﺴﺘﻘﻴﻢ‬



‫ ) ﻫﺪﻧﺎ ﻟﺼﺮ‬ini juga merupakan doa dari orang-orang



mukmin meski mereka telah diberi hidayah, yakni meminta agar ditetapkan dan diberi hidayah yang lebih karena kemurahan-kemurahan dan hidayah-hidayah itu semua berasal dari Allah. S{irat{ dalam kalimat (‫ )ﺻﺮاط اﻟﻠﺬﯾﻦ أﻧﻌﻤﺖ ﻋﻠﯿﮭﻢ‬ini dibaca dengan I’rob nasab (menggunakan fathah) ini karena s{irat{ tersebut merupakan badal atau sifat penjelas dari s{irat{ yang pertama (sebelum ayat ini). Dan berfaedah sebagai taukid (penguat) dalam penyebutan yang kedua kalinya dan berulang-ulang. Bisa juga



133



al-Baghdady.., Luba>b al-Ta’w>il.., 30. Al-Qasim.., Misteri Surat .., 126-127.



134



44



sebagai ataf bayan (tabi’ yang menyerupai sifat, yang mana hakikat yang dimaksud menjadi terungkap dengannya135) dan berfaidah sebagai penjelas.136 Adapun nikmat dalam kalimat an’amta ini ini memiki cakupan arti. Ni’mat itu merupakan isim jenis yang mencakup empat macam arti137: 1) Nikmat iman kepada Allah dan iman-iman yang diwajibkan lainnya. 2) Nikmat mengetahui Allah dengan nama-nama dan sifat-sifatNya. 3) Nikmat mengetahui segala sesuatu yang disukai dan dibenci Allah. 4) Nikmat taufiq untuk mengerjakan perkara-perkara yang disukai Allah dan meninggalkan perkara-perkara yang dibenci.



Ghayr al-maghd{u>b merupakan badal dari al-ladhi>n an`amta alayhim yang berarti bahwa orang yang diberi nikmat adalah orang yang selamat dari kemurkaan Allah dan kesesatan. Atau menjadi sifat al-ladhi>n an`amta alayhim yang berarti bahwa bahwa orang yang diberi nikmat dan nikmatnya meliputi dua hal, yakni nikmat iman dan selamat.138 Dalam kata Al-maghdu>b `alayhim, bermaksud atas murka Allah SWT kepada mereka (yang tertuju pada orang Yahudi) dan orang-orang yang menciptakan kerusakan di dunia seperti orang-orang Yahudi.139



135



Ibnu Malik, Alfiyah Ibnu Malik, (Surabaya: Al-Hidayah, tt), 52. Al-Syaukani.., Fath Al-Qadi>r.., 27. 137 Al-Jazairy.., Aysar Al-Tafaasiri.., 17. 138 Al-Syaukani.., Fath Al-Qadi>r.., 27. 139 Al-Jazairy.., Aysar Al-Tafaasiri.., 13. 136



45



Selanjutnya, dalam kata al-d{alli>n ini ditujukan kepada orang-orang yang salah dalam mencari jalan kebenaran kemudian menyembah Allah SWT dengan menjalankan sesuatu yang tidak dishariatkan olehNya. Kesesatan (dalam kata al-



d{alli>n) yang bengkok dan jauh dari petunjuk yang dicari ini dalam shara’ terbagi menjadi dua macam140: 1. Kesesatan dalam i`tiqad (kepercayaan) Yakni, setiap keyakinan yang berbeda (tidak sesuai dengan shariat) baik itu seluruhnya atau hanya sebagian atau beberapa keyakinan-keyakinan saja bagi mu`taqid yang memeluk agama Islam dan telah mengetahui menegnai syara’ yang telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam KitabNya melalui perantara lisan Nabi Muhammad SAW (Alquran). 2. Kesesatan dalam perbuatan Yakni, menyembah Alah SWT dengan menjalankan apa yang tidak dishariatkan olehNya. Dan mendekatkan diri kepadaNya dengan pendekatan-pendekatan yang juga tidak disyariatkan olehNya. Kesesatan ini tidak selamat, kecuali seseorang itu harus berpegang teguh kepada Alquran dan hadis Nabi. Berdasarkan pemaknaan lughawi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pemilihan dan penempatan suatu kosakata di dalam Alquran tidak sembarangan,



140



Al-Jazairy.., Aysar Al-Tafaasiri.., 13.



46



melainkan mengandung pesan khusus sesuai kandungan makna yang diinginkan oleh Sang Pemesan yaitu Allah yang Maha Alim.141 E. Isi Kandungan Shariah Dalam Surat Al-Fa>tihah Sebagian salaf al-s{alih{ berpendapat bahwa, Al-Fa>tih{ah adalah rahasia Alquran dan rahasia Al-fa>tih{ah terdapat pada ayat lima ini. Adapun yang termasuk rahasianya adalah yang pertama suatu kebebasan dari bentuk syirik (menyekutukan Allah SWT) dan yang kedua adalah suatu kebebasan dari daya dan upaya sekaligus menyerahkan segala hal kepada Allah SWT.142 Setelah seorang hamba menyanjung dengan sifat yang paling indah, ia – sebagaimana yang diajarkan Allah SWT- melanjutkannya dengan memohon sesuatu paling baik yang memang seharusnya dipintakan kepada Rabb Maha Agung yang memiliki sifat mulia ini. Yang sifat tersebut tak ada yang menandinginya.143 Kemudian seorang hamba menghadap kepadaNya dengan beribadah dan memohon agar diberi pertolongan dalam menjalankan ibadah tersebut. Ini merupakan tawassul dengan ubudiyyah (menghambakan diri) dan tauhid, setelah ber-tawassul dengan nama-nama dan sifat mulia Allah SWT yang Maha Tinggi



141



Baidan.., Tafsir Kontemporer .., 75. Muhammad Jama>l al-Di>n Al-Qa>simi>, Mah{a>sin al-Ta’wi>l, cetakan pertama, (Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 2005), 207. 143 Al-Qasim.., Misteri Surat.., 80. 142



47



dan Terpuji. Dengan kedua tawasssul ini (tawassul dengan Asma’ul Husna dan tawassul dengan ibadah) hampir doa seorang hamba tidak mungkin ditolak.144 Ayat ini terbagi dua, seperdua pertama untuk Allah (kewajiban hamba kepada Tuhannya), dan seperdua kedua untuk Hamba Allah (hak seorang hamba dari Tuhannya), Iyya>ka na’budu untuk Allah, Iyya>ka nasta’i>n untuk Hamba Allah.145 Jadi ayat ini mengandung dua persoalan pokok yaitu soal ibadat dan soal minta pertolongan (doa). Soal agama seluruhnya tersimpul di dalam kedua persoalan pokok ini, yaitu ibadat dan doa.146 1.



Ibadah Ibadah berarti mentaati dengan perasaan rendah dalam mengabdi, hamba



yang patuh dengan tunduk. Sedangkan menurut istilah syara’, ibadah merupakan suatu sikap yang menghimpun rasa kecintaan, ketundukan, dan takut.147 Menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azharnya juga menjelaskan bahwa ibadah adalah menghambakan diri dengan penuh keinsafan dan kerendahan. Dan dipatrikan lagi oleh cinta. Kita mengakui bahwa kita HambaNya, budakNya. Kita tidak akan terjadi kalau bukan Dia yang menjadikan. Kita beribadah kepadaNya disertai oleh raja’, yaitu pengharapan akan kasih dan sayangNya, cinta yang hakiki dan tidak terbagi pada yang lain. Sehingga jikapun kita cinta kepada yang lain, hanyalah karena yang lain itu nikmat dari Dia.148



144



Ibid., 81. Arifin.., Samudera Al-Fa>tihah.., 209. 146 Ibid., 210. 147 Salim Bahreisy dan. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2002), 28. 148 Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 2000), 103. 145



48



Rasyid Ridha berpendapat bahwa beribadah kepada Allah SWT adalah bentuk rasa syukur tertinggi dalam rangka memenuhi ketuhananNya (uluhiyah). Adapun memohon pertolongan kepadaNya merupakan bentuk syukur tertinggi dalam memenuhi hak kepemeliharaanNya (rububiya).149 Pengertian ini merupakan kesempurnaan dari ketaatan. Sikap beragama secara keseluruhan berpangkal dari makna kedua kalimat ini, sehingga ulamaulama dahulu mengatakan, bahwa rahasia Alquran ada di dalam surat Al-Fa>tihah dan rahasia surat Al-Fa>tihah ada di dalam kedua kalimat ini. Sebab, kalimat yang pertama menunjukkan makna bebas dari syirik, sementara yang kedua bebas dari daya dan kekuatan serta menyerah bulat-bulat kepada Allah. Pengertian yang sama juga terdapat dalam firman Allah SWT dalam surat Al-Hud ayat 123150:



.‫ﺗﻮﻛﻞ ﻋﻠﻴﻪ‬



‫ﻋﺒﺪ‬



Maka sembahlah Dia dan bertawakkallah kepadaNya. Dan sekali-kali Tuhan kalian tidak lalai dari apa yang kalian kerjakan. Imam Ja’far ash-Shadiq –sebagaimana dikutip oleh Muhammad al-Ghazali dalam bukunya Rakaiz al-Iman mengemukakan tiga unsur pokok yang merupakan hakikat ibadah151: 1) Si Pengabdi tidak menganggap apa yang berada dalam genggaman tangannya sebagai miliknya, karena yang dinamai hamba tidak memiliki sesuatu. Apa yang “dimilikinya” adalah milik tuannya.



149



Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Fa>tihah, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007),



87. 150



Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy.., Terjemah Singkat .., 28. Shihab.., Tafsir Al-Misbah.., 53.



151



49



2) Segala usahanya hanya berkisar pada mengindahkan apa yang diperintahkan oleh siapa yang kepadanya ia mengabdi. 3) Tidak



memastikan



sesuatu



untuk



dia



laksanakan



kecuali



mengkaitkannya dengan izin dan restu siapa yang kepadanya ia mengabdi. Ketika seseorang menyatakan iyya>ka na’budu maka ketika itu tidak sesuatu apapun, baik dalam diri seseorang maupun yang berkaitan dengannya, kecuali telah dijadikan milik Allah. Memang, segala aktivitas manusia harus berakhir menjadi ibadah kepadaNya sedang puncak adalah ihsan.152 Kalimat ringkas ini (iyya>ka na’budu) mengajarkan dua hal besar kepada manusia. Kedua hal tersebut merupakan sebab turunnya kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Pertama, manusia harus mengerjakan amal-amal yang bermanfaaat dan berusaha sekuat tenaga untuk menyempurnakannya. Sebab, seseorang tidak akan meminta pertolongan kecuali setelah ia mengerahkan segenap kekuatan untuk melakukan sesuatu. Ketika belum berhasil atau takut tidak berhasil, ia pun memohon pertolongan untuk menyempurnakan usahanya. Seseorang memegang pensil, misalnya. Tiba-tiba pensilnya jatuh ke atas meja. Tentu saja ia tidak akan meminta bantuan orang lain untuk mengambilnya. Sementara, orang yang tertimbun benda berat hingga ia tak sanggup berdiri sendiri, pasti akan meminta tolong kepada orang lain untuke mengangkatnya. Permintaan tolongnya itu dilakukan setelah berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari timbunan



152



Ibid.,



50



berat itu. Pelajaran pertama ini merupakan tangga menuju kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.153 Kedua, manusia harus mengkhususkan permohonan bantuan kepada Allah SWT. Setelah berusaha dan menyempurnakan usaha. Inilah ruh agama dan kesempurnaan tauhid yang murni. Inilah yang akan meninggikan derajat jiwa-jiwa orang yang bertauhid, memerdekakan mereka dari perbudakan, membebaskan mereka, memebebaskan mereka dari penjara para pemimpin agama dan ulama’ulama’ pendusta, serta meelpaskan cita-cita mereka dari ikatan para pengawas palsu, baik yang masih hidup maupun yang telah mati. Dengan demikian, seorang Mukmin, di hadapan manusia lain, menjadi manusia yang bebas dan tuan yang mulia, sementara di hadapan Allah ia menjadi hamba yang tunduk patuh, maka inilah jalan kebahagiaan dunia dan di akhirat.154 Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Ahzab ayat 71: ١٥٥



.‫ﺳﻮﻟﻪ ﻓﻘﺪ ﻓﺎ ﻓﻮ ﻋﻈﻴﻤﺎ‬



‫ﻣﻦ ﻳﻄﻊ ﷲ‬



Barang siapa yang mentaati Allah dan RasulNya, sungguh ia akan mendapat kebahagiaan yang sangat besar.156 Perlu diingat bahwa ibadah atau pengabdian yang dimaksud dalam ayat kelima ini tidak terbatas pada hal-hal yang diungkapkan oleh ahli hukum Islam (fiqh) yakni salat, puasa, zakat dan haji, tetapi, mencakup segala macam aktivitas manusia, baik pasif maupun aktif, sepanjang tujuan dari setiap gerak dan langkah



153



Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Fa>tihah, cetakan ke-4, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), 85-86. 154 Ibid., 86. 155 Alquran karim 156 Alquran dan terjemahnya.



51



itu adalah Allah, sebagaimana tercermin dalam pernyataan yang diajarkan Allah dalam surat Al-An’am ayat 162157:



‫ﻟﻌﺎﳌﲔ‬



‫ﳑﺎ ﷲ‬



‫ﻴﺎ‬



‫ﻧﺴﻜﻲ‬



‫ﺻﻼ‬



sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku (kesemuanya), demi karena Allah pemelihara seluruh alam. Ibadah dinamakan “ibadah” bila terhimpun dua pokok di dalamnya, yaitu cinta (hubb) dan tunduk (khudhu’). Orang yang hanya cinta saja, tetapi tidak tunduk atau tunduk saja tetapi tidak cinta, maka tidaklah dinamai beribadah. Cinta dan tunduk itu ditunjukkan hanya kepada satu dzat yaitu Allah saja. Inilah yang dinamakan “tauhid.”158 Mengakui bahwa yang patut disembah sebagai Ilah hanya Allah, dinamai Tauhid uluhiyah. Dan mengakui yang patut untuk dimohoni pertolongan sebagai robbun hanya Allah, dinamai Tauhid Rububiyah.159 Untuk misal yang mudah tentang tahid uluhiyah dan tauhid rububiyah ini ialah seumpama kita ditolong oleh seorang teman dilepaskan dari satu kesulitan. Tentu kita mengucapkan terimakasih kepadanya. Adakah pantas kalau kita ditolong misalnya oleh Ahmad, lalu kita mengucapkan terimakasih kepada si Hamid? Maka orang yang mengakui bahwa yang menjadikan alam dan memelihara alam ialah Allah juga, tetapi menyembah kepada yang lain, adalah



157



Shihab.., Tafsir Al-Misbah.., 55. Arifin.., Samudera Al-Fa>tihah.., 210. 159 Hamka.., Tafsir Al-Azhar.., 102. 158



52



orang itu musyrik. Tauhidnya sendiri pecah belah; menerima nikmat dari Allah SWT mengucapkan terima kasih kepada berhala.160 Tauhid yang dianut agama Islam harus meliputi tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah. Di samping percaya bahwa Allah-lah yang menciptakan segalagalanya ini, juga percaya bahwa hanya Allah SWT sajalah yang patut disembah dan dimintai pertolongan.161 Ibadah tidak akan dinamai ibadah bila tidak memenuhi dua syarat, yaitu162: 1) Ibadah itu harus karena Allah SWT dan untuk Allah SWT semata. 2) Cara-caranya beribadah harus seratus persen seperti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Bila suatu ibadah dilakukan tidak ikhlas untuk Allah, atau tidak sepanjang apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Maka tidaklah dapat dinamai ibadah lagi, tetapi boleh dinamai gerak badan atau latihan biasa, atau namakanlah olahraga atau taiso dan lain-lain.163 2.



Meminta pertolongan kepada Allah SWT (isti’a>nah)



Isti’a>nah atau memohon pertolongan kepada sesama makhluk maknanya adalah meminta (kepada orang lain agar diberi) kemudahan dan pertolongan pada suatu pekerjaan yang sulit dilaksanakan oleh seseorang.164 Isti’a>nah juga berarti



160



Ibid., Arifin.., Samudera Al-Fa>tihah.., 210. 162 Ibid., 219. 163 Ibid., 164 Al-Qasim.., Misteri Surat.., 105. 161



53



meminta



petolongan



disertai



kesungguhan



di



dalam



pekerjaan



untuk



menyempurnakan pekerjaan yang ia sendiri lemah dalam mengerjakannya.165 Tetapi isti’a>nah (memohon pertolongan) yang disebutkan dalam ayat ini adalah, isti’a>nah yang terjadi antara makhluk dengan Sang Khaliq. Sebab seorang hamba tidak mempunyai kemampuan secara independen yang bisa menyampaikan kehendaknya tanpa ada pertolongan dari Allah SWT. Karena kehendak seorang hamba selalu mengikut dan tidak terlaksana kecuali jika sesuai dengan kehendak Allah SWT. Kehendak Allah SWT inilah yang menguasai dan meliputi segalanya.166 Permohonan bantuan kepada Allah adalah permohonan agar Dia mempermudah apa yang tidak mampu diraih oleh yang bermohon dengan upaya sendiri. Para ulama mendefinisikan sebagai “Penciptaan sesuatu yang dengannya menjadi sempurna atau mudah mencapai apa yang diharapkan.”167 Allah SWT teleh memerintahkan untuk beribadah dan meminta tolong hanya kepadaNya. Maka orang yang meminta tolong kepada ahli kubur supaya dapat memenuhi kebutuhannya atau memudahkan urusannya, menyembuhkan penyakitnya, menumbuhkan tumbuh-tumbuhannya, maka hal itu adalah jalan yang celaka dan termasuk menyekutukan Allah SWT (syirik).168 Firman Allah SWT dalam surat al-A’raf ayat 197: ١٦٩



165



.‫و اﻟﺬﯾﻦ ﺗﺪﻋﻮن ﻣﻦ دوﻧﮫ ﻻ ﯾﺴﺘﻄﯿﻌﻮن ﻧﺼﺮﻛﻢ و ﻻ أﻧﻔﺴﮭﻢ ﯾﻨﺼﺮون‬



Mashuri Sirojuddin Iqbal dan Ahmad Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: ANGKASA, 1993), 262. 166 Ibid., 167 Shihab.., Tafsir Al-Misbah.., 58. 168 Iqbal dan Fudlali.., Pengantar.., 262. 169 Alquran karim.



54



Dan mereka yang kamu seru selain daripadaNya itu, mereka itu tidak dapat menolong kamssu dan mereka tidak pula dapat menolong diri mereka sendiri.170 Orang-orang yang termasuk syirik itu terdapat beberapa golongan. Ada juga yang menjadikan Tuhan dari bentuk-bentuk tambang. Seperti, batu, emas, perak, dan lain-lain. Ada juga yang menjadikan Tuhan adalah tumbuh-tumbuhan. Seperti pohon-pohon tertentu. Adapula yang menjadikan Tuhan dari manusia. Seperti penyembahan terhadap Masih dan `Uzair. Ada juga yang menjadikan Tuhan adalah dari bentuk-bentuk yang sederhana, adakalanya dari hal-hal yang sebangsa sufliyah (di bawah) seperti penyembahan terhadap api, yakni orang-orang Majusi, atau bangsa `ulwiyah (yang ada di atas) seperti penyembahan matahari, bulan, dan galaksi-galaksi yang lain.171



Isti’a>nah atau berdoa harus pula menghimpun dua pokok yaitu berserah diri (thiqah) dan menggantungkan harapan (i’timad) sebulat-bulatnya kepada Allah. Tidaklah dinamakan berdoa atau isti’a>nah kepada Allah, bila seorang tidak memercayakan



diri



atau



berserah



diri



bulat-bulat



kepada



Allah,



lalu



menggantungkan nasib atau harapan seratus persen kepada Allah saja.172 Selanjutnya, kata isti’a>nah mengajarkan secara implisit bahwa seorang hamba harus memohon agar Allah SWT membantunya dalam melaksanakan pekerjaan yang tengah dilakukan. Dari sudut pandang lain, kata ini bisa bermakna penghargaan dari Allah SWT kepada manusia. Maksudnya, amal manusia dijadikan oleh Allah SWT sebagai dasar mewujudkan apa yang ia inginkan dalam 170



Alquran dan terjemahnya. Naisabury.., Tafsir Gharaib.., 108. 172 Arifin.., Samudera Al-Fa>tihah.., 211. 171



55



rangka mendidik dan membersihkan jiwa. Selain itu, kata tersebut mengingatkan bahwa meninggalkan usaha tidak sesuai dengan fitrah dan bukan ajaran shariah. Orang yang tidak mau berusaha adalah orang malas yang tercela. Ia bukan manusia yang tawakkal dan terpuji.173 Kalimat ibadah juga termasuk kandungan isti’anah di dalamnya, sedang dalam kalimat isti’a>nah tidak terkandung ibadah di dalamnya. Jadi, ibadah lebih umum. Orang yang benar-benar beribadah, pasti didampingi dengan permohonan (isti’anah), tetapi belum tentu seorang yang bermohon kepada Allah, juga menjalankan ibadah ibadah yang diperintahkan Allah. Berapa banyaknya orangorang yang menginginkan sehat, kekayaan, dan lain-lain bermohon dan berdoa kepada Allah, tetapi mereka tidak beribadah menyembah Allah.174 Sekalipun demikian, isti’anah tetap menjadi bagian atau sebagian dari ibadah. Beribadah berarti menjalankan sesuatu untuk Allah SWT, sedang bermohon ialah mengharapkan sesuatu dari Allah SWT. Jadi, ibadah jauh lebih tinggi dan lebih suci dari isti’anah. Sebab ibadah tidak dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar ikhlas dan iman, sedang isti’anah dapat saja dilakukan oleh orang-orang yang tak ikhlas imannya. Malah kadang-kadang dilakukan oleh orang-orang yang fasiq atau bajingan-bajingan besar.175 Ibadah juga berarti mensyukuri nikmat yang telah diberikan Allah kepada seseorang. Sedang isti’anah ialah mengharapkan nikmat atau rahmat dari Allah.176



173



Ridha.., Tafsir Al-Fa>tihah.., 90. Ibid., 212. 175 Ibid., 212. 176 Ibid., 174



56



Kedua pokok ini dicakup oleh satu kata saja yaitu tawakkal. Dan tawakkal inilah yang menjadi hakikat atau pengertian yang sebenar-benarnya dan sedalamdalamnya dari ayat iyya>ka na’budu wa iyya>ka nasta’i>n.177 Dengan demikian, jelaslah yang dimaksud dalam ayat ini yaitu manusia hendaklah menggantungkan diri sepenuhnya kepada Allah dan hendaklah menganggap segala yang ada di dunia ini hanyalah sebagai sarana. Seseorang harus mengingat bahwa kekuatan, keteguhan, dan otaknya adalah sarana yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya, dan nasibnya berada di tanganNya. Betapa seringnya seseorang menyandarkan diri pada bermacam-macam sarana, dan kemudian mengetahui bahwa itu bertentangan dengan yang diharapkannya. Sarana-sarana tersebut tidak dapat membantunya. Manusia pun mempunyai kekuatan, namun hanya pada kekuatan Allah-lah seseorang dapat bergantung tanpa perlu merasa cemas.178 Segala perilaku dan ibadah yang dilakukan seorang makhluk tidak lain hanya untuk mendapatkan ridho Allah. Utnuk mencapai ridho Allah, maka Tuhan menunjukkan garis jalanNya yang harus ditempuh, lalu Allah mengutus RasulRasulNya membawa syari’at dan memimpin kepada manusia bagaimana menempuh jalan itu; isi Alquran yang ini tersimpul dalam ayat “ihdina> al-s{irat} al-



mustaqi>m”.179 Hidayah dalam ayat keenam tersebut memiliki dua arti, yaitu180:



177



Ibid., Murtadha Muthahhari , Tafsir Surat-Surat Pilihan, cetakan ketiga, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), 49. 179 Hamka.., Tafsir Al-Azhar.., 83. 180 Mashuri Sirajddin Iqbal, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: ANGKASA, 1993), 241242. 178



57



1) Hidayah ilham. Hidayah ini diberikan kepada semua makhluk, baik yang berakal maupun yang tidak dan diberikan sejak bayi. Seperti rasa haus, lapar, kedinginan, dan lain-lain sebagainya. 2) Indera. Seperti penglihatan, pendengaran, perasaan, penciuman dan perabaan. 3) Hidayah



akal. Hidayah akal derajatnya lebih tinggi dari hidayah



ilham dan pancaindra. Untuk mengolah alam, manusia tidak cukum hanya dengan hidayah ilham dan panaindra saja, melainkan harus ditambah dengan hidayah akal yang dapat membenarkan terhadap yang keliru-keliru. 4) Hidayah agama. Hidayah ini amat diperlukan oleh manusia. Dengan hidayah agama, orang dapat menghasilkan petunjuk dan dapat mengetahui ketentuan syari’at agama, serta mnegtahui hal-hal yang harus dijauhi sebagai umat yang beragama. Maksud dari jalan (‫ )اﻟﺼﺮاط‬adalah yakni jalan atau metode yang lurus yang ditujukan oleh seorang hamba pada keridhaan Allah SWT dan surgaNya yaitu agama Islam yang berdiri dengan iman, ilmu dan amal beserta penghindaran dari syirik (menyembah kepada Allah SWT dan selain Allah SWT atau meyakini sifat rububiyah dan sifat Ketuhanan itu ada pada selain Allah. Meskipun belum menyembahnya, maka seseorang itu juga termasuk menyekutukan Allah SWT dalam sifat dzat Ketuhanan dan perbuatan).181



181



Ibid.,



58



Menurut Abi> Bakr Ja>bir Al-Jaza>iry, yang dimaksud dalam ayat al-ladhi>na an`amt `alayhim adalah para nabi, orang-orang yang terpercaya, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang salih. Keterangan ini berdasarkan pada firman Allah SWT:



‫وﻣﻦ ﯾﻄﻊ ﷲ واﻟﺮﺳﻮل ﻓﺄوﻻﺋﻚ ﻣﻊ اﻟﺬﯾﻦ أﻧﻌﻢ ﷲ ﻋﻠﯿﮭﻢ ﻣﻦ اﻟﻨﺒﯿّﯿﻦ و اﻟﺼﺪﯾﻘﯿﻦ و اﻟﺸﮭﺪاء و‬ ١٨٢



.‫اﻟﺼﺎﻟﺤﯿﻦ وﺣﺴﻦ أوﻟﺌﻚ رﻓﯿﻘﺎ‬



Dan barang siapa yang mentaati Allah SWT dan RasulNya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah SWT, yaitu: Nabi-Nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orangorang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.183 Selain itu juga termasuk setiap orang yang dianugerahi iman oleh Allah SWT, yang dianugerahi pengetahuan tentangNya, pengetahuan tentang hal-hal yang Dia suka beserta hal-hal yang Dia benci dan orang-orang yang dianugerahi taufik untuk menjalankan hal-hal yang dicintai Allah SWT serta meninggalkan hal-hal yang dibenci olehNya.184 Kemudian itu Alquran berisi kabar yang menggembirakan bagi orang yang taat dan patuh, kebahagiaan di dunia dan surga akhirat yang di dalam istilah agama disebut wa’ad, ini telah terkandung dalam ayat “S{irat{ al-ladhina an`amt `alayhim”, jalan yang telah engkau berikan atasnya. Kemudian Alquran pun memberikan ancaman siksa dan azab bagi orang yang lengah dan lalai, kufur dan



182



QS: Al-Nisa, 69. Alquran dan terjemahnya. 184 Al-Jaza>iry.., Aysar.., 13 183



59



durhaka disebut wa’id. Maka tersimpul pulalah kata Alquran ini pada ujung surat tentang orang yang maghdub, kena murka Tuhan, dan orang-orang yang dholim, orang yang sesat. Demikian pula Alquran menceritakan keadaan umat-umat terdahulu, yang telah binasa dan hancur karena dimurkai Tuhan, dan diceritakan juga kaum yang sesat dari jalan yang benar; itupun telah tersimpul di dalam kedua kalimat maghdub dan dhallin itu.185 Selain itu, terdapat redaksi lain yang meberikan pengertian tentang s{ira>t{



al-mustaqi>m yakni berpegang teguh kepada Alquran, menjalankan perbuatanperbuatan yang diperintahkan oleh Allah sekaligus menjauhi perbuatan dan halhal yang dilarangNya, mengikuti metode dan jalan Khulafa> ` al-Arba` dan hambahamba yang salih.186 Adapun tujuan dari ayat yang terakhir adalah meminta taufik dan hidayah agar tetap mengikuti apa yang diridhoi Allah, mencari dan menginginkan jalan yang diberikan nikmat banyak yang meliputi iman, ilmu dan amal serta takut untuk tersimpang dan menjadi pengecualian yang termasuk dalam ayat (al-



maghdu>b `alayhim dan d{a>lli>n).187 Sebab, barang siapa mendapatkan taufik dan hidayah untuk mengikuti apa yang diridhai Allah, maka termasuk golongan yang mendapat nikmat dari Allah.188



F. Analisis



185



Hamka.., Tafsir Al-Azhar.., 83. Al-Syaukani.., Fath Al-Qadi>r.., 27. 187 Al-Jaza>iry.., Aysar.., 14. 188 Salim Bahreisy dan. Said Bahreisy.., Terjemah Singkat.., 31. 186



60



Dalam surat Al—Fa>tihah ayat lima ini memberikan pengertian, bahwa Allah lah dzat yang layak dan patut di sembah, Dialah yang agung dan berhak dimintai pertolongan, tiada lain selain dia. Karena Dialah Tuhan manusia yang memberikan banyak nikmat dan telah menciptakan segalanya. Dan meminta tolong pada selain Dia berarti telah menyekutukannya (syirik). Semua perbuatan dan perilaku seorang makhluk tidak lain, kecuali untuk memperoleh ridha Allah. Sehingga seorang makhluk harus memohon kepada Tuhannya agar selalu diberi jalan yang lurus agar selalu dapat memperoleh ridhaNya. Jalan yang bukan menyerupai jalan orang-orang yang tersurat dalam alMaghdu>b `alayhim dan al-D{alli>n, yakni menempuh jalan agama Islam dan menjalankan segala hal yang disyari’atkan olehNya, menjalankan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang, serta berpegangteguh pada Alquran dan hadis Nabi Muhammad SAW.



BAB IV PENUTUP



61



A.



Kesimpulan Dari beberapa lembar makalah yang kami sajikan, selayaknya terdapat beberapa benang merah yang dapat diambil. Maka di sini disimpulkan: 1. Dalam surat al-Fatihah terdapat tiga ayat yang mengandung kandungan syari’ah. Yakni dari ayat kelima hingga akhir. Penafsiran ayat syari’ah dalam surat Al-Fa>tihah ini adalah, manusia dituntut dan diwajbkan untuk menyembah dan meminta pertolongan (isti’a>nah) hanya kepada Allah, bukan lainnya. Semua perbuatan makhluk di dunia dilakukan tanpa suatu alasan kecuali untuk memperoleh ridho Allah. Agar memperoleh ridho Allah, makhluk tidak hanya berdoa saja melainkan juga menjalankan segala sesuatu yang telah disyari’atkan olehNya. Dan agar diberikan kemudahan jalan hidup seperti orang-orang yang Dia cintai, bukan orang-orang yang Dia murkai.



B. Saran 1. Dengan terselesaikannya penulisan makalah ini, penulis berharap akan adanya pengkajian lebih lanjut tentang penafsiran ayat-ayat Al-Quran terutama yang berkaitan dengan judul makalah ini. 2. Dari penelitian ini, diharapkan dapat menambah wawasan ilmu dan dapat memepertebal keimanan serta menjalankan segala apapun yang diperintahkan oleh Allah karena Dia adalah satu-satunya dzat yang layak disembah dan dimintai pertolongan. 62



62



DAFTAR PUSTAKA



63



Ali, Mohammad Daud. 1993. Hukum islam. cetakan ketiga. Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada Alquran dan Terjemahnya Alquran karim Baidan, Nashruddin. 2012, Tafsir Kontemporer Surat Al-Fatihah, cetakan pertama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Baidhowi,



Nashir Al-Din Abi Sa’id Abdullah Abi Umar Muhammad Al-



Syairazy. Tt. Tafsir Al-Baidhowy. Lebanon: Dar Al-Fikr Hakim, Abdul bin Abdullah Al-Qasim. 1429 H. Misteri Surat Al-Fatihah. Cetakan Kedua. Surabaya: eLBA Hamidy, Muammal dan Imron A. Manan. 2003. Terjemah Ayat ahkam AshShobuni, cetakan keempat. Surabaya: PT. Bina Ilmu Hamka. 2000. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas Jarairy,



Abi Bakar Jabir. 1994. Aysar Al-Tafaasiri. Madinah Munawwarah: Maktabah Al-Ulum wa Al-Hikam



Mahally, Jalaluddin dan Imam Jalaluddin Ash-Suyuthi. 2011. Tafsir Jalalain, cetakan 9. Bandung: Sinar Baru Algensindo Mahally, Jalaluddin Muhammad bin Ahmad dan Jalaluddin Muhammad Abdurrahman bin Abi Bakar Ash-Shuyuthi. Tt. Tafsiir Jalaalyn. Beirut Lebanon: DKI



64



Naisabury, Nidzom Al-Din Al-Hasan bin Muhammad Husain Al-Qammy. Tt. Tafsir Gharaib Alquran wa Raghaib Al-Furqan, cetakan pertama. Beirut Lebanon: DKI Qa>simi>, Muhammad Jama>l al-Di>n. 2005. Mah{a>sin al-Ta’wi>l. cetakan pertama. Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr Quthb, Sayyid. 2004. Fi Zhilalil Quran, cetakan ketiga. Jakarta: Gema Insani RI, Kementrian Agama. 2011. Alquran dan Tafsirnya. Jakarta: Widya Cahaya Rosyada, Dede. 1995. Hukum Islam dan Pranata Sosial. cetakan ketiga. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada S{abuny, Muhammad Ali. 1999. Rawai’ Al-Bayan, juz 1. Beirut Lebanon: DKI Shiddieqy, Hasbi. 1978. Pengantar Ilmu Fiqih. cetakan pertama. Jakarta: Bulan Bintang Shihab, M. Quraish. 2007. Tafsir Almisbah. cetakan X. Tangerang: Lentera Hati Shofwan,



M. Sholihuddin. 2007.



Pengantar Memahami Nadzom Jauharul



Maknun, cetakan pertama. Jombang: Darul Hikmah Shomad, Abd. 2012. Hukum Islam. cetakan kedua. Jakarta: Kencana Preneda Media group Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. 1994. Fath Al-Qadi>r. juz 1. Beirut, Lebanon: DKI



65



T{abarsi, Abu `Ali> al-Fad{l bin al-H{asa>n . 1994. Majma` al-Baya>n fi> Tafsi>r alQur`a>n. juz 1. Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr Wahidy, Abi Al-Hasan Ali bin Ahmad. Tt. Lebanon: DKI



Asbab Nuzul Al-Quran. Beirut,