TB Kongenital - Dadi - CSS [PDF]

  • Author / Uploaded
  • dinda
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT TUBERKULOSIS KONGENITAL



Disusun oleh: Dadi Satrio Wibisono Rachmat NPM 1102016180



Preseptor: dr. Gustomo Panantro, Sp.A



KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RSUD DR. SLAMET GARUT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI PERIODE 11 OKTOBER – 20 NOVEMBER 2021



DEFINISI Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular tropis yang dikenal dan saat ini merupakan penyebab kematian nomor satu di antara kondisi infeksi. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Pada umumnya anak yang terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis tidak menunjukkan penyakit tuberkulosis (TB). Satu-satunya bukti infeksi adalah uji tuberkulin (Mantoux) positif. Risiko terinfeksi dengan kuman TB meningkat bila anak tersebut tinggal serumah dengan pasien TB paru BTA positif. ETIOLOGI Penyebab TB adalah kompleks Mycobacterium tuberculosis. Kompleks ini termasuk M. tuberculosis dan M. africanum terutama berasal dari manusia dan M. bovis yang berasal dari sapi (Chin, 2009). Diantara ketiganya yang paling sering menyebabkan TB pada manusia adalah M. tuberculosis (Notoadmodjo, 2007). Bakteri ini berbentuk batang, berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron dan tahan terhadap asam pada pewarnaan sehingga disebut Basil Tahan Asam (BTA). Bakteri ini cepat mati bila terkena sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap, kering dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant atau tertidur lama selama beberapa tahun. Bakteri TB mati pada pemanasan 100⁰C selama 5-10 menit atau pemanasan 60⁰ selama 30 menit dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara di tempat lembab dan gelap (bisa berbulan-bulan), namun tidak tahan terhadap sinar atau aliran udara. Data pada tahun 1993 menunjukkan bahwa untuk mendapatkan 90% udara bersih dari kontaminasi bakteri memerlukan 40x pertukanaran udara per jam. EPIDEMIOLOGI Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Penelitian WHO yang baru-baru ini diterbitkan pada tahun 2014 menyatakan bahwa pada tahun 2013 diperkirakan ada 3,3 juta kasus di antara wanita, dengan 510.000 kematian TB pada kehamilan. Pada 2 penelitian yang dilakukan di UK, 53% dan 77% dari wanita hamil dilaporkan mengalami TB ekstrapulmoner. Tuberkulosis pada kehamilan merupakan masalah tersendiri karena selain mengenai ibu, juga dapat mengenai bayi yang dikandung atau dilahirkannya. Keterlambatan diagnosis TB pada neonatus sering terjadi karena keterlambatan diagnosis TB pada ibu. Oleh karena itu riwayat perjalanan penyakit ibu hamil sangat penting diketahui untuk mencegah keterlambatan diagnosis. Sebagian besar TB pada kehamilan sering kali tanpa gejala yang khas, maka sekitar 30% ibu terdiagnosis TB setelah bayi yang dilahirkan di ketahui menderita TB kongenital. Seperti dikutip dari Suwondo dkk, Good menyebutkan gejala klinis TB pada kehamilan berupa batuk (74%), penurunan berat badan (41%), demam (30%), nafsu makan menurun (30%) dan hemoptisis (19%). Infeksi TB perinatal dapat terjadi secara kongenital (pranatal), pada saat persalinan (natal) maupun transmisi pasca natal. Pada tipe kongenital, transmisi terjadi karena penyebaran hematogen melalui vena umbilikalis atau aspirasi cairan amnion yang terinfeksi. Pada tipe natal transmisi dari ibu selama proses persalinan dan pasca natal oleh ibu atau orang



dewasa lain secara infeksi droplet. Untuk menegakkan diagnosis TB kongenital, bayi harus terbukti diagnosis TB dan memenuhi salah satu dari kriteria Beitzke yang telah di revisi yaitu (1) lesi pada minggu pertama kehidupan, (2) komplek primer hati atau granuloma hati kaseosa, (3) infeksi TB pada plasenta atau pada infeksi traktus genitalia, (4) kemungkinan transmisi pasca natal telah disingkirkan. Kejadian TB kongenital sangat jarang. Di seluruh dunia sejak tahun 1935 tercatat 329 kasus TB kongenital. Abughali dkk8 melaporkan dari tahun 1980 sampai 1994 hanya terdapat 58 kasus TB kongenital. di Departemen IKA FKUI RSCM dilaporkan oleh. Rahajoe N, 26 (16,4%) dari 171 kasus TB dengan biakan positif adalah anak di bawah usia 1 tahun dengan usia termuda adalah 4 minggu. Hal ini menunjukkan bahwa sumber penularan yang paling mungkin adalah ibu. Hal yang menyebabkan rendahnya angka kejadian TB kongenital adalah pada Wanita dengan tuberkulosis genitalia biasanya mengalami infertilitas. TB pada orang dewasa umumnya merupakan TB pasca primer yang terlokalisasi di paru, TB primer sistemik jarang terjadi pada orang dewasa. Adanya sawar plasenta yang dapat mencegah masuknya M. tuberculosis ke dalam sirkulasi janin. M.tuberculosis tidak dapat mencapai dan menginfeksi janin. Kemungkinan terdiagnosis sebagai TB kongenital kecil oleh karena umumnya terdiagnosis sebagai penyakit lain. PATOGENESIS Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil ( 6 tahun merujuk pada standar WHO 2005 yaitu grafik iMT/U. c. Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1-2 bulan Pasien dengan jumlah skor 6 (sama atau lebih dari 6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat pengobata dengan obat anti tuberculosis. Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan ke arah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostic lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-scan dan lainnya. DIAGNOSIS BANDING  Pneumonia TB paru merupakan gabungan antara airspace and interstitial lung disease, dimana salah satu manifestasi pada TB primer menunjukkan gambaran pneumonia lobaris. (Herring, 2016) Selain itu, TB juga dapat dijadikan diagnosis banding dari community acquired pneumonia, atau sebagai co-patogen dari community acquired pneumonia. (Jolobe, 2012)







Abses Paru Gambaran kavitasi pada pemeriksaan foto toraks yang sering ditemukan pada TB paru pasca primer dapat menyerupai gambaran kavitasi yang terbentuk akibat kanker bronkogenik dan abses paru. (Herring, 2016)



TATALAKSANA Setelah diagnosis dikonfirmasikan, rekomendasi WHO untuk pengobatan tuberkulosis pada wanita hamil adalah sama seperti untuk wanita yang tidak hamil, bahkan untuk HIV positif menggunakan terapi antiretroviral (ART). Wanita hamil dengan TB aktif biasanya diterapi dengan tidak mempertimbangkan trisemester kehamilan. OAT yang digunakan tidak berbeda dengan wanita yang tidak hamil seperti isoniazid, rifampisin, etambutol juga digunakan secara luas pada wanita hamil. Obat-obat tersebut dapat melalui plasenta dalam dosis rendah dan tidak menimbulkan efek teratogenik pada janin. Streptomisin adalah satu-satunya obat yang telah terbukti memiliki efek ototoksik, yang menyebabkan tuli sensorineural pada bayi, sehingga tidak boleh diberikan pada ibu hamil dengan tuberkulosis. Terdapat satu laporan ethionamide ditemukan menyebabkan efek teratogenik, sedangkan ethambutol dan rifampisin juga telah dihubungkan dengan peningkatan insiden keterlambatan pertumbuhan janin, kelahiran prematur dan malformasi. Efek yang merugikan dari isoniazid yaitu terdapat sedikit peningkatan resiko pada sistem saraf pusat, tetapi tidak meningkatkan resiko kelainan kongenital atau abortus. Pada pemberian isoniazid sebaiknya diberikan piridoksin 50 mg/hari untuk mencegah terjadinya neuropati perifer. Pemeriksaan fungsi hati sebaiknya dilakukan saat pemberian isonizid dan rifampisin. Pemberian vitamin K dilakukan pada akhir trismester ketiga kehamilan dan bayi yang baru lahir. Walaupun beberapa penelitian tidak menunjukkan efek teratogenik dari isoniazid pada wanita post partum, tetapi beberapa rekomendasi menunda pengobatan ini sampai persalinan bahkan 3-6 bulan post partum. Pada kasus multidrug resistant (MDR) digunakan pirazinamid, akan tetapi pirazinamid tidak digunakan secara rutin pada wanita hamil karena terdapat efek teratogenik. Paraamino salisilat (PAS) telah digunakan secara aman pada wanita hamil akan tetapi obat tersebut ditoleransi tubuh secara buruk. Pengobatan secara obstetri juga perlu diperhatikan seperti pemeriksaan antenatal yang teratur, istirahat cukup, makanan bergizi, pengobatan anemia, dan dukungan keluarga yang optimal. Berikan isolasi yang memadai selama persalinan dan pasca persalinan. Bayi harus diperiksa untuk mengetahui adanya tuberkulosis. Walaupun infeksi transplasental jarang, bayi memiliki resiko terinfeksi melalui kontak dengan ibu dengan tuberkulosis aktif. Seksio sesaria tidak dilakukan atas indikasi tuberkulosis paru, kecuali apabila ada indikasi obstetrik. Tuberkulosis paru yang tidak diobati atau yang terlambat diobati dapat menyebabkan konsekuensi berat pada ibu dan anak. Wanita hamil dengan TB paru yang dirawat dengan tepat dapat mencegah terjadinya peningkatan komplikasi maternal atau neonatal. Sementara yang tidak diberikan pengobatan, TB dapat meningkatkan morbiditas neonatal, seperti berat lahir rendah, prematuritas, dan juga dapat meningkatkan empat kali lipat morbiditas ibu, seperti aborsi, perdarahan post partum, kesulitan persalinan, dan pre-eklampsia. Perawatan pranatal dapat menjadi peluang yang sangat baik untuk skrining, mendiagnosis TB



dan menindaklanjuti perawatan TB, terutama untuk wanita yang memiliki akses terbatas ke layanan kesehatan, seperti perempuan dengan status sosial dan ekonomi yang terbatas. Bila pada neonatus terdapat gejala TB maka diagnosisnya adalah TB perinatal dan terapi TB langsung diberikan. Terapi yang dianjurkan adalah isoniasid dosis 5-10 mg/kgBB/hari, rifampisin dosis 10-15 mg/kgBB/hari dan pirazinamid dosis 25-35 mg/kgBB/hari.5,9 Lakukan pemeriksaan bilas lambung sebelum pemberian terapi. Setelah terapi TB selama 1 bulan (usia 1 bulan) lakukan pemeriksaan uji tuberkulin. Namun pada neonatus dengan gejala klinis TB dan didukung oleh satu atau lebih pemeriksaan penunjang (foto toraks, patologi anatomi plasenta dan mikrobiologis darah v.umbilikalis) maka dapat langsung diobati selama 6 bulan tanpa pemerikaan uji tuberkulin. Apabila pada usia 1 bulan uji tuberkulin positif maka diagnosis TB ditegakkan dan diberikan terapi TB selama 6 bulan disertai pemeriksaan foto toraks dan bilas lambung. Namun bila hasil uji tuberculin negatif, masih mungkin TB karena faktor imunitas yang imatur pada neonatus.9 Dalam hal ini terapi TB diteruskan disertai pemeriksaan tuberkulin pada usia 3 bulan. Apabila hasil uji tuberkulin pada usia 3 bulan positif maka diagnosis TB ditegakkan dan diberikan terapi TB selama 6 bulan. Namun apabila hasilnya negatif maka diagnosis bukan TB dan terapi TB dihentikan. Selain mendapat terapi TB, pemberian nutrisi harus adekuat. Bayi dipisahkan selama minimal 2 minggu pemberian terapi TB pada ibu, namun ASI tetap dapat diberikan. Kandungan OAT di dalam ASI pada ibu yang mendapat terapi TB hanya dalam jumlah yang kecil dan tidak berpotensi menimbulkan infeksi pada bayi. Selain itu pemantauan peningkatan berat badan, tanda vital, dan keluhan lain harus dilakukan dengan ketat. Apabila neonatus lahir dari ibu TB aktif namun pemeriksaan klinis dan penunjang dalam batas normal, maka neonatus tetap berpotensi untuk terinfeksi M.tuberculosis. Tata laksana awal adalah pemberian profilaksis primer INH dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari selama 1 bulan kemudian dilakukan uji tuberkulin untuk mengetahui apakah pasien telah terinfeksi. Apabila setelah 1 bulan uji tuberkulin positif maka diagnosis TB dapat ditegakkan dan diberikan terapi TB selama 6 bulan disertai pemeriksaan foto toraks dan bilas lambung. Namun bila setelah 1 bulan uji tuberkulin negative maka pemberian profilaksis primer INH diteruskan sampai 3 bulan kemudian dilakukan uji tuberculin untuk mengetahui apakah pasien telah terinfeksi. Bila setelah 3 bulan uji tuberkulin tetap negatif dan telah dibuktikan tidak ada sumber penularan lagi maka profilaksis primer INH dapat dihentikan. Namun bila positif, harus dinilai klinis dan pemeriksaan penunjang. Bila terdapat kelainan maka didiagnosis TB dan diberikan terapi TB selama 6 bulan. Apabila pemeriksaan tidak mendukung TB, maka diberikan profilaksis sekunder selama 6-12 bulan. Pemberian BCG hanya dapat dilakukan apabila bayi belum terinfeksi M.tuberculosis yaitu pada saat 3 bulan dan uji tuberkulin negatif. Tata laksana terhadap lingkungan meliputi lingkungan keluarga. Harus dicari adanya sumber penularan atau keluarga lain yang tertular melalui pemeriksaan klinis, laboratorium maupun radiologis.



Obat Antituberkulosis selama Kehamilan OAT yang diberikan dibagi atas 2 golongan yaitu obat lini pertama (first line) dan obat lini kedua (second line). Yang merupakan OAT lini pertama adalah Rifampisin, Isoniazid (INH), Etambutol (EMB), dan Pirazinamid (PZA), sedangkan yang termasuk OAT lini kedua adalah Streptomisin, Kanamisin, Etionamid, Kapreomisin, Fluoroquinolones, Amoxycillin / Clavulanic Acid, Para-Aminosalicylic Acid (PAS), Amikacin, Ethionamide and Prothionamide, serta Cycloserine. Rifampisin merupakan obat lini pertama yang terutama bekerja pada sel yang sedang tumbuh, tetapi juga memperlihatkan efek pada sel yang sedang tidak aktif (resting cell). Bekerja dengan menghambat sintesa RNA M. tuberculosis sehingga menekan proses awal pembentukan rantai dalam sintesa RNA. Bekerja di intra dan ekstra sel. Pada konsentrasi 0,005 -0,2 mg/l akan menghambat pertumbuhan M. tuberculosis secara in vitro. Obat ini juga menghambat beberapa Mycobacterium atipikal, bakteri gram negatif dan gram positif. Secara in vitro, rifampisin dapat meningkatkan aktivitas streptomisin dan isoniazid terhadap M. tuberculosis dan juga mempunyai mekanisme post antibiotic effect terhadap bakteri gram negatif.16 Diabsorpsi dengan baik melalui saluran cerna, absorpsi rifampisin dapat berkurang bila diberikan bersama makanan. Absorpsi rifampisin akan berkurang 30% jika diberikan bersama dengan antasida. Pemberian antasida akan meningkatkan PH lambung dan akan mengurangi proses dissolution rifampisin sehingga akan menghambat absorpsi. Rifampisin dengan mudah didistribusikan ke sebagian besar organ, jaringan, tulang, cairan serebrospinal dan cairan tubuh lainnya termasuk eksudat serta kavitas tuberkulosis paru. Obat ini menimbulkan warna orange sampai merah bata pada urin, saliva, feses, sputum, air mata dan keringat. Volume distribusi 1 L/kg BB, ikatan protein plasma 60-80%, waktu paruh 1-6 jam dan akan memanjang bila terdapat gangguan fungsi hepar. Metabolisme terjadi melalui deasetilasi dan hidrolisis, sedangkan ekskresinya terutama melalui empedu. Dapat melewati barier plasenta dan dapat dijumpai konsentrasi rendah di ASI. Rifampisin melewati plasenta dengan kadar yang sama dengan ibu. Pada akhir trismester ke-3 rasio konsentrasi pada tali pusat dan ibu besarnya 0,12 - 0,33. Efek samping ringan dapat timbul pada pemberian rifampisin antara lain: sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan, sindrom flu berupa demam, menggigil, nyeri tulang dan sindrom perut berupa nyeri perut, mual, muntah dan kadang-kadang diare. Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi adalah sindrom respirasi, purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Efek samping ringan sering terjadi pada saat pemberian berkala dan dapat sembuh sendiri atau hanya memerlukan pengobatan simtomatik. Efek samping pada bayi baru lahir juga didapatkan hemorrhagic disease of the newborn sehingga dianjurkan pemberian profilaksis vitamin K. Isoniazid (INH) menghambat biosintesis asam mikolat yang merupakan unsur penting dinding sel Mycobacterium. Menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan jumlah lemak yang terekstraksi oleh metanol dari Mycobacterium. Hanya kuman yang peka yang menyerap obat ke dalam selnya dan proses ini merupakan proses aktif. Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan.



INH mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kelarutan INH dalam lemak tinggi, berat molekul rendah dan melalui plasenta serta mudah mencapai janin dengan kadar hampir sama dengan ibu. Pada penelitian, setelah pemberian INH dosis 100 mg jangka pendek sebelum kelahiran didapatkan rasio konsentrasi tali pusat dan ibu sebesar 0,73. Kadar puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral. Di hati, INH terutama mengalami asetilasi, dan pada manusia kecepatan metabolisme ini dipengaruhi oleh faktor genetik (asetilator cepat/lambat) yang secara bermakna mempengaruhi kadar obat dalam plasma dan masa paruhnya. Waktu paruh berkisar 1-3 jam. Mudah berdifusi ke dalam sel dan semua cairan tubuh. Antara 75-95%diekskresikan melalui urin dalam waktu 24 jam dan seluruhnya dalam bentuk metabolit. Isoniazid tidak bersifat teratogenik janin, meskipun konsentrasi yang melewati plasenta cukup besar. Efek samping berat berupa hepatitis dapat timbul pada kurang lebih 0,5 % penderita. Bila terjadi ikterus, hentikan pengobatan sampai ikterus hilang. Efek samping yang ringan dapat berupa: tanda keracunan pada saraf tepi, kesemutan, nyeri otot atau gangguan kesadaran. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin (dengan dosis 5-10 mg per hari atau dengan vitamin B kompleks). Efek samping pada bayi baru lahir dilaporkan adanya perdarahan (hemmorrhagic disease of the newborn) sehingga dianjurkan pemberian profilaksis vitamin K sebelum kelahiran. Etambutol (EMB) merupakan inhibitor arabinosyl transferases (I,II,III). Arabinosyl transferase terlibat dalam reaksi polimerisasi arabinoglycan, yang merupakan unsur esensial dari dinding sel Mycobacterium. Afinitas terhadap arabinosyl transferase III lebih kuat dibandingkan lainnya. Arabinosyl transferase digunakan untuk menjadikan EMB-CAB operon. Hal ini menyebabkan metabolisme sel terhambat dan sel mati. Gangguan sintesis arabinoglycan mengubah barier sel, lipofilik meningkatkan aktivitas obat yang bersifat seperti rifampisin dan ofloksasin. Dinding sel Mycobacterium spp sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup organisme di penjamu. Dinding sel Mycobacterium terdiri dari mycolic acid, arabinoglycan dan peptidoglycan. Dinding sel merupakan lapisan lipid bilayer dan asimetris.19,31 Hampir semua galur M. tuberculosis dan M. kansasii sensitif terhadap etambutol. Etambutol tidak efektif untuk kuman lain. Etambutol pada konsentrasi 1-5 ìg/ml akan menghambat pertumbuhan M.tuberculosis secara in vitro. Etambutol ini tetap menekan pertumbuhan M.tuberculosis yang telah resisten terhadap isoniazid dan streptomisin. Etambutol dosis 15mg/kg BB ini hanya aktif terhadap sel yang bertumbuh dengan khasiat tuberkulostatik, sedangkan pada dosis 25 mg/kg BB bersifat bakterisidal. Penggunaan etambutol tunggal, ditemukan sputum basil tahan asam (BTA) negatif dalam 3 bulan, tetapi ditemukan resistensi 35% dari kasus dan frekuensi relaps lebih tinggi. Efektivitas pada hewan coba sama dengan isoniazid. Invivo, sukar menciptakan resistensi terhadap etambutol dan timbulnya lambat. Resistensi bakteri terhadap etambutol terjadi akibat mutasi embB, embA dan embC, kode untuk arabinosyl transferase. Resistensi ini timbul bila etambutol diberikan tunggal. Pada pemberian oral sekitar 75-80% etambutol diserap di saluran cerna. Makanan tidak mempengaruhi absorpsi obat. Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 2-4 jam setelah pemberian. Dosis tunggal 25mg/kg BB menghasilkan kadar plasma sekitar 2-5



ìg/ml dalam 2-4 jam, kurang dari 1 ìg dalam 24 jam. Masa paruh eliminasinya 3-4 jam dan dapat memanjang sampai 8 jam pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Pirazinamid (PZA) adalah suatu prodruk, yang memerlukan konversi enzim pirazinamidase (dihasilkan oleh mikobakterial tertentu) menjadi bentuk aktif asam pirazinoat, masuk ke dalam sitoplasma M. tuberculosis secara difusi pasif, mengalami konversi oleh enzim nikotinamidase/pirazinamidase menjadi bentuk aktif asam pirazinoat (POA). PZA lebih aktif terhadap basil tuberkel semidorman karena sistem pompa efluks yang lemah dibandingkan dengan basil sedang bertumbuh cepat, di mana pompa efluks lebih aktif. Peradangan akut akan menurunkan pH akibat produksi asam laktat oleh sel-sel inflamasi, hal ini menguntungkan aktivitas PZA. Berkurangnya peradangan akan meningkatkan pH lingkungan basil tuberkel yang berakibat pada peningkatan konsentrasi hambat minimal PZA. Kuman dalam keadaan dorman tidak dapat dipengaruhi karena pada saat itu ambilan PZA tidak terjadi. Efek bakteriostatik atau bakterisidal terhadap M.tuberculosis tergantung dosis (konsentrasi PZA), serta lamanya paparan terhadap makrofag yang terinfeksi M. tuberculosis. Penggunaan PZA pada wanita hamil telah direkomendasikan oleh International Union Against Tuberculosis and Lung Disease secara rutin, namun di Amerika dilarang karena tidak adanya data yang adekuat mengenai efek teratogeniknya. Efek samping utama dari penggunaan obat ini adalah hepatitis, juga dapat terjadi nyeri sendi dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis gout yang kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Pemberian intermiten dapat mengurangi kejadian tersebut. Efek samping lain adalah anoreksia, mual, muntah, disuri, demam dan reaksi hipersensitivitas. Streptomisin melewati plasenta dengan cepat sampai ke sirkulasi janin dan cairan amnion serta mencapai kadar kurang dari 50% dibandingkan kadar ibu. Efek samping yang dilaporkan dari berbagai studi pada hewan yaitu ototoksisiti. Tuli kongenital telah dilaporkan terjadi pada bayi yang terpajan selama dalam kandungan, walaupun tidak ada hubungan yang pasti tentang mekanisme ototoksisiti dengan pajanan selama kehamilan. Hasil penelitian menggunakan audiogram menunjukkan 50 anak tidak mengalami gangguan, 2 dari 33 anak dengan kehilangan pendengaran, sampai 4 dari 13 anak dengan tes kalorifik tidak normal. Hal ini merupakan kejadian ototoksisiti yang berasal dari pajanan selama dalam kandungan. Penelitian lain menyimpulkan streptomisin dapat menyebabkan kerusakan sistem vestibular dan kerusakan nervus kranialis ke 8. Pada negara berkembang dianjurkan tidak menggunakan streptomisin selama kehamilan. Dosis streptomisin 0,75 - 1 g/hari selama 14-21 hari selanjutnya 1g 3 kali seminggu secara intramuscular. Kanamisin merupakan obat lini kedua dan merupakan variasi dari aminoglikosida, mempunyai efek samping yang sama dengan streptomisin dan sebaiknya tidak digunakan pada kehamilan kecuali pada MDR. Dosis yang diberikan 15 mg/kg, BB diberikan 3-5 kali seminggu intramuscular. Etionamid mempunyai penetrasi yang baik ke semua jaringan termasuk cairan serebrospinal Fluoroquinolones (Ciprofloxacin, Gatifloxacin, Moxifloxicin and Norfloxacin) tidak terbukti meningkatkan kejadian kelahiran abnormal dalam penggunaannya. Amoxycillin/clavulanic acid biasa dipakai pada kehamilan trimester akhir sebagai profilaksis



pada wanita dengan prolonged rupture of membranes tanpa adanya laporan yang merugikan, akan tetapi tidak banyak laporan pada penggunaan trimester pertama kehamilan. Amoxycillin/clavulanic acid memiliki peran kecil pada pengobatan wanita hamil dengan MDRTB dan tidak cukup tersedia alternatifnya. Etionamid dinyatakan potensial bersifat teratogenik dan sebaiknya dihindari penggunaan pada kehamilan kecuali jika dibutuhkan pada kasus MDR-TB. Efek samping lainnya seperti hepatitis, neuritis optic dan neuritis perifer. Dosis 0,5 - 1 gram/hari dalam dosis terbagi. Kapreomisin merupakan obat lini kedua yang diberikan secara intramuskular. Kapreomisin secara umum merupakan kontraindikasi untuk ibu hamil, hanya digunakan dengan pertimbangan benar-benar terhadap risiko dan kegunaannya. Biasanya obat ini digunakan untuk MDR-TB 3 kali seminggu. Obat ini dilaporkan bersifat teratogenik pada percobaan menggunakan tikus yang hamil. Cycloserine juga merupakan obat lini kedua untuk TBC kehamilan. Obat ini tidak terbukti bersifat teratogenik pada percobaan menggunakan tikus, akan tetapi tidak cukup bukti dari studi pada manusia utnutk konfirmasi keamanan obat ini untuk wanita hamil. Oleh karena itu harus benar-benar dipertimbangkan penggunaannya. Para-Aminosalicylic Acid (PAS) dilaporkan belum cukup bukti keamanannya pada pemakaian untuk kehamilan baik studi pada manusia maupun pada binatang. Hanya pernah ada satu studi dari 123 pasien yang mendapatkan PAS, melaporkan adanya angka kejadian abnormalitas pada anggota tubuh dan telinga yang lebih tinggi dibandingkan OAT lain. Oleh karena itu harus benar-benar dipertimbangkan penggunaannya. Amikacin adalah obat yang tergolong aminoglycosides, yang mana semua obat golongan ini berpotensi menimbulkan nephrotoxisitas dan ototoxisitas pada fetus dan penggunaannya tidak direkomendasikan pada wanita hamil. Oleh karena itu penggunaan obat ini pada kehamilan seharusnya merupakan pilihan akhir setelah benar-benar mempertimbangkan untung ruginya. Komplikasi • Sebuah penelitian di Norwegia mengungkapkan insiden yang lebih tinggi dari preeklampsia, perdarahan postpartum dan persalinan sulit pada ibu dengan TB. • Penelitian selanjutnya mengungkapkan bahwa TB paru, jika dikaitkan dengan diagnosis yang terlambat, meningkatkan morbiditas obstetrik dalam bentuk preeklamsia atau gagal napas akut dan persalinan prematur. • TB ekstra paru tidak berpengaruh langsung terhadap perjalanan kehamilan, preeklamsia atau cara persalinan tetapi berhubungan dengan morbiditas ibu berupa angka rawat inap berulang dan kecacatan serta peningkatan mortalitas pada kasus TB susunan saraf pusat dan penyakit lainnya sebagai komplikasi. Hasil perinatal tergantung pada apakah TB paru atau ekstra paru dan juga apakah didiagnosis pada akhir kehamilan. • Dalam sebuah penelitian terhadap wanita India dengan penyakit paru yang dirawat selama 7-9 bulan dalam kehamilan, kematian perinatal enam kali lebih tinggi. Insiden prematuritas, kurang masa kehamilan dan berat badan lahir rendah dua kali lipat. Prognosis



Prognosis TB kongenital biasanya lebih buruk dari TB didapat pasca natal. Komplikasi TB pada neonatus adalah koagulasi intravascular diseminata, meningitis, gagal napas, perforasi usus dan syok sepsis. Hampir 50% dari kasus TB kongenital dilaporkan meninggal, meskipun dengan penanganan yang intensif. Hal ini disebabkan karena keterlambatan diagnosis dan komplikasi. Oleh karena itu deteksi dini ibu dan neonatus dengan TB serta penanganan yang baik pada neonatus sangat penting untuk memperkecil angka kematian TB pada neonatus.



DAFTAR PUSTAKA











              



Sousa GB, Silva JC, Queiroz TV, Bravo LG, Brito GC, Pereira A, et al. Clinical and epidemiological features of tuberculosis in children and adolescents. Rev Bras Enferm;72(5);2019. Glaziou P, Floyd K, Raviglione MC. Global Epidemiology of Tuberculosis. Semin Respir Crit Care Med.2018;39:271-85 WHO. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. 2009. Elliom T, et al. Mikrobiologi Kedokteran dan Infeksi. Jakarta: EGC, 2013. 75 p. Dharmawan BS, et al. Diagnosis dan Tatalaksana Neonatus dari Ibu Hamil TB Aktif. Saripediatri. 2004: 6(2). pp 85-90 Yusuf A, Indah MS. Penatalaksanaan Kehamilan Dengan TB Paru. J Agromedicine Unila. 2018 : 5 (2). pp 622-626 Cunningham et al. Penyakit Paru. Dalam: Obstetri Williams. Jakarta: EGC, 2000. 13871389 Bahar A, Amin Z. Tuberkulosis paru. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2007. 988-993 Loto OM, Awowole I. Tuberculosis in Pregnancy: A Review. Journal of Pregnancy. 2012;2012:1–7. Kemenkes RI. Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB anak. 2016 World Health Organization. Guidance for national tuberculosis programmes on the management of tuberculosis in children. 2nd ed. 2014 Thomas TA. Tuberculosis in children. Pediatr Clin North Am. 2017 Cruz AT, Starke JR. Pediatric tuberculosis. Pediatrics in review. 2010 Jolobe, O. M. P., 2012. Correspondence: Pulmonary Tuberculosis in The Differential Diagnosis of Community Acquired Pneumonia. European Respiratory Journal, 40(1). Herring, W., 2016. Learning Radiology: Recognizing The Basics. 3rd penyunt. Philadelphia: Elsevier Inc Pathways to Better Diagnostics for Tuberculosis; A Blueprint for Development of TB Diagnostics, World Health Organization, Geneva, Switzerland, 2009 Maherru A, Gajjar K, Eddy J. Review Diagnosis and Manajemenr in Tuberculosis Pregnancy. The Obstetian and Gynaecologist. 2010:12.pp 163-171 Harries AD, Jahn A, Smith AB, Gadabu J, GP Douglas, Khader A, et al. Cohort analysis of antenatal care and delivery outcomes in pregnancy: a basis for improving maternal health. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease Health solutions for the poor. 2014; 4(2):75–78.