TB Paru Dengan Efusi Pleura [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS TB PARU AKTIF



Disusun oleh : Audina Andhini



2012730015



Pramesti Widya Kirana 2012730075



Pembimbing : dr. Ratih Ismiranti, Sp.Rad



KEPANITRAAN KLINIK STASE RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 2016



KATA PENGANTAR



Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan pembuatan laporan kasus yang berjudul “TB Paru Aktif”. Laporan kasus ini disusun dalam rangka meningkatkan pengetahuan sekaligus memenuhi tugas kepaniteraan klinik ilmu Radiologi di Rumah Sakit Umum Daerah Sekarwangi. Semoga dengan adanya laporan kasus ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dan berguna bagi penulis maupun teman sejawat lainnya. Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat membutuhkan saran dan kritik untuk pembuatan laporan kasus yang lebih baik di waktu yang akan datang.



Jakarta, 26 Januari 2017



Penulis



I Pendahuluan Tuberkulosis adalah penyakit menular granulomatosa kronik yang telah dikenal sejal berabad abad yang lalu dan paling sering disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberkulosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, 85% dari seluruh kasus TB adalah TB paru, sisanya (15%) menyerang organ tubuh lain muali dari kulit, tulang, organ organ dalam seperti ginjal, usus, otak dan lainnya. World Health Organization (WHO) memperkenalkan strategi Direct Observation Theraphy Short course (DOTS), pada tahun 1993 untuk mengontrol penyakit TB yang biasanya terjadi pada sputum BTA (+). Di Indonesia, strategi DOTS diperkenalkan sejak tahun 1995 dan termasuk dalam program Departemen Kesehatan. Diagnosis TB ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan



penunjang



yaitu



pemeriksaan



radiologisdan



pemeriksaan



bakteriologis. Hanya 5% penderita TB fase awal yang memberikan gejala klinis, sehingga sulit untuk mendapatkan sputum untuk pemeriksaan bakteriologis. Untuk dapat melakukan pemeriksaan sputum BTA dibawah mikroskop, dibutuhkan kuman baru yang jumlahnya paling sedikit 5000 kuman dalam satu mililiter dahak. Sebuah penelitian di San Fransisco menyatakan bahwa 17% penderita TB memiliki hasil sputum BTA (-). Oleh karena itu apabila diagnosis TB paru ditegakkan hanya semata mata berdasarkan pemeriksaan sputum BTA (+), akan banyak penderita TB paru yang tidak terdiagnosis dan menambah jumlah TB yang menular, karena TB paru dengan sputum BTA yang negatif bisa juga menjadi sumber penularan, apalagi jika disertai gejala klinis batuk dan kavitas pada foto toraks. Foto toraks merupakan satu satunya modalitas imeijing yang sederhana, murah, terpilih, aman dan berperan penting dalam mendeteksi morfologi lesi di paru terutama pada pre-clinical stage. Disamping itu luasnya lesi, aktivitas lesi, keterlibatan pleura serta komplikasi seperti jamur dan bronkiektasis dapat dinilai dengan foto toraks . Dalam mengontrol terapi TB, foto toraks biasanya dilakukan pada 2 bukan dan 6 bulan setelah terapi. Pada TB paru BTA (-), diagnosis dan kontrol terapi TB berdasarkan gejala klinis dan temuan foto toraks.



II Kasus Pasien 1



Hasil Anamnesis, Riwayat Penyakit dan Pemeriksaan Fisik a Identitas  Nama     



Jenis Kelamin Umur Suku Alamat Pekerjaan



: Tn. W : Laki laki : 23 tahun : Jawa : Cibadak : Karyawan swasta



b Anamnesis 



Keluhan Utama



:



Sesak napas 



Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke poli penyakit dalam dengan keluhan sesak napas sejak 1 bulan yang lalu. Sesak napas disertai nyeri dada dan batuk kering sejak 1 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluh demam sejak 2 minggu yang lalu. Demam yang dirasakan naik turun. Nafsu makan pasien berkurang dan berat badan pun berkurang 1 bulan terakhir. Pasien tidak mengeluh keringan di malam hari.







Riwayat Penyakit Dahulu



:



Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama, Hipertensi dan DM disangkal 



Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada di keluarga yang mengalami keluhan yang sama







Riwayat Pengobatan



:



Sebelumnya pasien pernah berobat ke klinik dan diberikan paracetamol dan antitusif (pasien lupa nama obatnya), namuan tidak ada perbaikan. 



Riwayat alergi



:



Pasien tidak memiliki alergi terhadap apapun







R.psikososial : Pasien jarang olahraga, merokok disangkal, tetapi dilingkungan rumah ada yang merokok. Penggunaan alcohol disangkal pasien.



c Pemeriksaan fisik 



Keadaan umum



: tampak sakit ringan







Kesadaran



: compos mentis







TTV : o



Nadi



: 80x/menit, reguler isi cukup



o



TD



: 110/80 mmHg



o



Suhu



: 36,7 °C



o



Frek. Nafas



: 19x/menit regular



  



Kepala Mata Telinga







(-/-); nyeri tekan tragus (-/-) Hidung : deformitas (-/-); septum nasi deviasi (-/-), tumor (-/-); konka edem



: Normochepal (+) : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-). : daun telinga normotia (+/+); liang telinga hiperemis (-/-), serumen



(+/+), hiperemis (+/+), sekret (+/+) kental, bening; krepitasi (-/-); nyeri tekan dahi (+/+), 



pangkal hidung (+/+), pipi (+/+). Mulut & gigi : Mukosa bibir lembab (+); mukosa mulut dan lidah basah (+); gigi



  



dan gusi berdarah (-), berlubang (-); faring hiperemis (-), pembesaran tonsil (T1/T1). Tenggorokan : Leher : Pembersaran KGB cervical (-/-) Thorax :



-



Pulmo : o Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris (+/+), penggunaan otot bantu napas (+/+), retraksi dinding dada (-/-). o Palpasi : vocal fremitus teraba dikedua lapang paru (+/+) o Perkusi : Sonor (+/+), redup pada hemithoraks sinistra ICS ke 6 (-/+) o Auskultasi : Vesikuler (-/-), wheezing (-/-), ronkhi (+/+), plural friction rub (-/-). -



Cor :



o Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat. o Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS 6 line midcavilularis hemithorax sinistra. o Perkusi : Batas jantung kanan pada ICS 5 linea parasternalis hemithoraks dekstra, batas jantung kiri pada ICS 6 line midcavilularis hemithorax sinistra. o Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 murni regular (+), gallop (-), murmur (-).



-



Abdomen : o Inspeksi : Datar (+), distensi (-), massa (-), asites (-). o Auskultasi : Bising usus (+), 9 kali/menit. o Palpasi: Supel (+), nyeri tekan (-), turgor kulit kembali cepat (+), asites(-). o Perkusi : Timpani pada 4 kuadran abdomen (+).



-



Ekstremitas : Superior : Akral hangat (+/+), CRT < 2 detik, sianosis (-/-). Inferior : Akral hangat (+/+), CRT < 2 detik. Sianosis (-/-).



2



Hasil Pemeriksaan Penunjang



 COR dalam batas normal  Pulmo tampak perselubungan parakardial kanan, parahiler kanan dan corakan kasar parahiler kiri. Perselubungan homogeny kedua hemithoraks bawah dengan badan cairan  Kedua sinus berselubung Kesan



3



: TB Paru aktif dengan efusi pleura bilateral.



Diagnosa Banding Dan Diagnosa Kerja  TB paru aktif dengan efusi pleura



4



Rencana Penatalaksanaan    



Bisoprolol 2 x 1 Paracetamol 3 x 500 mg Cefixim 2 x 200 mg Expectoran syr 2 x 1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Tuberkulosis adalah penyakit menular granulomatosa kronik yang telah dikenal sejal berabad abad yang lalu dan paling sering disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberkulosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, 85% dari seluruh kasus TB adalah TB paru, sisanya (15%) menyerang organ tubuh lain muali dari kulit, tulang, organ organ dalam seperti ginjal, usus, otak dan lainnya. World Health Organization (WHO) memperkenalkan strategi Direct Observation Theraphy Short course (DOTS), pada tahun 1993 untuk mengontrol penyakit TB yang biasanya terjadi pada sputum BTA (+). Di Indonesia, strategi DOTS diperkenalkan sejak tahun 1995 dan termasuk dalam program Departemen Kesehatan. Diagnosis TB ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan radiologisdan pemeriksaan bakteriologis. Hanya 5% penderita TB fase awal yang memberikan gejala klinis, sehingga sulit untuk mendapatkan sputum untuk pemeriksaan bakteriologis. Untuk dapat melakukan pemeriksaan sputum BTA dibawah mikroskop, dibutuhkan kuman baru yang jumlahnya paling sedikit 5000 kuman dalam satu mililiter dahak. Sebuah penelitian di San Fransisco menyatakan bahwa 17% penderita TB memiliki hasil sputum BTA (-). Oleh karena itu apabila diagnosis TB paru ditegakkan hanya semata mata berdasarkan pemeriksaan sputum BTA (+), akan banyak penderita TB paru yang tidak terdiagnosis dan menambah jumlah TB yang menular, karena TB paru dengan sputum BTA yang negatif bisa juga menjadi sumber penularan, apalagi jika disertai gejala klinis batuk dan kavitas pada foto toraks. Foto toraks merupakan satu satunya modalitas imeijing yang sederhana, murah, terpilih, aman dan berperan penting dalam mendeteksi morfologi lesi di paru terutama pada pre-clinical stage. Disamping itu luasnya lesi, aktivitas lesi, keterlibatan pleura serta komplikasi seperti jamur dan bronkiektasis dapat dinilai dengan foto toraks . Dalam mengontrol terapi TB, foto toraks biasanya dilakukan pada 2 bukan dan 6 bulan setelah terapi. Pada TB paru BTA (-), diagnosis dan kontrol terapi TB berdasarkan gejala klinis dan temuan foto toraks. Misdiagnosis, over diagnosis, dan under diagnosis yang diakibatkan oleh foto toraks yang tidak tepat, berpemgaruh dalam penanganan TB.. Untuk mengatasi hal hal



tersebut, kualitas foto toraks harus diupayakan sebaik mungkin dan faktor faktor yang mempengarui kualitas foto pembacaan toraks harus diperhatikan. Kualitas pembacaan foto toraks dipengaruhi oleh beberpa keadaan seperti kualitas foto, perlengkapan yang digunakan untuk membaca foto, pemgetahuan membaca foto, pengetahuan patogenesis penyakit dan pengalaman spesialis Radiologi. Over diagnosis biasanya terjadi akibat mendiagnosis TB saat melihat sekuele TB seperi fibrosis, kalsifikasi TB, pleural peal yang sebenernya hanya merupakan gejala sisa, sedangkan under diagnosis terjadii akibat tidak terdeteksinya lesi minimal saat membaca foto toraks, dan misdiagnosis terjadi akibat kesalahan diagnosis.



B. Epidemiologi Di negara maju seperti Eropa dan Amerika. TB paru relatif mulai langka, hal ini disebabkan karena tingginya standar hidup masyarakat serta kemajuan dalam cara pengobatan. Menurut data Center for Disease Control (CDC), angka kejadian TB 10 kali lebih tinggi pads orang orang Asia dan Pasifik, 8 kali lebih tinggi pada orang orang kulit hitam non Hispanic, dan 5 kali lebih tinggi pada orang orang Hispanic, Amerika asli, dan Alaska asli, namun ras bukan faktor resiko yang berdiri sendiri untuk terjadinya TB. Resiko TB lebih didasarkan atas sosial, ekonomi, dan tingkat kesehatan individu. Tidak ada perbedaan bermakna antara laki laki dan perempuan dalam angka kejadian TB. Angka kejadian TB meningkat pada usia ekstrem (anak anak dan orangtua) dan kelompok resiko tinggi seperti penderita DM, pecandu alkohol, pecandu obat bius, Immuno compromized conditions seprti HIV, SLE, malnutrisi dalam pengobatan kortikosteroid dan kemoterapi, gelandangan, orang orang dalam penjara, dan sebagainy. Disamping faktor faktor diatas, beberpaka kepustakaan mengatakan bahwa terdapat faktor genetik individu seperti pada ornag orang dengan polymorphism dengan gen NRAMP1 ( Natural Resistance Associated Macrophage Protein 1) yang berpengaruh pada timbuknya TB. Diseluruh dunia sekitar 19-43 % populasi saat ini terinfeksi TB, frekuensi penyakit TB paru di Indinesia masih tinggi dan menduduki urutan ke-3 didunia, di Indonesia, TB paru masih merupakan problem utama baik dalam hal kesakitan maupun kematian. Data TB di Indinesia berdasarkan prevalensi BTA (+) 119/100.000, sedangkan semua kasus TB 275/100.000, prevalesni kultur (+) pada 11 propinsi 186/100.000.



Data



data



diatas



memperlihatkan



diagnosis



TB



berdasarkan



ditemukannya kuman BTA (+) masih rendah.mmasih diperlukan modalitas lain yang bisa membantu mendiagnosis TB di Indonesia. Menurut data dari evidence based guide book, hanya 5% pasien TB paru reaktif yang mempunyai foto toraks normal, sisanya abnormal. Sensitivitas dan spesifisitas foto toraks dalam mendiagnosis TB yaitu 86% dan 83% apanila ditemukan lesi apikal, kavitas, dan gambaran retikulonodular. Menurut beberapa kepustakaan, bila dibaca oleh 2 spesialis radiologi berpengalaman, foto toraks bisa mendteksi abnormalitas dengan ketepatan 84% dan bisa mendeteksi TB aktif dengan ketepatan 80%



C. Patogenesis TB paru Penularan TB terjadi ketika seseorang terinfeksi droplet yang mengandung kuman TB. Didalam tubuh, bakteri tumbuh lambat dan bertahan dalam lingkungan intraseluler dan dorman sebelum reaktifasi. Pengertian utama dari patogenesis kuman TB adalah kemampuan kuman untuk lolos dari mekanisme pertahanan tubuh host termasuk makrofag dan sistem hioersensitifitas tipe lambat. Droplet nukleus yang terinfeksi berukuran sangat kecil (1-5 mikron) dan mengandung sejumlah 1-10 basil. Setelah terhisap, kuman terkumpul dibronkiolus respiratorius distal atau alveolus yang letaknya sub pleural. Kemudian makrofag alveoular akan memfagosit kuman. Tetapi, makrofag tidak mampu melisiskan bakteri sehingga bakteri berkembang dalam makrofag. Kemudian terjadi perpindahan makrofag yang berisi kuman Mycobacterium tuberculosa ke kelenjar getah bening regional atau penyebaran limfogen membentuk fokus primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen kuman Mycobacterium tuberculosis masuk ke sirkulasi darah dan mneyebar ke seluruh tubuh. Fokus primer dapat mengalami komplikasi, tergantung lokasi fokus primernya apakah diparu atau kelenjar limfe regional. Fokus primer diparu dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis dan pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkejuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan bekas atau meninggalkan sisa berupa Residual Cavity, meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru, memadat dan membungkus diri menjadi tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur/klasifikasi, sembuh atau aktif kembali menjadi kavitas. Kelenjar hilus atau paratrakeal yang awalnya berukuran normal akan membesar bila inflamasi berlanjut. Bronkus dapat terobstruksi parsial sehingga



menimbulkan hiperinflasi bagian paru distal. Bila obstruksi bronkus total, akan terjadi atelektasis paru. Masa perkijauan dapat menimbulkan obstruksi bronkus yang komplit sehingga sering terjadi gabungan pneumonitis dan atelektasisi yang disebut kolaps konsolidasi. TB post primer terjadi setelah timbulnya respons imun spesifik yang bisa terjadi melalui 2 cara yaitu melalui inhalasi kuman baru atau reinfeksi TB primer. Gambaran klasik TB paru post primer yang ketaknya di apeks dan paru lobus atas disebabkan karena tekanan oksigen di apeks paru lebih tinggi sehingga kuman berkembang lebih baik, gejala sistematik timbul akibat reaktivasi makrofag yang melepaskan sitokin sehingga menimbulkan gejala febris, anoreksia, dan penurunan berat badan. TB post primer tidak menimbulkan ganguan sistem limfe kecuali pada pemderita defisiensi imun. Di negara negara Afrika 40% pasoen pasien TB paru post primer terjadi akibat relaps yang dihubungkan dengan defisiensi imun seperti HIV. pada pemderita HIV yang disertai TB sering menimbulkan gambaran radiologis menyerupai TB primer dengan gambaran radiologis yang atipikal. Pada pemderita defisiensi imun, frekuensi tidak ditemukannya biakan sputum cukup tinggi, sehingga pemantauan dengan foto toraks dan CT toraks sangat penting. Komplikasi dari fokus primer ataupun post primer dapat diperlihatkan dengan foto toraks dari CT toraks. D.



Biomolekular TB Paru Morfologi dan Struktur Bakteri Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang



lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis



ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa



dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 – C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan



zat



warna



tersebut



dengan



larutan



asam







alkohol.



Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi



dengan menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitiviti dan spesifisiti yang bervariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen M. tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 a, protein MTP 40 dan lain lain. Biomolekuler Genom M. tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega base) dengan kandungan guanin (G) dan sitosin (C) terbanyak. Dari hasil pemetaan gen, telah diketahui lebih dari 165 gen dan penanda genetik yang dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok 1 gen yang merupakan sikuen DNA mikobakteria yang selalu ada (conserved) sebagai DNA target, kelompok II merupakan sikuen DNA yang menyandi antigen protein, sedangkan kelompok III adalah sikuen DNA ulangan seperti elemen sisipan. E.



KLASIFIKASI TB Paru 1.



TB



PARU



Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk 1.



pleura. Berdasar hasil pemeriksaan dahak a.



(BTA), TB paru dibagi atas:



Tuberkulosis paru BTA (+) adalah: - Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA (+) - Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif



dan



kelainan



radiologi



menunjukkan



tuberkulosis



gambaran aktif



- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif b. Tuberkulosis paru BTA (-) adalah: - Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran



klinis



dan



kelainan



radiologi



menunjukkan



tuberkulosis aktif - Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis



2. Berdasarkan



tipe



pasien



Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu : a. Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan b.



dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan. Kasus kambuh (relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak



BTA



positif



atau



biakan



positif.



Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus c.



dipikirkan beberapa kemungkinan : Kasus defaulted atau drop out Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa



d.



pengobatannya selesai. Kasus gagal Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan.



e.



Kasus kronik Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik f. Kasus



Bekas



TB:



- Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung - Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi 2.



TUBERKULOSIS EKSTRA PARU Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang,



ginjal,



saluran



kencing



dan



lain-lain.



Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi dari tempat lesi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstra paru aktif. F. GAMBARAN KLINIK Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat) 1. Gejala -



batuk



>



respiratorik 2



minggu



-



batuk



darah



-



sesak



napas



- nyeri dada 2.



Gejala



sistemik -



Demam



- gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun 3. Gejala tuberkulosis ekstraparu Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan. Pemeriksaan Jasmani Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,



tanda-tanda



penarikan



paru,



diafragma



dan



mediastinum.



Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari banyaknya



cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadangkadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess” Pemeriksaan Bakteriologik Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH) lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila : 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif ® BTA positif, 1 kali positif, 2 kali negatif ® ulang BTA 3 kali, kemudian, bila 1 kali positif, 2 kali negatif ® BTA positif, bila 3 kali negatif ® BTA negative, Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) : - Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negative - Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan - Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+) - Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+) - Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+) Pemeriksaan Radiologik Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).



Gambaran



radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif : - Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru -



dan segmen superior lobus bawah Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau



-



nodular Bayangan bercak milier Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)



TB



Paru



Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif -Fibrotik -Kalsifikasi -Schwarte atau penebalan pleura



TB pneumonia Luluh paru (destroyed Lung ) :



fokal



-



Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologi luluh paru terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran



-



radiologi tersebut. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktiviti proses penyakit. Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif) : a.



Lesi



minimal



,



bila



proses



mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai kaviti b. Lesi luas Bila proses lebih luas dari lesi minimal.



TB Milier G. Tatalaksana Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT) Obat yang dipakai: 1. H. INH I. Rifampisin J. Pirazinamid



Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:



K. Streptomisin L. Etambutol 1.



Jenis obat tambahan lainnya (lini



2): -



Kanamisin Amikasin Kuinolon



Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin + asam klavulanat Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain : a. b. c. d. e.



Kapreomisin Sikloserino PAS (dulu tersedia) Derivat rifampisin dan INH Thioamides (ethionamide dan prothionamide) Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain: 1. P enatalaksanaan



sederhana



dengan



kesalahan pembuatan resep minimal 2. P eningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan yang tidak disengaja 3. P eningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar



4. P erbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit 5. M enurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan monoterapi



MULTIDRUG RESISTANCE (MDR) Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi : M. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan TB N. Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya sudah pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak O. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat pengobatan sebelumnya.



Laporan pertama tentang reistensi ganda datang dari Amerika Serikat, khususnya pada pasien TB dan AIDS yang menimbulkan angka kematian 70% –90% dalam waktu hanya 4 sampai 16 minggu. Laporan WHO tentang TB tahun 2004 menyatakan bahwa sampai 50 juta orang telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang resisten terhadap obat anti tuberkulosis. TB paru kronik sering disebabkan oleh MDR Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu  



Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat



yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah 



dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah cukup tinggI Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian







seterusnya Fenomena “ addition syndrome” (Crofton, 1987), yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan” (addition) satu macam obat hanya akan







menambah panjang daftar obat yang resisten Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara







baik, sehingga mengganggu bioavailabiliti obat Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah







kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga menimbulkan



 



kejemuan Pengetahuan pasien kurang tentang penyakit TB Kasus MDR-TB rujuk ke dokter spesialis paru



Pengobatan Tuberkulosis Resisten Ganda (MDR)



Klasifikasi OAT untuk MDR Kriteria utama berdasarkan data biologikal dibagi menjadi 3 kelompok OAT: 1.



Obat dengan aktiviti bakterisid: aminoglikosid,



tionamid dan pirazinamid yang bekerja pada pH asam 2. Obat dengan aktiviti



bakterisid



rendah:



fluorokuinolon 3.



Obat dengan akiviti bakteriostatik, etambutol,



cycloserin dan PAS Fluorokuinolon Fluorokuinolon (moksifloksasin, levofloksasin, ofloksasin dan siprofloksasin) dapat digunakan untuk kuman TB yang resisten terhadap lini-1. Resistensi silang



Pada pengobatan MDR TB harus dipertimbangkan resistensi silang dalam memilih jenis OAT. Tidak efektif memberikan OAT dari golongan yang sama atau paduan OAT yang berpotensi terjadi resistensi silang. Etionamid adalah golongan tionamid yang dapat menginduksi terjadinya resistensi silang dengan proteonamid karena satu golongan. Sering ditemukan resistensi silang antara tionamid dengan tioasetason, galur yang biasanya resisten dengan tiosetason biasanya masih sensitif terhadap etionamid dan proteonamid. Galur yang resisten terhadap etionamid dan proteonamid biasanya juga resisten juga terhadap tioasetason pada lebih dari 70% kasus. Aminoglikosid Galur yang resisten terhadap streptomisin biasanya sensitif terhadap kanamisin dan amikasin. Galur yang resisten terhadap kanamisin dapat menyebabkan resisten silang terhadap amikasin. Galur yang resisten terhadap kanamisin dan amikasin juga menimbulkan resisten terhadap streptomisin. Galur yang resisten terhadap streptomisin, kanamisin, amikasin biasanya masih sensitif terhadap kapreomisin. Resisten



terhadap



streptomisin



gunakan



kanamisin



atau



amikasin



. Resisten terhadap kanamisin atau amikasin gunakan kapreomisin Fluorokuinolon Ofloksasin dan siprofloksasin dapat menginduksi terjadinya resistensi silang untuk semua fluorokuninolon. Itulah sebabnya penggunaan ofloksasin harus hati-hati karena beberapa kuinolon yang lebih aktif (levofloksasin dan moksifloksasin) dapat menggantikan ofloksasin di masa datang. Sikloserin dan terizidon Terdapat resistensi silang antara dua macam obat ini. Tidak terdapat resistensi silang dengan obat golongan lain. Hingga saat ini belum ada paduan pengobatan yang distandarisasi untuk pasien MDR-TB. Pemberian pengobatan pada dasarnya “tailor made”, bergantung dari hasil uji resistensi dengan menggunakan minimal 4 OAT masih sensitif Obat lini 2 yang dapat digunakan yaitu golongan fluorokuinolon, aminoglikosida, etionamid, sikloserin, klofazimin, amoksilin+ as.klavulana Saat ini paduan yang dianjurkan ialah OAT yang masih sensitif minimal 2 –3 OAT lini 1 ditambah dengan obat lini 2, yaitu Siprofloksasin dengan dosis 1000 –



1500 mg atau ofloksasin 600 – 800 mg (obat dapat diberikan single dose atau 2 kali sehari) Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan memerlukan waktu yang lama yaitu minimal 18 bulan Hasil pengobatan terhadap TB resisten ganda ini kurang menggembirakan. Pada pasien



non-HIV,



konversi



hanya



didapat



pada



sekitar



50%



kasus,



sedangkan response rate didapat pada 65% kasus dan kesembuhan pada 56% kasus. Pemberian obat antituberkulosis yang benar dan pengawasan yang baik, merupakan salah satu kunci penting mencegah resisten ganda. Konsep Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) merupakan salah satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat. Prioriti yang dianjurkan bukan pengobatan MDR, tetapi pencegahan MDR-TB



EVALUASI PENGOBATAN Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat. Evaluasi klinik P. Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan Q. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit R. Evaluasi klinis meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisis.



Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan) A. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak B. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik S. Sebelum pengobatan dimulai T. Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif) U. Pada akhir pengobatan C. Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi



Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)



Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada: -



Sebelum pengobatan



-



Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan



keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan) -



Pada akhir pengobatan



Evaluasi efek samping secara klinik 



Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan







darah lengkap Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah , serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping



 



pengobatan Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada







keluhan) Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan







audiometri (bila ada keluhan) Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinis kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman.



Evalusi keteraturan berobat 



Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan



 



dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan lingkungannya. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi. Kriteria Sembuh



V. BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat W. Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/ perbaikan X. Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif Evaluasi pasien yang telah sembuh Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopis BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB kambuh).



Y. Komplikasi Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa komplikasi yang mungkin timbul adalah : Z. Batuk darah AA. Pneumotoraks AB. Luluh paru AC. Gagal napas AD. Gagal jantung AE. Efusi pleura AF.EFUSI PLEURA Efusi pleura merupakan akumulasi cairan abnormal pada rongga pleura. Hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan produksi cairan ataupun berkurangnya absorbs. Efusi pleura merupakan manifestasi penyakit pada pleura yang paling sering dengan etiologi yang bermacam-macam mulai dari kardiopulmoner, inflamasi, hingga keganasan yang harus segera dievaluasi dan diterapi. Rongga pleura normal berisi cairan dalam jumlah yang relatif sedikit yakni 0,1 – 0,2 mL/kgbb pada tiap sisinya. Fungsinya adalah untuk memfasilitasi pergerakan kembang kempis paru selama proses pernafasan. Cairan pleura diproduksi dan dieliminasi dalam jumlah yang seimbang. Jumlah cairan pleura yang diproduksi normalnya adalah 17 mL/hari dengan kapasitas absorbsi maksimal drainase sistem limfatik sebesar 0,2-0,3 mL/kgbb/jam. Cairan ini memiliki konsentrasi protein lebih rendah dibanding pembuluh limfe paru dan perifer. Cairan dalam rongga pleura dipertahankan oleh keseimbangan tekanan



hidrostatik, tekanan onkotik pada pembuluh darah parietal dan viseral serta kemampuan drainase limfatik. Efusi pleura terjadi sebagai akibat gangguan keseimbangan faktor-faktor di atas. Adapun gambaran normal cairan pleura adalah sebagai berikut: •



Jernih, karena merupakan hasil ultrafiltrasi plasma darah yang



• • • • •



berasal dari pleura parietalis pH 7,60-7,64 Kandungan protein kurang dari 2% (1-2 g/dL) Kadungan sel darah putih < 1000 /m3 Kadar glukosa serupa dengan plasma Kadar LDH (laktat dehidrogenase) < 50% dari plasma.



Efusi pleura merupakan suatu indikator adanya suatu penyakit dasar baik itu pulmoner maupun non pulmoner, akut maupun kronis. Penyebab efusi pleura tersering adalah gagal jantung kongestif (penyebab dari sepertiga efusi pleura dan merupakan penyebab efusi pleura tersering), pneumonia, keganasan serta emboli paru. Berikut ini merupakan mekanisme-mekanisme terjadinya efusi pleura : 1. Adanya



perubahan



permeabilitas



membran pleura (misalnya : inflamasi, keganasan, emboli paru) 2. Berkurangnya tekanan onkotik intravaskular (misalnya : hipoalbuminemia, sirosis) 3. Meningkatnya permeabilitas pembuluh darah atau kerusakan pembuluh darah (misalnya : trauma, keganasan, inflamasi, infeksi, infark pulmoner, hipersensitivitas obat, uremia, pankreatitis) 4. Meningkatnya



tekanan



hidrostatik



pembuluh darah pada sirkulasi sistemik dan atau sirkulasi sirkulasi paru (misalnya : gagal jantung kongestif, sindrom vena kava superior) Universitas Sumatera Utara 5. Berkurangnya pleura



sehingga



menyebabkan



tekanan



terhambatnya



pada ekspansi



(misalnya : atelektasis ekstensif, mesotelioma) 6. Berkurangnya sebagaian



rongga paru



kemampuan



drainase limfatik atau bahkan dapat terjadi blokade total, dalam hal ini



termasuk pula obstruksi ataupun ruptur duktus torasikus (misalnya : keganasan, trauma) 7. Meningkatnya cairan peritoneal, yang disertai oleh migrasi sepanjang diafragma melalui jalur limfatik ataupun defek struktural. (misalnya : sirosis, dialisa peritoneal) 8. Berpindahnya cairan dari edema paru melalui pleura viseral 9. Meningkatnya tekanan onkotik dalam cairan pleura secara persisten dari efusi pleura yang telah ada sebelumnya sehingga menyebabkan akumulasi cairan lebih banyak lagi. Sebagai akibat dari terbentuknya efusi adalah diafragma menjadi semakin datar atau bahkan dapat mengalami inversi, disosiasi mekanis pleura viseral dan parietal, serta defek ventilasi restriktif. Efek yang ditimbulkan oleh akumulasi cairan di rongga pleura bergantung pada jumlah dan penyebabnya. Efusi dalam jumlah yang kecil sering tidak bergejala. Bahkan efusi dengan jumlah yang besar namun proses akumulasinya berlangsung perlahan hanya menimbulkan sedikit atau bahkan tidak menimbulkan gangguan sama sekali. Jika efusi terjadi sebagai akibat penyakit inflamasi, maka gejala yang muncul berupa gejala pleuritis pada saat awal proses dan gejala dapat menghilang jika telah terjadi akumulasi cairan. Gejala yang biasanya muncul pada efusi pleura yang jumlahnya cukup besar yakni : nafas terasa pendek hingga sesak nafas yang nyata dan progresif, kemudian dapat timbul nyeri khas pleuritik pada area yang terlibat, khususnya jika penyebabnya adalah keganasan. Nyeri dada meningkatkan kemungkinan suatu efusi eksudat misalnya infeksi, mesotelioma atau infark pulmoner. Batuk kering berulang juga sering muncul, khususnya jika cairan terakumulasi dalam jumlah yang banyak secara tiba-tiba. Batuk yang lebih berat dan atau disertai sputum atau darah dapat merupakan tanda dari penyakit dasarnya seperti pneumonia atau lesi endobronkial. Riwayat penyakit pasien juga perlu ditanyakan misalnya apakah pada pasien terdapat hepatitis kronis, sirosis hepatis, pankreatitis, riwayat pembedahan tulang belakang, riwayat keganasan, dll. Riwayat pekerjaan seperti paparan yang lama terhadap asbestos dimana hal ini dapat meningkatkan resiko



mesotelioma. Selain itu perlu juga ditanyakan obatobat yang selama ini dikonsumsi pasien. Hasil pemeriksaan fisik juga tergantung dari luas dan lokasi dari efusi. Temuan pemeriksaan fisik tidak didapati sebelum efusi mencapai volume 300 mL. Gangguan pergerakan toraks, fremitus melemah, suara beda pada perkusi toraks, egofoni, serta suara nafas yang melemah hingga menghilang biasanya dapat ditemukan. Friction rub pada pleura juga dapat ditemukan. Cairan efusi yang masif (> 1000 mL) dapat mendorong mediastinum ke sisi kontralateral. Efusi yang sedikit secara pemeriksaan fisik kadang sulit dibedakan dengan pneumonia lobaris, tumor pleura, atau fibrosis pleura. Merubah posisi pasien dalam pemeriksaan fisik dapat membantu penilaian yang lebih baik sebab efusi dapat bergerak berpindah tempat sesuai dengan posisi pasien. Pemeriksaan fisik yang sesuai dengan penyakit dasar juga dapat ditemukan misalnya, edema perifer, distensi vena leher, S3 gallop pada gagal jantung kongestif. Edema juga dapat muncul pada sindroma nefrotik serta penyakit perikardial. Ascites mungkin menandakan suatu penyakit hati, sedangkan jika ditemukan limfadenopati atau massa yang dapat diraba mungkin merupakan suatu keganasan. Pembentukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh banyak keadaan yang dapat berasal dari kelainan dalam paru sendiri, misalnya infeksi baik oleh bakteri maupun virus atau jamur, tumor paru, tumor mediastinum, metastasis; atau disebabkan oleh keadaan kelainan sistemik, antara lain penyakit penyakit yang mengakibatkan hambatan getah bening, hipoproteinemia pada penyakit ginjal, hati, dan kegagalan jantung. Tidak jarang disebabkan pula oleh trauma kecelakaan atau tindakan pembedahan. Cairan (efusi pleura) dapat berupa: 1. Cairan transudat, terdiri atas cairan yang bening, biasanya ditemukan pada kegagalan jantung, kegagalan ginjal yang akut atau kronik, keadaan hipoproteinemia pada kegagalan fungsi hati, pemberian cairan infuse yang berlebihan, dan fibroma ovarii (Meig`s syndrome)



2. Cairan eksudat, berisi cairan kekeruh keruhan, paling sering ditemukan pada infeksi tuberculosis, atau nanah (empiema) dan penyakit penyakit kolagen (lupus eritomatosis, rheumatoid arthritis) 3. Cairan darah, dapat disebabkan trauma tertutup atau terbuka. Infark paru, dan karsinoma paru. 4. Cairan getah bening; meskipun jarang terjadi tetapi dapat diakibatkan oleh sumbatan aliran getah bening toraks, misalnya pada filariasis atau metastasis pada kelenjar getah bening dari suatu keganasan. Gambaran radiologic Pada pemeriksaan foto toraks rutin tegak, cairan pleura tampak berupa perselubungan homogeny menutupi struktur paru bawah yang biasanya relative radioopak dengan permukaan atas cekung, berjalan dari lateral atas kearah medial bawah. Karena cairan mengisi ruang hemitoraks sehingga jaringan paru akan terdorong kearah sentral/hilus, dan kadang kadang mendorong mediastinum kea rah kontralateral. Jumlah cairan minimal yang dapat terlihat pada foto toraks tegak adalah 250-300 ml. bila cairan kurang dari 250 ml (100-200 ml), dapat ditemukan pengisian cairan di sinus kostoprenikus posterior pada foto toraks lateral tegak. Cairan yang kurang dari 100 ml (50-100 ml), dapat diperlihatkan dengan posisi dekubitus dan arah sinar horizontal dimana cairan akan berkumpul disisi samping bawah. Gambaran radiologic tidak dapat membedakan jenis cairan mungkin dengan tambahan keterangan keterangan klinis atau kelainan lain yang ikut serta terlihat dapat diperkirakan jenis caira tersebut. Kadang kadang sejumlah cairan terkumpul setempat didaerah pleura atau fissure interlobar yang sering disebabkan oleh empiema dengan perlekatan pleura.



BAB III ANALISA MASALAH



A. Dasar diagnosis Berdasarkan anamnesis, gejala yang dirasakan pasien adalah sesak napas yang disertai batuk kering sejak 1 bulan yang lalu. Gejala lain yang menyertai adalah demam naik turun selama 2 minggu, nafsu makan menurun, dan berat badan makin menurun. Keluhan batuk kering yang dirasakan pasien selama 1 bulan terakhir yang disertai dengan demam, sesak napas, nafsu makan menurun dan berat badan menurun merupakan gejala TB paru baik gejala respiratorik maupun sistemik. Gejala sesak yang dirasakan pasien timbul akibat luasnya kerusakan paru. Oleh karena itu, bila sakit TB disertai gejala sesak nafas secara radiologi lesinya sudah luas. Dari riwayat penyakit keluarga tidak ditemukan yang memiliki keluhan sama dengan pasien. Dan dari riwayat psikososial, pasien tidak mengkonsumsi alcohol dan rokok, namun ada beberapa orang disekitar lingkungannya yang merokok. Melalui pemeriksaan fisik ditemukan vocal fremitus lemah dikedua lapang paru dan ronki basah. Berdasarkan pemeriksaan radiologi foto thoraks PA, didapatkan pulmo Nampak perselubungan parakardial kanan, parahiler kiri, serta corakan kasar parahiler kiri. Perselubungan homogeny kedua hemithoraks bawah dengan badan cairan. Kedua sinus berselubung. Berdasarkan hasil pemeriksaan ini diagnosis pasien saat ini adalah TB paru aktif dengan efusi pleura bilateral.



Berdasarkan kepustakaan, tb paru pada kasus ini masuk dalam kategori tb paru post primer dengan lesi aktif, karena pada gambaran radiologi terdapat efusi pleura bilateral. Dan disesuaikan dengan gejala klinis dan pemeriksaan fisik yang didapatkan. Untuk lebih memastikan lagi, maka disarankan untuk melakukan pemeriksaan rontgen proyeksi top lordotik, CT Thoraks dan pemeriksaan bakteriologis. B. Alasan rencana penatalaksanaan Berdasarkan keluhan sesak yang dirasakan pasien sejak 1 bulan terakhir maka diberikan antibiotic berupa cefixim untuk mengurangi rasa sesak dan membantu dalam menurunkan demam yang tidak kunjung reda. Paracetamol diberikan sebagai antipiretik untuk mnegurangi gejala demam yang naik turun. Sedangkan expectorant diberikan untuk mengurangi gejala batuk yang dirasakan pasien sejak 1 bulan yang lalu. C. Komplikasi dan Prognosa AG. Komplikasi b. Batuk darah c. Gagal napas d. Efusi pleura AH. Prognosa b. Ad vitam : ad bonam c. Ad fungsionam : ad bonam d. Ad sanasionam : ad bonam D. Komunikasi informasi dan edukasi



AI. Kepatuhan minum obat AJ. Higienis AK. Etika batuk atau bersin



AL. BAB IV AM. SIMPULAN AN. AO.



Tuberkulosis adalah penyakit menular granulomatosa kronik



yang telah dikenal sejal berabad abad yang lalu dan paling sering disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberkulosis AP. Menurut data dari evidence based guide book, hanya 5% pasien TB paru reaktif yang mempunyai foto toraks normal, sisanya abnormal. Sensitivitas dan spesifisitas foto toraks dalam mendiagnosis TB yaitu 86% dan 83% AQ. Sampai saat ini pemeriksaan radiologis yang paling sering digunakan dalam membantu diagnosis TB adalah foto toraks. Kelainan foto thoraks baru terlihat setelah 10 minggu terinfeksi oleh kuman TB. Bila secara klinis ada gejala TB Paru, hampir pasti ada kelainan pada foto thoraks. AR. Pada akhir pengobatan TB, foto thoraks berperan dalam penilaian sekuele di paru serta di pleura. Foto toraks dapat juga dipakai dalam penilaian TB kambuh, apabila setelah selesai pengobatan dilengkapi dengan data foto toraks. AS. Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, tuberculin skin test, pemeriksaan radiologis, dan bakteriologis. Diagnosis pasti TB paru ditegakkan berdasarkan ditemukannnya kuman Mycobacterium tuberculosis. AT.



AU. AV. AW.