Trauma Servikal [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Semakin banyak angka kejadian kecelakaan lalulintas maka trauma servical kerap terjadi.Cidera servikal merupakan cedera tulang belakang yang paling sering menimbulkan kecacatan dan kematian, dari beberapa penelitian terdapat kolerasi antara tingkat cedera servikal dengan morbiditas dan mortalitas, yaitu semakin tinggi tingkat cedera servikal semakin tinggi pula morbiditas dan mortalititasnya (Milby,2008,Ning GZ 2011). Setiap tahun di Amerika serikat sekitar 7.600 sampai 10.000 indivcidu mengalami trauma medulla spinalis. Pada tahun 2004 Cristopher & Dana Reveve Foundation bekerjasama (CDC) melakukan penelitian dimana hasilnya sekitar 0,4% dari populasi Amerika Serikat atau sekitar 1.275.000 orang mengalami paralisis dikarnakan oleh trauma medulla spinalis.Hal ini menandakan bahwa sekunder syok spinal juga banyak terjadi. Sekitar 10% pasien dengan penurunan kesadaran yang dikirim ke instalasi gawat darurat akibat kecelakaan lalulintas selalu menderita cedera servikal, baik cedera pada tulang servikal, jaringan penunjang, maupun cedera pada cervical spine.Kecelakaan lalulintas dan terterjatuh adalah penyebab sebagian besar fraktur tulang servical, trauma pada servikal subaksis ( C3-7) lebih umum terjadi disbanding servikal C1 dan C2 trauma servikal sering terjadi pada pasien dengan riwayat kecelakaan kendaraan bermotor dengan kecepatan tinggi, trauma pada wajah dan kepala terdapat deficit neurologis, nyeri pada leher dan trauma multiple (Grundy,2002: Weishaupt N.2010). Secara anatomis tulang belakang merupakan struktur fleksibel yang dibentuk oleh tulang – tulang yang tidak beraturan yang disebut vertebrata, masing – masing



1



vertebrata dipisahkan oleh diskus intervertebratalis.Kolumna vertebralis adalah pilar utama tubuh, yang berfungsi melindungi medulla spinalis dan menunjang berat kepala dan batang tubuh yang diteruskan ketulang – tulang paha dan tungkai bawah (Stewart.2002: Wadhwa,2011). Tulang servikal terdiri dari 7 tulang vertebra yang dipisahkan oleh dispkus intervertebralis dan dihubungkan oleh jaringan ligament yang komleks. Jaringan ligament tersebut menyebabkan tulang – tulang ini dapat berkerja sebagai satu kesatuan unit yang utuh. Vertebra servikal memiliki karakter yang berupa tiap procesus transversus mempunyai foramen procesuc tansverrsus untuk arteri dan vena vertebralis, namun arteri vertebralis hanya melalui procesus tranversus C1- 6 saja (Stewart.2002: Wadhwa,2011). 1.2 Rumusan masalah 1.



Apakah Pengertian Dari Trauma Servikal ?



2.



Apa Saja Jenis Fraktur Servikal ?



3.



Bagaimana Penyebab Trauma Servikal ?



4.



Bagaimana Tanda Dan Gejala Trauma Servikal ?



5.



Bagaimana Menisfestasi Klinis Dari Trauma Servikal ?



6.



Bagaimana Patofisiologi Trauma Servikal ?



7.



Bagaimana Komlikasi Trauma Servikal ?



8.



Bagaimana Pemeriksaan Penunjang Trauma Servikal ?



9.



Bagaimana Penatalaksanaan Trauma Servikal ?



2



1.3 Tujuan 1.



Untuk mengetahui pengertian dari Trauma Servikal



2.



Untuk mengetahui jenis fraktur Servikal



3.



Untuk mengetahui penyebaba Trauma Servikal



4.



Untuk mengetahui tanda dan gejala Trauma Servikal



5.



Untuk mengetahui menifestasi klinis Trauma Servikal



6.



Untuk mengetahui patofisiologiTrauma Servikal



7.



Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang Trauma Servikal



8.



untuk mengetahui Pemeriksaan Penunjang Trauma Servikal



9.



untuk mengetahui Penatalaksanaan Trauma Servikal



3



BAB II PEMBAHASAN



2.1. Pengertian Tulang Belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari leher sampai ke selangkangan. Tulang vertebrae terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sacral. Diskus intervertebrale merupakan penghubung antara dua korpus vertebrae. Sistem otot ligamentum membentuk jajaran barisan (aligment) tulang belakang dan memungkinkan mobilitas vertebrae. Di dalam susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila terjadi cedera di tulang belakang maka akan mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer, Arif, et al. 2000). Trauma servikal adalah suatu keadaan cedera pada tulang belakang servikal dan medulla spinalis yang disebabkan oleh dislokasi,subluksasi, atau fraktur vertebrata servikalis dan ditandai dengan kompresi pada medulla spinalis daerah servikal. Dislokasi servikal adalah lepasnya salah satu struktur dari tulang servikal. Subluksasi servikal merupakan kondisi sebagian dari tulang servikal lepas, fraktur servikal adalah terputusnya hubungan dari badan tulang vertebra servikalis (Muttaqin,2011).



4



2.2. Jenis Fraktur Servikal Berikut merupakan beberapa jenis fraktur dan dislokasi area servikal, serta cidera spinal dibawah leher: 1. Fraktur Jefferson Merupakan fraktur cincin atlas, biasanya tulang patah pada dua lokasi, yaitu anterior dan yang lain lateral. Hal ini kebanyakan terjadi karena pukulan pada kepala didaerah verteks. Bila patahan tulang (bagian lateral) tampak bergeser lebih dari 7mm pada foto proyeksi frontal, kemungkinan ligamen transversumnya robek. Konfirmasi tentang cidera ligamentum ini dipastikan berdasar adanya gerakan abnormal antara odontoid, dan atlas pada pemeriksaan radiologis. Gejala klinis fraktur atlas biasanya hanya berupa nyeri lokal. Jarang defisit neurologis. Penanganan bagi kasus yang terbukti tidak ada cedera ligamen, adalah pemasangan traksi skeletal saja. Tindakan operasi ditujukan untuk kasus dengan ligamen ikut cidera.



(Gambar foto polos fraktur Jefferson)



(Gambar fraktur Jefferson)



5



2. Fraktur Prosesus Odontoid Fraktur prosesus odontoid biasanya merupakan akibat trauma hebat pada kepala di daerah oksiput. Pada awalnya fraktur ini jarang menimbulkan defisit neurologis. Fraktur prosesus odontoid C2 diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomis garis frakturnya : a. Fraktur tipe I mempunyai garis fraktur pada bagian atas odontoid dekat perletakan ligamentum alaris, dengan demikian sering kali tampak sebagai suatu fraktur avulsi. b. Fraktur tipe II terjadi pada leher odontoid diaman dens menempel pada korpus C2. Tindakan operasi stabilisasi fraktur tipe II dilakukan dengan mengikat lamina C1 dan prosesus spinosus C2, atau memasang klem halifax. Prosedur alternatif lain yang dapat diterapkandengan memasang sekrup melalui sumbu tulang ke dalam prosesus odontoid melalui pendekatan anterolateral dan pemantauan fluroskopi. Fraktur tipe III adalah yang paling sering dijumpai, paling tidak stabil dan kerap mengalami non – union. Fraktur ini akan pulih hanya dengan stabilisasi melalui pemasangan traksi servikal



6



(Gambar foto polos Fraktur Prosesus Odontoid) 3. Dislokasi Odontoid Dens dapat mengalami dislokasi sebagai akibat abnormalitas kongenital, trauma ligamentum krusiatum, proses inflamasi (reumatoid artritis, infeksi retrofaring) atau pada kasus sindroma down. Jarak normal antara dens dan cincin anterior atlas pada anak-anak maksimal 5,4mm dan tidak boleh lebih dari 2,5mm pada dewasa. Pergeseran yang lebih dari 5mm perlu dicurigai akan adanya robekan ligamentum alaris, dan bila didiamkan dapat menimbulkan kompresi pada medula atau di atas foramen magnum. Penanganan yang ideal adalah upaya mengurangi pergeseran tadi dan melakukan fusi posterior.



7



(Gambar foto polos Dislokasi Odontoid) 4. Fraktur Hangman Fraktur hangman yaitu fraktur pada pedikel C2, dan dapat disertai pula translokasi anterior korpus C2 (diatas C3). Biasanya fraktur ini terjadi akibat cidera hiperekstensi leher. Dinamakan Hangman karena sesuai dengan kelainan yang terjadi pada seseorang yang dihukum gantung dengan simpul di depan dagu. Fraktur ini jarang menampilkan defisit neurologis mengingat fraktur menimbulkan pemisahan antara korpus C2 dengan elemen posterior.



Fraktur Hangman dibedakan menjadi tiga tipe : a. Tipe I merupakan fraktur yang stabil, dimana pergeseran atau angulasi disini hanya minimal saja, seta cukup diterapi dengan pemasangan collar neck.



8



(gambar collar neck) b. Tipe II menunjukkan angulasi dan translasi yang bermakna dan penanganannya adalah pemasangan jaket Halo. c. Tipe III adalah fraktur yang menimbulkan dislokasi faset C2 bilateral dan sangat tidak stabil sehingga untuk kasus ini perlu dioperasi untuk stabilisasi. 5. Fraktur Teardrop Suatu fragmen kecil yang mengalami avulsi dari badan vertebra anterior bagian bawah (cidera fleksi dengan kompresi anterior).



5. Fraktur Badan Vertebra Yaitu fraktur kompresi pada tubuh 6. Fraktur dan Dislokasi Servikal Bawah



9



Fraktur dan dislokasi servikal bawah diklasifikasikan berdasarkan kerusakan-kerusakan



yang



menjadi



para



korpus



dan



diskus



intervertebralis, struktur masa bagian lateral (pedikel dan prosesus transverus) atau faset posterior, lamina, dan prosesus spinosus. Pergeseran salah satu vetebra ke anterior atau posterior (jarang) terhadap vertebra lainnya dikatagorikan menjadi : a. Ringan



: bergeser 1 – 3 mm



b. Sedang



: bergeser 3 – 5 mm



c. Berat



: bergeser > 5 mm



Pergeseran ini diduga terjadi akibat mekanisme hiperekstensi dan kerap dikaitkan dengan adanya spondilosis yang diderita sebelumnya. Biasanya subluksasi posterior dapat disertai dengan fraktur avulsi korpus vertebra.



2.3. Penyebab Trauma Servikal Penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu : 1. Cedera traumatik Dapat disebabkan oleh :



a) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah secara spontan. b) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi



benturan misalnya jatuh dengan kaki berjulur sehingga



menyebabkan fraktur c)



Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat



2. Fraktur patologik Dalam hal ini, kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur yang dapat terjadi pada berbagai keadaan berikut :



10



a)



Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali dan progresif



b) Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan nyeri c) Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skeletal lain biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi vitamin D atau oleh karena asupan kalsium dan fosfat yang rendah d) Osteoporosis 3. Secara spontan Disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas di kemiliteran.Lewis (2006).



2.4. Tanda dan Gejala Fraktur Servikal 1.



Rasa sakit / nyeri (ringan/parah)- leher



2.



Memar – leher



3.



Pembengkakan – leher



4.



Kekakuan-leher



5.



Mati rasa-kaki dan lengan



6.



Kelemahan – kaki dan lengan



7.



Kekejangan – leher



8.



Kesulitan berjalan



9.



Gerak terbatas- leher



Yang harus diperhatikan:



11



a.



Nyerin ketika menggerakkan lengan atau tungkai; nyeri bisa bersifat tajam atau menyebar ke bawah lengan atau tunmgkai



b.



Perasaan baal, semutan,lemah, atau panas pada lengan atau tungkai



c.



Kelumpuhan pada lengan atau tungkai



d.



Perunaghan bentuk, atau posisi yang tidak normal, dariu kepalan dan leher anak. Tulang leher dapat patah akibat pukulan yang keras di tengkuk, atau karena kecelakaan kendaraan bermotor. Pada kecelakaan mobil, yaitu tabrakan yang keras, korban terlempar ke depan dengan keras. Dan karena dahinya terbentur kaca depan, maka leher terdongak ke belakang dan patah. Tanda-tandanya, selain leher yang tertengadah secara berlebihan, juga tangan dan lengan kehilangan perasaan (tidak bereaksi bila ditusuk). Dan bila korban masih sadar, ia tidak dapat menggerakkan tangannya itu (Kartono, 2005).



2.5. Manifestasi Klinik Trauma Servikal Lewis (2006) menyampaikan gejala klinis dari fraktur adalah sebagai berikut: 1.



Nyeri Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya. Nyeri dirasakan terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.



2.



Bengkak/edama Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.



3.



Memar/ekimosis



12



Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di jaringan sekitarnya. 4.



Spame otot Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.



5.



Penurunan sensasi Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.



6.



Gangguan fungsi Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang frkatur, nyeri atau spasme otot, paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.



7.



Mobilitas abnormal Mobilitas abnormal adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang.



8.



Krepitasi Krepitasi merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang digerakkan. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.



9.



Deformitas Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.



10. Syok hipovolemik Syok terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat. Ditandai dengan nadi cepat, kerja jantung meningkat, vasokontriksi. 11. Pemendekan tulang Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen



13



sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci)



2.6. Patofisiologi Penyebab tersering terjadinya cedera tulang belakang cervical adalah kecelakaan mobil, kecelakaan motor, jatuh, cedera olah raga, dan luka akibat tembakan atau pisau. Menurut mekanisme terjadinya cidera, cidera servikal di bagi atas fleksi, fleksi rotasi, ekstensi, kompresi aksial. Cidera cervical atas adalah fraktura atau dislokasi yang mengenai Basis Occiput-C2. Cidera tulang belakang cervical bawah termasuk fraktura dan dislokasi ruas tulang belakang C3-C7. Ruas tulang belakang C5 adalah yang tersering mengalami fraktur. C1 hanya berupa cincin tulang yang terdiri atas arcus anterior yang tebal dan arcus posterior yang tipis, serta masa lateralis pada masing-masing sisinya. Tulang ini berartikulasi dengan kondilus occipitalis membentuk articulatio atlanto-occipitalis, tempat berlangsungnya gerakan mengangguk. Dibawah, tulang ini beratikulasi dengan C2, membentuk articulasio atlantoaxialis, tempat berlangsungnya gerakan memutar kepala. Ketika cidera terjadi fraktur tunggal atau multiple pada cincin C1 dan dislokasi atlanto-occipitalis sehingga menyebabkan ketidakmampuan menggerakkan kepala dan kerusakan pada batang otak. Cedera pada C1 dan C2 menyebabkan ventilasi spontan tidak efektif. Pada C3-C5 dapat terjadi kerusakan nervus frenikus sehingga dapat terjadi hilangnya inervasi otot pernafasan aksesori dan otot interkostal yang dapat menyebabkan komplience paru menurun. Pada C4-C7 dapat terjadi kerusakan tulang sehingga terjadi penjepitan medula spinalis oleh ligamentum flavum di posterior dan kompresi osteosif/material diskus dari anterior yang bisa menyebabkan nekrosis dan menstimulasi pelepasan mediator kimia yang menyebabkan kerusakan myelin dan akson, sehingga terjadi gangguan



14



sensorik motorik. Lesi pada C5-C7 dapat mempengaruhi intercostal, parasternal, scalenus, otot2 abdominal. Intak pada diafragma, otot trapezius, dan sebagian pectoralis mayor. Cedera pada tulang servikal dapat menimbulkan lesi atau cedera pada medulla spinalis yang dapat terjadi beberapa menit setelah adanya benturang keras mengenai medulla spinalis. Saat ini, secara histologis medulla spinalis masih normal. Dalam waktu 24-48 jam kemudian terjadi nekrosis fokal dan inflamasi. Pada waktu cedera terjadi disrupsi mekanik akson dan neuron. Ini disebut cedera neural primer. Disamping itu juga terjadi perubahan fisiologis dan patologis progresif akibat cedera neural sekunder. Beberapa saat setelah terjadi kecelakaan atau trauma pada servikal maka akan terjadi kerusakan secara struktural yang mengakibatkan gangguan pada saraf spinal dan pembuluh darah disekitarnya yang akan menghambat suplai O2 ke medulla spinalis atau akan terjadi ischemik pada jaringan tersebut. Karena terjadi ischemik pada jaringan tersebut, dalam beberapa menit atau jam kemudian akan ada pelepasan vasoactive agent dan cellular enzym yang menyebabkan konstriksi kapiler pada pusat substansi abu-abu medula spinalis. Ini merupakan permulaan dari cedera neural sekunder pada cedera medula spinalis. Selanjutnya adalah peningkatan level Ca pada intraselular yang mengakibatkan kerusakan pada endotel pembuluh darah yang dalam beberapa jam kemudian dapat menimbulakan aneurisma dan ruptur pada pembuluh darah di medula spinal. Peningkatan potasium pada ekstraseluler



yang



mengakibatkan



terjadinya



depolarisasi



pada



sel



(Conduction Block). Hipoxia akan merangsang pelepasan katekolamin sehingga terjadi perdarahan dan nekrosis pada sel. Di tingkat selular, adnya kerusakan mitokondria akibat defisit suplai O2 dapat merangsang pelepasan superoksid (radikal bebas), disertai terjadinya ketidakseimbangan elektrolit, dan pelepasan mediator inflamasi



15



dapat mengakibatkan terjadinya kematian sel (apoptosis) dengan manifestasi sel mengkerut dan kromatin nuclear yang padat.(Kartono.2005)



2.7. Komplikasi Komplikasi awal 1. Syok Syok hipovolemik atau traumatik akibat perdarahan (baik kehilangan darah eksterna maupun yang tidak kelihatan) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak. 2. Sindrom emboli lemak Setelah terjadi fraktur femur dapat terjadi emboli lemak khususnya pada dewasa muda (20-30 tahun) pria. Pada saat terjadi fraktur, globula lemak dapat masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi stres pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadinya globula lemak dalam aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok otak, paru, ginjal dan organ lain. Awitan gejalanya sangat cepat, dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu setelah cedera, namun paling sering terjadi dalam 24 sampai 72 jam. Gambaran khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardia dan pireksia. Gangguan cerebral diperlihatkan dengan adanya perubahan status mental yang bervariasi dari agitasi ringan dan kebingungan sampai delirium dan koma yang terjadi sebagai respon terhadap hipoksia, akibat penyumbatan emboli lemak di otak. 3. Sindrom kompertemen Sindrom kompartemen disebabkan karena penurunan ukuran kompartemen otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat atau gips atau balutan yang menjerat, atau peningkatan isi kompartemen otot karena edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah. Pasien mengeluh adanya 16



nyeri dalam, berdenyut tak tertahankan. Palpasi pada otot akan terasa pembengkakan dan keras. Komplikasi lambat 1. Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan Penyatuan terlambat terjadi bila penyembuhan tidak terjadi dengan kecepatan normal untuk jenis dan tempat fraktur tertentu. Penyatuan terlambat mungkin berhubungan dengan infeksi sistemik atau distraksi fragmen tulang. Tidak ada penyatuan terjadi karena kegagalan penyatuan ujung-ujung patahan tulang. a) Malunion : tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya. b) Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjalan tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. c) Non union : tulang yang tidak menyambung kembali 2. Nekrosis avaskuler tulang Nekrosis avaskuler terjadi bila tulang kehilangan asupan darah dan mati, dapat terjadi setelah fraktur khususnya pada kolum femoris. Tulang yang mati mengalami kolaps atau diabsorbsi dan diganti dengan tulang baru. Pasien mengalami nyeri dan keterbatasan gerak. 3. Reaksi terhadap alat fiksasi interna Alat fiksasi interna biasanya diambil setelah penyatuan tulang telah terjadi, namun pada kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat sampai menimbulkan gejala. Nyeri dan penurunan fungsi merupakan indikator utama telah terjadi masalah. Masalah tersebut meliputi pemasangan dan stabilisasi yang tidak memadai, alat yang cacat atau rusak, berkaratnya alat menyebabkan inflamasi lokal, respon alergi terhadap campuran logam yang digunakan dan remodeling osteoporotik di sekitar alat fiksasi.



17



2.8. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Radiologi Sebagai



penunjang,



pemeriksaan



yang



penting



adalah



“pencitraan”



menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray: a) Bayangan jaringan lunak. b) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi. c) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction. Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi. Selain foto polos x-ray (plane xray) mungkin perlu teknik khususnya seperti: a) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya. b) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma. c) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa. d) Computed



Tomografi-Scanning:



menggambarkan



potongan



secara



transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.



18



2. Pemeriksaan Laboratorium a) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang. b) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang. c) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang. 3. Pemeriksaan lain-lain a) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi. b) Biopsi



tulang



dan



otot:



pada



intinya



pemeriksaan



ini



sama



dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi. c) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur. d) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan. e) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang. f) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.



2.9 Penatalaksanaan 1. Pertolongan pertama untuk fraktur servikal Setiap cedera kepala atau leher harus dievaluasi adanya fraktur servikalis. Sebuah fraktur servikal merupakan suatu keadaan darurat medis yang membutuhkan perawatan segera. Spine trauma mungkin terkait cedera saraf tulang belakang dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, sehingga sangat penting untuk menjaga leher.Jika ada kemungkinan patah tulang leher, leher pasien tidak boleh digerakkan sampai tindakan medis diberikan dan X-ray dapat diambil. Itu jalan 19



terbaik untuk mengasumsikan adanya cedera leher bagi siapa saja yang terkena benturan, jatuh atau tabrakan. Gejala fraktur servikal termasuk parah dengan rasa sakit pada kepala, nyeri yang menjalar ke bahu atau lengan,memar dan bengkak di bagian belakang leher. 2. Penanganan Operasi Goal dari penanganan operasi adalah: Reduksi mal aligment, decompresi elemen neural dan restorasi spinal stability. Operasi anterior dan posterior Anterior approach, indikasi: 1) Ventral kompresi 2) Kerusakan anterior collum 3) Kemahiran neuro surgeon Posterior approach,Indikasi: 1) Dorsal kompresi pada struktur neural 2) Kerusakan posterior collum Keuntungan: 3) Dikenal banyak neurosurgeon 4) Lebih mudah 5) Medan operasi lebih luas dapat membuka beberapa segmen 6) Minimal morbility 3. Pembatasan aktivitas Studi spesifik yang membandingkan keluaran dengan atau tanpa pembatasan aktivitas belum ada. Jadi toleransi terhadap respon pengobatan yang bersifat individual sebaiknya menjadi panduan bagi praktisi. Pada tahap akut sebaiknya hindari pekerjaan yang mengharuskan gerak leher berlebihan. Pemberian edukasi mengenai posisi leher yang benar sangatlah membantu untuk menghindari iritasi radiks saraf lebih jauh. Seperti contohnya : penggunaan telepon dengan posisi leher



menekuk



menghindari



dapat



dikurangi



dengan



menggunakan



headset,



penggunaan kacamata bifokal dengan ekstensi leher yang



berlebihan, posisi tidur yang salah. Saat menonton pertandingan pada lapangan



20



terbuka, maupun layar lebar sebaiknya menghindari tempat duduk yang menyebabkan kepala menoleh/berotasi ke sisi lesi. 4. Penggunaan collar brace Ada banyak jenis kolar yang telah dipelajari untuk membatasi gerak leher. Kolar kaku/ keras memberikan pembatasan gerak yang lebih banyak dibandingkan kolar lunak (soft collars ), kecuali pada gerak fleksi dan ekstensi. Kelebihan kolar lunak : memberikan kenyamanan yang lebih pada pasien. Pada salah satu studi menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan pasien untuk menggunakan kolar berkisar 68-72%. Penggunaan kolar sebaiknya selama mungkin sepanjang hari. Setelah gejala membaik, kolar dapat digunakan hanya pada keadaan khusus , seperti saat menyetir kendaraan dan dapat tidak digunakan lagi bila gejala sudah menghilang. Sangatlah sulit untuk menyatakan waktu yang tepat kolar tidak perlu digunakan lagi, namun dengan berpatokan : hilangnya rasa nyeri, hilangnya tanda spurling dan perbaikan defisit motorik dapat dijadikan sebagai petunjuk. 5. Modalitas terapi lain Termoterapi dapat digunakan untuk membantu menghilangkan nyeri. Modalitas terapi ini dapat digunakan sebelum atau pada saat traksi servikal untuk relaksasi otot. Kompres dingin dapat diberikan selama 15-30 menit, 1 sampai 4 kali sehari, atau kompres panas /pemanasan selama 30 menit , 2 sampai 3 kali sehari jika dengan kompres dingin/pendinginan tidak efektif. Pilihan antara modalitas panas atau dingin sangatlah pragmatik tergantung pada persepsi pasien terhadap pengurangan nyeri. Traksi leher merupakan salah satu terapi yang banyak digunakan meskipun efektifitasnya belum dibuktikan dan dapat menimbulkan komplikasi sendi temporomandibular. Ada beberapa jenis traksi, namun yang dapat dilakukan di rumah adalah door traction. Traksi dapat dilakukan 3 kali sehari selama 15 menit , dan dapat dilakukan dengan frekuensi yang lebih sedikit selama 4 sampai 6 minggu. Setelah keluhan nyeri hilang pun traksi masih dapat dianjurkan. Traksi dikontraindikasikan pada pasien dengan spondilosis berat dengan mielopati dan adanya arthritis dengan subluksasi atlanto-aksial. Latihan 21



yang menggerakan leher maupun merangsang nyeri sebaiknya dihindari pada fase akut. Saat nyeri hilang latihan penguatan otot leher isometrik lebih dianjurkan. Penggunaan terapi farmakologik dapat membantu mengurangi rasa nyeri dan mungkin mengurangi inflamasi di sekitar radiks saraf (meskipun inflamasi sebenarnya tidak pernah dapat dibuktikan di radiks saraf maupun diskus). Jika gejala membaik dengan berbagai modalitas terapi di atas, aktivitas dapat secara



progresif ditingkatkan dan terapi dihentikan atau kualitas



diturunkan. Jika tidak ada perbaikan atau justru mengalami perburukan sebaiknya dilakukan eksplorasi yang lebih jauh termasuk pemeriksaan MRI dan dipertimbangkan dilakukan intervensi seperti pemberian steroid epidural maupun terapi operatif. Tidak ada patokan sampai berapa lama terapi non-operatif dilanjutkan sebelum tindakan operatif. Defisit neurologis pada herniasi diskus daerah lumbal yang cukup besar dilaporkan bisa terjadi perbaikan tanpa operasi. Mungkin hal ini juga bisa terjadi pada herniasi diskus di servikal



22



BAB III KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN TRAUMA SERVIKAL



A. Pengkajian 1. Pengkajian Primer a. Airway. Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis, trauma servikalis tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung.Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. b. Breathing. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat. Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat. c. Circulation. Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan denyut nadi Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah



23



mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik. d. Disability. Melihat secara keseluruhan kemampuan pasien diantaranya kesadaran pasien. e.



Exprosure Melihat secara keseluruhan keadaan pasien. Pasien dalam keadaan sadar



(GCS 15) dengan :Simple head injury bila tanpa deficit neurology a) Dilakukan rawat luka b) Pemeriksaan radiology c) Pasien dipulangkan dan keluarga diminta untuk observasi bila terjadi penurunan kesadaran segera bawa ke rumah sakit 2. Pengkajian Skunder. a.



Aktifitas /Istirahat. Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada bawah lesi. Kelemahan umum / kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf).



b.



Sirkulasi. Hipotensi, bradikardi, ekstremitas dingin dan pucat.



c.



Eliminasi. Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena, emisis berwarna seperti kopi tanah /hematemesis.



24



d.



Makanan /cairan. Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus paralitik)



e.



Higiene. Sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari (bervariasi)



f.



Neurosensori. Kelumpuhan, kelemahan, kehilangan tonus otot /vasomotor, kehilangan refleks /refleks asimetris termasuk tendon dalam. Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh yang terkena karena pengaruh trauma.



g.



Nyeri /kenyamanan. Mengalami deformitas, postur



h.



Pernapasan. Pernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan bunyi napas, ronki, pucat, sianosis.



B. Diagnosa Keperawatan yang muncul: 1. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas 2. Ketidak efektifan pola nafas 3. Ketidak efektifan perfusi jaringan serebral.



25



C. Rencana Keperawatan No



1.



Diagnosa



Ketidak efektifan bersihan jalan nafas



Perencanaan



Implementasi



Tujuan



Intervensi



Rasional



Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1 x 24 jam kebutuhan jalan nafas adekuat dengan karakteristik:



1. Lakukan jaw trust 2. Lakukan pemasang collar neck 3. Lakukan pembersihkan jalan nafas 4. Lakukan Pemasangan OPA 5. Lakukan pengisapan suction 6. Lakukan auskultasia suara nafas catat adanya suara tambahan 7. Observasi TTV



1. Untuk mencegah terjadinya multiple trauma 2. Untuk menstabilkan daerah leher 3. Untuk memersihkan jalan nafas 4. Untuk menstabilkan jalan nafas dan mencegah lidah menutupi jalan nafas 5. Untuk membersihkan jalan nafas 6. Untuk mengetahui adanya sumbatan jalan nafas 7. Untuk mengetahui keadaan umum pasien



- Mengeluarkan secret secara efektif - Tidak ada penumpukan secret dan suara nafas jernih - Menunjukan jalan nafas paten.



26



1. Melakukan jaw trust 2. Melakukan pemasang collar neck 3. Melakukan pembersihkan jalan nafas 4. Melakukan Pemasangan OPA 5. Melakukan pengisapan suction 6. Melakukan auskultasia suara nafas catat adanya suara tambahan 7. Observasi TTV



2.



3.



ketidak efektifan pola nafas



Ketidak efektifan perfusi jaringan serebral



Setelah 1. Observasi 1. Untuk dilakukan frekuensi, mengetahui tindakan irama,kedalaman keadaan keperawatan 1 x pernafasan pernafasan 24 jam pola 2. Observasi tanda – nafas efektif tanda distress pernafasan, Dengan kriteria penggunaan otot 2. Untuk hasil: bantu, retraksi mengetahui intercostal,pernafa - Bunyi komplikasi san cuping hidung napas pulmonal dan vesikule 3. Berikan posisi pola nafas yang nyaman r 3. Untuk - Tidak memberi rasa ada nyaman Kolaborasi sputum - Pola - Berikan oksigen : Kolaborasi nafas mask non rebreating - Untuk normal - Pemeriksaan AGD memenuhi - Irama kebutuhan teratur oksigen - Untuk mengetahui kadar AGD dalam darah Setelah 1. Lakukan 1. Untuk dilakukan pengkajian nadi, mengetahui tindakan frekuensi, irama keadaan keperawatan 1 x dan kekuatan, umum pasien 24 tekanan darah 2. Hasil dari jam,diharapkan 2. Kaji status pengkajian klien neurologis yang dapat mampunyai berhubungan diketehui perfusi jaringan dengan tanda – secara dini serebral yang tanda adanya tanda adekuat dengan peningkatan TIK peningkatan kriteria hasil : terutama GCS TIK 3. Kolaborasi 3. Manitol - Tingkat pemberian obat – merupakan kesadaran obatan seperti cairan normal manitol sesuai hipertonis indikasi yang berguna untuk menarik cairan dari - TTV dalam intraselurer & batas normal ekstraselurer



27



1. Mengobservasi frekuensi, irama,kedalama n pernafasan 2. Mengobservasi tanda – tanda distress pernafasan, penggunaan otot bantu, retraksi intercostal,pernaf asan cuping hidung 3. Memberikan posisi yang nyaman Kolaborasi - Memberikan oksigen : mask non rebreating - Pemeriksaan AGD 1. Melakukan pengkajian nadi, frekuensi, irama dan kekuatan, tekanan darah 2. Melakukan pengkaji status neurologis yang berhubungan dengan tanda – tanda peningkatan TIK terutama GCS 3. Kolaborasi pemberian obat – obatan seperti manitol sesuai indikasi



28