Trombositopenia Pada Stroke Iskemik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TROMBOSITOPENIA PADA STROKE ISKEMIK



Pendahuluan Stroke merupakan penyebab kematian ketiga setelah penyakit jantung dan keganasan. WHO memperkirakan kejadian stroke selama tahun 2001 sebanyak 20juta orang. Di Amerika Serikat, prevalensi stroke sekitar 2,6% populasi dengan insidensi sebesar 700.000 orang setiap tahunnya dimana sekitar 70% kasus merupakan serangan stroke pertama dan 88% merupakan stroke iskemik (1). Walaupun kebanyakan terjadi pada usia tua, sekitar 28% serangan stroke terjadi pada usia dibawah 65 tahun , bahkan 5-10% kasus stroke infark dapat terjadi pada usia dibawah 55 tahun (2,3,4). Gejala sisa pasca stroke merupakan hal yang menjadi perhatian khusus pada kejadian stroke usia muda karena akan menghambat produktifitas. Pada usia muda, hanya 40% kasus stroke merupakan suatu iskemik. Penelitian epidemiologi di Taiwan, stroke iskemik pada usia muda yang disebabkan stenosis merupakan penyebab kedua tersering setelah diseksi (3). Sedangkan Bevan dkk melaporkan bahwa 42% stroke iskemik usia muda disebabkan oleh emboli kardiogenik dan aterosklerosis prematur (5). Sekitar 18% stenosis intrakranial terjadi pada sistim karotis dan 11% pada sistim vertebrobasiler. Beberapa gangguan hematologi yang terdiri dari gangguan komponen darah ataupun koagulasi dapat berkaitan dengan kejadian stroke iskemik. Lausanne Stroke Registry melaporkan 1% kejadian stroke iskemik dan 4% stroke pada usia muda disebabkan gangguan hematologi(6). Esensial trombositemia merupakan salah satu penyebab stroke pada usia muda yang diakibatkan gangguan komponen darah. Bersama dengan polisitemia vera dan mielofibrosis, esensial trombositemia merupakan bagian dari penyakit mieloproliferatif yang prevalensinya 70 perjuta populasi(7). Meskipun manifestasi neurologi pada esensial trombositemia hanya sekitar 26% dan sering diakibatkan oleh oklusi pembuluh serebral (8), masih banyak kontroversi dalam tatalaksananya. Berikut akan dibahas kasus stroke pada dewasa muda dengan disertai adanya gangguan hematologi berupa esensial trombositemia. Ilustrasi Kasus Seorang pria 44 tahun, menikah dan bekerja sebagai pegawai swasta datang ke IGD RSCM dengan keluhan kelemahan tubuh sisi kiri tiba-tiba dan menetap sejak 2 hari SMRS. Dua hari SMRS pasien merasa tubuh sisi kirinya lemah dan disertai mulut mencong dan bicara pelo. Saat itu os sedang berada dikantornya, os ketika akan berjalan, tiba-tiba sulit untuk melangkah dan mengangkat lengan kirinya. Kelemahan lebih dirasa berat pada tangannya terutama pada jemari dan selama 2 hari itu kelemahan tidak dirasa semakin memberat. Keluhan tidak disertai mual muntah, nyeri kepala, gangguan menelan, gangguan penglihatan, pandangan dobel, perubahan perilaku, kesemutan ataupun kejang. Demikian juga halnya dengan pusing berputar dan semutan sekitar mulut. Keluhan ini beberapa hari sebelumnya sudah mulai dirasakan, akan tetapi kelemahan membaik dalam 2-3 jam sehingga os tidak berobat. Nyeri kepala sering dirasakan dengan intensitas yang tidak semakin berat,



lokasi diseluruh kepala, berdenyut dan dengan obatan nyeri dapat mereda. Gangguan penglihatan tidak pernah terjadi, hanya os sering timbul kemerahan pada kulitnya dan disertai gatal. Manifestasi perdarahan tidak dijumpai, demam tidak ada, nyeri tungkai tidak ada. Riwayat darah tinggi, kencing manis dan sakit jantung disangkal. Kebiasaan merokok disangkal. Riwayat batuk lama juga disangkal. Riwayat stroke dalam keluarga disangkal. Pada pemeriksaan fisik umum didapatkan kesadaran kompos mentis, tampak sakit sedang, TD: 130/90 mmHg, FN: 78 kali/menit, FP: 20 kali/menit, S: 37.2oC. Konjungtiva tidak pucat, sklera tak ikterik. Jantung, BJ I-II (N), murmur (-), gallop (-). Paru: vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-. Abdomen: lemas , BU (+),tidak teraba pembesaran lien dan hepar. Ekstremitas: akral hangat, bengkak (-), nyeri (-), pulsasi (+). Pemeriksaan neurologis, GCS: E4M6V5=15, pupil bulat isokor diameter 2,5 mm, refleks cahaya langsung dan tak langsung baik. Pada funduskopi ODS papil batas tegas, cupping (+), warna jingga, aa:vv 2:3 dan tidak ditemukan perdarahan ataupun eksudat. Tanda rangsang meningeal; kaku kuduk (-), Kernig >135o, Lasegue >70o. Pada nervus kranialis didapatkan paresis nervus fasialis sinistra sentral dan hipoglosus. Motorik, kekuatan motorik ekstremitas atas 5555/2211, ekstremitas bawah 5555/4333. Refleks fisiologis: bisieps, triseps, brakhioradialis: +2/+2, KPR, APR: +2/+2, refleks patologis Babinski -/-. Sensorik: hipestesi (-). Otonom: baik. NIHSS : 5 Pemeriksaan laboratorium di IGD, Hb 16,3 gr/dL, Ht 48%, Leukosit 16.200/uL, Trombosit 972.000/uL, MCV 88 Fl, MCH 30 Pg, MCHC 34 g/dL. Ureum 25 mg/dl, Kreatinin 0,9 mg/dl, Gula darah sewaktu 88 mg/dl, Natrium 138 meq/L, Kalium 5,1 meq/L. Hemostasis; masa protrombin 13 detik, aktivitas protrombin 93 %, INR 1 (Kontrol 0,88), APTT 32 detik (Kontrol 38), fibrinogen 321 mg/dl, D Dimer 289 Ug/L. Hasil laboratorium seminggu sebelumnya; LED 24, Hb 16,8 gr/dL, Ht 51%, Leukosit 14.300/uL, Eritrosit 5.740.000/uL, Trombosit 1.106.000/uL, MCV 88 Fl, MCH 29,3 Pg, MCHC 32,9 g/dL. Hitung jenis; basofil 0, eosinofil 3, batang 0, segmen 74, limfosit 21, monosit 2, Hemostasis; masa protrombin 13,7 detik, INR 1,1 detik, APTT 31 detik, fibrinogen 330 mg/dl, agregasi trombosit normal. Kimia darah; SGOT 26 U/L, SGPT 41 U/L, Gamma GT 67 U/L, fosfatase alkali 115 U/L. Serologi; ACA IgG 600x109/L, hemoglobin ≤13 g/dL atau MCV normal (pria 400x 109/l (13) tapi pada literatur lain dikatakan tidak ada hubungan antara jumlah trombosit dengan trombosis(6). Pada pasien ini terjadi manifestasi neurologis berupa oklusi pada arteri serebri media kanan yang ditandai dengan kelemahan anggota gerak kiri dan pada pemeriksaan laboratorium terdapat trombositosis. Sesuai dengan penjelasan diatas, adanya peningkatan trombosit akan memicu terbentuknya trombus. Selain karena adanya kerusakan endotel pembuluh darah, pembentukan trombus juga dapat dipengaruhi oleh kecepatan aliran darah dan komposisi komponen darah (9). Pasien ini juga pernah mengalami kelemahan sebelumnya yang sembuh sendiri, kejadian transient iskemik attack ini menunjukan terjadinya trombus yang bersifat labil. Pada pemeriksaan penunjang neurosonologi maupun arteriografi jelas tervisualisasi adanya oklusi arteri. Pembentukan trombus dipengaruhi oleh keadaan dinding pembuluh, fungsi trombosit, kecepatan alirah darah dan komposisi komponen darah (14). Dinding pembuluh yang terdiri dari sel endotel berperan penting dalam mencegah terjadinya trombus karena merupakan barier antara trombosit dan jaringan ikat subendotel yang bersifat trombogenik. Didalam lapisan endotel terjadi keseimbangan antara faktor prokoagulan dan antikoagulan. Saat terjadi kerusakan endotel maka akan terjadi aktivasi dan agregsi trombosit. Saat jaringan subendotel terpapar maka kofaktor esensial adhesi †“ faktor von Willebrandyang berada pada jaringan kolagen akan berikatan dengan GPIb dan GPIIb/IIIa yang berada pada permukaan trombosit. Proses adhesi ini akan dilanjutkan dengan agregasi yang diawali dengan degranulisasi dense dan alfa granul. Kedua komponen ini merupakan organel sel trombosit. Dense granul akan melepaskan ADP sedangkan platelet faktor 4 dan beta tromboglobulin akan dilepaskan oleh alfa granul. Bersamaan dengan proses degranulisasi ini juga terbentuk tromboksan A2, trombin dan P-selektin yang akan memperkuat stimulus aktivasi dan agregasi trombosit. Selanjutnya trombin yang terbentuk dari kaskade koagulasi akan menstimulasi fibrinogen menjadi fibrin guna stabilisasi trombus. Proses agregasi ini akan dihambat oleh faktor antikoagulan endotel yang sehat dan antitrombin III (14). Penalaksanaan ET berdasarkan adanya manifestasi trombotik atau perdarahan yang terjadi. Secara garis besar tatalaksana ET dilakukan dengan pemberian antiplatelet dan platelet inhibitor. Preparat yang digunakan antara lain hidroksiurea (Hydrea®), interferon alfa atau anegrilide (Agrylin®). Hidroksiurea bekerja dengan menghambat sintesis RNA dan merupakan terapi lini pertama pada penyakit mieloproliferatif. Dosis 20-30 mg/kg/hari PO yang diberikan tiap 6 jam selama 2-6 minggu (12). Pada beberapa penelitian, preparat ini dapat mencegah kejadian trombotik pada 24% kasus. Anagrelide atau imidazoquinazolin merupakan suatu selektif trombositopenik yang bekerja cepat dan merupakan suatu inhibitor nonsitotoksik yang bekerja menghambat pematangan megakariosit. Kerja preparat ini pada fase postmitotik megakariosit sehingga akan memperlambat pematangan platelet. Preparat ini dapat menurunkan trombosit hingga < 600.000/mm3 akan tetapi tidak ada peneltian randomisasi akan kegunaan preparat ini dalam mencegah resiko terjadinya proses trombotik. Kendati demikian preparat ini digunakan pada intoleransi hidroksiurea atau pada penggunaan jangka panjang pada pasien muda. Dosis awal yang direkomendasikan 0,5 mg setiap 6 jam atau 1 mg setiap 12 jam. Dosis pemeliharaan adalah 0,5mg tiap 12jam hingga 1 mg per 6jam.



Total dosis sehari tidak lebih dari 10mg atau 2,5mg pada dosis tunggal. Dosis dapat dinaikan tiap minggu dan tidak melebihi 0,5 mg sehari. Penurunan jumlah platelet terjadi pada hari kelima dan mencapai normal pada hari 12-14. Efek samping yang sering terjadi berupa sefalgia, palpitasi, diare hingga noniskemik kardiomiopati yang jarang terjadi, akan tetapi keluhan ini akan hilang dengan titrasi dosis. Interferon alfa yang diberikan subkutan 21-35 juta unit tiap minggu selama 4-6 minggu dapat mengurangi jumlah trombosit. Dosis pemeliharaan 3 juta unit seminggu 3 kali diberikan jika sudah terjadi remisi komplet ( 60 tahun disertai kejadian trombosis atau perdarahan dan dengan jumlah trombosit > 1500x103/L (grade A). Sedangkan pada pasien 40-60 tahun dengan resiko kardiovaskular (rokok, hipertensi,hiperkolesterol dan diabetes) serta trombosit > 1000x103/L perlu diberikan platelet inhibotor (grade D) (20). Target terapi trombosit 400x103/L (grade D). Prognosis; ad vitam bonam karena keadaan klinis saat perawatan relatif stabil dengan faktor penyulit minimal. Ad functionam dubia ad bonam, NIHSS merupakan prediktor kuat keadaan paska stroke dan NIHSS