Tugas Cici [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Ecocriticism sebagai disiplin akademis mulai digalakkan pada 1990-an, meskipun akarnya mulai 1970-an. Karena merupakan wilayah studi baru, para sarjana masih terlibat dalam mendefinisikan ruang lingkup dan tujuan subjek. Cheryll Glotfelty, salah satu pelopor di lapangan, telah mendefinisikan ecocriticism sebagai "studi tentang hubungan antara sastra dan lingkungan fisik," dan Laurence Buell mengatakan bahwa studi ini harus "dilakukan dalam semangat berkomitmen terhadap praksis lingkungan." David Mazel menyatakan itu adalah analisis sastra "seolah-olah sifat penting." Studi ini, ia berpendapat, tidak dapat dilakukan tanpa pemahaman yang tajam tentang krisis lingkungan dari zaman modern dan dengan demikian harus memberitahukan tindakan pribadi dan politik; itu, dalam rasa, bentuk aktivisme. Banyak kritikus juga menekankan sifat interdisipliner penyelidikan, yang diinformasikan oleh ilmu pengetahuan ekologis, politik, etika, studi perempuan, studi asli Amerika, dan sejarah, antara bidang akademis lainnya. Istilah ini diciptakan pada tahun 1978 oleh William Rueckert dalam esainya: Minat studi penulisan alam dengan membaca sastra yang terfokus pada masalah "hijau"  tumbuh di tahun 1980, "Sastra dan Ekologi Sebuah Percobaan di Ecocriticism." Ecocriticism awal 1990-an telah muncul sebagai suatu disiplin  yang diperkenalkan dalam departemen sastra universitas Amerika. Beberapa kritikus berpendapat bahwa tradisi Amerika menulis alam berasal dari karya Thoreau. Karya lain berupa nonfiksi dari Amerika tentang alam Alam Ralph Waldo Emerson (1836). Esai ini adalah pernyataan penulis tentang prinsip-prinsip filosofi Transendentalisme, yang ia gambarkan sebagai "sebuah hipotesis untuk menjelaskan alam dengan prinsip-prinsip lain daripada pertukangan dan kimia." Dalam karya ini, Emerson berbicara tentang kesatuan mistis alam dan mendesak para pembacanya untuk menikmati hubungan dengan lingkungan. Penulis Amerika lain dari periode yang karyanya telah dilihat  penting oleh ecocritics termasuk William



Cullen Bryant, James Kirke Paulding, James Fenimore Cooper, Nathaniel Hawthorne, Walt Whitman, dan sejumlah kecil penulis yang menulis cerita tentang Wild West. Abad kesembilan belas Amerika dan penjelajah naturalis sering didiskreditkan oleh ecocritics  memprakarsai gerakan konservasi. Para penulis ini berbeda dari "sastra" penulis karena pekerjaan mereka lebih berfokus pada deskripsi ilmiah dan spekulasi tentang alam. Namun, seperti banyak kritikus telah menunjukkan, tulisan-tulisan mereka yang memiliki semangat puitis yang membuat ide-ide mereka diakses pembaca awam. Dua hal  besar  pada abad kesembilan belas naturalis Amerika, sebagian besar kritikus setuju, adalah John Burroughs dan John Muir. Karya awal Burroughs itu dipengaruhi oleh Whitman, terutama esai-esai yang dikumpulkan dalam Wake-Robin (1871) dan Burung dan Penyair (1877) Setelah membaca Charles Darwin dan John Fiske, Burroughs berbalik untuk spekulasi ilmiah tentang alam dan kemudian dalam kehidupan mengambil pandangan yang lebih spiritual. Muir, yang berasal dari Skotlandia, bepergian di Amerika Serikat dan didokumentasikan pengamatannya dalam ratusan artikel dan sepuluh buku utama. Dia juga bekerja untuk mencegah kerusakan lingkungan, dan dia dikreditkan  bertanggung jawab untuk melestarikan Lembah Yosemite di California, yang menjadi taman nasional kedua di Amerika Serikat. Di Inggris, pada abad kesembilan belas, para penyair Romantis bereaksi keras terhadap penekanan abad kedelapan belas pada alasan dan mencari cara baru untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka. William Wordsworth, dianggap  untuk menjadi juru bicara gerakan, merayakan keindahan dan misteri alam di beberapa lirik yang paling terkenal, termasuk "Michael" (1800), yang menggambarkan seorang gembala sederhana yang sangat terikat dengan alam sekitarnya. Puisi Wordsworth otobiografi The Prelude (1850) catatan pemahaman penyair berkembang alam, dan The Excursion (1814) adalah refleksi filosofis yang panjang mengenai hubungan manusia dan alam. Puisi Samuel Taylor Coleridge, John Keats, Lord Byron, dan Percy Shelley juga mencakup deskripsi emosional dari alam dan fitur beberapa ayat alam yang paling terkenal dalam bahasa Inggris. Shelley "Ode to Angin Barat," untuk mengutip salah satu contoh, telah disebut puisi liris yang paling terinspirasi menggambarkan alam dalam bahasa Inggris. Bunga Romantis di alam sangat penting untuk ecocritics karena



penyair revolusioner dalam politik mereka, dan pelestarian alam adalah salah satu unsur pemikiran radikal mereka. Seorang penyair romantis yang menggunakan pemahamannya alam untuk protes terhadap mesin kapitalis baru adalah John Clare, yang, tidak seperti yang lain, adalah dirinya sendiri buruh dan bekerja di darat. Kemudian abad kesembilan belas catatan para penulis Inggris termasuk Thomas Hardy, yang dalam novel arti tempat selalu mengambil tengah panggung, dan Matthew Arnold, yang cinta puisi "Dover Beach" (1867) dikatakan menawarkan salah satu uraian terbaik dari tempat di puisi Inggris. Seperti kritikus telah menunjukkan, salah satu alasan yang ecocriticism terus tumbuh sebagai suatu disiplin adalah krisis lingkungan terus global. Ecocricism bertujuan untuk menunjukkan bagaimana karya penulis peduli terhadap lingkungan dapat memainkan beberapa bagian dalam memecahkan masalah ekologi nyata dan mendesak. Munculnya ecocritisism diilhami oleh pergerakan-pergerakan lingkungan modern. Diawali dengan gerakan lingkungan pada tahun 1960-an karena kekhawatiran terhadap perubahan populasi dan kelangkaan sumber daya alam. Rachel Carson mampu memanfaatkan gaya pastoral yang berarti dalam terobosan "Silent Spring" nya (1962), yang sering dibahas oleh berbagai ekokritiker. Meskipun demikian istilah "ecocriticismbaru  diciptakan pada tahun 1978 oleh William Rueckert dalam esainya: Minat studi penulisan alam dan dengan membaca sastra dengan fokus pada "hijau" masalah tumbuh di tahun 1980, "Sastra dan Ekologi Sebuah Percobaan di Ecocriticism." Sementara itu Ecocriticism sebagai disiplin akademis mulai digalakkan pada 1990-an, Ecocriticism memiliki asosiasi untuk studi sastra dan lingkungan (ASLE) memiliki akses ke jaringan internasional dengan berbagai konferensi, publikasi dan kursus. Asosiasi ini  berkembang di Jerman, Jepang, Inggris, dan korea yang telah rutin menerbitkan tulisan tentang sastra lingkungan.Host pertemuan asosiasi ini dilaksanakandua tahun sekali bagi para sarjana yang berurusan dengan masalah lingkungan dalam literatur. ASLE menerbitkan jurnal-Interdisipliner Studi Sastra dan Lingkungan (Isle)-di mana beasiswa Amerika saat ini dapat ditemukan.



B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut: (1)   Tentang Ekokritik Sastra (2)   Sasaran Ekokritik Sastra (3)   Jejak Langkah Ekokritik Sastra (4)   Ekokritik Sastra Terapan (5) Model Kajian Ekokritik Sastra



BAB II PEMBAHASAN



A. Ekokritik Sastra Ekokritik sastra tergolong baru dalam kancah penelitian sastra. Jagad kritik sastra juga baru mengenal istilah ekokritik, biarpun sejak lama konteks demikian sudah ada. Hal ini juga diakui Garrad (2014:1-2), tokoh yang ikut meletakkan dasar ekokritik sastra. Dia termasuk tokoh yang layak disebut bapak ekokritik sastra. Ekokritik sastra cenderung menjadi pilar kritik sastra. Kritik sastra tentu berupaya memberikan evaluasi sastra. Phillips (2013:1) berpendapat bahwa ekokritik sastra telah mencatat sampai sekarang tentang sikap hidup manusia yang terlalu saleh terhadap alam. Kesalehan ini tentu dapat menarik perhatian ekokritik sastra dan ekologi sastra. Dalam pemahaman dia, para penulis sastra dan kritikus dianggap sering bersekutu dalam pertahanan alam. Penulis sastra ingin menyuarakan alam, kritikus mempertimbangkan suara alam secara evaluative. Langkah ekokritik demikian juga dilakukan oleh Garrad (2014:3) yang bersikap tegas dan sopan, bahwa secara umum tentang dorongan dari gerakan lingkungan modern yang mulai berlangsung sejak tahun 1960-an. Sedangkan modus lain dari kritik politik dalam karya sastra, seperti Marxisme, feminisme dan postkolonialisme, juga memiliki asal-usul sebagai gerakan sosial baru di masa itu. Sejaks saat itu, arus utama dalam sastra dan kajian budaya, telah ada (dan di beberapa kalangan) memiliki resistensi yang cukup besar terhadap praktik ekokritik kritik yang berpusat pada bumu. Ekokritik sastra adalah upaya memahami artefak budaya baik lisan maupun tertulis. Kemampuan untuk menyelidiki artefak budaya dari perspektif ekologi itu mulai mencuat kuas ketika Greg Garrad (2014:3), mulai mengenalkan lewat berbagai artikel dan paper dalam berbagai seminar sastra. Ekokritik, adalah perspektif kajian yang berusaha menganalisis sastra dari sudut pandang lingkungan. Kajian ini berupaya mengamati bahwa krisis lingkungan tidak hanya menimbulkan pertanyaan



teknis, imiah dan politik, tetapi juga persoalan budaya yang terkait dengan fenomena sastra. Upaya mengkaji sastra dari aspek lingkungan secara kritis telah memunculkan disiplin yang relatif baru disebut ekokritik sastra. Kebiasaan yang terjadi dalam ekokritik sastra adalah mempresentasikan fenomena kultural, iklim, perubahan lingkungan dalam sastra. Ecocriticism adalah studi literatur dan lingkungan dari titik pandang interdisipliner dalam arti semua ilmu  digunakan bersama-sama untuk menganalisis lingkungan dan mencari solusi yang mungkin untuk koreksi situasi lingkungan kontemporer. Ecocriticism adalah pendekatan secara luas yang dikenal oleh sejumlah sebutan lain, termasuk "(budaya) studi hijau", "ecopoetics", dan "kritik sastra lingkungan".          Ecocriticism merupakan  studi representasi alam dalam karya sastra dan hubungan sastra dengan lingkungan. Dengan demikian secara tidak langsung ecocritisism



menyalurkan



tanggapan



manusia



terhadap



perkembangan



lingkungannya. Ekokritisisme menganggap ada suatu realitas ekstra-tekstual yang memengaruhi manusia dan artefaknya—dan seluruh kebijaksanaannya. Melalui studi ini dipandang tepat untuk melakukan penyembuhan pada pelanggaran-pelanggaran antara sains berat dan kemanusiaan—dan teori sastra tidak sedang melakukan hal itu. B. Sasaran Ekokritik Sastra Sasaran ekokritik tentu spesifik, yaitu karya yang bernuansa ekologi. Sasaran pokok ekokritik tentu perlu seleksi, tidak asal karya sastra dikritik atas dasar ekokritik sastra. Yang perlu diingat lagi bahwa ekokritik sastra adalah sebuah perspektif yang mempertimbangkan aspek lingkungan ke dalam sastra. Pada dasarnya alam memang selalu dekat. Sastra dan alam  butuh harmoni, agar manusia dapat hidup enak. Ketika keharmonisan terganggu, alam bergejolak, manusia akan gundah. Pada titik ini sastra akan angkat bicara. Itulah sebabnya perspektif eko-ilmiah perlu digunakan untuk menelusuri karya sastra. Hal ini mengingat kontemplasi sastrawan di alam sunyi seolah-olah sudah menjadi “lagu wajib”. Dari realitas sastra, tidak sedikit karya yang memuja alam dan lingkungan sekitarnya. Kadang-kadang sastrawan juga merasa iba terhadap suasana ekologi. Dari tulisan Miah (2017:1-3) yang membahas puisi-puisi alam Wordsworth cukup



menarik disimak. Dia membahas puisi penyair besar ini menggunakan kacamata ekoscienfifik. Menurut dia, banyak puisi yang melukiskan ilmu alam. Alam semestinya menjadi guru ilmiah bagi manusia. Perlu diketahui, ekologi adalah ilmu yang mempelajari efek dari peradaban modern terhadap lingkungan. Hal ini juga berkaitan dengan masalah lingkungan dan kesadaran di kalangan umum dan dengan demikian dapat membantu melestarikan keseimbangan ekologi. Kunci pokok dari ekokritik juga pencapaian harmoni (keseimbangan). Harmoni dapat dicermati melalui teks sastra. Disiplin ilmu ini masuk ke dalam dunia sastra ketika kritikus cenderung untuk megevaluasi sebuah karya sastra dari perspektif eko-ilmiah yaitu dengan menerapkan istilah “ekokritisme”. Artinya ekokritisme itu akan menemukan harmonisasi antara sastra, manusia, dan alam semesta. Harmonisasi  adalah cita-cita hidup manusia. Sastra menjadi wahana mencapai harmonisasi. Dengan penerbitan dua karya penuntun ekoritik sastra, keduanya diterbitkan pada pertengahan 1990-an berjudul The Eccocritisme Reader dengan editor Cheryll Glotfelty dan Harold Fromm serta Environmental Imagination editor oleh Lawrence Buell ekokritisme mulai mendapat perhatian banyak pihak. Lawrence Buell (Miah, 2017:4) orang yang pertama kali secara resmi memunculkan istilah “ekokritisme”. Siapa yang pertama kali mencetuskan pandangan ekokritisme perlu dicatat, namun yang lebih penting adalah bagaimana menyuburkan pandangan itu. Yang jelas ekokritisme menawarkan pendekatan studi yang luas dan diakui oleh sejumlah sebutan lain. Ekokritik sastra menyetujui gagasan yang memiliki sasaran: (1) sebagai “studi budaya hijau”, (2) sebagai bentuk eko-puisi untuk mengungkap kandungan harmoni alam dalam teks, dan (3) sebagai kritik sastra yang bernuansa lingkungan. Dengan demikian pula dinyatakan bahwa ekokritisme adalah studi tentang hubungan antara sastra dan lingkungan fisik (Fromm, 1996: 18). C. Jejak Langkah Ekokritik Sastra Glotfelty dan Fromm (2015:1-2) menjelaskan panjang lebar tentang hakikat ekokritisme. Ekokritisme yang ia bidik sebenarnya pembaca sastra. Pembaca adalah penentu makna. Komunikasi sastra akan terjadi secara baik apabila pengirim pesan, teks, dan pembaca bersinergi. Pembaca adalah orang yang patut dipertimbangkan



dalam kajian ekokritik. Bahkan dalam skala luas pembaca semakin manarik kajian ekologi sastra. Menjelajahi hubungan antara sastra dan lingkungan fisik, tetap harus dikaitkan dengan pembaca. Ekologi sastra adalah studi tentang cara-cara yang terkait dengan membaca dan menulis baik mencerminkan dan mempengaruhi interaksi kita dengan alam. Pengantar buku Glotfelty dan Fromm (2015:3) berjudul, “The Eccocticsm Reader” mendefinisikan wacana sastra ekologi dan sketsa perkembangannya sudah berlangsung selama seperempat abad terakhir. Dua puluh lima judul artikel pilihan dalam buku ini, memuat campuran esai yang dicetak ulang berkali-kali. Isi dari artikel itu mampu melihat ke belakang, tentang asal-usul dan menatap ke depan untuk menemukan kecenderungan serta memberikan penjelasan menarik dan gamblang dengan pendekatan ekologi sastra. Daftar bacaan yang direkomendasikan, majalah yang relevan, dan organisasi profesional termuat dalam buku berharga itu. The Eccocriticsm Reader adalah bacaan representatif dan menjadi bidang studi sepenuhnya terlibat dengan masalah kontemporer yang paling mendesak dalam krisis lingkungan global. Secara sederhana, ekokritisme adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara sastra dan lingkungan fisik. Sama seperti kritik feminisme meneliti bahasa dan sastra dari perspektif sadar gender, dan kritik Marxis membawa kesadaran mode produksi dan ekonomi suatu kelas untuk membaca teks, ekokritisme memanfaatkan pendekatan bumi sebagai pusat studi sastra. D. Ekokritik Sastra Terapan a. Terapan Ekokritik Dalam Puisi Puisi adalah karya yang paling akrab dengan alam semesta, penyair seringkali menyenggamai alam.  Mereka dengan amat suntuk menjadikan alam sebagai media dan sekaligus ruh karya-karyanya. Dalam konteks puisi Indonesia, D. Zawawi Imron (Mu’in, 2013:3) terlihat akrab dengan alam melalui sejumlah puisinya. Salah satu puisinya yang berjudul “Pemandangan” dijadikan bahan kajian dalam artikel ini:



Pemandangan Karya: D. Zawawi Imron Kubiarkan bakau-bakau di rawa itu melanjutkan pesanmu, Awan jingga, langit jingga, angin jingga dan laut jingga Riak air yang belas padaku mengiba sepanjang lagu, Dahan-dahan yang sudah mati kembali menari-nari menyambut embunmu senjahari Di tengah laut namamu bermain cahaya, aku sangat ingin kesana Tepi terasa dengan sampan seribu tahun aku tak sampai Dengan keharuan, mungkin kah cukup satu denyutan? Dari perseptif teori Universe-nya Abrams, puisi di atas dapat ditinjau dari 4 (empat) sudut pandang: ekspresif, mimesis, obyek, dan pragmatis. Dua sudut pandang di antaranya, yakni: ekspresif dan mimesis, digunakan untuk menanggapi puisi di atas. Sebelum menulis puisi, dalam perspektif ekspresif, penyair tentu sudah memiliki ide atau gagasan yang akan disampaikan melalui puisinya. Ide atau gagasan itu tentu dapat melalui pengamanan terhadap lingkungan sekitarnya. Banyak hal yang telah dapat diamati. Namun, dalam kaitan dengan puisi di atas, alam merupakan hal yang paling manarik. Penyair ini menjadikan alam sebagai medium untuk menyampaikan gagasannya kepada pembaca atau lawan tuturnya. Diksi yang digunakan berkaitan dengan istilah-istilah alam untuk lingkungan pantai seperti bakau, laut, rawa, awan, dahan, angin, air embun, senjahari, dan cahaya. Benda-benda ini seolah sebagai makhluk hidup yang mampu berinteraksi dan sekaligus menyampaikan keluh kesahnya kepada manusia. Kajian yang dilakukan Mu’in (2013) demikian sudah sangat tepat. Puisi yang dia hadapi secara kebetulan memang jelas melukiskan alam. Penyair pun amat lembut melukiskan keadaan alam. Pengkaji bebas memaknai puisi itu dapat ditinjau dari pespektif apa pun. Maka tidak salah apabila secara umum, puisi di atas berbicara tentang pemandangan di pantai yang dihadirkan dengan penutur tunggal. Secara



khusus puisi itu menceritakan bagaimana dia (penutur) tersebut berinteraksi dengan alam “Kubiarkan bakau-bakau di rawa itu melanjutkan pesanmu”, seolah penutur ini mengetahui bahwa bakau-bakau yang telah rusak itu meminta bantuan kepadanya dan manusia umumnya untuk memelihara bakau-bakau itu. “Riak air yang belas padaku mengiba sepanjang lagu….” Menyiratkan bahwa air laut pun tidak tinggal diam, yang dengan riaknya meminta agar manusia memelihara hutan bakau, bukan membiarkan atau bahkan merusaknya. Secara mimesis, puisi ini merefleksikan adanya banyak kerusakan alam. Secara faktual, kerusakan alam terjadi di mana-mana. Pembabatan hutan secara liar terjadi dengan maraknya. Kebakaran hutan selalu menghiasi bumi pertiwi di kala kemarau tiba; sebagai akibatnya kesediham dan kesengsaraan menimpa sebagian anak negeri. Penyakit ISPA (inspeksi saluran pernapasan) merepa dinding-dinging alat pernapasan di dalam dada mereka. Hutan bakau yang juga penting bagi keseimbangan ekologi pantai, juga mengalami kerusakan. Rusak karena sengaja atau tidak sengaja. Rusak karena sengaja sering terjadi; hutan bakau diganti dengan bangunan demi keuntungan ekonomi. Rusak karena ketidaksengajaan manusia-manusia di sekitarnya yang tidak memiliki kepedulian terhadap hutan bakau. Pemandangan di pantai yang seharusnya indah, mulai kehilangan keindahannya dan kesejukannya. Dari sudut pandang mimesis, puisi yang berjudul pemandangan dapat dikatakan sebagai refleksi dari lingkungan alam yang mulai rusak. Secara ekokritik, penyair puisi ini mengetahui bahwa lingkungan alam, khsususnya pantai dengan segala aspeknya, banyak mengalami kerusakan. Kerusakan lingkungan alam ini dapat disebabkan karena adanya pembiaran oleh manusia, atau justru karena adanya perusakan oleh manusia secara sengaja; misalnya hutan bakau itu di babat untuk kepentingan pembangunan. Kerusakan alam akibat perlakuan manusia dengan cara ini mengacu pada kerusakan alam. b. Terapan Ekokritik Dalam Cerpen Cerpen itu karya yang pendek, dibaca sekali duduk selesai. Cerpen termasuk karya yang sering peduli lingkungan. Banyak cerpen yang memuat tokoh-tokoh pemerhati dan perusak lingkungan. Cerpen yang melukiskan lingkungan sudah



amat banyak. Maka kajian ekokritik sastra terhadap cerpen jauh lebih menarik. Dewi (2019:1) sudah mencoba meneliti cerpen menggunakan ekokritik sastra. Cerpen-cerpen Indonesia yang dia baca, ternyata banyak menyuarakan konteks ekologis. Menurutnya, memang cocok menerapkan ekokritik sastra dalam sebuah cerpen, sebab ekokritik sastra sudah semakin subur. Di beberapa Perguruan Tinggi yang mengelola sastra memang sudah mulai ada yang membuat skripsi, tesis, dan disetasi menggunakan kaca pandang ekokritik sastra. Keadaan ini memang sangat menggembirakan, sebab jagad ekokritik akan segera dikenal secara halus. Kajian ekokritik banyak memahami kondisi lingkungan. Yang dimaksud lingkungan adalah eksistensi bumi. Bumi diduga sudah mengalami krisis ekologis.



Krisis



ekologi



dan



dampak



pencemaran



lingkungan



makin



mencengkram perhatian dunia saat ini, perilaku manusia terhadap alam dan eksploitasi besar-besaran terhadapnya telah mendorong dunia menuju keruskan ekologis yang berkepanjangan sekaligus mengancam keberlangsungan hidup manusia itu sendiri. Lebih-lebih jika diperhitungkan dimensi sosial-ekonomi dan konsekuensi psikologis dari krisis lingkungan tersebut, tampak nyata bahwa kaum miskinlah yang paling dirugikan. Indonesia, misalnya merupakan salah satu negara yang didera krisis ekologi akibat pembalakan hutan dan polusi air. Sayang sekali kajian sastra tentang lingkungan hidup di Indonesia masih terbatas karena hal ini berkaitan dengan ketebatasannya pula karya sastra bersperspektif ekologi. Terdapat berbagai imajinasi alam di dalam karya sastra. Kritik lingkungan hidup merupakan representasi yang paling radikal dibandingkan dengan pujian terhadap keindahan alam seperti dalam puisi atau novel beraliran romantisme ataupun hujatan atas kekejaman alam (terhadap manusia) yang tampak pada karya sastra bermazhab naturalisistis-realis/deterministis. Dalam cerita pendek “Kering” karya Wa Ode Wulan Ratna (2016), pembalakan hutan di Pekanbaru menjadi persoalan yang dihadapi oleh tokoh-tokoh dalam cerita tersebut. Suryaningsih (2018) membaca dominasi patriarki atas alam dan perempuan pada cerpen ini. Penelitian Wiyatmi (2018) atas novel Amba karya Laksmi Pamuncak, misalnya menunjukkan bahwa eksploitasi yang dilakukan



rejim pemerintah (Orde Baru) tidak hanya berdimensi politisi tetapi juga ekonomis dan kapitalis, di mana kakayaan alam Pulau Buru seperti tambang minyak, pohon kayu putih dan yang lainya menjadikan pulau tersebut surga bagi para investor asing. Melalui pembacaan ekokritik, terlihat ada wilayah ekonomipolitik yang disembunyikan dibalik penggambaran Pulau Buru yang sengaja dikontruksikan oleh penguasa. Pembacaan berwawasan lingkungan semacam ini amat diperlukan untuk memperkaya kajian sastra tanah air. c. Terapan Ekokritik Dalam Novel Novel adalah fiksi yang banyak melukiskan lingkungan. Tak ada novel yang tidak terkait dengan lingkungan. Novel absurd pun tetap terkait dengan lingkungan. Oleh sebab itu ekokritisme tepat diterapkan untuk memahami novel. Quick (2017:1) menyatakan bahwa ekokritisme adalah istilah umum untuk analisis sastra diinformasikan oleh ekologi atau kesadaran lingkungan (Marshall). Novel banyak menampilkan lingkungan yang pantas dibaca dengan sadar ekologis. Hal ini berarti pengkaji ekokritik novel akan mempelajari hubungan antara sastra dan alam melalui berbagai pendekatan memiliki sedikit kesamaan selain keprihatinan bersama dengan lingkungan. Novel Anak Bajang Mengiring Angin karya Sindhunata, Layar Terkembang karya Sutan



Takdir



Alisyahbana, Bumi



Manusia karya



Pramudya



Ananta



Tour, Donyane Wong Culika karya Suparta Brata, layak dibedah dari ekokritik sastra. Ekokritisme paling tepat diterapkan untuk karya-karya novel agar terungkap berbagai pendidikan karakter. Ketika interaksi yang signifikan terjadi antara penulis dan tempat, karakter dan tempat akan selalu hadir secara estesis. Landscape dengan definisi mencakup unsur-unsur non-manusia tempat-batuan, tanah, pohon, tanaman, sungai, hewan, air-serta manusia persepsi dan modifikasi sering menjadi tumpuan novelis berimajinasi. d. Terapan Ekokritik Sastra Lisan Sastra lisan adalah karya yang anonym, tetapi tetap bermakna. Sastra lisan. Sastra lisan seperti halnya pantun (parikan), wangsalan, dongeng, seringkali dipadukan dalam bentuk folklore. Bartlett (Ahmadi, 2016:1) menyatakan, pada  dasarnya



sastra lisan adalah sastra yang didengarkan. Permainan pantun atau berbalas pantun sering mengungkapkan lingungan sekitarnya. Eko-sastra lisan akan menjawab segala hal yang terkait dengan kelisanan. Puisi lisan seperti tekateki; bapak pocung pasar mlathi kidul Denggung, kricak lor Negara, pasar gedhe loring Loji menggok ngetan kesasar neng Gandamanan. Lagu lisan ini melukiskan lingkungan topografi di wilayah Yogyakata. Eco-sastra lisan dapat diterapkan pada aneka ragam sastra lisan. Sastra lisan yang berkembang luas di negeri ini adalah pantun. Pantun kentrung misalnya, menurut Hutomo (2013:1) banyak menawarkan halihwal kejadian lingkungan. Daya kritis seorang pelantun kentrung, sering mengkritisi keadaan lingkungan. Djojosuroto (2013:87) sudah mengkaji pantun Menado dikaitkan dengan ekokritik sastra. Dia mencoba menggali pesan-pesan tersembunyi dalam pantun. Menurutnya, prinsipprinsip eko-sastra memuat konsep: (1) Eco-sastra adalah karya sastra yang berbicara dan berdiskusi tentang bumi, alam, dan lingkungan, (2) Eco-Sastra adalah karya sastra (puisi dan prosa) yang memberikan pemahaman bagi pembaca untuk tidak membuang sampah sembarangan, (3) Eco-sastra baik puisi atau prosa sastra yang memberikan kesadaran kepada setiap pembaca untuk mencintai bumi dengan sepenuh hati, dan (4) Eco-sastra adalah karya sastra yang mengimbau setiap warga dunia untuk melestarikan alam dan isinya untuk pelestarian bumi. Prinsip tersebut amat penting dipegang teguh ketika hendak mengkaji sastra dari perspektif ekokritik sastra. Yang paling urgen bahwa eko-sastra adalah karya sastra puisi (lisan) yang banyak memuat pesan bumi dan lingkungan. Maskud pantung demikian adalah memberi pengertian kepada pembaca agar bertindak bijak pada bumi dan lingkungan. Contoh lain dari pantun kerusakan alam: Kalau ingin melanglang buana  jangan memandang fatamorgana lingkungan rusak dimana-mana  kesadaran manusia hanya wacana



Meskipun dirusak, tetapi bumi selalu diproduksi untuk tanaman, produk pertambangan untuk kesejahteraan manusia. Meski selalu di cukur dan isi tubuhnya yang diambil, bumi selalu memberikan manfaat dan keindahan. Hal ini tidak mudah untuk mengubah kebiasaan yang telah membantu. Namun, kami dapat secaraa bertahap mengasah kepekaan kami baik melalui puisi atau prosa dan eco-literatur. E. Model Kajian Sastra Lingkungan a. Model Kajian Narasi Pastoral Pastoral merupakan bentuk puisi atau drama yang mengisahkan para gembala yang berbicara dengan penggembala lainnya, baik tentang penggembalaannya maupun tentang lingkungan pedesaan yang melingkupinya. Oleh karena itu, secara mudah dapat dikatakan bahwa penggembala(an) merupakan penanda penting pastoral (no shepherd, no pastoral). Selain itu, bentuk pastoral juga dapat dilihat dari sudut pandang pembaca atau pendengar. Dari sudut pandang ini, pastoral merupakan bentuk pelarian diri (retreat) menuju dan kembali (return) ke alam pedesaan atau ke kehidupan masa lampau. Pemahaman lebih khusus mengenai pastoral adalah penggunaannya yang secara umum mengacu kepada area isi, yaitu segala bentuk sastra yang berisi penjelasan tentang alam pedesaan yang secara implisit maupun eksplisit



bertentangan dengan alam



perkotaan (Gifford, 2016:1). 1. Telaah unsur bucolic ‘pengembala’ Salah satu elemen penting yang terdapat dalam karya pastoral adalah bucolic (baucolos:



Yunani)



„penggembala‟



yang



dapat



digunakan



secara



sederhana berarti „dari desa‟, tetapi implikasi penggunaan-nya diasosiasikan dengan komik „pelawak‟. Audiens perkotaan yang terpelajar menganggap orang- orang desa adalah pelawak. Puisi masa itu melebih-lebihkan humor/gurauan dari orang



pedesaan.



Makna



bucolic



dipadan-kan



dengan „penggembala‟ dengan pertimbangan bahwa „penggembala‟ dan penggembalaan



menjadi



penanda penting pastoral, lebih-lebih pada awal



sejarahnya.



2. Telaah unsur Konstruksi Arcadia Ciri penting pastoral lainnya adalah memuat kontruksi Arcadia di dalam teksnya. Arcadia adalah cara hidup yang diidealkan atau tempat yang diidealkan. Karena bentuk awal teks pastoral adalah Idylls (judul puisi Theocritus), maka Idylls diasosiasikan dengan pastoral. Kata Idyllls diambil dari bahasa Yunani „eidyllion‟ yang berarti smart picture yang berisi tulisan pendek tentang deskripsi yang diidealkan. Istilah Idylls dalam perkembangan selanjutya digunakan secara umum, tidak hanya mengacu kepada bentuk puitika khusus. Misalnya, tidak memetik buah dari pohonnya dapat disebut Idylls (Gifford, 2016:13-16). Dapat dirumuskan bahwa unsur-unsur yang terdapat di dalam konstruksi Arcadia ada tiga, yaitu (1) unsur Idylls yang memuat deskripsi idealisasi nilainilai desa yang mengimplikasikan kritisisme kota; (2) unsur nostalgia, sebagai bentuk yang selalu melihat ke belakang atau ke masa lalu; dan (3) unsur Georgic yang menampilkan kenyamanan bekerja secara harmonis dengan alam. 3. Telaah unsur wacana Retreat dan Return Pembaca/audiens mengenal bahwa pedesaan dalam teks pastoral adalah Arcadia karena bahasa yang diidealisasikan. Dengan kata lain, pastoral adalah wacana, yaitu cara penggunaan bahasa yang mengonstruksikan dunia yang berbeda dari realitas yang sebenarnya. Terlepas dari inklusi dalam ucapanucapan penggembala dan elemen-elemen dialeknya, tradisi pastoral didasarkan pada asumsi bahwa wacananya tidak mereplikasi komunikasi yang sebenarnya. Pastoral secara esensial adalah wacana retreat yang secara sederhana berarti pelarian dari kompleksitas kota, orang-orangnya, masa kini, „tingkah laku kita‟, „mengeksplorasi‟-nya (Gifford, 2061: 45-46). b. Model Kajian Narasi Apokaliptik Sastra apokaliptik adalah genre sastra naratif tentang (i) wahyu yang dimediasi oleh makhluk dari dunia yang diterimakan kepada manusia; (ii) mengungkapkan suatu realitas transenden yang temporal; (iii) menyangkut bayangan eskatologis



keselamatan, (iv) bersifat spasial; dan (v) melibatkan dunia supranatural yang lainnya (Wolf dalam Carter, 2007:3). Beberapa karakteristik yang umum dalam sastra apokaliptik adalah (i) penulis cenderung memilih beberapa orang besar di masa lalu dan membuatnya menjadi pahlawan dalam



cerita; (ii) pahlawan sering mengalami suatu perjalanan, disertai oleh pemandu surgawi yang menunjukkan padanya pemandangan yang menarik dan memberikan komentarnya; (iii) informasi sering dikomunikasikan melalui visi; (iv)



visi sering menggunakan simbolisme yang aneh, bahkan penuh teka-teki;



(v) visi sering bersifat pesimis sehubungan dengan kemungkinan bahwa intervensi manusia akan memperbaiki situasi saat ini; (vi) visi biasanya berakhir dengan Tuhan yang membawa ke kehancuran dahsyat akhir dan membangun situasi yang lebih baik; (vii) penulis apokaliptik sering menggunakan nama samaran, meng- klaim bahwa dia menulis demi pahlawan yang dipilihnya; (viii) penulis sering mengambil sejarah masa lalu dan menuliskannya kembali seolaholah itu ramalan; dan (ix) fokus apokaliptik adalah menghibur dan mempertahankan "sang pembela kebenaran " (Morris dalam Carter, 2015: 4). 4. Telaah unsur karakter pahlawan Salah satu karakteristik sastra apokaliptik adalah adanya sosok pahlawan. Sosok pahlawan dalam cerita digambarkan melakukan perjalanan yang disertai pemandu. Karena itulah, telaah unsur karakter pahlawan dapat dilakukan melalui pengamatan terhadap (1) pemilihan beberapa orang besar di masa lalu dan membuatnya menjadi pahlawan dalam cerita; (2) narasi perjalanan sang hero disertai oleh pemandu surgawi; dan (3) umumnya pemandu perjalanan tokoh pahlawan menunjukkan padanya pemandangan yang menarik dan memberikan komentarnya (Morris, 2015). 5. Telaah unsur lingkungan apokaliptik Interpretasi baru tentang apokaliptik sebagai sebuah gagasan yang tidak bertujuan memprediksi masa depan tetapi mengubahnya, diungkapkan oleh Killingsworth dan Palmer dalam catatannya terhadap The Population Bomb karya Paul Ehrlich. Klaim ini didukung oleh komentar Ehrlich sendiri (2014: 52) bahwa lingkungan apokaliptisisme dalam pemahaman ini bukan tentang mengantisipasi akhir dunia, melainkan upaya untuk mencegah hal itu dengan cara persuasif. Telaah unsur lingkungan apokaliptik dapat dilakukan melalui pengamatan terhadap (a) narasi yang mengandung kilasan tentang



dunia



yang berubah (Thompson 1997: 13-14); (b) narasi yang mengandung upaya persuasif untuk mencegah akhir dunia, bukan mengantisipasi akhir dunia (Garrard, 2014: 99); (3) adanya kesadaran bahwa sebagai bagian dari alam semesta organik, manusia melakukan hal terbaik dengan mengakui keajaiban alam; dan (4) narasi yang mengandung kesadaran penolakan terhadap godaan untuk memaksakan kehendak atas alam '(Janik 2015: 107). 6. Telaah unsur visi atau ramalan Telaah unsur visi atau ramalan dapat dilakukan dengan cara menganalisis (1) wujud informasi apokaliptik yang dikomunikasikan melalui mimpi, (2) penggunaan simbol dan teka-teki tertentu dalam penyampaian visi; (3) sifat pesimistis visi sehubungan dengan kemungkinan bahwa intervensi manusia akan memperbaiki situasi saat ini; dan (3) narasi yang mengambil sejarah masa lalu dan menuliskannya kembali seolah-olah itu ramalan. c. Model Kajian Etis Etiket berbicara tentang nilai dan prinsip moral yang dianut oleh masyarakat tertentu sebagai pedoman dan kriteria dalam berperilaku sebagai manusia. Pada umumnya, sistem nilai, yang dipelihara sebagai sebuah kebiasaan hidup yang baik, diturunkan dan diwariskan melalui agama dan kebudayaan, yang dianggap sebagai sumber utama norma dan nilai moral (Keraf, 2013: 14-16). Etiket memerlukan sarana dan media ekspresi. Sarana ekspresi etiket dapar berupa bahasa, meskipun aspek nonbahasa juga turut diperhitungkan. Media ekspresinya dapat berwujud (karya) sastra. Etiket yang terekspresikan melalui bahasa beragam wujudnya. Salah satu perwujudannya adalah etiket lingkungan atau (nilai) kearifan lingkungan. Kearifan lingkungan merupakan sebuah kesadaran untuk menjadi bagian dari alam sehingga tercipta satu kesatuan harmoni (Amrih, 2008:33). Kearifan lingkungan merupakan istilah awal yang terlebih dahulu dikenal sebelum munculnya istilah kearifan lokal. Dengan pertimbangan bahwa kearifan lingkungan merupakan sikap dan perilaku khas masyarakat lokal,



maka konsep yang populer dikenal selanjutnya adalah kearifan lokal. Kearifan lokal memiliki



keragaman istilah, antara lain adalah local genius (H.G. Quaritch Wales), cultural identity atau kepribadian budaya bangsa (Haryati Soebadio), kepribadian kebudayaan lokal (Mundardjito), cerlang budaya (Ayatrohaedi), identitas bangsa, identitas kebudayaan (Soediman), indigenous knowledge (Semali dan Kincheloe). Selain istilah yang beragam, kearifan lokal juga memiliki pengertian yang beragam pula di antara pakar-pakar. Keberagaman pengertian yang dimaksudkan sejatinya hanya berbeda secara redaksional, berbeda dari sisi kelengkapan perumusan, dan berbeda dari sisi penekanan, penonjolan, pengutamaan atau pengedepanan hal tertentu. Secara substansi, masing-masing pengertian kearifan lokal memiliki kemiripan dan kesalingbergayutan. Keberagamaan pengertian tersebut dapat dipilah menjadi pengertian



yang



menekankan,



menonjolkan,



mengutamakan,



atau



mengedepankan aspek (i) ikhwal; (ii) bentuk atau wujud; (iii) ciri-ciri atau karakteristik; (iv) fungsi; (v) pola pewarisan dan wujud ekspresi; serta (vi) hasil. Dari aspek pengedepanan ikhwal dan proses pembentukannya, Soemarwoto (1982) mengartikan bahwa kearifan lokal (indigenous knowledge, atau local wisdom) merupakan akumulasi pengalaman dan pembelajaran yang terjadi secara terus-menerus dalam kurun waktu yang sangat lama dari generasi ke generasi. Akumulasi pengalaman ini membentuk suatu pemahaman yang dalam terhadap kondisi lingkungan yang dihadapi. Hal ini menyebabkan tindakan yang dikerjakan selalu berdasar pada pemahaman kondisi dan kekayaan pengalaman yang telah dipunyai, sehingga terbentuk pengetahuan/ilmu yang mampu menghadapi dan mengatasi kondisi suatu lingkungan. Pemahaman yang mendalam tersebut selanjutnya disebut sebagai “kearifan ekologi”, dan dalam perjalanannya berkembang menjadi ”kearifan lokal” (local wisdom) karena kekayaan dan keragaman lingkungan yang demikian luas yang bersifat sangat spesifik lokasi. Dari aspek pengutamaan bentuk atau wujud, Pitoyo (2008) memaknai kearifan sebagai bentuk kemauan untuk melihat, merasakan, menggagas, dan kemudian patuh terhadap norma-norma; bentuk kemauan untuk melihat dan bertindak sesuai alur hukum alam Sang Pencipta; dan bentuk kesadaran untuk



menjadi bagian dari alam sehingga tercipta satu kesatuan harmoni. Dari segi yang



sama, Keraf (2013) mengungkapkan bahwa kearifan tradisional adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat k ebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Jadi, kearifan tradisional bukan hanya menyangkut pengetahuan atau pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman, dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi di antara semua penghuni komunitas ekologi. Seluruh kearifan tradisional ini dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang sekaligus membentuk pola perilaku manusia sehari-hari baik terhadap sesama manusia maupun terhadap alam dan yang gaib. Dari aspek pengedepanan aspek ciri-ciri (karakteristik), Matowanyika (1991) menggagas bahwa sistem kearifan tradisional (pengetahuan masyarakat lokal) didasarkan atas beberapa karakter penggunaan sumberdaya yaitu: (1) sepenuhnya pedesaan; (2) sepenuhnya didasarkan atas produksi lingkungan fisik setempat; (3) integrasi nilai ekonomi, sosial, budaya serta institusi dengan hubungan keluarga sebagai kunci sistem distribusi dan keluarga sebagai dasar pembagian kerja; (4) sistem distribusi yang mendorong adanya kerjasama; (5) sistem pemilikan sumberdaya yang beragam, tetapi selalu terdapat sistem pemilikan bersama; dan (6) sepenuhnya tergantung pada pengetahuan dan pengalaman lokal. Dari sisi yang sama, Rahayu (2004) menjelaskan bahwa pengetahuan tradisional merupakan tata nilai dalam tatanan kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan, yang hidup di tengah-tengah masyarakat tradisional. Ciri yang melekat dalam pengetahuan tradisional adalah sifatnya yang dinamis, berkelanjutan, dan dapat diterima oleh komunitasnya. Dalam komunitas masyarakat tradisional, pengetahuan tradisional terwujud dalam bentuk sepe- rangkat aturan, pengetahuan, keterampilan, tata nilai, dan etika yang mengatur tatanan sosial komunitas yang terus hidup dan berkembang dari generasi ke generasi. Selanjutnya, Poespowardjojo menyebutkan bahwa kearifan (lokal) berisi prinsip-prinsip (1) mampu bertahan terhadap budaya luar, (2) memiliki kemam- puan akomodatif, (3) memiliki kemampuan integratif, (4) mampu mengendalikan, dan (5) memberi arah pada



perkembangan budaya.



Dari aspek pewarisan dan wujud ekspresi, Semali dan Kincheloe (1998) menjelaskan bahwa pengetahuan indigenous disimpan dalam ingatan masyarakat dan aktivitas mereka. Pengetahuan ini juga dinyatakan dalam cerita, lagu, cerita rakyat, peribahasa, tarian, mitos, nilai-nilai budaya, kepercayaan, ritual, masya- rakat hukum, bahasa lokal, praktik pertanian, peralatan, bahan, jenis tanaman, dan jenis hewan. Pengetahuan indigenous dikomunikasikan secara lisan, dengan contoh khusus, dan melalui budaya. Bentuk komunikasi dan organisasi adat sangat penting untuk proses pengambilan keputusan tingkat lokal dan untuk pelestarian, pengembangan, dan penyebaran pengetahuan ini. Dari pengedepanan aspek fungsi, Putra (2008) menyatakan bahwa kearifan lokal merupakan perangkat pengetahuan dan praktik-praktik, baik yang berasal dari generasi-generasi sebelumnya maupun dari pengalaman berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat lainnya milik suatu komunitas di suatu tempat, yang digunakan untuk menyelesaikan secara baik dan benar berbagai persoalan dan/ atau kesulitan yang dihadapi. Dari aspek hasil, H.G. Quaritch Wales mendefinisikan kearifan (lokal) sebagai



keseluruhan



ciri-ciri



kebudayaan



yang



dimiliki



oleh



suatu



masyarakat/bangsa sebagai hasil pengalaman mereka pada masa lampau. Salim (1999) menyebutkan bahwa kearifan (lokal) adalah hasil refleksi terus menerus dalam kaitannya dengan interaksi manusia dengan lingkungan sehingga memunculkan bentuk pengembangan etika, sikap-kelakuan, pola hidup, serta pelbagai tradisi yang berimplikasi positif bagi pemeliharaan dan pelestarian lingkungan hidup.



Kearifan lingkungan bewujud prinsip-prinsip moral berupa sikap hormat terhadap alam (respect for nature), sikap tanggung jawab terhadap alam (moral responsibility for nature), solidaritas kosmis (cosmic solidarity), prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam (caring for nature), prinsip tidak merugikan alam (no harm), prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam; prinsip keadilan; prinsip demokrasi; dan prinsip integritas moral (Bandingkan Tylor, 1986; Naess, 1993; Singer, 1993; Keraf, 2013). 7. Telaah Sikap Hormat terhadap Alam Sikap hormat terhadap alam memandang bahwa manusia mempunyai kewajiban moral untuk menghargai alam. Sikap demikian didasari atas kesadaran manusia merupakan bagian dari alam dan karena alam mempunyai nilai pada dirinya sendiri (Bandingkan Keraf, 2013: 167). Dalam perspektif etika lingkungan, penghormatan terhadap alam sebagai unsur ekologi didasari oleh kesadaran masyarakat tentang nilai intrinsik alam, bahwa alam mempunyai nilai pada dirinya sendiri sehingga ia mempunyai hak untuk dihormati. Alam mempunyai hak untuk dihormati, tidak saja karena kehidupan manusia bergantung kepada alam, tetapi terutama karena kenyataan ontologis bahwa manusia adalah bagian integral dari alam, sehingga manusia adalah anggota komunitas ekologis. Integrasi antara manusia dan alam dalam komunitas ekologis adalah sebuah realita yang menunjukkan adanya keterkaitan, keterikatan, ketakterpisahan, dan keutuhan hubungan. Dalam pandangan Timur misalnya, realitas tidak dibagi dalam berbagai bidang yang terpisah-pisah dan tanpa hubungan satu sama lain, tetapi realitas dilihat sebagai satu kesatuan menyeluruh. Pada hakikatnya, pandangan Timur melihat interaksi-interaksi sosial sekaligus merupakan sikap terhadap alam, sebagaimana juga sikap terhadap alam mempunyai relevansi sosial (bandingkan Suseno, 1993: 82). Lebih lanjut, dalam kerangka pandangan Timur yang kosmosentris-spiritual, manusia dan alam merupakan kesatuan dalam keselarasan (bandingkan Saryono, 2008: 196).



Dapat disimpulkan bahwa sikap hormat terhadap alam terwujud dalam (1) kesanggupan menghargai alam, (2) kesadaran bahwa alam mempunyai nilai pada dirinya sendiri, (3) kesadaran bahwa alam memili hak untuk dihormati, (4) kesadaran bahwa alam mempunyai integritas, dan (5) penghargaan terhadap alam untuk berada, hidup, tumbuh, dan berkembang secara alamiah sesuai dengan tujuan penciptaannya (Bandingkan Armstrong dan Botzler, 1993; Keraf, 2013: 167:168). 8. Telaah Sikap Tanggung Jawab Moral terhadap Alam Terkait dengan prinsip hormat terhadap alam adalah tanggung jawab moral terhadap alam, karena secara ontologis manusia adalah bagian integral dari alam. Tanggung jawab ini bukan saja bersifat individual melainkan juga kolektif. Prinsip moral ini menuntut manusia untuk mengambil prakarsa, usaha, kebijakan, dan tindakan bersama secara nyata untuk menjaga alam semesta dengan segala isinya. Hal ini berarti bahwa kelestarian dan kerusakan alam merupakan tanggung jawab bersama seluruh umat manusia. Tanggung jawab bersama ini terwujud dalam bentuk mengingatkan, melarang, dan menghukum siapa saja yang secara sengaja atau tidak merusak dan membahayakan eksistensi alam.Tanggung jawab moral bukan saja bersifat antroposentris egoistis, melainkan juga kosmis. Suatu tanggung jawab karena panggilan kosmis untuk menjaga alam itu sendiri, untuk menjaga keseimbangan dan keutuhan ekosistem. Tanggung jawab yang menye- babkan manusia merasa bersalah ketika terjadi bencana alam karena keseimbang- an ekosistem terganggu. Maka, manusia lalu melakukan tindakan kosmis untuk mengungkapkan rasa bersalahnya dan secara kosmis ingin menyeimbangkan kembali kekacauan kosmis itu (Keraf, 2010: 169-171). Tanggung jawab terhadap keberadaan air dan tanah misalnya, bukan hanya bersifat individual melainkan juga kolektif. Prinsip moral ini menuntut manusia untuk mengambil prakarsa, usaha, kebijakan, dan tindakan bersama secara nyata untuk menjaga keseimbangan alam. Hal ini mengimplikasikan bahwa kelestarian air dan tanah merupakan tanggung jawab bersama seluruh umat manu- sia. Tanggung jawab bersama ini terwujud dalam bentuk



mengingatkan, mela- rang, dan menghukum siapa saja yang secara sengaja atau tidak mengancam



membahayakan eksistensi unsur-unsur alam tersebut (Bandingkan Keraf, 2013: 169). 9. Telaah Sikap Solidaritas terhadap Alam Sudut pandang ekofeminisme menolak semua logika dominasi sehingga tidak membenarkan adanya subordinasi. Tidak ada satu pihak yang lebih baik dari pihak yang lain. Laki-laki tidak lebih baik dari perempuan, kulit putih lebih baik dari kulit hitam, dan manusia juga tidak lebih baik dari yang bukan manusia (alam), sehingga semua pihak berkedudukan sejajar (bandingkan Warren dalam Keraf, 2013; 152). Sebagai bagian integral dari alam semesta, manusia tentunya mempunyai kedudukan ekual dengan alam dan dengan sesama makhluk hidup lain. Kenyataan ini menumbuhkan perasaan solider dalam diri manusia, perasaan sepenanggungan dengan alam dan dengan sesama makhluk hidup lain. Misalnya, bisa ikut me- rasakan apa yang dirasakan oleh hewan sehingga timbul kesadaran untuk melindunginya.Dapat dikatakan bahwa sikap solider terhadap alam terwujud dalam (1) pengakuan kedudukan sederajat dan setara dengan alam dan dengan sesama makhluk hidup lain di alam ini; (2) sikap turut merasakan apa yang dirasakan oleh alam; (3) upaya menyelamatkan alam, mencegah manusia untuk tidak merusak dan mencemari alam dan keseluruhan kehidupan di dalamnya; dann (4) usaha mengharmoniskan perilaku manusia dengan ekosistem. 10.



Telaah Sikap Kasih Sayang dan Kepedulian terhadap Alam Kasih sayang dan kepedulian terhadap alam muncul dari kenyataan bahwa



sebagai sesama anggota komunitas ekologis, semua makhluk hidup mempunyai hak untuk dilindungi, dipelihara, tidak disakiti, dan dirawat. Prinsip ini adalah prinsip moral satu arah, menuju yang lain, tanpa mengharapkan balasan. Semakin menyayangi alam, manusia semakin berkembang menjadi manusia yang matang, sebagai pribadi dengan identitasnya yang kuat (Bandingkan Keraf, 2013: 172- 173). Sikap kasih sayang terhadap alam menimbulkan keinginan dan perilaku melindungi dan memelihara alam dengan sebaik-baiknya.



Ketenangan dan keselarasan kosmis terwujud melalui sikap rukun, sikap yang tidak saling mengusik atau tidak saling mengganggu antarelemen kosmis.



Dengan



perwujudan



demikian,



menjaga



kerukunan



kosmis



merupakan



sikap kasih sayang, demikian pula menjaga keberlanjutan



kosmis. Kekasihsayangan dapat terjaga dan terpelihara jika setiap manusia berusaha bersikap, berucap, bertindak dan atau berbuat mencintai sesama makhluk (hidup) (bandingkan Saryono, 2018: 169). Alam menghidupkan manusia bukan hanya dalam pengertian fisik, melainkan juga dalam pengertian mental dan spiritual. Oleh sebab itu, diperlukan sikap kasih sayang dan kepedulian manusia terhadap alam agar ia dapat menjamin kesejahteraan lahir batin manusia. Dalam kehadirannya yang „psikis‟, (roh) alam senantiasa memunculkan kehati-hatian, kecermatan, dan kontrol spiritual bagi sikap dan perilaku manusia agar tidak merusak, mengeksploitasi, dan membawahkan alam pada satu sisi dan pada sisi yang lainnya mengupayakan keharmonisan hubungan hingga tercapai harmoni atau keselarasan dalam kehidupan. Dapat disimpulkan bahwa kasih sayang dan kepedulian terhadap alam didasari oleh kesadaran bahwa (1) semua makhluk hidup mempunyai hak untuk dilindungi, (2) semua makhluk hidup mempunyai hak untuk dipelihara, (3)



semua makhluk hidup mempunyai hak untuk tidak disakiti, dan (4)



perlindungan dan pemeliharaan terhadap semua makhluk hidup dilakukan tanpa mengharapkan balasan (bandingkan Keraf, 2013). Telaah Sikap Tidak Mengganggu Kehidupan Alam Manusia mempunyai kewajiban moral dan tanggung jawab terhadap alam, karena itu setidak-tidaknya ia tidak akan mau merugikan alam secara tidak perlu sebagaimana manusia tidak dibenarkan secara moral untuk melakukan tindakan yang merugikan sesama manusia. Sikap tidak mengganggu keberadaan sesama makhluk hidup merupakan salah satu wujud nilai tenggangrasa (toleransi) manusia. Nilai tenggangrasa berkaitan dengan kemampuan menghormati, dan menjaga keberadaan dan keadaan sesama manusia sehingga masing-masing



sama-sama leluasa, tidak dirugikan dan merugikan, tidak membuat susah dan menjadi susah. Sikap tidak mengganggu kehidupan alam termuat dalam (1) kesadaran tidak merugikan alam secara tidak perlu, (2) kesanggupan tidak mengancam eksistensi makhluk hidup di alam semesta, (3) pemertahanan dan penghayatan kewajiban tidak merugikan alam dalam norma, dan (3) pembiaran alam dalam keadaan tidak tersentuh.



                                        



BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian tersebut, dapat dirumuskan bahwa kritik sastra ekokritik menjadi lahan subur bagi peneliti dan akademisi untuk mengkaji sastra dan lingkungan di Indonesia. Lebih spesifik simpulan makalah ini adalah sebagai berikut.    Pertama, pandangan William Rueckert (1978) sebagai pelopor teori ekokritik yang bermula dari esainya berjudul ―Literature and Ecology: an Experiment in Ecocriticism‖ yang memperkenalkan teori ekologi dalam kaitannya dengan karya sastra. Teori ekologi menurut Rueckert adalah sebagai sains, satu disiplin, asas pandangan manusia yang mempunyai hubungan yang penting di masa kini dan masa dunia, termasuk disiplin ilmu lainnya. Para pemikir utama ekokritik tersebut dapat diserap gagasan tentang diskursus dan implikasinya dalam kritik atas manusia dan lingkungannya. Meskipun diketahui bahwa pemikiran ekokritik yang dikemukakan oleh Buell (2015) hampir sama dengan definisi Glotfelty dan Fromm (2015), tetapi Buell lebih menekankan pada kritik terhadap alam sekitar. Hasil kajian Rueckert (1978) dan Love (1996; 2003) lebih menghadirkan sastra dan wujud lingkungan fisik, baik sebagai sains-udara, tanah, angin, hutan—disiplin ilmu lainnya, makhluk binatang maupun pertumbuhan manusia itu sendiri dengan lingkungannya. Pandangan Garrad (2014) lebih menekankan konsep lingkungan yang tampak mata dan kerusakan lingkungan akibat manusia dan alam itu sendiri.    Kedua, paradigma ekokritik lebih berorientasi pada kerusakan atau krisis ekologi; ekologi yang terpusat pada organisme atau spesies yang menyesuaikan dengan lingkungan dan pada kelompoknya (hubungan manusia dengan manusia serta alam); konsep makhluk hidup yang berinteraksi dengan makhluk lainnya dalam suatu lingkungan; dan berpandangan pada etika antroposentrisme. Paradigma kajian ekokritik dapat ditelisik melalui karya sastra yang berhubungan dengan alam/lingkungan.   Ketiga, sebagai metode dan praktik pembacaan teks sastra, ekokritik dapat diterapkan dengan metode interdisipliner yang dapat dikaitkan dengan bidang ilmu lainnya, misalnya teori ekologi melahirkan teori romantisme, teori ekologi dan ilmu politik menjadi ekopolitik (ecopolitics), teori ekologi dan teori kapitalisme menjadi ekokapitalisme (ecocapilism), teori



feminisme dan teori sastra menjadi ekofeminisme (ecofeminism), teori poskolonial dan teori ekokritik menjadi poskolonial ekokritik (postcolonial ecocricism atau ecoimperalism), dan teori ekologi dan teori tanggapan pembaca melahirkan toei ekoresepsi pembaca. Metode dan praktik kritik ekokritik dapat pula diterapkan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan wacana dan pendekatan realita.    Keempat, teori ekokritik dapat diberlakukan dengan teori representasi dalam relasinya dengan kajian sastra. Representasi teori ekokritik yang dikemukakan oleh para pakar ekokritik bahwa studi sastra dan ekologi sebagai sebuah interdisiplin ilmu yang memungkinkan untuk menganalisis lingkungan dan mencari solusi dari persoalan ekologi dalam konteks kesusastraan. Oleh karena itu, adanya kritik sastra ekologi dapat dipahami sebagai bagian pembacaan kritis dan formula kritik sastra di Indonesia. 



DAFTAR PUSTAKA Endraswara, Suwardi. 2017. Metodologi Penelitian Ekologi Sastra: Konsep, Langkah, dan Penerapannya. Yogyakarta: CAPS. Endraswara, Suwardi (Ed.). 2018. Sastra Ekologi: Teori dan Praktik Pengkajian. Yogyakarta: CAPS. Mu’in Fatcul. 2013. Ekokritisme: Kajian Ekologi Dalam Sastra. Yogyakarta: Jurnal Kebahasaan dan Kesusatraan. Garrad. Greg. 2014. Eccocritism. London and New York: Routledge, 2004. ISBN 0-41519672-2. Kate Rigby, Monash University. Harsono, Siswo. 2018. “Ekokritik: Kritik Sastra Berwawasan Lingkungan” Semarang: Kajian Sastra; Jurnal Kebahasaan dan Kesusastraan. Amrih, Pitoyo.2008. Ilmu Kearifan Jawa. Yogjakarta: Pinus Book Publiser. Armstrong, Susan J. dan Richard G. Botzler (eds.).1993. Environmental Ethics: Divergence and Convergence. New York: McGraw Hill. Ayatrohaedi. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya. Buell, Lawrence. 1995. The Environmental Imagination. Cambridge: Harvard University Press. Carter, John W. 2010. An Introduction to the Interpretation of Apocalyptic Literature. The



Journal



of



Ecocritism.



2



(2).



(Online),



(http://ojs.unbc.ca/index.php/joe/article/view/129), diakses 2 Juli 2012. Ehrlich, P. 1998. Betrayal of Science and Reason: How Anti-Enviromental Rhetoric Threatens Our Future. Washington DC: Island Garrard, Greg. 2015. Ecocriticism. New York: Routledge Gifford, Terry. 2016. Pastoral. New York and London: Routhledge. Glothfelty, C dan H. Froom (eds.). 1996. The Ecocriticism Reader: Landmarks in Literary Ecology. London: University of Goergia Press.



Janik. Del Ivan. 2015. Environmental consciousness in modern literatu: four representative examples‟, dalam G Sessions (ed.) Deep Ecology for the



Twenty-First Century: Reading on the Philosophy and Practice of the New Environmentalism. London: Shambhala. Keraf, Sonny A. 2013. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Kerridge, R dan N. Sammells (eds.). 1998. Writing the Environment. London: Zed Books. Naess, Arne. 2013. Ecology, Community, and Lifestyle. Cambridge: Cambridge Univ. Press. Saryono, Djoko. 2018. Etika Jawa dalam Fiksi Indonesia: Representasi Nilai- Nilai Etis Jawa. Malang: Pustaka Kayutangan. Semali, Ladislaus M. and Joe L. Kincheloe. 1999. What Is Indigenous Knowledge? Voices from The Academy. New York: Falmer Press. Singer, Peter. 1993. Practical Ethics. Cambridge: Cambridge Univ. Press. Soemarwoto, Otto. 1986. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gadjah mada University Press, Yogyakarta. Suseno, Franz Magnis. 2015. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Thompson, D. 1997. The End of Time: Faith and Fear in the Shadow of the Millenium. London: Minerva.