Tumor Sinus Maksila [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN Rongga hidung dikelilingi oleh sinus paranasal yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan posterior, frontal dan sphenoid. Kedelapan sinus ini bermuara ke meatus rongga hidung. Oleh sebab itu pembicaraan tentang mengenai tumor hidung tidak dapat dipisahkan dari tumor sinus paranasal karena keduanya saling mempengaruhi kecuali jika ditemukan masing-masing dalam keadaan dini(1). Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak maupun yang ganas. Di Indonesia dan di luar negeri, kekerapan jenis yang ganas hanya sekitar 1% dari keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepala dan leher(2). Berdasarkan penelitian dari rumah sakit umum di sepuluh kota besar di Indonesia bahwa frekuensi tumor hidung dan sinus adalah 9,3–25,3% dari keganasan THT dan berada pada peringkat kedua setelah tumor ganas nasofaring. Di RSUP H. Adam Malik Medan selama Januari 2002 sampai dengan Desember 2008 pasien yang dirawat dengan diagnosis karsinoma hidung dan sinus paranasal adalah sebanyak 52 kasus. Kebanyakan melibatkan sinus maksila diikuti dengan sinus etmoid, frontal dan sfenoid. Penyakit ini sering pada usia 40-60 tahun (2,3).



1



BAB II TNJAUAN PUSTAKA



1. SINUS PARANASAL Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit di deskripsikan karena bentuknya sangat variasi pada setiap individu. Ada 4 pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu, 2 buah sinus maksila, 2 buah sinus frontal, 2 buah sinus ethmoid dan 2 buah sinus sfenoid. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung(4). Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan berkembang dimulai fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada sejak anak lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak berusia kurang lebih 8 tahun(4). a. Anatomi Sinus Maksila Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila beberbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita, dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada disebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid(4).



2



Gambar 1. Sinus Maksila b. Fisiologi Sinus Paranasal Sampai saat ini belum ada penyesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal, ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka(4). Beberapa teori yang di kemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain: a. Sebagai pengatur kondisi udara Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi b. Sebagai penahan suhu Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. c. Membantu keseimbangan kepala Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. d. Membantu resonansi suara Sinus berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. 3



e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya waktu bersin dan membuang ingus. f. Membantu produksi mukus Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingakn dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis(4). 2. TUMOR SINUS MAKSILA a. Etiologi 1. Etiologi tumor ganas sinonasal belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga beberapa zat kimia atau bahan industri merupakan penyebab antara lain nikel, debu kayu, kulit, formaldehid, kromium, isopropyl oil dan lain-lain. Pekerja di bidang ini mendapat kemungkinan terjadi keganasan sinonasal jauh lebih besar. Alkohol, asap rokok, makanan yang diasin atau diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadi keganasan, sebaliknya buah-buahan dan sayuran mengurangi kemungkinan terjadi keganasan(2). 2. Pajanan terhadap radio aktif Thorotrast dalam waktu yang lama meningkatkan resiko tumor sinus maksila 3. Sinusitis kronis meningkatkan resiko terbentuknya tumor 4. Konsumsi tembakau meningkatkan resiko terhadap terbentuknya tumor sinus maksila (squamous cell carcinoma), meskipun mekanisme serta pengaruh tembakau terhadap peningkatan resiko ini belum diketahui secara pasti(5). b. Epidemiologi Insiden tertinggi keganasan sinonasal ditemukan di Jepang yaitu 2-3,6 per 100.000 penduduk pertahun, juga ditemukan di beberapa tempat tertentu di Cina dan India. Di Departemen THT FKUI RS Cipto Mangunkusumo, keganasan ini ditemukan pada 10-15% dari seluruh tumor ganas THT. Laki-laki ditemukan lebih banyak dengan rasio laki-laki banding wanita sebesar 2:1(2). 4



Insidensi di India sekitar 0,44% dari seluruh keganasan di India dengan perbandingan antara pria dan wanita adalah 0,57% banding 0,44%. Insiden pada tahun 2000 adalah 0,3 per 100.000 penduduk. Kebanyakan melibatkan sinus maksila diikuti dengan sinus etmoid, frontal dan sfenoid. Penyakit ini sering pada usia 40-60 tahun(1). Karsinoma sel skuamosa merupakan jenis yang paling sering ditemukan. Enam puluh persen tumor sinonasal berkembang di dalam sinus maksilaris, 20-30% di dalam rongga nasal, 10-15% di dalam sinus etmoidalis, dan 1% di dalam sinus sfenoidalis dan frontalis. Apabila hanya melibatkan sinus-sinus paranasal tersendiri, 77% tumor maligna muncul di dalam sinus maksilaris, 22% di dalam sinus etmoidalis dan 1% di dalam sinus sfenoidalis dan frontalis(6). c. Jenis Histopatologi 1. Tumor jinak epithelial : adenoma dan papiloma 2. Tumor jinak non epithelial : fibroma, angiofibroma, hemangioma, neuilemomma, osteoma, displasia fibrosa dan lain-lain. Disamping itu ada tumor odontogenik misalnya ameloblastoma atau adamantinoma, kista tulang dan lain-lain. 3. Tumor ganas epithelial : karsinoma sel skuamosa, kanker kelenjar liur, adenokarsinoma, karsinoma tanpa diferensiasi dan lain-lain. 4. Tumor ganas non epithelial : hemangiperisitoma, bermacam-macam sarcoma termasuk rabdomiosarkoma dan osteogenik sarcoma ataupun keganasan limfoproliferatif seperti limfoma malignum, plasmasitoma ataupun polimorfik retikulosis sering juga ditemuka di daerah. 5. Beberapa jenis tumor jinak ada yang mudah kambuh atau secara klinis bersifat ganas karena tumbuh agresif mendestruksi tulang, misalnya papiloma inverted, displasia fibrosa atau pun ameloblastoma(2). d. Jenis Tumor 1. Tumor jinak Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa, secara makroskopis mirip polip, tetapi lebih vascular, pada dan tidak mengkilat. Ada 2 jenis papiloma, pertama eksofitik atau fungiform dan yang kedua endofitik disebut papiloma inverted yang bersifat sangat invasive dan dapat merusak jaringan disekitarnya. Tumor ini cenderung residif dan dan dapat berubah



5



menjadi ganas. Lebih sering dijumpai pada laki-lakiusia tua. Terapi untu tumor ini ialah bedah radikal, misalnya rinotomi lateral atau maksilektomi medial(2). 2. Tumor ganas Tipe histologi utama yang sering ditemukan pada tumor ganas regio nasal dan sinonasal terdiri dari karsinoma sel skuamosa atau karsinoma epidermoid (46%), limfoma maligna (14%), adenokarsinoma (13%) terutama berasal dari kelenjar salivari minor atau disebut juga Schneiderian carcinoma dan melanoma maligna (9%)(5). e. Manifestasi Klinis Gejala tergantung dari asal tumor primer serta arah dan perluasannya. Tumor di dalam sinus maxilla biasanya tanpa gejala, tetapi biasanya didapatkan darah oada secret hidung dan adanya gejala obstruksi nasal. Gejala lainnya timbul setelah tumor besar, dapat mendorong atau menembus dinding tulang dan meluas ke rongga hidung atau mulut, pipi, atau orbita(7). Tergantung dari perluasan tumor,gejala dapat di kategorikan sebagai berikut: 1. Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rhinorea. Sekretnya sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik. 2. Gejala orbital. perluasan tumor ke orbita menimbulkan diplopia, proptosis, atau penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora. 3. Gejala oral. Perluasan tumor kerongga mulut dapat menyebabkan penonjolan atau ulkus palatum atau prosesus alveolaris. Pasien mengeluh gigi geligi goyah. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi telah dicabut. 4. Gejala fasial. Perluasan tumor kedepan akan menyebabkan penonjolan pipi, disertai nyeri, anestesi atau parastesia muka jika mengenai nervus trigeminus. 5. Gejala Intrakranial. Perluasan tumor ke intrakranial menyebabkan sakit kepala hebat, oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuororea, yaitu cairan otak yang 6



keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka nervus otak lainnya akan terkena. Jika tumor meluas kebelakang, terjadi trismus akibat terkenanya muskulus pterigoideus disetai anestesi dan parastesi daerah yang di persarafi nervus maxillaries dan mandibularis. 6. Penyebaran ke sistem limfatik submandibula dan deep cervical nodes (pada keadaan tumor yang telah bermetastasis) Saat pasien berobat biasanya tumor sudah dalam fase lanjut. Hal ini yang juga menyebabkan diagnosis terlambat adalah karena gejala dininya mirip dengan rinitis atau sinusitis kronik sehingga sering diabaikan pasien maupun dokter(2). f. Pemeriksaan Fisik 1. Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah ada asimetri atau distorsi. Temuan lain yaitu adanya proptosis yang mendorong mata ke atas. 2. Pemeriksaan dinding lateral cavun nasi, jika terdorong ke arah medial menunjukan tumor berada di sinus maksila. 3. Palapasi gusi rahang atas dan palatum, apakah ada nyeri tekan, penonjolan atau gigi goyah. 4. Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi. 5. Pembesaran kelenjar leher juga perlu dicari meskipun tumor ini jarang bermetastasi ke kelenjar leher(2). g. Pemeriksaan Penunjang 1. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Biopsi tumor sinus maksila, daapat dilakukan melalui operasi Caldwell-Luc yang inisisinya melalui sulcus ginggivo-bukal 2. Foto polos sinus paranasal, untuk melihat adanya erosi tulang dan perselubungan padat unilateral.



7



3. CT Scan, sarana terbaik untuk melihat perluasan tumor dan destruksi tulangtulang 4. MRI (Magnetic resonance imaging), baik untuk melihat perluasan tumor ke jaringan padat dan untuk membedakan jaringan tumor dari jaringan norma tetapi kurang begitu baik dalam memperlihatkan dsetruksi tulang(2).



8



h. Stadium Tumor Sinus Maksilaris Cara penentuan stadium tumor sinus maksilaris yang terbaru adalah menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2006 yaitu (8): Tumor Primer (T) TX



Tumor primer tidak dapat ditentukan



T0



Tidak tampak tumor primer



Tis



Karsinoma in situ



T1



Tumor terbatas pada mukosa sinus maksilaris tanpa erosi dan destruksi tulang



T2



Tumor menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga palatum dan atau meatus media tanpa melibatkan dinding posterior sinus maksilaris dan fossa pterigoid



T3



Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus maksilaris, jaringan subkutaneus, dinding dasar dan medial orbita, fossa pterigoid, sinus etmoidalis



T4a



Tumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, fossa pterigoid, fossa infratemporal, fossa kribriformis, sinus sfenoidalis atau frontal



T4b



Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, duramater, otak, fossa kranial medial,



nervus kranialis selain dari divisi maksilaris nervus



trigeminal V2, nasofaring atau klivus(8).



T1 Terbatas pada mukosa sinus maksilaris



9



T2 menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga palatum dan atau meatus media tanpa melibatkan dinding posterior sinus maksilaris dan fossa pterigoid



T3 Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus maksilaris, jaringan subkutaneus, dinding dasar dan medial orbita, fossa pterigoid, sinus etmoidalis.



10



A.T4a menunjukkan invasi tumor pada anterior orbita. B. T4a menunjukkan invasi tumor pada sinus sfenoidalis dan fossa kribriformis



Pandangan



koronal



T4b



menunjukkan



tumor



menginvasi apeks orbita dan atau dura, otak atau fossa kranial medial



11



Kelenjar getah bening regional (N) NX



Tidak dapat ditentukan pembesaran kelenjar



N0



Tidak ada pembesaran kelenjar



N1



Pembesaran kelenjar ipsilateral ≤3 cm



N2



Pembesaran satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm, atau multipel kelenjar ipsilateral