EKTIMA (Impetigo Ulserative) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT & KELAMIN



REFERAT



FAKULTAS KEDOKTERAN



MARET 2018



UNIVERSITAS HALU OLEO



EKTIMA



Oleh: Maliftha Dwi Aini, S.Ked



Pembimbing : dr. Hj. Rohanna Sari Suaib, Sp.KK



DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT KELAMIN RSUD BAHTERAMAS/FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2018



EKTIMA Maliftha Dwi Aini, Rohana Sari Suaib



I. PENDAHULUAN Ektima merupakan ulkus superfisial dengan krusta diatasnya yang disebabkan karena infeksi oleh Streptococcus. Ektima tampak sebagai krusta tebal berwarna kuning dan biasanya berlokasi di tungkai bawah, yaitu tempat yang relatif banyak mendapat trauma. Jika krusta diangkat tampak lekat dan memiliki ulkus yang dangkal.1 Pioderma ialah penyakit kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus, Streptococcus, atau kedua-keduanya. Penyebabnya yang utama ialah Staphylococcus



aureus



dan



Streptococcus



A



beta



hemolyticus.1



Staphylococcus aureus merupakan penyebab terbanyak daari pyoderma superficial, tetapi Streptococcus group A penyebab paling sering di negara maju. Pioderma merupakan infeksi pada epidermis, tepat dibawah stratum korneum atau pada folikel rambut. Jika tidak diobati, pioderma bisa menginfeksi dermis dan mengakibatkan formasi furunkel dan ektima.2 Ektima biasa terjadi karena impetigo yang tidak diobati akibat tertutupi alas kaki atau pakaian, yang biasa terjadi pada tunawisma atau pada tentara yang ditugaskan di daerah iklim lembab dan panas. Lesi ektima juga sering terlihat pada ektremitas bawah anak-anak, lansia yang terabaikan, atau orang dengan penyakit diabetes. Higienitas yang buruk dan terabaikan merupakan kunci dari patogenesis ektima.2 Lesi yang terjadi pada ektima biasanya disebabkan karena trauma pada kulit misalnya gigitan serangga atau trauma minor. Patogenesis dan terapi dari ektima sama dengan impetigo.3 Jika terapi tidak adekuat, lesi ektima akan berkembang menjadi infeksi kulit dan jaringan lunak yang lebih dalam. Komplikasi nonsuppuratif infeksi Streptococcus A meliputi psoriasis guttate, scarlet fever dan glomerulonephritis. Ektima bisa



sembuh dengan jaringan parut. Infeksi Staphylococcus aureus dan Streptococcus A dapat terjadi berulang yang disebabkan oleh karena kegagalan dalam membasmi pathogen dengan kolonisasi.4 II. EPIDEMIOLOGI Insidensi ektima di dunia masih belum diketahui, tetapi angka kejadiannya masih lebih kurang dibandingkan dengan impetigo. Ektima dapat terjadi pada semua golongan ras ataupun etnis. Faktor predisposisinya meliputi panas, kelembapan, kebersihan yang buruk, dan kurang gizi. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-anak, orang tua, penderita diabetes dan immunosuppresif (terinfeksi HIV). Selama perang Vietnam dilaporkan bahwa ektima streptokokkus pada kaki adalah infeksi bakteri kulit yang banyak terjadi pada masa itu.5 III.FAKTOR PREDISPOSISI Ektima dapat dilihat pada daerah yang mengalami kerusakan jaringan. Misalnya eksoriasi, gigitan serangga, atau dermatitis. Ektima juga dapat ditemukan pada penderita dengan gangguan imunutas (misalnya penderita diabetes, neutropenia, infeksi HIV). Faktor-faktor yang penting yang berperan dalam timbulnya ektima antara lain : 6 1. Temperature dan kelembapan yang tinggi dan daerah tropis 2. Kondisi lingkungan yang kotor 3. Hygiene yang buruk Impetigo yang tidak diobati dengan baik akan berkembang menjadi ektima biasanya sering pada penderita dengan hygiene yang buruk.6



IV. ETIOLOGI



Streptococcus group A dapat menyebabkan ektima pada kulit yang normal dan juga merusak kulit lebih dalam akibat trauma atau dermatitis. Selain itu, paling sering menyerang pasien dengan immunocompromized (HIV, neutropenia), diabetes dan wabah di militer. Hal ini juga sering terjadi di lingkungan dengan kelembapan tinggi dan hygiene yang buruk. Faringitis oleh karena S. pyogenes juga lebih rentan terkena penyakit berulang.7 V. DIAGNOSIS Penegakan Diagnosis pada Ektima dapat dilakukan dengan temuan klinis dan dikonfirmasi melalui kultur.4 1. Manifestasi klinis Tampak sebagai krusta tebal berwarna kuning, biasanya berlokasi ditungkai bawah, yaitu tempat yang relatif mendapat banyak trauma. Jika krusta diangkat ternyata lekat dan tampak ulkus yang dangkal.1 Gejala diawali dengan vesikel atau vesikopustul yang kemudian membesar dan dalam beberapa hari berkembang menjadi krusta. Saat krusta menghilang kemudian akan tampak ulkus superficial berbentuk piringan dengan dasar dangkal dan tepi yang meninggi.7 Lesi ektima dapat berkembang dari pioderma primer, penyakit kulit, atau trauma yang sudah ada sebelumnya Sedangkan ektima gangrenosum merupakan luka kutaneus yang disebabkan Pseudomonas aeruginosa dan mirip dengan ektima Staphylococcus atau Streptococcus.2



Gambar 1. Tampak ulkus dengan krusta yang tebal di daerah kaki tunawisma yang tidak melepas sepatu botnya selama berminggu-minggu. Krusta melekat dan tampak berdarah.4



Gambar 2. Ektima (tampak bulla kecil dan pustule dengan dasar eritem disertai krusta dan exudate yang mengering.8



Gambar 3. Ektima (tampak krusta menghilang digantikan dengan ulkus superficial berbentuk piringan dengan dasar dangkal dan tepi yang meninggi).7



Gambar 4. Ektima pada pasien diabetes dan gagal ginjal. Tampak ulkus “punched out lesion” dengan krusta berwarna kuning keabuan dan purulent.2



2. Pemeriksaan penunjang Pada pewarnaan gram dan kultur, lesi ektima menunjukkan gambaran bakteri coccus gram positif dari bakteri streptococcus grup A dengan atau tanpa staphylococcus aureus. Infeksi Streptococcus group A sebelumnya dapat dideteksi dengan pengujian beta anti-DNase.6 hissPada



pemeriksaan



histopatologi



lesi



ektima



menunjukkan



gambaran nekrosis dan radang pada kulit. Infiltrat perivascular granulomatosa bagian dalam dan superfisial terjadi bersamaan dengan edema endotel. Krusta tebal menutupi permukaan ulkus pada ektima.6 VI. DIFERENSIAL DIAGNOSIS 1. Impetigo krustosa Impetigo adalah pioderma superficialis (terbatas pada epidermis). Persamaannya, kedua-duanya berkrusta berwarna kuning. Perbedaannya, impetigo krustosa terdapat pada anak berlokasi di wajah, dan dasarnya ialah erosi. Sebaliknya pada ektima terdapat baik pada anak maupun dewasa dan tempat predileksinya di tungkai bawah dan dasarnya ialah ulkus.1



Gambar 5. Erosi krusta eritematosa menjadi konfluen pada hidung, pipi, bibir dan dagu anak akibat S.aureus.4



2. Pyoderma gangrenosum



Pyoderma gangrenosum adalah dermatosis neutrophil non-infeksi yang jarang terjadi dan pada umumnya terkait dengan penyakit sistemik yang mendasari. Diagnosis didasarkan pada gejala klinis yang khas dan tidak ada penyakit ulseratif kutaneous yang lain. Gejala klinis yang khas berupa papul, plak atau pustule disertai ulkus yang nyeri dengan tepi yang tidak beraturan. Dapat terlihat jaringan granulasi, nekrosis, atau eksudat yang purulen didasar ulkus. Terdapat lesi soliter atau multiple dan paling sering terjadi pada kaki yaitu 70% kasus, namun juga dapat terkena pada tubuh maupun alat kelamin dan mukosa. Biasanya pada fase penyembuhan akan tampak bekas luka cribriform atrofik. Gejala lain meliputi demam, malaise, myalgia dan artralgia.8



Gambar 6. Pyoderma gangrenosum klasik.8 3. Ektima gangerenosum Merupakan varian yang langka dari infeksi nekrotik jaringan lunak yang disebabkan oleh P. aeruginosa. Secara klinis ditandai dengan adanyanya fokus infark disertai eritem di sekelilingnya, dan dapat berkembang dengan cepat.jika tidak dilakukan pengobatan yang efektif. Distribusi yang paling sering di daerah axila, selangkanagan, atau perineum. Prognosis tergantung pada ketepatan diagnosis, pengobatan, besarnya pajanan dari host, biasanya koreksi neutropenia.4



Gambar 7. Ektima gangrenosum pada laki-laki usia 30 tahun yang menderita HIV. (A) tampak daerah yang nyeri dan terdapat area infark dengan eritem disekitarnya sejak 5 hari. Infeksi kutaneous primer ini dikaitkan dengan bakteremia. (B) dua minggu kemudian, lesi tersebut mengalami progresi akut dan pasien meninggal 3 bulan kemudian.4



VII.PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan pada ektima sama dengan tataalaksana impetigo.2 Kebersihan dan nutrisi, perawatan kudis dan penyakit yang mendasari sangat penting untuk diperhatikan. Antibiotik yang dipilih harus aktif melawan streptococcus pyogenes, staphylococcus aureus dan pseudomonas. Infeksi krusta yang melekat seharusnya dilunakkan dengan menggunakan disinfektan dan diberi krim pelembap untuk melembutkan. Antibiotik topikal seperti asam fusidat dan mupirocin dapat diberikan dua kali sehari untuk lesi lokal. Terapi topical baik dengan pemberian sulkonazol dan miconazol dapat membersihkan lesi dalam 1 minggu. Antibiotik oral dapat diberikan pada lesi multiple dan penderita immunocompromised selama 1-2 minggu. Penisilin juga dapat digunakan sebagai agen terapi. Jika penyebab bakteri berasal dari staphylococcal maka eritromisin, klindamisin dan doksisiklin juga dapat digunakan. Terapi piperacilin, gentamisin, amikasin, ciprofloxacin dan ofloxacin intravena juga dapat digunakan sebagai pilihan terapi ektima gangrenosum.8



1. Antibiotik oral Beberapa kasus impetigo memiliki infeksi campuran staphylococcus dan streptococcus. Antibiotik oral harus dipertimbangkan untuk pasien dengan impetigo yang memiliki gejala penyakit atau sistemik yang luas. Antibiotik oral dapat diberikan selama 5-10 hari untuk mencapai penyembuhan dengan cepat. Terapi awal dengan cephalexin dapat diberikan pada pasien yang alergi terhadap obat non-penisilin. Pasien dengan alergi penisilin pada awalnya diobati dengan klindamisin oral atau doksisiklin (tergantung usia). Bila kultur dan uji sensitivitas tersedia, antibiotik disesuaikan apabila terjadi resistensi antibiotik



dan



tanda-tanda



infeksi



terus



berlanjut.



Penisilin



oral,



amoksisilin,bacitracin topikal, dan neomisin tidak dianjurkan. Desinfektan topikal seperti hydrogen peroxide juga tidak dapat digunakan.9 2. Antibiotik topikal Mupirocin (Bactroban). Mupirocin salep atau krim adalah antibiotik pertama yang disetujui untuk pengobatan impetigo. Obat ini aktif melawan staphylococcus termasuk yang resisten terhadap mehicilin dan streptococcus. Obat ini tidak aktif melawan enterobacteriaceae, pseudomonas aeruginosa atau jamur. Obat ini sama efektifnya dengan antibiotik oral dengan efek samping yang sedikit. Pada infeksi kulit supefisial yang tidak meluas, salep mupirocin memiliki kelebihan. Mupirocin sangat aktif melawan pathogen kulit yang paling sering bahkan yang resisten terhadap antibiotik lainnya. Dan pemberian secara topikal dapat secara langsung diberikan ke tempat infeksi. Mupirocin dioleskan 3x sehari sampai semua lesi sembuh. Jika pengobatan topikal diberikan, perlu dilakukan pembersihan pada area lesi 1-2 kali sehari dengan larutan antibakteri seperti hibiclens atau betadine. Dengan pemberian larutan desinfektan dapat mencegah kekambuhan pada tempat yang lain. Krusta harus dihilangkan karena dapat menghambat penetrasi krim antibakteri. Untuk memudahkan pengangkatan dapat diberikan pelembap atau kompres dengan kain basah.9



Retapamulin (Altabax). Retapamulin topikal dapat diberikan untuk pengobatan infeksi kulit supefisial yang disebabkan oleh S.aureus (tidak termasuk S.aureus resisten terhadap methicillin (MRSA) dan streptococcus pyogenes pada psien yang berusia diatas 9 bulan. Aplikasi salep retapametal 1% 2x sehari selama 5 hari efektif untuk impetigo namun efikasi berkurang pada pasien dengan infeksi MRSA atau abses.9



Gambar 8. Penatalaksanaan Impetigo.2



Gambar 9. Pilihan terapi pada ektima.8



Gambar 10. Terapi antibiotik pada impetigo dan infeksi kulit dan jaringan lunak.9 VIII. PENCEGAHAN Menjaga kebersihan sangat penting untuk mencegak ektima. Penggunaan lotion anti serangga untuk mencegah gigitan juga dapat digunakan untuk menurunkan prevalensi ektima.10 Mandi tiap hari. Sabun batang Benzoyl Peroxyde. Mengecek tanda dan gejala Impetigo di seluruh anggota keluarga. Ethanol atau Isoprophil gel untuk tangan dan atau bagian yang termasuk didalamnya. 6 IX. KOMPLIKASI Ektima jarang memiliki gejala sistemik. Komplikasi invasif pada infeksi kulit akibat streptococcus



meliputi selulitis, erysipelas, gangrene,



limfadenitis



pneumonia



supuratif,



bursitis,



lobaris,



dan



bacteremia.



Komplikasi non suppurative pada infeksi kulit akibat streptococcus meliputi demam scarlet dan glomerulonephritis akut. Tetapi terapi antibiotik tampaknya tidak menurunkan angka kejadian glomerulonephritis post streptococcal.10



X. PROGNOSIS Penyembuhan lesi ektima cukup lambat, tetapi dengan pemberian antibiotik dan perawatan luka yang tepat maka prognosisnya dapat baik. Ektima jarang menyebabkan gejala sistemik atau bakteremia. Lesi sangat nyeri dan dapat menyebabkan limfadenopati, limfangitis sekunder dan selulitis serta post streptococcal glomerulonephritis.11



DAFTAR PUSTAKA



1. Juanda A. Pioderma. In: Juanda A, Hamzah M, Aisah S, Kosasih A, Wiryadi BE, Natahusada EC, et al., editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2015. p. 71-74 2. Craft N, Lee PK, Zipoli MT, Weinberg AN, Swartz MN, Johnson RA. Superficial and Cutaneous Infections and Pyodermas. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller A, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 7th ed. USA: McGrawHill; 2012. p.2128-2134 3. Weller R, Hunter H, Mann M. Clinical Dermatology 5 th Ed. USA:Wiley Blackwell; 2015. p. 215 4. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller A, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's Color Atlas And Synopsis Clinical Dermatology. 8th ed. USA: McGraw-Hill; 2017. p. 528-533; 543-544 5. Stephen K, Omar L, Ulrich R.H. Tropical Dermatology. Second edition. Elsevier. 2017.p. 247-248 6. Loretta Davis, MD. Ecthyma Clinical Presentasion. Medscape Reference: [online].



Updated



June



7th



2016.



Available



from:



URL:



https://emedicine.medscape.com/article/1052279-overview#showall 7. William D. James, Dirk M. Elston, Timothy G. Berger. Andrew’s Disease of the Skin. Clinical Dermatology ed 12th . 2016. p. 252 8. Gruffiths C, Barker J, Bleiker T, Chalmers R, Creamer D. Rook’s Textbook of Dermatology vol.1-4 ed 9th. 2016. P. 26.13-26.17 9. Thomas P. Habif . Clinical Dermatology A Color Guide to Diagnosis and Theraphy. Sixth edition. Elsevier. 2015. p. 334-336 10. Loretta Davis, MD. Treatment and Management. Medscape Reference: [online].



Updated



June



7th



2016.



Available



from:



https://emedicine.medscape.com/article/1052279-treatment#showall



URL:



11. Loretta Davis, MD. Ecthyma. Medscape Reference: [online]. Updated June



7th



2016.



Available



from:



URL:



https://emedicine.medscape.com/article/1052279-overview?imageOrder=1