Hidrokel [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa", secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Kata anestesi diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1846 yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien. Anestesi yang sempurna harus memenuhi 3 syarat (Trias Anestesi), yaitu: hipnotik (hilang kesadaran), analgetik (hilang perasaan sakit), relaksan (relaksasi otot-otot). Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal adalah tindakan anestesi dengan memasukan obat analgetik kedalam ruang subaraknoid di daerah vertebra lumbalis yang kemudian akan terjadi hambatan rangsang sensoris mulai dari vertebra thorakal 4. Hidrokel adalah penumpukan cairan yang berlebihan di rongga antara lapisan parietal dan viseral tunika vaginalis (cavum vaginalis). Dalam keadaan normal, terdapat produksi cairan di cavum vaginalis yang diimbangi oleh reabsorbsi sistem limfatik sekitarnya. Kelainan ini ditemukan pada 80-90% bayi laki-laki, 90 -95% di antaranya akan menghilang spontan sebelum usia 2 tahun. Hanya sekitar 6% kasus hidrokel memiliki gejala klinis. Hidrokel juga ditemukan pada satu dari seratus laki-laki dewasa, biasanya terjadi setelah dekade kedua kehidupan. Patofisiologi terjadinya kelainan ini adalah belum sempurnanya penutupan prosesus vaginalis, sehingga terjadi aliran cairan peritoneum ke cavum vaginalis, disertai dengan proses reabsorbsi oleh sistem limfatik di daerah tersebut yang kurang adekuat. Apabila terdapat hubungan antara hidrokel dengan rongga



abdomen maka disebut hidrokel komunikans, terutama ditemukan pada anakanak. Penyebab lain hidrokel adalah kelainan yang didapat pada testis atau epididimis sehingga menyebabkan terjadinya akumulasi cairan yang berlebihan pada cavum vaginalis. Pada keadaan ini, tidak terdapat adanya hubungan hidrokel dengan rongga abdomen, disebut juga dengan hidrokel nonkomunikans. Etiologi hidrokel jenis ini antara lain: tumor, infeksi, atau trauma pada testis/epididimis, dan merupakan penyebab hidrokel pada penderita dewasa. Hidrokel yang disebabkan oleh penumpukan cairan pada bagian prosesus vaginalis yang tidak mengalami obliterasi, tanpa adanya hubungan dengan rongga abdomen dan tunika vaginalis testis disebut hidrokel funikulus, namun kelainan ini jarang ditemukan.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Anatomi Testis Secara anatomi, testis adalah organ genitalia pria yang teletak di skrotum. Ukuran tetstis pada orang dewasa adalah 4 x 3 x 2.5 cm dengan volume 15-25 ml berbentuk ovoid. Kedua buah testis terbungkus oleh jaringan tunika albuginea yang melekat pada testis. Di luar tunika albugine terdapat tunika vaginalis yang terdiri atas lapisan viseralis dan parietalis, serta tunika dartos. Otot kremaster yang berada disekitar testis memungkinkan testis untuk dapat digerakkan mendekati rongga abdomen untuk mempertahankan temperature testis agar tetap stabil. Secara histopatologis, testis terdiri atas ± 250 lobuli dan tiap lobulus terdiri atas tubuli seminiferi. Di dalam tubulus seminiferus terdapat sel-sel spermatogonia dan sel Sertoli, sedang di antara tubuli seminiferi terdapat sel-sel Leydig. Sel-sel spermatogonium pada proses spermatogenesis menjadi sel-sel spermatozoa. Sel-sel Sertoli berfungsi memberi makan pada bakal sperma, sedangkan sel-sel Leydig atau disebut sel-sel interstisial



testis berfungsi dalam



menghasilkan hormone



testosterone. Sel-sel spermatozoa yang diproduksi di tubuli seminiferi testis disimpan dan mengalami pematangan/maturasi di epididimis. Setelah matur (dewasa) sel-sel spermatozoa bersama-sama dengan getah dari epididimis dan vas deferens disalurkan menuju ke ampula vas deferens. Sel-sel itu setelah bercampur dengan cairan-cairan dari epididimis, vas deferens dan vesikula seminalis, serta cairan prostate, membentuk cairan semen atau mani.



Testis mendapat darah dari beberapa cabang arteri, yaitu arteri spermatika interna yang merupakan cabang dari aorta, arteri deferensialis cabang dari arteri vesikalis inferior, dan arteri kremasterika yang merupakan cabang arteri epigastrika. Pembuluh vena yang meninggalkan testis berkumpul meninggalkan testis berkumpul membentuk pleksus Pampiniformis. Pleksus ini pada beberapa orang mengalami dilatasi dan dikenal sebagai varikokel.



2.1



Hidrokel



2.1.1



Definisi Hidrokel adalah penumpukan cairan berbatas tegas yang berlebihan di antara lapisan parietalis dan viseralis tunika vaginalis. Dalam keadaan normal, cairan yang berada di dalam rongga itu memang ada dan berada dalam keseimbangan antara produksi dan reabsorbsi oleh sistem limfatik di sekitarnya.



2.1.2



Epidemiologi Mayoritas pada bayi atau sangat umum di jumpai pada neonatus. Biasanya



berkembang



selama



5 minggu



kehamilan. Di Amerika



Serikat Hidrokel diperkirakan mempengaruhi 1% dari pria dewasa. Lebih dari 80% dari anak laki-laki yang baru lahir memiliki prosesus vaginalis paten, tapi yang paling dekat secara spontan dalam waktu 18 bulan. Insiden hidrokel meningkat dengan tingkat peningkatan survival bayi prematur dan dengan meningkatnya penggunaan rongga peritoneal untuk ventriculoperitoneal (VP) shunts, dialisis, dan transplantasi ginjal. Hidrokel kebanyakan kongenital dan dicatat pada anak usia 1-2 tahun. Hidrokel kronis atau hidrokel sekunder biasanya terjadi pada pria yang lebih tua dari 40 tahun.



2.1.3



Etiologi Hidrokel yang terjadi pada bayi baru lahir dapat disebabkan karena belum sempurnanya penutupan prosesus vaginalis sehingga terjadi aliran cairan peritoneum ke prosesus vaginalis atau belum sempurnanya sistem limfatik di daerah skrotum dalam melakukan reabsorbsi cairan hidrokel. Pada bayi laki-laki hidrokel dapat terjadi mulai dari dalam rahim. Pada usia kehamilan 28 minggu, testis turun dari rongga perut bayi ke dalam skrotum, dimana setiap testis ada kantong yang mengikutinya sehingga terisi cairan yang mengelilingi testis tersebut. Pada orang dewasa, hidrokel dapat terjadi secara idiopatik (primer) dan sekunder. Penyebab sekunder dapat terjadi karena didapatkan kelainan pada testis atau epididimis yang menyebabkan terganggunya sistem sekresi atau reabsorbsi cairan di kantong hidrokel. Kelainan pada testis itu mungkin suatu tumor, infeksi, atau trauma pada testis atau epididimis. Kemudian hal ini dapat menyebabkan produksi cairan yang berlebihan oleh testis, maupun obstruksi aliran limfe atau vena di dalam funikulus spermatikus.



2.1.4



Klasifikasi 1. Berdasarkan kapan terjadinya, yaitu : a. Hidrokel primer Hidrokel primer terlihat pada anak akibat kegagalan penutupan prosesus vaginalis. Prosesus vaginalis adalah suatu divertikulum peritoneum



embrionik



yang



melintasi



kanalis



inguinalis



dan



membentuk tunika vaginalis. Hidrokel jenis ini tidak diperlukan terapi karena dengan sendirinya rongga ini akan menutup dan cairan dalam tunika akan diabsorpsi. b. Hidrokel sekunder Pada orang dewasa, hidrokel sekunder cenderung berkembang lambat dalam suatu masa dandianggap sekunder terhadap obstruksi aliran keluar limfe. Dapat disebabkan oleh kelainantestis atau



epididimis. Keadaan ini dapat karena radang atau karena suatu proses neoplastik.Radang lapisan mesotel dan tunika vaginalis menyebabkan terjadinya produksi cairanberlebihan yang tidak dapat dibuang keluar dalam jumlah yang cukup oleh saluran limfedalam lapisan luar tunika. 2. Menurut letak kantong hidrokel dari testis, yaitu : a. Hidrokel testis Kantong hidrokel seolah-olah mengelilingi testis sehingga testis tak dapat diraba. Pada anamnesis, besarnya kantong hidrokel tidak berubah sepanjang hari. b. Hidrokel funikulus Kantong hidrokel berada di funikulus yaitu terletak disebelah cranial dari testis, sehingga pada palpasi, testis dapat diraba dan berada diluar kantong hidrokel. Pada anamnesis kantong hidrokel besarnya tetap sepanjang hari. c. Hidrokel Komunikan Terdapat hubungan antara prosesus vaginalis dengan rongga peritoneum sehingga prosesus vaginalis dapat terisi cairan peritoneum. Pada anamnesis kantong hidrokel besarnya dapat berubah-ubah yaitu bertambah pada saat anak menangis. Pada palpasi kantong hidrokel terpisah dari testis dan dapat dimasukkan kedalam rongga abdomen. 3. Menurut onset : a. Hidrokel akut Biasanya berlangsung dengan cepat dan dapat menyebabkan nyeri. Cairan berrwarna kemerahan mengandung protein, fibrin, eritrosit dan sel polimorf. b. Hidrokel kronis Hidrokel jenis ini hanya menyebabkan peregangan tunika secara perlahan dan walaupun akan menjadi besar dan memberikan rasa berat, jarang menyebabkan nyeri.



2.1.5



Patofisiologi Hidrokel adalah pengumpulan cairan pada sebagian prosesus vaginalis yang masih terbuka. Kantong hidrokel dapat berhubungan melalui saluran mikroskopis dengan rongga peritoneum dan berbentuk katup. Dengan demikian cairan dari rongga peritoneum dapat masuk ke dalam kantong hidrokel dan sukar kembali ke rongga peritoneum. Pada kehidupan fetal, prosesus vaginalis dapat berbentuk kantong yang mencapai skrotum. Hidrokel disebabkan oleh kelainan kongenital (bawaan sejak lahir) ataupun ketidaksempurnaan dari prosesus vaginalis tersebut menyebabkan tidak menutupnya rongga peritoneum dengan prosessus vaginalis. Sehingga terbentuklah rongga antara tunika vaginalis dengan cavum peritoneal dan menyebabkan terakumulasinya cairan yang berasal dari sistem limfatik disekitar. Cairan



yang



seharusnya



seimbangan



antara



produksi



dan reabsorbsi oleh sistem limfatik di sekitarnya. Tetapi pada penyakit ini, telah terganggunya sistem sekresi atau reabsorbsi cairan limfa. Dan terjadilah penimbunan di tunika vaginalis tersebut. Akibat dari tekanan yang terus-menerus, mengakibatkan obstruksi aliran limfe atau vena di dalam funikulus spermatikus. Dan terjadilah atrofi testis dikarenakan akibat dari tekanan pembuluh darah yang ada di daerah sekitar testis tersebut. Hidrokel dapat ditemukan dimana saja sepanjang funikulus spermatikus, juga dapat ditemukan di sekitar testis yang terdapat dalam rongga perut pada undensensus testis. Hidrokel infantilis biasanya akan menghilang



dalam



tahun



pertama,



umumnya



tidak



memerlukan



pengobatan, jika secara klinis tidak disertai hernia inguinalis. Hidrokel testis dapat meluas ke atas atau berupa beberapa kantong yang saling berhubungan sepanjang processus vaginalis peritonei. Hidrokel akan tampak lebih besar dan kencang pada sore hari karena banyak cairan yang



masuk dalam kantong sewaktu anak dalam posisi tegak, tapi kemudian akan mengecil pada esok paginya setelah anak tidur semalaman. Pada orang dewasa hidrokel dapat terjadi secara idiopatik (primer) dan sekunder. Penyebab sekunder terjadi karena didapatkan kelainan pada testis atau epididimis yang menyebabkan terganggunya sistem sekresi atau reabsorpsi cairan di kantong hidrokel. Kelainan tersebut mungkin suatu tumor, infeksi atau trauma pada testis atau epididimis. Dalam keadaan normal cairan yang berada di dalam rongga tunika vaginalis berada dalam keseimbangan antara produksi dan reabsorpsi dalam sistem limfatik. 2.1.6



Diagnosis Gambaran klinis hidrokel kongenital tergantung pada jumlah cairan yang tertimbun. Bila timbunan cairan hanya sedikit, maka testis terlihat seakan – akan sedikit membesar dan teraba lunak. Bila timbunan cairan banyak terlihat skrotum membesar dan agak tegang. Pada



pemeriksaan



fisik



didapatkan



adanya



benjolan



dikantong skrotum dengan konsistensi kistus dan pada pemeriksaan penerawangan menunjukkan adanya transiluminasi. Menurut letak kantong hidrokel terhadap testis, secara klinis dibedakan beberapa macam hidrokel, yaitu hidrokel testis. Pada hidrokel testis, kantong hidrokel seolah – olah mengelilingi testis sehingga testis tak dapat diraba. Pada anamnesis, besarnya kantong hidrokel tidak berubah sepanjang hari. Pada hidrokel funikulus, kantong hidrokel berada di funikulus yaitu terletak disebelah kranial testis, sehingga pada palpasi, testis dapat diraba dan berada diluar kantong hidrokel. 1.



Anamnesis Pada anamnesis keluhan utama pasien adalah adanya benjolan di kantong skortum yang tidak nyeri. Biasanya pasien mengeluh benjolan yang berat dan besar di daerah skortum. Benjolan atau massa kistik yang lunak dan kecil pada pagi hari dan membesar serta tegang pada malam hari. Tergantung pada jenis dari hidrokel



biasanya benjolan tersebut berubah ukuran atau volume sesuai waktu tertentu. Pada hidrokel testis dan hidrokel funikulus besarnya kantong hidrokel tidak berubah sepanjang hari. Pada hidrokel komunikan, kantong hidrokel besarnya dapat berubah-ubah yang bertambah besar pada saat anak menangis. Pada riwayat penyakit dahulu, hidrokel testis biasa disebabkan oleh penyakit seperti infeksi atau riwayat trauma pada testis. 2.



Pemeriksaan Fisik Pada inspeksi skrotum akan tampak lebih besar dari yang lain. Palpasi pada skrotum yang hidrokel terasa ada fluktuasi, dan relatif kenyal atau lunak tergantung pada tegangan di dalam hidrokel, permukaan biasanya halus. Palpasi hidrokel seperti balon yang berisi air. Bila jumlah cairan minimum, testis relatif mudah diraba. Sedangkan bila cairan minimum, testis relatif mudah diraba. Juga penting dilakukan palpasi korda spermatikus di atas insersi tunika vaginalis. Pembengkakan kistik karena hernia atau hidrokel serta padat karena tumor. Normalnya korda spermatikus tidak terdapat penonjolan, yang membedakannya dengan hernia skrotalis yang kadang-kadang transiluminasinya juga positif. Pada auskultasi dilakukan



untuk



mengetahui



adanya



bising



usus



untuk



menyingkirkan adanya hernia. Langkah



diagnostik



yang



paling



penting



adalah



transiluminasi massa hidrokel dengan cahaya di dalam ruang gelap. Sumber cahaya diletakkan pada sisi pembesaran skrotum.Struktur vaskuler, tumor, darah, hernia, penebalan tunika vaginalis dan testis normal tidak dapat ditembusi sinar. Trasmisi cahaya sebagai bayangan merah menunjukkan rongga yang mengandung cairan serosa, seperti hidrokel. Hidrokel berisi cairan jernih, strawcolored dan mentransiluminasi (meneruskan) berkas cahaya.



Hidrokel biasanya menutupi seluruh bagian dari testis. Jika hidrokel muncul antar 18 – 35 tahun harus dilakukan aspirasi. Massa kistik yang terpisah dan berada di pool atas testis dicurigai spermatokel. Pada aspirasi akan didapatkan cairan kuning dari massa skortum. Berbeda dengan spermatokel, akan didapatkan cairan berwarna putih, opalescent dan mengandung spermatozoa. 3.



Pemeriksaan Penunjang Ultrasonografi



dapat



mengirimkan



gelombang



suara



melewati skrotum dan membantu melihat adanya hernia, kumpulan cairan (hidrokel atau spermatokel), vena abnormal (varikokel), dan kemungkinan adanya tumor. 2.1.7



Diagnosis Banding Secara umum adanya pembengkakan skrotum memberikan gejala yang hampir sama dengan hidrokel, sehingga sering salah terdiagnosis. Oleh karena itu diagnosis banding hidrokel adalah : 1. Varikokel Varises dari vena pada pleksus pampiniformis akibat gangguan aliran darah balik vena spermatika interna. a. Anamnesa 1. Pasien biasanya mengeluh belum mempunyai anak setelah beberapa tahun menikah. 2. Terdapat benjolan di atas testis yang tidak nyeri. 3. Terasa berat pada testis.



b. Pemeriksaan Fisik : (Pasien berdiri dan diminta untuk manuver valsava).



Inspeksi dan Palpasi terdapat bentukan seperti kumpulan cacing di dalam kantung, yang letaknya di sebelah kranial dari testis, permukaan testis licin, konsistensi elastis. 2. Torsi Testis Keadaan dimana funikulus spermatikus terpuntir sehingga terjadi gangguan vaskularisasi dari testis yang dapat berakibat terjadinya gangguan aliran darah daripada testis. a. Anamnesa 1. Timbul mendadak, nyeri hebat dan pembengkakan skrotum. 2. Sakit perut hebat, kadang mual dan muntah. 3. Nyeri dapat menjalar ke daerah inguinal. b. Pemeriksaan Fisik : 1. Inspeksi Testis bengkak, terjadi retraksi testis ke arah kranial, karena funikulus spermatikus terpuntir dan memendek, testis pada sisi yang terkena lebih tinggi dan lebih horizontal jika dibandingkan testis sisi yang sehat. 2. Palpasi teraba lilitan / penebalan funikulus spermatikus. 3. Spermatokel Benjolan kistik yang berasal dari epididimis dan berisi sperma. a.



Anamnesa : Benjolan kecil, tidak nyeri



b.



Pemeriksaan fisik : 1.



Teraba masa kistik, mobile



2.



Lokasi di cranial dari testis



3.



Transiluminasi (+)



c.



Aspirasi : Cairan encer, keruh keputihan



4. Hematokel Penumpukan darah di dalam tunika vaginalis, biasanya didahului oleh trauma.



a.



Anamnesa : Benjolan pada testis



b.



Pemeriksaan Fisik : 1. Masa kistik 2. Transiluminasi (-)



5. Hernia Inguinalis Lateral a.



Anamnesa : Benjolan di daerah inguinal/skrotal yang hilang timbul. Timbul saat mengedan, batuk, atau menangis, dan hilang bila pasien tidur.



b.



Pemeriksaan fisik Terdapat benjolan di lipat paha/ skrotum pada bayi saat menangis dan bila pasien diminta untuk mengedan. Benjolan menghilang atau dapat dimasukkan kembali ke rongga abdomen. Transiluminasi (-).



6. Tumor Testis Keganasan pada pria terbanyak usia antara 15-35 tahun. a.



b.



Anamnesa : 1.



Keluhan adanya pembesaran testis yang tidak nyeri.



2.



Terasa berat pada kantong skrotum



Pemeriksaan Fisik : 1. Benjolan pada testis yang padat, keras, tidak nyeri pada palpasi. 2. Transiluminasi (-)



2.1.8



Terapi Hidrokel pada bayi biasanya ditunggu hingga anak mencapai usia 12-24 bulan dengan harapan prosesus vaginalis dapat menutup, dan hidrokel akan sembuh dengan sendirinya. Jika hidrokel masih ada atau bertambah besar, disebut juga dengan hidrokel persisten, maka perlu dipikirkan untuk dilakukan koreksi.



Prinsip utama penatalaksanaan hidrokel adalah dengan mengatasi penyebab yang mendasarinya. Terdapat beberapa indikasi dilakukannya intervensi: ukuran hidrokel yang semakin membesar dan dapat menekan pembuluh darah, adanya tanda-tanda infeksi, adanya keluhan tidak nyaman/nyeri dan juga indikasi kosmetik. Berbagai macam tindakan intervensi digunakan untuk mengobati penyakit hidrokel, baik invasif maupun minimal invasif. Salah satu metode minimal invasif pada terapi hidrokel yaitu metode aspirasi-skleroterapi. Pada metode ini, dilakukan aspirasi cairan hidrokel dan disuntikkan zat sklerotik (tetrasiklin, natrium tetra desil sulfat atau urea) agar mukosa menjadi kering dan terjadi perlengketan. Metode ini mudah dan aman dilakukan, namun efektivitas dan kepuasan pasien terhadap terapi lebih rendah dibandingkan tindakan pembedahan. Hidrokelektomi merupakan tindakan baku emas pada hidrokel. Hidrokelektomi dapat dilakukan dengan berbagai metode seperti yang akan dijelaskan pada artikel ini.



Gambar 2. Pilihan penatalaksanaan hidrokel







Hidrokelektomi Pada Dewasa Pendekatan pembedahan melalui skrotum Pada tindakan pembedahan dengan pendekatan skrotum, insisi dapat dilakukan di samping mediana raphe secara vertikal (pararaphe) atau insisi transversal. Teknik hidrokeletomi memiliki berbagai macam variasi



dan nama, secara garis besar hidrokeletomi dibagi menjadi dua teknik yaitu dengan teknik eksisi dan teknik dengan plikasi. Teknik-teknik hidrokelektomi tersebut yang populer dilakukan adalah teknik Jaboulay (eksisi) dan teknik plikasi Lord. Pada teknik Jaboulay, dilakukan eksisi pada kantong hidrokel secara tipis dengan meninggalkan sisa lapisan kantong yang cukup banyak sehingga dapat dijahit bersamaan setelah dlakukan eversi kantong kebelakang testis dan funikulus spermatikus. Teknik ini sangat berguna untuk kantong hidrokel yang lebar, berat dan tipis. Teknik plikasi Lord dapat digunakan pada dinding hidrokel yang tipis namun tidak dianjurkan untuk digunakan pada kantong yang lebar, panjang dan tebal karena teknik ini akan meninggalkan ikatan-ikatan lipatan dari jaringan yang diplikasi pada skrotum. Prinsip teknik Lord dilakukan dengan membuka kantong hidrokel, mengeluarkan testis dari kantong, menjahit tepi kantong hidrokel dan dengan menggunakan jahitan interrupted, secara radial dijahit untuk plikasi kantong.



A



B Gambar Pendekatan skrotal: A. teknik Jaboulay, B. teknik plikasi Lord



Langkah-langkah pendekatan pembedahan melalui skrotum: 



Insisi dilakukan di paramediana raphe, sepanjang 6-10 cm pada







permukaan anterior skrotum diatas bagian dari hidrokel. Insisi lapis demi lapis dari kulit, lapisan otot dartos, fasia cremaster hingga tampak lapisan parietal dari tunica vaginalis dimana lapisan ini adalah dinding luar dari kantong hernia.







Insisi dinding luar hidrokel, cairan hidrokel dievakuasi dengan







menggunakan suction Kantong hidrokel dipisahkan dari skrotum, setelah lalu dibuka secara utuh







sehingga tampak jelas bagian funikulus spermatikus dan testis. Pada teknik Jaboulay, dinding kantong hidrokel dipotong dengan gunting dengan hanya menyisakan batas dinding sekitar 2 cm dari testis, epididimis dan funikulus spermatikus tepi dinding hidrokel yang tersisa lalu dijahitkan dibelakang testis dan funikulus spermatikus dengan jahitan interrupted



atau



dapat



menggunakan



jahitan



continues



(untuk



meminimalisir rembesan darah dari tepi luka), sehingga bagian kantong 



hidrokel tereversi. Pada teknik plikasi Lord, dilakukan jahitan plikasi (terbentuknya lipatanlipatan seperti plika) di sekitar dinding hidrokel dengan jahitan interupted.







Dilakukan kontrol perdarahan untuk mencegah terjadinya hematoma. Testis dan funikulus spermatikus ditempatkan kembali pada skrotum secara hati-hati untuk menghindari pluntiran, bila perlu dilekatkan ke







bagian dasar dinding skrotum dengan satu hingga dua jahitan absorbable. Fasia dartos ditutup dengan jahitan interupted absorbable. Lalu dipasang drainase Penrose pada celah insisi yang telah dibuat (jika diperlukan),







untuk mengurangi resiko terjadinya hematom. Kulit ditutup dengan jahitan subkutan.



Gambar Teknik operasi Jaboulay



Gambar Teknik plikasi Lord Beberapa teknik hidrokeletomi lainnya adalah sebagai berikut: 



Teknik Von Bergmann : tepi luka dinding hidrokele yang telah dieksisi dijahit bersamaan namun tidak dilakukan penjahitan kebelakang testis (eversi) seperti teknik Jaboulay







Teknik Winkelmann : teknik ini sama dengan teknik Jaboulay, istilah ini







biasa dipakai di Jerman Teknik Andrew : dikenal dengan bloody technique dikarenakan dilakukan dengan cara tunika vaginalis digunting, lalu dieversi mengeliling testis, namun tepi luka tidak dijahit. Kemudia dimasukan kembali ke skrotum dan ditutup lapis demi lapis.



Pendekatan pembedahan melalui inguinal 



Laki-laki yang didiagnosa dengan hidrokel, dimana dicurigai adanya keganasan, sebaiknya dilakukan pembedahan dengan pendekatan inguinal agar dapat mengendalikan funikulus spermatikus untuk persiapan kemungkinan dilakukan orchiektomi.



Gambar Pendekatan hidrokelektomi melalui inguinal (dewasa) Langkah-langkah Teknik Inguinal Dewasa: 



Insisi pada kuadran bawah abdomen sepanjang 4-6 cm, ke arah lateral dari titik tepat di atas tuberkulum pubikum.







Insisi menembus kutis, subkutis, fascia camper, fascia scarpa. Aponeurosis







musculus obliqus externus terlihat. Aponeurosis musculus obliqus externus telah diincisi, tampak kantung hidrokel dan spermatical cord. Spermatical cord dipreservasi lalu keluarkan isi kantong hidrokel (cairan) dengan pungsi menggunakan spuit atau diberikan insisi pada dinding kantong hidrokel lalu dimasukan







  



suction. Kantong hidrokel yang telah dinsisi kemudian dapat dilanjutkan dengan penjahitan yang digunakan pada teknik Jaboulay atau teknik Lord. Testis dan spermatic cord dikembalikan ke tempat awal. Aponeurosis musculus oblique externus dijahit, lapis demi lapis ditutup. Kulit dijahit dengan jahitan subcuticular.



Hidrokelektomi pada Anak Pada beberapa penelitian, temuan intraoperasi pada anak usia di bawah 10 tahun terbanyak adalah hidrokel komunikans dimana merupakan indikasi dilakukan teknik ligasi tinggi. Hidrokel komunikans kerap disertai dengan hernia inguinalis sehingga diperlukan tindakan herniorafi. Sebaliknya, pada anak usia di atas 10-12 tahun, 80-86% temuan intraoperasi adalah hidrokel nonkomunikans sehingga pendekatan melalui skrotum sudah dapat dilakukan. Tidak dianjurkan penanganan hidrokel pada anak dengan menggunakan aspirasi-skleroterapi. Langkah-langkah Teknik Inguinal (Ligasi Tinggi pada Anak): 



Insisi pada kuadran bawah abdomen sepanjang 2-4cm, ke arah lateral dari







titik tepat di atas tuberkulum pubikum. Fascia superfisialis telah diinsisi. Aponeurosis musculus obliqus externus







terlihat. Aponeurosis musculus obliqus externus telah diinsisi, tampak kantung







hidrokel dan cord. Lalu keluarkan isi kantong hidrokel (cairan). Aponeurosis oblique externus dijepit, memperlihatkan musculus cremaster dan fascia spermaticus interna melapisi kantung dan cord.







Kantung yang melalui canalis inguinalis dan annulus inguinalis externa dipisahkan dari cord di bawahnya. Ujung distal telah dibuka sebagian.







Ujung proximal akan dilakukan high ligation pada leher kantung. Ujung proksimal kantung diangkat. Retroperitoneal fat pad yang selalu ada dan merupakan indikasi titik untuk high ligation. Jahitan dilakukan pada leher kantung. Setelah dijahit, jahitan kedua dilakukan pada distal dari



 



jahitan pertama untuk memastikan ligasi yang permanen. Aponeurosis musculus oblique externus dijahit, lapis demi lapis ditutup. Kulit dijahit dengan jahitan subkutis.



Gambar. Teknik hidrokelektomi pada Anak Pilihan Jenis Anastesi pada Hidrokelektomi Pilihan penggunaan anastesi pada hidrokelektomi dapat dilakukan dalam anestesi umum, spinal maupun lokal sesuai kebutuhan. Pada anak-anak dianjurkan untuk menggunakan anastesi umum untuk mempermudah pengerjaan operasi. Sedangkan pada dewasa pada umumnya dilakukan dengan



anastesi spinal, namun pada keadaan tertentu, seperti terbatasnya fasilitas dan adanya komorbiditas pada pasien, dapat dilakukan anastesi lokal Anastesi lokal dapat dilakukan dengan menyuntikan lidocain pada daerah perbatasan antara inguinal dan skrotum dimana lidocain akam masuk disekitar funikulus spermatikus. Suntikan dilakukan tiga kali dengan arah sudut yang berbeda. Selain itu diberikan diazepam 5-10cc intramuskular 30 menit sebelum dilakukan insisi. Pilihan dari ketiga macam anastesi tersebut tidak ada perbedaan bermakna timbulnya nyeri pada intraoperasi maupun pascaoperasi, dimana derajat nyeri pada ketiganya adalah minimal bahkan hingga nol. Penatalaksanaan Post Operasi Hidrokel 



Penyembuhan post-operasi hidrokel biasanya cepat, pasien dapat dilakukan rawat jalan 4-6 jam pasca operasi. Namun beberapa kondisi tertentu dapat dilakukan observasi di rawat inap 1-2 hari. Analgetik lini pertama dapat digunakan untuk mengatasi nyeri post operasi. Antibiotik







diindikasikan pada kasus hidrokel yang disertai infeksi. Apabila menggunakan drainase, dapat dilepas 48-72 jam pasca operasi karena angka kejadian hematom pasca operasi rata-rata akan munculi pada 48 jam pasca operasi. Pasca operasi, dapat digunakan scrotal support







untuk melindungi skrotum dari mobilisasi yang berlebihan. Pada prinsipnya, hidrokelektomi dapat dilakukan tanpa rawat inap, pasien dapat kembali bekerja setelah tingkat kenyamanan memungkinkan (biasanya 1-3 hari post-operasi). Sekitar 2 minggu setelah operasi, posisi mengangkang (naik sepeda) harus dihindari untuk mencegah perpindahan testis yang mobile keluar dari skrotum, dimana dapat terjebak oleh jaringan ikat dan mengakibatkan cryptorchidism sekunder. Pada dewasa, aktivitas olahraga harus dibatasi selama 4-6 minggu.



2.1.9



Komplikasi Hidrokel dapat mempengaruhi pasokan darah testis. Jika pasokan darah testis kurang maka akan terjadi Iskemia yang dapat menyebabkan



penurunan kesuburan. Perdarahan ke dalam hidrokel dapat menyebabkan trauma testis. Hidrokel menetap atau berhubungan dengan rongga peritoneum dapat menyebabkan terjadinya Hernia Inguinalis.



Pada saat bedah dapat terjadi komplikasi sebagai berikut, cedera ke vas deferens saat operasi ingunal, 2% pasca operasi dapat terjadi luka, hemoragik pasca operasi, cedera langsung ke pembuluh spermatika. 1. Kompresi pada peredaran darah testis 2. Jika dibiarkan, hidrokel yang cukup besar mudah mengalami trauma dan hidrokel permagna bisa menekan pembuluh darah yang menuju ke testis sehingga menimbulkan atrofi testis. 3. Perdarahan yang disebabkan karena trauma dan aspirasi. 4. Sekunder Infeksi. 2.1.10 Prognosis Prognosis untuk hidrokel kongenital sangat baik. Sebagian besar kasus bawaan menyelesaikan pada akhir tahun pertama kehidupan. Persistent



hidrokel



kongenital



adalah



mudah



diperbaiki



melalui



pembedahan. Prognosis hidrokel dalam kehidupan tergantung pada etiologi dari hidrokel tersebut. Pada dewasa onset hidrokel ini tidak jarang dikaitkan dengan keganasan yang mendasarinya.



3.1



REGIONAL ANESTESIA SUBARACHNOID BLOCK (RA-SAB)



3.1.1



Sejarah RA-SAB Anestesi spinal pertama kali dikenal tahun 1885 dan digunakan dalam



klinik oleh August Bier pada tahun 1898 di kota Keil, Jerman. RA-SAB pertama kali digunakan untuk prosedur pembedahan pada abad lalu, digunakan secara luas sampai tahun 1940-an, sampai pada akhirnya banyak dilaporkan cedera neurologik yang permanen. Publikasi dari studi epidemiologi tahun 1950 menunjukkan bahwa komplikasi sangat jarang terjadi jika dilakukan dengan teknik yang benar dengan perhatian pada tindakan asepsis dan penggunaan lokal anestesi yang aman. Anestesi spinal memberikan lapangan yang luas bagi ahli anestesi, sebagai alternatif anestesi umum jika kondisi memungkinkan.



3.1.2



Definisi RA-SAB Anestesi regional adalah pemberian anestesi ke bagian tubuh tanpa terjadi



hilangnya kesadaran atau berkurangnya kesadaran.Ada dua kelompok teknik – central neuraxis blockade (blokade epidural atau subarachnoid) dan peripheral nerve blockade. Persiapan analgesia spinal terdiri dari melakukan informed consent (izin dari pasien), pemeriksaan fisik (ada tidaknya kelainan punggung), dan pemeriksaan laboratorium anjuran (hemoglobin, hematokrit, PPT dan aPTT). Peralatan yang diperlukan dalam analgesia spinal ini terdiri aatas peralatan monitor seperti tekanan darah, nadi, pulse oxymetry, dan EKG; peralatan



resusitasi/anestesi umum; serta jarum spinal dengan ujung tajam (QuinckeBabcock) atau jarum spinal dengan ujung pensil (Boulton 1994, Dabson 1994).



3.1.3



Indikasi RA-SAB Indikasi dilakukannya teknik anastesi RA-SAB adalah sebagai berikut:



1 Transurethral prostatectomy (blok pada T10 diperlukan karena terdapat inervasi 2 3 4 5 6



pada buli buli kencing) Hysterectomy Caesarean section (T6) Evakuasi alat KB yang tertinggal Semua prosedur yang melibatkan ekstrimitas bagian bawah seperti arthroplasty Prosedur yang melibatkan pelvis dan perianal.



3.1.4



Kontraindikasi RA-SAB



Kontraindikasi Absolut: 1. 2. 3. 4. 5. 6.



Pasien menolak Deformitas pada lokasi injeksi Hipovolemia berat Sedang dalam terapi antikoagulan Cardiac ouput yang terbatas; seperti stenosis aorta Peningkatan tekanan intracranial.



Kontraindikasi Relatif: 1. Infeksi sistemik (sepsis, bacteremia) 2. Infeksi sekitar tempat penyunikan 3. Kelainan neurologis 4. Kelainan psikis 5. Bedah lama 6. Penyakit jantung 7. Hipovolemia ringan 8. Nyeri punggung kronis 3.1.5



Komplikasi RA-SAB



Komplikasi Pasca Tindakan:



1. 2. 3. 4. 5. 6.



Nyeri tempat suntikan Nyeri punggung Nyeri kepala karena kebocoran likuor Retensio urine Meningitis



3.1.6



Teknik Anastesi Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien duduk atau



posisi tidur lateral.Posisi ini adalah yang paling sering dikerjakan. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.



Gambar Anatomi Spinal Anestesi Berikut teknik anesthesia spinal dengan blok subarachnoid: 1.



Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus lateral. Beri bantal kepala, selain nyaman untuk pasien juga agar tulang spinosus



2.



mudah teraba. Posisi lain adalah duduk. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5. Tentukan tempat tusukannya, misalnya L2-L3, L3-L4, atau L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau di atasnya berisiko



3. 4.



trauma medulla spinalis. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3



5.



ml. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal sebesar 22 G, 23 G atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G atau 29 G, dianjurkan menggunakan introducer (penuntun jarum), yaitu jarum



suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Setelah resistensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya utuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukkan kateter. Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37ºC adalah 1,003–1,008. Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobaric. Anestetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik.Anestetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik.Anestetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anestetik lokal dengan dekstrosa.Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.



3.1.7



Preoperatif



a) Penilaian Preoperatif Penilaian preoperatif merupakan langkah awal dari serangkaian tindakan anesthesia yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk menjalani tindakan operatif . Tujuan: 1. 2. 3. 4.



Mengetahui status fisik pasien praoperatif Mengetahui dan menganalisis jenis operasi Memilih jenis atau teknik anestesia yang sesuai Meramalkan penyulit yang mungkin terjadi selama operasi dan atau



pascabedah 5. Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi penyulit yang diramalkan.



b) Tatalaksana evaluasi 1. Anamnesis



Anamnesis baik autoanamnesis maupun hetero anamnesis, yakni meliputi identitas pasien, anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah yang mungkin menimbulkan kerusakan fungsi organ, dan anamnesis umum yang meliputi riwayat penyakit sistemik, riwayat pemakaian obat-obatan, riwayat operasi/anestesia terdahulu, kebiasaan buruk, dan riwayat alergi. 2. Pemeriksaan fisik Yakni memeriksa status pasien saat ini yang meliputi kesadaran, frekuensi nafas, tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi badan untuk menilai status gizi/BMI. Disamping itu juga dilakukan pemeriksaan fisik umum yang meliputi pemeriksaan status psikis, saraf, respirasi, hemodinamik, penyakit darah, gastrointestinal, hepato-bilier, urogenital dan saluran kencing, metabolik dan endokrin, otot rangka. 3. Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya Meliputi pemeriksaan rutin yakni pemeriksaan darah dan urin. Selain itu pada pasien yang akan operasi besar dan pasien yang menderita penyakit sistemik tertentu diperlukan pemeriksaan khusus sesuai indikasi yang meliputi pemeriksaan laboratorium lengkap, pemeriksaan radiologi. 4. Konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital Konsultasi dilakukan dengan lab/staf medis fungsional yang terkait bila dijumpai gangguan fungsi organ, konsultasi bisa dilakukan berencana atau darurat. Koreksi dapat dilakukan bila dianggap perlu, pada kasus elektif koreksi dapat dilkukan mandiri oleh staf medis fungsional ataupun bersama dengan staf medis lain di bangsal, pada kasus darurat koreksi dilakukan bersama diruang resusitasi IRD atau di kamar operasi IRD. 5. Menentukan prognosis pasien perioperative Hal ini dapat menggunakan klasifikasi yang dibuatoleh American Society of Anesthesiologist (ASA). Tabel.1 Klasifikasi ASA.



Kelas ASA 1 ASA 2



Definisi pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik. pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit



ASA 3



sistemikringan sampai sedang pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik berat yang disebabkan



karena berbagai



ASA 4



penyebab tetapi tidak mengancam nyawa. pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik berat yang secara langsung mengancam



ASA 5



kehidupannya. pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi,



ASA 6



dioperasi ataupun tidak dalam24 jam pasien meninggal. pasien mati batang otak yang akan menjalani



E



transplantasi organ untuk donor. Jika prosedur merupakan prosedur emergensi, maka status pemeriksaan diikuti “E” (Misal, “2E”)



Klasifikasi status fisik ASA bukan merupakan alat prakiraan risiko anestesi, karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan.Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori.Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor.Status fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena penyakit yang mendasari hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi periopertif. Meskipun begitu, klasifikasi status fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring.



c) Persiapan Preoperatif 1. Masukan oral Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien yang menjalani anestesi.Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi.



Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anesthesia. 2. Terapi Cairan Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami defisit cairan karena durasi puasa .Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat, dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru.Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa (Boulton 1994, Dabson 1994). 3. Premedikasi Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya: a) b) c) d) e) f) g) h)



Meredakan kecemasan dan ketakutan Memperlancar induksi anestesi Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus Meminimalkan jumlah obat anestetik Mengurangi mual muntah pasca bedah Menciptakan amnesia Mengurangi isi cairan lambung Mengurangi reflek yang membahayakan



Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anestesi. Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular. Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam. Untuk meminimalkan kejadian di atas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya simetidin 600 mg atau oral ranitidin 150 mg 1-2 jam sebelum



jadwal operasi. Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi suntikan intramuskular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondansetron 2-4 mg. Sebelum dilakukan anestesi, pasien diberikan premedikasi berupa pemberian injeksi Metoclopramide 10 mg dan injeksi Ranitidine 50 mg untuk profilaksis dari PONV (postoperative nausea and vomiting). Metoclopramide digunakan sebagai anti emetik dan untuk mengurangi sekresi kelenjar.Pemilihan metokloperamide dikarenakan obat ini mempunyai efek menstimulasi asetilkolin pada otot polos saluran cerna, meningkatkan tonus sfinger esofagus bagian bawah, mempercepat pengosongan lambung dan menurunkan volume cairan lambung sehingga efek-efek ini akan menimalisir terjadinya pnemonia aspirasi. Metokloperamide juga mempunyai efek analgesik pada kondisi-kondisi yang berhubungan dengan spasme otot polos (seperti kolik bilier atau ureter, kram uterus, dll).Selain itu metokloperamide juga berefek memblok receptor Dopamine pada chemoreceptor trigger zone pada sistem saraf pusat sehingga sangat berguna untuk pencegahan muntah pasca operasi. Obat premedikasi lain yang digunakan adalah ranitidin. Pemilihan ranitidin dikarenakan obat ini mempunyai fungsi sebagai anti reseptor H2 sehingga dapat mengurangi produksi asam lambung yang nantinya dapat mengurangi risiko.



3.1.8



Durante Operasi



a) Persiapan Pasien Pasien dilakukan monitor keseimbangan cairan. Perlu juga untuk mengatur suhu pendingin ruangan. b) Pemakaian Obat Anestesi Infiltrasi lokal menggunakan lidokain 5% di area L4-L5 dengan menyusuri krista iliaka. Dilanjutkan anestesi dengan morfin 0.1 mg bersama dengan bupivacaine0.5% dengan dosis 12.5 mg. c)



Terapi Cairan



Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau kombinasi keduanya.Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler. Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan. Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut cairan jenis replacement. Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum digunakan adalah larutan ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium serum 130 mEq/L, Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang. Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan secara visual memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat menyerap 100-150 cc darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika spons atau lap tersebut ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah. d) Monitoring



Standard monitoring intraoperatif yang diadopsi dari ASA (standard monitor berikut ini adalah standard minimal monitoring): 1. Standard Basic Anesthetic Monitoring Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun pada kondisi emergensi, appropriate life support harus diutamakan. Standard ini ditujukan hanya tentang basic anesthetic monitoring, yang merupakan salah satu komponen perawatan anestesi. Pada beberapa kasus yang jarang atau tidak lazim (1) beberapa metode monitoring ini mungkin tidak praktis secara klinis dan (2) penggunaan yang sesuai dari metode monitoring mungkin gagal untuk mendeteksi perkembangan klinis selanjutnya.



1) Standard I Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi selama general anestesi, regional anestesi berlangsung, dan memonitor perawatan anestesi. 2) Standard II Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan temperature pasien harus dievalusi terus menerus. Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi adalah: a) Frekuensi napas, kedalaman, dan karakter b) Heart rate, nadi, dan kualitasnya c) Warna membran mukosa, dan capillary refill time d) Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek palpebra) e) Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi f) Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu. 3.1.9



Post Operatif



a) Pemindahan Pasien dari Kamar Operasi ke Recovery Room Segera setelah operasi, pasien akan dipindah ke post-anesthesia care unit (PACU), biasa disebut dengan recovery room. Di tempat ini, pasien akan diobservasi dengan ketat, termasuk vital signdan level nyerinya.



Pemindahan



pasien



dari



kamar



operasi



ke



PACU



memerlukan



pertimbangan-pertimbangan khusus. Pertimbangan ini di antaranya ialah letak insisi bedah. Letak insisi bedah harus selalu dipertimbangkan setiap kali pasien pasca operasi dipindahkan. Banyak luka ditutup dengan tegangan yang cukup tinggi, dan setiap upaya dilakukan untuk mencegah regangan sutura yang lebih lanjut. Selain itu, pasien diposisikan sehingga tidak berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan selang drainase. Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien digerakkan dari satu posisi ke posisi yang lain. Bahkan memindahkan pasien yang telah dianestesi ke brankard dapat menimbulkan masalah vaskular juga.Untuk itu pasien harus dipindahkan secara perlahan dan cermat. Segera setelah pasien dipindahkan ke brankard atau tempat tidur, pakaian pasien yang basah (karena darah atau cairan lainnya) harus segera diganti dengan pakaian yang kering untuk menghindari kontaminasi.Selama perjalanan transportasi tersebut pasien diselimuti dan diberikan pengikat di atas lutut dan siku serta side railharus dipasang untuk mencegah terjadinya risiko injury. Selain itu, hal tersebut di atas untuk mempertahankan keamanan dan kenyamanan pasien.Selang dan peralatan drainase harus ditangani dengan cermat agar dapat berfungsi dengan optimal.Pasien ditransportasikan dari kamar operasi ke PACU.Jika PACU terletak jauh dari kamar operasi, atau jika kondisi umum pasien jelek, monitoring adekuat terhadap pasien sangat diperlukan. Dokter anestesi bertanggung jawab untuk memastikan bahwa proses transfer tersebut berjalan dengan lancar. b)



Perawatan Post Anestesi di Recovery Room Recovery dari anestesi terjadi ketika efek obat-obatan anestesi hilang dan fungsi tubuh mulai kembali.Perlu beberapa waktu sebelum efek anestesi benar-benar hilang.Setelah anestesi, sejumlah kecil obat masih terdapat dalam tubuh pasien, tetapi efeknya minimal.



Observasi ketat harus terus dipertahankan hingga pasien benar-benar pulih dari anestesia. Observasi klinis harus dilakukan dengan pemantauan seperangkat alat berikut: a. b. c. d. e.



Pulse oximeter Non-invasive blood pressure monitor Elektokardiograf Nerve stimulator Pengukur suhu



Risiko Pasca anestesia dibagi dalam 3 kelompok, diantaranya: a) Kelompok I : pasien dengan risiko tinggi gagal nafas dan goncangan kardiovaskular pasca anesthesia/bedah, sehingga perlu nafas kendali pasca anestesia/bedah, pasien ini langsung dirawat di Unit Terapi Intensif pasca anesthesia/bedah. b) Kelompok II : sebagian besar pasien masuk dikelompok ini, perawatan pasca anesthesia bertujuan menjamin agar pasien secepatnya mampu menjaga respirasi yang adekuat. c) Kelompok III: pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan rawat jalan. Pada pasien ini respirasi adekuat harus dipertahankan selain itu juga harus bebas dari rasa ngantuk, ataksia, nyeri dan kelemahan otot sehingga pasien dapat kembali pulang.



Ruang Pulih: a) Tujuan perawatan pasca anesthesia di ruang pulih: Memantau secara kontinyu dan mengobati secara cepat dan tepat masalah respirasi dan sirkulasi, mempertahankan kestabilan sistem respirasi dan sirkulasi, memantau perdarahan luka operasi, mengatasi/mengobati masalah nyeri pasca bedah. b) Pasien yang tidak memerlukan perawatan pasca anesthesia di ruang pulih: Pasien dengan anesthesia lokal yang kondisinya normal, pasien dengan risiko tinggi tertular infeksi sedangkan di ruang pulih tidak ada ruang isolasi, pasien



yang tidak memerlukan terapi intensif, pasien yang akan dilakukan tindakan khusus di ruangan. c) Pemantauan dan penanggulangan kedaruratan Medik. Hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu meliputi pemulihan kesadaran, respirasi (sumbatan jalan nafas dan depresi nafas), sirkulasi (tekanan darah dan denyut jantung), fungsi ginjal dan saluran kencing, fungsi saluran cerna, aktivitas motorik, suhu tubuh, masalah nyeri, posisi pasien, pemantauan pasca anesthesia dan kriteria pengeluaran yakni dengan menggunakan Skor Aldrete. Pasien tetap berada dalam PACU sampai pulih sepenuhnya dari pengaruh anestesi, yaitu tekanan darah stabil, fungsi pernapasan adekuat, saturasi oksigen minimal 95%, dan tingkat kesadaran baik. Tabel Aldrete Score POSTA NESTHETIC ALDRETE RECOVERY SCORE ORIGINAL CRITERIA Modified Criteria PointValue COLOR Oxygenation PINK SpO2>92% on room air 2 PALE OR DUSKY SpO2>90% on oxygen 1 CYANOTIC SpO250% FROM NORMAL



than ± 50 mmHg of normal



CONSCIOUSNESS AWAKE, ALERT, AND ORIENTED



Fully awake



2



AROUSABLE



BUT



READILY Arousable on calling



DRIFTS BACK TO SLEEP NO RESPONSE ACTIVITY MOVES ALL EXTREMITIES



1



Not responsive



0



Same



2



MOVES TWO EXTREMITIES



Same



1



NO MOVEMENT



Same



0



Berdasarkan pada Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score. Anesth Analg 1970;49:924 and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score revisited. J Clin Anesth 1995;7:89. Idealnya, pasien di-discharge bila total skor 10 atau minimal 9. Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan kesiapan pasien untuk dikeluarkan dari PACU adalah: a) b) c) d) e) f) g)



Fungsi pulmonal yang tidak terganggu Hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat Tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah Orientasi pasien terhadap tempat, waktu, dan orang Produksi urin tidak kurang dari 30 ml/jam Mual dan muntah dalam kontrol Nyeri minimal Kontrol nyeri postoperatif, mual dan muntah, dan mempertahankan



normotermia sebelum pasien di-discharge sangat dibutuhkan. Sistem skoring untuk discharge digunakan secara luas. Sebagian besar kriteria yang dinilai adalah SpO2 (atau warna kulit), kesadaran, sirkulasi, respirasi, dan aktivitas motorik.Sebagian besar pasien memenuhi kriteria discharge dalam waktu ± 60 menit di PACU.Sebagai tambahan dari kriteria diatas, pasien dengan general anestesi seharusnya juga menunjukkan adanya resolusi dari blokade sensoris dan motoris. Postoperative nausea and vomiting (PONV) merupakan masalah yang sering terjadi setelah prosedur general anestesi, terjadi pada sekitar 20-30% pasien. Bahkan, PONV bisa terjadi ketika pasien di rumah 24 jam setelah discharge (postdischarge nausea and vomiting).



Etiologi PONV biasanya multifaktorial yang meliputi agen anestesi, tipe atau jenis anestesi, dan faktor pasien sendiri.Terjadi peningkatan insiden mual setelah pemberian opioid selama anestesi, setelah pembedahan intraperitoneal (umumnya laparoskopi), dan operasi strabismus.Insidensi tertinggi terjadi pada wanita muda.Meningkatnya tonus vagal bermanifestasi sebagai sudden bradikardi yang seringkali mendahului atau bersamaan dengan emesis. Anestesi



propofol



menurunkan



insiden



PONV.



Selective



5-



hydroxytryptamine (serotonin) receptor 3 (5-HT3) antagonis seperti ondansetron 4 mg (0.1 mg/kg pada anak-anak).Metoclopramide, 0.15 mg/kg intravena, kurang efektif tetapi obat ini merupakan alternatif yang bagus.5-HT3 antagonis tidak berhubungan dengan manifestasi akut extrapyramidal (dystonic) dan reaksi disforik yang mungkin ditimbulkan oleh metoclopramide atau phenothiazinetype antiemetics. Dexamethasone, 4–10 mg (0.10 mg/kg in children), bila dikombinasikan dengan antiemetik lainnya biasanya efektif untuk mual dan muntah yang refrakter. Bahkan efektif hingga 24 jam sehingga bisa digunakan untuk postdischarge nausea and vomiting. Profilaksis non farmakologis untuk mencegah PONV misalnya hidrasi yang adekuat (20 mL/kg) setelah puasa dan stimulasi P6 acupuncture point (pergelangan tangan).



3.1.10 Efek RA-SAB Subarachnoid block (SAB) adalah salah satu teknik anestesi regional dengan cara penyuntikan obat anestesi local ke dalam ruang subarachnoid



dengan tujuan untuk mendapatkan analgesia setinggi dermatom tertentu dan relaksasi otot rangka (Kleinman, 2002). Penyuntikan obat anestetik local pada ruang subarachnoid diantara konus medularis dan bagian akhir dari ruang subarachnoid adalah



untuk



menghindari



adanya kerusakan pada medulla



spinalis. Pada orang dewasa, obat anestetik local disuntikan ke dalam ruang subarachnoidantara L2 dan L5(biasanya antara L3 dan L4).



BAB III LAPORAN KASUS



1.



2.



IDENTITAS Nama



: Ahmad Faisal Nst



Jenis Kelamin



: Laki-laki



Umur



: 38 tahun



Agama



: Islam



Alamat



: Jl. Buntu Gg. Karja Prima Dsn VIII



Pekerjaan



: Wiraswasta



Status Perkawinan



: Sudah Menikah



No RM



: 31.08.80



ANAMNESA Keluhan Utama : Benjolan pada buah zakar sebelah kanan Telaah



: Benjolan pada buah zakar sebelah kanan dikeluhkan os sejak 1 bulan ini. Benjolan dikeluhkan os awalnya kecil dan semakin membesar. Os tidak mengeluhkan nyeri. Benjolan yang dirasakan os menetap, tidak dapat keluar masuk. Os tidak mengeluhkan adanya perubahan warna pada kulit buah zakarnya. Mual disangkal, muntah disangkal. Demam (-), Riwayat batuk lama (-), Riwayat mengejan (-), nafsu makan os baik, tidak ada penurunan berat badan.



RPT RPO RPK



:::-



3.



PEMERIKSAAN FISIK Status Present  Keadaan Umum : Baik Vital Sign       



Sens TD Nadi RR Suhu TB BB



: Compos Mentis : 120/70 mmHg : 88 x/menit : 18 x/menit : 370C : 165 cm : 73 kg



Pemeriksaan Umum Kepala 



Bentuk



: Normocepali







Mata



: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), Reflex cahaya (+/+), Pupil bulat, isokor, d: 3mm/3mm, Gerak bola mata terkonjugasi ke segala arah.







Telinga: Bentuk normal, tidak ada deformitas, nyeri tekan (-).







Hidung



: Hidung simetris, tidak ada pernapasan cuping hidung.







Mulut



: Tidak ada sianosis



Leher 



Pembesaran KGB



: (-)







Tyroid



: (+) normal







Bentuk



: normal, simetris



Thorax Paru  Inspeksi



: Pergerakan nafas simetris, tipe pernafasan abdomino-



  



thorakal, retraksi costae (-/-) : Stem fremitus kiri = kanan : Sonor seluruh lapang paru : Vesikuler seluruh lapang paru



Palpasi Perkusi Auskultasi



Jantung 



Inspeksi



: Ictus tidak terlihat







Palpasi



: Ictus tidak teraba







Perkusi



: Batas jantung normal







Auskultasi



: Bunyi jantung dalam batas normal



Abdomen 



Inspeksi



: Simetris







Palpasi



: Soepel







Perkusi



: Timpani







Auskultasi



: Peristaltik (+) Normal



Ekstremitas



: Oedem -/-



Status Lokalisata Genitalia Inspeksi



: Testis asimetris, benjolan pada skrotum dextra



Palpasi



: konsistensi benjolan lunak, mobile, nyeri tekan (-), ukuran 4x5cm



4. PEMERIKSAAN PENUNJANG Hasil Laboratorium Hasil Pemeriksaan



Hasil



Satuan



Nilai Rujukan



Haemoglobin



15.0



g/dL



11-12.5



Hitung Eritrosit



5.2



10^6/μL



3.9-5.6



Hitung Leukosit



6.400



/μL



5.000-15.000



Hematokrit



46.3



%



32-42



288.000



/μL



150.000-450.000



MCV



89.2



fL



80-96



MCH



28.8



pg



27-31



MCHC



32.3



%



30-34



Eosinofil



0



%



1-3



Basofil



0



%



0-1



N. Stab



0



%



2-6



N. Seg



51



%



53-75



Limfosit



45



%



20-45



Monosit



4



%



4-8



Hasil



Satuan



Nilai Rujukan



143



mg/dL



< 140



26



mg/dL



20-40



HEMATOLOGI Darah Rutin



Hitung Trombosit Index Eritrosit



Hitung Jenis Leukosit



Hasil Pemeriksaan HEMATOLOGI Glukosa Darah Glukosa Darah Sewaktu Fungsi Ginjal Ureum



Kreatinin



0.82



5.



DIAGNOSIS BANDING:  Hidrokel Dextra  Tumor Testis Dextra  Hernia Inguinalis lateralis Dextra  Varikokel Dextra  Torsio Testis Dexta



6.



DIAGNOSIS : Hidrokel Dextra



7.



8.



mg/dL



RENCANA TINDAKAN  Tindakan : Hidrokelektomi  Anesthesi : RA-SAB  PS-ASA :1  Posisi : Supine  Pernapasan : Spontan + Nasal Kanul KEADAAN PRA BEDAH



Pre operatif B1 (Breath) 



Airway







RR



: 18x/menit







SP



: Vesikuler kanan=kiri







ST



: Ronchi (-/-), Wheezing (-/-)



: Clear



B2 (Blood) 



Akral



: Hangat







TD



: 120/80 mmHg







HR



: 88 x/menit



B3 (Brain) 



Sensorium



: Compos Mentis



0.6-1.1







Pupil



: Isokor, kanan=kiri d:3mm/3mm







RC



: (+)/(+)



B4 (Bladder) 



Urine Output : (-)







Kateter



: (-)



B5 (Bowl) 



Abdomen



: Soepel







Peristaltik



: (+) normal







Mual/Muntah : (-)/(-)



B6 (Bone) 



Oedem



: (-)



PERSIAPAN OBAT RA-SAB Intratekal 



Marcain Spinal 0,5% : 15 mg



Jumlah Cairan  PO  DO  Produksi Urin



: RL 100 cc : RL 250 cc :-



Perdarahan 



Kasa Basah



: 3 x 10 = 30 cc







Kasa 1/2 basah



: 3 x 5 = 15 cc







Suction



:-







Jumlah



:-







EBV



: 73 x 70 = 5110 cc







EBL



: 10 % = 511 cc 20% = 1022 cc 30 % = 1.533 cc



Durasi Operatif 



Lama Anestesi= 11.45– 12.35 WIB







Lama Operasi = 11.50 – 12.35 WIB



Teknik Anestesi : RA-SAB Posisi duduk (“sitting”) - Identifikasi L3-L4 → desinfeksi dengan providone iodine + alkohol → insersi spinocan 25G, CSF (+), darah (-), injeksi marcain spinal 0,5% 15 mg → posisi supine → atur blok setinggi T4 POST OPERASI 



Operasi berakhir pukul







Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room. Tekanan



: 12.35 WIB



darah, nadi dan pernapasan dipantau hingga kembali normal. 



Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score > 9     



Pergerakan Pernapasan Warna kulit Tekanan darah Kesadaran



:2 :2 :2 :2 :2



PERAWATAN POST OPERASI Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah dipastikan pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, vital sign stabil, pasien dipindahkan ke bangsal dengan anjuran untuk bedrest 24 jam, tidur telentang dengan 1 bantal untuk mencegah spinal headache, karena obat anestesi masih ada.



TERAPI POST OPERASI 



Istirahat sampai pengaruh obat anestesi hilang







IVFD RL 30gtt/menit







Minum sedikit-sedikit bila peristaltik (+) normal







Inj. Ketorolac 30mg/ 8jam IV







Inj. Ranitidin 50mg/ 8 jam IV







Inj. Ondansetron 4mg/ 12 jam



BAB IV KESIMPULAN



Hidrokel adalah penumpukan cairan berbatas tegas yang berlebihan di antara lapisan parietalis dan viseralis tunika vaginalis. Hidrokel yang terjadi pada bayi baru lahir dapat disebabkan karena belum sempurnanya penutupan prosesus vaginalis sehingga terjadi aliran cairan peritoneum ke prosesus vaginalis atau belum sempurnanya sistem limfatik di daerah skrotum dalam melakukan reabsorbsi cairan hidrokel.



Hidrokel primer terlihat pada anak akibat kegagalan penutupan prosesus vaginalis. Pada orang dewasa, hidrokel sekunder cenderung berkembang lambat dalam suatu masa dandianggap sekunder terhadap obstruksi aliran keluar limfe. Hidrokel biasanya tidak berbahaya dan pengobatan biasanya baru dilakukan jika penderita sudah merasa terganggu atau merasa tidak nyaman atau jika hidrokelnya sedemikian besar sehingga mengancam aliran darah ke testis. Prognosis untuk hidrokel kongenital sangat baik. Sebagian besar kasus bawaan menyelesaikan pada akhir tahun pertama kehidupan.