HIWALAH [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN Sebagai makhluk sosial tentunya manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhanhidupnya, terutama dalam hal muamalah. Seperti juala beli, pinjam meminjam, sewa menyewa hingga urusan utang piutang maupun usaha-usaha yang lain baik dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan umum. Utang piutang sering kali tidak dapat dihindari karena sangat kental dengan kehidupan manusia. Demikianlah kehidupan manusia sebagai hamba Allah SWT tetapkan, ada yang dilapanngkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kehidupan pokoknya sehingga mendorongnya dengan terpaksa untuk berutang. Maka dari itu, diperlukan pengetahuan bagaimana kaidah utang piutang menurut syariah. Salah satu kaidah yang harus diketahui adalah hiwalah.



1



BAB II PEMBAHASAN



A. Pengertian Hiwalah Secara etimologis hiwalah atau hawalah berasal dari kata halaasy-syai’ haulan berarti berpindah. Tahawwala min maqanihi artinya berpindah dari tempatnya. Adapun hiwalah secara terminologis, adalah memindahkan utang dari tanggungan muhil (orang yang memindahkan) kepada tanggungan muhal ‘alaih (orang yang berutang kepada muhil). Hiwalah menurut Pasal 20 ayat 13 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah adalah pengalihan utang dari muhil al-ashil kepada muhal ‘alaih.1 Ulama Mazhab Hanafi (Ibnu Abidin) mendefenisikan hiwalah ialah: pemindahan membayar hutang dari orang yang berhutang (al-muhil) kepada yang berhutang (al-muhal alaih). Ulama Mazhab Hanafi lainnya (Kamal bin Humman) mendefenisikannya dengan: pengalihan kewajiban membayar hutang dari pihak pertama kepada pihak lain yang berhutang kepadanya atas dasar saling mempercayai. Menurut Mazhab Maliki, Syafi’I dan Hanbali, hiwalah ialah pemindahan atau pengalihan hak untuk menuntut pembayaran hutang dari satu pihak kepihak lain.2 Menurut Hanafiyah yang dimaksud hiwalah adalah memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula. Al-Jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud hiwalah adalah pemindahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain. Syihab al-Din al-Qalyubi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah adalah akad yang menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang kapada orang lain.3 B. Dasar Hukum Hiwalah Dalil hukum islam tentang diperbolehkannya hiwalah ini berdasarkan hadist, ijma’ dan qiyas. 1



Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah, (Jakarta:PRENADAMEDIA GROUP, 2013), hlm.267 M Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.219 3 Azwar Hamid, Mekanisme Mata Uang Modern dalam Islam, Volume 5, No.1, Juni 2017, hlm. 17-18 2



2



a. Hadist Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah SAW. Bersabda: “ menunda membayar hutang bagi orang kaya adalah kezaliman dan apabila seorang dari kalian hutangnya dialihkan kepada orang kaya, hendaklah dia ikuti”(HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, Al- Tarmizi, Al-Nasai, Ibnu Majah, dan Malik)”4 b. Ijma’ Para ulama telah sepakat bahwa hiwalah telah diperbolehkan, tanpa ada yang menolaknya seorang pun. Karena akad ini dibutuhkan oleh manusia untuk mempermudah kehidupannya. c. Qiyas Kebolehan akad hiwalah di-qiyas-kan (dianalogikan) kepada kebolehan akad kafalah. Karena didalamnya terdapat kesamaan dalam hal bahwa muhal’alaih dan kafil mempunyai keharusan melaksanakan haknya dan kepercayaan dalam memindahkan penagihan utang. Kalau muhal’alaih dalam hiwalah statusnya sebagai orang yang mempunyai kewajiban membayar utangnya muhil, maka kafil dalam kafalah statusnya orang yang mempunyai kewajiban menanggung makful’anhu. Jadi, dianatar keduanya terdapat kesamaan, sama-sama dibutuhkan manusia sebagai jalan untuk mempermudah dalam pembayaran utang.5 C. Pembagian Hiwalah Ditinjau dsri segi akad, mahzab Hanafi membagi dua bentuk hiwalah, yaitu; 1. Hiwalah Haq (pemindahan hak): Apabila yang dipindakan merupakan hak menurut utang. 2. Hiwalah Dain (pemindahan utang): Jika yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar utang. Ditinjau dari sisi lain hiwalah terbagi dua pula, yaitu: 1. Hiwalah Mutlaqah : Pemindahan uang yang tidak dijelaskan sebagai ganti dari pembayaran utang muhil kepada muhal. Contoh : Zaid meminjam uang kepada Ahmad sebesar Rp 100.000,00. Dalam hal yang sama Andi mempunyai utang kepada Ahmad Rp 100.000,00. Ketika Ahmad hendak menagih utang kepada Zaid. Kemudian Ahmad berkata kepadanya: “TAgihlah kepada Andi”. 4 5



Bulughul Maram, Five In One, (Jakarta:Mizan Publika, 2017), hlm.520 Enang HIdayat, Transaksi Ekonomi Syariah, (Bandung, Remaja Rosda Karya, 2016), hlm.228



3



Dalam contoh di atas zaid memindahkan utangnya kepad Andi, sehingga Andi berkewajiban membayar utang Zaid kepada Ahmad, tanpa menyebutkan pemindahan itu sebagai ganti dari pembayaran utang Zaid kepada Ahmad. Zaid statusnya sebagai muhil, dan sekaligus sebagai madin dan dain, disebut sebagai pihak pertama. Ahmad statusnya sebagai muhal dan dain, disebut sebagai pihak kedua. Kemudian Andi statusnya sebagai muhal ‘alaih dan madin, disebut sebagai pihak ketiga. 2. Hiwalah Muqayyamah : Pemindahan uang yang dijelaskan sebagai ganti dari epmbayaran utang muhil kepada muhal. Contoh : Zaid berpiutang kepada Ahmad sebesar Rp 100.000,00. Dalam hal yang sama Ahmad berpiutang kepada Andi RP 100.000,00. Kemudian Ahmad menagih utang kepada Andi seraya berkata kepadanya: “Bayarlah utangmu kepadaku kepada Zaid, karena say berutang kepadanya”. Dalam contoh di atas Ahmad memindahkan utangnya kepada Andi, sehingga Andi berkewajiban membayar utang Ahmad kepada Zaid, dengan menyebutkan pemindahan itu sebagai ganti dari pembayaran utang Ahmad kepada Zaid. Zaid statusnya sebagai muhal atau dain disebut sebagai pihak kedua. Ahmad statusnya sebagai muhil juga madin sekaligus dain, disebut sebagai pihak pertama. Kemudian Andi statusnya sebagai muhal ‘alaih dan madin, disebut sebagai pihak ketiga.6 D. Rukun Dan Syarat Hiwalah Rukun hiwalah menurut Hanafiah hanya satu, yaitu ijab dari orang yang memindahkan (al muhil) dan qabul dari orang yang dipindahkan (al muhal) dan yang dipindahi utang (al muhal’alaih). Sedangkan menurut Malikiyah rukun hiwalah ada empat, yaitu: a. Muhil (orang yang memindahkan) b. Muhal bih c. Muhal’alaih (orang yang dipindahi utang) d. Sighat Syafi’iyah dan Hanafiyah menambahkan dua rukun lagi, yaitu dua utang, utang muhal kepada muhil, dan utang muhil kepada muhal’alaih.



6



Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah, (Jakarta:PRENADAMEDIA GROUP, 2013), hlm.268



4



Muhil adalah orang yang mmeindahkan utang, yakni orang yang mempunyai utang (al mudin), sedangkan muhal adalah orang yang piutangnya dipindahkan (ad-dain), dan muhal’alaih adalah orang yang dipindahi utang yakni orang yang dibebani tugas untuk membayar utang. Adapun shighat yang digunakan dalam hiwalah adalah setiap kata yang mengandung arti pemindahan. dalam ijab misalnya muhil mengatakan: “utangmu saya pindahkan pada sipulan”, sedangkan qabul dari muhal dan muhal’alaih:” saya terima, atau saya setuju”7 Menurut Mazhab Syafi’I syarat-syarat hiwalah ada empat: 1. Kerelaan dari muhil yakni orang yang melimpahkan utangnya kepada pihak lain 2. Persetujuan dari pemberi utang yang haknya dikembalikan 3. Keberadaan utang (yang dilimpahkan) tetap didalam jaminan (dijamin pelunasannya) 4. Ada kesepakatan menanggung utang pihak yang mengalihkan utang (muhil) oleh pihak yang menanggung penulanasan utang (muhal’alaih) dalam jenisnya, macamnya dan batasan waktunya.8 E. Praktik Hiwalah Kontemporer (take over) Praktik “hiwalah” kontemporer (take over), akad pemindahan piutang nasabah (muhil) dari bank konvensional (muhal) kepada bank islam (muhal’alaih). Muhil/nasabah meminta muhal’alaih (bank islam) untuk membayarkan terlebih dalu utangnya kepada bank konvensional. Pemindahan utang ini dilakukan terlebih dahulu dengan qadrh. Setelah itu nasabah menjualnya kepada bank islam. Selanjutnya bank islam menyewakan (IMBT) kepada nasabah kembali yang dibayar secara cicilan.



Keterangan:



7



Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat, (Jakarta: AMZAH, 2013), hlm.449-450 Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi’I, Penjelasan Kitab Matan Abu Syuja’ dengan Dalil Al-Qura’an dan Hadist, (Jakarta: Mizan Publika, 2018), hlm.295 8



5



1. Nasabah Muslimah berutang rumah kepada bank konvensional (BK) secara riba, lalu ia ingin hijrah ke bank Islam. 2. Ia datang ke bank Islam (muhal’alaih) minta take over kredit rumahnya. 3. (3a) Bank Islam menyerahkan dana qardh dan (3b) dengan dana ini nasabah bisa melunasi utangnya di BK. 4. Selanjutnya nasabah menjual rumah itu kepada bank Islam, dananya digunakanuntuk melunasi qardh. 5. Kemudian bank Islam menyewakan rumah itu secara ijarah muntahaia bit-tamlik kepada nasabah, bukan dengan murabahah, karena untuk menghindari bay al-‘inah.9 F. Beban Muhil Setelah Hiwalah Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Anadai kata muhal’alaih mengalami kebangkrutan atau membatah hiwalah atau meninggal dunia, amak muhal tidak boleh kembali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat ulama jumhur. Menurut Mazhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal ternyata muhal’alaih orang kafir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh kembali lagi pada muhil. Menurut Imam Malik orang yang menghiwalahkan utang kepada orang lain, kemudian muhal’alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil. Abu Hafinah, syarih, Utsman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal’alaih menglami kebangkrutan atau meninggal dunia maka orang yang menghutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.10 G. Akibat Hukum Akad Hiwalah Apabila syarat-syarat hiwalah terpenuhi, maka akad dipandang sah dan berdampak hukum sebagai berikut. 1. Terbebasnya muhil dari kewajibannya membayar utang kepada muhal. Karena menjadi tanggung jawab muhal ‘alaih. Pendapat ini disepakati para ulama. 2. Muhal



mempunyai



wewenang



menagih



utang



kepada



muhal



‘alaih



dalam



tanggungannya. Jika utang dalam tanggungan itu lebih banyak daripada utangnya muhal 9



Nurul Huda, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis, (Jakarta: PRENADA MEDIA GROUP,2010), hlm. 105-106 10 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Depok: Raja Grafindo Persada,2014), hlm. 103



6



‘alaih kepada muhil, maka sebagiannya menjadi tanggung jawab muhil. Pendapat ini disepakati para ulama. 3. Muhal ‘alaih tidak boleh menolak apabila muhal menagih kepadanya. 4. Muhal ‘alaih mempunyai hak membatalkan menerima pemindahan tanggungan utang atas keridhan muhil setelah akad terjadi. Pendapat ini dikemukakan oleh mayoritas ulama. Hanafiyah memberikan syarat pembatalan pemindahan utang tersebut atas keridhaan muhil.11 H. Sifat Hukum Akad Hiwalah Para ulama sepakat bahwa hiwalah terhadap akad yang mengikat bagi kedua belah pihak (lazim). Akan tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai hak khiyar. Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapa bahwa hiwalah tidak menerima hak khiyar kecuali khiyar majlis. Karena hiwalah itu akad pemebebanan utang, tidak seperti jual beli. Namun pendapat yang paling shahih adalah tidak menerimanya. Hanafiyah berpendapat hiwalah bersifat lazim selama tidak ada khiyar syarat. I. Berakhirnya Akad Hiwalah Akad Hiwalah dapat berakhir atau batal disebabkan hal-hal sebagai berikut. 1. Apabila dibatalkan sebelum akad terjadi. Maka hak muhal kembali menagih kepada muhil. Begitu juga hak muhil menagih kepada muhal ‘alaih. 2. Muhal meninggal dunia. Sedangkan ahli warisnya muhal ‘alaih. Oleh karena itu, dia mewarisi harta hiwalah tersebut. Pendapat ini dikemukakan oleh Hanafiyah. 3. Muhal ‘alaih pailit. Maka muhal diperbolehkan membatalkan akad. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah. Menurut Imam Malik diperbolehkan membatalkannya atau tidak. Menurut Ahmad bin Hanbal akad berakhir kecuali apabila muhal meridhainya. Sedangkan menurut Syafi’iyah akd tidak berakhir. 4. Muhal ‘alaih melunasi utang yang dialihkan itu kepada muhal. 5. Muhal membebaskan utang yang dialihkan kepada muhal ‘alaih. 6. Muhal mengibahkan atau menyedekahkan harta yang menjadi utang kepada muhal ‘alaih.



11



Enang HIdayat, Transaksi Ekonomi Syariah, (Bandung, Remaja Rosda Karya, 2016), hlm.232



7



Fatwa DSN MUI tentang Hiwalah FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL Nomor: 12/DSN-MUI /IV/2000 Tentang HIWALAH



‫ِيم‬ َّ ‫من‬ َّ ِ ‫ِب ْس ِم هَّللا‬ ِ ‫الر ْح‬ ِ ‫الرح‬ Dewan Syariah Nasional, setelah: Menimbang : a. Bahwa terkadang seseorang tidak dapat membayar utang-utangnya secara langsung; karena itu ia boleh memindahkan penagihannya kepada pihak lain, yang dalam buku Islam disebut dengan hiwalah, yaitu akad pengalihan utang dari satu pihak yang berutang kepada pihak lain yang wajib menanggung (membayar)-nya. b. Bahwa akad hiwalah saat ini bias dilakukan oleh LKS. c. Bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang hiwalah unutk dijadikan pedoman oleh LKS. Mengingat



: 1. Hadits Riwayat Bukhari dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Menunda-nunda pembayaran utang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman. Maka, jika seseorang diantara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya kepada pihak yang mampu, terimalah”. (HR. Bukhari) 2. Hadits Nabi Riwayat Tirmidzi dari ‘Amar bin ‘Auf: “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terkait denagn syarat-yarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” 3. Ijma’. Para ulama sepakat atas kebolehan akad hiwalah. 4. Kaidah fiqh: “Pada dasarmya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” “Bahaya (belum berat) harus dihiangkan.” 8



Memerhatikan



: Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada hari Kamis, tanggal 8 Muharram 1421 H/ 13 April 2000.



MEMUTUSKAN Menetapkan



: FATWA TENTANG HIWALAH



Pertama



: Ketentuan Umum dalam Hiwalah: 1.



Rukun hiwalah adalah muhil, yakni orang yang berutang sekaligus



berpiutang, muhal atau muhtal, yakni orang berpiutang kepada muhil, muhal ‘alaih, yakni orang yang berpiutang kepada muhil dan wajib membayar utang kepada muhtal, muhtal bih, yakni utang muhil kepada muhtal, dan sighat (ijabkabul). 2.



Pernyataan ijab dan kabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk



menunjukkan kepada mereka dalam mengadakan kontran (akad). 3.



Akad



dituangkan



secara



tertulis,



memulai



korespondensi,



atau



menggunakan cara-cara komunikasi modern. 4.



Hiwalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal, dan



muhal ‘alaih. 5.



Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara



tegas. 6.



Jika transaksi hiwalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat hanyalah



muhtal atau muhal ‘alaih; dan hak penagihan muhal berpindah kepada muhal ‘alaih. Kedua



: Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan



diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui



Badan Ar-bitrase



Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui



musyawarah. Ditetapkan di



: Jakarta



Tanggal



: 08 Muharram 1421 H / 13 April 2000 M DEWAN SYARIAH NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA



9



Ketua,



Sekretaris,



Prof. K.H. Ali Yafie



Drs. H.A. Nazri Adlani



BAB III PENUTUP



10



Kesimpulan Hiwalah adalah memindahkan utang dari tanggungan muhil (orang yang memindahkan) kepada tanggungan muhal ‘alaih (orang yang berutang kepada muhil). Para ulama sepakat bahwa hiwalah terhadap akad yang mengikat bagi kedua belah pihak (lazim). Akan tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai hak khiyar. Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapa bahwa hiwalah tidak menerima hak khiyar kecuali khiyar majlis. Karena hiwalah itu akad pemebebanan utang, tidak seperti jual beli. Namun pendapat yang paling shahih adalah tidak menerimanya. Hanafiyah berpendapat hiwalah bersifat lazim selama tidak ada khiyar syarat. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Ar-bitrase setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.



DAFTAR PUSTAKA



11



Syariah



Ascarya. 2008. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Dwi, Rayno Adityo. 2015. Tipologi Jamina: Pespektif Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dan Jaminan Keperdataan. Volume 2, No.1. Hamid, Azwar. 2017. Mekanisme Mata Uang Modern dalam Islam. Volume 5, No.1. Hasan, Ali. 2004. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Hidayat, Enang. 2016. Transaksi Ekonomi Syariah. Bandunng: PT. Remaja Rosdakarya. Huda, Nurul dan Mohamad Heykal. 2010. Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis. Jakarta: Kencana, Prenadamedia. Ibnu, Al-Hafidz Hajar Al-‘Asqalany. 2008. Bulughul Maram Five in One. Diterjemahkan oleh: Lutfi Arif, Adithya Warman, Fakhruddin. Bandung: Mizan Publika. Terjemahan dari: Bulughul Maram min Adillati Ahkam. Mardani. 2013. Fiqih Ekonomi Syari’ah. Jakarta: Kencana, Prenadamedia. Suhendi, Hendi. 2014. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Syuja’, Abu. 2009. Ringkasan Fiqih Mazab Syafi’i. Diterjemahkan oleh: Toto Edidarmo. Jakarta: Mizan Publika. Terjemahan dari: Al-Tadzhib fi Adillati Matn al-Ghayah wa al-Taqrib. Wardi, Ahmad Muslich.2013. Fiqih Muamalah. Jakarta: Amzah.



12