Ivanda N [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENEGAKKAN HUKUM OLEH KEJAKSAAN DALAM TINDAKAN PEMBERANTASAN KORUPSI DI MASYARAKAT Ivanda Normalita (18040564022) Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Hukum Universitas Negeri Surabaya Email: [email protected] ABSTRAK Korupsi merupakan kasus yang saat ini masih sering sekali terjadi dan membuat masyarakat menjadi resah. Baik faktor internal dan faktor eksternal inilah yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan korupsi. Dari data yang ada ditemukannya kasus korupsi semakin meningkat di Indonesia dari mulai penjabat tingkat pusat hingga pejabat tingkat terkecil, seperti di Sidoarjo korupsi yang dilakukan oleh pejabat daerah ini mencapai hingga miliaran rupiah. Dengan hal ini Kejaksaan Negeri di Sidoarjo selalu mencari keberadaan para koruptor seperti Vigit Waluyo yang melakukan korupsi di PDAM Delta Tirta Sidorjo. Vigit Waluyo juga sebagai mafia sepakbola yang mengatur skor pemain sepakbola dibeberapa klub sepakbola tanah air. Maka dengan demikian korupsi yang dilakukan oleh Vigit Waluyo melalui dua kasus yang berbeda akhirnya dia divonis dengan hukuman penjara. Dari kasus Vigit Waluyo ini menambah penderitaan masyarakat Sidoarjo yang belum selesai akibat Lumpur Lapindo. Tujuan peneltian ini adalah untuk mengungkap bagaimana mendeskripsikan tentang kasus korupsi yang telah dilakukan oleh koruptor tersebut. KPK dan Kejaksaan sangat diperlukan untuk membantu pemberantasan korupsi, namun kontrol dari masyarakat sendiri sangat diperlukan juga demi pencegahan terjadinya tindakan korupsi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan penggumpulan data menggunakan studi pustaka dan teori yang digunakan adalah Robert Klitgaard.



Kata Kunci: Hukum, Kejaksaan, Tindakan Korupsi.



PENDAHULUAN



Korupsi merupakan suatu tindakan yang mana melakukan penyalahgunaan suatu kepercayaan dari seseorang, beberapa orang atau bahkan sekolompok masyarakat. Korupsi ini sangatlah merugikan orang lain karena didalamnya mengambil suatu keuntungan untuk memperkaya dirinya sendiri sehingga kepuasan yang ada dalam dirinya terpenuhi tanpa memikirkan hak – hak orang lain, kebanyakan korupsi dilakukan oleh orang yang menduduki jabatan (penyelenggara negara atau pegawai negeri) yang menyalahgunakan kewenangan serta kekuasaan secara melakan hukum (Asy’ari, 2012). Maka korupsi sendiri identik dengan orang orang yang memiliki suatu kekuasaan terhadap orang lain. Kaufmann dan Vicente bermaksud menunjukkan bahwa korupsi sendiri terbagi menjadi dua level yaitu makro dan mikro (Susanti, 2014), untuk faktor yang membuat seseorang melakukan korupsi, baik faktor internal maupun eksternal. Beberapa contoh faktor internal yaitu sifat seseorang yang rakus dan kurang bersyukur dengan apa yang dimiliki sehingga merasa selalu kurang dan mengambil hak yang bukan



milikinya demi kepuasan pribadi, tidak hanya itu gaya hidup yang mewah dan konsumtif yang membuat seseorang akhirnya melakukan korupsi untuk terpenuhinya nafsu belaka. Sedangkan untuk faktor eksternal sendiri misalnya karena lingkungan dimana seseorang dapat terpengaruhi oleh rekan kerja sendiri, kemudian hukum yang tidak tegas sehingga membuat orang tidak takut dengan melakukan korupsi dan sebagainya. Korupsi menjadi kejahatan internasional yang bersifat trasnasional terorganisir secara tegas dirumashkan dalam Preambule UN Convention Against Corruption 2003 (Siswanto, 2013), sehingga korupsi harus selalu diberantas dengan segala upaya dengan tanggap dan cepat. Pada dasarnya korupsi merupakan sebuah musuh bagi seluruh bangsa dunia (Haras Rasyid, 2010) . Di negara maju ketika pejabat negara tersebut melakukan suatu korupsi maka dirinya akan merasa malu dan dikuncilkan oleh masyarakat dan keluarganya sendiri, kebanyakan kasus di negara maju seorang yang melakukan korupsi bisa mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Mereka masih sadar bahwa harga diri melakukan tindakan korupsi menjadi rendah dan diinjak – injak oleh masyarakat sekitar. Sedangkan untuk Indonesia sendiri tindakan korupsi selalu meningkat dari tahun ke tahun. Terbongkarnya orang – orang yang melakukan korupsi dengan mencapai nominal hingga triliunan rupiah masih saja menjadi permasalahan yang belum selesai hingga kini. Data tentang prestasi korupsi Indoensia menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), kerugian negara akibat tindak pidana korupsi mencapai Rp. 24 Triluin dengan kerugian negara terbesar menjadi tahun 2006 dengan nilai terbesar Rp. 14,4 triliun (Hafidz, 2011). Mirisnya tindakan korupsi itu sendiri dilakukan oleh pejabat, mulai dari pejabat yang ada di pusat pemerintah hingga di desa. Korupsi dilakukan tidak hanya satu orang melainkan terdiri dari beberapa orang rekan – rekannya dengan cara sistematis dan terstruktur. Berbagai upaya untuk memberantas tindakan korupsi sudah dilakukan oleh beberapa lembaga negara, namun justru semakin banyak para koruptor baru, masyarakat seringkali geram dan perihatin akan tindakan koruptor yang selalu bermain drama dalam kasusnya, ada saja ulah yang dilakukan para koruptor ini untuk mengancam lembaga pemberantasan korupsi agar bekerja tidak baik, contohnya saja kasus Novel Baswedan maka tidak heran apabila masyarakat menyebut para koruptor sebagai tikus berdasi yang moralnya hilang. Di sisi lain hukum yang kurang tegas dalam menindak para koruptor yang membuat kasus korupsi masih merajalela serta timbul koruptor – koruptor baru. Atas upaya tindakan yang masih belum terselesaikan masyarakat seringkali berperan untuk membantu pemberantasan tindakan korupsi, misalnya dengan dilakukan kampanye untuk melakukan tindakan anti korupsi



baik secara langsung ataupun melalui media sosial. Sebagian besar hasil yang dikorupsi itu bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APB) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dalam wujud pengadaan barang dan jasa, serta juga berasal dari kasus suap (Syamsudin, 2010). Di Jawa Timur sendiri korupsi juga masih banyak dilakukan misalnya saja di kota Malang, Surabaya, Sidoarjo. Sidoarjo merupakan salah satu kota yang saat ini menjadi kota industri, kota yang berbatasan langsung dengan kota Surabaya ternyata juga terdapat pejabat – pejabat yang melakukan tindakan korupsi. Korupsi yang dilakukan mulai dari nominal jutaan hingga pada milliayaran rupiah, hal ini membuat resah masyarakat karena belum selesai tragedi dari lumpur lapindo hingga saat ini kemudian ditambah dengan korupsi pejabat. Seperti Vigit Waluyo dia adalah koruptor dengan meminjam dana PDAM Delta Tirta Sidoarjo sebesar 3 miliar serta terlibat dalam mafia sepak bola yang menjadi kasus trending akhir – akhir lalu. Menurut masyarakat sendiri nominal yang dikorupsi oleh Vigit Waluyo sangat berarti bagi masyarakat sendiri terutama bagi warga yang masih belum mendapatkan ganti rugi akibat lumpur lapindo, hingga kini masyarakat Sidoarjo masih meresahkan para pejabat – pejabat yang korupsi. Dimana pejabat yang seharusnya membantu permasalahan masyarakat malah justru menambah masalah bagi masyarakat lagi, janji – janji yang telah dibuat pejabat untuk kesejateraan masyarakat hanya menjadi sebuah ilusi. Hukum yang seharusnya memberi keadilan bagi masyarakat kini hanya berpihak pada koruptor, hukuman yang telah diberikan Vigit Waluyo menurut sebagaian masyarakat tak sebanding dengan apa yang telah dia lakukan. Masyarakat Sidoarjo menginginkan adanya hukum yang tegas dalam menjalankan sebagaimana fungsinya, bukan justru menambah penderitaan rakyat dengan menambah jumlah pejabat yang korupsi menimbulkan masalah baru hingga kini. Apalagi yang dilakukan Vigit Waluyo juga menganggu prestasi persepakbola dari Deltras dan beberapa klub sepakbola lainnya, bagi masyarakat terutama sangat menyukai sepakbola sangat kecewa dengan tindakan Vigit Waluyo yang sangat mempermainkan para pecinta sepakbola yang mana memainkan skor dari permainan ini demi menghasilkan uang untuk kepuasaan dirinya sendiri. Dengan demikian seharusnya vonis hukum dan denda harus seimbang dengan apa yang telah diperbuat oleh Vigit Waluyo agar terciptanya keadilan bagi semua orang.



Korupsi yang semakin meningkat di daerah kabupaten atau kota membuat peneliti mengambil kasus tindakan korupsi yang ada di kota Sidoarjo. Penelitian ini menganalisis bagaimana penegakkan hukum oleh kejaksaan negeri mengenai tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat daerah kabupaten atau kota. Dimana penelitian ini mengambil sebuah kasus dari Vigit Waluyo yang menjadi buronan atas tindakan korupsi yang dilakukan hingga mencapai nominal miliran. Sebelumnya ada juga kasus korupsi yang telah dilakukan orang – orang sebelum Vigit Waluyo. Misalnya saja Nur Ahmad dan Abdul Mannan karena kasus korupsi tahun 2017 pada proyek Pembangunan Tempat Sampah Terpadu atau yang biasa disebut dengan TPST di tiga tempat yaitu Pasar Larangan, Pasar Taman dan Pasar Krian sebesar Rp. 586.856.000,-.Dengan demikian maka UU RI No 30 Tahun 2002 pasal 3 dan pasal 4 yang mana membahas tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ini menyatakan bahwa tindakan korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa (Yasmirah mandasari, 2018). Maka Indonesia masih berupaya untuk mencegah dan mengurangi kasus korupsi dengan berbagai upaya misalnya pencegahan korupsi melalui sosialisasi terhadap generasi bangsa yang mana sosialisasi ini dimulai dengan lembaga- lembaga sosial yang ada di masyarakat, sehingga generasi bangsa sejak dini diajarkan mengenai dampak korupsi yang nantinya diharapkan generasi bangsa tidak melakukan tindakan korupsi. Korupsi merupakan salah satu kasus yang saat ini masih belum terselesaikan. Hal ini menjadikan KPK dan Kejaksaan harus bekerja keras dalam memberantas tindakan korupsi. Akan tetapi ketika lembaga – lembaga tersebut sudah melakukan segala upaya untuk memberatas korupsi dan sistem hukum yang ada masih saja lemah maka korupsi tidak akan dapat terselesaikan. Sungguh miris dimana setiap tahun koruptor – koruptor baru bermunculan ke permukaan publik dengan menggelapkan dana masyarakat hingga triliun rupiah, tidak heran jika masyarakat menjadi kecewa dengan pemerintah yang ada. Teori Robert Klitgaard membuat kita mengetahui suatu tindakan korupsi dengan mengunakan CDMA yakni Corruption = Directionary + Monopoly – Accountability. Sebuah tindakan korupsi dilakukan karena kurangnya rasa akuntabiitas dari orang tersebut. METODE



Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dengan menggunakan pengumpulan data dari studi pustaka untuk mendukung penelitian ini. Studi pustaka sendiri adalah suatu pengumpulan informasi dari berbagai media, studi pustaka ini digunakan sebagai rujukan di dalam penelitian dilakukan sehingga penelitian ini menjadi kajian yang ilmiah. Media yang digunakan berupa artikel, jurnal, buku, dan lain – lainnya. Kemudian analisis yang dilakukan dengan cara deskriptif artinya data yang telah ada dibahas dengan penjabaran yang jelas. Kemudian teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori korupsi menurut Robert Klitgaard. Menurut teori ini sebuah tindakan korupsi terjadi karena adanya suatu faktor kekuasaan dan monopoli yang tidak disertai dengan akuntabilitas. Dari sini Robert Klitgaard memberikan sebuah singkatan yaitu CDMA, yang mana artinya Corruption = Directionary + Monopoly – Accountability. Dengan demikian maka keterkaitan antara kasus Vigit Waluyo dengan teori Robert Klitgaard sangat serasi. Dimana tindakan yang dilakukan oleh Vigit Waluyo yang merupakan pekerja di PDAM Delta Sidoarjo dan pengurus di beberapa klub sepakbola, seperti diketahui maka Vigit Waluyo memiliki kekuasaan yang cukup tinggi dan dapat memainkan monopoli di pemeritahan daerah Sidoarjo. Akan tetapi sayangnya Vigit Waluyo tidak memiliki rasa tanggungjawab terhadap amanat dari masyarakat, sehingga kurangnya akuntabilast membuat Vigit Waluyo melakukan sebuah tindakan korupsi dengan jumlah yang besar. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kejaksaan Tinggi Kejaksaan dan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) adalah lembaga hukum yang menjadi sebuah jalan untuk memberantas tindakan korupsi. Dimana kedua lembaga tersebut menjadi harapan bagi masyarakat Indonesia agar para koruptor ditangkap, KPK juga menjadi lembaga yang sangat ditakuti oleh para koruptor dan kantor lembaga KPK sendiri berada ada di Jakarta. Sedangkan di daerah seperti kota atau provinsi maka Kejaksaan Negeri yang menjadi lembaga yang menangkap para koruptor dan menghukum vonis para Koruptor di daerah atau kota. Kejaksaan Tinggi dan KPK bekerjasama dalam menangkap para koruptor dari pejabat mulai dari tingat pusat hingga tingkat pedesaan sendiri.



Dalam menindak lanjuti sebuah kasus korupsi di Indonesia, Kejaksaan dibagi menjadi 3 sesuai dengan Undang – Undang No 16 Tahun 2004 yang membahas tentang susunan Kejaksaan Republik Indonesia yaitu Kejaksaan Agung yang berada di ibu kota, Kejaksaan Tinggi berada di ibu kota provinsi, dan Kejaksaan Negeri berada pada wilayah kota atau kabupaten. Kejaksaan Negeri juga merupakan salah satu dari lembaga hukum yang menanggulangi masalah – masalah di masyarakat. Kejaksaan Negeri ini memiliki peranan penting terutama untuk memberantas tindak korupsi di daerah kabupaten atau kota yang ada di Indonesia, dalam mekanisme pencarian koruptor maka dilakukan oleh Intelijen Kejaksaan yang mana Intelijen tersebut diberi tugas oleh Jaksa secara diam – diam, kemudian Intelijen memberikan laporan informasi dan data mengenai korupsi yang dilakukan oleh koruptor, dengan ini maka kasus korupsi dapat ditemukan lalu penangkapan koruptor dilakukan dan hakim menjatuhi vonis. Orientasi hakim dalam menjalankan hukum juga sangat menentukan keberhasilan hakim dalam memutuaskan perkara korupsi di pengadilan (Syamsudin, 2011), sehingga hakim harus mejatuhkan sebuah vonis dengan benar dan sesuai dengan Undang – Undang yang ada di Indonesia. Kejaksaan Negeri yang ada di daerah sangat membantu KPK dalam menangkap para koruptor tersebut. Karena sejatinya hukum harus ditegakkan, diketahui bahwasanya korupsi yang ada di Indonesia masih tinggi dan mengakibatkan kerugiaan bagi negara yang menghambat pertumbuhan perekonomian, maka sudah selayaknya hukum harus berjalan sebagaimana fungsinya. Menurut UU RI No 30 Tahun 2002 tentang korupsi yang merupakan sebuah tindak kejahatan, sehingga kasus korupsi harus benar – benar diberantas. Kemudian Kejaksaan Negeri harus memberikan sanksi terhadap hukuman vonis dan denda yang sesuai dengan ketentuan Undang – Undang yang berlaku, dan melakukan prosedur yang benar dalam penangkapan para koruptor agar tidak muncul koruptor – koruptor baru. 2. Hukum Dan Masa Depan Negara Kasus korupsi yang sampai saat ini belum kunjung selesai menandakan bahwa hukum yang ada di Indonesia masih belum maksimal, sosiologi melihat hukum yang ada di Indonesia masih terlalu lemah untuk memberantas korupsi dimana bisa dilihat dari tahun ke tahun korupsi selalu bertambah, parahnya terkadang hukum hanya memihak pada yang berkuasa dan kepentingan para golongan. Dari banyak kasus yang terjadi



orang yang mencuri lebih berat hukumannya dibandingkan mereka yang korupsi. Ketika banyak media yang menginformsikan sebuah koruptor yang bisa berjalan – jalan dan hidup dalam tahanan yang mewah jika dibandingkan mereka yang hanya mencuri makanan atau sebagainya lebih berat hukumannya. Pada dasarnya hukum harus adil dan tidak boleh memihak seseorang karena di depan hukum semua orang itu sama, Dengan ini maka hukum harus dibenahi dalam penerapannya, para koruptor melakukan tindakan tersebut karena mereka tidak takut dengan hukum yang tidak tegas. Sehingga mereka berfikir untuk melakukan tindak korupsi demi memenuhi keinginannya, tentu hal ini menjadikan hukum moral yang ada dalam diri manusia tidak berfungsi dengan baik. Seorang manusia dalam jiwanya memiliki hati nurani yang mana membedakan antara benar dan salah, ketika seseorang melakukan kesalahan dan mengalahkan hati nuraninya maka sebenarnya hal itu dikalahkan oleh nafsunya. Manusia sendiri sudah pasti memiliki nafsu yang ingin dapat memenuhi segalanya dan memberikan dirinya kebahagian. Ketika manusia melakukan korupsi maka disisi lain dirinya mengetahui bahwa dirinya salah namun disisi lain mereka bahagia mendapatkan sesuatu yang ingin mereka dapatkan. Sosiologi hukum memandang bahwa tidak seharusnya hukum berjalan seperti itu, maka sosiologi memberikan sebuah solusi – solusi dalam kebijakan hukum itu sendiri, di dalam sosiologi sendiri ada penelitian yang mana memecahkan masalah tentang tindakan atau motif yang menjadi penyebab dari seorang yang melakukan korupsi, maka dari sini dapat membantu kasus korupsi yang sampai saat ini semakin meningkat jumlah kasusnya. Dengan demikian yang ada di teori sosiologi mengenai teori CDMA yang mana membahas mengani akuntabilitas seorag terutama penjabat membuat seseorang melakukan sebuah tindakan korupsi, dari sini bisa dilihat bahwa sebuah sistem hukum yang tidak benar dan terganggu maka akan mempengaruhi sistem yang lainnya. Yang artinya bahwa sebuah sistem hukum yang tidak baik dan tidak berjalan dengan baik maka akan mempengaruhi masa depan bangsa Indonesia, ketika hukuman untuk korupsi tidak sesuai dengan ketentuan yang ada sehingga sistem hukum yang tidak berjalan baik sesuai fungsinya serta ketentuannya maka akan menimbulkan pengaruh untuk masa depan bangsa. Selain itu sistem hukum yang tidak benar membuat pejabat tidak akan takut melakukan sebuah tindakan korupsi, hal ini menjadikan sebuah rasa akuntabilitas



seseorang menjadi hilang bahkan tidak memperhatikan amanah yang telah diberikan, karena seseorang yang melakukan tindak pidana bedasarkan kesempatan yang dimiliki. Artinya ketika kesempatan yang dimiliki besarm agar seseorang itu tidak melakukan kejahatan, yang harus dilakukan adalah dengan memperbesar kemungkinan ditangkap, dipidana dan dijatuhi dengan sanksi pidana yang besar (berat) pula (Pramono, 2013). Dampak terbesar yang timbulkan dari korupsi tersebut menjadika masyarakat tidak percaya lagi dengan pemeritahan yang ada. Sejatinya hukum sendiri harus diciptakan dan diimplementasikan dengan adil dan sesuai ketentuan yang berlaku, hukum tidak boleh dibeli dengan uang atau kekuasaan sehingga hukum tidak dikatakan hanya memihak pada mereka yang berkuasa. Karena keadilan adalah milik semua manusia sebagaimana isi dari Pancasila yang ke 5 yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. 3. Kasus Korupsi Yang Dilakukan Di Daerah Saat ini korupsi sangat marak terjadi dan masih menjadi topik hangat yang dibicarakan oleh masyarakat, korupsi dilakukan oleh pejabat di tingkat pusat atau pejabat tingkat daerah hal ini bisa dilihat dari banyaknya koruptor yang telah ditangkap oleh KPK atau Kejaksaan Negeri. Seperti halnya Vigit Waluyo dia adalah salah satu dari sekian koruptor yang ada di Sidoarjo, Vigit Waluyo sendiri melakukan dua kasus korupsi yang berbeda dia terjun dalam dunia sepakbola hingga menjadi mafia skor sepak bola dan korupsi uang PDAM yang ada di Sidoarjo. Dia merupakan seorang yang sangat dikenal dalam publik terutama dalam dunia sepakbola dimana sepak terjang yang ia lakukan di dunia sepakbola memiliki posisi yang penting juga seperti ketua PSSI Jawa Timur, manager dalam klub sepakbola atau sebagainya. Tentu tidak heran jika Vigit Waluyo berperan juga menjadi aktor pengaturan skor sepakbola di beberapa klub sepakbola yang ada di Indonesia, Vigit Waluyo dikenal saat menjadi mafia sepakbola setelah disebut dari media televisi dalam acara program Mata Najwa yang memberitakan tentang bagaimana kasus yang marak tentang pengaturan skor sepakbola tanah air demi mendapatkan uang, tentu masyarakat sangat marah serta kecewa apalagi bagi para pecinta persepakbola di Indonesia. Kemudian di samping kasus tersebut ternyata dirinya menjadi koruptor di PDAM Sidoarjo, tidak tanggung – tanggung korupsi yang dilakukan hampir mencapai nominal Rp 3 miliar.



Vigit Waluyo menjadi buronan Kejaksaan Negeri di Sidoarjo, menjadi buronan membuat Vigit Waluyo berpindah – pindah tempat demi mencari keamanan serta menghindar dari kejaran Kejaksaan Negeri hingga akhirnya ia menyerahkan diri dengan didampingi oleh dari keluarganya ke Kejaksaan Negeri Sidoarjo pada tahun 2018 dengan kasus korupsi PDAM bukan kasus mengenai mafia pengaturan skor sepakbola. Dengan Vigit Waluyo menyerahkan diri maka Kejaksaan Negeri Sidoarjo menetapkan hukuman vonis penjara selama 1tahun 6bulan, kini ia mendekap dalam sel tahanan di Lembaga Permasyarakatan atau biasa yang disebut LP di kelas 1A. Sungguh hal ini sangat ironis mengingat Sidoarjo masih memiliki masalah Lumpur Lapindo yang hingga saat ini belum selesai, ganti rugi juga masih belum terselesaikan bagi korban Lumpur Lapindo ini, uang yang dikorupsi oleh Vigit Waluyo sangat dibutuhkan sekali oleh para korban Lumpur Lapindo sendiri. Tindakan korupsi yang telah dilakukan Vigit Waluyo ini membuat penderitaan masyarakat Sidoarjo bertambah, tentu tidak heran jika masyarakat menginginkan adanya hukuman vonis dan denda lebih untuk kasus Vigit Waluyo. Namun setelah kejadian dari kasus korupsi Vigit Waluyo ini dan penetapan hukuman vonis oleh Kejaksaan Negeri Sidoarjo, tetap masih saja terdapat koruptor – koruptor yang bermunculan kembali pada tahun 2019, hingga sampai saat ini Kejaksaan Negeri Sidoarjo masih berusaha untuk mencari para koruptor yang masih berkeliaran. Hal ini menjadi perhatian bagi masyarakat khususnya masyarakat Sidoarjo heran dengan tindakan para pejabat yang masih saja terus melakukan maka tidak salah jika masyarakat menganggap sistem hukum di Indonesia masih tetap lemah dan berjalan tidak baik sampai saat ini. 4. Kontribusi Warga Negara Dalam Pemberantasan Korupsi Korupsi masih menjadi permasalahan yang serius dialami oleh negara berkembang termasuk Indonesia, karena koerupsi merebak di segala bidang dan sektor kehidupan secara meluas, sistematis dan terorganisir dengan akibat timbulnya krisis ekonomi, rusaknya sistem hukum dan menghambat jalannya pemerintahan yang bersih dan demokratis (Ekayanti, 2015). Banyak sekali dampak yang ditimbulkan dari tindakan korupsi, kemiskinan masih tinggi ketika tindakan korupsi terjadi maka kemiskinan semakin tinggi lagi dan pembangunan di Indonesia menjadi terhambat karena dana yang digunakan untuk pembangunan dan membiayai keperluan negara menjadi tidak



terealisasikan. Perekonomian juga sedikit terganggu karena tindakan korupsi ini, Selain itu masih ada anak Indonesia yang masih putus sekolah dan perlu bantuan dari pemerintah setempat untuk mendapatkan pendidikan, namun ketika uang tersebut dikorupsi maka anak yang putus sekolah tetap tidak bisa mengenyam sebuah pendidikan yang seharusnya dia dapatkan. Tindakan korupsi membuat sistem menjadi berjalan tidak sesuai dengan fungsinya, sedangkan dampak yang ditimbulkan untuk keluarganya adalah dimana ketika keluarganya mengetahui bahwa anggota keluarganya melakukan korupsi maka akan dikucilkan oleh tetangga atau masyarakat sekitar. Maka dari beberapa contoh dampak korupsi tersebut harus ada upaya yang harus dilakukan dari semua warga negara, karena hukum juga tidak dapat berjalan dengan baik ketika warga negara tidak berkontribusi juga terhadap masalah – masalah sosial. Kontribusi semua masyarakat yang mencakup juga lembaga – lembaga sosial yang ada, dimana semua aspek lembaga sosial sangat dibutuhkan dalam memberantas tindakan korupsi. Mulai dari lembaga pendidikan yang mana menanamkan nilai dan karakter dalam generasi muda agar kedepannya tidak melakukan tindakan korupsi, kemudian lembaga masyarakat sebagai kontrol dalam mencegah terjadinya masyarakat yang melakukan tindakan korupsi, lalu lemabaga keluarga sangat berperan penting dalam menentukan anggota keluarganya dimana keluarga sebagai agen sosialisasi pertama yang membentuk karakter dan menanamkan nilai moral terhadap anggota keluarganya sehingga seseorang akan memiliki sikap yang baik dan sesuai norma yang ada di masyarakat, kepekaan terhadap orang lain diajarkan dalam lembaga keluarga sendiri. Selain itu lembaga agama juga diperlukan dalam kehidupan, dimana dalam agama mengajarkan kebaikan untuk manusia dalam menjalankan kehidupannya, sehingga manusia menjadi bisa lebih bersyukur dan memahami bahwasanya tindakan korupsi merupakan suatu tindakan yang dibenci oleh Tuhan, maka dengan ini moral yang ada di dalam seseorang tidak akan terkalahkan dengan ego atau nafsu dari seseorang itu sendiri dan seseorang akan selalu merasa bersyukur bahkan bisa saling berbagi terhadap orang lain. Penegakkan yang telah dilakukan Kejaksaan Negeri dalam mencari para koruptor bisa dikatakan sangat membantu dalam memberantas tindakan korupsi, Kejaksaan dapat membantu KPK dalam menjalankan visi misi dari Indoensia sendiri sehingga KKN



(Korupsi Kolusi dan Nepotisme) dapat hilang di Indonesia, namun terkadang hukuman vonis yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dilakukan oleh para koruptor. Penegakkan yang dilakukan oleh lembaga hukum harus selalu ditingkatkan karena peran penting dari lembaga hukum menentukan bagaimana tingkat kriminalitas di sebuah negara. Karena koruptor sekarang melakukan tindakan korupsi dengan sistematis dan terstruktur, maka Kejaksaan Negeri harus sangat bekerja keras dan hati – hati dalam mencari informasi dan data – data dari para koruptor tersebut. Namun terhambatnya dengan sistem hukum yang ada konstribusi dari masyarakat maupun Kejaksaaan Negeri masih belum cukup karena terdapatnya koruptor – koruptor baru. Maka sudah sepatutnya sistem hukum harus dibenahi agar membuat efek yang jerah terhadap para koruptor, sehingga orang yang akan melakukan korupsi akan berpikir berkali – kali dalam melakukan tindakannya. Peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam penegakkan hukum yang ada serta peran masyarakat juga sangat dibutuhkan untuk mendukung pemerintah dalam menegakkan hukum yang ada. PENUTUP Kesimpulan Korupsi sampai sekarang masih saja menjadi topic hangat yang terus dibicarakan oleh masyarakat, tindakan korupsi yang masih dilakukan oleh pejabat seringkali membuat masyarakat menjadi geram dan menambah beban bagi negara. Maka Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dengan Kejaksaan setempat bekerjasama untuk menangkap para koruptor yang masih berkeliaran dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kejaksaan dibagi menjadi tiga yaitu Kejaksaan Agung yang berada di pusat, Kejaksaan Tinggi berada di Ibu kota provinsi, dan Kejaksaan Negeri yang berada di kabupaten atau kota. Mekanisme dalam penangkapan para koruptor dilakukan oleh Intelijen yang diberi tugas oleh Jaksa, sehingga Intelijenlah yang memberikan informasi mengenai para koruptor tersebut. Seperti Vigit Waluyo seorang koruptor dari Sidoarjo yang melakukan korupsi di PDAM dan menjadi mafia pengaturan skor sepakbola dibeberapa klub sepakbola Indonesia. Hingga akhirnya ia menyerahkan diri ke Kejaksaan Tinggi Negeri di Sidoarjo pada tahun 2018 lalu, seiring Vigit Waluyo menjalani hukuman maka baru – baru ini masih saja korupsi bermunculan kembali dipermukaan kota Sidoaarjo tahun 2019 ini. Maka dengan ini sosiologi hukum mengkaji



bagaimana penyebab koruptor – koruptor ini masih saja bertambah, lemahnya hukum sampai saat ini masih saja berlanjut bahkan seringkali adanya ketimpangan hukum terhadap masyarakat pada status kelas yang telah dimilikinya. Untuk itu kontribusi dari seluruh warga negara sangat dibutuhkan dalam memberantas tindakan korupsi yang terjadi, agar pertumbuhan di Indonesia dapat maju. DAFTAR PUSTAKA Chairunnisa, Ninis. 2018 “Buron Kasus Korupsi Pinjaman PDAM Vigit Waluyo Menyerahkan



Diri”,



dalam



https://nasional.tempo.co/read/1160340/buron-kasus-korupsi-



pinjaman-pdam-vigit-waluyo-menyerahkan-diri/full&view=ok. Diakses 26 Agustus 2019. Klitgaard, Robert.dkk.2005. PENUNTUN PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PEMERINTAH DAERAH. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Ramadhani. 2018. “Profil Vigit Waluyo: Sepak Terjangnya di Sepakbola Indonesia Hingga Menyerahkan ke Kejaksaan”, dalam https://banjarmasin.tribunnews.com/2018/12/31/profil-vigitwaluyo-sepak-terjangnya-di-sepakbola-indonesia-hingga-menyerah-ke-kejaksaan?page=all. Diakses 31 Agustus 2019. Asy’ari, H. (2012). Dan Penguatan Kontrol Masyarakat. 1011211016(November), 34–44. Ekayanti, R. (2015). Magister Hukum Udayana •. E-Issn 2502-3101 P-Issn 2302-528X, 4(138– 149), 11. Hafidz, J. (2011). Sistem Pertanggungjawaban Perkara Korupsi Dalam Rangka Percepatan Penyelamatan



Uang



Negara.



Jurnal



Dinamika



Hukum,



11(Edsus).



https://doi.org/10.20884/1.jdh.2011.11.edsus.269 Haras Rasyid, M. (2010). KORUPSI DAN MASA DEPAN BANGSA (Suatu Pendekatan Daruriyah al-khamsah). Jurnal Hukum DIKTUM, 8(2), 122–129. Pramono, A. (2013). Kekuasaan Dan Hokum Dalam Perkuatan Pemberanta. 1, 105–113. Siswanto, D. (2013). Korupsi Sebagai Bentuk Kejahatan Transnasional Terorganisir. MasalahMasalah Hukum, 42(1), 123–130. https://doi.org/10.14710/mmh.42.1.2013.123-130 Susanti, I. (2014). Refleksi Ilmu Hukum dalam Analisis Penegakan Hukum Pemberantasan



Korupsi



di



Indonesia.



II(7),



123–133.



Retrieved



from



http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/download/282/274 Syamsudin, M. (2010). Faktor-Faktor Sosiolegal Yang Menentukan Dalam Penanganan Perkara Korupsi



Di



Pengadilan.



Jurnal



Hukum



Ius



Quia



Iustum,



17(3),



406–429.



https://doi.org/10.20885/iustum.vol17.iss3.art4 Syamsudin, M. (2011). Rekonstruksi Pola Pikir Hakim Dalam Memutuskan Perkara Korupsi Berbasis



Hukum



Progresif.



Jurnal



Dinamika



Hukum,



11(1).



https://doi.org/10.20884/1.jdh.2011.11.1.11 Yasmirah mandasari, S. P. H. (2018). Yasmirah Mandasari Saragih THE ANALYSIS JURIDIS FOR AUTHORITY THE CORRUPTION ERADICATION Pembentukan Komisi pemberantasan. Jurnal Ilmu Hukum, 05(2), 33–44.