KPK Laporan Kuliah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

UNIVERSITAS INDONESIA



LAPORAN KULIAH Hukum Pidana dan Kegiatan Perekonomian DOSEN : Prof. Topo Santoso, S.H., M.H.



LAPORAN KUNJUNGAN KE KPK Pada 14 November 2017



RONNY OKTAHANDIKA 1706993926



FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM SALEMBA November 2017



A. PENDAHULUAN Korupsi merupakan penggunaan secara diam-diam kekuasaan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dengan menyalahgunakan wewenang yang dimiliki. 1 Menurut Romli Atmasasmita, korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena korupsi merupakan pelanggaran HAM (Hak sosial dan hak ekonomi). Senada dengan Romli, Muladi menyatakan bahwa korupsi juga merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Hal ini disebabkan sifat korupsi yang sudah sistimatik, endemik, berakar (ingrained) dan flagrant yang mengakibatkan kerugian finansial dan mental.2 Atas latar belakang tersebut, dibentuknya sebuah lembaga Independen yang memiliki kewenangan untuk memberantas korupsi. Lembaga tersebut bernama Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). KPK dibentuk dengan misi utama melakukan penegakan hukum, yakni dalam hal pemberantasan korupsi. Dibentuknya lembaga ini dikarenakan adanya pemikiran bahwa lembaga penegak hukum konvensional, seperti Kejaksaan dan Kepolisian, dianggap belum mampu memberantas korupsi. 3 Oleh karena itu perlu dibentuk lembaga khusus yang mempunyai kewenangan luas dan independen serta bebas dari kekuasaan mana pun. Selain itu, dengan semakin canggihnya cara orang melakukan korupsi, badan penegak hukum konvensional semakin tidak mampu mengungkapkan dan membawa kasus korupsi besar ke pengadilan.4 Tindak pidana korupsi membawa dampak buruk bagi pembangunan bangsa ini tidak hanya dilakukan oleh manusa akan tetapi juga dapat dilakukan oleh korporasi. Korporasi telah diakui sebagai subyek hukum pidana. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka (3) Undang-Undang No.31 Tahun 1999 bahwa subyek hukum dalam tindak pidana korupsi merupakan orang perseorangan atau termasuk korporasi.5



1



Mochtar Lubis dan James Scott, Bunga Rampai Korupsi, Jakarta: LP3ES, 1985, hlm. 4. Muladi, “Konsep Total Enforcement dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Kerangka Politik Hukum”, Makalah disampaikan pada forum koordinasi dan konsultasi dalam rangka intersifikasi pemberantasan tindak pidana korupsi, Jakarta, 8 Nopember 2006, hlm. 14. 3 Teten Masduki dan Danang Widoyoko, “Menunggu Gebrakan KPK”, Jantera, Edisi 8 Tahun III, Maret 2005, hlm. 41. 4 Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi (Elemen sistem Intergritas Nasional), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003, hlm.177. 5 Indonesia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.UU.No.31 Tahun 1999, LN.140 Tahun 2007, TLN.387. Pasal 1 ayat (3) 2



B. MATERI6 Dalam pemaparan presentasi yang disampaikan oleh Bapak Laode M Syarif selaku Komisoner KPK secara khusus membahas mengenai Penegakan Hukum Kejahatan yang dilakukan oleh Korporasi. Yang Menjadi urgensi mengapa perlu adanya penegakan hukum tindak pidana korupsi dalam korporasi Karena dalam penerapannya berdasarkan data penangangan perkara tahun 2004-2017 swasta merupakan peringkat tertinggi pelaku korupsi yaitu 156 orang dan 2 korporasi. Terkait hal tersebut adanya Peraturan Mahkamah Agung No.13 Tahun 2016 memberikan kepastian hukum bagi korporasi maupun Aparat Penegak Hukum. Dalam Peraturan Mahkamah Agung No.13 Tahun 2016, dijelaskan Mengenai Pertama, penjelasan ketentuan umum yang menjelaskan berbagai hal termasuk bentuk korporasi baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum dan pengurus yang juga meliputi penerima manfaat (beneficial owners). Kedua, mengatur mengenai perbuatan dan beberapa bentuk kesalahan dari korporasi. Melalui hal tersebut maka diharapkan memberikan pedoman bagi hakim dalam menilai kesalahan oleh korporasi walaupun masih membuka peluang hakim dalam menemukan bentuk kesalahan korprorasi lainnya. Salah satu bentuk kesalahan adalah tidak melakukan pencegahan sesuai Pasal 4 ayat (2) Perma tersebut sehingga harusnya pasca perma ini, swasta melakukan langkah-langkah pencegahan korupsi secara serius. Ketiga, mengatur mengenai tata cara penanganan perkara dengan pelaku tindak pidana adalah korporasi, mulai dari bagaimana tata cara pemeriksaan sampai dengan penanganan korporasi induk, subsidiari dan yang berhubungan serta



korporasi yang melakukan peleburan,



penggabungan, pengambilalihan serta pemisahan. Keempat, mengatur mengenai tata cara penanganan aset korporasi termasuk kebolehan bentuk penyimpanan berupa uang hasil penjualan aset korporasi yang disita dengan potensi nilai ekonomi yang menurun sampai adanya putusan. Kelima, Perma ini mengatur mengenai eksekusi denda, uang pengganti, restitusi serta sanksi lainnya. Dengan adanya perma ini telag 1 Korporasi Tbk dijadikan Tersangka oleh KPK. Karena sebelum adanya Perma ini aparat penegak hukum kesulitan dalam menerapkan pertanggungjawaban korporasi. Hal ini dikarenakan aparat penegak 6 Laode M Syarif, “Penegakan Hukum Kejahatan Yang Dilakukan Oleh Korporasi”, Presentasi, disampaikan pada kunjungan belajar Mahasiswa Pascasarjana FHUI ke KPK pada 14 November 2017.



hukum tidak memiliki petunjuk teknis yang jelas. Kemudian karena desakan tersebut, akhirnya munculah perma ini yang kemudian diterapkan untuk menjadikan korporasi menjadi tersangka. Secara teori terbagi atas tiga teori yakni : 1) Harus terdapat kesalahan korporasi tersendiri, dalam teori ini terdapat model : a. identifikasi model yaitu atribusi kesalahan pengurus adalah kesalahan korporasi. b. Aggregation Model yaitu kesalahan dilihat dari aspek pelaknaan fungsi korporasi dalam terjadinya tindak pidana tersebut. c. Corporate Culture yaitu kesalahan dilihat dari Budaya Keseharian Korporasi. d. Power and Acceptance yaitu kesalahan dilihat dari bahwa tindakan tersebut dalam kuasa korporasi dan penerimaan korporasi atas tindakan tersebut. 2) Tidak Harus Terdapat Kesalahan Korporasi yakni Strict Liability. Artinya bahwa si pembuat sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan yang sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. 3) Jenis Ketiga terdiri dari model : a. Failure of Legal Person to prevent corruption yaitu Kegagalan Korporasi dalam mencegah terjadinya tindak pidana. Di Inggris, perusahaan dianggap gagal melakukan pencegahan apabila ada pegawai atau agen dari perusahaan tersebut yang melakukan suap untuk kepentingan perusahaan. b. Vicarious Liability yaitu meletakan tetap adanya kesalahan korporasi melalui atribusi kesalahan pekerja dengan syarat tertentu atau juga ada yang berpendapat melihat bahwa tetap kesalahan pekerja tetapi korporasi bertanggungjawab. Selanjutnya,



Penerapan



pada



UK



Bribery



Act



2010



bahwa



Pertanggungjawaban pidana korporasi hanya diterapkan pada suap baik dalam maupun luar negeri. Kemudian, korporasi secara mutlak bertanggungjawab atas suap yang dilakukan pekerja atau subsidiary dari korporasi apabila dilakukan untuk kepentingan



korporasi



dan



Satu-satunya



hal



yang dapat



menghidarkan



pertanggungjawaban, apabila korporasi dapat menujukan bahwa sudah melakukan



upaya dan prosedur untuk mencegah terjadinya suap (adequate procedure mechanism) . Contoh Kasus Rolls Royce v SFO, Rolls Royce (RR) telah terbukti gagal dalam melakukan pencegahan korupsi yang dilakukan oleh pegawainya. Pada tahun 1989 dan 2006, RR telah terbukti melakukan suap sejumlah US$ 2, 25 Juta dan mobil mewah dalam pengadaan mesin pesawat Garuda. Di Thailand, RR membayar lebih dari USD 36 Juta antara tahun 1991 dan 2005 dalam pengadaan mesin pesawat Thai Airways. Serta kejahatan serupa di India, Nigeria, Cina dan Rusia. Penegakan Hukum, penyidikan dilakukan oleh SFO dengan bekerjasama dengan berbagai penegak hukum termasuk KPK, hasilnya melalui proses DPA RR wajib membayar £510,213,399 senilai Rp.8,2 Trilyun dan berasal dari kasus di Indonesia senilai Rp.1,5 Trilyun. Penerapan pada US FCPA 1977 yakni Menggunakan pendekatan vicarious liability, dapat dikenakan apabila tindak pidana suap dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan kerja (dalam posisi apapun) dalam lingkup kerjanya dan dilakukan untuk kepentingan korporasi sesuai The Principles of Federal Prosecution of Business Organisations, United States Attorneys’ Manual. Kesalahan orang tersebut diatribusikan menjadi kesalahan Korporasi. Contoh Kasus US of Amerika v. Alstom S.A. Sejak tahun 1999 sampai 2011, Alstom dan perusahaan subsidiariesnya melakukan berbagai proyek dengan BUMN dari Indonesia, Saudi Arabia, Egypt, the Bahamas, and Taiwan. Sebagai bagian dari pengadaan, Alstom dan perusahaan subsidiaries memberikan pembayaran illegal sebesar US$ 75 juta kepada konsultan yang diketahui bahwa sebagian dari pembayaran tersebut untuk menyuap penyelenggara negara dalam rangka memenangkan. Akhirnya Alstom dan perusahaan subsidiariesnya mendapatkan kontrak senilai US$ 4 milyar. Penegakan Hukum : Pada tahun 2014 dilakukan proses penegakan hukum oleh US DoJ bekerjasama dengan berbagai penegak hukum termasuk KPK, hasilnya melalui proses DPA Alstom wajib membayar $772,290,000. Kerangka Hukum Tipikor terkait korporasi dalam Undang-Undang Tipikor Pasal 20 mengunakan Vicarious Liability dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang mengunakan Identification Model dengan perluasan subjek pengurus. Ringkasan Perbandingan UKBA 2010 Dan UU Tipikor UNCAC :



Persamaaan: Dianggap sebagai perbuatan korporasi apabila dilakukan oleh orang yang mempuyai hubungan kerja atau hubungan lain untuk kepentingan korporasi. Perbedaan: o UU Tipikor (Vicarious Liability), UKBA 2010 (Strict Liability) o UK BA 2010 mengenal pembelaan Adequate Procedure Permasalahan di Sektor Perkebunan 1. Konsolidasi data dan peta (kompilasi, integrasi dan sinkronisasi data spasial); data yang ada saat ini saling berbeda antara pusat dan daerah. 2. Perizinan tumpang tindih, tidak sesuai dengan alokasi lahan; 3. Pembinaan kebun masyarakat dan plasma (STDB, pendataan plasma); Kebun masyarakat cenderung tidak memiliki akses legal; 4. Penerimaan



negara



cenderung



rendah;



tidak



sesuai



dengan



neraca



perdagangan (estimasi penerimaan negara, mekanisme bagi hasil dll) 5. Regulasi perizinan terfragmentasi jadi celah korupsi (permentan 98, Permen ATR 5/2015 dll) 6. Tidak tersedianya Infrastruktur pendukung perkebunan (pembibitan dll) 7. Tata niaga CPO (kajian struktur pelaku, kepemilikan saham, mata rantai bisnis dll); melebihi batas kepemilikan grup. 8. Konflik batas wilayah administrasi Permasalahan di Sektor Hutan dan Lingkungan Hidup : 1. Tidak adanya peta yang dapat dijadikan acuan tunggal bagi seluruh sektor untuk tata guna lahan; aturan mengenai alokasi lahan cenderung tidak harmonis – menyebabkan ketidak adilan dan ketidak pastian. 2. Pengukuhan kawasan hutan belum selesai (saat ini 68%), cenderung bersifat administratif – masih menyisakan penyelesaian hak. 3. Berbagai aturan turunan UU 32/2009 belum diselesaikan. 4. Standar perizinan di sektor kehutanan memberikan ruang bagi diskresi dan suap maupun pemerasan. 5. Tingginya biaya informal untuk kegiatan usaha sektor kehutanan (Kajian KPK 2013, 22 milyar – 668 juta per tahun).



6. Pengelolaan data produksi dan pengawasan tidak kredibel untuk menguji pertanggungjawaban penerimaan negara (gap antara data produksi dengan deforestasi tidak terkendali). 7. Pungutan rente ekonomi hutan tidak optimal (tarif tidak berubah sejak tahun 1990-an). Permasalahan di Sektor Pertambangan : 1. Renegosiasi kontrak 37 KK dan 74 PKP2B belum terlaksana 2. Peningkatan Nilai Tambah Mineral dan Batubara belum terlaksana dengan baik 3. Pengembangan sistem data dan informasi minerba masih bersifat parsial 4. Belum diterbitkannya semua aturan pelaksana UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba 5. Penataan Kuasa Pertambangan/Izin Usaha Pertambangan belum selesai 6. Tidak ada upaya sistematis untuk meningkatkan DMO (Domestic Market Obligation) 7. Kewajiban pelaporan reguler belum dilakukan oleh pelaku usaha dan pemerintah daerah 8. Kewajiban reklamasi dan pascatambang belum sepenuhnya dilakukan 9. Pelaksanaan pengawasan pertambangan belum optimal 10. Terdapat kerugian keuangan negara karena tidak dibayarkannya kewajiban keuangan  tidak optimalnya sanksi atas pelaku usaha yang tidak memenuhi kewajiban keuangannya. Bisnis Proses Sumber Daya Alam 1. Perencanaan Mempengaruhi Dalam Pembuatan Perencanaan Pemanfaatan (Rencana Tata Ruang, KLHS, RPPLH) Contoh: Al Amin Nasution terkait suap alih fungsi hutan lindung menjadi pelabuhan Tanjung Api-Api divonis 8 Tahun penjara 2. Pemanfaatan Contoh Kasus Martias (Pung Kin Hwa) Presiden Direktur PT Surya Dumai Group (2005) Menerima izin pemanfaatan hutan untuk perkebunan Sawit; Hanya memotong hutan dan mengambil kayunya dan menelantarkan



konsesinya. Di penjara Hanya 18 bulan Penjara + Denda Rp 500 juta + Uang Pengganti Rp 346,8 milyar. 3. Pengawasan Contoh: Pemberian fasilitas kepada pejabat pengawas sehingga tidak menjalankan fungsinya secara optimal dan Suap kepada penegak hukum untuk menghindari penegakan hukum. Kasus PT. Tambang Nakal •



Mr ANDANG, Staf Legal PT TAMBANG NAKAL, melakukan suap sebesar US$ 100 RIBU kepada Gubernur Kalimantan Tenggara untuk mendapatkan IUP yang terungkap melalui operasi tangkap tangan Kepolisian Daerah Kalimantan Tenggara pada tanggal 10 Agustus 2017.







PT TAMBANG NAKAL merupakan perusahaan yang bergerak di Penambangan Batu Bara dengan Direktur Utama Mr MUNAJI, Direktur Keuangan Ms AMBAR dan Direktur Operasional dan Legal Ms JEAN GREY. Melihat perbuatan korporasi alat bukti yang dibutuhkan SK Pengangkatan



Pegawai dari LOGAN (Membuktikan hubungan kerja), Dokumen terkait rencana kerja PT TAMBANG NAKAL (Membuktikan kepentingan korporasi), Riwayat komunikasi antara LOGAN dengan pegawai atau direksi (membuktikan suap dilakukan untuk kepentingan korporasi), AD/ART (membuktikan kepentingan serta jenis dan bentuk korporasi). Kesalahan dalam PERMA No. 13 tahun 2016 terbagi tiga yakni : 1.) Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut



atau



tindak pidana



tersebut



dilakukan



untuk



kepentingan



korporasi; 2.) Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau 3.) Korporasi



tidak



melakukan



langkah-langkah



yang diperlukan



untuk



melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku



guna menghindari



terjadinya tindak pidana Di dalam hukum acara khususnya dalam PERMA diatur bahwa Alat bukti terhadap perkara korporasi pada prinsipnya sama dengan alat bukti pada kasus natural person. Perusahaan induk, subsidari dan memiliki hubungan (sister) dapat



dimintai pertanggungjawaban. Dalam pasal 14 perma Perusahaan yang melakukan penggabungan,



peleburan



dan



pemisahan



tetap



dapat



dimintakan



pertanggungjawaban. Apabila korporasi tidak membayar denda maka harta kekayaan korporasi dapat dirampas untuk membayar denda. Apabila korporasi tidak membayar uang pengganti, restitusi dan ganti rugi maka harta kekayaan korporasi dapat dirampas untuk membayar. Selain itu, adapun mekanisme lain diluar negeri adalah Deffered Prosecution Agreement yang berasal dari lembaga serious fraud office.



C. REFLEKSI KUNJUNGAN Pelajaran Penting yang Didapatkan Dalam kunjungan Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia



ke



KPK,



kami



mendapatkan



pelajaran



baru



mengenai



pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana korupsi. Seperti yang pernah diketahui bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak menyatakan bahwa



korporasi sebagai subjek hukum melainkan yang diakui adalah manusia/ pribadi kodrati.



Namun,



seiring



dengan



perkembangan



kegiatan



ekonomi



dan



pembangunan tentu Indonesia dituntut untuk menetapkan korporasi sebagai subjek hukum pidana, walaupun hal ini menyimpang dari ketentuan pidana umum yang diatur dalam KUHP. Dalam Peraturan Mahkamah Agung No.13 Tahun 2016, dijelaskan Mengenai Pertama, penjelasan ketentuan umum yang menjelaskan berbagai hal termasuk bentuk korporasi baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum dan pengurus yang juga meliputi penerima manfaat (beneficial owners).



Kedua,



mengatur mengenai perbuatan dan beberapa bentuk kesalahan dari korporasi. Selanjutnya,



Penerapan



pada



UK



Bribery



Act



2010



bahwa



Pertanggungjawaban pidana korporasi hanya diterapkan pada suap baik dalam maupun luar negeri. Kemudian, korporasi secara mutlak bertanggungjawab atas suap yang dilakukan pekerja atau subsidiary dari korporasi apabila dilakukan untuk kepentingan



korporasi



dan



Satu-satunya



hal



yang dapat



menghidarkan



pertanggungjawaban, apabila korporasi dapat menujukan bahwa sudah melakukan upaya dan prosedur untuk mencegah terjadinya suap (adequate procedure mechanism) . Dalam pemaparannya, Pak laode memberikan Contoh Kasus Rolls Royce v SFO, dimana Rolls Royce (RR) telah terbukti gagal dalam melakukan pencegahan korupsi yang dilakukan oleh pegawainya. Hal ini berkaitan dengan korupsi yang dilakukan oleh korporasi. Kesadaran Baru Dari kunjungan belajar ke Komisi Pemberantaan Korupsi (KPK), pengetahuan saya akan Subjek Hukum yang “sulit” untuk dijerat dalam tindak pidana korupsi yaitu korporasi bertambah. Seiring dengan perkembangan zaman yang kian hari mengalami perkembangan bukan hanya dari ekonomi, budaya. Namun, tindak pidananya juga mengalami perkembangan terutama Tindak pidana korupsi korporasi merupakan fenomena yang berkembang pesat dewasa ini. Kesan tentang Acara Kunjungan Adapun Kesan tentang acara kunjungan, dalam hal ini kunjungan sangat bermanfaat. Saya pribadi berterima kasih kepada Prof.Topo Santoso selaku pengajar mata kuliah ini karena dengan adanya mata kuliah ini saya bisa



mendapatkan ilmu secara langsung dari penegak hukumnya. Selain itu, saya dapat bertemu dengan orang-orang penting di Indonesia. Yang seperti kita ketahui bersama mereka adalah orang-orang yang sulit ditemui oleh banyak orang. Justru dengan adanya mata kuliah ini saya bisa bertemu dengan mereka. Selain itu, suatu kebanggan untuk saya dapat diajarkan secara langsung oleh pejabat dari instansi bersangkutan. Kami tidak hanya diberikan ilmu yang bermanfaat mengenai duniaKPK, tetapi juga pengalaman yang luar biasa yang rasa-rasanya tidak akan didapatkan jika tidak karena jasa Prof. Topo Santoso yang memfasilitasi kami, selaku mahasiswa dengan KPK, karena seperti kita ketahui, mereka adalah orang-orang yang sulit untuk ditemui oleh banyak orang. Untuk itu saya mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada Prof. Topo dan para petinggi KPK atas kesempatan yang luar biasa ini.



D. PENUTUP Kunjungan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Tanggal 14 November 2017 yang diisi oleh Pak Laode M Syarif selaku Komisoner merupakan one in a lifetime experience yang berharga bagi saya karena selain bertemu dengan pejabat pada Instansi tersebut. Saya juga mendapatkan ilmu baru yang dapat memperjelas materi yang sebelumnya pernah diajarkan dikelas. Bahwa Tindak pidana korupsi korporasi merupakan fenomena yang berkembang pesat dewasa



ini. Perbuatan pidana tersebut dilakukan dengan berbagai modus, menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku dengan tujuan menguntungkan perusahaan. Dari hasil riset, data penangangan perkara tindak pidana korupsi tahun 2004-2017, swasta merupakan peringkat tertinggi pelaku korupsi yaitu 156 orang dan 2 korporasi. Terkait hal tersebut adanya Peraturan Mahkamah Agung No.13 Tahun 2016 memberikan kepastian hukum bagi korporasi maupun Aparat Penegak Hukum. Dalam perma ini menjelaskan berbagai hal termasuk bentuk korporasi baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum dan pengurus yang juga meliputi penerima manfaat (beneficial owners), perbuatan dan kesalahan, tata cara penanganan perkara dengan pelaku tindak pidana adalah korporasi, mulai dari bagaimana tata cara pemeriksaan sampai dengan penanganan korporasi induk, subsidiari dan yang berhubungan serta



korporasi yang melakukan peleburan,



penggabungan, pengambilalihan serta pemisahan, mengenai tata cara penanganan aset korporasi termasuk kebolehan bentuk penyimpanan berupa uang hasil penjualan aset korporasi yang disita dengan potensi nilai ekonomi yang menurun sampai adanya putusan, serta mengatur mengenai eksekusi denda, uang pengganti, restitusi serta sanksi lainnya. Diharapkan kinerja dan pertanggung jawaban dari Institusi KPK kedepannya akan semakin baik lagi.



DAFTAR PUSTAKA



Mochtar Lubis dan James Scott. Bunga Rampai Korupsi. Jakarta: LP3ES. 1985. Muladi. “Konsep Total Enforcement dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Kerangka Politik Hukum”. Makalah disampaikan pada forum koordinasi dan konsultasi dalam rangka intersifikasi pemberantasan tindak pidana korupsi. Jakarta, 8 Nopember 2006.



Teten Masduki dan Danang Widoyoko. “Menunggu Gebrakan KPK”. Jantera, Edisi 8 Tahun III, Maret 2005. Pope, Jeremy. Strategi Memberantas Korupsi (Elemen sistem Intergritas Nasional). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2003. Indonesia. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.UU.No.31 Tahun 1999, LN.140 Tahun 2007, TLN.387. Pasal 1 ayat (3) Laode M Syarif. “Penegakan Hukum Kejahatan Yang Dilakukan Oleh Korporasi”. Presentasi, disampaikan pada kunjungan belajar Mahasiswa Pascasarjana FHUI ke KPK pada 14 November 2017.