Laporan Daging, Karkas, Ikan (William) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tujuan 1.1.1. Umum Memahami sifat-sifat kimiawi daging, karkas, dan ikan 1.1.2. Khusus 1. Menentukan persentase jaringan-jaringan penyusun daging, karkas, dan ikan 2. Menentukan tingkat kualitas kesegaran ikan 3. Menentukan karakteristik dari daging, karkas, dan ikan: pH, juiciness, keempukan. 1.2 Dasar Teori 1.2.1. Karkas Kualitas karkas sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya penimbunan lemak berlebih pada ayam. Pada karkas, warna merah berasal dari mioglobin. Mioglobin berada pada organ tubuh yang aktif bergerak misalnya paha. Mioglobin dapat bereaksi dengan oksigen membentuk oksimioglobin dan memberikan warna merah cerah. Komposisi daging ayam menurut Stadelman dalam Murtidjo (2003) adalah sebagai berikut: Tabel 1.2.1.



Komposisi Daging Ayam



Bagian Karkas Ayam Air (%) Protein (%) Lemak (%) Abu (%) Dada



77.60



21.30



0.70



0.87



Paha atas



77.40



18.10



3.80



0.82



Paha bawah



78.20



18.80



2.70



0.83



Punggung



76.70



17.50



5.90



0.68



Rusuk



78.10



17.50



3.90



0.68



Sayap



78.20



19.40



2.70



0.58



Leher



78.20



16.80



0.71



0.71



Ampela



79.80



17.50



0.74



0.74



Hati



77.10



18.80



1.02



1.02



Jantung



78.20



13.80



0.80



0.80



1.2.2 Ikan Ikan merupakan hewan yang hidup di air yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Ikan sendiri terbagi menjadi ikan air tawar dan ikan air asin. Komposisi kimia ikan sangat bervariasi bergantung pada spesies, umur, musim, dan jenis kelamin. Ikan mengandung air sekitar 70%, protein 20%, lemak 0.1-20%, karbohidrat 1%, dan mineral 1 %.Daging ikan merupakan sumber protein yang tinggi sehingga rawan kerusakan akibat faktor fisik maupun biologis seperti aktivitas bakteri mengingat Aw ikan juga tinggi Morfologi ikan terdiri atas bagian kepala, daging, kulit, tulang, ekor, sirip, dan organ-organ dalam. Ada 2 jenis ikan berdasarkan warna daging nya yakni daging warna putih dan daging warna merah. Perbedaan utama warna pada daging ikan adalah kandungan pigmen mioglobin.Tubuh ikan biasanya memiliki bentuk dan ukuran yang simetris bila dipotong menjadi 2 dari kepala ke ekor. Organ khas pada ikan yakni insang yang terdapat pada daerah sekitar kepala. Ikan segar lebih cepat



mengalami kebusukan dibandingkan daging unggas dan mamalia. Kebusukan langsung terjadi dengan pesat setelah rigor mortis selesai. Menurut Moselio Schaechter (2009), hal ini terjadi karena 2 faktor yakni karena daging ikan mempunyai jumlah komponen protein dan non protein nitrogen yang tinggi (terutama komponen non protein nitrogennya yang sangat mudah dimanfaatkan oleh mikroba). Faktor lainnya ialah karena tidak adanya kandungan karbohidrat pada daging ikan sehingga tidak ada produksi asam laktat hasil glikolisis yang menyebabkan pH asam yang akan menghambat aktivitas bakteri (pH ikan normal 7). Pembusukan ini menyebabkan kualitas bahan pangan menurun hingga mencapai titik tidak layak dikonsumsi. Pembusukan ini akan mempengaruhi sifat sensori (warna, tekstur, bau, dan rasa) hingga terjadi penyimpangan. Tabel 1.2.2.1



Kriteria Penilaian Kesegaran Ikan



No. Parameter 1 2 3 4 5 6 7



Karateristik



Mata Kulit Tekstur Sisik Insang Aroma Warna



Jernih Sedikit berlendir Kenyal Melekat kuat Merah cerah Khas (segar) Cerah



Warna gelap Berlendir Kurang kenyal Agak mudah lepas Agak pudar Netral Agak pudar



Keputihan Berlendir Lunak Mudah lepas Pudar Bau asam Pudar



Putih Banyak berlendir Lunak Mudah lepas Putih Busuk Putih/pucat



Mutu



1



2



3



4



1.2.1. Water Holding Capacity (WHC) Daya ikat air atau water holding capacity adalah kemampuan protein dalam mengikat air selama diaplikasikannya gaya-gaya, tekanan, sentrifugasi, atau pemanasan. Kemampuan protein dalam mengikat protein dalam sistem pangan sangat penting karena akan berpengaruh pada rasa dan tekstur dari produk pangan. Faktor eksternal yang mempengaruhi daya ikat air adalah konsentrasi protein, suhu, pH, dan kekuatan ion (Awwaly, 2017). Kemamwpuan bahan pangan untuk mengikat air tidak terlepas dari



keterlibatan protein. Kemampuan protein untuk mengikat air disebabkan oleh adanya gugus yang bersifat hidrofilik dan bermuatan. Pada saat muatan negatif dan positif protein sama (mencapai titik isoelektrik), maka interaksi antara protein - protein mencapai titik maksimum dan daya ikat airnya minimum (Awwaly, 2017).



1.2.2. Keempukan Keempukan merupakan faktor penting daging sebagai bahan pangan disamping faktor rasa dan aroma. Ketiga faktor ini tergolong sensori yang sering ditentukan secara subyektif. Meskipun demikian keempukan daging juga dapat ditentukan secara obyektif. Faktor-faktor yang mempengaruhi faktor keempukan daging antara lain jenis/galur dan umur ternak, jenis daging, perlakuan yang diberikan (pemanasan, pemberian enzim) dan kondisi daging (prerigor, rigor mortis, dan pasca rigor). Daging yang dihasilkan dari ternak tua biasanya cenderung keras (tidak empuk). Daging bagian perut/pinggang lebih empuk dibandingkan daging bagian leher. Pemberian enzim proteolitik atau pemanasan dapat mengempukan daging. Daging yang berada pada fase rigor mortis lebih keras dibandingkan pre rigor atau pasca rigor. Dari bahan daging sapi (round, sirloin, chuck dan fore shank) dan daging kambing (loin, shoulder dan fore shank), daging pre-rigor, daging rigor mortis, daging pasca rigor dengan alat penetrometer dapat ditentukan pengukuran subyektif (keempukan daging diukur secara relatif (diberi tanda +) dengan cara dipijit) dan pengukuran obyektif (daging dipotong berbentuk kubus dengan ukuran 10 x 10 x 10 cm dan diletakkan pada alat penetrometer). Angka yang ditunjukkan jarum skala dicatat dan keempukarn daging dinyatakan dalam mm/10 detik/50 gr (Muchtiadi dkk., 2016) . 1.2.3. pH Nilai pH postmortem hewan ternak sangatlah dipengaruhi pada kondisi bagaimana hewan ternak tersebut disembelih. Ternak yang mengalami stress sebelum proses penyembelihan hanya memiliki sedikit



energi sehingga daging akan memanfaatkan ATP dari hasil pemecahan glikogen. Ketika hewan mati dipotong, maka sirkulasi darah yang berperan sebagai pembawa oksigen pada daging akan terhenti sehingga menyebabkan respirasi pada daging terhenti dan terjadi proses glikolisis anaerob, dimana pada proses glikolisis anaerob ini terjadi pemecahan glikogen menjadi ATP dan asam laktat. Asam laktat ini lah yang menyebabkan penurunan pH pada daging karena memang pada dasarnya pH asam laktat tergolong asam. Proses glikolisis setelah ternak dipotong ini berpengaruh pada nilai pH. Semakin lama waktu postmortem maka akan terjadi penurunan pH yang semakin rendah akibat proses konversi otot menjadi daging. Standar pH daging hewan yang sehat dan cukup istirahat yang baru dipotong adalah 7-7,2 dan Nilai pH ultimat daging yang normal berkisar antara 5,4-5,8 pada 6 jam postmortem dan warna daging akan menjdi merah cerah (Komariah, 2009 dalam Aberle, et al., 2001).



BAB II METODE 2.1. Alat dan Bahan 2.1.1. Alat: 1. Neraca



7. Bunsen



2. Piring Plastik



8. Freezer



3. Gelas piala



9. Vortex



4. Tabung sentrifus



10. Sentrifus



5. Penetrometer



11. pH meter



6. Telenan



12. Pisau



2.1.2. Bahan: 1.



Daging sapi berlemak dan tanpa lemak



2.



Karkas ayam



3.



Ikan gurami



2.2. Skema Kerja 2.2.1. Sifat Fisik dan Biologis Karkas Pengamatan bagian-bagian hasil pemotongan karkas ayam dan sapi



Penyebutan masing-masing potongan tergolong organ apa Penjelasan komponen jaringan yang dominan pada setiap potongan



Pengambilan karkas yang sudah disediakan Pemisahan jaringan otot, lemak, kulit, dan ikat



Penimbangan Pembandingan persentase masing-masing jaringan berdasarkan hasil penimbangan Pembandingan persentase masing-masing jaringan berdasarkan hasil penimbangan



2.2.2. Keempukan Daging Pengukuran keempukan daging secara subjektif (penekanan dengan jari)



Pengukuran keempukan daging dengan penetrometer dengan beban 50g selama 5 detik Pencatatan hasil yang didapatkan



2.2.3. Water Holding Capacity (WHC) Pengambilan bahan secukupnya



Penghalusan



Pemasukan 5g daging halus ke tabung sentrifus yang sudah diketahui beratnya



Pengocokan dengan vortex



Inkubasi pada suhu 0°C, 30 menit Sentrifus dengan kecepatan 3000 rpm, 10 menit



Pemisahan supernatant dan pengukuran volume supernatan



Perhitungan % air yang menunjukkan juiceness dan pembandingan



2.2.4. Pengukuran pH Penghalusan daging sapi segar, daging sapi beku, dan daging ikan masingmasing sebanyak 1g



Peletakan masing-masing daging yang sudah dihaluskan pada 3 gelas beker yang berbeda



A



Penambahan 5ml akuades



A



Penambahan 10ml air (pH netral) pada setiap gelas beker



Pengadukan Pengukuran pH masing-masing larutan dengan menggunakan pH meter



2.2.5. Pengujian Sifat Fisik dan Kimia Ikan Gurami Pengamatan bentuk dan kesegaran ikan



Penimbangan berat utuh ikan



Melakukan dressing pada ikan Penimbangan berat bagian tubuh ikan Penghitungan persentase berat bagian tubuh ikan terhadap berat utuh



BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN



3.1. Sifat Fisik dan Biologis Karkas Tabel 3.1.1.



Dressing ayam



Data Karkas Ayam Komponen



Berat (g) Persentase (%)



Berat utuh



1645.47



Dada



1227.15



74.58%



Paha



418.32



25.42%



Kulit



144.67



8.79%



Daging



820.36



49.86%



Jaringan ikat



17.5



1.06%



Jaringan lemak



10.62



0.65%



Tulang



513.85



31.23%



Penghitungan persentase bagian dada adalah sebagai berikut:



Gambar 3.1.1.



Karkas ayam



Pada karkas yang diamati, jumlah total persentase tidak sama dengan seratus dikarenakan ada bagian karkas yang termasuk dalam dua kategori misalnya dada, pada dada tentu ada daging yang juga disertakan dalam tabel. Bagian karkas ayam yang dapat dikonsumsi berupa dada, sayap, paha, kulit, jaringan lemak, dan jaringan ikat. Jika dibandingkan dengan pustaka dari Muchtadi, dkk (2016) terdapat perbedaan persentase dikarenakan perbedaan penimbangan bagian karkas ayam. Pada data di atas bagian yang dapat dimakan adalah daging termasuk paha dan dada, kulit, jaringan ikat dan lemak yang bergabung dalam daging. Bagian karkas yang dapat dimakan adalah seluruhnya kecuali tulang dan sebagian jaringan ikat. Sehingga dari hasil pengamatan tersebut,



persentase



berat



dapat



dimakan



sebanyak



68.7718%.



Untuk mendapatkan persentase bagian dapat dimakan dari karkas ayam adalah



dengan mengasumsikan semua jaringan ikat dapat dikonsumsi.



3.2. Water Holding Capacity (WHC) Contoh perhitungan nilai WHC = 



Rumus:







WHC daging segar: 



berat daging: 5 gram







volume awal: 5 ml







volume supernatan: 2,6 ml







volume air yang terserap = volume awal - volume supernatan = 5 ml - 2,6 ml = 2,4 ml



Tabel 3.2.1.



Data Percobaan Water Holding Capacity



No.



Bahan



WHC (%)



1. 2. 3. 4. 5. 6.



Daging Beku Daging Segar Dada Ayam Paha Ayam Ikan I Ikan II



36 48 38 46 52 36



Daya ikat air atau Water Holding Capacity (WHC) adalah kemampuan protein daging untuk mengikat atau menahan kandungan air selama mengalami perlakuan dari luar seperti pemotongan, penggilingan, dan pengolahan (Afrila, 2011). Pada praktikum ini, percobaan WHC menggunakan 5 sampel, yaitu daging sapi beku, daging sapi segar, paha ayam, dada ayam, dan ikan. 3.2.1. Daging Sapi Daging sapi yang digunakan adalah daging sapi segar dan daging sapi beku. Berdasarkan data yang didapat, daging sapi segar memiliki WHC lebih tinggi dibanding dengan daging sapi beku. menurut Pearson dan Young (1971)



dalam Anggreani (2016), parameter yang dapat digunakan untuk melihat daya mengikat air pada daging dapat dilakukan dengan melihat tingkat kelembaban daging, daging yang lembab mengindikasikan bahwa daya mengikat daging tersebut terhadap air cukup tinggi, sedangkan daging yang agak kering mengindikasikan daya mengikat daging tersebut telah berkurang, hal ini biasanya ditandai dengan penampakan warna daging yang agak kehitaman (daging DFD). Proses pembekuan juga dapat meningkatkan kerusakan protein daging, sehingga daya ikat air terhadap protein daging akan semakin lemah (Bhattacharya et al., 1988 dalam Anggreani, 2016). Tidak hanya kerusakan protein, nilai daya ikat air pada daging membeku lebih rendah, karena pada saat thawing terjadi kegagalan serabut otot dalam menyerap kembali air yang mengalami translokasi pada saat penyimpanan beku (Lawrie, 1979 dalam Anggreani, 2016). 3.2.2. Dada dan Paha Ayam Daya ikat air dipengaruhi oleh faktor pH yang tergantung pada spesies, umur, dan fungsi otot (Soeparno, 1994 dalam Winarso, 2003). Daya ikat air akan meningkat jika nilai pH daging meningkat. Hal ini dapat terjadi karena pada saat pH daging rendah, mengakibatkan struktur daging terbuka sehingga menurunkan daya ikat air (Buckle et al., 1985 dalam Prayitno, dkk., 2010). Pada pH yang rendah, artinya terdapat banyak asam laktat yang dihasilkan dari proses glikolisis sehingga asam yang terbentuk alan merusak myofibril, myofibril yang rusak akan kehilangan kemampuannya mengikat air sehingga WHC turun dan banyak air yang terlepaskan. Data yang didapat dari praktikum sesuai dengan teori diatas. Bersadarkan tabel 3.2.1., WHC dada ayam adalah 38% dengan pH rata - rata 5,70. Sedangkan WHC paha ayam adalah 46% dengan pH rata - rata 6,07. Hal ini sesuai dengan teori yaitu semakin tinggi pH, WHC juga semakin tinggi. Berdasarkan Bintoro (2006), bila nilai pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik proteinprotein daging (5,0–5,1), maka daya ikat air meningkat. Hal ini karena pH yang lebih rendah atau lebih tinggi dari titik isoelektris protein daging, terdapat ekses



muatan positif yang mengakibatkan penolakan miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul air. 3.2.3. Ikan Menurut Eskin et al. (1971) dalam Bintoro (2016) menyatakan bahwa perubahan postmortem yang sering terjadi dalam daging adalah hilangnya cairan (exudation) yang mana dihubungkan dengan kemampuan protein otot dalam mengikat air. Soeparno (1994) dalam Bintoro (2016) mengemukakan bahwa jumlah air terikat (lapisan air diantara molekul protein) akan menurun bila protein daging mengalami denaturasi. Berdasarkan data di tabel 3.2.1., WHC ikan I tinggi yaitu 52% sedangkan ikan II yang lebih rendah yaitu 36%. Hal ini menandakan bahwa ikan I memiliki tingkat kesegaran yang lebih bagus dibanding dengan ikan II, karena air yang terikat pada ikan I masih banyak. Air dalam jaringan ikan diikat sangat erat oleh senyawa koloidal dan kimiawi sehingga tidak mudah lepas oleh tekanan berat. Kekuatan penahan pada daging maksimum adalah pada ikan yang sangat segar (Lawrie (1996) dalam Munandar et al. (2006)). Daging pre rigor memiliki nilai WHC lebih tinggi di bandingkan daging rigor atau post rigor. Keadaan pH ikan juga masih belum rendah yaitu masih sekitar 6,10 dimana protein masih belum rusak dan pengikatan airnya masih bagus. Kondisi ikan saat dilakukan percobaan juga masih dalam keadaan pre rigor sehingga nilai WHC ikan masih tinggi. 3.3. Keempukan Daging Tabel 3.3.1.



Data hasil pengamatan keempukan daging secara obyektif Tekstur (mm/50 gr/5 sec)



No



Bahan



1.



Daging segar



2.



Daging beku



mentah



rebus



0,22 0,17



0,11 0,07



3.



Dada ayam



4.



Paha Ayam



5.



Ikan gurame 1



6.



Ikan gurame 2



0,28 0,25 0,34 0,39



Pada percobaan kali ini pengamatan keempukan daging dilakukan secara obyektif dan indrawi. Secara indrawi dilakukan dengan cara manual dengan alat indera



manusia



sedangkan



secara



obyektif



menggunakan



penetrometer.



Penetrometer merupakan alat untuk menentukan nilai konsistensi suatu bahan tertentu yang ingin diuji dalam bidang industri alat ini digunakan untuk mengukur kekenyalan dan kekerasan dari suatu bahan pangan (Suwanto,2012). Komponen utama yang mempengaruhi keempukan daging yakni struktur miofibril dan status konstruksi otot, kandungan jaringan ikat (Soeparno, 2009 dalam Kuswati, 2006). Pada uji tekstur ini digunakan beberapa sampel yaitu daging rebus dan mentah, ayam dada, ayam paha dan ikan. Dari hasil pengamatan tekstur secara obyektif yang didapatkan berikut adalah urutan dari yang paling keras yaitu daging beku rebus, daging segar rebus, daging beku mentah, daging segar mentah, paha ayam, dada ayam, dan ikan. Daging beku dapat membentuk kristal es yang dapat menyebabkan penurunan “juicy” daging pada saat proses thawing sehingga dapat menyebabkan daging memiliki tekstur yang keras (Usmiati,2017). Selain itu daging yang direbus dengan suhu tinggi dapat merusak kandungan protein miofibril yang terkandung dalam daging sehingga dapat menyebabkan daging menjadi keras. Daging segar memiliki tekstur yang lebih lunak daripada daging beku karena WHC nya lebih tinggi sehingga daging lebih “juicy” dibandingkan dengan daging beku. Pada daging ayam menggunakan bagian paha dan dada. Dilihat dari data, paha ayam memiliki tekstur yang lebih keras (0,25 mm/5 second) daripada dada ayam (0,28 mm/ 5 second) hal ini disebabkan karena paha merupakan alat gerak pada ayam sehingga paha mengandung jaringan ikat yang lebih tinggi



dibandingkan dengan dada ayam yang hanya digunakan untuk respirasi sehingga dapat mempengaruhi kekerasan pada dua bagian tersebut dimana paha ayam lebih keras daripada dada ayam.(Murtidjo, 2003) Ikan memiliki tekstur yang paling lunak diantara sampel lainnya karena bagian yang digunakan ikan untuk berenang adalah sirip serta ekornya. Bagian badannya jarang digunakan sehingga hal tersebut menyebabkan ikan memiliki tekstur yang sangat lunak dibandingkan dengan dada ayam 3.4. Pengukuran pH Uji pH dalam percobaan ini merupakan salah satu metode untuk menentukan tingkat kesegaran dari daging selama masa postmortem. Dalam percobaan yang kelompok kami lakukan, kami melakukan pengujian pH 5 macam sampel yang berbeda, yaitu daging sapi beku, daging sapi segar, daging ayam bagian dada, daging ayam bagian paha, dan daging ikan dengan menggunakan alat pH meter. pH standar yang baik untuk daging yang baru dipotong yaitu 7-7,2 dan terus menurun. pH standar ini berlaku untuk daging sapi, ayam, ikan dan beberapa hewan lainnya. Tabel 3.4.1.



Hasil Pengukuran pH



Sampel



pH



Daging sapi beku Daging sapi segar Daging ayam (dada) Daging ayam (paha) Ikan



5,86 6,02 6,07 5,70 6,10



Dari data yang kami dapatkan (tabel 3.4.1.), dapat dilihat kelima sampel yang diuji memiliki pH kurang dari 7 (pH standar). Hal ini terjadi karena setelah hewan mati, hewan tidak lagi mendapat suplai oksigen sehingga terjadi proses glikolisis secara anaerob yang menghasilkan ATP dan asam laktat dari glikogen. Terbentuknya asam laktat ini yang menyebabkan penurunan pH daging.



Penurunan pH pada daging ini dikarenakan adanya jeda antara waktu pemotongan daging dan pengujian pH sehingga dalam selisih waktu tersebut daging telah memproduksi asam laktat dan ATP. Tabel 1 menunjukan bahwa pH daging tertinggi yaitu pH ikan karena jarak antara waktu pemotongan dan pengujian pHnya paling pendek jika dibandingkan dengan sampel lainnya. Daging sapi beku yang digunakan pada praktikum ini dibeli pada tanggal 27 Agustus 2019 dan daging sapi segar yang digunakan dibeli pada tanggal 28 Agustus 2019. Jika dilihat dari hasil pengukuran pH daging beku dengan daging segar (tabel 3.4.1.) keduanya memiliki pH yang tidak terlalu jauh selisihnya, yaitu 5,86 untuk daging beku dan 6,02 untuk daging segar. Hal ini dikarenakan saat proses pembekuan terjadi perlakuan penurunan temperatur yang menyebabkan kadar air bebas berkurang. Dengan berkurangnya kadar air bebas, maka aktivitas mikroba pada daging juga menjadi terhambat, karena pada dasarnya aktivitas mikroba pada daging sangat memanfaatkan adanya air bebas. Selain kadar air bebas, mikroba-mikroba dalam daging memiliki enzim yang aktif pada suhu tertentu dan kebanyakan enzim pada mikroba aktif pada suhu 37°C. Suhu pada pembekuan ini berkisar di bawah 0°C sehingga enzim pada mikroba berada pada fase inaktif. Perbedaan pH pada ayam bagian dada dan paha ini berkaitan dengan kandungan glikogen yang terkandung pada masing-masing bagian. Kandungan glikogen pada daging akan meningkat apabila hewan mengalami stress, kelelahan dan gelisah. Dada ayam sebagian besar tersusun atas serabut putih yang berkontraksi cepat namun berlangsung singkat dengan metabolisme oksidatif yang rendah dan metabolisme glikolitik yang tinggi sehingga kandungan glikogennya cukup tinggi. Paha ayam memiliki kandungan glikogen yang lebih sedikit dibandingkan dengan dada ayam karena paha ayam lebih banyak beraktivitas dibandingkan dengan dada ayam dan hal ini menyebabkan paha ayam lebih membutuhkan banyak ATP dibandingkan dengan dada ayam (kadar glikogen lebih sedikit karena sudah dipecah menjadi ATP dan asam laktat). Hal ini lah yang menyebabkan pH paha ayam lebih rendah dibandingkan pH dada ayam.



3.5. Pengujian Sifat Fisik dan Kimia Ikan Gurami Pada pengujian fisik, ikan 1 dan 2 diamati kondisi kesegarannya melalui pengamatan. Tingkat kualitas kesegaran ikan ini ditinjau dari warna mata, kulit,



tekstur, sisik, insang, dan aroma. Dari hasil pengamatan, ikan gurami 1 dan 2 tersebut memiliki tingkat kesegaran yang baik yakni pada tingkat mutu 1. Aroma segar menandakan aktivitas mikroba yang belum terjadi dengan pesat dalam tubuh ikan yang mengindikasikan kualitas yang baik. Gambar 3.5.1. Pengamatan Karkas Ikan Gurami



Tabel 3.5.1.



Pengamatan Kualitas Ikan Gurami



Mutu



Ciri-ciri fisik hasil pengamatan



Warna mata Kulit Tekstur Sisik Insang Aroma



Jernih Sedikit berlendir Kenyal Melekat kuat Merah cerah Segar



Tabel 3.5.2. Persentase Bagian Tubuh Ikan Gurami Komponen Berat (g) (ikan Persentase (ikan Berat (g) (ikan Persentase (ikan 1) 1) 2) 2)



Berat utuh Kulit Daging Kepala Ekor dan sirip Organ dalam Tulang



402 52,27 29,13 74,25 33,58 39,75 29,45



100% 13% 7,25% 18,47% 8,35% 9,89% 7,32%



Penghitungan persentase bagian tubuh ikan gurami 



Ikan gurami 1: Rumus penghitungan:



Persentase =



1. Kulit: Persentase =



2. Daging: Persentase =



3. Kepala: Persentase =



4. Ekor dan sirip: Persentase =



5. Organ dalam: Persentase =



6. Tulang: Persentase =







Ikan gurami 2: 1. Kulit: Persentase =



2.



Daging: Persentase =



366,49 27,80 132,54 76,19 9,82 31,37 34,43



100% 7,59% 36,16% 20,79% 2,41% 8,56% 9,39%



3. Kepala: Persentase =



4. Ekor dan sirip: Persentase =



5. Organ dalam: Persentase =



6. Tulang: Persentase =



Pada pengujian fisik ikan 1 dan 2 dilakukan juga dengan penimbangan per bagian tubuh untuk mengetahui persentase tiap-tiap bagian ikan per berat utuh nya melalui metode dressing. Persentase tiap bagian tubuh ikan tercantum pada tabel 3.5.2. Pada tabel nampak komponen ikan 1 dengan persentase terbesar yakni kepala utuh karena pada pemotongan kepala tidak ada bagian dari kepala yang terburai. Melihat jumlah berat komponen yang tidak menyamai berat utuh (hanya 64,28% saja) dikarenakan selama dressing banyak komponen air yang keluar dan komponen daging yang masih melekat pada wadah dan telenan. Mengingat jumlah daging sangat sedikit yakni 29,13 gram saja dikarenakan selama dressing masih banyak daging yang melekat pada kulit, ekor, sirip, dan kulit. Pada pengulangan dressing ikan 2 tampak komponen dengan berat dominan yakni daging karena pada ikan 2 proses fillet berlangsung dengan baik sehingga daging dapat dipisahkan dengan sempurna dari tulang dan komponen lainnya BAB IV KESIMPULAN 4.1. Persentase jaringan penyusun daging, karkas, dan ikan dipengaruhi oleh spesies dan berat jaringan. 4.2. Ikan gurami 1 dan 2 memiliki tingkat kesegaran yang baik yakni pada tingkat mutu 1



4.3. Perbedaan spesies mempengaruhi karakterisitik dan kualitas daging meliputi pH, WHC, keempukan, dan juiceness.



DAFTAR PUSTAKA Afrila A. dan B. Santoso. 2011. Water Holding Capacity (WHC), Kadar Protein, dan Kadar Air Dendeng Sapi Pada Berbagai Konsentrasi Ekstrak Jahe (Zingiber Officinale Roscoe) dan Lama Perendaman yang Berbeda, Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, 6(2):43-44. Anggreani, Y.D.A. 2016. Penentuan Kualitas Daging Segar dan Beku Padadaging Sapi, Laporan Praktikum Ilmu Daging. Fakultas Pertenakan Universitas Udayana, Bali. Awwaly, K.U. 2017. Protein Pangan Hasil Ternak dan Aplikasinya. Jakarta: UB Press. Bahar, Burhan. 2006. Panduan Praktis Memilih dan Menangani Produk Perikanan. Jakarta: Penerbit Gramedia Bintoro, V.P., B. Dwiloka, dan A. Sofyan. 2006. Perbandingan Daging Ayam Segar dan Daging Ayam Bangka Dengan Memakai Uji Fisiko Kimia dan Mikrobiologi, J.Indon.Trop.Anim.Agric, 31(4): 264-265.



Ernawati, Fitrah, I.Nelis, N.Nunung, S.Ema, S.Dian, A.Y.Arifin, dan P.Mutiara. 2018. Nilai pH dan Kualitas Zat Gizi Makro Daging Beku, Dingin, dan Segar Pada Pasar Tradisional dan Pasar Swalayan, J.Penelitian Gizi dan Makanan, 41 (1): 2130. Kuswati dan Susilawati, Trinil. 2016. Industri Sapi Potong. Malang: UB Press Komariah, R.Sri, dan Sarjito. 2009. SIfat Fisik Daging Sapi, Kerbau dan Domba Pada Lama Postmortem yang Berbeda, J.Buletin Peternakan, 33(3): 183-189. Munandar et al. 2009. Kemunduran Mutu Ikan Pada Penyimpanan Suhu Rendah. Serang: Universitas Sultan Agung Tirtayasa. Murtidjo, B.A. 2003. Pemotongan dan Penanganan Daging Ayam Original. Yogyakarta: Kanisius Nikolova, N dan Z. Pavlovski. 2009. Major Carcass Parts of Broiler Chicken from Different Genotype, Sex, Age and Nutrition System. Biotechnology in Animal Husbandry. 25 (5-6):1045-1049 Prayitno, A. H., E. Suryanto, dan Zuprizal. 2010. Kualitas Fisik dan Sensoris Daging Ayam Broiler yang Diberi Pakan dengan Penambahan Ampas Virgin Coconut Oil (VCO), Buletin Peternakan, 34(1). Scheaechter, Moselio. 2009. Encyclopedia of Microbiology 3rd Edtion. San Diego: Academic Press Suradi, Kusmajadi. 2006. Perubahan Sifat Fisik Daging Ayam Broiler Post Mortem Selama Penyimpanan Temperatur Ruang, J.Ilmu Ternak, 6 No. 1, 23 – 27. Suwanto, E.P. dan Hapsari, Y.D. 2012. Studi dan Perancangan Penetrometer Digital Sebagai Alat Uji Konsistensi Bahan Berbasis Mikrokontroler. Surabaya: ITS Usmiati, Sri. 2017. Keempukan daging: Faktor yang Mempengaruhi dan Cara Memperoleh KeempukanDaging.http://pascapanen.litbang.pertanian.go.id/actual.h tml?type=news&id=78 Diakses 30 Agustus 2019 Waluyo, Eko dan Kusuma, B. 2017. Keamanan Pangan Produk Perikanan. Malang: UB Press Widati, Sri Aris. 2008. Pengaruh Lama Pelayuan, Temperatur Pembekuan dan Bahan Pengemas Terhadap Kualitas Kimia Daging Sapi Beku, J.Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak,3(2) 39-49. Winarso, D. 2003. Perubahan Karakteristik Fisik Akibat Perbedaan Umur, Macam Otot, Waktu, dan Temperatur Perebusan Pada Daging Ayam Kampung, J. Indon. Trop. Anim. Agric. 28(3).



Lampiran



Ikan Gurami