Laporan Kasus PTSD [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS ILMU KESEHATAN JIWA GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA (POST TRAUMATIC STRESS DISORDER)



Disusun oleh: Stella Pangestika (01073190132) Dibimbing oleh: Dr.dr.Agnes Tinneke Waney R, Sp.KJ



KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA SANATORIUM DHARMAWANGSA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERTAS PELITA HARAPAN PERIODE MARET-APRIL 2021



1.1



IDENTITAS PASIEN Nama



: Bapak C



Jenis Kelamin



: Laki-laki



Usia



: 35 tahun



Status Pernikahan



: Menikah



Suku/Ras



: Betawi



Pendidikan



: SMA



Pekerjaan



: Pegawai Swasta



Alamat



: Tangerang



No rekam Medis



:-



Tanggal pemeriksaan



: 18 April 2021



Riwayat perawatan



: Rawat inap pasca kecelakaan



1.2 RIWAYAT PSIKIATRIK Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 18 April 2021 di poliklinik kedokteran jiwa. 1.2.1



Keluhan Utama Pasien datang ke poliklinik kedokteran jiwa sendiri dengan keluhan



masalah tidur yang disertai mimpi buruk, terutama tentang kematian sejak dua bulan lalu sebelum masuk rumah sakit.



1.2.2



Riwayat Gangguan Sekarang Pasien datang dengan keluhan masalah tidur disertai dengan mimpi



buruk, terutama tentang kematian. Awalnya, keluhan berawal dari dua bulan lalu ketika mobil yang dikendarai pasien mengalami tabrakan beruntun di jalan tol. Pasien mengatakan ia dan dua rekannya selamat, namun seorang lagi meninggal seketika di tempat kejadian. Akhirnya, pasien terpaksa harus menjalani rawat inap di rumah sakit selama hampir satu bulan untuk pemulihan lengan yang mengalami cedera cukup parah. Sepulangnya dari rumah sakit pasien lebih banyak berdiam diri, nampak seperti tidak ingin bicara, terlebih tentang peristiwa tragis itu. Pasien juga berusaha menghindari pemberitaan yang marak seputar tabrakan beruntun tersebut, baik melalui TV, radio atau media cetak (sebanyak delapan mobil dan merenggut korban lima orang. Setelah kejadian itu, pasien mengaku mulai sulit untuk tidur, terbangun di malam hari akibat mimpi menyeramkan, khususnya tentang kematian. Bahkan beberapa kali terbangun dengan kondisi terjaga sambil berteriak ketakutan, susah nafas, dan keringat dingin. Pasien mengaku akhir-akhir ini cenderung pasif, lebih banyak berdiam diri, jarang keluar rumah, takut bila berada di jalan raya, karena terbayang terus peristiwa tragis tersebut. Pasien mengaku merasa tidak mampu melakukan aktivitas yang memeras pikiran dan mengalami kesulitan berkonsentrasi.



Pasien mengatakan bahwa adanya timbul perasaaan seakan lingkungan tidak nyata. Namun, pasien menyangkal adanya riwayat mendengar suarasuara aneh atau melihat tanpa orang, dan sebagainya. Pasien juga menyangkal adanya pikiran aneh, kecuali bayangan peristiwa traumatik dan mimpi yang menyeramkan. Hingga saat ini, pasien mengatakan bahwa mimpi buruk semakin dialami dan terus teringat mengenai peristiwa traumatik tersebut.



1.2.3 Riwayat gangguan dahulu 1.2.3.1 Riwayat gangguan psikiatrik Pasien belum pernah mengalami gangguan seperti ini sebelumnya. 1.2.3.2 Riwayat kondisi medis umum



Pasien tidak pernah mengalami trauma kepala sebelumnya. Riwayat penyakit sistemik lainnya seperti diabetes melitus, maupun penyakit jantung disangkal oleh pasien. 1.2.3.3 Riwayat Penggunaan Zat/ Medikasi Pasien tidak pernah menggunakan napza maupun obat-obatan tanpa resep dokter, saat ini pasien tidak sedang mengkonsumsi obat/medikasi. Pasien tidak pernah merokok ataupun minum kopi.



1.2.4 Riwayat kehidupan pribadi 1.2.4.1 Riwayat prenatal dan perinatal Kondisi ibu pasien saat mengandung pasien dikatakan baik. Pasien lahir normal serta tidak tidak ada masalah kesehatan dan tumbuh kembang. 1.2.4.2 Riwayat masa kanak awal (0-3 tahun) Pertumbuhan dan perkembangan pada masa kanak-kanak awal pasien normal dan tidak terdapat kelainan. 1.2.4.3 Riwayat masa kanak pertengahan (3-11 tahun) Pasien berkembang seperti anak-anak pada umumnya dan hubungan dengan teman-teman pasien baik. 1.2.4.4 Riwayat masa kanak akhir (pubertas) dan remaja Pasien tidak mengalami masalah yang berarti selama sekolah. Hubungan dengan teman-teman, guru dan keluarga pasien baik. 1.2.4.5 Riwayat masa dewasa a. Riwayat Pendidikan Pasien sudah menyelesaikan Pendidikan sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Selama menjalani Pendidikan, pasien tidak pernah melanggar peraturan sekolah yang bermakna dan memiliki hubungan yang baik dengan teman-teman dan guru.



b. Riwayat pekerjaan Pasien saat ini bekerja sebagai pegawai swasta



c. Riwayat kehidupan beragama Pasien menjalani ibadah sesuai dengan kepercayaan pribadinya secara rutin. d. Riwayat kehidupan sosial/aktivitas Interaksi pasien dengan lingkungan sekitar pada umumnya baik. Namun, sekarang pasien merasakan bahwa keluhan dialaminya mengganggu



aktivitas



yang



memeras



pikiran



dan



sulit



berkonsentrasi. e. Riwayat pelanggaran hukum Pasien tidak pernah melakukan tindakan yang melanggar hukum. f. Riwayat seksual (psikoseksual/pernikahan) Pasien sudah menikah dan memiliki hubungan yang baik dengan istrinya. Pasien sudah memiliki satu anak berusia 10 tahun. 1.2.4 Riwayat keluarga Pasien merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kedua sudaranya adalah laki-laki. Pasien mempunyai interaksi yang baik



dengan kedua saudaranya. Pasien menyangkal adanya gangguan jiwa dalam keluarga. Namun, pasien mengaku ibu pasien pencemas dan sangat kuatir akan Kesehatan pasien sejak masa kanak-kanak. Pasien telah menikah dan berkeluarga serta memiliki seorang anak berusia 10 tahun. Hubungan antara anggota keluarganya baik.



Gambar 1. Genogram Bapak C Keterangan:



Laki-laki



Perempuan



Ibu Pasien



Pasien 1.2.6 Persepsi pasien terhadap dirinya Pasien tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya, namun pasien sadar bahwa penyebab keluhan tersebut adalah berasal dari faktor fisik. 1.2.7 Situasi kehidupan ekonomi sekarang Pasien menyatakan bahwa keadaan sosial ekonomi dirasakan cukup. 1.3 Status Mental 1.3.1



Deksripsi umum i.



Penampilan Pasien seorang laki-laki berusia 35 tahun dengan penampilan sesuai usianya. Pasien menggunakan pakaian bersih dan rapi serta rambut pasien terlihat rapi, berwarna hitam. Saat wawancara berlangsung pasien tampak tegang. Ekspresi pasien tampak cemas/tegang dengan roman wajah sesuai usia.



ii.



Perilaku dan aktivitas psikomotor Selama pemeriksaan duduk tidak tenang atau gelisah dan sering menarik nafas panjang sambil memegang dadanya.



iii.



Sikap terhadap pemeriksa



Sikap pasien cukup kooperatif terhadap pemeriksa. Pasien menjawab semua pertanyaan dengan lancar dan jawaban pasien sesuai dengan pertanyaan pemeriksa.



1.3.2



Pembicaraan i.



Kuantitas pembicaraan Pasien menjawab pertanyaan pemeriksa dengan kalimat singkat, cenderung sedikit berbicara.



ii.



Kualitas pembicaraan Pasien menjawab pertanyaan pemeriksa dengan suara yang terdengar jelas, tidak terlalu pelan maupun keras dengan nada tidak terlalu tinggi. Pasien terkesan tidak ingin menceritakan peristiwa traumatik tersebut.



1.3.3 Mood dan afek i.



Mood



: cemas



ii.



Afek



: Afek cemas



iii.



Keserasian



: Serasi



1.3.4 Gangguan Persepsi i.



Halusinasi



: Tidak ada



ii.



Ilusi



: Tidak ada



iii



Depersonalisasi: Tidak ada



iv.



Derealisasi



: Ada



1.3.5 Proses pikir i.



ii.



Arus pikir a. Produktivitas



: Cukup ide



b. Kontinuitas



: Koheren



c. Hendaya berbahasa



: Tidak ada



Isi pikir a. Preokupasi



: Mimpi buruk



b. Waham



: Tidak ada



c. Fobia



: Tidak ada



1.3.6 Sensorium dan kognisi i.



Kesadaran a. Kesadaran neurologis: Compos mentis b. Kesadaran psikiatris -Kesadaran psikologis: Terganggu -Kesadaran sosial



: Dalam batas normal



ii. Intelegensi Berdasarkan kemampuan pasien dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan saat anamnesis dan kemampuan dalam menceritakan keluhannya, pasien terlihat memiliki intelegensi yang sesuai dengan tingkat Pendidikan pasien. Pasien tidak melakukan tes intelligence quotient (IQ).



iii.



Orientasi a. Waktu Baik, pasien mengetahui waktu saat wawancara dilakukan. b. Tempat Baik,



pasien



mengetahui



keberadaan



dirinya



saat



dilakukan



wawancara. c. Orientasi Baik, pasien mengetahui nama sendiri, keluarga dan dokter yang bertugas. d. Situasi Baik, pasien mengetahui bahwa sedang menjalani wawancara dan konsultasi medis. iv.



Memori a. Jangka panjang



: Tidak terganggu



b. Jangka pendek



: Tidak terganggu



c. Jangka menengah : Tidak terganggu d. Jangka segera



v.



: Tidak terganggu



Konsentrasi dan perhatian Berdasarkan wawancara yang berlangsung, dapat dinilai bahwa pasien memiliki kemampuan konsentrasi yang menurun. (Pasien dapat menjawab perhitungan matematika dengan benar pengurangan 100 oleh 7 sebanyak 5 kali)



vi.



Kemampuan membaca dan menulis Tidak dilakukan pemeriksaan yang terkait dengan kemampuan membaca dan menulis pada pasien ini.



vii.



Kemampuan visuospasial Tidak



dilakukan



pemeriksaan



yang



terkait



dengan



kemampuan



visuospasial pada pasien ini. viii.



Pikiran abstrak Tidak dilakukan pemeriksaan yang terkait dengan pikiran abstrak pada pasien.



ix.



Kemampuan menolong diri sendiri Pasien masih dapat melakukan kegiatan sehari-hari dalam mengurus dirinya sendiri seperti makan, minum dan tidur tanpa bantuan orang lain.



1.3.7 Dorongan Instingtual Insomnia



: Tipe campuran (bisa tidur tapi kebangun karena mimpi)



Hipobulia



: Tidak ada



Raptus : Tidak ada Pengendalian impuls Tidak terganggu



1.3.8 Daya nilai dan tilikan Pasien memiliki tilikan derajat IV, dimana pasien menyadari bahwwa dirinya sakit namun pasien tidak mengetahui apa yang terjadi dan menganggap penyebab keluhannya adalah faktor fisik. 1.3.9 Taraf dapat dipercaya Berdasarkan wawancara yang telah dijalani, secara keseluruhan keterangan yang disampaikan oleh pasien tentang dirinya cukup akurat dan dapat dipercaya. 1.4 Pemeriksaan Fisik 1.4.1 Status Internus (memang tidak ada datanya?) Keadaan umum



: Tampak sakit ringan



Kesadaran



: Compus Mentis



Tekanan darah



: Dalam batas normal



Temperatur



: Dalam batas normal



Nadi



: Dalam batas normal



Laju pernafasan



: Dalam batas normal



Tinggi badan



: Dalam batas normal



Berat badan



: Dalam batas normal



Sistem kardiovaskular



: Dalam batas normal



Sistem respirasi



: Dalam batas normal



Sistem gastrointestinal



: Dalam batas normal



Sistem musculoskeletal



: Dalam batas normal



Sistem urogenital



: Dalam batas normal



Sistem dermatologi



: Dalam batas normal



Kelainan khusus lainnya



: Tidak ditemukan



1.4.2 Status Neurologis GCS



: E4 V5 M6 (15)



Saraf kranialis (I-XII)



: Dalam batas normal



Gejala rangsang meningeal: Tidak ditemukan Gejala tekanan intracranial: Tidak ditemukan Mata



: Dalam batas normal



Pupil



: Dalam batas normal



Motorik



: Dalam batas normal



Sensibilitas



: Dalam batas normal



Sistem saraf otonom



: Dalam batas normal



Refleks fisiologis



: Dalam batas normal



Refleks patologis



: Dalam batas normal



Gangguan khusus lainnya : Tidak ditemukan



1.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG Tidak dilakukan



1.6 IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA 1. Pasien bernama Bapak C, usia 35 tahun, keturunan Betawi, tinggal di Tangerang, bekerja sebagai pegawa swasta, sudah menikah serta memiliki satu anak berumur 10 tahun.



2. Pasien datang dengan keluhan utama gangguan tidur yang disertai dengan mimpi buruk, terutama tentang kematian sejak 2 bulan lalu. Pasien mengaku bahwa beberapa kali terbangun dari tidurnya dengan kondisi terjaga sambil beteriak ketakutan, susah bernafas, dan keringat dingin. Hingga saat ini pasien mengalam mimpi buruk yang semakin sering. 3. Pasien memiliki riwayat kecelakaan mobil yang dikendarainya di jalan tol 2 bulan lalu. Kecelakaan tersebut merenggut nyawa sebanyak lima orang dimana salah satunya adalah rekannya. Pasien kemudian dirawat di rumah sakit selama satu bulan dikarenakan cedera lengan yang cukup parah. 4. Setelah peristiwa tersebut, pasien lebih banyak berdiam diri, Pasien tampak seperti tidak ingin bicara terlebih setelah tragedi itu. Pasien terus teringat tentng peristiwa itu. Pasien menjadi pasif, jarang keluar dari rumah, merasa takut bila berada di jalan raya karena terbayang terus peristiwa itu. Pasien juga tidak mampu melakukan aktivitas yang memeras dan mengalami kesulitan berkonsentrasi 5. Pasien merasa mimpi buruk yang dialami semakin sering dan semakin teringat tentang peristiwa traumatic yang dialaminya. 6, Pasien menghindari pemberitaan tentang tabrakan yang dialaminya melalui media cetak, radio maupun televisi. 7. Pasien merasakan lingkungan sekitar sekaan tidak nyata. 8.Pasien merasa keluhan ini menyebabkan gangguan konsentrasi dan aktivitas yang memeras pikiran.



9. Pasien merasa keluhannya berasal dari faktor fiisk.



1.7 Formulasi Diagnostik 1.7.1 Diagnosis Aksis I Berdasarkan Ikhtisar Penemuan Bermakna, kasus ini menurut DSM-V dan PPDGJ III digolongkan dalam gangguan jiwa yakni PTSD (Gangguan Stress Pasca-Trauma F 43.1, 309.81).



Pasien memiliki Riwayat traumatik yaitu



kecelakaan mobil yang dikendarainya dua bulan lalu, dimana satu dari tiga temannya meninggal di tempat kejadian. Pasien juga mengalami flashbacks. Mimpi buruk, menghindari jalan raya, menghindari berita tentang peristiwa kecelakaan yang pasien alami. Pasien mengalami gangguan tidur seperti terjaga dan berteriak ketakutan serta penurunan konsentrasi. Gangguan yang dialami pasien terjadi setelah satu bulan menyebabkan disfungsi sosial dan pekerjaan. 1.7.2 Diagnosis Aksis II Pasien ini tidak mengalami gangguan kepribadian ataupun retardasi mental. (Pasien mudah khawatir dan takut ke jalan raya karena flashback kejadian yang dialaminya) tambahkan ciri kepripadian cemas 1.7.3 Diagnosis Aksis III Pasien ini tidak memiliki kondisi medis umum. 1.7.4 Diagnosis Aksis IV Pada kasus ini tidak ditemukan masalah psikososial dan lingkungan.



1.7.5 Diagnosis Aksis V Berdasarkan Skala Global Assesment Functioning (GAF), pasien ini memiliki 70 untu penilaian GAF current dan 100 untuk penilaian GAF Higher Level Past Year (HLPY). Penilaian tersebut berdasarkan kondisi pasien yang memiliki gejala ringan dan menetap dengan disabilitas ringan dalam fungsi sosial. Namun, secara umum kondisi pasien masih baik, dimana pasien masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti makan dan mandi. Sebelum pasien memiliki keluhan, pasien tidak mengalami gejala apapun dan dapat berfungsi secara maksimal pada kehidupan sehari-harinya.



1.8 Diagnosis Banding 1. Reaksi Stress Akut (F43.0) 2. Gangguan Penyesuaian (F43.2) 1.9 Evaluasi Multiaksial Aksis I : F43.1 Gangguan Stress Pasca Trauma Aksis II : Z03.2 Tidak ada diagnosis ( Ciri Kepribadian cemas, MPE represi) Aksis III : Tidak ada diagnosis Aksis IV : Tidak ada diagnosis Aksis V : GAF Current 70, HLPY 100



1.10 Daftar Masalah 1.10.1 Organobiologik Pasien ini tidak memiliki gangguan medis apapun. 1.10.2 Psikologis Pasien didiagnosis dengan gangguan stress pasca-trauma. Pasien mengalami flashbacks, disosiasi hyperarousal dan menghindari stimulus. Saat ini, khawatir tentang keluhannya dan mempunyai anggapan bahwa keluhan yang di alaminya adalah penyebab fisik. Keluhan yang dialaminya menyebabkan disfungsi sosial dan pekerjaan.



1.10.3 Sosial/Keluarga/Budaya Hubungan dengan keluarga baik. Ibu pasien seorang yang pencemas, khususnya tentang kesehatan pasien sejak kecil. 1.11 Prognosis 1.11.1 Faktor-faktor yang mendukung kearah prognosis baik: 1. Keserasian antara mood dan afek pasien masih selaras, fungsi kognitif pasien dalam batas normal. 2. Pasien tidak ada pikiran untuk bunuh diri 3. Pasien tidak memiliki riwayat konsumsi zat psikoaktif lainnya. 4. Pasien tidak memiliki riwayat gangguan mental dalam dirinya.



1.11.2 Faktor-faktor yang mendukung kearah prognosis buruk: 1. Pasien mengaku keluhannya mengganggu pekerjaan, aktivitas seharihari dan gangguan memori. Ad vitam



: Bonam



Ad functionam



: Bonam



Ad Sanantionam : Bonam 1.11.3 Kesimpulan : Bonam 1.12 Terapi 1.12.1 Psikoterapi 1. Konsultasi Sp.KJ 2.Prolonged Exposure Therapy Prolonged Exposure Therapy (PE) bertujuan untuk mengubah pola piker mengenai kejadian traumatis yang dialaminya supaya tidak lagi menjadi masalah. Selain itu, PE juga memberikan penjelasan mengenai keluhan yang dialami pasien dan secara perlahan-lahan membantu pasien untuk terbiasa dan mengurangi rasa khawatir pasien dengan sengaja memaparkan stimulus yang biasanya mengganggu kehidupan pasien, dengan harapan meningkatkan kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas.



BAB II ANALISA KASUS 2.1 Pembahasan



Berdasasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, dapat ditegakkan diagnossi pada pasien ini sesuai dengan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia, edisi ke III (PPDGJ-III) dan Diagnostic and Statistic Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-V) sebagai Gangguan Stress Pasca Trauma (F43.1) atau Post Traumatic Stress Disorder (PTSD, 309.81). Diagnosis kasus ini adalah Gangguan Stress Pasca Trauma (F43.1). Pedoman diagnostic dari Gangguan Stress Pasca Trauma (F43.1) menurt PPDGJ-III adalah antara lain sebagai berikut: 1 Diagnosis gangguan ini baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah suatu peristiwa traumatic yang berat(masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan. Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asalkan manifestasi klinisnya khas dan tidak didapat alternatif lain yang memungkinkan dari gangguan ini. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali (flashbacks). Gangguan otonomik, gangguan afek, dan kelainan tingkah laku semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas. Suatu “sequelae” menahun terlambat setelah suatu stress yang luat biasa, misalkan saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa). Kriteria diagnostik Acute Stress Disorder menurut DSM-V (308.3, F43.0): 2



A. Terpapar pada kematian atau terancam kematian, cedera serius, atau pelanggaran seksual dengan satu (atau lebih) cara berikut: 1. Secara langsung mengalami peristiwa traumatis. 2. Menyaksikan langsung peristiwa yang terjadi pada orang lain 3. Mengetahui bahwa peristiwa tersebut terjadi pada anggota keluarga dekat atau teman dekat. Dalam kasus kematian atau terancam kematian anggota keluarga atau teman, peristiwa mengandung kekerasan ataupun unsur yang tidak disengaja. 4. Mengalami kejadian berulang terhadap detail peristiwa traumatis yang



tidak



menyenangkan



(contohnya



responden



pertama



mengumpulkan jenazah, polisi berulangkali terpapar kasus pelecehan anak). B. Adanya satu (atau lebih) dari gejala gangguan berikt yang terkait dengan peristiwa traumatis, dimulai setelah peristiwa traumatis terjadi: 1. Ingatan berulang, tidak disengaja dan mengganggu dari peristiwa traumatis. 2. Mimpi yang menyedihkan yang berulang dimana isi atau pengaruhnya terkait dengan [peristiwa traumatis. 3. Reaksi disosiatif (contoh: flashbacks) dimana individu merasa atau bertindak seolah peristiwa traumatis itu berulang. (reaksi seperti itu dapat terjadi dalam satu kontium, dengan ekspresi yang paling ekstrim adalah hilangnya kesadaran sepenuhnya akan lingkungan saatini.)



4. Tekanan psikologis yang intens atau berkepanjangan saat terpapar isyarat internal atau esternal yang menyimbolkan atau menyerupai aspek peristiwa traumatis. 5. Reaksi



fisiologis



pada



internal



ataupun



eksternal



yang



melambangkan atau menyerupai aspek peristiwa traumatis. C. Penghindaran stimulus secara terus menerus yang terkait dengan peristiwa traumatis dimulai setelah peristiwa traumatis terjadi, sebagaimana dibuktikan oleh salah satu atau kedua hal berikut: 1. Menghindari ingatan, pikiran atau perasaan mengganggu tentang peristiwa traumatis. 2. Menghindari pengingat eksternal (orang, tempat, percakapan, aktivitas, objek, situasi) yang membangkitkan ingatan, pikiran, atau perasaan yang menyedihkan tentang atau terkait erat dengan peristiwa traumatis. D. Perubahan negatif dalam kognisis dan suasana hati yang terkait dengan peristiwa traumatis, yang dimulai atau memburuk setelah peristia traumatis terjadi, sebagaimana dibuktikan oleh dua (atau lebih) hal berikut: 1. Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari peristiwa traumatis (biasanya karena amnesia disosiatif dan bukan karena faktor lain seperti cedera kepala alcohol, atau obat-obatan). 2. Keyakinan atau ekspektasi negated yang terus menerus berlebihan tentang diri sendiri, orang lain atau dunia (misalnya “ Saya adalah orang



yang buruk”, “Tidak bisa percaya dengan siapapun”, “ Dunia sangat berbahaya”, “ Seluruh system saraf saya telah rusak permanen”) 3. Distorsi kognitif persisten terhadap penyebab atau konsekuensi dari peristiwa traumatis yang menyebabkan seorang individu untuk menyalahkan dirinya atau orang lain. 4. Keadaan emosi negative yang persisten (cth: ketaktan, horror, kemarahan, perasaan bersalah atau rasa malu). 5. menurunnya minat dalam aktivitas penting. 6. Perasaan detachment atau estrangement dari orang lain 7. Kemampuan untuk mengalami emosi positif (contoh: ketidakmampuan untuk mengalami kebahagiaan, kepuasan, atau perasaan cinta). E. Perubahan yang ditandai arousal dan reaktivitas terkait dengan peristiwa traumatis, yang dimulai atau memburuk setelah peristiwa traumatis terjadi sebagaimana dibuktikan dua atau lebih dari berikut ini: 1. Perilaku mudah tersinggung dan ledakan amarah (dengan sedikit atau tanpa provokasi) biasanya diekspresikan sebagai agresi verbal atau fisik terhadap orang ataupun objek. 2. Perilaku cerobooh yang merusak diri. 3. Kewaspadaan berlebihan 4. Tanggapan yang berlebihan.



5. Masalah dnegan konsentrasi. 6. Gangguan tidur (misalnya kesulitan untuk tidur ataupun gelisah) F. Lama gangguan (Kriteria B, C, D dan E) lebih dari 1 bulan. G. Gangguan tersebut menyebabkan gangguan pada fungsi sosial, pekerjaam ataupun fungsi penting lainnya H. Gangguan tersebut tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat (contoh: pengobatan, alcohol) atau kondisi medis lainnya.



Pada kasus ini berdasarkan PPDGJ-III diagnosis Gangguan Stress Pasca Trauma dapat dipikirkan karena pertama, pasien mengalami kecelakaan mobil yang dikendarainya 2 bulan lalu dimana pasien dan dua orang temannya menjadi korban yang selamat, namun satu temannya meninggal di lokasi kejadian. Setelah itu pasien sering mengalami mimpi buruk yang berulang-ulang khususnya kematian (flashbacks). Pasien juga merasakan adanya gejala otonomik saat terbangun sperti sesak nafas, keringat dingin dan pasien menunjukkan afek cemas. Pada pasien ini memenuhi kriteria diagnostic PTSD pada DSM-V. Pasien memenuhi kriteria A (A1,A2, A3) pasien mengalami secara langsung peristiwa kecelakaan dan menyaksikan secara langsung peristiwa tabrakan beruntun serta teman pasien meninggal di lokasi kejadian. Pasien memenuhi kriteria B (B1, B2 dan B3) pada DSM-V dimana ada satu atau lebih gangguan seperti ingatan yang berulang dan mengganggu, mimpi buruk, terdapat reaksi disosiatif (cth:



flashbacks) dimana individu merasa seolah-olah peristiwa itu datang melalui mimpinya. Pada kriteria C (C1 dan C2) terpenuhi dimana pasien selalu menghindari pemberitaan



maupun



kabar



mengenai



peristiwa



kecelakakaan



tersebut,



menghindari topik mengenai peristiwa tersebut, menghindari topik pembicaraan kecelakaan, menghindari bepergian rumah, takut kejalan raya. Pasien memenuhi kriteria D (D4 dan D5 dimana pasien selalu mempunyai perasaan negatif seperti takut dan aktivitas yang terganggu serta tidak bisa melakukan pekerjaan yang memeras pikiran karena sulit berkonsentrasi. Kriteria E (E5 dan E6) juga terpenuhi karena pasien mengalami gangguan konsentrasi dan gangguan tidur serta waspada yang berlebihan. Kriteria F terpenuhi karena gangguan yang dialami pasien lebih dari 1 bulan. Kriteria G terpenuhi karena gangguan signifikan pada pekerjaan seperti tidak bisa melakukan aktivitas yang memeras pikiran, fungsi sosial terganggu seperti takut ke tempat ramai atau jalan raya. Kriteria H terpenuhi karena gangguan yang dialami pasien tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat (alcohol atau NAPZA). Pasien juga mengalami derealisaasi dimana timbul perasaan lingkungan sekitar tidak nyata. 2.2 Diagnosis Banding Diagnosis banding dari PTSD adalah Reaksi Stress Akut (F43.2 ) dan Gangguan Penyesuaian (F43.2). 2.2.1 Reaksi Stress Akut



Pedoman diagnostik Reaksi Stress Akut (F43.0) menurut PPDGJ-III adalah sebagai berikut: Harus ada kaitan waktu yang langsung dan jelas antara terjadinya pengalaman stressor luar biasa dengan onset gejala; onset biasanya setelah beberapa menit atau setelah kejadian. Selain itu ditemukan gejala-gejala: A. Terdapat gambaran gejala campuran yang biasanya berubah-ubah; selain gejala permulaan berupa “terpaku” (daze), semua hal berikut dapt terlihat: depresi, ansietas, kemarahan, kecewa, overeaktif dan penarikan diri, akan tetapi tidak satupun dari jenis gejala tersebut yang mendominasi gambaran klinisnya untuk waktu yang lama. B. Pada kasus yang dapat dialihkan dari lingkup stressornya, gejalanya dapat menghilang dengan cepat (paling lama dalam beberapa jam), dalam hal ini dimana stress menjadi berkelanjutan atau tidak dapat dialihkan, gejala-gejala biasanya baru mulai mereda setelah 24-48 jam dan menghilang setelah 3 hari. Diagnostik ini tidak boleh digunakan untuk keadaan kambuhan mendadak dari gejala pada individu yang sudah menunjukkan gejala-gejala yang memenuhi kriteria gangguan psikiatrik lainnya, kecuai untuk kategori F60.- (Gangguan Kepribadian).



Meskipun



demikian,



adanya



riwayat



gangguan



psikiatrik



sebelumnya tidak menghalangi digunakannya diagnosis ini.



Kriteria diagnostik Reaksi Stress Akut menurut DSM V (308.3) harus memenuhi:



A. Terpapar pada kematian atau terancam kematian, cedera serius, atau pelanggaran seksual dengan satu (atau lebih) cara berikut: 1. Secara langsung mengalami peristiw traumatis. 2. Menyaksikan secara langsung peristiwa yang terjadi pada orang lain 3. Mengetahui bahwa peristiwa tersebut terjadi pada anggota keluarga dekat atau teman dekat. Catatan: Dalam kasus kematian nyata atau terancam kematian anggota keluarga atau teman, kejadian tersebut melibatkan kekerasan atau tidak sengaja. 4. Mengalami



keterpaparan



yang



berulang



atau



ekstrem



terhadap



detail peristiwa traumatis yang tidak menyenangkan (cth: responden pertama yang mengumpulkan jenazah, petugas polisi yang berulang kali terpapar detail-detail pelecehan anak). Catatan: Ini tidak berlaku untuk paparan melalui media elektronik, televisi, film, atau gambar, kecuali paparan ini terkait dengan pekerjaan. B.



Adanya sembilan (atau lebih) gejala berikut dari salah satu dari lima kategori intusi, mood negatif, disosiasi, penghindaran, dan arousal, dimulai atau memburuk setelah peristiwa traumatis terjadi: Gejala Intruisi 1. Ingatan yang berulang, tidak disengaja, dan mengganggu dari peristiwa traumatis.



2. Mimpi yang menyusahkan berulang dimana isi atau pengaruhnya terkait dengan peristiwa traumatis. 3. Reaksi disosiatif (contoh: flashbacks) dimana individu merasa atau bertindak seolah peristiwa traumatic itu berulang. (Reaksi seperti itu dapat terjadi dalam satu kontiunm, dengan ekspresi yang paling ekstrim adalah hilangnya kesadaran sepenuhnya akan lingkunga saat ini). 4. Tekanan psikologis yang intens atau berkepanjangan atau reaksi fisiologis yang nyata sebagi respon terhadap isyarat internal atau eksternal yang melambangkan atau menyerupai aspek peristiwa traumatis. Mood Negatif 5. Ketidakmampuan terus-menerus untuk mengalami emosi positif (contoh: ketidakmampuan untuk mengalami kebahagiaan, kepuasan, atau perasaan cinta). Gejala disosiatif 6. Perasaan yang berubah dari realitas lingkungan atau diri sendiri (cth: melihat diri sendiri dari perspektif orang lain, dalam keadaan linglung, waktu melambat) 7. Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari peristiwa traumatis (biasanya karena amnesia disosiatif dan bukan karena faktor lain seperti cedera kepala, alkohol, atau obat-obatan) Gejala Penghindaran 8. Upaya untuk menghindari ingatan, pikiran, atau perasaan



yang mengganggu tentang atau terkait erat dengan peristiwa traumatis.



9. Upaya



untuk



menghindari



pengingat



eksternal



(orang,



tempat, percakapan, aktivitas, objek, situasi) yang membangkitkan ingatan, pikiran, atau perasaan yang menyedihkan tentang atau terkait erat dengan peristiwa traumatis. Gejala Arousal 10. Gangguan tidur (misalnya sulit tidur atau tertidur, tidur gelisah) 11. Perilaku yang mundah tersinggung dan ledakan amarah (dengan sedikit atau tanpa provokasi), biasanya diekspresikan sebagai agresi verbal atau fisik terhadap orang atau objek 12. Kewaspadaan berlebihan 13. Masalah dengan konsentrasi 14. Respon mengejutkan yang berlebihan



C. Lama gangguan (gejala pada Kriteria B) adalah 3 hari sampai 1 bulan setelah pajanan trauma.



Catatan: Gejala biasanya dimulai segera setelah trauma, namun harus bersifat persisten selama minimal 3 hari dan dapat berlangsung hingga satu bulan untuk dapat memenuhi kriteria dari gangguan tersebut.



D. Gangguan tersebut menyebabkan gangguan atau gangguan yang signifikan secara klinis dalam bidang fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya.



E. Gangguan tersebut tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat (misalnya obat atau alkohol) atau kondisi medis lain (misalnya cedera otak traumatis ringan) dan tidak dapat dijelaskan dengan lebih baik oleh gangguan psikotik singkat.



Berdasarkan pedoman diagnostik dari PPDGJ-III, diagnosa Reaksi Stress Akut dapat disingkirkan karena mekipun pada kasus ini terdapat gambaran gejala kecewa, ansietas, dan penarikan diri syarat durasi gejala tidak terpenuhi, dimana durasi gejala paling tidak cepat mereda setelah 24-48 jam dan biasanya menghilang setelah 3 hari sedangkan pada pasien ini sudah berlangsung selama 2 bulan. Berdasarkan diagnostik Reaksi Stress Akut menurut DSM V beberapa memenuhi kriteria seperti kriteria A yang secara langsung mengalami peristiwa traumatik, menyaksikan langsung bahwa teman dekatnya meninggal. Pada kriteria B terdapat gejala intruisi dan mimpi buruk yang berulang khususnya tentang kematian. Adanya gejala penghindaran seperti menghindari ingatan, pikiran atau perasaan yang terkait peristiwa traumatik. Pada pasien ini terdapat gejala arousal seperti gangguan tidur, kewaspadaan berlebihan seperti takut di jalan raya, tempat ramai. Kriteria A,D,E terpenuhi namun pada kriteria B tidak terpenuhi karena hanya memenuhi 8



gejala sedangkan diperlukan 9 ataupun lebih untuk memenuhi kriteria tersebut. Pada kriteria C gejala yang dialami pasien sudah 2 bulan maka kriteria C tidak terpenuhi. 2.2.2 Gangguan Penyesuaian Pedoman diagnostik Gangguan Penyesuaian menurut PPDGJ-III adalah sebagai berikut: Diagnosis tergantung ada suatu evaluasi yang teliti terhadap hubungan antara: A. Bentuk, isi dan keparahan gejala B. Riwayat sebelumnya dan corak kepribadian C. Kejadian, situasi yang stressful atau krisis kehidupan



Adanya faktor ketiga diatas harus jelas dan bukti yang kuat bahwa gangguan tersebut tidak ada terjadi seandainya tidak mengalami hal tersebut.



Manifestasi dari gangguan bervariasi dan mencakup afek depresif, ansietas, campuran ansietas-depresif, gangguan tingkah laku, disertai adanya disabilitas dalam kegiatan rutin sehari-hari. Tidak ada satupun dari gejala tersebut yang spesifik untuk mendukung diagnosis.



Onset biasanya terjadi dalam 1 bulan setelah terjadinya kejadian yang “stressful”, dan gejala-gejala biasanya tidak bertahan melebihi 6 bulan, kecuali dalam hal reaksi depresif berkepanjangan (F43.21). F43.20 Reaksi depresi singkat



F43.21 Reaksi depresi berkepanjangan F43.22 Reaksi campuran anxietas dan depresi F43.23 Dengan predominan gangguan emosi lain F43.24 Dengan predominan gangguan perilaku F43.25 Dengan gangguan campuran emosi dan perilaku F43.28 Dengan gejala predominan lainnya YDT1 Kriteria Gangguan Penyesuaian menurut DSM-V (309) harus memenuhi:



A. Perkembangan gejala emosional atau perilaku sebagai respons terhadap pemicu stress yang dapat diidentifikasi yang terjadi dalam waktu 3 bulan sejak permulaan pemicu stres.



B. Gejala atau perilaku ini signifikan secara klinis, sebagaimana dibuktikan oleh salah satu atau kedua hal berikut: 1. Distres yang tidak proporsional dengan tingkat keparahan atau intensitas stressor, dengan mempertimbangkan konteks eksternal dan faktor budaya yang mungkin mempengaruhi keparahan gejala dan presentasi. 2. Gangguan signifikan dalam bidang fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya.



C. Gangguan yang berhubungan dengan stress tidak memenuhi kriteria untuk gangguan jiwa lain dan bukan hanya eksaserbasi dari gangguan jiwa yang sudah ada sebelumnya.



D. Gejala-gejala tidak mewakiliki duka yang normal



E. Setelah pemicu stres atau konsekuensinya berhenti, gejalanya tidak menetap lebih dari 6 bulan.



Tentukan jika: 309.0 (F43.21) Dengan mood depresif: Suasana hati yang buruk, menangis, atau putus asa lebih dominan 309.24 (F43.22) Dengan kecemasan: Gugup, khawatir, gelisah, atau kecemasan akan perpisahan lebih dominan. 309.28 (F43.23) Dengan kecemasan campuran dan suasana hati depresif: Kombinasi depresi dan kecemasan lebih dominan 309.3 (F43.24) Dengan gangguan perilaku: Gangguan perilaku lebih dominan. 309.4 (F43.25) Dengan gangguan emosi dan perilaku: Kedua gejala emosional (cth: depresi, kecemasan) dan gangguan perilaku adalah yang utama. 309.9 (F43.20) Tidak ditentukan: Untuk reaksi maladaptif yang tidak dapat diklasifikasikan sebagai salah satu subtipe spesifik gangguan penyesuaian.



Berdasarkan pedoman diagnostik PPDGJ-III, diagnosis Gangguan penyesuaian dapat disingkirkan karena meskipun gejala memenuhi syarat gejala belum terpenuhi dimana durasi gejala bertahan selama 6 bulan, melainkan pasien baru mengalami gejala 2 bulan.



Berdasarkan kriteria diagnostik Gangguan Penyesuaian DSM-V pasien memenuhi kriteria A sampai dengan D. Namun kriteria E tidak memenuhi karena gagguan yang dialami pasien baru berlangsung selama 2 bulan dan pemicu stress pada pasien ini masih berlangsung.



2.3 Tatalaksana Menurut rekomendasi dari American Psychiatric Association (APA) tahun 2017, tata laksana untuk PTSD pada orang dewasa mencakup beberapa pilihan psikoterapi dan farmakoterapi.3



Psikoterapi merupakan lini pertama penatalaksanaan untuk PTSD dan psikoterapi yang dianjurkan berupa Cognitive-Behavioral Therapy (CBT), Cognitive Processing Therapy (CPT) dan Prolonged Exposure Therapy (PE).3 PE didasari oleh teori emotional processing, yang menyatakan bahwa peristiwa traumatik tidak diproses secara emosional pada waktu peristiwa itu terjadi. Teori ini juga menyatakan bahwa rasa takut direpresentasikan di dalam memori sebagai struktur kognitif yang mencakup representasi dari stimulus rasa takut tersebut, respons rasa takut, dan arti yang berkaitan dengan stimulus dan respons terhadap stimulus tersebut. PE bertujuan untuk mengubah struktur ketakutan sehingga tidak lagi



menjadi masalah. Dua hal yang harus terjadi saat PE adalah teraktivasinya struktur ketakutan dan informasi yang tidak sesuai dengan informasi yang keliru pada struktur ketakutan harus dimasukkan ke dalam struktur. PE juga mencakup psikoedukasi yang mengajarkan pasien mengenai PTSD, reaksi umum terhadap trauma, pelatihan nafas dan dua tipe paparan (in vivo dan imajiner). Paparan in vivo membantu pasien untuk menghadapi situasi, tempat atau orang yang dihindari karena respons rasa takut akibat peristiwa traumatis. Paparan imajiner membantu pasien untuk menghadapi ingatan, pikiran dan emosi seputar peristiwa traumatis yang selama ini dihindari. PE ini biasanya selesai dalam delapan hingga lima belas sesi.4



CBT juga merupakan sebuah terapi yang terfokus pada trauma yang didasari oleh teori kognitif sosial dan juga teori emotional processing. CPT berasumsi bahwa setelah mengalami peristiwa traumatik, orang tersebut akan mencoba untuk mengerti apa yang terjadi, yang seringkali akan berakhir pada pengartian yang terdistorsi tentang dirinya sendiri, dunia, dan orang sekitarnya. Di dalam pencobaan tersebut, orang tersebut seringkali melakukan tiga hal: assimilate, accommodate, or overaccommodate.



Assimilation adalah ketika informasi baru diubah untuk mengkonfirmasi keyakinan-keyakinan sebelumnya, yang biasanya berakhir pada menyalahkan diri sendiri. Contohnya adalah “hal ini terjadi karena saya tidak berhati-hati” atau “saya dirampok



karena salah saya sendiri”.



Accommodation



adalah hasil



dari



perubahan keyakinan yang cukup banyak untuk mengakomodasi informasi baru.



Contohnya adalah: “Saya tidak bisa mencegah peristiwa itu untuk terjadi”). Overaccommodation adalah perubahan mengenai keyakinan seorang untuk mencegah terjadinya trauma di masa depan, yang bisa menyebabkan suatu keyakinan bahwa dunia ini adalah tempat yang berbahaya atau orang disekitarnya tidak dapat dipercaya.



CPT ini bertujuan untuk mengalihkan keyakinan keyakinan korban kepada accommodation dan membantu pasien untuk mengidentifikasi keyakinan-keyakinan assimilation dan over-accommodation dan belajar untuk memperoleh keterampilan untuk menantang keyakinan-keyakinan tersebut melalui latihan yang dilakukan setiap hari. CPT berisi dua belas sesi yang dilakukan satu kali per minggu, yang bisa dilakukan secara individu atau dalam kelompok.4



CBT dibagi menjadi dua, yaitu yang terfokus pada trauma dan yang tidak terfokus pada trauma. Untuk PTSD, CBT yang terfokus pada trauma didasari modelmodel kognitif dan perilaku yang serupa dengan teori-teori lain seperti pada PE dan CPT. CBT bertujuan untuk mengubah pandangan negatif, memperbaiki memori autobiografis, dan menghilangkan perilaku bermasalah dan strategi kognitif yang menyebabkan seorang korban untuk kembali mengalami trauma secara tidak sengaja. CBT biasanya mencakup teknik-teknik perilaku, seperti paparan (in vivo dan imajiner), dan teknik-teknik kognitif, seperti menstruktur ulang kognisi pasien. CBT yang mencakup paparan berupa paparan terhadap memori traumatis antara lain berupa paparan imajiner, penulisan narasi mengenai peristiwa traumatik yang dialami pasien, atau membicarakan memori traumatik.



Terapi paparan memerlukan



sebanyak lima sesi untuk paparan imajiner dan lima sesi untuk paparan in vivo. CBT juga menstruktur ulang kognitif pasien yang lebih terfokus terhadap mengajari pasien untuk mengidentifikasi pikiran-pikiran disfungsional, memperoleh pemikiran alternatif yang rasional, dan memperbaiki keyakinan mengenai dirinya, peristiwa traumatisnya, dan dunia sekitar. Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI) seperti sertraline 50 – 200mg/hari, fluoksetin 10 – 60mg/ hari, atau fluvoxamine 50 – 300mg/ hari merupakan



pilihan



pengobatan



lini



pertama



untuk



penderita



dengan



gangguan stres pasca trauma atau post-traumatic stress disorder. Pengobatan secara farmakologis dapat diberikan kepada pasien selama 10 – 12 minggu yang diikuti dengan terapi psikoterapi. Beberapa pengobatan lain juga dapat diberikan seperti obat antidepresi, seperti Venlafaxine sebanyak 37.5 – 300mg selama 12 – 24 minggu.



Dalam golongan ini, obat yang dianjurkan pada PTSD adalah fluoxetine, paroxetine, atau sertraline. Golongan obat SNRI juga dapat digunakan untuk mengatasi PTSD dan bekerja dengan cara menghambat pengambilan serotonin dan norepinefrin dari sinaps. Obat yang dianjurkan adalah venlafaxine.



Nama



Nama



generic



Dagang



Sediaan



Dosis anjuran



Kontraindikasi



Fluoxetine



Sertraline



Prozac



20 mg



Elizac



20 mg



Antiprestin



10-20 mg



Kalxetin



10-20 mg



Zoloft



50 mg



10-20



Hipersensitif terhadap obat



mg/hari



ini, gagal ginjal yang berat



25-200



Hipersensitif terhadap obat ini



mg/hari Venlafaxine



Efexor



75 mg



75-225



Hamil dan menyusui, anak



mg/hari