Referat PTSD [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT POST TRAUMATIC STRESS DISORDER



Pembimbing: dr. Engelberta Pardamean, Sp.KJ



disusun oleh: Theodora Sukarno – 07120120029



KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA FK UPH – SANATORIUM DHARMAWANGSA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN PERIODE APRIL - MEI 2016



BAB I Pendahuluan



Post traumatic stress disorder adalah gangguan yang timbul setelah mengalami atau menyaksikan suatu keadaan yang mengancam kehidupan atau peristiwa trauma seperti perang militer, serangan dengan kekerasan atau suatu kecelakaan yang serius sehingga peristiwa trauma ini menyebabkan reaksi ketakutan. Sehubungan dengan semakin banyaknya kekerasan dan perang-perang yang terjadi, maka PTSD menjadi suatu ancaman yang tidak dapat disepelekan. Gejala-gejala umum yang dapat terjadi antara lain kenangan yang muncul pertama kali berulang-ulang dan sangat mendalam dan mengganggu akibat peristiwa tersebut berusaha menghindari keadaan-keadaan yang mengingatkan pada peristiwa tersebut menjadi mati rasa secara emosional dan suka menyendiri, sulit tidur, dan konsentrasi, dan ketakutan. Bila gejala-gejala gangguan stress pasca trauma setelah mengalami peristiwa yang sama. Resiko akan mengalami stress pasca trauma meningkat oleh karena banyak faktor, termasuk intensitas beratnya peristiwa yang dialami, sejauh mana anda terlibat didalamnya, dan seberapa hebatnya reaksi. Sementara itu penyebab sebenarnya dari gangguan stress pasca trauma perlu diselidiki lebih lanjut.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Definisi Definisi dari Post Traumatic Stress Disorder adalah suatu keadaan yang timbul sebagai respons yang berkepanjangan dan/atau tertunda terhadap kejadian atau situasi yang menimbulkan stress (baik singkat maupun berkepanjangan) dari yang bersifat katastrofik (bersifat tiba-tiba) dan menakutkan, yang cenderung menyebabkan distress pada hampir setiap orang. (1) Contoh dari pengalaman traumatik adalah : 2.1.1 Trauma yang disebabkan oleh bencana seperti bencana alam (gempa bumi, banjir, topan), kecelakaan, kebakaran, menyaksikan kecelakaan atau bunuh diri, kematian anggota keluarga atau sahabat secara mendadak. 2.1.2 Trauma yang disebabkan individu menjadi korban dari interpersonal attack seperti :korban dari penyimpangan atau pelecehan seksual, penyerangan atau penyiksaan fisik,



peristiwa



kriminal



(perampokan



dengan



kekerasan),



penculikan,



menyaksikan peristiwa penembakan atau tertembak oleh orang lain. 2.1.3 Trauma yang terjadi akibat perang atau konflik bersenjata seperti tentara yang mengalami kondisi perang, warga sipil yang menjadi korban perang atau yang diserang, korban terorisme atau pengeboman, korban penyiksaan (tawanan perang), sandera, orang yang menyaksikan atau mengalami kekerasan. 2.1.4 Trauma yang disebabkan penyakit berat seperti kanker, jantung, AIDS, atau penyakit lain yang mengancam jiwa penderita. Faktor predisposisi seperti ciri kepribadian (misalnya kompulsif) atau adanya riwayat gangguan neurotik sebelumnya dapat menurunkan ambang kerentanan untuk terjadinya sindrom ini atau memperberat keadaannya, akan tetapi bukan merupakan hal yang menentukan untuk terjadinya gangguan ini. Gejala khas mencakup episode dimana terjadi “flashback” atau kejadian ini muncul lagi dalam mimpi dengan latar belakang yang menetap berupa kondisi perasaan “beku” dan penumpulan emosi, menjauhi orang lain, tidak responsif terhadap lingkungannya, anhedonia, menghindari aktivitas dan situasi yang berkaitan dengan traumanya. Lazimnya, akan ada ketakutan dan penghindaran dari hal-hal yang mengingatkannya



kembali kepada trauma yang dialaminya. Terkadang, dapat terjadi reaksi mendadak ketakutan, panik, atau agresif yang dicetuskan oleh ingatan akan trauma yang dialaminya. Selain itu, gejala yang ditimbulkan dapat berupa ansietas, dan depresi serta ide-ide bunuh diri. Penggunaan alkohol dan obat-obatan secara berlebihan dapat merupakan komplikasi lain. (2)



2.2 Epidemiologi Studi yang dilakukan oleh The National Comorbidity Survey Replication (NCSR) yang dilakukan selama 2 tahun di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 5,692 dari 9,282 warga US yang berusia 18 tahun keatas didiagnosa dengan PTSD. NCS-R juga memperkirakan bahwa prevalensi dari PTSD adalah 6,8%. Prevalensi pada pria adalah 3,6% sedangkan pada wanita mencapai 9,7%. Pada penelitian dengan subjek anak-anak, ditemukan bahwa anak yang terpapar dengan kondisi traumatis memiliki prevalensi PTSD lebih tinggi dari pada orang dewasa pada populasi umum. PTSD pada pria biasanya terjadi karena trauma perang. Sedangkan pada wanita, PTSD banyak terjadi pada korban kekerasan atau perkosaan. Di Indonesia sendiri, sebagai negara yang rawan bencana alam dan kekerasan, angka penderita PTSD terus meningkat. Pasca tsunami, 2025% penderita mengalami PTSD.(13) Meskipun demikian, faktor risiko paling penting gangguan ini adalah keparahan, durasi, dan kedekatan pajanan seseorang dengan trauma yang sebenarnya.(3)



2.3 Etiologi dan Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya PTSD a.



Trauma Peristiwa traumatis diartikan sebagai suatu peristiwa yang diluar pengalaman biasa manusia atau kejadian yang melibatkan pengalaman atau menyaksikan kejadian nyata yang mengancam jiwa, cedera berat, atau mengetahui kematian yang mengenaskan sehingga menyebabkan ketakutan yang mendalam, ketidakberdayaan, atau kejadian yang mengerikan,(4) merupakan etiologi utama pada PTSD tetapi, tidak semua orang yang terpapar pada peristiwa traumatis yang sama akan menderita PTSD, selain dari seberapa berat trauma, bergantung pada respon individu terhadap trauma tersebut. Bagi sebagian orang yang mengalami peristiwa traumatis yang berat tidak menderita PTSD tetapi bagi sebagian lainnya yang mengalami peristiwa yang tampaknya biasa saja bagi kebanyakan orang mungkin dapat memunculkan gejala PTSD. Sehingga, terdapat beberapa faktor resiko yang menjadikan seseorang lebih



rentan terhadap PTSD, antara lain durasi dan beratnya peristiwa, peristiwa yang tibatiba terjadi, banyaknya korban yang meninggal, korbann kriminal terutama kekerasan seksual; perasaan yang timbul saat trauma sehingga menimbulkan perasaan bahwa hidup individu tersebut terancam, kurang mampu mengendalikan peristiwa, timbul rasa takut dan putus harapan serta adanya gejala disosiatif saat kejadian. Karakteristik dari individu yang bersangkutan, seperti memiliki riwayat gangguan psikiatri, adanya penyangkalan terhadap trauma yang dialami; serta faktor pasca trauma berupa kurangnya dukungan di lingkungan sekitar. Individu dengan PTSD biasanya tidak mampu merasionalisasi trauma dengan cepat dan terus merasakan stress dan mencoba menghindari apa yang dialami (teknik penghindaran) dan menekan ingatan tentang trauma ke alam bawah sadar sehingga menumpuk dan apabila terjadi kejadian yang traumatis lagi akan menimbulkan reaksi bangkitan ingatan trauma terdahulu. b.



Faktor Biologis Gejala gangguan stress pasca trauma timbul sebagai akibat respons biologik dan psikologik seorang individu. Kondisi ini terjadi karena teraktivasinya beberapa sistem diotak yang berkaitan dengan perasaan takut pada seseorang, Terpaparnya seseorang pada peristiwa traumatik akan menimbulkan respons takut. Amigdala akan mengaktivasi beberapa neurotransmiter serta bahan neurokimiawi otak saat individu menghadapi peristiwa traumatik yang mengancam nyawa. Dalam waktu singkat, amigdala akan bereaksi dengan memberikan stimulus berupa aktivasi sistem syaraf simpatis (katekolamin) dan aksis hipotalamus-hipofisis-kelenjar adrenal (aksis HPA). Akibatnya, timbul peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, Kondisi “fight or flight reaction” terjadi. Reaksi ini juga akan meningkatkan aliran darah dan jumlah glukosa pada otot skeletal sehingga seseorang sanggup berhadapan dengan peristiwa tersebut atau jika mungkin memberikan reaksi interaktif terhadap ancaman yang optimal. Aksis HPA yang teraktivasi dimulai dari hipotalamus yang mengeluarkan CRF



(Cortico-Releasing



Factor)



dan



merangsang



hipofisis



menghasilkan



Adenocorticotropic Hormone (ACTH) yang menstimulasi hormon kortisol dari kelenjar adrenal. Dalam tekanan, tubuh individu akan meningkatkan pengeluaran katekolamin dan hormon kortisol; katekolamin akan berperan dalam menyediakan enegi yang cukup bagi organ vital tubuh yang bereaksi terhadap tekanan. Hormon kortisol sendiri akan berperan dalam proses terminasi dari respons tubuh dalam menghadapi tekanan.



Pada beberapa individu yang rentan, kadar katekolamin yang terus meningkat akan membuat individu tetap berada dalam kondisi siaga terus menerus. Terutama apabila hormon kortisol gagal untuk menghentikan proses ini, maka aktivasi katekolamin akan tetap tinggi dan kondisi ini dikaitkan dengan terjadinya reaksi berlebihan dari ingatan peristiwa traumatis yang dialami.Diketahui pula kadar katekolamin dapat mempengaruhi lokus seruleus yang berperan sebagai fungsi belajar dan memori. Pada penderita PTSD dengan kerusakan lokus seruleus, ditemukan bahwa otak akan mengalami kesulitan untuk belajar harapan-harapan baru untuk berbagai situasi yang terjadi setelah kejadian traumatis. Amigdala sebagai penympanan memori sehingga hiperaktivitas nya akan menghambat otak membuat hubungan perasaan dalam memorinya sehingga memori disimpan dalam bentuk mimpi buruk, kilas balik, dan gejala fisik lain. c.



Faktor neuroendokrin Pada individu yang mengalami PTSD terjadi upaya untuk mempertahankan homeostasis,



yaitu



dengan



terjadi



perubahan



endogen,



stress



responsive



neurohormone seperti cortisol, epinephrine, norepinephrine, vasopresin, oksotosin. Stress juga menunjukkan dapat menyebabkan perubahan fungsional pada otak seperti depresi, sehingga dalam penemuan klinis yang dapat dikaji adalah penurunan ekskresi kortisol urin 24 jam. Sebagai contoh pada sampel veteran AS perang vietnam yang bertarung langsung dan mengalami PTSD memiliki kortisol lebih rendah. d.



Faktor struktural dan fungsional pada otak Pada pemeriksaan MRI bila ditemukan white matter lesion dan penurunan volume hippocampal, abnormalitas ini menunjukkan kerentanan pretrauma untuk berkembang menjadi PTSD . Pada pasien PTSD yang melakukan PET scan, terdapat peningkatan metabolik hanya dibagian hemisfer kanan saja (yang secara spesifik, pada daerah emosi yaitu amygdala, insula, dan lobus temporal medial), dan disertai juga penurunan aktivasi area frontal inferior-broca, yang mempengaruhi motor speechm dapat pula ditemukan aktivasi cingulate cortex. Pada proyeksi amygdala ke reticularis pontis caudalis mempengaruhi respon terkejut, rasa takut, bahaya dan ancaman, amygdala diaktivasi respon ekspresi wajah terhadap rasa takut, dibandngkan dengan neutral, gembira, atau ekspresi wajah lain, Selain itu juga terdapat penurunan volume hippocampus pada pasien PTSD sehingga individu menunjukkan perubahan perilaku yang tidak sesuai konteks.



e.



Dinamika Keluarga



Tipe pendidikan formal, kehidupan keluarga, dan gaya hidup merupakan perkiraan yang signifikan terjadinya PTSD. Keberhasilan dalam pendidikan yang dibawah rata-rata, perilaku orang tua yang negatif dan kemiskinan orang tua merupakan prediktor perkembangan PTSD.



f.



Faktor Psikologikal Bila terjadi kegagalan dalam adaptasi 3 fase stress dapat menyebabkan PTSD, 3 fase stress itu antara lain : a. Fase initial yaitu fase dengan realisasi kejadian yang menyakitkan yang menyebabkan kemarahan, kesedihan, dan penyesalan. b. Fase denial yaitu fase dengan karakteristik defense against intrusion of memories pada kejadian traumatik dimana pasien menunjukkan kegagalan memori pada kejadian yang mengingatkan mereka pada kejadian traumatik dan menggunakan fantasi untuk melawan persepsi yang realistis pada kejadian. c. Fase intrusive yaitu fase dengan karakteristik hypervigilence, terkejut yang berlebihan, tidur, gangguan mimpi, intrusice dan repetitive trauma-related thoughts, dan kebingungan.



g.



Faktor Model Perilaku Respon



pasien



pada



saat



peristiwa



traumatis



terjadi



berupa



rasa



takut,



ketidakberdayaan dengan respon emosi yang kuat contohnya pada wanita yang diperkosa di lorong gelap oleh laki-laki, akan memiliki rasa takut ketika berada di lorong gelap atau pada laki-laki. h.



Faktor genetik familial Pada individu dengan PTSD didapatkan bahwa penggunaan alkohol berkaitan dengan gen yang mempengaruhi kerentanan terhadap PTSD, dan riwayat psychiatrik keluarga maupun personal. Dengan kata lain, orang tua dengan PTSD berkaitan dengan rendahnya kadar kortisol pada anak-anaknya menunjukkan kerentanan yang berkaitan dengan gejala akut atau kronik pada PTSD.



i.



Faktor Lainnya Individu yang mendapat support sosial akan mengurangi kerentanan terjadi PTSD begitu pula degan pribadi yang memiliki karakter ekstrovert dan lebih berpikir positif lebih jarang mengalami masalah psikologis seperti ini. (5-10)



2.4 Gejala Klinis yang Ditimbulkan



Gejala klinis signifikan yang dapat menyebabkan gangguan pada fungsi sosial, okupasi, atau aspek lain dalam hidup yang muncul selama 1 bulan atau lebih: 2.4.1



Kejadian traumatis tersebut seakan terjadi lagi (persistently re-experienced) dalam satu atau lebih cara dibawah : a. Munculnya kembali gambaran, pikiran, atau persepsi mengenai kejadian traumatis tersebut. b. Mimpi berulang mengenai kejadian tersebut c. Berperilaku atau memiliki perasaan seakan-akan peristiwa tersebut terulang kembali (ilusi, halusinasi, dan episode disosiatif) d. Distress psikologikal yang sangat intense berkaitan dengan hal-hal yang menyimbolkan atau mirip dengan kejadian traumatis tersebut.



2.4.2



Intrusion syndrome (Gejala yang mengganggu) a. Munculnya memori mengenai kejadian traumatis tersebut secara berulang kali, dan involunter. b. Berulangkali mimpi-mimpi yang menyebabkan distress berkaitan dengan kejadian tidak menyenangkan tersebut. c. Reaksi disosiatif (cth: flashback)dimana individu tersebut merasa atau berperilaku seakan-akan kejadian traumatis tersebut terjadi sekali lagi (reaksi tersebut dapat terjadi secara terus menerus dengan ekspresi yang ekstrim dengan kehilangan total kesadaran tentang lingkungan yang sekarang terjadi. d. Distress psikologikal yang intense atau berkepanjangan saat eksposur terhadap tanda-tanda atau simbol-simbol yang berhubungan dengan kejadian traumatis e. Adannya gejala fisiologikal yang nyata saat tanda-tanda atau simbolsimbol yang berkaitan dengan kejadian traumatis tersebut .



i. Avoidance atau menghindar (3 atau lebih dari poin dibawah ini) a. Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau pembicaraan yang berhubungan dengan trauma b. Usaha



untuk



menghindari



aktivitas,



tempat



atau



orang



yang



membangkitkan potongan kejadian traumatis tersebut c. Ketidak mampuan untuk mengingat kembali aspek penting terjadinya kejadian tersebut



d. Kehilangan minat pada kegiatan tertentu e. Merasa jauh dan tidak dekat lagi dengan orang lain f. Tidak dapat merasakan perasaan kasih g. Kehilangan minat untuk masa depan (tidak ingin memiliki karir, pernikahan, anak-anak, atau hidup normal) 2.4.3. Peningkatan bangkitan (arousal) yang tidak terdapat sebelum trauma; setidaknya 2 poin dari poin dibawah ini : a. Kesulitan tidur b. Iritabilitas atau kemarahan yang meledak-ledak c. Kesulitan berkonsentrasi d. Kewaspadaan yang berlebih e. respons terkejut yang berlebih. (11)



2.5 Jenis-Jenis PTSD 2.5.1



PTSD akut Gejala yang signifikan menyebabkan gangguan sosial, okupasi dan sosial dalam waktu 1-3 bulan setelah trauma.



2.5.2



PTSD Kronik Gejala yang signifikan menyebabkan gangguan sosial, okupasi dan sosial dalam waktu lebih dari 3 bulan setelah trauma.



2.5.3



PTSD delayed onset Gejala yang signifikan menyebabkan gangguan sosial, okupasi dan sosial yang terjadi setidaknya 6 bulan setelah terjadi insiden traumatis. (11)



2.6 Kriteria Diagnostik 2.6.1 Kriteria diagnostik berdasarkan PPDGJ III:







Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan).







Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau mimpimimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali.







Gangguan otonomik, gangguan afek, dan kelainan tingkah laku semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.







Suatu sequele menahun yang terjadi lambat setelah stress yang luar biasa, misalnya saja beberapa puluh tahn



setelah trauma, diklasifikasi dalam kategori F62.0



(perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa). Kategori F62.0 : 



Perubahan kepribadian harus berlangsung lama dan bermanifestasi dalam gambaran perilaku yang tidak luwes dan maladaptif yang menjurus kepada disabilitas dalam hubungan ointerpersonal, sosial , dan pekerjaan. Perubahan kepribadian ini harus dipastikan dengan keterangan dari orang-orang terdekat.







Untuk menegakkan diagnosis, memantapkan adanya gambaran berikut (tidak tampak sebelumnya) adalah esensial, misalnya: (a) Sikap bermusuhan atau tidak percaya terhadap semua orang (b) Menarik diri dari kehidupan bermasyarakat (c) Perasaan hampa atau putus asa (d) Perasaan terpojok (on edge) yang kronis, seperti terus menerus merasa terancam; (e) Keterasingan.







Perubahan kepribadian ini harus sudah berlangsung paling sedikit selama 2 tahun, dan tidak berkaitan dengan gangguan kepribadian yang sebelumnya sudah ada atau dengan gangguan jiwa (kecuali gangguan stress pasca trauma)







Harus disingkirkan kemungkinan adanya kerusakan atau penyakit otak yang dapat memberikan gangguan klinis yang serupa.







Termasuk : perubahan kepribadian setelah suatu pengalaman di kamp konsentrasi, berada dalam sekapan yang berkepanjangan yang disertai ancaman kemungkinan dibunuh, seperti menjadi korban terorisme atau penyiksaan. (1)



2.6.2 Kriteria berdasarkan DSM V(12): Post traumatic stress disorder sudah dikelompokkan dalam grup baru dengan judul : Trauma and Stressor Related Disorder dikarenakan adanya fenotip klinis yang konstan berhubungan dengan PTS sehingga tidak bisa lagi dikelompokkan dalam anxiety disorder A. Terpapar langsung atau diancam yang berhubungan dengan kematian, kecacatan yang serius, kekerasan seksual dalam 1 atau lebih cara dibawah ini: 1. Merasakan langsung pengalaman tersebut 2. Melihat langsung kejadian tersebut terjadi pada orang lain 3. Menyaksikan sendiri kejadian traumatik tersebut terjadi pada keluarga dekat, atau teman dekat, dan kejadian tersebut terjadi secara aksidental atau dengan kekerasan. 4. Berulang kali mengalami eksposure yang tidak menyenangkan dari kejadian traumatis tersebut misalnya tim penyelamat yang mengumpulkan mayat korban atau polisi yang menangani kekerasan pada anak. B. Munculnya satu atau lebih gejala yang berulang kali dan mengganggu dirasakan sehubungan dengan kejadian traumatis, setelah kejadian tersebut terjadi. 1. Munculnya memori mengenai kejadian traumatis tersebut secara berulang kali, dan involunter. 2. Berulangkali mimpi-mimpi yang menyebabkan distress berkaitan dengan kejadian tidak menyenangkan tersebut. 3. Reaksi disosiatif (cth: flashback)dimana individu tersebut merasa atau berperilaku seakan-akan kejadian traumatis tersebut terjadi sekali lagi (reaksi tersebut dapat terjadi secara terus menerus dengan ekspresi yang ekstrim dengan kehilangan total kesadaran tentang lingkungan yang sekarang terjadi. 4. Distress psikologikal yang intense atau berkepanjangan saat eksposur terhadap tanda-tanda atau simbol-simbol yang berhubungan dengan kejadian traumatis 5. Adannya gejala fisiologikal yang nyata saat tanda-tanda atau simbol-simbol yang berkaitan dengan kejadian traumatis tersebut . C. Penolakan (avoidance) dari srimulus yang berkaitan dengan kejadian traumatis dimulai setelah kejadian tersebut terjadi. Terjadinya satu atau lebih kejadian dibawah ini.



1. Usaha untuk nmenolak memori yang menyebabkan distress, pikiran, atay perasaan yang berghubungan atau berkaitan dengan kejadian traumatis tersebut. 2. Penolakan atau penghindaran faktor eksternal yang meningatkan pada kejadian traumatis (seperti orang, tempat, atau perasaan tentang atau berkaitan dengan kejadian traumatis tersebut. D. Alterasi negatif dalam kognitif dan mood berkaitan dengan kejadian traumatis dan bermula atau diperparah sejak kejadian tersebut terjadi, dibuktikan dua atau lebih kejadian dibawah ini: 1. Tidak dapat mengingat aspek yang penting dari kejadian tersebut karean adanya disosiatif amnesia, atau dikarenakan faktor lain berupa cedera kepala, alkohol, atau obat-obatan. 2. Kepercayaan negatif yang persisten atau ekspektasi mengenai diri sendiri, orang lain, mengenai dunia(sebagai contoh :”aku bukan orang yang baik”,”tidak ada yang bisa dipercaya”, “Dunia ini tempat yang sangat berbahaya”, “ Sistem syaraf ku sudah sepenuhnya rusak”) 3. Menyalahkan diri sendiri atau orang lain mengenai kejadian traumatis tersebut secara persisten 4. Keadaan emosional yang persisten (ketakutn, horor, kemarahan, rasa bersalah, dan rasa malu). 5. Penurunan minat saat melakukan aktivitas. 6. Menjauh (detachment)dari orang lain. 7. Ketidak mampuan merasakan oerasaan positif secara persisten seperti (kebahagiaan, kepuasan, dan cnta kasih) E. Perubahan bangkitan perilaku yang berlebihan berkaitan dengan kejadian traumatis , dimulai atau diperparah setelah kejadian traumatis tersebut terjadi, dibuktikan dua atau lebih poin-poin dibawah ini: 1. Tindakan atau sikap yang pemarah dan sering marah-marah (karena hal kecil atau tidak ada penyebab sama sekali) biasanya ditunjukkan secara verbal atau tindakan langsung kepada orang lain atau benda. 2. Sifat yang sembrono dan merugikan diri sendiri 3. Sifat waspada yang berlebihan 4. Respon terkejut yang berlebihan 5. Mengalami masalah konsentrasi



6. Gangguan tidur (susah untuk tertidur, atau susah mempertahankan tidur atau tidur yang tidak pulas) F. Durasi gangguan (Kriteria B, C,D,E) lebih dari 1 bulan. G. Gangguan tersebut menimbukan gejala klinis yang menyebabkan distress yang sigmifikan atau gangguan sosial, okupasim dan area fungsional lain. H. Gangguan tersebut tidak disebabkan karena zat-zat atau obat-obatan tertentu dan kondisi medis tertentu. Spesifikasi : dengan gejala disosiatif (depersonalisasi & derealisasi) ; dengan ekspresi terlambat. 2.7 Diferensial Diagnosis No 1



Penyakit



Keterangan



Reactive attachment Disorder



Didiagnosa pada individu