Laporan Pelatihan AK3U [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

4



BAB II KELEMBAGAAN A. Dasar Hukum 1. Undang-undang No. 01 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja 2. Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 3. Permenaker No. 04 tahun 1987 Tata cara penunjukkan kewajiban dan wewenang AK3 dan P2K3 4. Permenaker No. 02 tahun 1992 tentang Tata Cara Penunjukan Kewajiban dan Wewenang Ahli K3 5. Permenaker No. 04 tahun 1995 tentang Perusahaan Jasa K3



B. Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) adalah suatu wadah kerjasama antara unsur pimpinan perusahaan dan tenaga kerja dalam menangani masalah K3 di perusahaan. Setiap tempat kerja dengan kriteria sebagai berikut wajib membentuk P2K3 1. Jumlah tenaga kerja > 100 orang 2. Jumlah tenaga kerja < 100 orang, namun mempunyai resiko bahaya besar Anggota P2K3 terdiri dari unsur pengusaha dan pekerja yang susunananya terdiri dari Ketua, Sekretaris dan anggota. Ketua P2K3 diharuskan Pimpinan perusahaan, sekretaris P2K3 seorang AK3U dan anggotanya terdiri dari wakil tenaga kerja. Syarat keanggotaan: 1. Jumlah tenaga kerja > 100 orang, maka jumlah anggota minimal 12 orang yang terdiri dari 6 mewakili pengusaha/pengurus dan 6 mewakili tenaga kerja.



4



5



2. Jumlah tenaga kerja antara 50 – 100 orang, maka jumlah anggota minimal 6 orang yang terdiri dari 3 mewakili pengusaha/pengurus dan 3 mewakili tenaga kerja. 3. Jumlah tenaga kerja < 50 orang, maka jumlah anggota minimal 6 orang yang terdiri dari 3 mewakili pengusaha/pengurus dan 3 mewakili tenaga kerja. P2K3 dibentuk oleh pengusaha atau pengurus dan disahkan oleh Ka.Disnaker setempat. P2K3 mempunyai tugas memberikan saran dan pertimbangan baik diminta maupun tidak kepada pengusaha atau pengurus mengenai masalah K3. Untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut, P2K3 mempunyai fungsi: 1. Menghimpun dan mengelola data tentang K3 di tempat kerja 2. Membantu menunjukkan dan menjelaskan kepada setiap tenaga kerja: a. Faktor bahaya di tempat kerja, b. Faktor yang dapat mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja, c. APD, d. Cara dan sikap yang benar dan aman dalam melaksanakan pekerjaannya 3. Membantu pengusaha atau pengurus: a. Mengevaluasi cara kerja, proses dan lingkungan kerja, b. Tindakan koreksi dan alternatif, c. Mengembangkan sistem pengendalian bahaya, d. Mengevaluasi penyebab timbulnya kecelakaan, penyakit akibat kerja, e. Mengembangkan penyuluhan dan penelitihan di bidang keselamatan kerja, higene perusahaan, kesehatan kerja dan ergonomi f. Pemantauan terhadap gizi kerja dan menyelenggarakan makanan di perusahaan g. Memeriksa kelengkapan peralatan keselamatan kerja h. Pelayanan kesehatan kerja i. Mengembangkan laboratorium K3 dan interpretasi hasil pemeriksaan



5



6



j. Menyelenggarakan administrasi keselamatan kerja, higene perusahaan dan kesehatan kerja 4. Membantu pimpinan perusahaan menyusun kebijakan manajemen dan pedoman kerja dalam rangka upaya meningkatkan keselamatan kerja, higene perusahaan, kesehatan kerja, ergonomi dan gizi tenaga kerja. Program kerja P2K3 diantaranya: 1) Safety meeting minimal sebulan sekali 2) Inventarisasi permasalahan K3 3) Identifikasi dan inventarisasi sumber bahaya 4) Penerapan norma K3 5) Inspeksi secara rutin dan teratur 6) Penyelidikan dan analisa kecelakaan 7) Pendidikan dan pelatihan 8) Prosedur dan tata cara evakuasi 9) Catatan dan data K3 10) Laporan pertanggungjawaban 11) Penelitian Pelaksananaan



program



kerja



P2K3



menghasilkan



outcome



berupa



rekomendasi K3 dan laporan kegiatan ke Disnaker setiap 3 bulan sekali.



C. Ahli K3 Umum Ahli K3 Umum adalah tenaga tehnis berkeahlian khusus dari luar Depnaker yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk mengawasi ditaatinya UU Keselamatan Kerja. Setiap tempat kerja dengan kriteria sebagai berikut wajib memiliki AK3U: 1. Jumlah tenaga kerja > 100 orang 2. Jumlah tenaga kerja < 100 orang, namun mempunyai resiko bahaya besar



6



7



Seorang AK3U mempunyai kewajiban sebagai berikut: 1. Mengawasi pelaksanaan peraturan perundangan K3 sesuai dengan bidang yang ditentukan dalam keputusan penunjukannya. 2. Melaporkan kepada Menteri Tenaga Kerja cq. Dirjen Binawas dengan tembusan ke Disnaker setempat, Disnaker provinsi dan Direktur Bina Pengawas Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja 3. Merahasiakan segala keterangan tentang rahasia perusahaan/instansi yang di dapat berhubungan dengan jabatannya. Seorang AK3U mempunyai wewenang untuk: 1. Memasuki tempat kerja sesuai keputusan penunjukannya; 2. Meminta keterangan dan informasi mengenai pelaksanaan syarat-syarat K3 di tempat kerja penunjukannya; 3. Memonitor,



memeriksa,



menguji,



menganalisa,



mengevaluasi



dan



memberikan pesyaratan serta pembinaan K3 yang meliputi: a. Keadaan dan fasilitas tenaga kerja; b. Keadaan mesin-mesin, pesawat, alat-alat kerja, instalasi serta peralatan lainnya; c. Penanganan bahan-bahan; d. Proses produksi; e. Sifat pekerjaan; f. Lingkungan kerja



D. Perusahaan Jasa Keselamatan dan Kesehatan Kerja Perusahaan jasa keselamatan dan kesehatan kerja (PJK3) adalah perusahaan yang usahanya dibidang K3 untuk membantu pelaksanaan pemenuhan syaratsyarat K3 sesuai dengan peraturan perundangan.



7



8



Bidang kerja PJK3 meliputi: 1. Jasa konsultan K3 2. Jasa pabrikan, pemeliharaan, reparasi dan instalasi teknik K3 3. Jasa pemeriksaan dan pengujian teknik (pesawat uap dan bejana tekan, listrik, penyalur petir dan peralatan elektronik, lift, instalasi proteksi kebakaran, konstruksi bangunan, pesawat angkat dan angkut dan pesawat tenaga dan produksi, pengujian merusak dan tidak merusak) 4. Jasa pemeriksaan/pengujian dan atau pelayanan kesehatan kerja 5. Jasa audit K3 6. Jasa pembinaan K3 PJK3 berkewajiban: 1. Mentaati semua peraturan perundangan; 2. Mengutamakan pelayanan dalam rangka pelaksanaan pemenuhan syaratsyarat K3 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku 3. Membuat kontrak yang memuat secara jelas hak dan kewajiban 4. Menyimpan dokumen kegiatan selama 5 tahun 5. Lapor/konsul dengan pejabat K3 setempat PJK3 harus melaporkan dan berkonsultasi dengan Kadisnaker setempat sebelum dan sesudah melakukan kegiatan. Apabila dalam melaksanakan kewajibannya tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri ini dapat dikenakan sanksi pencabutan Keputusan Penunjukan sebagai PJK3.



8



9



BAB III KESELAMATAN KERJA



A. Dasar Hukum UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja



B. Syarat-syarat Keselamatan Kerja 1. Mencegah dan mengurangi kecelakaan; 2. Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran; 3. Mencegah dan mengurangi bahaya peledakan; 4. Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya; 5. Memberi pertolongan pada kecelakaan; 6. Memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja; 7. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu, kelembaban, debu, kotoran, asap, uap gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara dan getaran; 8. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik physic maupun psycis, peracunan, infeksi dan penularan; 9. Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai; 10. Menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik; 11. Menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup; 12. Memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban; 13. Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan proses kerjanya; 14. Mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang, tanaman atau barang; 15. Mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan;



9



10



16. Mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan dan penyimpanan barang; 17. Mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya; 18. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahaya kecelakaannya menjadi bertambah.



C. Pembinaan 1. Pengurus wajib menunjukkan dan menjelaskan pada tenaga kerja baru tentang: a. Kondisi, bahaya dan risiko yang dapat timbul dalam tempat kerja b. Semua pengaman dan alat-alat perlindungan yang diharuskan dalam tempat kerja c. APD yang harus digunakan oleh tenaga kerja yang bersangkutan d. Cara dan sikap yang aman saat bekerja 2. Pengurus mempekerjakan tenaga kerja yang bersangkutan setelah tenaga kerja tersebut telah memahami syarat-syarat tersebut di atas. 3. Pengurus wajib menyelenggarakan pembinaan bagi semua tenaga kerja dalam upaya pencegahan kecelakaan dan pemberantasan kebakaran, peningkatan K3 dan pemberian P3K 4. Pengurus wajib memenuhi dan mentaati semua syarat dan ketentuan yang berlaku



D. P2K3 Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) dibentuk guna mengembangkan kerja sama, saling pengertian dan partisipasi efektif dari pengusaha atau pengurus dan tenaga kerja dalam tempat-tempat kerja untuk melaksanakan tugas dan kewajiban bersama di bidang K3, dalam rangka melancarkan usaha berproduksi.



11



E. Kecelakaan Pengurus wajib melaporkan tiap kecelakaan yang terjadi dalam tempat kerja kepada disnaker menggunakan form KK2A Permenaker nomor 03 tahun 1998.



F. Kewajiban dan Hak Tenaga kerja 1. Memberi keterangan yang benar pada pengawas atau ahli K3 2. Memakai alat pelindung diri yang diwajibkan 3. Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat K3 yang diwajibkan 4. Meminta kepada pengurus agar dilaksanakan semua syarat-syarat K3 yang diwajibkan 5. Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan dimana syarat K3 serta APD yang diwajibkan diragukan olehnya, kecuali dalam hal khusus ditentukan lain oleh pengawas dalam batas-batas yyang asih dapat dipertaggungjawabkan.



G. Kewajiban Memasuki Tempat Kerja Semua orang yang memasuki suatu tempat kerja wajib mentaati petunjuk keselamatan kerja dan memakai alat pelindung diri yang diwajibkan.



H. Kewajiban Pengurus 1. Memasang UU No. 1 tahun 1970 di tempat kerja 2. Memasang gambar dan bahan pembinaan K3 3. Menyediakan semua alat perlindungan diri secara cuma-cuma



I. Sanksi dan Denda Ancaman pidana atas pelanggaran peraturan perundangan ini adalah hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan denda setinggi-tingginya Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah).



12



BAB IV K3 KONSTRUKSI



A. Dasar Hukum 1. UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja 2. Permenaker No. 1 Tahun 1980 tentang K3 pada Konstruksi Bangunan 3. SKB Menaker dan Menteri PU No. 174/Men/1986 dan No. 104/KPTS/1986 tentang K3 pada Tempat Kegiatan Konstruksi Beserta Pedoman Pelaksanaan K3 pada Tempat Kegiatan Konstruksi



B. K3 Konstruksi Konstruksi bangunan adalah suatu kegiatan yang berhubungan dengan seluruh tahapan pekerjaan konstruksi yang dilakukan pada tempat kerja. Pada setiap pekerjaan konstruksi bangunan harus diusahakan suatu pencegahan untuk mengurangi terjadinya kecelakaan atau sakit akibat kerja. Sewaktu suatu pekerjaan dimulai harus segera disusun suatu unit K3 dan setiap tenaga kerja harus diberitahu. Berikut ini merupakan Karakteristik kegiatan proyek konstruksi bangunan: 1. Melibatkan banyak tenaga kerja kasar berpendidikan relatif rendah (Non Skill) 2. Memiliki masa kerja terbatas 3. Memiliki intensitas kerja yang tinggi 4. Bersifat multi disiplin dan multi crafts 5. Menggunakan peralatan kerja beragam (jenis, teknologi, kapasitas dan kondisinya)



C. Prosedur K3 Konstruksi Prosedur K3yang harus dilaksanakan di sektor kegiatan konstruksi, antara lain: 1. Kewajiban melapor keadaan proyek konstruksi ke pemerintah dengan syarat untuk dilakukan langkah-langkah antisipasi di bidang K3 12



13



2. Kewajiban membentuk organisasi/kepanitiaan K3 dalam proyek a.l. dalam bentuk P2K3 (Panitia Pembina K3) perusahaan atau bentuk kepanitiaan lainnya 3. Kewajiban melakukan identifikasi K3 sebelum proyek dimulai dan segera disiapkan syarat-syarat K3 sesuai ketentuan 4. Dibuatkan Akte Pengawasan K3 Proyek Konstruksi, untuk melihat hasil-hasil temuan bidang K3 oleh pengurus maupun Ahli K3 perusahaan 5. Diadakan pelatihan bagi para teknisi sebagai Ahli Muda K3, Ahli Madya K3 dan Ahli Utama K3 Bidang Konstruksi untuk Petugas K3 di proyek yang bersangkutan.



D. Pedoman K3 Konstruksi Dalam penerapan K3 konstruksi harus ada pedoman K3 yang meliputi: 1. Catatan identifikasi kecelakaan kerja yang ada 2. Rekomendasi persyaratan K3 atas temuan identifikasi di atas 3. Dibuatkan Prosedur Kerja Aman yang menyangkut seluruh jenis kegiatan 4. Dibuatkan Instruksi Kerja Aman untuk langkah-langkah kegiatan yang bersifat khusus 5. Dibuat rencana kerja K3 yang komprehensip terkendali oleh pimpinan proyek. 6. Dibuatkan Pedoman Teknis K3 yang khusus melaksanakan K3 untuk pekerjaan yang bersifat spesifik 7. Dilakukan inspeksi oleh Ahli K3 khususnya oleh Pegawai Pengawas K3 (Pemerintah) 8. Dilakukan audit oleh ahli-ahli audit independen Apabila kontraktor tidak memenuhi kewajibannya sesuai peraturan perundangan yang berlaku maka kontraktor akan memperoleh sanksi berupa teguran tertulis, penghentian sementara, pembatasan kegiatan, pembekuan ijin, pencabutan ijin dari Kemenakertrans dan Dep.PU.



14



BAB V KEBIJAKAN K3



A. Dasar Hukum PP No. 50 tahun 2012 tentang Penerapan SMK3



B. Kebijakan K3 Kebijakan K3 merupakan perwujudan dari komitmen pucuk pimpinan yang memuat visi dan tujuan organisasi, komitmen dan tekad untuk melaksanakan keselamatan dan kesehatan kerja, kerangka dan program kerja. Oleh karena itu, kebijakan K3 sangat penting dan menjadi landasan utama yang diharapkan mampu menggerakkan semua partikel yang ada dalam organisasi sehingga program K3 yang diinginkan dapat berhasil dengan baik. Namun demikian, tanpa adanya kebijakan yang dilandasi dengan komitmen yang kuat, apapun yang direncanakan tidak akan berhasil dengan baik. Suatu kebijakan K3 yang baik disyaratkan memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Sesuai dengan sifat dan skala resiko K3 organisasi 2. Mencakup komitmen untuk peningkatan berkelanjutan 3. Termasuk adanya komitmen untuk memnuhi perundangan K3 yang berlaku dan persyaratan lainnya yang diacu organisai 4. Didokumentasikan, diimplementasikan dan dipelihara 5. Dikomunikasikan 6. Tersedia bagi pihak lain yang terkait 7. Ditinjau ulang secara berkala Berbagai bentuk komitmen yang dapat diwujudkan oleh pimpinan dan manajemen dalam K3 antara lain:



14



15



1. Dengan memenuhi semua ketentuan K3 yang berlaku dalam organisasi, seperti penggunaan alat keselamatan yang diwajibkan dan dipersyaratkan. 2. Memasukkan K3 dalam setiap kesempatan, rapat manajemen dan pertemuan lainnya. 3. Secara berkala dan konsisten mengkomunikasikan keinginan dan harapannya mengenai K3 kepada semua pemangku kepentingan. 4. Melibatkan diri dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan K3 seperti pertemuan keselamatan, kampanye keselamatan dan kesehatan kerja, petemuan audit K3. 5. Memberikan dukungan nyata dalam bentuk sumber daya yang diperlukan untuk terlaksananya K3 dalam organisasi. 6. Memberikan keteladanan K3 yang baik dengan menjadikan K3 sebagai bagian integral dalam setiap kebijakan organisasi. Dalam menyusun kebijakan sebagaimana dimaksud pada pasal 7 ayat 1 PP No. 50 Tahun 2012, pengusaha paling sedikit harus: 1. Melakukan tinajuan awal kondisi K3 yang meliputi: a. Identifikasi potensi bahaya, penilaian dan pengendalian resiko; b. Perbandingan penerapan K3 dengan perusahaan dan sektor lain yang lebih baik; c. Peninjauan sebab akibat kejadian yang membahayakan; d. Kompensasi dan gangguan serta hasil penilaian sebelumnya yang berkaitan dengan keselamatan; dan e. Penilaian efisiensi dan efektivitas sumber daya yang disediakan. 2. Memperhatikan peningkatan kinerja manajemen K3 secara terus-menerus 3. Memperhatikan masukan dari pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/ serikat buruh. Kebijakan K3 sebagaimana dimaksud pada ayat 1 paling sedikit memuat: 1. Visi;



16



2. Tujuan perusahaan; 3. Komitmen dan program kerja yang mencakup kegiatan perusahaan secara menyeluruh yang bersifat umum dan/atau operasional. Kebijakan K3 dibuat melalui proses tinjauan awal kondisi K3 dan konsultasi antara pengurus dan wakil tenaga kerja. Penetapan kebijakan K3 harus: 1. Disahkan oleh pucuk pimpinan perusahaan; 2. Tertulis, tertanggal dan ditandatangani; 3. Secara jelas menyatakan tujuan dan sasaran K3; 4. Dijelaskan dan disebarluaskan kepada seluru pekerja/buruh, tamu, kontraktor, pemasok dan pelanggan; 5. Terdokumentasi dan terpelihara dengan baik; 6. Bersifat dinamik; dan 7. Ditinjau ulang secara berkala untuk menjamin bahwa kebijakan tersebut masih sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam perusahaan dan peraturan perundang-undangan. Untuk melaksanakan ketentuan kebijakan K3, maka pengusaha dan/atau pengurus harus: 1. Menempatkan organisasi K3 pada posisi yang dapat menentukan keputusan perusahaan; 2. Menyediakan anggaran, tenaga kerja yang berkualitas dan sarana-sarana lain yang diperlukan di bidang K3; 3. Menetapkan personil yang mempunyai tanggungjawab, wewenang dan kewajiban yang jelas dalam penanganan K3; 4. Membuat perencanaan K3 yang terkoordinasi; 5. Melakukan penilaian kinerja dan tindak lanjut pelaksanaan K3. Kebijakan K3 yang telah ditetapkan oleh pengusaha menjadi referensi dalam menyusun program (perencanaan) K3. Program K3 tidak dapat disusun tanpa adanya kebijakan K3.



17



BAB VI DASAR K3



A. Dasar Hukum 1. UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja 2. UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan



B. Dasar K3 Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan upaya untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman, sehat dan sejahtera, bebas dari kecelakaan, kebakaran, peledakan, pencemaran lingkungan dan penyakit akibat kerja. Sasaran penerapan K3 yaitu: 1. Melindungi para pekerja dan orang lain di tempat kerja, benda (mesin, alat, bangunan, dll), dan lingkungan (air, udara, cahaya, dll); 2. Menjamin setiap sumber produksi dipakai secara aman dan efisien, dan 3. Menjamin proses produksi berjalan lancar. Kecelakaan kerja dapat dicegah dengan penerapan K3 sesuai aspeknya, yaitu dimulai sejak tahap perencanaan, pemasangan, pengujian, pemakaian, perawatan dan test berkala. Pengendaliannya dapat berupa Administratif, legalitas/perijinan, standarisasi, dan sertifikasi. Sebagai pedoman pengendalian perlu dilakukan identifikasi bahaya guna mengetahui potensi bahaya dan risiko yang akan ditimbulkan apabila tidak dilakukan pengendalian. Identifikasi ini dapat dilakukan menggunakan teknik yang sudah baku seperti check list, JSA, JSO, hazops, HIRADC, dsb. Potensi bahaya yang biasa ditemui di tempat kerja berasal dari lingkungan kerja, antara lain faktor fisik, kimia, biologi, ergonomis, dan psikologi.



17



18



Kecelakaan adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan tidak diduga atau tiba-tiba yang dapat menimbulkan korban manusia dan atau harta benda. Kecelakaan kerja dibagi menjadi 2 (dua), antara lain: 1. Kecelakan dalam hubungan kerja Kecelakaan yang terjadi akibat dari pekerjaan atau pada waktu melaksanakan pekerjaan. kecelakaan lalu lintas yang menimpa tenaga kerja dalam perjalanan ke dan dari tempat kerja atau dalam rangka menjalankan pekerjaannya. 2. Kecelakaan kerja Suatu kejadian tidak diduga (incident) yang mengakibatkan kekacauan proses pekerjaan/produksi yang direncanakan sebelumnya. Dalam hal ini kecelakaan kerja tidak selalu diukur adanya korban manusia cidera atau mati. Piramida kasus kecelakaan:



1 Fatality 10 Severe Injury 30 Minor Injury



600 Near Miss 10.000 Unsafe acts & condition Setiap terjadi 1 kecelakaan fatal terdapat 10 kecelakaan ringan, 30 kerusakan peralatan, 600 near miss dan 10.000 sumber bahaya.



19



BAB VII K3 LISTRIK



A. Dasar Hukum 1. UU No. 01 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja 2. Permenaker No. 02 tahun 1989 tentang Pengawasan Instalasi Penyalur Petir 3. Persyaratan Umum Instalasi Listrik 2000 4. Permenaker No. 12 tahun 2015 tentang K3 Listrik di Tempat Kerja 5. Permenaker No. 31 tahun 2015 tentang Perubahan atas Permenaker No. 02 tahun 1989 tentang Pengawasan Instalasi Penyalur Petir 6. Permenaker No. 33 tahun 2015 tentang perubahan atas Permenaker No. 12 tahun 2015 tentang K3 Listrik di Tempat Kerja 7. Permenaker No. 06 tahun 2017 tentang K3 Elevator dan Eskavator



B. Pengawasan K3 Listrik di Tempat Kerja Listrik merupakan energy yang dibangkitkan oleh sumber energy (generator) dan dapat mengalir dari satu titik ke titik lain melalui konduktor dalam rangkaian tertutup. Potesi bahaya listrik adalah: 1. Kejut listrik a. Sentuhan langsung Bahaya sentuhan pada bagian konduktif yang secara normal bertegangan. b. Sentuhan tidak langsung Bahaya sentuhan pada bagian konduktif yang secara normal tidak bertegangan, menjadi bertegang 2. Efek termal (panas berlebih) 3. Efek medan listrik dan medan magnet



19



20



Pekerja dapat mengalami bahaya listrik pada kondisi-kondisi sebagai berikut: 1. Pekerja berhubungan/menyentuh kedua konduktor pada rangkaian listrik yang bertegangan 2. Pekerja berada pada bagian antara konduktor yang ditanahkan (grounding) dan konduktor yang tidak ditanahkan. 3. Pekerja berada pada bagian konduktor yang ditanahkan dengan material yang tidak ditanahkan. Listrik juga dapat menyebabkan kerbakaran, hal ini terjadi karena: 1. Pembebanan lebih 2. Sambungan tidak sempurna 3. Perlengkapan tidak standar 4. Pembatas arus tidak sesuai 5. Kebocoran isolasi 6. Listrik statis 7. Sambaran petir Besar arus yang mengalir tergantung besar beda potensial dan resistansi. Efek arus kejut pada manusia dapat mengakibatkan kematian. Arus kejut listrik mengenai tubuh akan menimbulkan: 1. Menghentikan fungsi jantung dan menghambat pernafasan. 2. Panas yang ditimbulkan oleh arus dapat menyebabkan kulit atau tubuh terbakar, khususnya pada titik dimana arus masuk ke tubuh. 3. Beberapa kasus dapat menimbulkan pendarahan atau kesulitan bernafas dan gangguan saraf 4. Gerakan spontan akibat terkena arus listrik dapat mengakibatkan cidera lain seperti akibat jatuh atau terkena/tersandung benda lain. Pengendalian bahaya listrik dari sentuhan langsung:



21



a. Mengisolasi bagian aktif b. Menutup dengan penghalang atau selungkup c. Membuat rintangan d. Member jarak aman atau diluar jangkauan e. Menggunakan alat pelindung diri Pengendalian bahaya listrik dari sentuh tidak langsung 1. Memasang grounding/pembumian pada peralatan listrik 2. Peralatan listrik menggunakan kabel tiga kawat dengan kontak yang tergrounding 3. Saat ada arus kejut atau tegangan petir, arus dapat langsung mengalir ke tanah. Menurut UU No. 1 tahun 1970 setiap tempat kerja harus memenuhi syarat keselamatan kerja terutama mencegah terkena aliran listrik berbahaya. Untuk itu penerapan K3 Listrik di tempat kerja sangat diperlukan. Hal ini bertujuan untuk: 1. Menjamin kehandalan instalasi listrik sesuai tujuan penggunaannya. 2. Mencegah timbulnya bahaya akibat listrik, yaitu bahaya sentuhan langsung, bahaya sentuhan tidak langsung dan bahaya kebakaran. Dasar hukum penerapan K3 listrik di Indonesia adalah Permenaker No. 12 tahun 2015, sedangkan standar K3 listrik yang digunakan adalah PUIL 2000 yang memuat tentang system proteksi dan perancangan instalasi listrik.



C. Pengawasan K3 Sistem Proteksi Petir Petir adalah pelepasan muatan listrik dari awan ke awan atau dari awan ke bumi. Petir menghasilkan arus 5.000 – 200.000 A dan panas 30.000oC. Petir yang mengarah ke bumi selalu menyambar obyek tertinggi dan dapat menyebabkan kerusakan termis, mekanis dan elektris.



22



Bahaya sambaran petir ada 2 (dua) yaitu: 1. Bahaya sambaran langsung, berupa sambaran pada obyek tertinggi. Perlindungan yang dapat diterapkan adalah dengan memasang instalasi penyalur petir yang memenuhi syarat. Termuat dalam Per-02/Men/1989 tentang instalasi penyalur petir. Jenis instalasi: a. System franklin Bagian-bagian penting instalasi penyalur petir system franklin adalah penerima (air termal), hantaran penurunan (down conductor), hantaran pembumian (grounding). Nilai grounding maksimal 5 Ω. b. Sistem sangkar faraday c. System elektrostatik 2. Bahaya sambaran tidak langsung, berupa kerusakan pada alat elektronik. Perlindungan yang dapat dilakukan adalah dengan melengkapi peralatan penyama tegangan pada jaringan instalasi listrik (arrester). Instalasi penyalur petir harus diperiksa dan diuji oleh pegawai pengawas spesialis K3 Listrik, ahli K3 Listrik atau PJK3 yang ditunjuk: a. Sebelum penyerahan instalasi penyalur petir dari instalir kepada pemakai b. Setelah ada perubahan atau perbaikan suatu bangunan dan atau instalasi penyalut petir c. Secara berkala setiap dua tahun sekali d. Setelah ada kerusakan akibat sambaran petir



23



BAB VIII K3 KEBAKARAN A. Dasar Hukum 1. UU No. 01 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja 2. Permenaker No. 04 tahun 1980 Syarat-syarat pemasangan dan pemeliharaan APAR 3. Permenaker No. 02 tahun 1983 tentang Instalasi Alarm Kebakaran Automatik 4. Kepmenaker No. 186 tahun 1999 tentang Unit Penanggulangan Kebakaran di Tempat Kerja



B. K3 Kebakaran Kebakaran adalah reaksi kimia suatu zat dengan oksigen yang terjadi pada suhu tertentu. Kebakaran dapat diartikan sebagai suatu energy yang tidak terkendali. Kebakaran dapat terjadi ketika ada bahan bakar yang kontak dengan panas dan oksigen (Teori Segitiga Api). Pada saat terjadi kebakaran oksigen akan berkurang yang mengakibatkan tekanan udara menurun, maka akan terjadi arus angin besar sehingga kobaran nyala api cepat menjalar. Untuk mencegah dan mengendalikan kebakaran maka perlu adanya system proteksi, yaitu: 1. Proteksi aktif Dilakukan pada saat terjadi kebakaran dengan penerapan suatu design system instalasi deteksi, alarm dan alat pemadam kebakaran yang sesuai dan handal, sehingga tempat kerja tersebut mandiri dalam menghadapi bahaya kebakaran. Sarana proteksi aktif: a. Alat deteksi kebakaran 



Nyala/cahaya : ultra violet smoke detector, infra red smoke detector







Panas : fixed heat detector, rate of rise heat detector







Asap/gas : ionization smoke detector, optical smoke detector



23



24







Manual : push bottom, pull down, break glass



b. Alarm c. Alat pemadam 



Sprinkler : otomatis memancarkan api saat alat pendeteksi pecah







Hydrant : api skala besar







APAR : api skala kecil (air, busa, dry powder, CO2)



2. Proteksi pasif Dilakukan sebelum dan setelah terjadinya kebakaran, berupa design tempat kerja untuk membatasi atau menghambat penyambaran panas, asap dan gas, baik secara vertical maupun horizontal. Sarana proteksi pasif: a. System kompartemensi b. Pemeliharaan alat pemadam kebakaran c. Sarana pengendalian asap dan api (smoke control system) d. Sarana evakuasi e. Alat bantu evakuasi dan rescue f. Assembly poin g. Mengatur jarak antar bangunan h. Memasang dinding tahan api i. Menutup setiap bukaan dengan media tahan api atau dengan mekanisasi tertentu. Klasifikasi kebakaran: A = Bahan padat kecuali logam B = Bahan cair atau gas mudah terbakar C = Listrik bertegangan D = Logam



25



Pengurus atau pengusaha wajib mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran di tempat kerja dengan pembentukan unit penanggulangan kebakaran dan penyelenggaraan latihan dan gladi penanggulangan kebakaran secara berkala. Bagi tempat kerja yang mempekerjakan lebih dari 50 orang tenaga kerja dan atau tempat kerja yang berpotensi bahaya kebakaran sedang dan berat wajib memiliki buku rencana penanggulangan keadaan darurat kebakaran. Menurut Kepmenaker No. 186 tahun 1999 unit penanggulangan kebakaran terdiri dari: 1. Petugas peran kebakaran minimal 2 orang untuk setiap 25 orang tenaga kerja (Paket D/Tingkat dasar I) 2. Regu penanggulangan kebakaran (C/Tingkat dasar II) 3. Koordinator unit penanggulangan kebakaran minimal 1 orang untuk setiap unit kerja (D/Tingkat ahli pratama) 4. Ahli K3 spesialis penanggulangan kebakaran sebagai penanggung jawab teknis. (A/Tingkat ahli madya) Syarat sarana evakuasi: a. Aman sementara (terhadap asap dan panas) b. Tidak terkunci c. Tidak terhalang oleh benda apapun d. Memiliki lampu darurat e. Bukaan pintu kearah luar f. Mudah dijangkau (panjang jarak tempuh sependek mungkin) g. Ada petunjuk arah yang dapat dilihat dalam keadaan gelap.



26



BAB IX K3 LINGKUNGAN A. Dasar Hukum 1. UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja 2. UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 3. Permenaker No. 05 tahun 2018 tentang K3 Lingkungan Kerja B. K3 Lingkungan Tujuan penerapan K3 lingkungan kerja adalah untuk mewujudkan lingkungan kerja yang aman, sehat



dan nyaman dalam rangka mencegah



kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Syarat K3 lingkungan kerja: 1. Pengendalian faktor fisika dan faktor kimia agar dibawah NAB 2. Pengendalian faktor biologi, ergonomic dan psikologi agar memenuhi standar 3. Penyediaan fasilitas kebersihan dan sarana hygiene di tempat kerja yang bersih dan sehat 4. Penyediaan personil K3 yang memiliki kompetensi dan kewenangan K3 di bidang lingkungan kerja. Pelaksanaan syarat-syarat K3 Lingkungan Kerja dilakukan melalui kegiatan: 1. Pengukuran Lingkungan Kerja meliputi a. Fisika : iklim kerja, kebisingan, getaran, radiasi, pencahayaan, medan magnet statis, tekanan udara. b. Kimia : padat (debu, rokok, debu logam, dsb), cair (semprotan pembasmi serangga, dsb), gas dan uap (pelarut cat, tiner, gas O2, H2S, dsb) c. Biologi : mikroorganisma, arthopoda, hewan invertebrata, allergen, binatang berbisa, jamur, bakteri dsb d. Ergonomi : cara kerja, posisi kerja, desain alat kerja, kapasitas kerja, dsb



26



27



e. Psikologi : konflik, beban kerja berlebih, ketidakjelasan peran, tanggung jawab terhadap orang lain, pengembangan karir, dsb 2. Penerapan Higiene dan Sanitasi meliputi: a. Bangunan Tempat Kerja : bersih, terpelihara, kuat, ruang gerak luas, dsb b. Fasilitas Kebersihan : toilet mencukupi, loker dan ruang ganti, tempat sampah, peralatan kebersihan. c. Kebutuhan udara bersih dan sehat harus terpenuhi dengan adanya ventilasi alami atau buatan, ruang udara minimal 10 m3, KUDR d. Tata laksana kerumahtanggaan : 5R Dalam hal terjadi kasus penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh faktor Lingkungan Kerja dilakukan program pengendalian dan penanganan sesuai dengan standar dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengendalian Lingkungan Kerja dilakukan sesuai hirarki pengendalian. Setiap tempat kerja yang memiliki potensi bahaya lingkungan kerja wajib dilakukan pemeriksaan dan/atau



pengujian. Jenis pemeriksaan dan/atau



pengujian: 1. Pertama untuk mengidentifikasi potensi bahaya Lingkungan Kerja di Tempat



Kerja, meliputi: area kerja dengan pajanan faktor fisika, faktor kimia, faktor biologi, faktor ergonomi, dan faktor psikologi; KUDR; dan Sarana dan fasilitas Sanitasi. 2. Berkala dilakukan secara eksternal paling sedikit 1 (satu) tahun sekali atau sesuai dengan penilaian risiko atau ketentuan peraturan perundang-undangan, meliputi sda. 3. Ulang dilakukan apabila hasil Pemeriksaan dan/atau Pengujian sebelumnya baik secara internal maupun eksternal terdapat keraguan. 4. Khusus dilakukan setelah kecelakaan kerja atau laporan dugaan tingkat pajanan di atas NAB



28



BAB X K3 KIMIA A. Dasar Hukum 1. UU No. 01 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja 2. Kemenaker No. 187 tahun 1999 tentang Pengendalian Bahan Kimia Berbahaya



B. K3 Kimia Pengusaha atau pengurus wajib mengendalikan bahan kimia berbahaya di tempat kerja untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Pengendalian yang dilakukan dapat berupa penyediaan lembar data keselamatan bahan (LDKB) atau material safety data sheet (MSDS) dan pelabelan, penunjukkan petugas K3 kimia dan ahli K3 kimia. LDKB/MSDS diletakkan pada tempat yang mudah diketahui oleh tenaga kerja dan pegawa pengawas. Pengusaha atau pengurus wajib menyampaikan daftar nama, sifat dan kuantitas bahan kimia berbahaya di tempat kerja kepada Dinas Tenaga Kerja setempat dan nantinya akan dilakukan survey kebenaran data tersebut untuk menetapkan kategori potensi bahaya perusahaan yang bersangkutan. Klasifikasi bahan kimia berbahaya sebagai berikut: 1. Bahan kimia beracun 2. Bahan kimia sangat beracun 3. Bahan kimia mudah terbakar 4. Bahan mudah meledak 5. Bahan oksidator 6. Bahan reaktif terhadap air 7. Bahan reaktif terhadap asam 8. Gas bertekanan 9. Bahan radioaktif 28



29



Nilai



ambang



kuantitas



(NAK



ditetapkan



dalam



Lampiran



III



Kep.Mennaker No. Kep. 187/MEN/1999. Potensi bahaya terdiri dari bahaya besar dan menengah dimana pengkategoriannya berdasarkan nama, kriteria dan NAK. Potensi bahaya besar apabila kuantitas bahan kimia berbahaya yang digunakan melebihi atau lebih besar dari NAK. Sedangkan potensi bahaya menengah apabila kuantitas bahan kimia berbahaya yang digunakan sama atau lebih kecil dari NAK. Perusahaan dengan potensi bahaya besar mempunyai kewajiban untuk: 1. Mempekerjakan petugas K3 kimia (system non shift minimal 2 orang, system shift minimal 5 orang); 2. Mempekerjakan ahli K3 kimia minimal 1 orang; 3. Membuat dokumen pengendalian potensi bahaya besar; 4. Melaporkan setiap perubahan (bahan, kuantitas, proses dan modifikasi istalasi); 5. Melakukan pemeriksaan dan pengujian faktor kimia minimal 6 bulan sekali; 6. Melakukan pemeriksaan dan pengujian instalasi minimal 2 tahun sekali; 7. Melakukan pemeriksaan kesehatan tenaga kerja minimal 1 tahun sekali. Dokumen pengendalian potensi bahaya besar berisikan: 



Identifikasi Bahaya, Penilaian dan Pengendalian Risiko







Kegiatan Tehnis, Rancang Bangun, Konstruksi, Pemilihan Bahan Kimia, Pengoperasian dan Pemeliharaan Instalasi







Kegiatan Pembinaan Tenaga Kerja







Rencana dan Prosedur Penanggulangan Keadaan Darurat







Prosedur Kerja Aman



Perusahaan dengan potensi bahaya menengah mempunyai kewajiban untuk: 1. Mempekerjakan petugas K3 kimia (system non shift minimal 1 orang, system shift minimal 3 orang);



30



2. Membuat dokumen pengendalian potensi bahaya menengah; 3. Melaporkan setiap perubahan (bahan, kuantitas, proses dan modifikasi istalasi); 4. Melakukan pemeriksaan dan pengujian faktor kimia minimal 1 tahun sekali; 5. Melakukan pemeriksaan dan pengujian instalasi minimal 3 tahun sekali; 6. Melakukan pemeriksaan kesehatan tenaga kerja minimal 1 tahun sekali. Dokumen pengendalian potensi bahaya menengah berisikan: 



Identifikasi Bahaya, Penilaian dan Pengendalian Risiko







Kegiatan Tehnis, Rancang Bangun, Konstruksi, Pemilihan Bahan Kimia, Pengoperasian dan Pemeliharaan Instalasi







Kegiatan Pembinaan Tenaga Kerja







Prosedur Kerja Aman



31



BAB XI KESEHATAN TENAGA KERJA A. Dasah Hukum 1. UU No. 01 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja 2. Keputusan Presiden RI No. 22 tahun 1993 tentang Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja 3. Permenaker No. 01 tahun 1976 tentang Kewajiban Latihan Hyperkes bagi Dokter Perusahaan 4. Permenaker No. 01 tahun 1979 tentang Kewajiban Latihan Hyperkes bagi Paramedis Perusahaan 5. Permenaker No. 02 tahun 1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja 6. Permenaker No. 01 tahun 1981 tentang Kewajiban Melapor Penyakit Akibat Kerja 7. Permenaker No. 03 tahun 1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja 8. Kepmenaker No. 333 tahun 1989 tentang Diagnose dan Pelaporan Penyakit Akibat Kerja 9. Surat Edaran dan Instruksi Menteri No. 01 tahun 1979 tentang Pengadaan Kantin dan Ruang Makan 10. Surat Edaran dan Instruksi Menteri No.07 tahun 1997 tentang Pengujian Hepatitis B dalam Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja 11. Surat edaran dan instruksi menteri No. 86 tahun 1986 tentang Perusahaan Catering yang Mengelola Makanan bagi Tenaga Kerja 12. Permenaker No. 15 tahun 2008 tentang P3K di Tempat Kerja



B. Kesehatan Tenaga Kerja Faktor – faktor yang mempengaruhi kesehatan tenaga kerja: 1. Lingkungan kerja : kimia, biologi, fisika, psikologi, ergonomi



31



32



2. Kapasitas kerja : keterampilan, kesegaran jasmani dan rohani, status kesehatan gizi, usia, jenis kelamin, ukuran tubuh 3. Beban fisik : fisik, mental Pelayanan kesehatan kerja Per 03/MEN/1982 1. Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja (awal, berkala, khusus) 2. Penyesuaian pekerjaan terhadap tenaga kerja 3. Pembinaan dan pengawasan lingkungan kerja 4. Pembinaan dan pengawasan sanitair 5. Pembinaan dan pengawasan perlengkapan untuk kesehatan tenaga kerja 6. Pencegahan terhadap penyakit umum dan PAK 7. P3K 8. Latihan Petugas P3K 9. Perencanaan tempat kerja, APD, gizi, dan penyelenggaraan makanan ditempat kerja 10. Rehabilitasi akibat kecelakaan / PAK 11. Pembinaan terhadap tenaga kerja yang punya kelainan 12. Laporan berkala Fasilitas pelayanan kesehatan kerja. 



Pelayanan kesehatan kerja klinik/RS







Fasilitas P3K di tempat kerja







Penyelenggaraan makan: kantin/katering (nilai gizi sesuai, menu bervariasi, petugas bebas penyakit menular, paham sanitasi)







Penyediaan air minum







Fasilitas olah raga dan rekreasi







Pakaian kerja dan loker







Kamar mandi dan toilet







Tempat cuci tangan dengan air mengalir/wastafel



33







Tempat penitipan anak







Pojok laktasi.



Syarat-Syarat Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja mengacu pada pasal 8 UU No. 1 tahun 1970 dan Permenaker No. 02 Tahun 1980 



Dilaksanakan oleh dokter pemeriksa kesehatan tenaga kerja (penunjukan dari Dirjen Binwasnaker-Depnakertrans), baik dokter yang ada di perusahan tersebut maupun yang ada di luar perusahaan (provider)







Apabila dilakukan oleh dokter pemeriksa di luar perusahaan maka harus dilakukan oleh lembaga PJK3 di bidang pemerikasaan kesehatan tenaga kerja (penunjukan dari Dirjen Binwasnaker-Depnakertrans)







Dibuat pedoman pelaksanaan pemeriksaan kesehatan tenaga kerja oleh dokter pemeriksa kesehatan tenaga kerja yang bersangkutan.







Hasil pelaksanaan pemeriksaan dilaporkan ke Depnakertrans dan disnaker setempat



Teknis pemeriksaan awal: 1. Pemeriksaan mental 



Keadaan kesadaran, sikap/tingkah laku, kontak mental, perhatian, inisiatif, intelegensia dan proses berfikir



2. Pemeriksaan fisik 



Fisik diagnostik (inspeksi, palpasi, perkusi auskultasi)







Tekanan darah, nadi, pernafasan,







Tinggi badan, berat badan,







Kesegaran jasmani







Ketajaman penglihatan, pendengaran, perabaan, reflek syaraf



3. Pemeriksaan Laboratorium (darah, urine, feces). 4. Pemeriksaan Penunjang (disesuaikan dengan jenis pekerjaan/faktor risiko yang akan dihadapi)



34







Rongent dada, tes alergi, spirometri, E.C.G., tes buta warna dll.



Teknis Pemeriksaan Kesehatan Berkala, khusus & purna bhakti: a. Pemeriksaan psikis/kejiwaan b. Pemeriksaan fisik (fisik diagnostik) c. Pemeriksaan laboratorium (darah dan urin) rutin d. Pemeriksaan khusus/penunjang yang berkaitan dengan keluhan/gangguan kesehatan dan faktor risiko misalnya: 



Spirometri (tes fugsi paru),







Audiometri(tes tingkat pendengaran),







Pemeriksaan fungsi organ khusus (fungsi hati/lever, fungsi ginjal, sumsum tulang dll.)







Pemeriksaan laboratorium khusus (Monitoring biologis)



Manfaat pemeriksaan kesehatan tenaga kerja: a. Bagi pekerja : 



Mengetahui kondisi kesehatannya sejak mulai kerja dan secara berkala







Memahami bagaimana cara mencegah gangguan kesehatan akibat faktor bahaya di tempat kerja







Mendapat perlindungan dari gangguan kesehatan di tempat kerja khususnya PAK







Memperoleh hak berupa jaminan (pengobatan/perawatan) dan kompensasi (santunan uang) apabila diketahui menderita PAK, baik sewaktu masih bekerja maupun sampai 3 tahun setelah berhenti bekerja



b. Bagi pengusaha : 



Mengetahui kondisi kesehatan pekerja sejak mulai kerja dan secara berkala sehingga dapat menempatkan pekerja secara tepat sesuai kondisi kesehatan pekerja.



35







Menjadi dasar yang akurat dalam perencanaan dan evaluasi program pencegahan/pengendalian faktor bahaya di tempat kerja.







Mengurangi biaya pengobatan/perawatan dan biaya terkait lainnya (efisiensi).







Meningkatkan kuantitas dan kualitas produk.







Memenuhi peraturan perundangan dalam melindungi kesehatan tenaga kerja dan memenuhi hak pekerja yang mengalami PAK.







Meningkatkan rasa aman dan motivasi kerja.



C. Fasilitas P3K 1. Ruang P3K; a. Lokasi ruang P3K : 



Dekat dengan toilet/kamar mandi;







Dekat jalan keluar;







Mudah dijangkau dari area kerja; dan







Dekat dengan tempat parkir kendaraan.



b. Mempunyai luas minimal cukup untuk menampung satu tempat tidur pasien dan masih terdapat ruang gerak bagi seorang petugas P3K serta penempatan fasilitas P3K lainnya; c. Bersih dan terang, ventilasi baik, memiliki pintu dan jalan yang cukup lebar untuk memindahkan korban; d. Diberi tanda dengan papan nama yang jelas dan mudah dilihat; e. Sekurang-kurangnya dilengkapi dengan : 



Wastafel dengan air mengalir;







Kertas tisue/lap;







Usungan/tandu;







Bidai/ spalk;







Kotak P3K dan isi;



36







Tempat tidur dengan bantal dan selimut;







Tempat untuk menyimpan alat-alat, seperti : tandu dan/atau kursi roda;







Sabun dan sikat;







Pakaian bersih untuk penolong;







Tempat sampah; dan







Kursi tunggu bila diperlukan.



2. Kotak P3K dan isi; a. Terbuat dari bahan yang kuat dan mudah dibawa, berwarna dasar putih dengan lambang P3K berwarna hijau; b. Isi kotak P3K sebagaimana tercantum dalam lampiran II Peraturan Menteri ini dan tidak boleh diisi bahan atau alat selain yang dibutuhkan untuk pelaksanaan P3K di tempat kerja; 3. Alat evakuasi dan alat transportasi; a. Tandu atau alat lain untuk memindahkan korban ke tempat yang aman atau rujukan; dan b. Mobil ambulance atau kendaraan yang dapat digunakan untuk pengangkutan korban. 4. Fasilitas tambahan berupa alat pelindung diri dan/atau peralatan khusus di tempat kerja yang memiliki potensi bahaya yang bersifat khusus. Seperti alat untuk pembasahan tubuh cepat (shower) dan pembilasan/pencucian mata.



37



BAB XII MANAJEMEN RESIKO



A. Dasar Hukum 1. UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja 2. PP No. 50 tahun 2012 tentang Penerapan SMK3



B. Manajemen Resiko Manajemen resiko adalah penerapan secara sistematis dari kebijakan manajemen, prosedur dan aktivitas dalam kegiatan identifikasi bahaya, analisa, penilaian, penanganan dan pengendalian risiko. Management resiko dapat digunakan untuk menentukan strategi dan jenis pengendalian yang berhubungan dengan pengaturan anggaran K3. Pelaksanaan manajement resiko: 1. Identifikasi bahaya yang ada dan resiko yang mungkin terjadi Identifikasi



bahaya



adalah



kegiatan



mencari,



menemukan,



mengumpulkan, meneliti, mendaftarkan, mencatat data dan informasi bahaya di tempat kerja. Dalam identifikasi bahaya digunakan pedoman 5W 1H. Tujuan identifikasi bahaya: 



Menjaga pekerja selalu waspada terhadap bahaya dari proses produksi







Tinjauan standart prosedur operasi (SOP)







Mengetahui lebih awal adanya peralatan atau perubahan proses yang mungkin menghasilkan bahaya baru







Mengevaluasi sistem kontrol (monitoring)







Tinjauan terhadap penerapan teknologi baru untuk mengetahui adanya potensi bahaya







Tinjauan pelaksanaan inspeksi dan maintenance



37



38



C. Penilaian Resiko 2. Penilaian resiko dengan melakukan: a. Analisa tingkat keparahan, perkiraan seberapa besar dampak yang ditimbulkan bila resiko tersebut terjadi (severity)  1 = First aid (luka ringan diobati sendiri)  2 = Medical Treamnt Case (perawatan paramedis)  3 = Restricted Work Case (pemindahan tempat kerja)  4 = Lost Workdays Case (luka parah, kehilangan hari kerja lebih dari 2 minggu)  5 = Fatality (kematian/cacat tetap) b. Analisa tingkat kemungkinan terjadinya (probability analysis)  1 = Tidak mungkin terjadi  2 = Kemungkinan terjadi kecil  3 = Dapat terjadi  4 = Pernah terjadi  5 = Sering terjadi c. Analisa tingkat keseringannya (frekuensi analysis)  High : sering terjadi (beberapa kali dalam sebulan/setahun)  Medium : satu atau dua kali dalam setahun  Low :jarang dan hampir tidak pernah terjadi Tingkat Resiko = Probability x Severity Tingkat resiko: 



25 = Tingkat resiko sangat tinggi Kegiatan harus dihentikan dan perlu perhatian manajemen puncak







16 s/d 20 = Tingkat resiko tinggi Perlu perhatian manajemen puncak dan tindakan perbaikan segera dilakukan



39







8 s/d 15 = Tingkat resiko Substansial Lakukan perbaikan secepatnya dan tidak diperlukan keterlibatan manajemen puncak







3 s/d 6 = Tingkat resiko Menengah Tindakan perbaikan dapat dijadwalkan dan penanganan cukup dilakukan dengan prosedur yang ada 1 s/d 2 = Tingkat resiko diterima



Matrik Tingkat Resiko 5



4



3



2



1



5



25



20



15



10



5



4



20



16



12



8



4



3



15



12



9



6



3



2



10



8



6



4



2



1



5



4



3



2



1



D. Penanganan resiko Berdasarkan penilaian resiko kemudian ditentukan apakah resiko tersebut masih bisa diterima (acceptable risk) atau tidak (unacceptable risk) oleh suatu organisasi. Apabila resiko tersebut tidak bisa diterima maka organisasi harus menetapkan bagaimana resiko tersebut ditangani hingga tingkat dimana resikonya paling minimum/sekecil mungkin. Bila resiko mudah dapat diterima/tolerir maka organisasi perlu memastikan bahwa monitoring terus dilakukan terhadap resiko itu.



40



Hirarki pengendalian: a. Eliminasi Menghilangkan suatu bahan/tahapan proses berbahaya. b. Substitusi Mengganti bahan berbahaya dengan bahan yang tidak berbahaya. c. Rekayasa Teknik Modifikasi peralatan atau mesin agar lebih aman saat digunakan. d. Pengendalian Administratif Membuat aturan-aturan tertulis agar pekerja bekerja dengan aman. Contoh: SOP, IK, pelatihan karyawan, dsb e. Alat Pelindung Diri Menyediakan APD sesuai potensi bahaya yang dihadapi pekerja secara cuma-cuma



E. Pemantauan dan Tinjauan Ulang Setelah rencana tindakan pengendalian risiko dilakukan maka selanjutnya perlu dipantau dan ditinjau ulang apakah tindakan tersebut sudah efektif atau belum. Bentuk pemantauan antara lain : 



Inspeksi







Pemantauan Lingkungan







Audit



41



BAB XIII INVESTIGASI DAN ANALISIS KECELAKAAN



A. Dasar Hukum 1. UU No. 01 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja 2. Permenaker No. 03 tahun 1998 tentang Tata Cara Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan 3. Permenaker No. 04 tahun 1993 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja



B. Investigasi dan Analisis Kecelakaan Investigasi kecelakaan adalah suatu proses yang sistematis untuk menemukan/mengungkap fakta (penyebab dasar/akar) masalah dari suatu kecelakaan, dengan tujuan untuk menentukan tindakan perbaikan, sehingga kecelakaan dengan penyebab yang sama dapat dicegah/tidak terulang kembali. Penyebab dasar suatu kecelakaan: 1. Penyebab langsung a. Unsafe action atau perilaku tidak aman Berupa perilaku pekerja yang tidak memenuhi keselamatan, misalnya: kecerobohan, kelengahan, mengantuk, kelelahan, dsb. b. Unsafe condition atau kondisi tidak aman Berupa peralatan mesin, instalasi, bahan, cara kerja/proses, dan lingkungan yang tidak sesuai dengan ketentuan. 2. Penyebab tidak langsung Faktor Pribadi : “karakter / bawaan lahir”. Faktor Pekerjaan : efek dari pengaturan / sistem kerja yg salah. Sistematika investigasi kecelakaan kerja 1. Segera ke Lokasi (Amankan lokasi) b. Melihat lebih baik daripada mendengar.



41



42



c. Kendalikan & amankan lokasi. d. Penanganan keadaan darurat e. Kenali sumber informasi. f. Tentukan apa yg terjadi & tingkat keparahan 2. Tentukan tim investigasi 3. Identifikasi saksi & data pendukung a. Catat siapa saja yang dekat dengan lokasi kecelakaan b. Kumpulkan data pendukung : 



Dokumentasi / Paper Work







Photo







Skets



4. Interview korban & saksi. a. Terpisah (jaga kerahasiaan) b. Suasana rileks & nyaman c. Lakukan sesuai dengan persepsi & versinya d. Dengarkan dengan seksama, jangan disela e. Ajukan pertanyaan eksplorasi & penegasan f. Pusatkan pada pokok pembicaraan g. Gunakan alat bantu /peraga (jika diperlukan) h. Tutup dengan positif feed–back 5. Identifikasi penyebab langsung 



Kaji ulang antara data dengan kenyataan di lokasi







Singkirkan data/informasi yang tidak berhubungan







Kemungkinan (kondisi sebelum insiden)







Tentukan kronologi yang sebenarnya



6. Analisa penyebab dasar a. Mengetahui penyebab kecelakaan b. Mengetahui akibat kecelakaan



43



c. Untuk menentukan langkah apa yang perlu diambil 7. Menyusun tindakan perbaikan. 



Perlu keterlibatan top management.







Mulai dari akar masalah yang memiliki nilai resiko tinggi.







Mampu menjelaskan “apa yang harus dilakukan”.







Kombinasikan beberapa solusi untuk satu akar masalah.







Pikirkan : solusi ini aplikabel untuk cakupan yang lebih luas.







Sepakati dead line–nya dengan PIC.



44



BAB XIV K3 UAP DAN BEJANA TEKAN



A. Dasar Hukum 1. UU Uap 1930 2. Peraturan Uap 1930 3. UU No. 01 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja 4. Permenaker No. 37 tahun 2016 tentang K3 Bejana Tekan dan Tanki Timbun 5. Permenaker No. 01 tahun 1988 tentang Kwalifikasi dan Syarat-syarat Operator Pesawat Uap



B. Pesawat Uap Pesawat uap adalah ketel uap dan peralatan lainnya baik tersambung langsung maupun tidak langsung, berhubungan (atau tersambung) dengan suatu ketel uap dan diperuntukan bekerja dengan tekanan yang lebih besar dari tekanan udara. Ketel uap adalah suatu pesawat yang dibuat untuk mengubah air di dalamnya, sebagian menjadi uap dengan jalan pemanasan. Untuk pemanasan diperoleh dari pembakaran bahan bakar. Sehingga setiap ketel uap harus mempunyai atau dilengkapi dengan sebuah tangki pembakaran. Ketel uap dalam keadaan bekerja, sebagai bejana yang tertutup atau tidak berhubungan dengan udara luar, karena selama berlangsung pemanasan melalui bidang yang dipanaskan atau pemanasan dari ketel uap, maka air akan mendidih selanjutnya berubah menjadi uap panas dan menghasilkan tekanan yang berbahaya apabila tidak ada suatu upaya penanganan. Maka dari itu, pada setiap ketel uap terdapat appendages yang berfungsi sebagai peralatan pengaman pada pengoperasian ketel uap tersebut, akte ijin yang dikeluarkan oleh kepala jawatan pengawas keselamatan kerja dan operatornya harus memiliki lisensi K3/SIO (kelas I atau kelas II sesuai kapasitas ketel uap).



44



45



Berikut ini merupakan appendages dari sebuah ketel uap sesuai dengan undang-undang dan peraturan uap tahun 1930: 1. Tingkap pengaman/ safety valve (2 buah) 2. Pedoman tekanan/ manometer (1 buah) 3. Gelas pedoman air/ gelas penduga/WLG (2 buah) 4. Pompa pengisi/ feed water pump (1 buah) 5. Peluit bahaya/ alarm (1 buah) 6. TBAT/tanda air terendah yang diijinkan (1 buah) 7. Keran cabang tiga (1 buah) 8. Katub blowdown/ penguras kotoran yang mengendap 9. Lubang lalu orang/ man hole 10. Pelat nama (1 buah) Potensi bahaya pada pesawat uap: 1. Terjadi peledakan : ketika kehabisan air untuk dipanaskan 2. Terjadi kebakaran 3. Terkena semburan air panas 4. Terkena semburan uap air 5. Terkena semburan api 6. Terkena gas berbahaya 7. Runtuhan bangunan Sebuah ketel uap harus dilakukan pemeriksaan untuk meminimalisir terjadi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja, pemeriksaan yang dimaksud antara lain: 1. Pemeriksaan pertama Dilakukan sebelum ketel uap memiliki akte ijin atau sebagai syarat pembuatan akte ijin. 2. Pemeriksaan berkala Ketel uap kapal, minimal setahun sekali.



46



Ketel uap darat, minimal dua tahun sekali. Ketel uap loko, minimal tiga tahun sekali. 3. Pemeriksaan khusus : Dilakukan karena adanya reparasi, mutasi, umur pemakaian (35 tahun lakukan penelitian bahan) dan peledakan.



C. Bejana Tekan Bejana tekan adalah bejana selain pesawat uap yang di dalamnya terdapat tekanan dan dipakai untuk menampung gas, udara, campuran gas, atau campuran udara baik dikempa menjadi cair dalam keadaan larut maupun beku. Contoh: tabung LPG, tabung oksigen, kompresor, tabung CNG, dsb. Sedangkan tangki timbun adalah bejana selain bejana tekanan yang menyimpan atau menimbun cairan bahan berbahaya atau cairan lainnya, di dalamnya terdapat tekanan yang ditimbulkan oleh berat cairan dengan volume tertentu. Contoh: tangki bahan bakar minyak, tanksi cairan kimia, dsb. Potensi bahaya pemakaian bejana tekan dan tanki timbun: 1. Bahaya peledakan 2. Bahaya kebakaran 3. Bahaya keracunan 4. Bahaya pernafasan 5. Pencemaran lingkungan Tanki timbun berisi cairan mudah terbakar harus dilengkapi pengaman sebagai berikut: 1. Pelat nama, 2. Pipa pengaman 3. Indicator volume atau berat 4. Pengukur temperature 5. Katub pengisian dan pengeluaran



47



6. Lubang lalu orang/lubang pemeriksaan 7. Alat penyalur petir dan pembumian 8. Sarana pemadam kebakaran yang sesuai 9. Perlengkapan lainnya untuk pemeriksaan dan pemeliharaan Rambu-rambu pada lokasi tanki timbun: 1. Tanda bahaya kebakaran, 2. Larangan merokok, 3. Larangan membawa korek api, alat-alat api lainnya 4. Larangan membawa peralatan yang dapat menimbulkan peledakan atau kebakaran. 5. Larangan masuk bagi yang tidak berkepentingan 6. Jarak pagar 25 m dari dinding tangki timbun tinggi pagar 2 meter Bejana tekan dan tanki timbun wajib dilakukan pemeriksaan pertama, berkala, khusus dan ulang. Bejana tekan dan tanki timbun dilakukan pemeriksaan berkala setian 2 tahun dan pengujian setiap 5 tahun. Pelaksanaan riksa uji dilakukan oleh pengawas spesialis PUBT atau Ahli K3 spesialis PUBT, yang nantinya akan diberi surat keterangan. Setiap riksa uji baik memenuhi syarat maupun tidak memenuhi syarat K3, maka bejana akan diberi stiker tanda. Bejana yang tidak memenuhi syarat K3 dilarang dilakukan pengisian ulang dan harus dibongkar serta dipotong dengan prosedur kerja yang aman.



48



BAB XV K3 MEKANIK



A. Dasar Hukum 1. Permenaker No. 02 tahun 1982 tentang Kwalifikasi Juru Las 2. Permenaker No. 05 tahun 1985 tentang Pesawat Angkat Angkut 3. Permenaker No 38 tahun 2016 tentang K3 Pesawat Tenaga Dan Produksi 4. Permenaker No. 9 tahun 2010 tentang Operator dan Petugas Pesawat Angkat Angkut



B. Pesawat Tenaga Produksi 1. Penggerak mula Suatu pesawat yang mengubah suatu bentuk energi menjadi tenaga mekanik dan digunakan untuk menggerakkan pesawat atau mesin antara lain : motor pembakaran luar, motor pembakaran dalam, turbin air dan kincir angin 2. Perlengkapan transmisi tenaga mekanik 3. Mesin perkakas kerja Suatu pesawat atau alat untuk membentuk suatu bahan, barang, produk teknis dengan cara memotong, mengepres, menarik atau menumbuk antara lain : mesin asah, poles dan pelicin, alat tuang dan tempa, mesin pelubang, mesin pres, mesin rol, mesin gergaji, mesin ayak dan mesin pemisah, mesin gunting, mesin pengeping, mesin las dan pembelah. 4. Mesin produksi Semua mesin peralatan kerja yang digunakan untuk menyiapkan, membentuk atau membuat, merakit finishing, barang atau produk teknis antara lain : mesin moulding, mesin pak dan bungkus, mesin jahit dan rajut, mesin pintal dan tenun.



48



49



5. Dapur/tanur Suatu pesawat untuk pengolahan logam yaitu fabrikasi besi kasar dimana pengolahannya berlangsung dalam dapur baja dan fabrikasi besi tuang. Dapur/tanur yang dimaksud: dapur tinggi, dapur baja dan dapur besi. Setiap pekerjaan las harus dilakukan oleh juru las yang telah bersertifikat. Juru las digolongkan sebagai berikut: 1. Juru las kelas I Harus lulus percobaan las 1G, 2G, 3G, 4G, 5G dan 6G sehingga diijinkan untuk melakukan pekerjaan juru las kelas II dan III. 2. Juru las kelas II Harus lulus percobaan las 1G, 2G, 3G, dan 4G sehingga diijinkan untuk melakukan pekerjaan juru las kelas III. 3. Juru las kelas III Harus lulus percobaan las 1G dan 2G sehingga hanya diijinkan melakukan pekerjaan juru las kelas III.



C. Pesawat Angkat dan Angkut 1. Peralatan angkat Alat yang dikonstruksi atau dibuat khusus untuk mengangkat naik dan menurunkan muatan. Contoh: overhead crane, portal crane, tower crane, mobile crane, dll 2. Pita transport Suatu pesawat atau alat yang digunakan untuk memindahkan muatan secara kontinyu dengan menggunakan bantuan pita. Contoh: escalator. 3. Pesawat angkut di atas landasan dan di atas permukaan Alat yang digunakan untuk memindahkan muatan dengan menggunakan kemudi baik di dalam atau di luar pesawat. Contoh: forklift, loader, excavator, dump truck, dll.



50



4. Alat angkut jalan ril Suatu alat angkutan yang bergerak diatas jalan ril. Penyebab terjadinya kecelakaan pada pesawat angkat angkut, yaitu: a. Pemilihan atau penggunaan bahan yang tidak tepat b. Desain konstruksi yang menyimpang dari standar c. Pemeriksaan yang tidak lengkap d. Peralatan/perlengkapan yang tidak memenuhi persyaratan e. Pengoperasian dan perawatan yang tidak sesuai dengan prosedur dan pemeliharaan f. Kelalaian operator Setiap pesawat angkat angkut harus mempunyai sertifikat layak pakai sedangkan operator pesawat angkat angkut harus memiliki lisensi K3/SIO dari Depnaker. Operator pesawat angkat angkut krane diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Operator kelas I Mengoperasikan krane kapasitas > 100 ton atau tinggi menara lebih dari 60 meter. 2. Operator kelas II Mengoperasikan krane kapasitas 25-100 ton atau tinggi menara antara 4060 meter. 3. Operator kelas III Mengoperasikan krane kapasitas < 25 ton atau tinggi menara sampai dengan 40 meter. Sedangkan operator pesawat angkat angkut forklift diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Operator kelas I Mengoperasikan forklift dengan kapasitas lebih dari 15 ton



51



2. Operator kelas II Mengoperasikan forklift dengan kapasitas maksimum 15 ton Operator pesawat angkat dan angkut berkewajiban untuk: 1. Melakukan pengecekan terhadap kondisi atau kemampuan kerja pesawat angkat dan angkut, alat-alat pengaman, dan alat-alat perlengkapan lainnya sebelum pengoperasian; 2. Bertanggung jawab atas kegiatan pengoperasian pesawat angkat dan angkut dalam keadaan aman; 3. Tidak meninggalkan tempat pengoperasian pesawat angkat dan angkut, selama mesin dihidupkan; 4. Menghentikan pesawat angkat dan angkut dan segera melaporkan kepada atasan, apabila ada pengaman atau perlengkapan pesawat angkat dan angkut tidak berfungsi dengan baik atau rusak; 5. Mengawasi dan mengkoordinasikan operator kelas II dan operator kelas III bagi operator kelas I, dan operator kelas II mengawasi dan mengkoordinasikan operator kelas III; 6. Mematuhi peraturan dan melakukan tindakan pengamanan yang telah ditetapkan dalam pengoperasian pesawat angkat dan angkut; dan 7. Mengisi buku kerja dan membuat laporan harian selama mengoperasikan pesawat angkat dan angkut.



52



BAB XVI SMK3 A. Dasar Hukum 1. UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 2. UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja 3. PP No. 50 tahun 2012 tentang Penerapan SMK3



B. Penerapan SMK3 Sistem manajemen K3 (SMK3) adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif. Setiap perusahan wajib menerapkan SMK3 sesuai PP No 50 tahun 2012. Perusahaan yang wajib menerapkan SMK3 adalah perusahaan yang mempunyai karyawan lebih dari 100 orang atau mempunyai potensi bahaya besar. Penerapan SMK3 dilaksanakan meliputi: 1. Penetapan kebijakan 2. Perencanaan K3 3. Pelaksanaan rencana K3 4. Pemantauan dan evaluasi kinerja K3 5. Peninjauan dan peningkatan kinerja SMK3 Penjelasan secara rinci terhadap kelima tahapan tersebut termuat dalam Lampiran 1 PP No 50 tahun 2012.



C. Audit SMK3 Audit SMK3 adalah pemeriksaan secara sistematis dan independen terhadap pemenuhan kriteria yang telah ditetapkan untuk mengukur suatu hasil



52



53



kegiatan yang telah direncanakan dan dilaksanakan dalam penerapan SMK3 di perusahaan. 1. Audit internal Penilaian yang dilakukan oleh perusahaan sendiri, yang bertujuan menilai efektifitas penerapan SMK3 di perusahaan serta memberi masukan kepada pihak manajemen dalam rangka pengembangan secara terus menerus. Audit internal dilaksanakan minimal 1 kali dalam setahun dengan melibatkan seluruh bagian di perusahaan. Audit internal dilaksanakan oleh personil yang independen terhadap bagian yang diaudit. Pelaksana audit harus sudah mengikuti sertifikasi auditor SMK3 yang syarat utamanya harus memiliki sertifikat Ahli K3 Umum. 2. Audit eksternal Penilaian yang dilakukan oleh lembaga audit yang ditunjuk oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dalam rangka penilaian penerapan SMK3 di perusahan secara obyektif dan menyeluruh sehingga diperoleh pengakuan dari pemerintah atas penerapan SMK3 di perusahaan. Audit eksternal dilaksanakan setiap 3 tahun sekali. Penilaian hasil audit SMK3 terdiri dari 3 kategori, yaitu: a. Kategori tingkat awal (memenuhi 64 kriteria) b. Kategori tingkat transisi (memenuhi 122 kriteria) c. Kategori tingkat lanjutan (memenuhi 166 kriteria) Tingkat pencapaian penerapan SMK3 bagi setiap perusahaan yang telah melakukan penilaian penerapan SMK3, meliputi: a. Tingkat pencapaian penerapan sebesar 0 – 59% termasuk tingkat penilaian penerapan kurang. b. Tingkat pencapaian penerapan sebesar 60 – 84% termasuk tingkat penilaian penerapan baik.



54



c. Tingkat pencapaian penerapan sebesar 85%-100% termasuk tingkat penilaian penerapan memuaskan. Selain penerapan terhadap tingkat pencapaian penerapan SMK3 juga dilakukan penilaian terhadap perusahaan berdasarkan kriteria yang menurut sifatnya dibagi atas 3 (tiga) kategori, yaitu: a. Katerogi kritikal Temuan yang mengakibatkan fatality/ kematian b. Kategori mayor 



Tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan,







Tidak melaksanakan salah satu prinsip SMK3,







Terdapat temuan minor untuk satu kriteria audit di beberapa lokasi.



c. Kategori minor Ketidakkonsistenan dalam pemenuhan persyaratan peraturan perundangan atau acuan lainnya. D. Pengawasan SMK3 Pengawasan SMK3 dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan pusat, provinsi dan/atau kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya, dimana hasil pengawasan akan digunakan sebagai dasar pembinaan. Pengawasan tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Pembangunan dan terjaminnya pelaksanaan komitmen 2. Organisasi 3. Sumber daya manusia 4. Pelaksanaan peraturan perundang-undangan K3 5. Keamanan bekerja 6. Pemeriksaan, pengujian dan pengukuran penerapan SMK3 7. Pengendalian keadaan darurat dan bahaya industry 8. Pelaporan dan perbaikan kekurangan 9. Tindak lanjut audit