Laporan Pendahuluan Ikterik Neonatus [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN IKTERIK NEONATUS / HIPERBILIRUBIN



Nama



: Sahruni Anugrah Prihatin



NIM



: 202020461011053



Kelompok



:5



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2021



A.



DEFINISI Ikterik neonatus adalah warna kuning yang terlihat pada sklera, selaput lender, kulit atau organ lain pada nenonatus akibat kadar bilirubin dalam darah lebih dari 10 mg/dl pada 24 jam pertama kehidupan, dan terjadi karena bilirubin tidak terkonjugasi oleh hepar, sehingga tidak dapat dieksresikan dari tubuh dan menumpuk pada darah, bila tidak 8 ditangani dengan tepat dapat menimbulkan terjadinya kern ikterus yang merupakan kerusakan otak akibat perlekatan bilirubin indirek pada otak.Bilirubin merupakan hasil penguraian sel darah merah di dalam darah. Penguraian sel darah merah merupakan proses yang dilakukan oleh tubuh manusia apabila sel darah merah telah berusia 120 hari. Hasil penguraian hati (hepar) dan dikeluarkan dari badan melalui buang air besar (BAB) dan Buang air kecil (BAK) (Yuliana, Hidayah, & Wahyuni, 2018).



B.



ETIOLOGI Penyebab ikterik pada neonatus dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa factor, secara garis besar etioologi ikterik neonates : 1. Penurunan Berat Badan abnormal (7-8% pada bayi baru lahir yang menyusui ASI, >15% pada bayi cukup bulan) 2. Pola makan tidak ditetapkan dengan baik 3. Kesulitan transisi ke kehidupan ekstra uterin 4. Usia kurang dari 7 hari 5. Keterlambatan pengeluaran feses (meconium) 6. Produksi yang berlebihan Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis. 7. Gangguan dalam proses “uptake” dan konjugasi hepar Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom criggler-Najjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam “uptake” bilirubin ke sel hepar. 8. Gangguan transportasi Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,



sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak. 9. Gangguan dalam ekskresi Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar hepar. Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. Etiologi ikterus yang sering ditemukan ialah: hiperbilirubinemia fisiologik, inkompabilitas golongan darah ABO dan Rhesus, breast milk jaundice, infeksi, bayi dari ibu penyandang diabetes melitus, dan polisitemia/hiperviskositas (Auliasari, Etika, Krisnana, & Lestari, 2019). C.



MANIFESTASI KLINIS Dikatakan Hiperbilirubinemia apabila ada tanda-tanda sebagai berikut: 1. Warna kuning yang dapat terlihat pada sklera, selaput lender, kulit atau organ lain akibat penumpukan bilirubin 2. Ikterik terjadi pada 24 jam pertama 3. Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24 jam. 4. Konsentrasi bilirubin serum 10 mg% pada neonatus cukup bulan, dan 12,5 mg% pada neonatus kurang bulan. 5. Ikterik yang disertai proses hemolisis. 6. Ikterik yang disertai dengan berat badan lahir kurang 2000 gr, masa gestasi kurang 36 minggu, defikasi, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi trauma lahir kepala, hipoglikemia, hiperkarbia. (Widiawati, 2017)



D.



KLASIFIKASI 1. Ikterus Fisiologis Ikterus fisiologis sering dijumpai pada bayi dengan berat lahir rendah, dan biasanya akan timbul pada hari kedua lalu menghilang setelah minggu kedua. Ikterus fisiologis muncul pada hari kedua dan ketiga. Bayi aterm yang mengalami hiperbilirubin memiliki kadar bilirubin yang tidak lebih dari 12 mg/dl, pada BBLR 10 mg/dl, dan dapat hilang pada hari ke-14. Penyebabnya ialah karna bayi kekurangan protein Y, dan enzim glukoronil transferase. 2. Ikterus Patologis



Ikterus patologis merupakan ikterus yang timnbul segera dalam 24 jam pertama, dan terus bertamha 5mg/dl setiap harinya, kadal bilirubin untuk bayi matur diatas 10 mg/dl, dan 15 mg/dl pada bayi prematur, kemudian menetap selama seminggu kelahiran. Ikterus patologis sangat butuh penanganan dan perawatan khusus, hal ini disebabkan karna ikterus patologis sangat berhubungan dengan penyakit sepsis. Tanda-tandanya ialah : a) Ikterus muncul dalam 24jam pertama dan kadar melebihi 12mg/dl. b) Terjadi peningkatan kadar bilirubin sebanyak 5 mg/dl dalam 24jam. c) Ikterus yang disertai dengan hemolisis. d) Ikterus akan menetap setelah bayi berumur 10 hari pada bayi aterm, dan 14 hari pada bayi BBLR. Pembagian Derajat Ikterus/Jaundice menurut kramer, derajat bilirubin pada bayi dibagi menjadi 5: 1. Derajat I, meliputi kepala dan leher dengan perkiraan kadar Bilirubin 5,0% dan rata-rata serum Bilirubin Indirect 100 μmol/L 2. Derajat II, meliputi badan bagian atas dengan perkiraan kadar Bilirubin 9,0% dan rata-rata serum Billirubin Indirect 150 μmol/L 3. Derajat III, meliputi badan bawah hingga tungkai dengan perkiraan kadar Bilirubin 11,4% dan rata-rata serum Billirubin Indirect 200 μmol/L 4. Derajat IV, meliputi lengan, kaki, lutut dengan perkiraan kadar Bilirubin 12,4% dan rata-rata serum Billirubin Indirect 250 μmol/L 5. Derajat V, meliputi telapak tangan dan kaki dengan perkiraan kadar Bilirubin 16% dan rata-rata serum Billirubin Indirect >250 μmol/L



E.



PATOFISIOLOGI Sel darah merah rusak Hemoglobin Heme



Prematuritas



Fungsi hepar tenganggu



Biliverdin



Pemecahan bilirubin berlebihan



Kerusakan sel darah merah



Immaturitas hepar



Globin



Gangguan konjugasi bilirubin



Hemolisis



Peningkatan produksi bilirubin Hepar



Gangguan melakukan konjugasi



Peningkatan inkompatibilitas darah Rh, ABO, dan sepsis Kelainan sel darah merah, infeksi



Uptake bilirubin ke sel hepar gagal Bilirubin akan terus bersirkulasi



Bilirubin gagal dipecah



Suplai bilirubin melebihin kemampuan



Hiperbilirubinemi a



Hepar gagal berkonjugasi Bilirubin bersikulasi kembali Sebagian masuk ke siklus enterohepatik



Defisiensi protein “Y”



Peningkatan bilirubin unconjugated dalam darah



Icterus pada sclera dan leher, peningkatan bilirubin >12mg/dl



Ikterik Neonatus



Gangguan system tubuh



System pencernaan



System Integumen



System Persyarafan



Indikasi fototerapi



Reflek hisap menurun



Defisiensi Protein “Y”



Kelebihan bilirubin indirek



Sinar intensitas tinggi



Bayi malas menyusu



Bilirubin indirek terus bersirkulasi ke jaringan perifer



Akumulasi bilirubin dalam darah tidak di ekskresikan



Gangguan suhu tubuh



Nutrisi yang dicerna sedikit MK : Defisit Nutrisi



MK : Ikterik Neonatus



Kadar bilirubin >20mg/dl



Kadar bilirubin >12mg/dl



MK : Hipertermi



Menumpuk dan melekat di sel otak Kern ikterus Kejang dan penurunan kesadaran



Kematian



Evaporasi berlebihan



Indikasi tranfusi tukar



MK : Resiko gangguan integritas kulit



MK : Resiko Hipovolemia



MK : Resiko infeksi



F.



PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan pada ikterik neonatus adalah : 1. Kadar bilirubin serum (total). Kadar bilirubin serum direk dianjurkan untuk diperiksa, bila dijumpai bayi kuning dengan usia kurang lebih dari 10 hari dan tau dicurigai adanya suatu kolestatis. 2. Darah tepi lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk melihat morfologi eritrosit dan hitumg retikulosit 3. Penentuan golongan darah dan factor Rh dari ibu dan bayi. Bayi yang berasal dari ibu dengan Rh negative harus dilakukan pemeriksaan golongan darah, faktor Rh uji coombs pada saat bayi dilahirkan, kadar hemoglobin dan bilirubin tali pusat juga diperiksa (Normal bila Hb >14mg/dl dan bilirubin Tali Pusat , < 4 mg/dl ). 4. Pemeriksaan enzim G-6-PD (glukuronil transferase ). 5. Pada Ikterus yang lama, lakukan uji fungsi hati, dapat dilanjutkan dengan USG hati, sintigrafi system hepatobiliary, uji fungsi tiroid, uji urine terhadap galaktosemia. 6. Bila secara klinis dicurigai sepsis, lakukan pemeriksaan kultur darah, dan pemeriksaan C reaktif protein (CRP). (Hidayat, 2011)



G.



PENATALAKSANAAN 1. Mempercepat proses konjugasi, misalnya pemberian fenobarbital. Fenobarbital dapat bekerja sebagai perangsang enzim sehingga konjugasi dapat dipercepat. 2. Memberikan substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi. Contohnya ialah pemberian albumin untuk meningkatkan bilirubion bebas. 3. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi ini ternyata setelah dicoba dengan alat-alat bantuan sendiri dapat menurunkan bilirubin dengan cepat. Walaupun demikian fototerapi tidak dapat menggantikan transfusi tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra dan pasca transfusi tukar. Fototerapi Dilakukan apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 10 mg% dan berfungsi untuk menurunkan bilirubin dalam kulit melalui tinja dan urin dengan oksidasi foto pada bilirubin dari biliverdin. 4. Fenoforbital Dapat mengekskresi bilirubin dalam hati dan memperbesar konjugasi. Meningkatkan



sintesis



hepatis



glukoronil



transferase



yang



mana



dapat



meningkatkan bilirubin konjugasi dan clearance hepatik pada pigmen dalam



empedu, sintesis protein dimana dapat meningkatkan albumin untuk mengikat bilirubin. Fenobarbital tidak begitu sering dianjurkan. 5. Transfusi Tukar Apabila sudah tidak dapat ditangani dengan fototerapi atau kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg%. 6. Bilirubin Indirek Penatalaksanaanya dengan metode penjemuran dengan sinar ultraviolet ringan yaitu dari jam 7.oo – 9.oo pagi. Karena bilirubin fisioplogis jenis ini tidak larut dalam air. 7. Bilirubin Direk Penatalaksanaannya yaitu dengan pemberian intake ASI yang adekuat. Hal ini disarankan karna bilirubin direk dapat larut dalam air, dan akan dikeluarkan melalui sistem pencernaan. (Atikah & Jaya, 2015) H.



PENGKAJIAN 1. Identitas, seperti : Bayi dengan kelahiran prematur, BBLR, dan lebih sering diderita oleh bayi laki-laki. 2. Keluhan utama Bayi terlihat kuning dikulit dan sklera, letargi, malas menyusu, tampak lemah, dan BAB berwarna pucat. 3. Riwayat kesehatan a) Riwayat kesehatan sekarang Keadaan umum bayi lemah, sklera tampak kuning, letargi, refleks hisap kurang, pada kondisi bilirubin indirek yang sudah 20mg/dl dan sudah sampai ke jaringan serebral maka bayi akan mengalami kejang dan peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai dengan tangisan melengking. b) Riwayat kesehatan dahulu Biasanya ibu bermasalah dengan hemolisis. Terdapat gangguan hemolisis darah (ketidaksesuaian golongan Rh atau golongan darah A,B,O). Infeksi, hematoma, gangguan metabolisme hepar obstruksi saluran pencernaan, ibu menderita DM. Mungkin praterm, bayi kecil usia untuk gestasi (SGA), bayi dengan letardasio pertumbuhan intra uterus (IUGR), bayi besar untuk usia gestasi (LGA) seperti bayi dengan ibu diabetes. Terjadi lebih sering pada bayi pria daripada bayi wanita. c) Riwayat kehamilan dan kelahiran Antenatal care yang kurang baik, kelahiran prematur yang dapat menyebabkan maturitas pada organ dan salah satunya hepar, neonatus dengan berat badan lahir rendah, hipoksia dan asidosis yang akan menghambat konjugasi bilirubin, neonatus dengan APGAR score rendah juga memungkinkan terjadinya hipoksia serta asidosis yang akan menghambat konjugasi bilirubin.



4. Pemeriksaan fisik a) Kepala-leher. Ditemukan adanya ikterus pada sklera dan mukosa. b) Dada Ikterus dengan infeksi selain dada terlihat ikterus juga akan terlihat pergerakan dada yang abnormal. c) Perut Perut membucit, muntah, kadang mencret yang disebabkan oleh gangguan metabolisme bilirubin enterohepatik. d) Ekstremitas Kelemahan pada otot. e) Kulit Menurut rumus kramer apabila kuning terjadi di daerah kepala dan leher termasuk ke grade satu, jika kuning pada daerah kepala serta badan bagian atas digolongkan ke grade dua. Kuning terdapat pada kepala, badan bagian atas, bawah dan tungkai termasuk ke grade tiga, grade empat jika kuning pada daerah kepala, badan bagian atas dan bawah serta kaki dibawah tungkai, sedangkan grade 5 apabila kuning terjadi pada daerah kepala, badan bagian atas dan bawah, tungkai, tangan dan kaki. f) Pemeriksaan neurologis Letargi, pada kondisi bilirubin indirek yang sudah mencapai jaringan serebral, maka akan menyebabkan kejang-kejang dan penurunan kesadaran. g) Urogenital Urine berwarna pekat dan tinja berwarna pucat. Bayi yang sudah fototerapi biasa nya mengeluarkan tinja kekuningan. 5. Pemeriksaan diagnostik a) Pemeriksaan bilirubin serum Bilirubin pada bayi cukup bulan mencapai puncak kira-kira 6 mg/dl, antara 2 dan 4 hari kehidupan. Jika nilainya diatas 10 mg/dl yang berarti tidak fisiologis, sedangkan bilirubin pada bayi prematur mencapai puncaknya 10-12 mg/dl, antara 5 dan 7 hari kehidupan. Kadar bilirubin yang lebih dari 14 mg/dl yaitu tidak fisiologis. Ikterus fisiologis pada bayi cukup bulan bilirubin indirek munculnya ikterus 2 sampai 3 hari dan hilang pada hari ke 4 dan ke 5 dengan kadar bilirubin yang mencapai puncak 10-12 mg/dl, sedangkan pada bayi dengan prematur bilirubin indirek munculnya sampai 3 sampai 4 hari dan hilang 7 sampai 9 hari dengan kadar bilirubin yang mencapai puncak 15 mg/dl/hari. Pada ikterus patologis meningkatnya bilirubin lebih dari 5 mg/dl perhari. b) Ultrasound untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu c) Radioisotope scan dapat digunakan untuk membantu membedakan hepatitis dan atresia biliary.



6.



Data penunjang a) Pemeriksaan kadar bilirubin serum (total) (normal = < 2mg/dl) b) Pemeriksaan darah tepi lengkap dan gambaran apusan darah tepi. c) Penentuan golongan darah dari ibu dan bayi. d) Pemeriksaan kadar enzim G6PD. e) Pada ikterus yang lama, lakukan uji fungsi hati, uji fungsi tiroid, uji urin terhadap galaktosemia. f) Bila secara klinis dicurigai sepsis, lakukan pemeriksaan kultur darah, urin, IT rasio dan pemeriksaan C reaktif protein (CPR).



I.



DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Ikterus Neonatus 2. Risiko infeksi 3. Defisit Nutrisi



J.



INTERVENSI KEPERAWATAN



NO 1



DIAGNOSA KEPERAWATAN Ikterus Neonatus Setelah



SLKI dilakukan



SIKI tindakan Fototerapi Neonatus



keperawatan selama 3 x 24 jam, Observasi : diharapkan masalah pasien dapat 1.



Monitor ikterik pada sclera dan



teratasi dengan kriteria hasil :



kulit bayi



Adaptasi Neonatus :



2.



Identifikasi



kebutuhan



cairan



1.



Berat badan meningkat



sesuai dengan usia gestasi dan



2.



Membran mukosa kuning



BB



menurun



3.



3.



Kulit kuning menurun



4.



Sclera kuning menurun



5. 6.



Monitor suhu dan tanda vital setiap 4 jam sekali Monitor



efek



samping



Keterlambatan pengeluaran



fototerapin



(mis.



Hipertermi,



fases menurun



diare, rush pada kulit, penurunan



Aktivitas membaik



4.



ekstermitas



BB lebih drai 8-10%) Terapeutik : 5.



Siapkan lampu fototerapi dan



incubator atau kotak bayi 6.



Lepaskan pakaian bayi kecuali popok



7.



Berikan



penutup



mata



(eye



protector) pada bayi 8.



Ukur



jarak



lampu



dan



permukaan kulit bayi(30cm atau terganung



spesifikasi



lampu



fototerapi) 9.



Biarkan tubuh bayi terpapar sinar



fototerapi



secara



berkelanjutan 10. Gabti segera alas dan popok bayi jika BAK/BAB 11. Gunakan linen berwarna putih agar



memantulkan



cahaya



sebanyak mungkin Edukasi : 12. Anjurkan ibu menyusui sekitar 20-3- menit 13. Anjurkan ibu menyusui sesering mungkin Kolaborasi : 14. Kolaborasi pemeriksaan darah 2



Risiko infeksi



vena bilirubin direk dan indirek tindakan Pemantauan Tanda Vital : Observasi : keperawatan selama 3x 24 jam 1. Monitor TD diharapkan masalah pasien 2. Monitor nadi (frekuensi, kekuatan, irama) teratasi dengan kriteria hasil : 3. Monitor pernapasan (frekuensi Tingkat Infeksi kedalaman 4. Monitor suhu tubuh 1. Demam menurun 5. Monitor oksimetri nadi 2. Kemerahan menurun 6. Monitor tekanan nadi (selisih YDS dan TDD) 3. Bengkak menurun 7. Identifikasi penyebab perubahan 4. Latergi menurun tanda vital Setelah



dilakukan



5.



3



Defisit Nutrisi



Kadar



sel



darh



putih Terapeutik : 8. Atur interval pemantauan sesuai membaik kondisi pasien 6. Kultur darah membaik 9. Dokumentasikan hasil pemantauan 7. Nafsu makan membaik Edukasi : 10. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan 11. Informasikan hasil pemanatauan, jika perlu Setelah dilakukan tindakan Pemberian Makan Enteral keperawatan selama 3x 24 jam Observasi : 1. Periksa posisi nasogastric tube diharapkan masalah pasien dapat (NGT) dengan memeriksan residu teratasi dengan krieria hasil : lambung atau mengauskultasi hembusan udara 1. Porsi 2. Monitor tetesan makanan pada makan yang dihabiskan pompa setiap jam meningkat 3. Monitor rasa penuh, mual, dan muntah 2. Kekuatan 4. Monitor residu lambung tiap 4-6 otot meningkat jam selama 24 jam pertama, 3. Serum kemudian tiap 8 jam selama pemberian makanan via enteral, albumin meningkat jika perlu 4. BB Terapeutik : membaik 5. Gunakan teknik bersih dalam 5. IMT pemberian makanan via selang 6. Berikan tanda pada selang untuk membaik mempertahankan lokasi yang tepat 7. Tinggikan kepala tempat tidur 30450 selama pemberian makanan 8. Ukur residu sebelum pemberian makanan 9. Peluk dan bicara pada bayi selam diberikan makanan untuk menstimulasi aktivitas makanan 10.Irigasi selang dengan 30ml air setiap 4-6 jam selama pemberian makanan dan setelah pemberian makanan intermiten 11.Hindari pemberian makanan lewat selang 1 jam sebelum prosedur atau pemindahan pasien



12.Hindari pemberian makanan jika residu lebih dari 150cc atau lebih dari 110%-120% dari jumlah makanan tiap jam Edukasi : 13.Jelaskn tujuan dan langkahlangkah prosedur Kolaborasi : 14. Kolaborasi pemeriksaan sinar X untuk konfirmasi posisi selang, jika perlu 15.Kolaborasi pemilihan jenis dan jumlah makanan enteral.



DAFTAR PUSTAKA



Atikah, & Jaya. (2015). Buku Ajar Kebidanan Pada Neonatus, Bayi, dan Balita. Jakarta: CV.Trans Info Media. Auliasari, N. A., Etika, R., Krisnana, I., & Lestari, P. (2019). Faktor Risiko Kejadian Ikterus Neonatorum. PEDIOMATERNAL NURSING JOURNAL, Vol. 5, No. 2 Page:183-188. Hidayat, A. A. (2011). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika. POKJA DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan. Jakarta. Dewan Pengurus Pusat POKJA DPP PPNI. (2017). Standar Luaran Keperawatan. Jakarta. Dewan Pengurus Pusat POKJA DPP PPNI. (2017). Standar Intervensi Keperawatan. Jakarta. Dewan Pengurus Pusat Widiawati, S. (2017). Hubungan sepsis neonatorum, BBLR dan asfiksia dengan kejadian ikterus pada bayi baru lahir . Riset Informasi Kesehatan, Vol. 6 No.1 Page : 52-57. Yuliana, F., Hidayah, N., & Wahyuni, S. (2018). THE CORRELATION FREQUENCY OF BREASTFEEDING WITH INCIDENCE OF NEONATAL JAUNDICE AT DR. H. MOCH ANSARI SALEH HOSPITAL BANJARMASIN. Dinamika Kesehatan, Vol 9 N0. 1 page 526-534.