Neonatus Ikterik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2020



MINI CLINICAL EXAM



NO.RM : 316927



KASUS IDENTITAS Nama Lengkap : By. S Jenis Kelamin TTL : 05/01/2021 Umur Pekerjaan Ayah : Swasta Umur Ayah Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga Umur Ibu Alamat : Kandangan, Temanggung Masuk RS. tanggal : 06 Januari 2021 Preceptor: dr. Indah Nurhayati, Sp.A Ko-asisten: Dwi Wijayanti I.



:P : 0 th 0 bln 1 hari : 45 th : 40 th



ANAMNESIS (Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan orangtua pasien pada tanggal 07/01/2021 pada pukul 06.30 di bangsal Melati RSUD Kab. Temanggung) A. Keluhan Utama



: Tubuh berwarna kuning



Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke IGD RSUD Temanggung, rujukan dari RS Gunungsawo dengan keluhan sejak 1 hari setelah lahir, bayi Ny. S tampak kuning. Pasien dirujuk karena membutuhkan alat untuk fototerapi. Bayi terlihat bugar, menangis kuat, gerak aktif. Keluhan kuning tidak disertai panas badan, kejang, ataupun penurunan kesadaran. Buang air besar tidak tampak dempul dan buang air kecil tidak tampak berwarna teh pekat. Bayi Ny. S lahir Sectio Caesarea atas indikasi PEB dengan BBL 3055 gram, Panjang badan : 54 cm, lingkar kepala/ lingkar dada/ lingkar lengan atas : 33 cm/ 31 cm/ 11 cm. APGAR score : tidak didapatkan data. Usia kehamilan : 39 minggu. Air ketuban jernih, BAB (+) , BAK (+). Saat diperiksa bayi terlihat bergerak aktif, menangis kuat. Vital sign suhu : 36,7 C: heart rate : 120 x/menit : dan respirasi : 40 x/menit. Dari pengamatan ditemukan kramer grade IV. B.



Riwayat Penyakit Dahulu 1. Riwayat kejang demam (-) 2. Riwayat penyakit kelainan darah (-) 3. Riwayat tranfusi (-) 4. Riwayat alergi makanan atau obat (-)



C.



Riwayat Penyakit Keluarga 1. Riwayat penyakit serupa (-) 2. Riwayat alergi (-) RM.01.



FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2020



MINI CLINICAL EXAM D.



NO.RM : 316927



Genogram 40t h



45th



1 hari



E.



Riwayat Personal 1. Riwayat Kehamilan dan Persalinan a. Riwayat Kehamilan: - Riwayat keguguran (-). - Keluhan selama hamil : hipertensi (+) diabetes mellitus (-) penyakit jantung (-) asma (-) - Konsumsi obat-obatan/jamu selama hamil di sangkal. - Asupan makanan selama hamil tercukupi. - Infeksi/sakit/mondok selama hamil disangkal. b. Riwayat Persalinan: Ibu melahirkan secara SC dengan usia kehamilan ±39 minggu. BBL: 3055 gram, PB: 48 cm. Keadaan bayi saat lahir: langsung menangis (+). Pemberian injeksi vitamin K dan tetes mata antibiotik pada bayi setelah lahir tidak diketahui. c. Riwayat Paska Persalinan: Keadaan setelah persalinan ibu dan bayi selamat. Berdasarkan alloanamnesis, bayi langsung menangis. Kulit bayi kuning (-). Kulit mengelupas (-) Kesan: Riwayat kehamilan baik, bayi lahir cukup bulan, berat lahir normal 2. Riwayat Nutrisi Bayi minum susu formula saat dirawat di Melati, minum kuat (+). 3. Riwayat Imunisasi



Imunisasi



Waktu Pemberian (Booster)



Bulan 0



1



2



3



4



5



6



9



15



18



5



Tahun 10 12



BCG RM.02.



FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2020



MINI CLINICAL EXAM



NO.RM : 316927



Polio Hepatitis B



I



Hib DPT Campak MMR Kesan : Imunisasi pasien lengkap sesuai usia. F.



Anamnesis Sistem a. SSP



: Sadar (+), tampak lemah (+), demam (-), kejang (-).



b. Sistem kardiovaskuler



: Berdebar-debar (-), sianosis (-) pada bibir dan kuku



c. Sistem respirasi



: Sesak nafas(-), batuk (-), pilek (-).



d. Sistem gastrointestinal



: Nyeri perut (-), nafsu makan berkurang(-) mual



muntah (-), BAB cair (-) e. Sistem urogenital



: BAK warna kuning, frekuensi berkemih normal,



tidak nyeri f. Sitem integumentum



: Pucat (+), Kuning (+) seluruh tubuh, Ruam (-),



Ptekie (-) g. Sistem Muskuloskeletal II.



: Nyeri otot (-)



PEMERIKSAAN FISIK (Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 07/01/2020 pada pukul 06.00 di bangsal Melati RSUD Kab. Temanggung) 1.



Kesan Umum



: Tampak lemas, keadaan sakit sedang



2.



Kesadaran



: Compos mentis



3.



Tanda vital



4.



Nadi



: 111 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup



Pernapasan



: 24x/menit



Suhu



: 36,7O C



SpO2



: 100%



Status Gizi BB: 3055 gram PB: 54 cm RM.03.



FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2020



MINI CLINICAL EXAM



NO.RM : 316927



LK: 33 cm LD: 31 cm LLA: 11 cm 5.



Pemeriksaan Fisik a.



Kepala 



Kepala



: Normocephali.







Mata



: Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (+/+), reflex cahaya (+),



pupil isokor, mata cekung (-)



b.







Hidung



: Pernafasan Cuping hidung (-), sekret (-) jernih, epistaksis (-).







Mulut



: Bibir lembab, mukosa bibir tidak pucat, sianosis (-), lidah kotor (-)







Telinga : Normotia, Hiperemis (-), nyeri tekan (-), otore (-).



Leher Simetris, pembesaran limfonodi (-), pembesaran kelenjar tiroid (-).



c.



Thorax 







d.



Paru-paru - Inspeksi



: Pergerakan dada simetris, retraksi subcostal (+) minimal.



- Palpasi



: Vokal fremitus sama kanan dan kiri, tidak meningkat.



- Perkusi



: Sonor pada kedua lapang paru



- Auskultasi



: suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)



Jantung - Inspeksi



: Iktus kordis tak tampak. Thrill (-)



- Palpasi



: Massa (-)



- Perkusi



: Tidak dilakukan



- Auskultasi



: S1-S2 reguler, murmur (-) gallop (-)



Abdomen - Inspeksi: datar, distensi (-) - Auskultasi: Bising usus (+) - Perkusi: batas hepar dan lien dalam batas normal - Palpasi



: Nyeri tekan (-) RM.04.



FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2020



MINI CLINICAL EXAM



NO.RM : 316927



- Ekstremitas : Akral hangat (+/+), tampak kuning(+/+), sianosis (-), CRT 2 mg/ 100 ml serum). Penumpukan bilirubin dalam aliran darah menyebabkan pigmentasi kuning dalam plasma darah yang menimbulkan perubahan warna pada jaringan yang memperoleh banyak aliran darah tersebut. Kadar bilirubin serum akan menumpuk jika produksinya dari heme melampaui metabolisme dan ekskresinya. Ketidakseimbangan antara produksi dan pembersihan dapat terjadi akibat pelepasan prekursor bilirubin secara berlebihan ke dalam aliran darah atau akibat proses fisiologi yang mengganggu ambilan hepar, metabolisme ataupun ekskresi metabolit ini. Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal di sklera mata, dan bila ini terjadi kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dL (34-43 mmol/L) atau sekitar 2 kali batas atas kisaran normal. Kadar bilirubin direk normal adalah : 0-0,3 mg/dL, dan kadar normal bilirubin total: 0,3-1,0 mg/dL. Jaringan sklera kaya dengan elastin yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap bilirubin, sehingga ikterus pada sklera biasanya merupakan tanda yang lebih sensitif untuk menunjukkan hiperbilirubinemia daripada ikterus yang menyeluruh. Tanda dini yang serupa untuk hiperbilirubinemia adalah warna urin yang gelap yang terjadi akibat ekskresi bilirubin lewat ginjal dalam bentuk bilirubin glukoronid. B. ETIOLOGI Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat disebabkan oleh faktor/ keadaan, antara lain: 1. Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus (Rh), defisiensi Glukosa 6 phosphate dehidrogenase (G6PD), sferositosis herediter dan pengaruh obat. 2. Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin. 3. Polisitemia. 4. Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir. 5. Ibu diabetes.



6. Asidosis. 7. Hipoksia/asfiksia. 8. Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor intrahepatik dan ekstra hepatik yang bersifat fungsional atau disebabkan oleh obstruksi mekanik. 9. Sumbatan



traktus



digestif



yang



mengakibatkan



peningkatan



sirkulasi



enterohepatik. C. KLASIFIKASI IKTERIK NEONATORUM 1. Ikterus Fisiologis Ikterus neonatorum fisiologis merupakan hasil dari terjadinya fenomena berikut: a. Peningkatan produksi bilirubin karena peningkatan penghancuran eritrosit janin (hemolisis). Hal ini adalah hasil dari pendeknya umur eritrosit janin dan massa eritrosit yang lebih tinggi pada neonatus (kadar hemoglobin/ Hb neonatus cukup bulan sekitar 16,8 gr/dl). b. Kapasitas ekskresi yang rendah dari hepar karena konsentrasi rendah dari ligan protein pengikat di hepatosit (rendahnya ambilan) dan karena aktivitas yang rendah dari glukuronil transferase, enzim yang bertanggung jawab untuk mengkonjugasikan bilirubin dengan asam glukuronat sehingga bilirubin menjadi larut dalam air (konjugasi). c. Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih sedikitnya flora normal di usus dan gerakan usus yang tertunda akibat belum ada ambilan nutrisi. Pada keadaan normal, kadar bilirubin indirek bayi baru lahir adalah 1-3 mg/dl dan naik dengan kecepatan < 5 mg/dl/24 jam, dengan demikian ikterus fisiologis dapat terlihat pada hari ke-2 sampai ke-3, berpuncak pada hari ke-2 dan ke-4 dengan kadar berkisar 5-6 mg/dL (86-103 μmol/L), dan menurun sampai di bawah 2 mg/dl antara umur hari ke-5 dan ke-7. Secara umum karakteristik ikterus fisiologis adalah sebagai berikut: 



Timbul pada hari kedua – ketiga.







Kadar bilirubin indirek setelah 24 jam tidak melewati 15 mg % pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % per hari pada neonatus kurang bulan.







Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg % perhari.







Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg %.







Kadar bilirubin indirek pada bayi cukup bulan menurun sampai pada kadar orang dewasa (1 mg/dl) pada umur 10-14 hari.







Tidak mempunyai dasar patologis.



Pada bayi prematur kenaikan bilirubin serum cenderung sama atau lebih lambat daripada kenaikan bilirubin bayi cukup bulan, tetapi jangka waktunya lebih lama, biasanya menimbulkan kadar yang lebih tinggi, puncaknya dicapai pada hari ke-4 dan ke-7. 2. Ikterus Patologis Peningkatan level bilirubin indirek yang lebih tinggi lagi tergolong patologis yang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan. Beberapa keadaan berikut tergolong dalam ikterus patologis, antara lain: a.



Timbul



dalam



24



jam



pertama kehidupan. b.



Bilirubin indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan >10 mg/dL.



c.



Peningkatan bilirubin total> 5 mg/dL/24 jam.



d.



Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.



e.



Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah, defisiensi G6PD, atau sepsis).



f.



Ikterus yang disertai oleh: berat lahir 8 hari (pada aterm) atau >14 hari (pada prematur).



h.



Tingginya kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologik tersebut tidak selalu sama pada tiap bayi tergantung usia gestasi, berat badan bayi dan usia bayi saat terlihat kuning. Penyebab yang sering adalah hemolisis akibat inkompatibilitas golongan darah atau Rh (biasanya kuning sudah terlihat pada 24 jam pertama), dan defisiensi enzim G6PD. Pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk neonatal jaundice yaitu early dan



late. Bentuk early onset diyakini berhubungan dengan proses pemberian minum, sedangkan bentuk late onset berhubungan dengan kandungan ASI yang mempengaruhi proses konjugasi dan ekskresi. Pengaruh late onset berhubungan dengan adanya faktor spesifik dari ASI yaitu 2α-20β-pregnandiol yang mempengaruhi aktifitas UDPGT atau pelepasan bilirubin konjugasi dari hepatosit; peningkatan aktifitas lipoprotein lipase yang kemudian melepaskan asam



lemak bebas ke dalam usus halus; penghambatan konjuhagi akibat peningkatan asam lemak unsaturated, atau β-glukoronidase atau adanya faktor lain yang meningkatkan jalur enterohepatik. Pemberian air susu ibu (ASI). Harus dibedakan antara



breast-milk



jaundice dan breastfeeding jaundice.



a. Breastfeeding jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh kekurangan asupan ASI. Biasanya timbul pada hari ke-2 atau ke-3 pada waktu produksi ASI belum banyak. Untuk neonatus cukup bulan sesuai masa kehamilan (bukan bayi berat lahir rendah), hal ini tidak perlu dikhawatirkan, karena bayi dibekali cadangan lemak coklat, glikogen, dan cairan yang dapat mempertahankan metabolisme selama 72 jam. Walaupun demikian keadaan ini dapat memicu terjadinya hiperbilirubinemia, yang disebabkan peningkatan sirkulasi enterohepatik akibat kurangnya asupan ASI. Ikterus pada bayi ini tidak selalu disebabkan oleh breastfeeding jaundice, karena



dapat saja merupakan hiperbilirubinemia



fisiologis.



b. Breast-milk jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh air susu ibu (ASI). Insidens pada bayi cukup bulan berkisar 2-4%. Pada sebagian besar bayi, kadar bilirubin turun pada hari ke-4, tetapi pada breast-milk jaundice, bilirubin terus naik, bahkan dapat mencapai 20-30 mg/dL pada usia 14 hari. Bila ASI dihentikan, bilirubin akan turun secara drastis dalam 48 jam. Bila ASI diberikan kembali, maka bilirubin akan kembali naik tetapi umumnya tidak akan setinggi sebelumnya. Bayi menunjukkan pertambahan berat badan yang baik, fungsi hati normal, dan tidak terdapat bukti hemolisis.  Breast-milk jaundice dapat berulang (70%)



pada



kehamilan



berikutnya.



Mekanisme



sesungguhnya



yang



menyebabkan breast-milk jaundice  belum diketahui, tetapi diduga timbul akibat terhambatnya



uridine



diphosphoglucuronic



acid



glucuronyl



transferase



(UDGPA) oleh hasil metabolisme progesteron, yaitu pregnane-3-alpha 2-betadiol yang ada di dalam ASI sebagian ibu. D. PATOFISIOLOGI IKTERIK NEONTORUM Pembentukan bilirubin Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses oksidasi-reduksi. Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme



oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati dan organ lain. Pada reaksi tersebut, terbentuk besi yang digunakan kembali untuk pembentukan hemoglobin. Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan diubah menjadi bilirubin melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat larut. Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari katabolisme heme hemeglobin dari eritrosit. Satu gram hemoglobin akan menghasilkan 34 mg bilirubin dan sisanya (25%) disebut early labelled didalam sumsum tulang, jaringan yang mengandung protein heme (mioglobin, sitokrom, katalase, peroksidase), dan heme bebas. Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10 mgg/kgBB/hari, sedangkan otang dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada BBL disebabkan masa hidup eritrosit lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan orang dewasa (120 hari), peningkatan degenerasi heme, turn over sitokrom yang meningkat dan juga reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat. Transportasi Bilirubin Pembentukan bilirubin yang terjadi di RES, selanjutnya dilepaskan ke sirkulasi akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendah dan kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang terikat pada albumin serum ini merupakan zat polar dan tidak larut dalam air dan kemudian akan ditransportasi ke sel hepar. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susunan saraf pusat dan bersifat non toksik. Pada bayi kecil bulan, ikatan bilirubin akan lebih lemah yang umumnya merupakan komplikasi dari hipoalbumin, hipoksia, hipoglikemia, asidosis, hipotermia, hemolisis, dan septikemia. Hal tersebut tentunya akan mengakibatkan peningkatan jumlah bilirubin bebas dan beresiko terjadinya neurotoksisitas. Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam air di retikulum endolaplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate glucoronosyl transferase (UDPG-T). Katalisa oleh enzim ini akan merubah formasi menjadi bilirubin monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida. Bilirubin kemudian diekskresikan ke dalam kanalikulus empedu. Pada bayi baru lahir didapatkan defisiensi aktifitas enzim, tetapi setelah 24 jam kehidupan, aktifitas



enzim ini meningkat melebihi bilirubin yang masuk ke hati sehingga konsentrasi bilirubin serum akan menurun. Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresikan kedalam kandung empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan diekskresikan melalui feses. Setelah berada di usus halus, bilirubin yang terkonjugasi tidak dapat langsung diresorbsi, kecuali jika dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim βglukoronidase yang terdapat dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk dikonjugasi kembali disebut sirkulasi enterohepatik. Mukosa usus halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim β-glukoronidase yang dapat menghidrolisis menjadi bilirubin yang tak terkonjugasi yang selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain itu pada bayi baru lahir, lumen usus halusnya steril sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat dirubah menjadi sterkobilin. Bayi baru lahir mempunyai konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi yang relatif tinggi didalam usus yang berasal dari produksi bilirubin yang meningkat, hidrolisis bilirubin glukoronida yang berlebih dan konsetrasi bilirubin yang tinggi ditemukan didalam mekonium. BBL relatif kekurangan flora bakteri untuk mengurangi bilirubin menjadi urobilinogen yang akan meningkatkan pool bilirubin usus. Peningkatan hidrolisis bilirubin konjugasi pada bayi baru lahir diperkuat oleh aktifitas β-glukoronidase mukosa yang tinggi dan ekskresi monoglukorinida terkonjugasi. Pada ikterus fisiologis, peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam sirkulasi disebabkan oleh kombinasi peningkatan ketersediaan bilirubin dan penurunan clearance bilirubin. Peningkatan ketersediaan bilirubin merupakan hasil dari produksi bilirubin dan early bilirubin yang lebih besar serta penurunan usia sel darah merah. Resirkulasi aktif bilirubin di enterohepatik, yang meningkatkan kadar bilirubin serum, disebabkan oleh penurunan bakteri flora normal, aktifitas β-glukoronidase yang tinggi dan penurunan motilitas usus halus.



Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik. Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y berkurang atau pada keadaan proten Y dan protein Z terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoranil transferase) atau bayi yang menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatik. Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air



tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada susunan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar daerah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas, berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi. E. DIAGNOSIS Ikterus dapat timbul saat lahir atau setiap saat selama masa neonatus, tergantung pada etiologinya. Ikterus biasanya dimulai pada daerah wajah dan ketika kadar serum bilirubin bertambah akan turun ke abdomen dan selanjutnya ke ekstremitas. Untuk menegakkan diagnosis diperlukan langkah-langkah mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Hal – hal penting yang menunjang diagnosis meliputi: 1. Waktu terjadinya onset ikterus. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan etiologinya. 2. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin, malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal). 3. Usia gestasi 4. Riwayat persalinan dengan tindakan atau komplikasi 5. Riwayat ikterus, kernikterus, kematian, defisiensi G6PD, terapi sinar, atau transfusi tukar pada bayi sebelumnya. 6. Inkompatibilitas darah (golongan darah ibu dan janin). 7. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa. 8. Munculnya gejala-gejala abnormalitas seperti apnu, kesulitan menyusu, intoleransi susu, dan ketidakstabilan temperatur. 9. Bayi menunjukkan keadaan lesu, dan nafsu makan yang jelek. 10.



Gejala-gejala kernikterus Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa



hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan cahaya sinar yang cukup. Ikterus akan



terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang kulitnya gelap. Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna kulit dan jaringan subkutan. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar. Pemeriksaan fisis penting yang menunjang diagnosis meliputi: 1. Kondisi umum, penentuan usia gestasi neonatus, berat badan, tanda-tanda sepsis, status hidrasi. 2. Tanda-tanda kern ikterus seperti letargi, hipotonia, kejang, opistotonus, high pitch cry. 3. Pucat, plethora, sefalhematom, perdarahan subaponeurotik. 4. Tanda-tanda infeksi intrauterin, peteki dan splenomegali. 5. Progresi ikterus sefalo-kaudal pada ikterus berat.



1



4



2



4



3



4



5



Gambar 2. Derajat ikterus neonatal menurut Kramer Penilaian klinis derajat ikterus neonatal menurut Kramer, yaitu: 1. Kramer I pada Daerah kepala (Bilirubin total ± 5 – 7 mg) 2. Kramer II pada Daerah dada – pusat (Bilirubin total ± 7 – 10 mg%) 3. Kramer III pada Perut dibawah pusat - lutut (Bilirubin total ± 10 – 13 mg) 4. Kramer IV pada Lengan sampai pergelangan tangan, tungkai bawah sampai pergelangan kaki (Bilirubin total ± 13 – 17 mg%) 5. Kramer V pada hingga telapak tangan dan telapak kaki (Bilirubin total >17 mg%)



Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat. Namun pada bayi yang mengalami ikterus berat, dilakukan terapi sinar sesegera mungkin tanpa menunggu hasil pemeriksaan kadar serum bilirubin. Transcutaneous bilirubinometer (TcB) digunakan untuk menentukan kadar serum bilirubin total dengan cara yang non-invasif tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya valid untuk kadar bilirubin total < 15 mg/dL ( 72 > 2 Minggu



15-18 18-20 20 Transfusi tukar



Fototerapi & persiapan Transfusi tukar jika transfusi tukar 25 30 30 Transfusi tukar



fototerapi gagal 20 25 25 Transfusi tukar



Fototerapi Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958. Banyak teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut. Teori terbaru mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin. Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi senyawa berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan bentuk isomernya. Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh hepar ke dalam saluran empedu. Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus.9,12



Gambar 4. Prinsip Fototerapi. Fototerapi tetap menjadi standar terapi hiperbilirubinemia pada bayi. Fototerapi yang efisien dapat menurunkan konsentrasi bilirubin serum secara cepat. Pembentukan lumirubin yang merupakan isomer bilirubin, komponen yang larut air merupakan prinsip eliminasi bilirubin dengan fototerapi. Faktor yang menentukan pembentukan lumirubin antara lain: spektrum dan jumlah dosis cahaya yang diberikan. Fototerapi yang intensif dapat membatasi kebutuhan akan transfusi tukar. Fototerapi (penyinaran 11-14 μW/cm2/nm) dan pemberian asupan sesuai kebutuhan (feeding on demand) dengan formula atau ASI dapat menurunkan konsentrasi bilirubin serum > 10 mg/dl dalam 2-5 jam. Saat ini, banyak bayi mendapatkan fototerapi dalam dosis di bawah rentang terapeutik yang



optimal. Tetapi terapi ini cukup aman, dan efeknya dapat dimaksimalkan dengan meningkatkan area permukaan tubuh yang terpapar dan intensitas dari sinar. Bayi yang diterapi dengan fototerapi ditempatkan di bawah sinar (delapan bohlam lampu fluoresense) dan lebih baik dalam keadaan telanjang dengan mata tertutup. Temperatur dan status hidrasi harus terus dipantau. Fototerapi dapat sementara dihentikan selama 1 – 2 jam untuk mempersilahkan keluarga berkunjung atau memberikan ASI atau susu formula. Waktu yang tepat untuk memulai fototerapi bervariasi tergantung dari usia gestasi bayi, penyebab ikterus, berat badan lahir, dan status kesehatan saat itu. Fototerapi dapat dihentikan ketika konsentrasi bilirubin serum berkurang hingga sekitar 4-5 mg/dl.9



Gambar 5.Normogram ikterus neonatorum untuk neonatus usia gestasi ≥ 35 minggu. Terapi sinar  konvensional dan intensif Secara umum terapi sinar dibagi menjadi terapi sinar konvensional dan intensif. Terapi sinar konvensional menggunakan panjang gelombang 425-475 nm. Intensitas cahaya yang biasa digunakan adalah 6-12 mwatt/cm2 per nm. Cahaya diberikan pada jarak 35-50 cm di atas bayi. Sedangkan fototerapi intensif menggunakan intensitas penyinaran >12 μW/cm2/nm dengan area paparan maksimal. Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, terdiri dari biru (F20T12), cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylight fluorescent tubes. Cahaya biru khusus memiliki kerugian karena dapat membuat bayi terlihat biru, walaupun pada bayi yang sehat, hal ini secara umum tidak mengkhawatirkan. Untuk mengurangi efek ini, digunakan 4 tabung cahaya biru khusus



pada bagian tengah unit terapi sinar  standar dan dua tabung daylight fluorescent pada setiap bagian samping unit. Tabel 3. Komplikasi terapi sinar. Kelainan Bronze baby syndrome



Mekanisme yang mungkin terjadi Berkurangnya ekskresi hepatik



Diare Hemolisis



penyinaran bilirubin Bilirubin indirek menghambat lactase Fotosensitivitas mengganggu sirkulasi



Dehidrasi



eritrosit Bertambahnya Insensible Water Loss (30-



Ruam kulit



100%) karena menyerap energi foton Gangguan fotosensitasi terhadap sel mast



hasil



kulit dengan pelepasan histamine Transfusi tukar Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang dilanjutkan dengan pemasukan darah dari donor dalam jumlah yang sama. Teknik ini secara cepat mengeliminasi bilirubin dari sirkulasi. Antibodi yang bersirkulasi yang menjadi target eritrosit juga disingkirkan. Transfusi tukar sangat menguntungkan pada bayi yang mengalami hemolisis oleh sebab apapun. Satu atau dua kateter sentral ditempatkan, dan sejumlah kecil darah pasien dikeluarkan, kemudian ditempatkan sel darah merah dari donor yang telah dicampurkan dengan plasma. Prosedur tersebut diulang hingga dua kali lipat volume darah telah digantikan. Selama prosedur, elektrolit dan bilirubin serum harus diukur secara periodik. Jumlah bilirubin yang dibuang dari sirkulasi bervariasi tergantung jumlah bilirubin di jaringan yang kembali masuk ke dalam sirkulasi dan rata-rata kecepatan hemolisis. Pada beberapa kasus, prosedur ini perlu diulang untuk menurunkan konsentrasi bilirubin serum dalam jumlah cukup. Infus albumin dengan dosis 1 gr/kgBB 1 – 4 jam sebelum transfusi tukar dapat meningkatkan jumlah total bilirubin yang dibuang dari 8,7 – 12,3 mg/kgBB, menunjukkan kepentingan albumin dalam mengikat bilirubin. Sejumlah komplikasi transfusi tukar telah dilaporkan, antara lain trombositopenia, trombosis vena porta, enterokolitis nekrotikan, gangguan keseimbangan elektrolit, graft-versus-host disease, dan infeksi. Oleh sebab itu transfusi tukar hanya didindikasikan pada bayi dengan kriteria sebagai berikut: a. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu b. Penyakit hemolisis berat pada bayi baru lahir c. Gagal fototerapi intensif d. Kadar bilirubin direk >3,5 mg/dl di minggu pertama



e. Serum bilirubin indirek > 25 mg/dl pada 48 jam pertama f. Hemoglobin < 12 gr/dl g. Bayi pada resiko terjadi ensefalopati bilirubin h. Munculnya tanda-tanda klinis yang memberikan kesan kern ikterus pada kadar bilirubin berapapun. Penggunaan transfusi tukar menurun secara drastis setelah pengenalan prosedur fototerapi, dan optimalisasi fototerapi lebih lanjut dapat membatasi penggunaannya. Transfusi pengganti digunakan untuk: 1. Mengatasi anemia akibat proses isoimunisasi. 2. Menghilangkan sel darah merah yang tersensitisasi 3. Menghilangkan serum bilirubin 4. Meningkatkan albumin bebas sehingga meningkatkan jumlah bilirubin yang terikat albumin. Darah Donor Untuk Tranfusi Tukar 1.



Darah yang digunakan harus golongan O.



2.



Gunakan darah baru (usia < 7 hari), whole blood. Kerjasama dengan dokter kandungan dan Bank Darah adalah penting untuk persiapan kelahiran bayi yang membutuhkan tranfusi tukar.



3.



Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus golongan O dengan rhesus (-), crossmatched terhadap ibu. Bila darah disiapkan setelah kelahiran, dilakukan juga crossmatched terhadap bayi.



4.



Pada inkompatibilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau rhesus yang sama dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan bayi yang mempunyai titer rendah antibodi anti A dan anti B. Biasanya menggunakan eritrosit golongan O dengan plasma AB, untuk memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul.



5.



Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi antigen tersensitisasi dan harus di crossmatched terhadap ibu.



6.



Pada hiperbilirubinemia yang nonimun, darah donor ditiping dan crossmatched terhadap plasma dan eritrosit bayi.



7.



Tranfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume exchange) yaitu sekitar 160 ml/kgBB (dengan asumsi volume darah bayi baru lahir adalah 80 ml/kgBB, sehingga diperoleh darah baru sekitar 87%.



8.



Simple Double Volume. Push-Pull Tehcnique.



Jarum infus dipasang melalui kateter vena umbilikalis atau vena saphena magna. Darah dikeluarkan dan dimasukkan bergantian. 9.



Isovolumetric. Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri umbilikalis dan dimasukkan melalui vena umbilikalis dalam jumlah yang sama.



10.



Partial Exchange Tranfusion. Tranfusi tukar sebagian, dilakukan biasanya pada bayi dengan polisitemia.



11.



Di Indonesia, untuk kasus kedaruratan, transfusi tukar pertama menggunakan golongan darah O rhesus positif.



12.



Setiap 4-8 jam kadar bilirubin harus di cek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil.



Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi: -          Emboli, trombosis -          Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia -          Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin -          Perforasi pembuluh darah Komplikasi tranfusi tukar -          Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis -          Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung -          Gangguan elektrolit: hipo atau hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis -          Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih -          Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik, enterokolitis nekrotikan -          Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia. Terapi farmakologis Fenobarbital telah digunakan sejak pertengahan tahun 1960 untuk meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin dengan mengaktivasi enzim glukoronil-transferase, tetapi penggunaanya kurang efektif. Percobaan yang dilakukan pada mencit menunjukkan fenobarbital mengurangi metabolisme oksidatif bilirubin dalam jaringan saraf sehingga meningkatkan resiko efek neurotoksik. Pemberian fenobarbital akan membatasi perkembangan ikterus fisiologis pada bayi baru lahir bila diberikan pada ibu dengan dosis 90 mg/24 jam sebelum persalinan atau pada



saat bayi baru lahir dengan dosis 10 mg/kg/24 jam. Meskipun demikian fenobarbital tidak secara rutin dianjurkan untuk mengobati ikterus pada neonatus karena:11,12 a. Pengaruhnya pada metabolisme bilirubin baru terlihat setelah beberapa hari pemberian. b. Efektivitas obat ini lebih kecil daripada fototerapi dalam menurunkan kadar bilirubin. c. Mempunyai pengaruh sedatif yang tidak menguntungkan. d. Tidak menambah respon terhadap fototerapi. Beberapa penelitian juga menguji efektivitas dari enzim bilirubin oksidase yang diperoleh dari fungi. Bilirubin tidak terkonjugasi dimetabolisme oleh enzim bilirubin oksidase. Ketika darah melalui filter yang mengandung bilirubin oksidase tersebut maka > 90% bilirubin didegradasi dalam sekali langkah. Prosedur tersebut terbukti bermanfaat dalam terapi hiperbilirubinemia neonatorum, tetapi belum diujikan secara klinis. Lebih lanjut, kemungkinan dapat terjadi reaksi alergi pada penggunaan prosedur tersebut karena enzim diperoleh dari fungus. Indikasi untuk merujuk ke RS 



Ikterus timbul dalam 24 jam kehidupan







Ikterus hingga di bawah umbilikus







Ikterus yang meluas hingga ke telapak kaki harus dirujuk segera karena kemungkinan membutuhkan transfusi tukar.







Riwayat keluarga dengan penyakit hemolitik yang signifikan atau kernikterus







Neonatus dengan keadaan umum yang kurang baik







Ikterus memanjang > 14 hari.



Pencegahan Reduksi bilirubin dalam sirkulasi enterohepatik Bayi baru lahir yang tidak diberi asupan secara adekuat dapat meningkatkan sirkulasi enterohepatik bilirubin, karena keadaan puasa dapat meningkatkan akumulasi bilirubin. Peningkatan jumlah asupan oral dapat mempercepat ekskresi bilirubin, sehingga pemberian ASI yang sering atau asupan tambahan dengan susu formula efektif dalam menurunkan kadar bilirubin serum pada bayi yang sedang menjalani fototerapi. Sebaliknya, asupan tambahan dengan air atau dekstrosa dapat mengganggu produksi ASI, sehingga dapat meningkatkan konsentrasi bilirubin. Tidak ada obat-obatan atau agen-agen lain yang dapat menurunkan sirkulasi enterohepatik bilirubin. Pada tikus percobaan, karbon aktif dapat berikatan dengan bilirubin dan meningkatkan ekskresinya, tetapi efikasi dari karbon aktif tersebut pada bayi belum pernah diujikan. Pada sebuah penelitian, penggunaan agar pada bayi yang sedang menjalani fototerapi secara signifikan dapat menurunkan durasi fototerapi dari 48 jam menjadi 38 jam. Cholestyramine



yang digunakan untuk terapi ikterus obstruktif, dapat meningkatkan ekskresi bilirubin melalui ikatan dengan asam empedu di dalam intestinal dan membentuk suatu kompleks yang tidak dapat diabsorbsi.11,12 Inhibisi produksi bilirubin Metalloporfirin sintetis dapat menghambat produksi bilirubin dengan menjadi inhibitor kompetitif enzim heme-oksigenase. Pada bayi prematur dengan berat lahir 1500-2500 gram, dosis tunggal mesoporfirin timah intramuskular (6 μmol/kg) yang diberikan dalam 24 jam pertama kelahiran dapat menurunkan kebutuhan fototerapi sebesar 76%, dan menurunkan konsentrasi puncak bilirubin serum sebesar 41%. Satu-satunya efek yang merugikan adalah eritema sementara akibat fototerapi. Walaupun tampak sangat menjanjikan, metalloporfirin saat ini belum disetujui penggunaannya pada bayi baru lahir. Pencegahan ensefalopati bilirubin Sekali bilirubin terakumulasi, peningkatan pH otak dapat membantu mencegah ensefalopati, karena bilirubin lebih mudah larut dalam suasana alkali. Pada bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia berat, alkalinisasi yang cukup (pH 7,45 – 7,55) dapat diperoleh dengan infus bikarbonat atau dengan menggunakan strategi ventilator untuk menurunkan tekanan parsial karbon dioksida sehingga pH meningkat. G. Komplikasi Perhatian utama pada hiperbilirubinemia adalah potensinya dalam menimbulkan kerusakan sel-sel saraf, meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya juga dapat terjadi. Bilirubin dapat menghambat enzim-enzim mitokondria serta  mengganggu sintesis DNA.  Bilirubin juga dapat menghambat sinyal neuroeksitatori dan konduksi saraf (terutama pada nervus auditorius) sehingga menimbulkan gejala sisa berupa tuli saraf. Kerusakan jaringan otak yang terjadi seringkali tidak sebanding dengan konsentrasi bilirubin serum. Hal ini disebabkan kerusakan jaringan otak yang terjadi ditentukan oleh konsentrasi dan lama paparan bilirubin terhadap jaringan. Komplikasi ikterus



neonatorum adalah



Ensefalopati



bilirubin



atau



kernikterus, yaitu ikterus neonatorum yang berat dan tidak ditatalaksana dengan benar dan dapat menimbulkan komplikasi ensefalopati bilirubin. Hal ini terjadi akibat terikatnya asam bilirubin bebas dengan lipid dinding sel neuron di ganglia basal, batang otak dan serebellum yang menyebabkan kematian sel. Pada bayi dengan sepsis, hipoksia dan asfiksia bisa menyebabkan kerusakan pada sawar darah otak. Dengan adanya ikterus, bilirubin yang terikat ke albumin plasma bisa masuk ke dalam cairan ekstraselular. Sejauh ini hubungan



antara peningkatan kadar bilirubin serum dengan ensefalopati bilirubin telah diketahui. Tetapi belum ada studi yang mendapatkan nilai spesifik bilirubin total serum pada bayi cukup bulan dengan hiperbilirubinemia non hemolitik yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada kecerdasan atau kerusakan neurologik yang disebabkannya. Faktor yang mempengaruhi toksisitas bilirubin pada sel otak bayi baru lahir sangat kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti. Faktor tersebut antara lain: konsentrasi albumin serum, ikatan albumin dengan bilirubin, penetrasi albumin ke dalam otak, dan kerawanan sel otak menghadapi efek toksik bilirubin. Bagaimanapun juga, keadaan ini adalah peristiwa yang tidak biasa ditemukan sekalipun pada bayi prematur dan kadar albumin serum yang sebelumnya diperkirakan dapat menempatkan bayi prematur berisiko untuk terkena ensefalopati bilirubin. Bayi yang selamat setelah mengalami ensefalopati bilirubin akan mengalami kerusakan otak permanen dengan manifestasi berupa cerebral palsy, epilepsi dan keterbelakangan mental atau hanya cacat minor seperti gangguan belajar dan perceptual motor disorder. H. PROGNOSIS Dengan menggunakan kriteria patologis, sepertiga bayi (semua umur kehamilan) yang penyakit hemolitiknya tidak diobati dan kadar bilirubinnya lebih dari 20 mg/dl, akan mengalami kernikterus. Kernikterus didapatkan pada 8% bayi dengan hemolisis Rh yang memiliki konsentrasi bilirubin serum 19-24 mg/dl, 33% pada bayi dengan konsentrasi bilirubin 25-29 mg/dl, dan 73% pada bayi dengan konsentrasi bilirubin 30-40 mg/dl. Tanda-tanda neurologis yang jelas mempunyai prognosis yang jelek, ada 75% atau lebih bayi-bayi yang demikian meninggal, dan 80% yang bertahan hidup menderita koreoatetosis bilateral dengan spasme otot involunter. Retardasi mental, tuli, dan kuadriplegia sapstis lazim terjadi. Bayi yang berisiko harus menjalani skrining pendengaran.



TINJAUAN PUSTAKA David C. Dugdale. Medline plus. Oct 2013; [diakses Januari 2021] Available from: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003479.htm Hansen, Thor W.R. 2010. Core Concepts: Bilirubin Metabolism. Neoreviews. vol. 11. p.316-22. Maisels M. J& Mcdonagh, Antony F. 2008. Phototherapy For Neonatal Jaundice. New England Journal of Medicine; p.358:920-8 Ritarwan, Kiking. 2011. Ikterus. Bagian Perinatologi Fakultas Kedokteran USU/RSU H. Adam Malik. Sumatra Utara. USU digital library. Reisa Maulidya Tazami, Mustarim, Shalahudden Syah. 2013. Gambaran Faktor Risiko Ikterus Neonatorum pada Neonatus di Ruang Perinatologi RSUD Raden Mattaher Jambi Tahun 2013. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Jambi. Sukadi A. 2008. Hiperbilirubinemia. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R,Sarosa GI, Usman A, penyunting. Buku ajar neonatologi. Edisi 1. Jakarta: IDAI. h.147-69.