Lapsus - Neuralgia Trigeminal [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS NEURALGIA TRIGEMINAL



Disusun oleh : St. Khalidiyah 22004101026 Dosen Pembimbing : dr. Fathia Anis, Sp.S



LABORATORIUM ILMU PENYAKIT SARAF KEPANITRAAN KLINIK MADYA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG 2021



KATA PENGANTAR



Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, sholawat serta salam yang kami junjungkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun kita menuju jalan kebenaran sehingga dalam penyelesaian tugas ini kami dapat memilah antara yang baik dan buruk. Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing pada Laboratorium Ilmu Penyakit Saraf yang memberikan bimbingan dalam menempuh pendidikan ini. Tak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak sehingga dalam penyusunan laporan kasus ini dapat terselesaikan. Laporan kasus ini membahas terkait anatomi, definisi, klasifikasi, etiopatofisiologi, manifestasi klinis, penegakan iagnosis, dan manajemen penatalaksanaan. Kami menyadari dalam laporan kasus ini belum sempurna secara keseluruhan oleh karena itu kami dengan tangan terbuka menerima masukan-masukan yang membangun sehingga dapat membantu dalam penyempurnaan dan pengembangan penyelesaian laporan selanjutnya. Demikian pengantar kami, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua. Amin.



Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,



Banyuwangi, 22 Mei 2021



Penyusun



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Neuralgia trigeminal merupakan suatu sindroma nyeri wajah yang terjadi secara berulang dan kronik pada satu sisi wajah mengikuti distribusi cabang syaraf trigeminus dan merupakan sindroma wajah yang sering ditemukan di pelayanan kesehatan. Hal ini dibuktikan dengan prevalensi kasus neuralgia trigeminal yang mencapai 4,3 per 100.000 kasus di seluruh dunia. Jumlah penderita perempuan : laki-laki adalah 1,74:1. 90% kasus neuralgia trigeminal terjadi pada usia di atas 40 tahun dengan puncak insiden pada usia 60-70 tahun (Gunawan dan Dina, 2019). Neuralgia trigeminal merupakan nyeri neuropatik, dimana nyeri neuropatik ditandai dengan adanya kerusakan saraf. Rasa nyeri ini dapat distimulasi oleh berbagai macam hal seperti mengunyah atau menyentuh area-area tertentu yang terlokalisasi pada wajah (triggerr zone). Trigger zone biasanya di plika nasolabialis dan atau dagu. Rasa nyeri dapat terjadi dalam hitungan detik sampai sekitar 2 menit. Episode nyeri ini dapat berlangsung dalam beberapa minggu hingga beberapa tahun. Neuralgia trigeminal sering mengalami remisi. Nyeri ini akan sangat mengganggu aktivitas seseorang apabila kambuh (Perdossi, 2016). Rasa nyeri sangat membebani pasien neuralgia trigeminal . Selama serangan terparah, pasien mungkin tidak dapat makan atau berbicara. Beberapa pasien takut akan terserang rasa nyeri yang tiba-tiba kembali kapan saja. Bahkan di antara serangan. Hal ini mengakibatkan gangguan serius pada fungsi sehari-hari serta kualitas hidup pasien, kesejahteraan, suasana hati, tidur, dan status kesehatan keseluruhan berkorelasi dengan keparahan nyeri. Sehingga, penyebab neuralgia trigeminal, patofisiologi, dan tatalaksananya penting untuk diketahui dalam pelayanan kesehatan sehari-hari (Hidayati, 2020). 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana anatomi dari Nervus Trigeminus ? 2. Apa definisi dan klasifikasi dari Neuralgia Trigeminal ? 3. Bagaimana etiopatogenensis dari Neuralgia Trigeminal ? 4. Bagaimana manifestasi klinis dari Neuralgia Trigeminal ? 5. Bagaimana penegakan diagnosa dari Neuralgia Trigeminal ? 6. Bagaimana penatalaksanaan dan prognosis dari Neuralgia Trigeminal ?



1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui dan memahami anatomi dari Nervus Trigeminus 2. Untuk mengetahui dan memahami definisi dan klasifikasi dari Neuralgia Trigeminal 3. Untuk mengetahui dan memahami etiopatogenensis dari Neuralgia Trigeminal 4. Untuk mengetahui dan memahami manifestasi klinis dari Neuralgia Trigeminal 5. Untuk mengetahui dan memahami penegakan diagnosa dari Neuralgia Trigeminal 6. Untuk mengetahui dan memahami penatalaksanaan dan prognosis dari Neuralgia Trigeminal 1.4 Manfaat Penulisan laporan kasus ini diharapkan meningkatkan keilmuan sebagai dokter dalam mengetahui dan memahami tentang Neuralgia Trigeminal, sehingga apabila menemui kasus tersebut mampu mendiagnosis dan memberikan penatalaksanaan dengan tepat.



BAB II LAPORAN KASUS 2.1 IDENTITAS PASIEN - Nama



: Tn. S



- Usia



: 54 tahun



- Jenis Kelamin



: Laki-laki



- Pekerjaan



: Guru



- Alamat



: ………



- Status



: ………



- Agama



: ………



- Suku



: ………



- Tanggal Pemeriksaan : ……… 2.2 ANAMNESIS 2.2.1. KELUHAN UTAMA Nyeri pada dahi kanan 2.2.2 RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG 



Pasien merasakan nyeri pada dahi kanan sejak 6 bulan sebelum ke poliklinik, terasa seperti ditusuk-tusuk, disayat-sayat







Nyeri dirasakan hilang timbul, timbul tiba-tiba, sekitar 1 menit, apabila nyeri datang pasien tidak bisa melakukan aktivitas karena nyeri hebat







Nyeri juga muncul apabila terjadi sentuhan pada daerah atas alis kanan, juga saat pasien wudhu terkena air, nyeri di mata (-), mata berair(-), nyeri di pipi dan rahang (-)







Saat nyeri hilang penderita dapat beraktivitas biasa







Tidak didapatkan gangguan pendengaran atau penglihatan, tidak ada gangguan tebal atau kesemutan, atau gangguan bicara







Tidak didapatkan bicara pelo, merot, lemah setengah badan, kejang, ngompol,ngebrok, ataupun panas sebelumnya



2.2.3 RIWAYAT PENYAKIT DAHULU 



Tidak ada riwayat nyeri kepala, mual, atau muntah, pandangan kabur, sering lupa disangkal, tidak ada riwayat trauma







Riwayat infeksi herpes zoster ophtalmikus (-)







Riwayat hipertensi disangkal diabetes, hiperkolesterol, atau hiperuricemia tidak ada, penurunan berat badan(-)







Tidak ada problem psikologis



2.2.4 RIWAYAT PENGOBATAN 



Sudah diterapi oleh dr Sp S di kota X Carbamazepin 3x200mg Amitriptilin 2x12,5 mg  mereda tapi keluhan masih ada kalau efek obat habis  kepatuhan minum obat ?



2.3 PEMERIKSAAN FISIK 2.3.1 STATUS INTERNUS -



Kesadaran



: Compos mentis



-



Tekanan Darah



: 130/80 mmHg



-



HR (Nadi)



: 80x/menit



-



RR (Laju Napas)



: 24x/menit



-



Suhu



: 370C



Head to toe -



Kepala



: An -/- Ict -/-



-



Leher



: Bruit carotis (-)



-



Thorak



: Cor



 S1S2 normal, Murmur(-)



Pulmo  Rh -/- Wh -/-



Abdomen



: Flat, Supel, BS Normal, Met (-)



-



Extremitas



: Edema -/-



2.3.2 STATUS NEUROLOGI -



GCS



: 456



-



Fungsi luhur



: Normal



-



Meningeal Sign



: Kaku kuduk (-) Kernig’s sign (-) Brudzinski I/II(-)



-



N. cranialis



: PBI ø3mm/3mm RC+/+ RK+/+ N.III,IV,VI : Gerak bola mata normal



Paresis N VII (-) XII (-) N.V : hipestesi :-/-, motorik : N Sensorik hiperalgesia & allodynia sesuai distribusi N V1 (D) -



Motorik power 5/5 5/5



-



Tonus N/N N/N



-



Reflek Fisiologis : Biceps +2/+2 Triceps +2/+2 Kudariceps femoris +2/+2 Achilles +2/+2



-



Reflek Patologis : Hoffman -/Tromner -/Babinski -/Chaddock -/Oppenheim -/Gordon -/-



-



Autonomic Nervous System : Inkontinensia uri (-) Inkontinensia alvi (-)



2.3 RESUME Seorang laki-laki berusia 54 tahun datang dengan keluhan nyeri pada dahi kanan seperti ditusuk-tusuk dan disayat-sayat sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan ini dirasakan ketika pasien berwudhu terkena air dan terjadi sentuhan pada daerah atas alis kanan. Nyeri dirasakan secara tiba-tiba selama sekitar 1 menit. Apabila nyeri muncul, pasien tidak bisa melakukan aktivitas. Pasien mengaku nyeri hilang timbul. Saat nyeri menghilang, pasien bisa melakukan aktivitas dengan normal. Tidak terdapat keluhan nyeri di mata, mata berair (-), nyeri di pipi (-), nyeri di rahang (-), gangguan pendengaran (-), gangguan pengelihatan (-), gangguan bicara (-), kebas atau kesemutan (-).Tidak didapatkan bicara pelo, merot, lemah setengah badan, kejang, ngompol,ngebrok, ataupun panas sebelumnya. Pasien mengaku tidak pernah mengalami riwayat nyeri kepala, mual, atau muntah, pandangan kabur, sering lupa, trauma, infekesi herpes zoster.



Pasien mengaku sudah pernah diterapi oleh dr Sp. S di kota X dan diberikan obat carbamazepin 3x200mg dan amitriptilin 2x12,5 mg. Pengobatan mampu meredakan nyeri tapi keluhan masih ada apabila efek obat habis. Pemeriksaan fisik umum didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan darah 130/80 mmHg, HR (Nadi) 80x/menit, RR (Laju Napas) 24x/menit, Suhu 370C. Dari pemeriksaan Head to toe dalam batas normal. Pemeriksaan neurologis didapatkan sensorik hiperalgesia & allodynia sesuai distribusi N V-1 (D). 2.4 DIAGNOSA BANDING 1. Post Herpetic Neuralgia Dengan gejala nyeri terbakar yang hebat dengan eksaserbasi yang tajam, berifat unilateral, kuntinu, diprovokasi oleh raba ringan, tidak ada factor yang dapat mengurangi gejala secara total, biasanya terdapat gangguan sensorik. 2. Cluster headache Sakit kepala yang hebat, menusuk, nyeri terbakar, unilateral dan sering daerah trigeminal, sering terjadi pada malam hari, diprovokasi oleh minuman alcohol, mata merah, hidung tersumbat, muka merah, sering terjadi pada usia muda. 3. Migrain Nyeri hebat, berdenyut, unilateral dan sering berpindah ke sisi lainnya, nyeri berlangsung beberapa jam, pasien dapat mengidentifikasi faktor pencetus. 2.5 Diagnosa Kerja Diagnosis klinis



: hyperalgesia dan allodynia



Diagnosis topis



: nervus V cabang 1 (ophtalmicus) dextra



Diagnosis etiologi



: neuralgia trigeminal dextra



2.6 Pemeriksaan Penunjang Neuralgia trigeminal dapat ditegakkan secara klinis. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan bertujuan untuk menyingkarkan diagnosis banding. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu CT-Scan kepala atau MRI kepala. CT-scan kepala dari fossa posterior bermanfaat untuk mendeteksi adanya tumor yang masih kecil dan aneurisma. MRI dapat digunakan untuk melihat hubungan antara saraf dan pembuluh darah, dan dapat mendeteksi adanya tumor. MRI juga diindikasikan untuk pasien yang distribusi dan waktu nyerinya tidak jelas, juga pada pasien yang telah diberikan terapi namun tidak membaik.



2.7 Penatalaksanaan Pengobatan trigeminal neuralgia dapat bersifat medis atau secara bedah. Terapi medis atau farmakologi adalah pilihan pertama, peralihan ke bedah saraf fungsional hanya dalam kasus di mana terapi klinis terbukti tidak efektif. Sebelum datang, pasien mengaku telah diberi pengobatan oleh spesialis saraf dengan karbamazepin 2x200 mg/hari, namun pasien masih mengeluhkan nyeri jika efek obat sudah habis. Dosis harian harus ditingkatkan sebesar 100 mg setiap hari sampai nyeri terkontrol dapat ditegakkan atau sampai adanya efek samping yang tidak dapat ditolerir sehingga mencegah titrasi ke atas dengan lebih lanjut. Dosis total maintenance adalah 300-800 mg/ hari, diberikan dalam 2-3 dosis terbagi. Maka dari itu, pasien dapat diberikan karbamazepin dengan dosis 2x400 mg/hari. Apabila sampai dosis maksimal tetap tidak ada perbaikan, maka pasien dirujuk ke spesialis bedah syaraf untuk dilakukan tindakan yang invasif seperti Ganglion Gasserian Radiofrekuensi Ablasi, Trigeminal Gangliolysis (PRTG), Percutaneous Retrogasserian Glycerol Rhizotomy (PRGR) dan Percutaneous Baloon Microcompression (PBM), dan Microvascular Decompression. 2.8 Edukasi Edukasi pasien untuk menghindari maneuver yang memicu rasa nyeri dan edukasi mengenai perjalanan penyakit, bahwa dapat terjadi remisi dalam beberapa bulan dan kemungkinan untuk terjadi rekurensi yang lebih sering dan kemungkinan penambahan obat. Edukasi juga mengenai efek samping obat terutama antikonvulsan yang dapat menyebabkan ataksia, sedasi, dan memengaruhi fungsi hati, serta edukasi pasien untuk mengetahui gejalagejala dari efek samping obat. 2.9 Prognosis Ad vitam = ad bonam Ad sanationam = dubia ad malam Ad fungsionam = dubia ad malam



BAB III TINJAUAN PUSTAKA



3.1 Anatomi Nervus Trigeminal Nervus trigeminus keluar dari lateral mid-pons berupa akar syaraf motoris dan sensoris. Akar syaraf sensoris lebih besar (portio major nervi trigemini) dibandingkan akar syaraf motorik (portio minor nervi trigemini). Akar syaraf motorik dari nervus Trigeminus akan bercabang mempersyarafi M. Maseter, Temporalis, Pterigoideus Internus et Eksternus, Tensor Timpani, Omohyoideus, dan bagian anterior M. Digastricus. Akar syaraf sensoris menghantarkan impuls nyeri, suhu, raba, dan proprioseptif, yang akan berlanjut menjadi Ganglion Gasseri yang akan melepaskan 3 cabang, yaitu nervus opthalmicus, nervus maxillaris, dan nervus mandibularis (Netter, et al. 2005). Nervus opthalmicus akan keluar melalui fissura orbitalis superior lalu terbagi menjadi 3 cabang, yaitu nervus frontalis, nervus lakrimalis, dan nervus nasosiliaris. Bersifat sensorik untuk mempersyarafi bagian depan kelopak mata atas, selaput lendir kelopak mata, dan bola mata, juga kulit bagian frontal (Netter, et al. 2005). Nervus maxillaris akan berjalan ke depan bawah sinus kavernosus lalu terbagi dalam beberapa cabang; sebagian menjadi rami meningea media dan sisanya memasuki foramen rotundum. Dari foramen rotundum, nervus ini menyebrangi fossa pterigopalatina dan terbagi atas cabang N. Zygomaticus Temporalis dan N. Zygomaticus Fascialis. Keseluruhan Nervus Maxillaris mempesyarafi gigi atas, bibir atas, rongga hidung dan sinus maxillaris (Netter, et al. 2005). Nervus mandibularis bersifat motoris dan sensoris yang awalnya terpisah namun bersatu setelah memasuki foramen ovale. Nervus Mandibularis akan mempersyarafi otot pengunyah, dan mempersyarafi gigi bawah, gusi bawah, dan bibir bawah, juga kulit daerah temporal dan dagu (Netter, et al. 2005).



3.2 Definisi Neuralgia Trigeminal Neuralgia trigeminal atau Tic Douloreux merupakan sindrom nyeri wajah yang dapat terjadi secara berulang dan bersifat kronik dimana nyeri umumnya bersifat unilateral mengikuti distribusi sensorik dari nervus kranialis V (nervus trigeminus) dan sering diikuti oleh spasme wajah atau fenomena tic (kontraksi spasmodik berulang dari otot) pada wajah (Gunawan dan Dina, 2019) Berdasarkan International Association for the study of Pain (IASP) neuralgia trigeminal didefinisikan sebagai “rasa nyeri yang berulang, kebanyakan terjadi di sisi unilateral, parah, singkat, menusuk, berulang pada distribusi satu atau lebih cabang saraf trigeminal”. International Headache Society (IHS) mendefinisikan NT sebagai “nyeri wajah unilateral, ditandai dengan nyeri seperti tersengat listrik yang singkat dan terbatas pada distribusi satu atau lebih divisi saraf trigeminal (Hidayati, 2020).



3.3 Klasifikasi Neuralgia Trigeminal Neuralgia Trigeminal ini dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu tipe klasik dan tipe atipikal. Neuralgia tipe 1 ditandai dengan nyeri, rasa terbakar yang hebat dan tiba tiba pada wajah bagian manapun, sedangkan tipe 2 ditandai dengan rasa nyeri, terbakar atau tertusuk pada wajah namun dengan intensitas nyeri yang lebih rendah daripada neurlagia tipe 1 namun lebih konstan. Menurut klasifikasi IHS (International Headache Society) membedakan Neuralgia Trigeminal klasik dan Neuralgia Trigeminal simptomatik. Termasuk Neuralgia Trigeminal klasik adalah semua kasus yang etiologinya belum diketahui (idiopatik). Sedangkan Neuralgia Trigeminal simptomatik dapat akibat tumor, multipel sklerosis atau kelainan di basis kranii. Kriteria untuk diagnosis Neuralgia Trigeminal menurut IHS (International Headache Society) Klasik A. Serangan



nyeri



paroksismal



Simptomatik yang A. Serangan



nyeri



paroksismal



yang



berlangsung dari sepersekian detik hingga



berlangsung sepersekian detik hingga 2



2 menit, mempengaruhi satu atau lebih



menit, dengan atau tanpa persistensi nyeri



divisi saraf trigeminal dan memenuhi



di antara paroksismus, mempengaruhi



kriteria B dan C



satu atau lebih divisi saraf trigeminal dan memenuhi kriteria B dan C.



B. Nyeri memiliki setidaknya satu dari B. Nyeri memiliki setidaknya satu dari karakteristik berikut:



karakteristik berikut:



1. Intense, tajam, superfisial/ menusuk



1. Intens, tajam, superfisial/ menusuk



2. Dipresipitasi dari area pemicu atau



2. Dipresipitasi dari area pemicu atau



oleh faktor pemicu.



oleh faktor pemicu.



C. Serangan stereotipi pada pasien



C. Serangan stereotip pada pasien



D. Tidak ada defisit neurologis yang terbukti D. Lesi kausatif, selain kompresi vaskular secara klinis.



telah dibuktikan oleh pencarian khusus dan/ eksplorasi fossa posterior.



E. Lesi kausatif, selain kompresi vaskular telah ditunjukkan oleh pencarian khusus dan/ eksplorasi fossa posterior.



Kriteria diagnostik Neuralgia Trigeminal (NT) menurut IASP (International Association for the Study of Pain) Kriteria IASP Definition



NT adalah nyeri orofasial yang terbatas pada satu atau lebih divisi saraf trigeminal. Dengan pengecualian NT yang disebabkan oleh MS, rasa nyeri mengenai satu sisi wajah. NT terjadi dengan onset yang tiba-tiba dan biasanya berlangsung hanya dalam beberapa detik (maksimum 2 menit). Pasien dapat melaporkan rasa nyeri secara spontan, tetapi nyeri paroksismal ini selalu dapat dipicu oleh rangsangan mekanik yang tidak berbahaya atau oleh gerakan. Pasien biasanya tidak mengalami nyeri di antara paroksismal. Jika mereka melaporkan nyeri kontinyu tambahan, dengan distribusi dan periode yang sama dengan nyeri paroksismal, maka mereka dianggap mengalami NT dengan nyeri kontinu.



Klasifikasi



NT klasik : disebabkan oleh kompresi vaskular akar saraf trigeminal yang mengakibatkan perubahan morfologis akar saraf. NT sekunder: disebabkan oleh penyakit neurologis mayor, seperti: tumor sudut cerebellopontin atau multiple sclerosis Idiopatik NT: tidak ada penyebab yang jelas



Kriteria ICHD (International Classification of Headache Disorders) Kriteria



A. Setidaknya tiga serangan nyeri wajah unilateral memenuhi kriteria B dan C B. Terjadi pada satu atau lebih divisi saraf trigeminal, tanpa penjalaran di luar distribusi trigeminal C. Nyeri setidaknya memenuhi tiga dari empat karakteristik berikut : 1. Serangan



paroksismal



berulang



yang



berlangsung



dari



sepersekian detik hingga 2 menit 2. Intensitas berat 3. Kualitas seprti tersengat listrik, tertembak, tertikam atau tajam 4. Dipresipitasi oleh rangsangan tidak berbahaya sisi wajah yang terkena D. Tidak ada defisit neurologis yang terbukti secara klinis E. Diagnosis idak lebih baik diabndingkan dengan diagnosis ICHD-3 lainnya



Klasifikasi



NT klasik (NT klasik, murni paroksismal; NT klasik dengan nyeri terus menerus yang terjadi bersamaan) NT sekunder (NT dikaitkan dengan multiple sclerosis; NT dikaitkan dengan space-occupying lesion; NT dikaitkan dengan penyebab lain NT idiopatik (NT idiopatik, murni paroksismal; NT idiopatik dengan nyeri terus menerus yang terjadi bersamaan)



3.4 Etiopatogenesis Patofisiologi utama dari penyakit ini belum diketahui secara jelas. Melihat gejala klinis dari penyakit ini, gejala yang terutama dirasakan adalah nyeri pada area penjalaran nervus trigeminal. Oleh karena itu, neuralgia trigeminal digolongkan dalam nyeri neuropatik. Nyeri neuropatik sendiri mekanismenya belum jelas. Patofisiologi dari trigeminal neuralgia ini dibagi menjadi mekanisme sentral dan mekanisme perifer (Handani, 2019). Mekanisme perifer yang terjadi antara lain ditemukannya peregangan atau kompresi nervus V, Ditemukannya malformasi vaskular pada beberapa penderita Neuralgia Trigeminal, adanya tumor dengan pertumbuhan yang lambat, adanya proses inflamasi pada N.V. Mekanisme sentral sebagai penyebab Neuralgia trigeminal salah satunya adalah multiple sclerosis dimana terjadi demielinisasi secara meluas sehingga dapat mengenai saraf trigeminus. Biasanya tidak ada lesi yang spesifik pada nervus trigeminus yang ditemukan (Handani, 2019). Teori patofisiologi yang dipakai pada saat ini adalah kompresi pada nervus trigeminus. Teori kompressi nervus trigeminus ini diungkapkan sebagai berikut. Neuralgia trigeminal dapat disebabkan karena pembuluh darah yang berjalan bersama nervus trigeminus menekan jalan keluar cabang cabang nervus trigeminus pada batang otak, misalnya foramen ovale dan rotundum. Penekanan yang paling sering terdapat pada ganglion gasseri, yaitu ganglion yang mempercabangkan 3 ramus nervus trigeminus. Pembuluh darah yang berdekatan dengan ganglion gasseri tersebut akan menyebabkan rasa nyeri ketika pembuluh darah tersebut berdenyut dan bersentuhan dengan ganglion. Kompresi oleh pembuluh darah ini lama kelamaan akan menyebabkan mielin dari nervus tersebut robek/ rusak. Seperti yang diketahui, mielin membungkus serabut saraf dan membantu menghantarkan impuls dengan cepat. Sehingga pada mielin yang rusak, selain penghantaran impuls tidak bagus, akan terjadi rasa nyeri sebagai akibat dari kerusakan jaringan mielinnya (Handani, 2019). Teori ini dibuktikan melalui bukti bukti bahwa ketika dilakukan pemeriksaan penunjang, didapatkan adanya kompresi sekitar 80-90% kasus pada arteri di area perjalanan



nervus trigeminus, dan rasa nyeri pada kasus ini hilang ketika dilakukan operasi dengan metode dekompresi pembuluh darah. Sedangkan pada multiple sclerosis dapat pula terjadi neuralgia trigeminal karena adanya proses demielinisasi dari sistem saraf pusat sehingga dapat mengenai nervus trigeminus. Pada orang yang menderita tumor yang mengenai nervus trigeminus, dapat pula terjadi neuralgia karena tumor menekan nervus trigeminus. Mielin yang rusak dapat menyebabkan degenarasi akson sehingga terjadi kerusakan saraf secara menyeluruh. Kerusakan mielin ini juga mempengaruhi hilangnya sistem inhibisi pada saraf tersebut, sehingga impuls yang masuk tidak diinhibisi dan terjadi sensibilitas yang lebih kuat dari yang seharusnya dirasakan seperti sentuhan ringan seperti bercukur dapat menyebabkan rasa nyeri paroksismal pada neuralgia trigeminal (Hidayati, 2019). 3.5 Manifestasi Klinis Trigeminal neuralgia memberikan gejala dan tanda sebagai berikut : 1. Rasa nyeri berupa nyeri neuropatik, yaitu nyeri berat paroksimal, tajam, seperti menikam, tertembak, tersengat listrik, terkena petir, atau terbakar yang berlangsung singkat beberapa detik sampai beberapa menit tetapi kurang dari 2 menit, tiba-tiba dan berulang. Diantara serangan biasanya ada interval bebas nyeri, atau hanya ada rasa tumpul ringan. 2. Lokasi nyeri umumnya terbatas di daerah dermatom nervus trigeminus dan yang karakteristik nyeri unilateral. 3. Trigeminal neuralgia dapat dicetuskan oleh stimulus seperti perabaan ringan, getaran, atau stimulus mengunyah. Akibatnya pasien akan mengalami kesulitan atau timbul saat gosok gigi, makan, menelan, berbicara, bercukur wajah, tersentuh wajah, membasuh muka bahkan terhembus angin dingin. Biasanya daerah yang dapat mencetuskan nyeri (trigger zone) di wajah bagian depan, sesisi dengan nyeri pada daerah percabangan nervus trigeminus yang sama. Bila trigger zone di daerah kulit kepala, pasien takut untuk berkeramas atau bersisir. 4. Nyeri pada trigeminal neuralgia dapat mengalami remisi dalam satu tahun atau lebih. Pada periode aktif neuralgia, karakteristik terjadi peningkatan frekuensi dan beratnya serangan nyeri secara progresif sesuai dengan berjalannya waktu. 5. Pada pemeriksaan fisik dan neurologik biasanya normal atau tidak ditemukan defisit neurologik yang berarti. Hilangnya sensibilitas yang bermakna pada nervus trigeminal mengarah pada pencarian proses patologik yang mendasarinya, seperti tumor atau infeksi yang dapat merusak syaraf. Pada tumor selain nyerinya atipikal dan hilangnya sensibilitas, disertai pula gangguan pada syaraf kranial lainnya. 6. Pemeriksaan penunjang lebih bertujuan untuk membedakan trigeminal neuralgia yang idiopatik atau simptomatik. CT Scan kepala untuk melihat keberadaan tumor. Sklerosis



multiple dapat terlihat dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI). MRI ini sering digunakan sebelum tindakan pembedahan untuk melihat kelainan pembuluh darah. Diagnosis trigeminal neuralgia dibuat dengan mempertimbangkan riwayat kesehatan dan gambaran rasa sakitnya. Sementara tidak ada pemeriksaan diagnostik yang dapat mempertegas adanya kelainan ini. Teknologi CT Scan dan MRI sering digunakan untuk melihat adanya tumor atau abnormalitas lain yang menyebabkan sakit tersebut. Pemeriksaan MRA (high-definition MRI angiography) pada trigeminal neuralgia dan brainstem dapat menunjukan daerah nervus yang tertekan vena atau arteri. 3.6 Penegakan Diagnosa Untuk menegakkan diagnosis neuralgia trigeminal, IHS (International Headache Society) tahun 2005 menetapkan kriteria diagnostik untuk neuralgia trigeminal sebagai berikut: 1.



Serangan nyeri paroksismal yang bertahan selama beberapa detik sampai 2 menit, mengenai satu atau lebih daerah persarafan cabang saraf trigeminal.



2.



Nyeri harus memenuhi satu dari dua kriteria berikut: a.



Intensitas tinggi, tajam, terasa di permukaan, atau seperti ditusuk-tusuk.



b.



Berawal dari trigger zone atau karena sentuhan pemicu.



3.



Pola serangan sama terus.



4.



Tidak ada defisit neurologis.



5.



Tidak ada penyakit terkait lain yang dapat ditemukan.



Neuralgia trigeminal hendaknya memenuhi minimal kriteria 1, 2, dan 3. 3.7 Penatalaksanaan Neuralgia Trigeminal Pengobatan trigeminal neuralgia dapat bersifat medis atau secara bedah. Terapi medis adalah pilihan pertama, peralihan ke bedah saraf fungsional hanya dalam kasus di mana terapi klinis terbukti tidak efektif. Non invasif: Farmakologis 1. Karbamazepine Karbamazepin merupakan pilihan utama dalam mengobati neuralgia trigeminal. Karbamazepin berfungsi untuk menurunkan recovery rate dari voltage-gated sodium channel dan mengaktivasi sistem penghambat impuls. Selama bertahun-tahun karbamazepin telah digunakan sebagai gold standard dalam mengobati trigeminal neuralgia. Efek samping karbamazepin cukup banyak, mulai dari supresi sistem hematologi yang paling sering



bermanifestasi sebagai leukopenia, ketidakseimbangan elektrolit berupa hiponatremia, dizziness, gangguan memori, dan gangguan fungsi hati. Karbamazepin merupakan antikonvulsan yang dapat diberikan pada dosis 200-1200 mg/hari yang secara bertahap dapat ditambah hingga rasa sakit hilang, selama periode remisi dosis dapat dikurangi secara bertahap. Dosis yang digunakan dapat berkisar dari 100-1.200 mg per hari. Umumnya, dosis yang kecil yang dibutuhkan dalam tahap awal pengobatan NT yang efektif adalah jauh lebih sedikit daripada yang diperlukan untuk pengobatan epilepsi. Dalam kasus NT yang baru didiagnosis, dosis awal yang biasa digunakan adalah 100-200 mg dua kali sehari. Kadangkadang nyeri baru berespon pada dosis 100 mg tiga kali atau bahkan dua kali per hari. Dosis harian harus ditingkatkan sebesar 100 mg setiap hari sampai nyeri terkontrol dapat ditegakkan atau sampai adanya efek samping yang tidak dapat ditolerir sehingga mencegah titrasi ke atas dengan lebih lanjut. Dosis total maintenance adalah 300-800 mg/ hari, diberikan dalam 2-3 dosis terbagi. Sebagian besar (umumnya) pasien merespons pada dosis 200- 800 mg per hari dalam dua-tiga dosis terbagi. Dosis maksimum total yang disarankan adalah 1200 mg/ hari. Dengan penyesuaian dosis yang tepat, rasa nyeri dapat dikontrol pada sekitar 75% pasien. Dosis dapat dikurangi setelah rasa nyeri dikontrol, karena remisi dapat terjadi. CBZ extended release berguna untuk dosis malam pada pasien dengan serangan nyeri selama tidur, karena kadar obat tidak turun. Hal ini tidak hanya membuat pasien bebas rasa nyeri selama tidur, tetapi dapat mengurangi efek samping, karena tidak mencapai puncak serum yang tinggi. 2. Oxkarbazepine Oxkarbazepin dapat digunakan sebagai pengganti apabila karbamazepin tidak bisa ditoleransi, karena efek samping yang lebih sedikit. Oxkarbazepin bekerja dengan memblokir voltage-gated sodium channel dan memodulasi voltage-gated calcium channel. Efek samping yang mungkin terjadi adalah dizziness dan gangguan memori. Oxkarbazepine 600-3000 mg/hari yang secara bertahap ditingkatkan untuk mengontrol rasa sakitnya. 3. Baklofen Baklofen 60 – 80 mg/hari merupakan obat pilihan lini kedua dalam mengobati neuralgia trigeminal yang berkerja dengan memfasilitasi inhibisi segmental pada kompleks trigeminal. Efek samping baklofen berupa sulit konsentrasi, dizziness, tremor, dan juga ataxia. 4. Lamotrigin Lamotrigin 100 – 400 mg/hari merupakan obat pilihan lini kedua, bersama dengan baclofen, dalam mengobati neuralgia trigeminal yang berkerja menghambat voltage-gated sodium



channel yang akan menstabilisasi membrane neural. Efek samping lamotrigin adalah ataxia, muntah, konstipasi, dan ruam. 5. Gabapentine Gabapentine 300-3600 mg/hari dan ditambah hingga dosis maksimal. Gabapentin adalah suatu antikonvulsan baru yang terbukti dari beberapa uji coba sebagai obat yang dapat dipertimbangkan untuk nyeri neuropatik. Pemberian obat ini dianjurkan bila carbamazepin dan phenitoin gagal mengendalikan nyerinya. Dosis awal 300 mg, malam hari, selama 2 hari. Bila tidak terjadi efek samping yang mengganggu seperti pusing/dizzy, ngantuk, gatal, dan bingung, obat dinaikkan dosisnya setiap 2 hari dengan 300 mg hingga nyeri hilang atau hingga tercapai dosis 1800 mg/hari. Dosis maksimal yang diperbolehkan oleh pabrik obat ini adalah 2400 mg/hari. Cara kerja gabapentin dalam menghilangkan nyeri masih belum jelas, yang pasti dapat dikemukakan adalah bahwa obat ini meningkatkan sintesis GABA dan menghambat degradasi GABA. Karena itu, pemberian gabapentin akan meningkatkan kadar GABA di dalam otak. Karena obat ini lipophilic maka penetrasinya ke otak baik. 6. Berdasarkan Panduan Praktik Klinis Neurologis 2016 obat-obatan pilihan lain yang dapat diberikan sebagai berikut, Phenitoin 100-200 mg / hari, Phenobarbital 50-100 mg / hari , Clobazam 10 mg / hari, Topiramate 100 – 400 mg / hari , Pregabaline 50-75 mg / hari, Mecobalamine 500 – 1000 mcg/hari Non Farmakologik: Minimal invasif: (Atas indikasi) 1. Ganglion Gasserian Radiofrekuensi Ablasi Pasien tua dengan penyakit-penyakit komorbid, maka terapi radiofrekuensi (RF) pada ganglion gasseri dapat direkomendasikan. Prosedur ablasi radiofrekuensi (RF) atau disebut juga rizotomi merupakan salah satu prosedur invasif minimal dengan menggunakan alat penghasil arus frekuensi tinggi yang menghasilkan panas dengan tujuan untuk membuat lesi pada suatu jaringan, termasuk jaringan saraf. Lesi pada jaringan saraf akan menghambat transmisi sinyal nyeri menuju otak. Ablasi ganglion trigeminal dilakukan sebagai salah satu tata laksana nonmedikamentosa neuralgia trigeminal. Target ablasi adalah saraf trigeminal pada area foramen ovale. Prosedur ini dapat memberikan perbaikan rasa nyeri sebesar 98% dari pasien yang menderita neuralgia trigeminal. Namun sebanyak 15%-20% pasien mengalami kekambuhan nyeri dalam rentang



waktu 12 bulan setelah tindakan intervensi. Tindakan ablasi dapat diulangi pada pasien yang sama bila nyeri muncul kembali (Siahaan dan Wiradarma, 2018).



2. Prosedur Perkutan Terdapat beberapa metode perkutan untuk pengobatan neuralgia trigeminal, di antaranya adalah Trigeminal Gangliolysis (PRTG), Percutaneous Retrogasserian Glycerol Rhizotomy (PRGR) dan Percutaneous Baloon Microcompression (PBM). Pada PRTG, dilakukan pemanasan ganglion dengan panas sehingga syaraf menjadi kebas. Prosedur ini diterima di seluruh dunia, karena pasien sadar saat prosedur dilakukan, pulih dengan cepat, dan prosedur hanya memakan waktu sehari, namun angka kekambuhan mencapai 25% dan terkadang terdapat komplikasi seperti kelemahan rahang atau anestesia kornea. Pada PRGR, jarum spinal menembus muka ke sisterna trigeminal, dimana pada jarum terdapat sisternogram yang diisi material kontras larut air. Kontras larut air kemudian dikeluarkan dan dimasukan pula anhydrous glycerol, kemudian pasien diminta untuk duduk selama 2 jam untuk ablasi syaraf yang lebih sempurna. PRGR memiliki tingkat keberhasilan tinggi dan tingkat rekurensi yang lebih rendah. Pada PBM, operator memasukan kateter balon melalui foramen ovale ke daerah ganglion dan balon dikembangkan selama 1-10 menit. Tingkat rekurensi sesudah prosedur lebih rendah dibandingkan PRTG. Pada Prosedur ini diutamakan bagi pasien usia lanjut yang tidak mendapatkan hasil yang baik dengan farmakoterapi. Bedah Invasif



1. Microvascular Decompression Terdapat beberapa metode bedah, seperti microvascular decompression, tapi microvascular decompression merupakan metode yang sering digunakan. Microvascular



decompression biasa dilakukan pada pasien yang usianya lebih muda dan lebih sehat, terutama pasien dengan nyeri yang terisolasi di cabang optalmik atau di ketiga cabang nervus trigeminus, atau pasien dengan neuralgia trigeminal sekunder. Prosedur ini membutuhkan anestesi total. Microvascular decompression dilakukan dengan membuka lubang di area mastoid dan membebaskan nervus trigeminus dari kompresi atau lilitan pembuluh darah dan memasang pad di antara nervus dengan pembuluh darah / sumber kompresi. Tingkat kesembuhan mencapai 80% dan tingkat rekurensi termasuk yang paling rendah di antara semua prosedur invasif untuk intervensi nyeri (tingkat rekurensi 20% dalam 1 tahun, 25% dalam 5 tahun).



3.8 PROGNOSIS Terapi farmakologi memberikan hasil yang bervariasi pada masing masing individu. Dekompresi mikrovaskular umumnya memberikan hasil yang baik dan jarang relaps. Ad vitam = ad bonam Ad sanationam = dubia ad malam Ad fungsionam = dubia ad malam



BAB IV PEMBAHASAN



Neuralgia trigeminal didefinisikan sebagai “rasa nyeri yang berulang, kebanyakan terjadi di sisi unilateral, parah, singkat, menusuk, berulang pada distribusi satu atau lebih cabang saraf trigeminal. Anamnesis dilakukan pada pasien, didapatkan identitas pasien lakilaki berusia 54 tahun. Dari anamnesis juga diketahui bahwa pasien mengeluhkan nyeri di dahi sebelah kanan seperti ditusuk-tusuk dan disayat-sayat sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan ini dirasakan ketika pasien berwudhu terkena air dan terjadi sentuhan pada daerah atas alis kanan. Nyeri dirasakan secara tiba-tiba selama sekitar 1 menit. Apabila nyeri muncul, pasien tidak bisa melakukan aktivitas. Pasien mengaku nyeri hilang timbul. Saat nyeri menghilang, pasien bisa melakukan aktivitas dengan normal. Tidak terdapat keluhan nyeri di mata, mata berair (-), nyeri di pipi (), nyeri di rahang (-), gangguan pendengaran (-), gangguan pengelihatan (-), gangguan bicara (-), kebas atau kesemutan (-). Tidak didapatkan bicara pelo, merot, lemah setengah badan, kejang, ngompol,ngebrok, ataupun panas sebelumnya. Untuk menegakkan diagnosis dapat digunakan kriteria dari IHS, yaitu (1) Serangan nyeri paroksismal yang bertahan selama beberapa detik sampai 2 menit, mengenai satu atau lebih daerah persarafan cabang saraf trigeminal. (2) Nyeri harus memenuhi satu dari dua kriteria berikut (a). Intensitas tinggi, tajam, terasa di permukaan, atau seperti ditusuk-tusuk. (b) Berawal dari trigger zone atau karena sentuhan pemicu. (3) Pola serangan sama terus. (4) Tidak ada defisit neurologis. (5) Tidak ada penyakit terkait lain yang dapat ditemukan. Neuralgia trigeminal hendaknya memenuhi minimal kriteria 1, 2, dan 3. Pasien mengaku tidak pernah mengalami riwayat nyeri kepala, mual, atau muntah, pandangan kabur, sering lupa, trauma, infekesi herpes zoster. Anamnesis terkait riwayat penyakit sebelumnya ditanyakan betujuan untuk mengeliminasi dari diagnosa banding yang disebutkan. Pasien mengaku sudah pernah diterapi oleh dr Sp. S di kota X dan diberikan obat carbamazepin 3x200mg dan amitriptilin 2x12,5 mg. Pengobatan mampu meredakan nyeri tapi keluhan masih ada apabila efek obat habis. Pemeriksaan fisik umum didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan darah 130/80 mmHg, HR (Nadi) 80x/menit, RR (Laju Napas) 24x/menit, Suhu 370C. Dari pemeriksaan Head to toe dalam batas normal. Pemeriksaan neurologis didapatkan sensorik hiperalgesia & allodynia sesuai distribusi N V-1 (D).



Berdasarkan hasil evaluasi pengobatan dengan karbamazepin 3x200 mg dan amitriptilin 2x12,5 mg, maka dosis pengobatan karbamazepin dapat ditingkatkan menjadi 2x400 mg. Mengingat karbamazepin merupakan terapi farmakologi lini pertama dan dosis harian harus ditingkatkan sebesar 100 mg setiap hari sampai nyeri terkontrol dapat ditegakkan atau sampai adanya efek samping yang tidak dapat ditolerir sehingga mencegah titrasi ke atas dengan lebih lanjut. Dosis total maintenance adalah 300-800 mg/ hari, diberikan dalam 2-3 dosis terbagi. Pemberian amitriptilin perlu dievaluasi kembali, karena amitriptilin merupakan pengobatan lini pertama untuk neuropati diabetik, yaitu dapat menghilangkan rasa nyeri dari stimulus suhu, mekanik, dan elektrik pada penderita diabetik. Apabila digunakan pada neuralgia trigeminal hanya memberikan manfaat minimal, selain itu mengingat usia pasien sebagai pregeriatri dimana secara umum fungsi organ tubuh mulai mengalami penurunan, sehingga lebih baik untuk menghindari polifarmasi. Apabila sampai dosis maksimal tetap tidak ada perbaikan, maka pasien dirujuk ke spesialis bedah syaraf untuk dilakukan tindakan yang invasif seperti Ganglion Gasserian Radiofrekuensi Ablasi, Trigeminal Gangliolysis (PRTG), Percutaneous Retrogasserian Glycerol Rhizotomy (PRGR) dan Percutaneous Baloon Microcompression (PBM), dan Microvascular Decompression. Pada usia tua disarankan menggunakan terapi bedah Ganglion Gasserian Radiofrekuensi Ablasi, mengingat dikhawatirkan adanya penyakit komorbid yang dikhawatirkan beresiko dalam pelaksanaan terapi invasif.



BAB V PENUTUP



5.1 Kesimpulan Neuralgia trigeminal didefinisikan sebagai “rasa nyeri yang berulang, kebanyakan terjadi di sisi unilateral, parah, singkat, menusuk, berulang pada distribusi satu atau lebih cabang saraf trigeminal. Penegakan diagnosa didasarkan pada anamnesa dan pemeriksaan klinis. Penatalaksanaannya diawali dengan farmakologi sampai mencapai batas maksimal, apabila tidak didapatkan perbaikan maka disarankan untuk dilakukan terapi nonfarmakologi. 5.2 Saran Sebagai dokter, sebaiknya memiliki pemahaman yang baik mengenai neuralgia trigeminal agar mampu mendiagnosis dan memberikan penatalaksanaan dengan baik sehingga membantu meningkatkan kualitas hidup pasien.



DAFTAR PUSTAKA



Gunawan, P. Y., & Dina, A. (2019). Trigeminal Neuralgia Etiologi, Patofisiologi, dan Tatalaksana. Medicinus, 7(2), 53-60. Handani, F. (2019). Penatalaksanaan bedah pada trigeminal neuralgia (studi pustaka). SKRIPSI2008. Hidayati, H. (2020). CARBAMAZEPINE AS A PAIN TREATMENT OF TRIGEMINAL NEURALGIA. Journal of Pain, Headache and Vertigo, 1(2), 37-41. Kuliah, N. M., Bobot, S. K. S., & Kompetensi, S. BAHAN AJAR III REFERRED PAIN. Netter, Frank H., John T. Hansen, and David R. Lambert. Netter's Clinical Anatomy. Carlstadt, N.J.: Icon Learning Systems, 2005 PERDOSSI. Panduan Praktik Klinis Neurologi I.2016: 73-75 Putra, I., Anwar, Y., & Surbakti, K. P. (2018). PERBEDAAN EFEK ANALGESIK AMITRIPTILIN, GABAPENTIN, DAN PREGABALIN PADA NEUROPATI DIABETIK DAN NEURALGIA TRIGEMINAL. Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 35(2).



Santosa, W. Ablasi Radiofrekuensi pada Neuralgia Trigeminal dengan Panduan Fluoroskopi. JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia), 12(1), 32-39 Siahaan, Y. M. T., & Wiradarma, H. D. (2018). PERAN INTERVENSI MINIMAL TIPE ABLASI



RADIOFREKUENSI



DALAM



PENANGANAN



NYERI



KRONIK. Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 35(4).