LP Aub [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN ABNORMAL UTERINE BLEEDING (AUB) 1. DEFINISI Abnormal Uterine Bleeding/ Perdarahan Uterus Abnormal merupakan perdarahan yang terjadi diluar siklus menstruasi yang dianggap normal. Perdarahan Uterus Abnormal dapat disebabkan oleh faktor hormonal, berbagai komplikasi kehamilan, penyakit sistemik, kelainan endometrium (polip), masalah-masalah serviks / uterus (leiomioma) / kanker. Namun pola perdarahan abnormal seringkali sangat membantu dalam menegakkan diagnosa secara individual (Benson, 2009) Perdarahan Uterus Disfungsional (PUD) digunakan untuk menunjukan semua keadaan perdarahan melalui vagina yang abnormal. PUD disini didefenisikan sebagai perdarahan vagina yang terjadi didalam siklus 40 hari, berlangsung >8 hari mengakibatkan kehilang darah > 80 mL & anemia. Ini merupakan diagnosis penyingkiran dimana penyakit lokal & sistemik harus disingkirkan. Sekitar 50 % dari pasien ini sekurang-kurangnya berumur 40 th & 20 % yang lain adalah remaja, karena merupakan saat siklus anovulatori lebih sering ditemukan. (Rudolph,A. 2006). 2. ETIOLOGI a. Komplikasi kehamilan 1) Perdarahan implantasi 2) Abortus 3) Kehamilan ektopik 4) Kehamilan mola, penyakit trofoblastik 5) Komplikasi plasenta 6) Vasa previa 7) Hasil konsepsi yang tertahan 8) Subinvolusi uterus setelah kehamilan b. Infeksi dan Inflamasi 1) Vulvitis 2) Vaginitis 3) Servitis 4) Endometritis 5) Salpingo-oophoritis c. Hiperplasia dan Neoplasia 1) Vagina: karsinoma, penyakit trofoblastik metastatic, sarcoma botryoides. 2) Serviks: polip, papiloma, karsinoma. 3) Endometrium: hyperplasia, polip, karsinoma, sarcoma, penyakit trofoblastik.



4) Miometrium: leiomoima, leiomiosarkoma, miosis stroma endolimfatik (hemangioperisitoma). 5) Ovarium : tumor-tumor sel teka granulose yang menghasilkan estrogen; tumor-tumor lain atau kista dapat merangsang hormone stromaovarium. 6) Tuba falopii: karsinoma. d. Trauma 1) Perdarahan post operatif 2) Laserasi Obstetrik 3) Benda asing dalam vagina 4) Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) e. Endometriosis f.



Adenomiosis



g. Aneurisma sirsiod- fistula arteriovenosa h. Kelainan hematologik atau sistemik 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)



Trombositopenia Penyakit Von Willebrand Terapi antikoagulan Koagulasi intravascular diseminata Hipertensi Hipotiroid (lebih banyak terjadi pada hipotiroidi daripada hipertiroidi) Leukemia Penyakit hepar



3. MANIFESTASI KLINIS a. Perdarahan rahim yang dapat terjadi tiap saat dalam siklus menstruasi. b. Jumlah perdarahan bisa sedikit-sedikit dan terus menerus atau banyak dan berulang. c. Pada siklus ovulasi biasanya perdarahan bersifat spontan, teratur dan lebih bisa diramalkan serta seringkali disertai rasa tidak nyaman sedangkan



pada



anovulasi



merupakan



kebalikannya



(Rudolph,Abraham, 2006). d. Selain itu gejala yang yang dapat timbul diantaranya seperti mood tidak stabil, serta dapat menimbulkan rasa lelah yang berlebih (Stork,Susan, 2006). Pada siklus ovulasi Karakteristik PUD bervariasi, mulai dari perdarahan banyak tapi jarang,



hingga



Perdarahan



ini



spotting



atau perdarahan



merupakan kurang



yang terus menerus.



lebih 10%



dari



perdarahan



disfungsional dengan siklus pendek (polimenorea) atau panjang (oligomenorea). Untuk menegakan diagnosis perlu dilakukan kerokan pada masa mendekati haid. Jika karena perdarahan yang lama dan



tidak teratur sehingga siklus haid tidal lagi dikenali maka kadang-kadang bentuk kurve suhu badan basal dapat menolong (Wiknjoksastro, 2007). Jika sudah dipastikan bahwa perdarahan berasal dari endometrium tipe sekresi tanpa ada sebab organik, yaitu : 1) korpus luteum persistens: dalam hal ini dijumpai perdarahan kadang-kadang bersamaan dengan ovarium membesar. Dapat juga menyebabkan pelepasan endometrium tidak teratur. 2) Insufisiensi korpus luteum dapat menyebabkan premenstrual spotting, menoragia atau polimenorea. Dasarnya ialah kurangnya produksi progesteron disebabkan oleh gangguan LH releasing faktor. Diagnosis dibuat, apabila hasil biopsi endometrial dalam fase luteal tidak cocok dengan gambaran endometrium yang seharusnya didapat pada hari siklus yang bersangkutan. 3) Apopleksia uteri: pada wanita dengan hipertensi dapat terjadi pecahnya pembuluh darah dalam uterus. Kelainan darah seperti anemia, purpura trombositopenik dan gangguan dalam mekanisme pembekuan darah.



Pada siklus tanpa ovulasi (anovulation) Perdarahan tidak terjadi bersamaan. Permukaan dinding rahim di satu bagian baru sembuh lantas diikuti perdarahan di permukaan lainnya. Jadilah perdarahan rahim berkepanjangan (Wiknjoksastro, 2007). Berdasarakan jenis perdarahan yang muncul, yaitu : Batasan Oligomenorea



Pola Abnormalitas Perdarahan Perdarahan uterus yang terjadi dengan interval > 35 hari dan



Polimenorea



disebabkan oleh fase folikuler yang memanjang. Perdarahan uterus yg trjadi dgn interval 80 ml atau > 7 hari. Perdarahan uterus yang tidak teratur, interval non-siklik dan dengan



( 21 – 35



darah yang berlebihan (>80 ml) dan atau dengan durasi yang /



panjang ( > 7 hari). Perdarahan uterus yang tidak teratur diantara siklus ovulatoir



perdarahan antara



dengan penyebab a.l penyakit servik, AKDR, endometritis, polip,



Metroragia



haid Bercak



mioma submukosa, hiperplasia endometrium, dan keganasan. Bercak perdarahan yang terjadi sesaat sebelum ovulasi yang



intermenstrual Perdarahan pasca



umumnya disebabkan oleh penurunan kadar estrogen. Perdarahan uterus yang terjadi pada wanita menopause yang



menopause



sekurang-kurangnya sudah tidak mendapatkan haid selama 12



Perd.uterus



bulan. Perdarahan uterus yang ditandai dengan hilangnya darah yang



abnormal akut



sangat



Perdarahan uterus



(hipotensi , takikardia atau renjatan). Perdarahan uterus yang bersifat ovulatoir atau anovulatoir yang



disfungsi



tidak



banyak



berkaitan



dan



menyebabkan



dengan



kehamilan,



gangguan



hemostasisis



pengobatan,



penyebab



iatrogenik, patologi traktus genitalis yang nyata dan atau gangguan kondisi sistemik.



4. KLASIFIKASI a) Perdarahan uterus abnormal akut adalah episode perdarahan banyak yang menurut klinisi dianggap memerlukan intervensi. b) Perdarahan uterus abnormal kronik adalah perdarahan abnormal dalam hal volume, regularitas, clan waktu yang telah berlangsung lebih dari enam bulan. Perdarahan intermenstrual adalah perdarahan yang terjadi di antara dua siklus menstruasi. tstilah ini digunakan untuk menggantikan istilah metroragia. Perlu diperhatikan pula bahwa perdarahan dikatakan berlebih apabila-jumlah darah yang keluar lebih dari 80 mL per siklus, atau lama perdarahan lebih dari 7 hari. Apakah kelainan yang ditemukan bersifat struktural/ anatomik? Sistem



PALM-COEIN



menempatkan



kelainan



yang



, bersifat



struktural/anatomik sebagai akronim pertama (PALM). Hal ini ternyata berdampak juga bahwa kelainan anatomik harus diidentifikasi terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh untuk mencari kemungkinan kelainan yang bersifat nonstruktural (COEIN). Dalam sistem ini bila terdapat kelainan anatomik maka di belakang huruf yang bersangkutan diberi kode 1. Sebaliknya bila tidak ditemukan kelainan anatomik, diberi kode 0. Kelainan anatomik yang mungkin menjadi penyebab PUA antara lain: 1) Polip (P): Polip endometrium diketahui melalui proses pencitraan namun tidak dibedakan menurut ukuran maupun jumlah polip yang didapat. Dalam perkembangannya dimungkinkan untuk membuat subklasifikasi polip berdasar dimensi, lokasi, jumlah, morfologi, dan histologinya.



2) Adenomiosis (A): walaupun kaitan patofisiologi adenomiosis dengan PUA



belum



sepenuhnya



dipahami



namun



pengalaman



klinis



menunjukkan adanya hubungan erat antara kondisi ini dengan PUA. Secara Minis diagnosis adenomiosis banyak mengandalkan aspek pencitraan terutama ultrasonografi transvaginal. Beberapa poin penting karakteristik adenomiosis secara ultrasonografi antara lain ekogenisitas miometrium yang heterogen dan difus dengan batas endomiometrial yang tidakjelas, adanya lakuna anekoik di miometrium, tekstur gema miometrium fokal yang abnormal dengan batas yang tidak jelas, dan pembesaran yang globuler dan atau asimetris dari uterus. 3) Leiomioma (L): dalam sistem ini mioma uteri diklasifikasikan secara primer, sekunder, dan tersier. Penggolongan primer dimaksudkan untuk menunjukkan ada atau tidaknya mioma uteri. Penggolongan sekunder adalah untuk membedakan mioma submukosa (SM) dengan mioma jenis lain (0-others). Penggolongan tersier adalah untuk menentukan derajat "gangguan" yang ditimbulkan mioma terhadap endometrium. 4) Malignancy-keganasan dan kondisi pra-keganasan (M): kemungkinan kondisi ini sebagai penyebab PUA perlu dipertimbangkan bila terdapat pasien pada usia reproduktif dengan faktor risiko (obesitas, anovulasi kronik) Bila Tidak Ada Keiainan Struktural, Apakah Ada Kelainan Fungsional? Setelah kelainan anatomik diidentifikasi ataupun disingkirkan, langkah berikutnya adalah mencari kemungkinan etiologi yang bersifat nonstruktural. Perlu dipahami bahwa bila telah didapatkan kelainan yang bersifat anatomik, tidak serta merta hal tersebut merupakan penyebab PUA mengingat PUA dapaf saja diakibatkan oleh lebih dari satu faktor etiologi. Beberapa faktor nonstruktural yang mungkin menyebabkan PUA antara lain: 1) Koagulopati (C): di luar dugaan, sekitar 13% PUA ternyata disebabkan oleh



koagulopati



terutama



penyakit



von



Willebrand.



Untuk



mempermudah penapisan kemungkinan koagulopati sebagai penyebab PUA, dapat digunakan panduan sebagai berikut: a) Perdarahan berlebih saat menstruasi mulai dari menarche b) Salah satu dari gejala berikut:  perdarahan pascasalin  perdarahan yang terkait pembedahan  riwayat keluarga dengan kelainan perdarahan



2) Kelainan ovulasi/ ovulatory disfunction (O): yang dimaksud dalam kelainan ovulasi di sini adalah anovulasi, di mana terjadi ketiadaan produksi siklik dari progesteron sehingga terjadi pengaruh estrogen yang tidak terimbangi. Beberapa kemungkinan penyebab dalam kategori ini



antara



lain



sindrom



ovarium



polikistik,



hipotiroidisme,



hiperprolaktinemia, obesitas, anoreksia, atau latihan olahraga yang berlebihan. 3) Kelainan endometrium (E): bila PUA terjadi pada wanita dengan siklus yang reguler tanpa adanya kelainan struktural yang jelas, maka perlu dipertimbangkan kelainan hemostasis lokal pada endometrium sebagai penyebabnya. Dalam hal ini terjadi ketidakseimbangan antara zat vasokonstriktor (endotelin-1 dan prostaglandin F2a) dengan vasodilator (prostaglandin E2 dan prostasiklin). Selain itu inflamasi dapat pula menjadi penyebab PUA. Mengingat saat ini belum ada tes yang spesifik untuk mengetahui kelainan-kelainan di endometrium tersebut, maka disebutkan kategori ini merupakan eksklusi apabila faktor-faktor lain telah diselidiki. 4) latrogenik (I): sesuai dengan arti istilah ini, maka PUA yang ditimbulkan merupakan akibat dari intervensi medis yang diberikan. Komponen terpenting dari golongan ini adalah penggunaan hormon seks steroid eksogen. Gejala yang sering dikeluhkan pasien biasanya berupa perdarahan sela (breakthrough bleeding). 5) Tidak terklasifikasi-not yet classified (N): beberapa kelainan yang jarang ditemukan seperti malformasi arteriovenosa dan hipertrofi miometrium yang diduga menjadi penyebab PUA digolongkan ke dalam kategori ini. Adakah Kemungkinan Etiologi yang Multifaktorial Tidak semua PUA disebabkan oleh satu etiologi. Dengan demikian penyelidikan harus dilakukan secara komprehensif. Klasifikasi PALM COEIN ini sendiri memungkinkan untuk digunakan pada PUA dengan etiologi multipel. Walaupun belum merupakan klasifikasi yang paling sempurna, sistem PALM-COEIN dapat menjadi langkah yang rasional dalam upaya menyeragamkan pemahaman terhadap klasifikasi etiologi PUA. Diharapkan dengan adanya keseragaman tersebut berbagai hasil penelitian yang dilakukan dapat dengan mudah dirangkum hasilnya menjadi suatu basis bukti yang dapat digunakan untuk mengoptimalkan manajemen PUA. Di



masa



mendatang



tidak



tertutup



kemungkinan



untuk



dilakukannya



pengembangan sistem klasifikasi ini. 5. PATHOFISIOLOGI Pasien dengan perdarahan uterus disfungsional telah kehilangan siklus endometrialnya yang disebabkan oleh gangguan pada siklus ovulasinya. Sebagai hasilnya pasien mendapatkan siklus estrogen yang tidak teratur yang dapat menstimulasi pertumbuhan endometrium, berproliferasi terus menerus sehingga perdarahan yang periodik tidak terjadi. Schroder pada tahun 1915, setelah penelitian histopatologik pada uterus dan ovarium pada waktu yang sama, menarik kesimpulan bahwa gangguan perdarahan



yang



dinamakan



metropatia



hemoragika



terjadi



karena



persistensi folikel yang tidak pecah sehingga tidak terjadi ovulasi dan pembentukan korpus luteum. Akibatnya, terjadilah hiperplasi endometrium karena stimulasiestrogen yang berlebihan dan terus-menerus. Penelitian lain menunjukkan pula bahwa perdarahan disfungsional dapat ditemukan



bersamaan



endometrium



dengan



berbagai



jenis



endometrium,



yaitu



atrofik, hiperplastik, proliferatif dan sekretoris, dengan



endometrium jenis non sekresi merupakan bagian terbesar. Pembagian endometrium menjadi endomettrium sekresi dan non sekresi penting artinya, karena dengan demikian dapat dibedakan perdarahan ovulatoar dari yang anovulatoar. Klasifikasi ini memiliki nilai klinik karena kedua jenis perdarahan disfungsional ini memiliki dasar etiologi yang berlainan dan memerlukan penanganan yang berbeda. Pada perdarahan disfungsional yang ovulatoar gangguan dianggap berasal dari faktor-faktor neuromuskular, hematologi dan vasomotorik, yang mekanismenya belum seberapa dimengerti, sedang perdarahan anovulatoar biasanya dianggap bersumber pada gangguan endokrin. Mekanisme patofisiologi AUB di atas dapat dilihat dari gambar di bawah ini:



stimulasi estrogen dominan, tidak mendapat perimbangan dan berlangsung terus menerus ↓ proliferasi ↓ penambahan lapisan pembuluh darah dan kelenjar-kelenjar ↓



pertumbuhan endometrium berlebihan akibat stimulasi estrogen ↓ pelepasan endometrium ireguler



6. PEMERIKSAAN PENUNJANG Menurut Wiknjoksastro (2007) & Morgan,Geri dkk (2009), yaitu : a. Anamnesis dan pemeriksaan klinis yang lengkap Jika anamnesis dan pemeriksaan fisik menunjukkan adanya penyakit sistemik,



maka



penyelidikan



lebih



jauh



mungkin



diperlukan.



Abnormalitas pada pemeriksaan pelvis harus diperiksa dengan USG dan laparoskopi jika diperlukan. Perdarahan



Durasi



Pervaginam



a) Menorrhagia (Hipermenorrhoe) b) Spotting (antar menstruasi, postmenstruasi, post



Kuantitas



menopause)



Penyemburan Spotting (diluar menstruasi) Warna · Merah segar · Noda cokelat



Gejala Penyerta



a) Demam dan nyeri b) Kram uterus dan kehamilan c) Petekiae dan Epitaksis



Riwayat



Interval



penyakit



a) b) c) d)



dahulu · Kontrasepsi oral · AKDR



Siklik Non siklik setelah amenorrhoe perdarahan antar menstruasi (misalnya setelah koitus atau pembilasan)



1) Perdarahan siklik (reguler) didahului oleh tanda premenstruasi (mastalgia, kenaikan berat badan karena meningkatnya cairan tubuh, perubahan mood / kram abdomen ) lebih cenderung bersifat ovulatori. Sedangkan, perdarahan lama yang terjadi dengan interval tidak



teratur



setelah



mengalami



amenore



berbulan–bulan,



kemungkinan bersifat anovulatori. 2) Peningkatan suhu basal tubuh ( 0,3 – 0,6 C ), peningkatan kadar progesteron serum ( > 3 ng/ ml ) & perubahan sekretorik pada



endometrium yang terlihat pada biopsi yang dilakukan saat onset perdarahan, semuannya merupakan bukti ovulasi. b. pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan fisik juga ditemukan : Suhu meningkat



menandakan



infeksi



pelvis,



Takikardi



dan



hipotensi



nenandakan hipovolemia (perdarahan ekstra peritoneal atau intra peritoneal), sepsis, Petekiae atau ekimosis menandakan kelainan koagulasi. c. Pemeriksaan abdomen Inspeksi & palpasi misalnya menunjukkan kehamilan / iritasi peritoneum. Uterus yang membesar menandakan adanya kehamilan ektopik maupun missed abortion, uterus yang lebih besar (dari ukuran kehamilan bila dilihat



dari



HPHT)



kemungkinan



menandakan



kehamilan



mola,



kehamilan ganda / kehamilan dalam suatu uterus fibroid. d. Pemeriksaan pelvis Spekulum digunakan untuk memeriksa kuantitas darah & sumber perdarahan, laserasi vagina, lesi servik, perdarahan ostium uteri, benda asing. Bimanual digunakan untuk pemeriksaan patologis. e. Pemeriksaan darah : Hemoglobin, uji fungsi thiroid , dan kadar HCG, FSH, LH, Prolaktin & androgen serum jika ada indikasi atau skrining f.



gangguan perdarahan jika ada tampilan yang mengarah kesana. Deteksi patologi endometrium Dapat dilakukan melalui: 1) Dilatasi dan kuretase 2) histeroskopi. Wanita tua dengan gangguan menstruasi, wanita muda dengan perdarahan tidak teratur atau wanita muda ( < 40 tahun ) yang gagal berespon terhadap pengobatan harus menjalani sejumlah pemeriksaan endometrium. Penyakit organik traktus genitalia mungkin terlewatkan bahkan saat kuretase. Maka penting untuk melakukan kuretase ulang dan investigasi lain yang sesuai pada seluruh kasus perdarahan uterus abnormal berulang atau berat. Pada wanita yang memerlukan investigasi, histeroskopi lebih sensitif dibandingkan dilatasi dan kuretase dalam mendeteksi



abnormalitas endometrium g. Laparoskopi : Laparoskopi bermanfaat pada wanita yang tidak berhasil dalam uji coba terapeutik.



Data Diagnostik Tambahan



a) Biopsi endometrium atau kuretase yang dapat memberikan suatu diagnosis histologi spesifik. b) Biopsi vulva, vagina atau serviks, lesi harus dibiopsi kecuali jika lesi khas untuk penyakit trofoblastik metastatik dan dapat berdarah hebat bila dibiopsi. c) Cairan serviks untuk perwarnaan gram terutama jika dicurigai adanya infeksi. d) Tes kehamilan terhadap hCG. Tes positif kuat mengesankan adanya jaringan trofoblastik baik intra maupun ekstrauterin. e) Determinasi serangkaian hematokrit. f) Tes koagulasi dapat dilakukan bila dicurigai adanya kelainan koagulasi. g) Tes fungsi tiroid dapat diindikasikan sewaktu evaluasi lanjutan 7. PENATALAKSANAAN Menurut (Wiknjoksastro, 2007) & (Estephan A. 2005), prinsip secara umum yaitu : a. Menghentikan perdarahan  Langkah-langkah upaya menghentikan perdarahan adalah sebagai berikut: 1) Kuret (curettage)  Hanya untuk wanita yang sudah menikah. 2) Obat (medikamentosa) a) Golongan estrogen. Pada umumnya dipakai estrogen alamiah, misalnya: estradiol valerat (nama



generik) yang relatif menguntungkan karena



tidak membebani kinerja liver dan tidak menimbulkan gangguan pembekuan darah. Jenis lain, misalnya: etinil estradiol, tapi obat ini dapat menimbulkan gangguan fungsi liver. Dosis dan cara pemberian :  Estrogen konjugasi (estradiol valerat): 2,5 mg diminum 



selama 7-10 hari. Benzoas estradiol: 20 mg disuntikkan intramuskuler.







(melalui bokong) Jika perdarahannya banyak, dianjurkan menginap di RS (opname), dan diberikan Estrogen konjugasi (estradiol valerat): 25 mg secara intravenus (suntikan lewat selang infus) perlahan-lahan (10-15 menit), dapat diulang tiap 3-4







jam. Tidak boleh lebih 4 kali sehari. Estrogen intravena dosis tinggi ( estrogen konjugasi 25 mg setiap 4 jam sampai perdarahan berhenti ) akan mengontrol



secara



akut



melalui



perbaikan



proliferatif



endometrium dan melalui efek langsung terhadap koagulasi,



termasuk peningkatan fibrinogen dan agregasi trombosit. Terapi estrogen bermanfaat



menghentikan perdarahan



khususnya pada kasus endometerium atrofik atau inadekuat. Estrogen juga diindikasikan pada kasus DUB sekunder akibat depot progestogen ( Depo Provera ).2 Keberatan terapi 



ini



ialah



bahwa



setelah



suntikan



dihentikan,



perdarahan timbul lagi Obat Kombinasi. Terapi siklik merupakan terapi yang paling banyak digunakan dan paling efektif. Pengobatan medis ditujukan pada pasien dengan perdarahan yang banyak atau perdarahan yang terjadi setelah beberapa bulan amenore. Cara terbaik adalah memberikan kontrasepsi oral ; obat ini dapat dihentikan setelah 3 – 6 bulan dan dilakukan observasi untuk melihat apakah telah timbul pola menstruasi yang normal. Banyak pasien yang mengalami anovulasi kronik dan pengobatan berkelanjutan diperlukan.



b) Golongan progesterone Pertimbangan di sini ialah bahwa sebagian besar perdarahan fungsional bersifat anovulatoar, sehingga pemberian obat progesterone



mengimbangi



pengaruh



estrogen



terhadap



endometrium. Obat untuk jenis ini, antara lain: 1) Medroksi progesteron asetat (MPA): 10-20 mg per hari, diminum 7-10 hari. 2) Norethisteron: 3×1 tablet, diminum selama 7-10 hari. 3) Kaproas hidroksi-progesteron 125 mg secara intramuskular.



c) OAINS Menorragia dapat dikurangi dengan Obat Anti Inflamasi Non Steroid. Fraser dan Shearman membuktikan bahwa OAINS paling efektif jika diberikan selama 7 hingga 10 hari sebelum onset menstruasi yang diharapkan pada pasien DUB ovulatori, tetapi umumnya dimulai pada onset menstruasi dan dilanjutkan selama espisode perdarahan dan berhasil baik. Obat ini mengurangi kehilangan darah selama menstruasi ( mensturual blood loss / MBL ) dan manfaatnya paling besar pada DUB ovulatori dimana jumlah pelepasan prostanoid paling tinggi.



b. Mengatur menstruasi agar kembali normal  Setelah perdarahan berhenti, langkah selanjutnya adalah pengobatan untuk mengatur siklus menstruasi, misalnya dengan pemberian: Golongan progesteron: 2×1 tablet diminum selama 10 hari. Minum obat dimulai pada hari ke 14-15 menstruasi. c. Transfusi jika kadar hemoglobin kurang dari 8 gr%.  Terapi yang ini diharuskan pasiennya untuk menginap di Rumah Sakit atau klinik. Sekantong darah (250 cc) diperkirakan dapat menaikkan kadar hemoglobin (Hb) 0,75 gr%. Ini berarti, jika kadar Hb ingin dinaikkan menjadi 10 gr% maka kira-kira perlu sekitar 4 kantong darah. Penatalaksanaan berdasarkan tipe AUB 1) Perdarahan uterus disfungsi yang anovulatoir Pil kontrasepsi oral digunakan untuk mengatur siklus haid dan kontrasepsi. Pada penderita dengan siklus haid tidak teratur akibat anovulasi kronik (oligo ovulasi), pemberian pil kontrasepsi mencegah resiko yang berkaitan dengan stimulasi estrogen berkepanjangan terhadap endometrium yang tidak diimbangi dengan progesteron (“unopposed estrogen stimulation of the endometrium”). Pil kontrasepsi secara efektif dapat mengendalikan perdarahan anovulatoir pada penderita pre dan perimenopause. Bila terdapat kontraindikasi pemberian pil kontrasepsi ( perokok berat atau resiko tromboflebitis) maka dapat diberikan terapi dengan progestin secara siklis selama 5 – 12 hari setiap bulan sebagai alternatif.



OBAT Pil kontrasepsi



DOSIS · Etinil estradiol 20 – 35 mcg + progestin monofasik tiap hari · Pil 35 mcg 2 – 4 kali sehari selama 5 – 7 hari sampai



MAKSUD



1) Mengatur siklus haid 2) Mencegah hiperplasia endometrium



3) Penatalaksanaan



perdarahan berhenti dan diikuti



perdarahan yang banyak



dengan penurunan secara



namum tidak bersifat gawat



bertahap sampai 1 pil 1 kali



darurat



perhari dan dilanjutkan dengan pemberian pil kontrasepsi selama Progestin :



3 siklus · 5 – 10 mg / hari selama 5 – 10



1) Mengatur siklus haid



Medroxyprogesteron



hari @ bulan



2) Mencegah hiperplasia



asetat (Provera,



endometrium



Prothyra)



2) Perdarahan uterus disfungsi ovulatoir Terapi medikamentosa untuk kasus menoragia terutama adalah NSAID (asam mefenamat) dan AKDR-levonorgesterel (Mirena). Efektivitas asam mefenamat, pil kontrasepsi, naproxen, danazol terhadap menoragia adalah setara. Efek samping dan harga dari androgen (Danazol atau GnRH agonis) membatasi penggunaannya bagi kasus menoragia, namun obat-obat ini dapat digunakan dalam jangka pendek untuk menipiskan endometrium sebelum dikerjakan tindakan ablasi endometrium. Obat antifibrinolitik secara bermakna mengurangi jumlah perdarahan, namun obat ini jarang digunakan dengan alasan yang menyangkut keamanan ( potensi menyebabkan tromboemboli).



d. Pembedahan Bila terapi medis gagal atau terdapat kontraindikasi maka dilakukan intervensi pembedahan. Terapi pilhan pada kasus adenokarsionoma adalah histerektomi, tindakan ini juga dipertimbangkan bila hasil biopsi menunjukan atipia. TINDAKAN Histeroskopi operatif Mimektomi (abdominal,



ALASAN Abnormalitas struktur intra uteri. Mioma uteri.



laparoskopik, histeroskopik) Reseksi endometrial



Terapi menoragia atau menometroragia



transervikal Ablasi endometrium (thermal



resisten. Terapi menoragia atau menometroragia



balloon/roller ball)



resisten dalam rangka penatalaksanaan



Embolisasi arteri uterina Histerektomi



perdarahan uterus akut yang resisten Mioma uteri. Hiperplasia atipikal, karsinoma endometrium.



8. ASUHAN KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL



a. Pengkajian 1) Identitas Klien Nama,Umur (menarche & menopouse),jenis kelamin,pekerjaan, 2) Keluhan Utama Perdarahan pervagina diantara siklus menstruasi,bisa nyeri/ tidak nyeri, siklus menstruasi yang abnormal, siklus menstruasi yang bervariasi



(biasanya



kurang



dari



28



hari



diantara



siklus



menstruasi ).Variable menstruasi flow ranging from scanty to profuse, Infertill, Mood yang berfluktuasi, Hot Flashes, Kekeringan vagina. 3) Riwayat Penyakit Harus memenuhi kriteria yang telah dikemukakan di atas termasuk : a) Ginekologi reproduksi. Pastikan tidak adanya kehamilan dengan memeriksa haid terakhir, menars, pola haid ada tidaknya dimenore, molimina, penggunaan tampon, benda asing, aktivitas seksual, pemakaian kontrasepsi (tipe, efek, lamanya), riwayat SOP dan kelainan perdarahan pada keluarga. b) Coba tentukan banyaknya perdarahan Jika seorang wanita berdiri tanpa menggunakan tampon perlu dilihat apakah ada perdarahan yang mengalir pada kedua kakinya. Jika ada maka perdarahan dikatakan banyak. c) Singkirkan penyebab lain dari perdarahan, seperti stress, kelainan pola makan, olahraga, kompetisi atletik, penyakit kronis, pengobatan dan penyalahgunaan obat. d) Tentukan karakteristik episode perdarahan terakhir 4) Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik dilakukan dengan metode head to toe untuk menemukan



kondisi



abnormal



dari



klien.



Pemeriksaan



harus



difokuskan untuk mengidentifikasi tanda-tanda penyebab lain dari perdarahan. Sindroma Ovarium Polikistik (SOP) dapat ditentukan karena gejalanya sangat jelas, sedangkan adanya anovulasi kronik tidak menunjukkan tanda yang jelas. a) Obesitas, SOP, dan hipotiroidisme (menometroragi) b) Kelebihan hormon androgen c) Memar-memar – koagulopati d) Galaktore-peningkatan prolaktin , singkirkan kemungkinan adanya adenoma hipofise e) Pembesaran uterus. Kemungkinan hamil, tumor atau miom f) Adanya masa pada adneksa g) Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah serta pemeriksaan kehamilan diperlukan pada kasus ini. Pemeriksaan lain tergantung dari usia, status ovulasi, risiko PMS (Penyakit



Menular



Seksual),



dan



risiko



penyakit



lain.



Pemeriksaan



ultrasonografi transvaginal adalah pemeriksaan noninvasif dan Membantu dalam mendeteksi Kelainan pada rahim, seperti polip, atau mengukur ketebalan endomentrium. Pemeriksaan ini dapat dilanjutkan dengan histeroskopi (memasukkan Teropong dalam rahim) atau Biopsi endometrium (mengambil sedikit jaringan endometrium) bila diperlukan. Pemeriksaan laboratorium ini harus sudah terarah sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik dan anamnesis karena biayanya sangat mahal,seperti: (1) Tes kehamilan (2) PAP tes (3) Hitung jenis leukosit 6600 ul (4) Pemeriksaan kadar hormon steroid (5) Biopsi endometrium (6) Hematokrit (7) H e m o g l o b i n (8) USG . b. Diagnosa Keperawatan Menurut Nanda (2011), diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada klien dengan AUB adalah sebagai berikut: 1) Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d perdarahan uterus 2) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan infeksi pada organ reproduksi 3) Cemas/ansietas berhubungan dengan perubahan keadaan atau ancaman kematian 4) Resiko infeksi berhubungan dengan trauma persalinan, jalan lahir, dan infeksi nasokomial c. Intervensi (Dongoes,2002) 1) Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d perdarahan uterus Tujuan: Status nutrisi: makanan, cairan, dan intake adekuat. Kriteri Hasil : a) BB bertambah dan dalam batas normal. b) Nilai laboratorium (tranferin, albumin, dan elektrolit) dalam batas normal c) Menunjukkan level energi adekuat. d) Menjelaskan komponen keadekuatan diet bergizi Intervensi a) Kaji motivasi pasien untuk mengubah kebiasaan makan. R :Meningkatkan nafsu makan pasien b) Monitor nilai-nilai laboratorium, terutama transferin, albumin, dan elektrolit.



R :Mengetahui dan untuk menegakkan intervensi yang tepat c) Tanyakan makanan kesukaan pasien. R :Meningkatkan nafsu makan d) Tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi. R:Mengetahui cara yang tepat dalam pemberian makan e) Monitor catatan intake kalori dan komponen nutrisi. R :Mengetahui jumlah pemasukkan dan zat yang terkandung dalam makanan f) Monitor BB pasien. R :Memantau kenaikan berat badan g) Kaji dan dokumentasikan drat kesulitan mengunyah dan menelan. R :Mengetahui apa yang menyebabkan proses mengunyah dan menelan terhambat h) Identifikasi faktor-faktor penyebab mual dan muntah. R :Mengetahui penyebab mual dan muntah i) Diskusikan dengan ahli gizi dalam menentukan kebutuhan protein untuk pasien dengan ketidakadekuatan asupan protein atau



j)



kehilangan protein R :Pemberian yang tepat dapat mempercepat peningkatan nutrisi Identifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kehilangan selera makan pasien (misalnya, medikasi, masalah emosional). R :Mengetahui penyebab penurunan bb



. 2) Nyeri



berhubungan



dengan



infeksi



pada



organ



reproduksi/perdarahan Tujuan: Nyeri berkurang/terkontrol Kriteria Hasil : a) Klien mampu mencapai level nyaman b) Klien mampu mengontrol nyeri c) Klien mampu menyebutkan efek mengganggu dari nyeri d) Klien mampu mengurangi level nyeri Intervensi a) Selidiki keluhan pasien akan nyeri,perhatikan intensitas (010),lokasi,dan faktor pencetus R:Mengetahui tingkat nyeri dan penanganan yang tepat b) Awasi tanda vital,perhatikan petunjuk non-verbal,misal:tegangan otot,gelisah. R:Mengawasi keadaan umum klien c) Berikan lingkungan yang tenang dan kurangi rangsangan penuh stress. R:Mengurangi nyeri d) Berikan tindakan kenyamanan (misal:pijatan/masase punggung) R:Merilekskan sumber nyeri e) Dorong menggunakan tekhnik manajemen nyeri ,contoh : latihan relaksasi/napas dalam,bimbingan imajinasi,visualisasi)



R:Mengontrol nyeri f) Berikan teknik relaksasi nafas dalam R:Menurut jurnal penelitian Ernawati, Tri Hartiti, Idris Hardi yang menyatakan



bahwa



Teknik



relaksasi



napas



dalam



dapat



menurunkan intensitas nyeri dengan cara merelaksasikan otot-otot skelet



yang



mengalami



spasme



yang



disebabkan



oleh



peningkatan prostaglandin sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah dan akan meningkatkan aliran darah ke daerah yang mengalami spasme dan iskemic. Teori lain yang mendukung bahwa teknik relaksasi nafas dalam dapat menurunkan intensitas nyeri adalah teori huges dkk (1975). Menurutnya dalam keadaan tertentu tubuh mampu mengeluarkan opoid endogen yaitu endorphin dan enkefalin. Zat –zat tersebut memiliki sifat mirip morfin dengan efek analgetik yang membentuk suatu “system penekan nyeri”. Tehnik relaksasi nafas dalam merupakan salah satu keadan yang mampu merangsang tubuh untuk mengeluarkan opoid endogen sehingga terbentuk system penekan nyeri yang akhirnya akan menyebabkan penurunan intensitas nyeri. Hal inilah yang menyebabkan adanya perbedaan penurunan intensitas nyeri sebelum dan sesudah dilakukan teknik relaksasi nafas dalam, dimana setelah dilakukan teknik relaksasi nafas dalam terjadi penurunan intensitas nyeri. Teknik relaksasi nafas dalam yang dilakukan secara berulang akan menimbulkan rasa nyaman. Adanya rasa nyaman inilah yang akhirnya akan meningkatkan toleransi seseorang terhadap nyeri. Orang yang memiliki toleransi nyeri yang baik akan mampu beradaptasi terhadap nyeri dan akan memilki mekanisme koping yang baik pula. g) Kolaborasi:Pemberian obat analgetika dan Pemberian Antibiotika R:Mengurangi rasa nyeri 3) Cemas/ansietas berhubungan dengan perubahan keadaan atau ancaman kematian Tujuan: Klien dapat mengungkapkan secara verbal rasa cemasnya dan mengatakan perasaan cemas berkurang atau hilang Kriteria hasil : a) Klien lebih rileks b) Rasa cemas klien berkurang Intervensi a) Kaji respon psikologis klien terhadap perdarahan paska persalinan



R: Persepsi klien mempengaruhi intensitas cemasnya b) Kaji respon fisiologis klien ( takikardia, takipnea, gemetar ) R: Perubahan tanda vital menimbulkan perubahan pada respon fisiologis c) Perlakukan pasien secara kalem, empati, serta sikap mendukung R: Memberikan dukungan emosi d) Berikan informasi tentang perawatan dan pengobatan R: Informasi yang akurat dapat mengurangi cemas dan takut yang tidak diketahui e) Bantu klien mengidentifikasi rasa cemasnya R: Ungkapan perasaan dapat mengurangi cemas f) Kaji mekanisme koping yang digunakan klien R: Cemas yang berkepanjangan dapat dicegah



dengan



mekanisme koping yang tepat g) Ajarkan teknik nafas dalam R: Menurut Jurnal Penelitian Oleh : Abdul Ghofur dan Eko Purwoko menyatakan bahwa Pemberian teknik nafas dalam pada pasien akan terjadi penurunan dalam ketegangan untuk mencapai keadaan



rileks,



memusatkan



perhatian



pada



teknik



pernafasan,dan mengencangkan serta mengendurkan kumpulan otot secara bergantian sehingga dapat merasakan perbedaan antara relaksasi dan ketegangan. Dari hasil penelitian, gambaran tingkat kecemasan setelah pemberian teknik nafas dalam pada waktu selama 15 menit diperoleh penurunan nilai tingkat kecemasan rata-rata standar devisiasinya 0,4923. 4) Resiko infeksi berhubungan dengan trauma persalinan, jalan lahir, dan infeksi nasokomial Tujuan: mencegah terjadinya infeksi Kriteria Hasil : a) Klien mampu mencegah status infeksi b) Klien mampu mencapai status kekebalan tubuh Intervensi : a) Kaji tinggi fundus dan sifat Kaji lochia: jenis, jumlah, warna dan sifatnya Monitor vital sign, terutama suhu setiap 4 jam dan selama kondisi klien kritis R:Mengetahui keadaan umum pasien b) Catat jumlah leukosit dan gabungkan dengan data klinik secara lengkap Lakukan perawatan perineum dan jaga kebersihan, haruskan mencuci tangan pada pasien dan perawat R:Mengetahui data tambahan,dan proteksi diri untuk pasien agar tidak terinfeksi



c) Kaji ekstremitas: warna, ukuran, suhu, nyeri, denyut nadi dan parasthesi/ kelumpuhan R:Mengetahui keadaan fisik dan fungsi syaraf klien d) Pemberian analgetika dan antibiotika R:Mengurangi perluasan infeksi



DAFTAR PUSTAKA



Doengoes, M.E, et al.2002. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC Kadarusman.2005.Perdarahan Uterus Disfungsional Kronik pada Masa Reproduksi. Diunduh pada tanggal 3 Mei 2013 dari http://digilib.unsri.ac.id Manuaba. 1998. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita., Jakarta: ARCAN NANDA,2011.Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda, Alih Bahasa Budi Santosa, Prima Medika, NANDA. Rahman .2008. Pendidikan Kesehatan. Jakarta: Surya Cipta Robbins, Stephen P. dan Mary Coulter. 2007. Manajemen Edisi 8. Jakarta: Indeks Sylvia A.Prie,Lorraine M.Wilson, 1995. Patofisiologi edisi 4, Jakarta:EGC