LP Cedera Kepala [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN



CEDERA KEPALA DI RUANG 12 HCU DEPARTEMEN SURGIKAL



Rumah Sakit Umum Daerah dr. Saiful Anwar Malang



Oleh: ANDHIKA SUSILA WIDJAYA NIM: 125070207111002



PROGRAM STUDI PROFESI NERS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017



I.



DEFINISI Cedera kepala merupakan proses diman terjadi trauma langsung atau deselerasi terhasdap kepala yang menyebabkan kerusakan tenglorak dan otak. (Pierce Agrace & Neil R. Borlei, 2006 hal 91). Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang di sertai atau tanpa di sertai perdarahan innterstiil dalm substansi otak tanpa di ikuti terputusnya kontinuitas otak. (Arif Muttaqin, 2008, hal 270-271). Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh masa karena hemoragik, serta edema serebral do sekitar jaringan otak. (Batticaca Fransisca, 2008, hal 96).. Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural (diantara duramater dan arakhnoid). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaanotak. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral hemisferiumdan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi bridging veins. Perdarahan subdural juga menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya berat.



II. ETIOLOGI Cidera kepala dapat disebabkan karena: 1. Kecelakaan lalu lintas, 2. Terjatuh, 3. Kecelakaan industry, 4. Kecelakaan olahraga, 5. Luka, dan 6. Persalinan. ( Tarwoto&Wartonah, 2007, hal 125 ) Beberapa mekanisme yang timbul terjadi trauma kepala adalah seperti translasi yang terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila kepala bergerak ke suatu arah atau tidak bergerak dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat searah dengan gerakan kepala, maka kepala akan mendapat percepatan (akselerasi) pada arah tersebut. Deselerasi apabila kepala bergerak dengan cepat ke suatu arah secara tiba-tiba dan dihentikan oleh suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka kepala tiba-tiba terhenti gerakannya. Rotasi adalah apabila tengkorak tiba-tiba mendapat gaya mendadak sehingga membentuk sudut terhadap gerak kepala. Kecederaan di bagian muka dikatakan fraktur maksilofasial (Sastrodiningrat, 2009). III. KLASIFIKASI a. Cedera kepala terbuka Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh velositas, masa dan bentuk dari benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jia tulang tengkorak menusuk dan masuk ke dalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam / tembakan. Cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak. b. Cedera kepala tertutup Benturan cranium pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan dalam otak cairan akan tumpah. Cedar kepala tertutup meliputi: komusio (gegar otak), kontusio (memar) dan laserasi. (Brunner & Suddarth, 2001: 2211; Long, 1990 : 203) Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek yang secara deskripsi dapat dikelompokkan berdasar mekanisme, morfologi, dan beratnya cedera kepala. (IKABI, 2004).



a. Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dikelompokkan menjadi dua yaitu : a) Cedera kepala tumpul. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan decelerasi yang menyebabkan otak bergerak didalam rongga kranial dan melakukan kontak pada protuberas tulang tengkorak. b) Cedera tembus. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan. (IKABI, 2004) b. Berdasarkan morfologi cedera kepala. Cedera kepala menurut (Tandian, 2011). Dapat terjadi di area tulang tengkorak yang meliputi : 



Laserasi kulit kepala Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit kepala/scalp terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP) yaitu skin, connective tissue dan perikranii. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak.







Fraktur tulang kepala Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi : a) Fraktur linier Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala. Fraktur lenier dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan tidak terdapat fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial. b) Fraktur diastasis Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulamg tengkorak yang mengababkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Jenis fraktur ini sering terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum menyatu dengan erat. Fraktur diastasis pada usia dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural. c) Fraktur kominutif



Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang meiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur. d) Fraktur impresi Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala dan pada area yang kecal. Fraktur impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada duremater dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi, jika tabula eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula interna segmen tulang yang sehat. e) Fraktur basis kranii Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak, fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada durameter yang merekat erat pada dasar tengkorak. Fraktur basis kranii berdasarkan letak anatomi di bagi menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media dan fraktur fossa posterior. Secara anatomi ada perbedaan struktur di daerah basis kranii dan tulang kalfaria. Durameter daerah basis krani lebih tipis dibandingkan daerah kalfaria dan durameter daerah basis melekat lebih erat pada tulang dibandingkan daerah kalfaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis dapat menyebabkan robekan durameter. Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal yang menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak (meningitis). Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon eyes sign (fraktur basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan batle’s sign (fraktur basis kranii fossa media). Kondisi ini juga dapat menyebabkan lesi saraf kranial yang paling sering terjadi adalah gangguan saraf penciuman (N,olfactorius). Saraf wajah



(N.facialis)



dan



saraf



pendengaran



(N.vestibulokokhlearis).



Penanganan dari fraktur basis kranii meliputi pencegahan peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak misalnya dengan mencegah batuk, mengejan, dan makanan yang tidak menyebabkan sembelit. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan telinga, jika perlu dilakukan tampon steril (konsultasi ahli THT) pada tanda bloody/ otorrhea/otoliquorrhea. Pada



penderita



dengan



tanda-tanda



bloody/otorrhea/otoliquorrhea



penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring ke posisi yang sehat.



Selain itu cedera kepala juga dapat terjadi di area intracranial. Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan cedera otak difus. 



Cedera otak fokal yang meliputi : a) Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH) Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yitu ruang potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan durameter. Epidural hematom dapat menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neorologis berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral. Gejala lain yang



ditimbulkan



antara



lain



sakit



kepala,



muntah,



kejang



dan



hemiparesis. b) Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut. Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (6-3 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir otak. Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan epidural. c) Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural lebih dari 3 minggu setelah trauma. Subdural hematom kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah darah yang sedikit. Darah di ruang subdural akan memicu terjadinya inflamasi sehingga akan terbentuk bekuan darah atau clot yang bersifat tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi fibroblast ke dalam clot dan membentuk noumembran pada lapisan dalam (korteks) dan lapisan luar (durameter). Pembentukan neomembran tersebut akan di ikuti dengan pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi proses degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga terakumulasinya cairan hipertonis yang dilapisi membran semi permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka akan menarik likuor diluar membran masuk kedalam membran sehingga cairan subdural bertambah banyak. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain sakit kepala, bingung, kesulitan berbahasa dan gejala yang menyerupai TIA (transient ischemic attack).disamping itu dapat terjadi defisit neorologi yang berfariasi seperti kelemahan otorik dan kejang d) Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)



Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya penurunan kesadaran. Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan energi dari trauma yang dialami. e) Perdarahan subarakhnoid traumatika (SAH) Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan subarahnoit (PSA). Luasnya PSA menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga menggambarkan burukna prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya vasospasme pembuluh darah dan menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema cerebri. 



Cedera otak difus menurut (Sadewa, 2011), meliputi : Cedera kepala difus adalah terminologi yang menunjukkan kondisi parenkim otak setelah terjadinya trauma. Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselarasi gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim



yang



sebelah



dalam.



Fasospasme



luas



pembuluh



darah



dikarenakan adanya perdarahan subarahnoit traumatika yang menyebabkan terhentinya sirkulasi diparenkim otak dengan manifestasi iskemia yang luas edema otak luas disebabkan karena hipoksia akibat renjatan sistemik, bermanifestasi sebagai cedera kepala difus. Dari gambaran morfologi pencitraan atau radiologi menurut (Sadewa, 2011) maka cedera kepala difus dikelompokkan menjadi : a) Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang menghubungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer (komisura) mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis ini lebih disebabkan karena gaya rotasi antara initi profunda dengan inti permukaan.



b) Kontusio cerebri Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena efek gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontosio cerebri adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal tersebut menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak struktur parenkim otak yang terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak. Lokasi kontusio yang begitu khas adalah kerusakan jaringan parenkim otak yang berlawanan dengan arah datangnya gaya yang mengenai kepala. c) Edema cerebri Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala. Pada edema cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat pendorongan hebat pada daerah yang mengalami edema. Edema otak bilateral lebih disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya renjatan hipovolemik. d) Iskemia cerebri Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang atau terhenti. Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif) dan disebabkan karena penyakit degeneratif pembuluh darah otak. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan nilai GCS: 



Cedera kepala ringan Nilai GCS: 13-15, kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit. Ditandai dengan: nyeri kepala, muntah, vertigo dan tidak ada penyerta seperti pada fraktur tengkorak, kontusio/hematoma.







Cedera kepala sedang Nilai GCS: 9-12, kehilangan kesadaran antara 30 menit – 24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak dan disorientasi ringan (bingung).







Cedera kepala berat Nilai GCS: 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi: kontusio serebral, laserasi, hematoma dan edema serebral. (Hudack dan Gallo, 1996: 226)



IV. PATOFISIOLOGI 



Cedera Kepala Ringan Cedera kulit kepala



Karena bagian ini banyak mengandung pembuluh darah, kulit kepala berdarah bila mengalami cedera dalam. Kulit kepala juga merupakan tempat masuknya infeksi intrakranial. Trauma dapat menimbulkan abrasi, kontisio, laserasi atau avulsi. 



Cedera Kepala Sedang Fraktur tengkorak Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak disebabkan oleh trauma. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat. Fraktur tengkorak diklasifikasikan terbuka/tertutup. Bila fraktur terbuka maka dura rusak dan fraktur tertutup dura tidak rusak. Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur dan karena alasan yang kurang akurat tidak dapat ditetapkan tanpa pemeriksaan dengan sinar X, fraktur dasar tengkorak cenderung melintas sinus paranasal pada tulang frontal atau lokasi tengah telinga di tulang temporal, juga sering menimbulkan hemorragi dari hidung, faring atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva. Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika CSS keluar dari telinga dan hidung. Cidera otak Kejadian cedera “ Minor “ dapat menyebabkan kerusakan otak bermakna. Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajat tertentu yang bermakna sel-sel cerebral membutuhkan supalai darah terus menerus untuk memperoleh makanan. Kerusakan otak tidak dapat pulih dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena darah yang mengalir tanpa henti hanya beberapa menit saja dan kerusakan neuron tidak dapat mengalami regenerasi.







Cedera Kepala Berat Komosio Komosio cerebral setelah cedera kepala adalah kehilangan fase neuologik sementara tanpa kerusakan struktur. Jika jaringan otak dan lobus frontal terkena, pasien dapat menunjukkan perilaku yang aneh dimana keterlibatan lobus temporal dapat menimbulkan amnesia disoreantasi. Kontusio Kontusio cerebral merupakan CKB, dimana otak mengalami memar dan kemungkinan adanya daerah hemoragi. Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri. Pasien terbaring kehilangan gerakan, denyut nadi lemah, pernafasan dangkal, kulit dingin dan pucat.



Hemoragi cranial Hematoma ( pengumpulan darah ) yang terjadi dalam tubuh kranial adalah akibat paling serius dari cedera kepala. Ada 3 macam hematoma : a) Hematoma Epidural (hematoma Ekstradural) Setelah terjadi cedera kepala, darah berkumpul di dalam ruang epidural (ekstradural) diantara tengkorak di dura. Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meningkat tengah putus atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada diantara dura dan tengkorak daerah frontal inferior menuju bagian tipis tulang temporal, hemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak. b) Hematoma Subdural Hematoma subdural adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar otak, yang pada keadaan normal diisi oleh cairan. Hemoragi sub dural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural. Hematoma subdural dapat terjadi akut, sub akut atau kronik tergantung pada ukuran pembuluh darah yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada. Hematoma subdural akut: dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi kkontusio atau laserasi. Hematoma subdural subakut: sekrela kontusio sedikit berat dan dicurigai pada bagian yang gagal untuk menaikkan kesadaran setelah trauma kepala. Hematoma subdural kronik: dapat terjadi karena cedera kepala minor dan terjadi paling sering pada lansia. Lansia cenderung mengalami cedera tipe ini karena atrofi otak, yang diperkirakan akibat proses penuaan. c) Hemoragi Intra cerebral dan hematoma Hematoma intracerebral adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi ini biasanya terjadi pada cedera kepala dimana tekanan mendesak kepala sampai daerah kecil. Hemoragi in didalam menyebabkan degenerasi dan ruptur pembuluh darah, ruptur kantong aneorima vasculer, tumor infracamal, penyebab sistemik gangguan perdarahan. (Pathway terlampir)



V. MANIFESTASI KLINIS Cedera kepala menurut Judikh Middleton (2007) akan menimbulkan gangguan neurologis / tanda-tanda sesuai dengan area atau tempat lesinya yang meliputi: a. Lobus frontal -



Adanya gangguan pergerakan bagian tubuh (kelumpuhan)



-



Ketidakmampuan untuk melakukan gerakan rumit yang di perlukan untuk menyelesaikan tugas yang memiliki langkah-langkah, seperti membuat kopi



-



Kehilangan spontanitas dalam berinteraksi dengan orang lain



-



Kehilangan fleksibilitas dalam berpikir



-



Ketidakmampuan fokus pada tugas



-



Perubahan kondisi kejiwaan (mudah emosional)



-



Perubahan dalam perilaku social



-



Perubahan dalam personalitas Ketidakmampuan dalam berpikir (kehilangan memori)



b. Lobus parietal -



Ketidakmampuan untuk menghadirkan lebih dari satu obyek pada waktu yang bersamaan



-



Ketidakmapuan untuk memberi nama sebuah obyek (anomia)



-



Ketidakmampuan untuk melokalisasi kata-kata dalam tulisan (agraphia)



-



Gangguan dalam membaca (alexia)



-



Kesulitan menggambar obyek



-



Kesulitan membedakan kiri dan kanan



-



Kesulitan mengerjakan matematika (dyscalculia)



-



Penurunan kesadaran pada bagian tubuh tertentu dan/area disekitar (apraksia) yang memicu kesulitan dalam perawatan diri



-



Ketidakmampuan fokus pada perhatian fisual/penglihatan



-



Kesulitan koordinasi mata dan tangan



c. Lobus oksipital -



Gangguan pada penglihatan (gangguan lapang pandang)



-



Kesulitan melokalisasi obyek di lingkungan



-



Kesulitan mengenali warna (aknosia warna)



-



Teriptanya halusinasi



-



Ilusi visual-ketidakakuratan dalam melihat obyek



-



Buta kata-ketidakmampuan mengenali kata



-



Kesulitan mengenali obyek yang bergambar



-



Ketidakmampuan mengenali gerakan dari obyek



-



Kesulitan membaca dan menulis



d. Lobus temporal -



Kesulitan mengenali wajah (prosoprognosia)



-



Kesulitan memahami ucapan (afasiawernicke)



-



Gangguan perhatian selektif pada apa yang dilihat dan didengar



-



Kesulitan identifikasi dan verbalisai obyek



-



Hilang ingatan jangka pendek



-



Gangguan memori jangka panjang



-



Penurunan dan peningkatan ketertarikan pada oerilaku seksual



-



Ketidakmampuan mengkategorikan onyek (kategorisasi)



-



Kerusakan lobus kanan dapat menyebabkan pembicaraan yang persisten



-



Peningkatan perilaku agresif



e. Batang otak



f.



-



Penurunan kapasitas vital dalam bernapas, penting dalam berpidato



-



Menelan makanan dan air (dysfagia)



-



Kesulitan dalam organisasi/persepsi terhadap lingkungan



-



Masalah dalam keseimbangan dan gerakan



-



Sakit kepala dan mual (vertigo)



-



Kesulitan tidur (insomnia, apnea saat tidur)



Cerebellum -



Kehilangan kemampuan untuk mengkoordinasi gerakan halus



-



Kehilangan kemampuan berjalan



-



Ketidakmampuan meraih obyek



-



Bergetar (tremors)



-



Sakit kepala (vertigo)



-



Ketidakmampuan membuat gerakan cepat



Menurut Mansjoer (2000) manifestasi klinis cedera kepala berdasarkan beratnya cedera sesuai skor GCS yaitu: a. Cedera kepala ringan (GCS 13 – 15) -



Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi



-



Tidak ada kehilangan kesadaran



-



Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang



-



Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing



-



Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala



-



Tidak adanya criteria cedera kepala sedang sampai berat



b. Cedera kepala sedang (GCS 9 - 12) -



Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi respon yang sesuai dengan pernyataan yang di berikan



-



Amnesia paska trauma



-



Muntah



-



Tanda



kemungkinan



fraktur



cranium



(tanda



Battle,



hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal) -



Kejang



mata



rabun,



c. Cedera kepala berat (GCS ≤ 8) -



Penurunan kesadaran sacara progresif



-



Tanda neorologis fokal



-



Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium (Mansjoer, 2000)



VI. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Pemeriksaan penunjang untuk trauma kepala menurut Doengoes (2000) dan Price & Wilson (2006) antara lain: 



CT Scan (dengan / tanpa kontras)







Mengidentifikasi adanya sol, hemoragik, menentukan ventrikuler, dan pergeseran jaringan otak.







MRI (dengan / tanpa kontras)







Menggunakan medan magnet kuat dan frekuensi radio, dapat mendiagnosis tumor, infark, dan kelainan padapembuluh darah.







Angiografi serebral







Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema



dan



trauma



perdarahan.



Digunakan



untuk



mengidentifikasi



dan



menentukan kelainan vaskuler serebral. 



Angiografi substraksi digital







Suatu



jenis



angiografi



yang



menggabungkan



radiografi



dengan



teknik



komputerisasi untuk memperlihatkan pembuluh darah tanpa gangguan dari tulang dan jaringan lunak di sekitarnya. 



EEG (Electro Ensephalogram)







Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis. EEG mengukur aktifitas listrik lapisan superficial korteks serebri melalui elektroda yang dipasang di luar tengkorak pasien.







ENG (Electro Nistagmogram)







Merupakan pemeriksaan elektro fisiologis vestibularis yang dapat digunakan untuk mendiagnosis gangguan sistem saraf pusat.







X-ray







Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur). Pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema) adanya fragmen tulang.







BAEK (Brain Auditon Euoked Tomography)







Menentuukan fungsi korteks dan batang otak.







PET (Positron Emmision Tomography)







Menunjukkan perubahan aktifitas metabolism batang otak.







Fungsi lumbal, CSS







Dapat menduga kemungkinan adanya perubahan subarachnoid.







GDA (Gas Darah Arteri)







Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan meningkatkan TIK.







Kimia (elektrolit darah)







Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan TIK / perubahan mental. (Doengoes, 2000; Price & Wilson, 2006).



XI. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan trauma kepala menurut Smeltzer (2001) dan Long (1996) antara lain: a. Dexamethason / Kalmetason : sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma. b. Terapi hiperventilasi (pada trauma kepala berat) : untuk mengurangi vasodilatasi. c. Analgetik : sebagai pereda nyeri. d. Gliserol (manitol 20% glukosa 40%) : larutan hipertonis sebagai anti edema. e. Metronidazole : untuk pengobatan infeksi anaerob, atau antibiotik yang mengandung penicillin sebagai barier darah otak. f.



Cairan infuse dextrose 5%, aminousin, aminofel, diberikan 18 jam pertama sejak terjadinya kecelakaan, selama 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.



g. Tindakan pembedahan Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala-gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan circulation(ABCs). Tindakan operasi ditujukan kepada: a. Evakuasi seluruh SDH b. Merawat sumber perdarahan c. Reseksi parenkim otak yang nonviable d. Mengeluarkan ICH yang ada.Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah: 



Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan > 10 mm atau pergeseranmidline shift > 5 mm pada CT-scan







Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK







Pasien SDH dengan GCS < 9, dengan ketebalan perdarahan < 10 mm dan pergeeran struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS > 2 poinantara saat kejadian sampai saat masuk rumah sakit







Pasien



SDH



dengan



GCS 20 mmHg.



Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill raniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk perdarahansub dural



kronik



adalah



burr



hole



craniotomy.



Karena



dengan



tehnik



ini



menunjukankomplikasi yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik pasca kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien yangsudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi yangterjadi kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan operasi ulang kembali. Trepanasi atau burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secaracepat dengan lokal anestesi. Pada saat ini tindakan ini sulit untuk dibenarkan karenadengan trepanasi sukar untuk mengeluarkan keseluruhan hematoma yang biasanyasolid dan kenyal apalagi kalau volume hematoma cukup besar. Lebih dari seperlima penderita SDH akut mempunyai volume hematoma lebih dari 200 ml. Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yanginvasif dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Hampir semua ahli bedah saraf memilih kraniotomi luas. Luasnya insisi ditentukan oleh luasnya hematoma danlokasi kerusakan parenkim otak. Lubang bor yang pertama dibuat dilokasi dimana didapatkan hematoma dalam jumlah banyak, dura mater dibuka dan diaspirasi sebanyak mungkin hematoma, tindakan ini akan segara menurunkan TIK. Lubang bor berikutnya dibuat dan kepingan kranium yang lebar dilepaskan, duramater dibukalebar dan hematoma dievakuasi dari



permukaan otak. Setelah itu,



dimasukkan surgical patties yang cukup lebar dan basah keruang subdural, dilakukan irigasi,kemudian surgical patties disedot ( suction ). Surgical patties



perlahan – lahan ditarik keluar, sisa hematoma akan melekat



pada surgical



patties,



setelah



memasukkan



kateter



kesegala



itu



dilakukan



arah.



irigasi



Kontusio



ruang



subdural



jaringanotak



dan



dengan



hematoma



intraserebral direseksi. Dipasang drain 24 jam diruang subdural,duramater dijahit rapat.Usaha



diatas



adalah



untuk



memperbaiki



prognosa



akhir



SDH,



dilakukankraniotomi dekompresif yang luas dengan maksud untuk mengeluarkan seluruhhematoma, merawat perdarahan dan mempersiapkan dekompesi eksternal



dari edemaserebral pasca operasi. Pemeriksaan pasca operasi menujukkan sisa hematoma dan perdarahan ulang sangat minimal dan struktur garis tengah kembali lebih cepat ke posisi semula dibandingkan dengan penderita yang tidak dioperasi dengan cara ini. Penggunaan teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan subdural kronik sudah mulai berkurang.Trepanasi atau kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif.Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupilanisokor dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakantanda adanya penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial. Indikasi Operasi, yaitu: 1. Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata 2. Adanya tanda herniasi/ lateralisasi 3. Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CTscan kepala tidak bisa dilakukan.



Perawatan Pasca bedah Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya.Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang ataukranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.Setelah operasipun kita harus tetap berhati hati, karena pada sebagian pasiendapat terjadi perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh darah yang baru terbentuk,subdural empiema, irigasi yang kurang baik, pergeseran otak yang tiba-tiba, kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk mengembang kembali danterjadinya reakumulasi dari cairan subdural. Maka dalam hal ini hematoma harus dikeluarkan



lagi dan sumber perdarahan harus ditiadakan. Serial skening tomografi pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan. Follow-upCT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik danuntuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.



X. KOMPLIKASI Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut Markam (1999) pada cedera kepala meliputi: a. Koma Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainnya memasuki vegetatife state. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada vegetatife state lebih dari satu tahun jarang sembuh. b. Kejang / Seizure



Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang- kurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy. c. Infeksi Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran (meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke system saraf yang lain. d. Hilangnya kemampuan kognitif Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala mengalami masalah kesadaran. e. Penyakit Alzheimer dan Parkinson Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit Alzheimer tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung frekuensi dan keparahan cedera.



Trauma kepala ringan adalah cedera pada otak yang umumnya disebabkan oleh benturan pada kepala, misalnya karena terjatuh, pukulan, atau kecelakaan. Di samping itu, goncangan serta hentakan keras pada kepala atau tubuh juga bisa memicu trauma yang lebih dikenal sebagai gegar otak ini. Gegar otak biasanya akan memengaruhi fungsi otak, namun jarang menyebabkan kerusakan permanen. Sebagian besar pengidap cedera ini tetap sadarkan diri sehingga cenderung tidak menyadari bahwa dirinya sedang mengalami gegar otak. Gejala-gejala Trauma Kepala Ringan Trauma kepala ringan umumnya ditandai oleh gejala-gejala yang ringan. Durasi berlangsungnya pun hanya sebentar. Beberapa gejala yang mungkin dialami oleh pasien adalah: 



Mual atau muntah.







Pusing atau sakit kepala ringan.







Pandangan kabur.







Linglung.







Terlihat bengong.







Mudah marah atau kesal.







Perubahan pola tidur, misalnya susah tidur atau tidur lebih lama dari biasanya.







Telinga berdenging.







Merasa lemas atau lelah.







Mengalami gangguan keseimbangan tubuh. Gejala-gejala trauma otak ringan bisa terjadi sesaat setelah pengidap mengalami cedera. Meski demikian, ada juga yang muncul beberapa jam atau beberapa hari setelahnya. Pada anak yang mengalami gegar otak, gejalanya cenderung sama dengan orang dewasa. Tetapi terkadang lebih sulit dideteksi. Berikut ini sejumlah gejala tambahan pengidap gegar otak ringan pada anak-anak, khususnya balita.







Lebih cengeng dari biasanya atau bahkan terus menangis.







Perubahan sikap atau cara bermain, misalnya tidak tertarik dengan mainan kesukaannya.







Uring-uringan.







Sulit memusatkan perhatian.







Kehilangan keseimbangan sehingga sulit berjalan.







Mudah lelah. Periksakan diri Anda atau anak Anda ke dokter jika gejala bertambah parah atau tidak kunjung berkurang selama 24 jam setelah mengalami cedera kepala. Pemantauan secara seksama pada 24 jam pertama ini sangatlah penting, terutama jika mengalami kehilangan kesadaran selama lebih dari 30 detik, muntah berulang kali, sakit kepala yang makin parah, perdarahan dari telinga, lemas, lebam di belakang telinga, pandangan sangat kabur, linglung, kejang-kejang, uring-uringan,



pelafalan



yang



tidak



jelas,



amnesia,



atau



kehilangan



keseimbangan. Diagnosis Trauma Kepala Ringan Pada tahap awal diagnosis, dokter akan menanyakan seputar cedera yang dialami oleh pasien. Langkah ini juga sekaligus digunakan untuk menguji kemampuan mengingat maupun konsentrasi pasien. Dokter kemudian akan memeriksa tingkat koordinasi, keseimbangan, serta refleks pasien. Jika dibutuhkan dokter akan menganjurkan CT atau MRI scan guna memastikan diagnosis. Pengobatan Trauma Kepala Ringan Trauma kepala ringan umumnya jarang membutuhkan penanganan medis secara khusus. Pengobatan dan langkah penyembuhannya bisa diterapkan di rumah dengan cara-cara berikut. 



Beristirahat. Ini merupakan penanganan utama untuk cedera kepala ringan.







Batasi jumlah orang yang datang menjenguk agar pasien bisa beristirahat.







Hindari aktivitas fisik seperti olahraga.







Memantau kondisi pasien selama setidaknya dua hari setelah cedera.







Tempelkan kompres dingin di kepala guna meringankan gejala.







Hindari konsumsi obat tidur serta obat penenang, kecuali atas anjuran dokter.







Jangan mengonsumsi minuman keras atau obat-obatan terlarang.







Batasi aktivitas yang menuntut penggunaan kemampuan berpikir dan konsentrasi, contohnya menonton televisi, membaca, menggunakan komputer, atau bermain game.







Jangan mengemudi atau mengoperasikan alat berat sampai Anda benar-benar pulih.







Hindari stimulasi berlebihan pada pengidap anak-anak atau membuat mereka terlalu bahagia.







Cegah pengidap anak-anak untuk melakukan permainan yang membutuhkan tenaga atau terjadi banyak kontak fisik.







Gunakan paracetamol jika dibutuhkan.







Jangan mengonsumsi obat antiinflamasi non-steroid (OAINS). Komplikasi Trauma Kepala Ringan Keseimbangan senyawa otak pada pengidap gegar otak akan mengalami perubahan. Waktu pemulihan pada tiap pengidap cenderung berbeda-beda. Secara umum, dibutuhkan waktu beberapa minggu agar keseimbangan tersebut kembali normal. Oleh sebab itu, sangatlah penting bagi pengidap untuk menjaga kondisinya dan menghindari aktivitas yang berpotensi memperparah gejala. Trauma kepala ringan yang dibiarkan begitu saja berpotensi memicu berbagai komplikasi. Beberapa di antaranya adalah:







Sindrom pasca gegar otak, seperti sakit kepala, pusing, serta kesulitan untuk berpikir.







Epilepsi. Risiko penyakit ini akan meningkat hingga dua kali lipat pada orang yang pernah mengalami trauma kepala ringan.







Sindrom cedera otak kedua. Komplikasi pembengkakan otak yang berkembang sangat cepat dan bersifat fatal biasanya terjadi pada cedera otak kedua. Cedera ini terjadi dalam waktu dekat setelah gegar otak pertama, di mana pengidap gegar otak belum sepenuhnya pulih.







Penumpukan efek akibat cedera otak. Cedera otak yang terjadi berulang kali dapat menyebabkan penumpukan gangguan fungsi otak yang dapat bersifat permanen pada pengidapnya.







Vertigo dan sakit kepala. Komplikasi ini bisa dialami oleh pengidap selama satu minggu hingga beberapa bulan setelah mengalami cedera otak. Pencegahan Trauma Kepala Ringan



Benturan keras pada kepala merupakan sebab utama di balik trauma kepala ringan. Terdapat langkah-langkah simpel yang bisa kita lakukan guna menghindari terjadinya cedera yang meliputi: 



Senantiasa menggunakan helm, misalnya saat mengendarai motor, bekerja di lokasi konstruksi, atau naik sepeda.







Menciptakan lingkungan yang ramah anak di rumah. Misalnya dengan tidak meletakkan kursi atau sofa di bawah jendela agar anak tidak bisa memanjat. Atau memasang pagar pada bagian bawah atau atas anak tangga.







Meningkatkan kewaspadaan di rumah, contohnya tidak meletakkan barang secara sembarangan di dekat tangga atau segera menyeka benda cair yang tumpah di lantai agar tidak ada yang terpeleset.



ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN CEREBROVASCULAR ACCIDENT SUBARACHNOID HEMORRHAGE (CVA-SAH)



Pengkajian Fokus 1.



Riwayat kesehatan Waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.



2. Pemeriksaan fisik Sistem respirasi: Suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi, ataksik), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi). Kardiovaskuler: Pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK Kemampuan komunikasi: Kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis. Psikososial: Data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga. Aktivitas/istirahat S : Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan O : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese, goyah dalam berjalan (ataksia), cidera pada tulang dan kehilangan tonus otot. Sirkulasi O : Tekanan darah normal atau berubah (hiper/normotensi), perubahan frekuensi jantung nadi bradikardi, takhikardi dan aritmia. Integritas Ego S : Perubahan tingkah laku/kepribadian O : Mudah tersinggung, delirium, agitasi, cemas, bingung, impulsive dan depresi Eliminasi O : BAB/BAK inkontinensia/disfungsi. Makanan/cairan S : Mual, muntah, perubahan selera makan O : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, disfagia). Neurosensori S : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan, diplopia, gangguan pengecapan/pembauan.



O : Perubahan kesadara, koma. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, atensi dan kinsentarsi) perubahan pupil (respon terhadap cahaya), kehilangan penginderaan, pengecapan dan pembauan serta pendengaran. Postur (dekortisasi, desebrasi), kejang. Sensitive terhadap sentuhan / gerakan. Nyeri/Keyamanan S : Sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang berbeda. O : Wajah menyeringa, merintih, respon menarik pada rangsang nyeri yang hebat, gelisah Keamanan S : Trauma/injuri kecelakaan O : Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan ROM, tonus otot hilang kekuatan paralysis, demam, perubahan regulasi temperatur tubuh Penyuluhan/Pembelajaran Riwayat penggunaan alcohol/obat-obatan terlarang



3. Pemeriksaan Penunjang a. Scan CT (tanpa/denga kontras) : Mengidentifikasi adanya sol, hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. b. MRI ; Sama dengan scan CT dengan atau tanpa kontras. c. Angiografi serebral : Menunjukan kelainan sirkulasi serebral, seperti pengeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma d. EEG : Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis. e. Sinar X : Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang. f. BAER (Brain Auditory Evoked Respons) : Menentukan fungsi korteks dan batang otak. g. PET (Positron Emission Tomography) : Menunjukan perubahan aktifitas metabolisme pada otak. h. Fungsi lumbal, CSS : Dapat menduka kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid. i. GDA (Gas Darah Artery) : Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK. j. Kimia /elektrolit darah : Mengetahui ketidak seimbangan yang berperan dalam peningkatan TIK/perubahan mental. k. Pemeriksaan toksikologi : Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran.



l. Kadar antikonvulsan darah : Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup fektif untuk mengatasi kejang. Diagnosa Keperawatan: a.



Penurunan kapasitas adaptif intrakranial yang berhubungan dengan peningkatan volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.



b. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hipoksia, edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran, perubahan respon mototrik dan sensorik, gelisah, perubahan TTV. c. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler, kerusakan medula oblongata neuromaskuler



ditandai dengan kelemahan atau



paralisis otot pernafasan. d. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan peningkatan ADH dan aldosteron, retensi cairan dan natrium ditandai dengan edema, dehidrasi, sindrom kompartemen dan hemoragi. e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan peningkatan asam lambung, mual, muntah, anoreksia ditandai dengan penurunan BB, penurunan massa atau tonus otot f.



Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan tonus otot dan penurunan kesadaran ditandai dengan ketidakmampuan bergerak, kerusakan koordinasi, keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan otot.



g. Perubahan



persepsi



sensori



berhubungan



peningkatan tekanan intra kranial



dengan



penurunan



kesadaran,



ditandai dengan disorientasi terhadap waktu,



tempat, orang, perubahan terhadap respon rangsang. h. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan penurunan keseadaran ditandai dengan ketidakmampuan untuk bicara dan menyebutkan katakata. i.



Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan kulit kepala, perdarahan serebral ditandai dengan respon inflamasi, hipertermi.



Intervensi dan Rasional 1.



Penurunan kapasitas adaptif intrakranial yang berhubungan dengan peningkatan volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK. Kriteria hasil: - Tidak gelisah



- Keluhan nyeri kepala tidak ada - Mual dan muntah tidak ada - GCS 456 - Tidak ada papiledema - TTV dalam batas normal Intervensi Kaji keadaan klien, penyebab koma/ penurnan perfusi jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK Memonitor TTV tiap 4 jam.



Rasional Memperioritaskan intervensi, status neurologis/ tanda-tanda kegagalan untuk menentukan kegawatan atau tindakan pembedahan. Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebri terpelihara dengan baik. Peningkatan TD, bradikardi, disritmia, dispnea merupakan tanda peningkatan TIK. Peningkatan kebutuhan metabolisme dan O2 akan meningkatkan TIK. Evaluasi pupil. Reaksi pupil dan pergerakan kembali bola mata merupakan tanda dari gangguan saraf jika batang otak terkoyak. Keseimbangansaraf antara simpatis dan parasimpatis merupakan respons refleks saraf kranial. Kaji peningkatan istirahat dan tingkah Tingkah laku non verbal merupakan laku pada pgi hari. indikasi peningkatan TIK atau memberikan refleks nyeri dimana klien tidak mampu mengungkapkan keluha secara verbal. Palpasi pembesaran bladder dan Dapat meningkatkan respon otomatis monitor adanya konstipasi. yang potensial menaikkan TIK. Obaservasi kesadaran dengan GCS Perubahan kesadaran menunjukkan peningkatan TIK dan berguna untuk menentukan lokasi dan perkembangan penyakit. Kolaborasi: O2 sesuai indikasi Mengurangi hipoksemia. Diuretik osmosis Mengurangi edema. Steroid (deksametason) Menurunkan inflamasi dan edema. Analgesik Mengurangi nyeri Antihipertensi Mengurangi kerusakan jaringan. 2.



Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial Tujuan:



Setelah dilalukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan perfusi jaringan serebral kembali normal Kriteria Hasil: a. Klien melaporkan tidak ada pusing atau sakit kepala b. Tidak terjadi peningkatan tekanan intrakranial c. Peningkatan kesadaran, GCS ≥ 13 d. Fungsi sensori dan motorik membaik, tidak mual, tidak ada muntah. 1. 2.



3. 4. 5.



Intervensi Kaji tingkat kesadaran. Pantau status neurologis secara teratur, catat adanya nyeri kepala, pusing. Tinggikan posisi kepala 15-30 derajat Pantau TTV, TD, suhu, nadi, input dan output, lalu catat hasilnya. Kolaborasi pemberian oksigen.



1. 2.



3. 4.



5.



Rasional Mengetahui kestabilan klien. Mengkaji adanya kecendeungan pada tingkat kesadaran dan resiko TIK meningkat. Untuk menurunkan tekanan vena jugularis. Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti dengan penurunan tekanan darah diastolik serta napas yang tidak teratur merupakan tanda peningkatan TIK. Mengurangi keadaan hipoksia



3. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler, kerusakan medula oblongata, hiperventilasi. Tujuan : Setelah dilakuan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan pola nafas efektif dengan Kriteria hasil: a. Klien tidak mengatakan sesak nafas b. Retraksi dinding dada tidak ada, dengan tidak ada otot-otot dinding dada. c. Pola nafas reguler, RR. 16-24 x/menit, ventilasi adekuat d. bebas sianosis dengan GDA dalam batas normal pasien, e. kepatenan jalan nafas dapat dipertahankan. Intervensi Rasional 1. Kaji kecepatan, kedalaman, 1. Hipoventilasi biasanya terjadi atau frekuensi, irama nafas, adanya menyebabkan akumulasi/atelektasi sianosis. Kaji suara nafas tambahan atau pneumonia (komplikasi yang (rongki, mengi, krekels). sering terjadi). 2. Atur posisi klien dengan posisi semi 2. Meningkatkan ventilasi semua bagian fowler 30o Berikan posisi semi prone paru, mobilisasi serkret mengurangi lateral/ miring, jika tak ada kejang resiko komplikasi, posisi tengkulup



3. 4. 5.



6.



selama 4 jam pertama rubah posisi mengurangi kapasitas vital paru, miring atau terlentang tiap 2 jam. dicurigai dapat menimbulkan peningkatan resiko terjadinya gagal Anjurkan pasien untuk minum nafas. hangat (minimal 2000 ml/hari). 3. Membantu mengencerkan sekret, Kolaborasi terapi oksigen sesui meningkatkan mobilisasi indikasi. sekret/sebagai ekspektoran. Lakukan section dengan hati-hati (takanan, irama, lama) selama 10-15 4. Memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas. Mencegah detik, catat, sifat, warna dan bau hipoksia, jika pusat pernafasan sekret tertekan. Biasanya dengan Kolaborasi dengan pemeriksaan menggunakan ventilator mekanis. AGD, tekanan oksimetri. 5. Penghisapan yang rutin, beresiko terjadi hipoksia, bradikardi (karena respons vagal), trauma jaringan oleh karenanya kebutuhan penghisapan didasarkan pada adanya ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret. 6. Menyatakan keadaan ventilasi atau oksigen, mengidentifikasi masalah pernafasan, contoh: hiperventilasi (PaO2 rendah/ PaCO2 mengingkat) atau adanya komplikasi paru. Menentukan kecukupan oksigen, keseimbangan asam-basa dan kebutuhan akan terapi.



4. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan pengeluaran urine dan elektrolit meningkat. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam ganguan keseimbangan cairan dan elektrolit dapat teratasi dengan Kriteria Hasil: a. Menunjukan membran mukosa lembab b. Tanda vital normal , haluaran urine adekuat dan bebas oedema. 1. 2.



3. 4.



Intervensi Rasional Kaji tanda klinis dehidrasi atau 1. Deteksi dini dan intervensi dapat kelebihan cairan. mencegah kekurangan/kelebihan Catat masukan dan haluaran, hitung fluktuasi keseimbangan cairan. keseimbangan cairan, ukur berat 2. Kehilangan urinarius dapat jenis urine. menunjukan terjadinya dehidrasi dan Berikan air tambahan sesuai berat jenis urine adalah indikator indikasi hidrasi dan fungsi renal. Kolaborasi pemeriksaan lab. 3. Dengan formula kalori lebih



kalium/fosfor serum, Ht dan albumin serum.



tinggi,tambahan air diperlukan untuk mencegah dehidrasi. 4. Hipokalemia/fofatemia dapat terjadi karena perpindahan intraselluler elama pemberian makan awal dan menurunkan fungsi jantung bila tidak diatasi.



4. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan melemahnya otot yang digunakan untuk mengunyah dan menelan Tujuan : Pasien tidak mengalami gangguan nutrisi setelah dilakukan perawatan selama 3 x 24 jam dengan Kiteria Hasil:



a. Tidak mengalami tanda- tanda mal nutrisi dengan nilai lab. dalam rentang normal.



b. Peningkatan berat badan sesuai tujuan. 1.



2.



3.



4. 5.



Intervensi Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah dan menelan, batuk dan mengatasi sekresi. Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan/hilangnya atau suara hiperaktif. Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien, seperti meninggikan kepala selama makan atatu selama pemberian makan lewat NGT. Berikan makan dalam porsi kecil dan sering dengan teratur. Kolaborasi dengan ahli gizi.



1.



2.



3. 4.



5.



Rasional Faktor ini menentukan terhadap jenis makanan sehingga pasien harus terlindung dari aspirasi. Bising usus membantu dalam menentukan respon untuk makan atau berkembangnya komplikasi seperti paralitik ileus. Menurunkan regurgitasi dan terjadinya aspirasi. Meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan Metode yang efektif untuk memberikan kebutuhan kalori.



5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan persepsi sensori dan kognitif, penurunan kekuatan dan kelemahan. Tujuan : Pasien dapat melakukan mobilitas fisik setelah mendapat perawatan dengan Kriteri Hasil :



a. Tidak adanya kontraktur, footdrop. b. Ada peningkatan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit. c. Mampu mendemonstrasikan aktivitas yang memungkinkan dilakukannya Intervensi 1. Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi. 2. Berikan bantu untuk latihan rentang gerak 3. Bantu pasien dalam program latihan dan penggunaan alat mobilisasi. Tingkatkan aktivitas dan partisipasi dalam merawat diri sendiri sesuai kemampuan



Rasional 1. Mengidentifikasi kerusakan secara fungsional dan mempengaruhi pilihan intervensi yang akan dilakukan. 2. Mempertahankan mobilitas dan fungsi sendi/ posisi normal ekstrimitas dan menurunkan terjadinya vena statis 3. Proses penyembuhan yang lambat seringakli menyertai trauma kepala dan pemulihan fisik merupakan bagian yang sangat penting. Keterlibatan pasien dalam program latihan sangat penting untuk meningkatkan kerja sama atau keberhasilan program.



6. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran, peningkatan tekanan intra kranial. Tujuan : Fungsi persepsi sensori kembali normal setelah dilakukan perawatan selama 3x 24 jam Kriteria Hasil :



a. Mampu mengenali orang dan lingkungan sekitar. b. Mengakui adanya perubahan dalam kemampuannya. Intervensi Rasional 1. Kaji kesadaran sensori dengan 1. Semua sistem sensori dapatn sentuhan, panas/ dingin, benda terpengaruh dengan adanya tajam/tumpul dan kesadaran perubahan yang melibatkan terhadap gerakan. peningkatan atau penurunan sensitivitas atau kehilangan sensasi 2. Evaluasi secara teratur perubahan untuk menerima dan berespon sesuai orientasi, kemampuan berbicara, dengan stimuli. alam perasaan, sensori dan proses pikir. 2. Fungsi cerebral bagian atas biasanya terpengaruh lebih dahulu oleh adanya 3. Bicara dengan suara yang lembut gangguan sirkulasi, oksigenasi. dan pelan. Gunakan kalimat pendek Perubahan persepsi sensori motorik dan sederhana. Pertahankan kontak dan kognitif mungkin akan mata. berkembang dan menetap dengan 4. Berikan lingkungan terstruktur rapi, perbaikan respon secara bertahap nyaman dan buat jadwal untuk klien 3. Pasien mungkin mengalami jika mungkin dan tinjau kembali.



5. Kolaborasi pada ahli fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara dan terapi kognitif.



keterbatasan perhatian atau pemahaman selama fase akut dan penyembuhan. Dengan tindakan ini akan membantu pasien untuk memunculkan komunikasi. 4. Pasien mungkin mengalami keterbatasan perhatian atau pemahaman selama fase akut dan penyembuhan. Dengan tindakan ini akan membantu pasien untuk memunculkan komunikasi. 5. Pendekatan antar disiplin ilmu dapat menciptakan rencana penatalaksanaan terintegrasi yang berfokus pada masalah klien



7. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan penurunan keseadaran. Tujuan: Kerusakan komunikasi verbal tidak terjadi. Kriteria hasil: Mengidentifikasi pemahaman tentang masalah komunikasi dan klien dapat menunjukan komunikasi dengan baik Intervensi 1. Kaji derajat disfungsi 2. Mintalah klien untuk mengikuti perintah 3. Anjurkan keluarga untuk berkomunikasi dengan klien



Rasional 1. Membantu menentukan daerah atau derajat kerusakan serebral yang terjadi dan kesulitan pasien dalam proses komunikasi. 2. Melakukan penelitian terhadap adanya kerusakan sensori 3. Untuk merangsang komunikasi pasien, mengurangi isolasi sosial dan meningkatkan penciptaan komunikasi yang efektif.



8. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan kulit kepala. Tujuan : Tidak terjadi infeksi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam Kiteria Hasil:



a. Bebas tanda-tanda infeksi, Mencapai penyembuhan luka tepat waktu b. suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5°C)



1.



2.



3. 4. 5. 6.



Intervensi Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan teknik cuci tangan Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, kaji keadaan luka, catat adanya kemerahan, bengkak, pus daerah yang terpasang alat invasi dan TTV Anjurkan klien untuk memenuhi nutrisi dan hidrasi yang adekuat. Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi Pantau hasil pemeriksaan lab, catat adanya leukositosis Kolaborasi pemberian atibiotik sesuai indikasi.



1.



2.



3. 4. 5. 6.



Rasional Cara pertama untuk menghindari nosokomial infeksi, menurunkan jumlah kuman patogen . Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya, monitoring adanyainfeksi. Meningkatkan imun tubuh terhadap infeksi Menurunkan pemajanan terhadap pembawa kuman infeksi. Leukosit meningkat pada keadaan infeksi Menekan pertumbuhan kuman pathogen.



DAFTAR PUSTAKA Batticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. Hal: 58. Muttaqin A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. Smeltzer, Suzanne C, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC, Jakarta Batticaca Fransisca B, 2008, Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan, Jakarta : Salemba Medika Pierce A. Grace & Neil R. Borley, 2006, Ilmu Bedah, Jakarta : Erlangga Brunner & Suddart, 2001. Buku Ajar Medikal Keperawatan vol 3. EGC, Jakarta Sastrodiningrat, A. G. 2006. Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan Subdural Akut . Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39, No.3 Halaman 297- 306.FK USU: Medan. Heller, J. L., dkk. 2012. Subdural Hematoma. MedlinePlus Medical Encyclopedia. Tom, S., dkk. 2011. Subdural Hematoma in Emergency Medicine, Medscape Reference.