LP Cedera Kepala [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA



OLEH : NI MADE WHASU PRAMESTI NIM. P07120319094



KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR JURUSAN KEPERAWATAN PRODI PROFESI NERS TAHUN 2019



A. KONSEP DASAR CIDERA KEPALA 1. Pengertian Cidera Kepala a. Cedera kepala merupakan cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak (Morton, 2012) b. Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tulang tengkorak, dan otak, paling sering terjadi dan merupakan penyakit neurologik yamg serius diantara penyakit neurology dan merupakan proporsi epidemiologi sebagai hasil kecelakaan jalan raya (Smeltzer, 2017). c. Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin, 2008). d. Adapun menurut Brain Injury Assosiation of America (2009), cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Jadi dapat disimpulkan bahwa cedera kepala adalah suatu trauma pada kepala (kulit kepala, tulang tengkorak, jaringan otak) yang disebabkan adanya trauma pada kepala baik secara langsung maupun tidak langsung disertai atau tanpa perdarahan yang menyebabkan terjadinya penurunan fungsi neurologis, fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen 2. Etiologi Penyebab utama terjadinya trauma kepala adalah seperti berikut: a. Kecelakaan lalu lintas Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kendaraan bermotor bertabrakan dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan raya. b. Jatuh



Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun maupun sesudah sampai ke tanah. c. Kekerasan Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan). Mekanisme cedera kepala meliputi cedera akselerasi, deselerasi, akselerasideselerasi, coup-countre-coup, dan cedera rotasional. a. Cedera Akselerasi Terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak (mis., alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang ditembakkan ke kepala) b. Cedera Deselerasi Terjadi jika kepala yang bergerak membentur objek diam, seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca depan mobil. c. Cedera Akselerasi-Deselerasi Sering terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan episode kekerasan fisik d. Cedera Coup-Countre coup Terjadi jika kepala terbentur yang menyebabkan otak bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala yang pertama kali terbentur. Sebagai contoh pasien dipukul dibagian belakang kepala e. Cedera Rotasional Terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak berputar dalam rongga tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron dalam substansia alba serta robeknya pembuluh darah yang memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga tengkorak.



3. Klasifikasi Cedera Kepala a. Berdasarkan mekanisme 1) Trauma tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan otomobil), kecepatan rendah (terjatuh, terpukul) 2) Trauma tembus : luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya. b. Berdasarkan Patologi 1)



Cedera primer Cedera yang terjadi akibat langsung dan trauma. Merupakan akibat cedera awal. Cedera awal menyebabkan gangguan integritas fisik, kimia, dan listrik dari sel diarea tersebut yang menyebabkan kematian sel. a)



Kulit : vulnus laserasi hemaroma subkutan, hematoma sub galeal.



b)



Tulang : fraktur linear, fraktur basis krani, fraktur inpresi (tertutup dan terbuka).



c)



Otak : cedera otak primer : robekan dural, consutio ringan, kontusio sedang, berat : fokal dan difus laserasi atau robekan.



2)



Cedera sekunder Cedera otak sekunder, cedera yang disebabkan komplikasi atau cedera sekunder lain seperti: oedema otak, hipoksia otak, kelainan metabolik, kelainan saluran napas atau pernapasan, hipotensi atau syok. Cedera ini merupakan cedera yang menyebabkan kerusakan otak lebih lanjut yang terjadi setelah trauma sehingga meningkatkan TIK yang tak terkendali, meliputi respon fisiologis cedera otak, termasuk edema serebral, perubahan biokimia, dan perubahan hemodinamik serebral, iskemia serebral, hipotensi sistemik, dan infeksi local atau sistemik a)



Oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak misal : kecelakaan, dipukul dan terjatuh.



b)



Trauma saat lahir misal : sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau vacuum.



c. Menurut jenis cedera 1) Cedera kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi diameter. Trauma yang menembus tengkorak dan jaringan otak 2) Cedera kepala tertutup : dapat disamakan pada pasien dengan dengan gegar otak ringan dengan cedera serebral yang luas d. Berdasarkan tingkat keparahan berdasarkan GCS (Glasgown Coma Scale) 1) Cedera Kepala Ringan (CKR) Bila GCS 14-15 (kelompok resiko rendah) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit. Tidak ada kontusio tengkorak, Tidak ada fraktur cerebral, hematoma. 2) Cedera kepala sedang (CKS) : Bila GCS 9-13 (kelompok resiko sedang) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak. Diikuti contusion serebral, laserasi dan hematoma intrakranial 3) Cedera kepala berat (CKB) : Bila gcs 3-8 (kelompok resiko berat) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial. Skala Glasgown Coma Scale 1) Reaksi membuka mata (e) Reaksi membuka mata



Nilai



Membuka mata spontan



4



Buka mata dengan rangsangan suara



3



Buka mata dengan rangsangan nyeri



2



Tidak membuka mata dengan rangsangan nyeri



1



2) Reaksi berbicara (v)



Reaksi verbal Komunikasi verbal baik, jawaban tepat Bingung, disorientasi waktu, tempat dan ruang



Nilai 5 4



Dengan rangsangan nyeri keluar kata-kata



3



Keluar suara tetapi tak berbentuk kata-kata



2



Tidak keluar suara dengan rangsangan apapun



1



3) Reaksi gerakan lengan / tungkai Reaksi motorik



Nilai



Mengikuti perintah Melokalisir rangsangan nyeri Menarik tubuhnya bila ada rangsangan nyeri



6 5 4



Reaksi fleksi abnormal dengan rangsangan nyeri



3



Reaksi ekstensi abnormal dengan rangsangan nyeri



2



Tidak ada gerakan dengan rangsangan nyeri



1



e. Berdasarkan morfologi 1)



Fraktur tengkorak a) Simple : retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit. b) Linear or hairline: retak pada kranial yang berbentuk garis halus tanpa depresi, distorsi dan ‘splintering’. c) Depressed: retak pada kranial dengan depresi ke arah otak. d) Compound : retak atau kehilangan kulit dan splintering pada tengkorak. Selain retak terdapat juga hematoma subdural



2) Lesi intracranial Fokal diakibatkan dari kerusakan local yang meliputi konsio serebral dan hematom serebal, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan masa lesi, pergeseran otak. Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus.



3)



Cedera otak a) Commotio cerebri (gegar otak) Commotio cerebri (gegar otak) adalah cidera otak ringan karena terkenanya benda tumpul berat ke kepala dimana terjadi pingsan < 10 menit. Dapat terjadi gangguan yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat berupa sakit kepala, mual, muntah, dan pusing. Pada waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian cidera tidak diingat (amnezia antegrad), tetapi biasanya korban/pasien tidak diingatnya pula sebelum dan sesudah cidera (amnezia retrograddan antegrad). b) Contusio cerebri (memar otak) Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat pecahnya pembuluh darah kapiler. Hal ini terjadi bersama-sama denganrusaknya jaringan saraf/otak di daerah sekitarnya. Di antara yang paling sering terjadi adalah kelumpuhan n. Facialis atau n.hypoglossus, gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi kejadian cidera kepala. Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan bradikardia, kemudian takikardia, meningginya suhu badan, muka merah, keringat profus, serta kekejangan tengkuk yang tidak dapat dikendalikan (decebracio rigiditas).



4)



Perdarahan intrakranial a) Hematoma epidural Hematoma epidural sering terjadi di daerah parietotemporal akibat robekan arterial mengineal media. Tanda dan gejala tampak bervariasi, penderita hematoepidural yang khas memiliki riwayat cedera kepala dengan periode tidak sadar dalam jangka waktu pendek, diikuti periode lusid. b) Hematoma subdural



Pada umumnya hematoma subdural berasal dari vena. Hematoma ini timbul akibat ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Hematoma subdural dibagi lagi menjadi tipe akut, subakut dan kronik yang memiliki gejala dan prognosis yang berbeda-beda. 



Hematoma subdural akut Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang penting dan serius dalam 24-48 jam setelah cedera. Hematoma subdural akut terjadi pada pasien yang meminum obat antikoagulan terus menerus yang tampaknya mengalami trauma kepala minor dan sering kali berkaitan dengan cedera deselerasi akibat kecelakaan bermotor. Defisit neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak ke dalam foramen magnum yang selanjutnya menimbulkan tekanan. Keadaan ini cepat menimbulkan henti nafas dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.







Hematoma subdural subakut Hematoma subdural subakut menyebabkan defisit neurologik bermakna dalam jangka waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Hematoma ini disebabkan oleh pendarahan vena kedalam ruang subdural. Riwayat klinis yang khas pada penderita ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidakkesadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang bertahap.







Hematoma subdural kronik Trauma otak yang menjadi penyebab dapat sangat sepele atau terlupakan dan sering kali akibat cedera ringan. Tanda dan gejala dari hematoma subdural kronik biasanya tidak spesifik, tidak terlokalisasi dan dapat disebabkan oleh banyak proses penyakit lain.



c) Hematoma subarachnoid



Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat. Tanda dan gejala: nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk. d) Hematoma intracerebralis Terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks yang mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah juga karena tekanan pada durameter bagian bawah melebar sehingga terjadilah subduralis haematoma. 4. Manifestasi Klinis a) Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia, cara berjalan tidak tegap, kehilangan tonus otot. b) Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung (bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia). c) Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis). d) Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami ganggua fungsi. e) Muntah atau mungkin proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur, disfagia) f) Perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memori). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya simetris) deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti. Kehilangan penginderaan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetris, refleks tendon tidak ada atau lemah, kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh. g) Wajah menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.



h) Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi, stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi). i) Fraktur atau dislokasi, gangguan penglihatan, kulit : laserasi, abrasi, perubahan warna, adanya aliran cairan (drainase) dari telinga atau hidung (css), gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis, demam, gangguan dalam regulasi tubuh. j) Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, berbicara berulang – ulang. k) Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan. l) Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi, dan impulsif. m) Mual, muntah, mengalami perubahan selera. n) Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus,kehilangan ketajamannya,



pendengaran.



Perubahan



dalam



penglihatan,seperti



diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotopobia,



gangguan pengecapan dan penciuman. o) Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama. p) Trauma baru atau trauma karena kecelakaan q) Pada kontusio, segera terjadi kehilangan kesadaran, pada hematoma, kesadaran mungkin hilang, atau bertahap sering dengan membesarnya hematoma atau edema intestisium. r) Respon pupil mungkin lenyap atau segera progresif memburuk. s) Perubahan prilaku, kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan motorik timbul dengan segera atau secara lambat. t) Hematoma epidural dimanifestasikan dengan awitan yang cepat. Hematoma ini mengancam hidup dan dikarakteristikkan dengan detoriorasi yang cepat, sakit kepala, kejang, koma dan hernia otak dengan kompresi pada batang otak. u) Hematoma subdural terjadi dalam 48 jam cedera dan dikarakteristikkan dengan sakit kepala, agitasi, konfusi, mengantuk berat, penurunan tingkat kesadaran, dan peningkatan tik. Hematoma subdural kronis juga dapat terjadi (price dan wilson, 2006).



5. Pathway



6. Patofisiologi Cedera kepala dapat terjadi karena cedera kulit kepala, tulang kepala, jaringan otak, baik terpisah maupun seluruh. Faktor yang mempengaruhi cedera kepala adalah lokasi dan arah dari penyebab benturan, kecepatan kekuatan yang datang, permukaan dan kekuatan yang menimpa, kondisi kepala ketika mendapat benturan (Price dan Wilson, 2006). Cedera kepala dapat bersifat terbuka (menembus durameter) atau truma tertutup (trauma tumpul tanpa penetrasi menembus durameter). Cedera kepala terbuka memungkinkan patogen lingkungan memiliki akses langsung ke otak. Pada kedua jenis cedera kepala akan terjadi kerusakan apabila pembuluh darah dan sel glia dan neuron hancur. Kerusakan otak akan timbul apabila terjadi perdarahan dan peradangan yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (Corwin, 2001: 175). Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasideselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup). Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansia alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibatnya, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi



cerebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi. (Hudak dan Gallo, 1996: 226). Cedera kepala dapat disebabkan oleh berbagai faktor, namun penyebab terseringnya adalah kecelakaan seperti kecelakaan lalu lintas. Jika hal tersebut terjadi, akan mengakibatkan terjadinya trauma pada kepala sehingga dapat menimbulkan perdarahan, baik perdarahan intrakranial maupun perdarahan ekstrakranial. Perdarahan intrakranial dapat menyebabkan terjadinya peningkatan TIK, akibat yang ditimbulkan yaitu sakit kepala hebat dan menekan pusat reflek muntah di medulla yang mengakibatkan terjadinya muntah proyektil sehingga tidak terjadi keseimbangan antara intake dengan output. Selain itu peningkatan TIK juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran dan aliran darah otak menurun. Jika aliran darah otak menurun maka akan terjadi hipoksia yang menyebabkan disfungsi serebral sehingga koordinasi motorik terganggu. Disamping itu hipoksia juga dapat menyebabkan terjadinya sesak nafas. Pendarahan ekstrakranial dibagi menjadi dua yaitu perdarahan terbuka dan tertutup. Perdarahan terbuka (robek dan lecet) merangsang pelepasan mediator histamin, bradikinin, prostaglandin yang merangsang stimulus nyeri kemudian diteruskan nervus aferen ke spinoptalamus menuju ke kortek serebri sampai nervus eferen sehingga akan timbul rasa nyeri. Jika perdarahan terbuka (robek dan lecet) mengalami kontak dengan benda asing akan memudahkan terjadinya infeksi bakteri pathogen. Sedangkan perdarahan tertutup hampir sama dengan perdarahan terbuka yaitu dapat menimbulkan rasa nyeri pada kulit kepala.



7. Komplikasi a. Koma Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi ini, secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya memasuki vegetative state atau mati penderita pada masa vegetative statesering membuka matanya dan mengerakkannya, menjerit atau menjukan respon reflek. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada masa vegetative state lebih dari satu tahun jarang sembuh. b. Seizure Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-kurangnya sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy. c. Infeksi Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen) sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke sistem saraf yang lain. d. Kerusakan saraf Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari saraf untuk pergerakan bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan ganda. e. Hilangnya kemampuan kognitif Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala berat mengalami masalah kesadaran. f. Komplikasi lain :   



Kejang Pneumonia Perdarahan gastrointestinal



           



Distrimia jantung Hidrochepalus Kerusakan control respirasi Inkotinensia bladder dan bowel Kebocoran Liquor cerebro spinal. Edema pulmonal Bocornya lcs gangguan mobilisasi Hipovolemia hiperthermia Infeksi



8. Pemeriksaan Diagnostik a. Pemeriksaan laboratorium 



AGD : untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi perdarahan subarakhnoid.







Kimia elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan tik atau perubahan mental.



b. Radiology 



CT-Scan (tanpa atau dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.







MRI : sama dengan CT-Scan







Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan, trauma.







EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis.







Sinar-X : untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan) adanya fragmen tulang.







Baer : mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil







Pet : mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak







Screen toxicology : untuk mendeteksi pengaruh kanan intrkrani obat sehingga menyebabkan penurunan kesadan.







Myelogram : dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya bendungan dari spinal aracknoid jika dicurigai.







Thorax X-Ray :untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.



c. Fungsi lumbal : CSS, dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan sub arakhnoid. d. Abgs: mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial, screen toxicologi: untuk mendeteksi pengaruh kanan intrkrani obat sehingga menyebabkan penurunan kesadan. e. Pemeriksaan fungsi pernafasan: mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting diketahui bagi penderita dengan cidera kepala dan pusat pernafasan (medulla oblongata). 9. Penatalaksaan Medis a. Penatalaksanaan 



Kontusio ringan atau sedang biasanya diterapi dengan observasi dan tirah baring.







Dilakukan pembersihan/debridement dan sel-sel yang mati (secara bedah terutama pada cedera kepala terbuka)







Dilakukan ventilasi mekanis







Untuk cedera kepala terbuka diperlukan antibiotika







Dilakukan metode-metode untuk menurunkan tekanan intrakranial termasuk pemberian diuretik dan anti inflamasi



 Meningkatkan pencegahan terutama jatuh, dorong untuk menggunakan alat pengaman seperti helm,sabuk pengaman  Lakukan pengkajian neurologik a. Fungsi serebral ( kesadaran, orientasi, memori, bicara ) b. TTV ( TD, nadi) c. Pupil (isokor, anisokor) d. Fungsi motorik dan sensorik







Kaji adanya cedera lain, terutama cedera servikal. Jangan memindahkan anak sampai kemungkinan



cedera servikal telah disingkirkan/ditangani.



Tinggikan kepala tempat tidur sampai 30 derajat jika tidak terdapat cedera servikal. 



Pantau adanya komplikasi 1. Pantau TTV dan status neurologist dengan sering 2. Periksa adanya peningkatan TIK 3. Periksa adanya drainase dari hidung dan telinga.



b. Pengobatan 1. Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap normovolemik. Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hyperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah nacl 0,9 % atau RL. Kadar natrium harus dipertahankan dalam batas normal, keadaan hyponatremia menimbulkan odema otak dan harus dicegah dan diobati. 2. Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, hiperventilasi dapat menurunkan PCO2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak. Hiperventilasi yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak menurun PCO2 < 25 mmHg, hiperventilasi harus dicegah. Pertahankan level PCO2 pada 25 – 30 mmHg bila TIK tinggi. 3. Manitol diberikan dengan dosis 1 gram/kgBB bolus IV. Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis. Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan memperberat hypovolemia. 4. Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK. Tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena barbiturat dapat menurunkan tekanan darah. 5. Dapat diberikan alkaloid ergot (ergonovino) sebagai profilaksis.



6. Dapat diberikan phenothiazine. 7. Amitriptilin dan propanol untuk mengendalikan kecemasan yang berlebihan. 8. Menggunakan ergonovine amitriptilin dan propanol pada 100 pasien, 19 diperoleh perbaikan yang nyata, 24 perbaikan sedang dan sisanya hanya sedikit perbaikan atau tidak ada perubahan. Pemberian analgesic dapat mendukung, namun harus dibatasi penggunaan hariannya. 9. Endemelasin (15 – 250 mg/hari) dan naproxen (1000 – 1500 mg/hari) berguna untuk menghindari ketergantungan terhadap analgesik. 10. Metilprednisolon yang diberikan secara dini dan dalam dosis yang akurat, dapat memperbaiki keadaan neurologis akibat efek inhibisi terjadinya reaksi peroksidasi lipid. Dengan kata lain, metilprednisolon bekerja dengan cara: 



Menyusup masuk ke lapisan lipid untuk melindungi fosfolipid dan komponen membran lain dari kerusakan.







Mempertahankan kestabilan dan keutuhan membran.







Mencegah perembetan kerusakan sel-sel lain di dekatnya.







Mencegah berlanjutnya iskemia pascatrauma.







Memutarbalikkan proses akumulasi kalsiun intraseluler.







Menghambat pelepasan asam arakhidonat.



B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN CIDERA KEPALA 1. Pengkajian Pengkajian yang dilakukan terhadap pasien cedera kepala di ruang gawat darurat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: pengkajian primer (primer assessment) dan pengkajian sekunder (secondary assessment). Data dapat diperoleh secara primer (klien) dan secara skunder (keluarga, saksi kejadian/pengirim, tim kesehatan lain). a. Primer assessment/primer survey: 1)



Data subyektif:  Identitas (pasien dan keluarga/penanggung jawab) meliputi: nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, alamat, dan hubungan pasien dengan keluarga/pengirim).



 Keluhan utama: bagaimana pasien bisa datang ke ruang gawat darurat, apakah pasien sadar atau tidak, datang sendiri atau dikirim oleh orang lain?  Riwayat cedera, meliputi waktu mengalami cedera (hari, tanggal, jam), lokasi/tempat mengalami cedera.  Mekanisme cedera: bagaimana proses terjadinya sampai pasien menjadi cedera.  Allergi (alergi): apakah pasien mempunyai riwayat alergi terhadap makanan (jenisnya), obat, dan lainnya.  Medication (pengobatan): apakah pasien sudah mendapatkan pengobatan pertama setelah cedera, apakah pasien sedang menjalani proses pengobatan terhadap penyakit tertentu.  Past medical history (riwayat penyakit sebelumnya): apakah pasien menderita penyakit tertentu sebelum menngalami cedera, apakah penyakit tersebut menjadi penyebab terjadinya cedera?  Last oral intake (makan terakhir): kapan waktu makan terakhir sebelum cedera? Hal ini untuk memonitor muntahan dan untuk mempermudah mempersiapkan bila harus dilakukan tindakan lebih lanjut/operasi.  Event leading injury (peristiwa sebelum/awal cedera): apakah pasien mengalami sesuatu hal sebelum cedera, bagaimana hal itu bisa terjadi? 2)



Data obyektif:  Airway/c-spine: obstruksi jalan nafas berupa darah/muntahan, lidah jatuh ke belakang, bunyi nafas (stridor, ronkhi, wheezing).  Breathing/pernafasan: tachipnea, penggunaan otot bantu pernafasan, dispnea sampai apnea, bisa berupa nafas chyene stokes, kusmaul, sianosis, penurunan saturasi oksigen.  Circulation/sirkulasi: perdarahan kulit kepala, perdarahan intra cranial, pucat,



akral



dingin,



crt



lambat,



denyut



nadi



lemah/tak



teraba,



bradikardi/takikardi diselingi disritmia, hipotensi.  Disability: kesadaran compos mentis atau menurun sampai koma, gcs 95% = normal) 2) Breathing Amati pergerakan dinding dada, frekuensi nafas, kualitas nafas, keteraturan nafas atau tidak. 3) Circulatation  Lihat adanya perdarahan eksterna/interna



 Hentikan perdarahan eksterna dengan rest, ice, compress, elevation (istirahatkan lokasi luka, kompres es, tekan/bebat, tinggikan)  Perhatikan tanda-tanda syok/ gangguan sirkulasi : capillary refill time, nadi, sianosis, pulsus arteri distal  Gangguan circulation (syok) akan menyebabkan gangguan perfusi darah ke otak yang akan menyebabkan kerusakan otak sekunder. Dengan demikian syok dengan trauma kepala dilakukan penanganan dengan agresif.  Apabila pasien kekurangan cairan, berikan cairan kristaloid dan koloid dengan perbandingan 3:1 hingga map pasien lebih dari sama dengan 95. Kristaloid dan koloid diberikan dalam suhu 390c. 4)



Susunan saraf pusat (disability)  Cek kesadaran  Adakah cedera kepala?  Adakah cedera leher?  Perhatikan cedera pada tulang belakang



5)



Kontrol lingkungan (exposure/ environmental )  Buka baju penderita lihat kemungkinan cedera yang timbul tetapi cegah hipotermi/kedinginan



d. Secondary survey Mencari perubahan-perubahan yang dapat berkembang menjadi lebih gawat dan mengancam jiwa apabila tidak segera diatasi dengan pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe) yang bertujuan untuk mendeteksi penyakit atau trauma yang diderita pasien sehingga dapat ditangani lebih lanjut. e. Anamnesis : Riwayat “ampe” yang harus diingat yaitu : A : alergi M : medikasi (obat yang diminum sebelumnya) P : past illness (penyakit sebelumnya)/pregnancy (hamil) E : event/environment (lingkungan yang berhubungan dengan kegawatan)



Pemeriksaan fisik : 1. Pemeriksaan kondisi umum menyeluruh a. Posisi saat ditemukan bahwa pada setiap cedera kepala harus selalu diwaspadai adanya fraktur servikal b. Nilai tingkat kesadaran dengan mengajak berbicara lalu hitung gcs pasien c. Sikap umum dan keluhan untuk mengambil tindakan yang tepat d. Cek adanya trauma ataupun kelainan e. Observasi keadaan kulit 2. Periksa kepala dan leher a. Rambut dan kulit kepala Perlihatikan ada tidaknya perdarahan, pengelupasan, perlukaan, penekanan b. Telinga Amati adanya perlukaan, darah, cairan c. Mata Perlukaan, pembengkakan, perdarahan, reflek pupil, kondisi kelopak mata, adanya benda asing, pergerakan abnormal d. Hidung Perlukaan, darah, cairan, nafas cuping hidung, kelainan anatomi akibat trauma e. Mulut Perlukaan, darah, muntahan, benda asing, gigi, bau, dapat buka mulut/ tidak f. Bibir Perlukaan, perdarahan, sianosis, kering g. Rahang Perlukaan, stabilitas, krepitasi h. Kulit Perlukaan, basah/kering, darah, suhu, warna i. Leher Perlukaan, bendungan vena, deviasi trakea, spasme otot, stoma, stabilitas tulang leher



3. Periksa dada Flail chest, nafas diafragma, kelainan bentuk, tarikan antar iga, nyeri tekan, perlukaan (luka terbuka, luka mengisap), suara ketuk/perkusi, suara nafas. 4. Periksa perut Perlukaan, distensi, tegang, kendor, nyeri tekan, undulasi. 5. Periksa tulang belakang Kelainan bentuk, nyeri tekan, spasme otot. 6. Periksa pelvis/genetalia Perlukaan, nyeri, pembengkakan, krepitasi, inkontinensia. 7. Periksa ekstremitas atas dan bawah Perlukaan, angulasi, hambatan pergerakan, gangguan rasa, bengkak, denyut nadi, warna luka. 8. Pemeriksaan neurologis Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil, pemeriksaan terdiri dari : 



Gcs







Reflek cahaya pupil







Gerakan bola mata







Tes kalori dan reflek kornea oleh ahli bedah syaraf 



Sangat penting



melakukan



pemeriksaan



minineurilogis



sebelum



penderita dilakukan sedasi atau paralisis 



Tidak dianjurkan penggunaan obat paralisis yang jangka panjang







Gunakan morfin dengan dosis kecil ( 4 – 6 mg ) iv







Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh respon motorik, bila timbul respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik yang terbaik.







Catat respon terbaik / terburuk untuk mengetahui perkembangan penderita.







Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah.







Catat nilai gcs dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau perburukan pasien.



2. Diagnosa Keperawatan a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik ( cedera trauma) ditandai dengan pasien mengeluh nyeri, tampak meringis. b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi/kongnitif, terapi pembatasan kewaspadaan keamanan mis tirah baring, immobilisasi c. Kerusakan memori berhubungan dengan hipoksia, gangguan neurologis d. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas, ditandai dengan dispnea e. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan perubahan kadar elektrolit serum (muntah) f. Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh berhubungan dengan trauma jaringan otak g. Resiko perdarahan berhubungan dengan trauma, riwayat jatuh h. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan penurunan ruang untuk perfusi serebral, sumbatan aliran darah serebral i. Resiko infeksi j. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran, gelisah, involunter dan kejang k. Ansietas



3. Intervensi No 1



Tujuan dan Kriteria Hasil Nyeri Akut NOC : Definisi :Pengalaman sensori dan emosional  Pain level yang tidak menyenangkan yang muncul akibat  Pain control kerusakan jaringan yang aktual atau potensial  Comfort level Diagnosa



Intervensi NIC : 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk



2



atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa (International Association for the Study of Pain), awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung < 6 bulan. Batasan Karakteristik 1. Perubahan selera makan 2. Perubahan tekanan darah 3. Perubahan frekuensi jantung 4. Perubahan frekuensi pernapasan 5. Laporan isyarat 6. Diafroesis 7. Perilaku distraksi (mis, berjalan modar mandir, mencari orang lain dan/atau aktivitas lain, aktivitas yang berulang) 8. Mengekspresikan perilaku (mis, gelisah, merengek, menangis, waspada, iritabilitas, mendesah) 9. Masker wajah (mis, mata kurang bercahaya, tampak kacau, gerakan mata berpencar atau tetap pada satu fokus, meringis) 10. Sikap melindungi are nyeri 11. Fokus menyempit (mis,gangguan persepsi nyeri, hambatan proses berpikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan) 12. Indikasi nyeri yang dapat diamati 13. Perubahan posisi untuk menghindari nyeri 14. Sikap tubuh melindungi 15. Dilatasi pupil 16. Melaporkan nyeri secara verbal 17. Fokus pada diri sendiri 18. Gangguan tidur Faktor yang Berhubungan 1.Agens cedera (mis.,biologis, zat kimia, fisik, psikologis) Hambatan Mobilitas Fisik Definisi : Keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh atau satu atau lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah Batasan Karakteristik: 1. Penurunan waktu reaksi 2. Kesulitan membolak-balik posisi



Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x 24 jam. Pasien tidak mengalami nyeri, dengan : Kriteria Hasil 1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyer, mampu menggunakan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) 2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dnegan menggunakan manajemen nyeri 3. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) 4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang 5. Tanda vital dalam rentang normal 6. Tidak mengalami gangguan tidur NOC  Join Movment Active  Mobility Level  Self care



2. 3.



4.



5. 6. 7.



8.



9.



lokasi, karakteristik, furasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan Bantu pasien dan keluarga untuk mrncari dan menemukan dukungan Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu rungan, pencahayaan dan kebisingan Kurangi faktor presipitasi nyeri Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi Ajarkan tentang teknik non farmakologi : napas dala, relaksasi, distraksi, kompres hangat/dingin Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik



NIC Exercise Therapy : : Ambulantion 1. Monitoring vital sign sebelum dan sesudah latihan dan : lihat respon pasien



3. Melakukan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan (mis: meningkatkan perhatian pada aktivitas orang lain, mengendalikan perilaku, focus pada ketunadayaan/aktivitas sebelum sakit) 4. Dispnea setelah beraktivitas 5. Perubahan cara berjalan 6. Gerakkan bergetar 7. Keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik halus 8. Keterbatan kemampuan melakukan keterampilan motorik kasar 9. Keterbatasan rentang pergerakan sendi 10. Tremor akibat pergerakan 11. Ketidakstabilan postur 12. Pergerakan lambat 13. Pergerakan tidak terkoordinasi



ADLs  Transfer performance Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x 24 jam. Pasien tidak mengalami hambatan mobilitas fisik, dengan Kriteria Hasil: 1. Klien meningkat dalam aktivitas fisik 2. Mengerti Faktor yang berhubungan tujuan dari 1. Intoleransi aktivitas peningkatan 2. Perubahan metabolisme selular mobilitas 3. Ansietas 3. Memverbalisa 4. Indeks masa tubuh diatas perentil ke 75 sikan sesuai usia perasaan 5. Gangguan koknitif dalam 6. Konstraktur meningkatkan 7. Kepercayaan budaya tentang aktivitas sesuai kekuatan dan usia kemampuan 8. Fisik tidak bugar berpindah 9. Penurunan ketahanan tubuh 4. Memperagaka 10. Penurunan kendali otot n penggunaan 11. Penurunan massa otot alat 12. Malnutrisi 5. Bantu untuk 13. Gangguan muskulosskeletal mobilisasi 14. Gangguan neuromuscular, Nyeri (walker) 15. Agens obat 16. Penurunan kekuatan otot 17. Kurang pengetahuan tentang aktivitas fisik 18. Keadaan mood depresif 19. Keterlambatan perkembangan 20. Ketidaknyamanan 21. Disuse, kaku sendi 22. Kurang dukungan lingkungan (mis: fisik atau social)



saat latihan 2. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulansi sesuai dengan kebutuhan 3. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera 4. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulansi 5. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi 6. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan 7. Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs pasien 8. Berikan alat bantu jika klien memerlukan 9. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan



23. Keterbatasan ketahanan kardiovaskuler 24. Kerusakan integritas struktur tulang 25. Program pembatasan gerak 26. Keengganan memulai pergerakan 27. Gaya hidup monoton 28. Gangguan sensori perceptual



3



Kerusakan Memori Definisi: Ketidakmampuan mengingat beberapa iformasi atau keterampilan perilaku Batasan Karakteristik



NOC NIC  Tissue perfusion Cerebral Neurologi Monitoring  Acute Confusion Level 1. Memantau ukuran pupil,  Environment bentuk simetri dan reaktivitas Intrepretation syndrome 2. Memantau tingkat kesadaran impaired 3. Memantau tingkat orientasi 4. Memantau tren Glascow



1. Lupa melakukan perilaku pada waktu yang telah dijadwalkan 2. Ketidakmampuan mempelajari informasi baru 3. Ketidakmampuan melakukan keterampilan yang telah dipelajari sebelumnya 4. Ketidakmampuan mengingat peristiwa 5. Ketidakmampuan mengingat informasi factual 6. Ketidakmampuan mengingat perilaku tertentu yang pernah dilakukan 7. Ketidakmampuan menyimpan informasi baru 8. Ketidakmampuan menetrasi keterampilan baru 9. Mengeluh mengalami lupa Faktor yang berhubungan 1. Anemia 2. Penurunan curah jantung 3. Ketidakseimbangan elektrolit 4. Gangguan lingkungan berlebihan 5. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit 6. Hipoksia 7. Gangguan neurologis



Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x 24 jam. Pasien tidak mengalami kerusakan memori, dengan: Kriteria hasil: 1. Mampu untuk melaksanakan proses mental yang kompleks 2. Orientasi kognitif: mampu mengidentifikasi orang, tempat, dan waktu secara adekuat 3. Konsentrasi: mampu focus pada stimulus tertentu 4. Ingatan (memori): mampu untuk mendapatkan kembali secara kognitif dan menyampaikan kembali informasi yang disimpan sebelumnya 5. Kondisi neurologis: kemampuan system saraf perifer dan system saraf pusat untuk menerima, memproses dan memberi respon terhadap stimulus internal dan eksternal 6. Kondisi neurologis: kesadaran 7. Menyatakan mampu mengingat lebih baik



Coma Scale 5. Memonitoring memori baru, rentang perhatian, emori masa lalu, suasana hati, mempengaruhi dan perilaku 6. Memonitor tanda-tanda vital: suhu, tekanan darah, denyut nadi, pernafasan 7. Memonitor status pernafasan: ABG tingkat, oksimetri pulsa, kedalaman pola, tingkat, dan usaha 8. Memantau ICP dan CPP 9. Memantau refleks kornea 10. Memantau refleks batuk dan muntah 11. Memantau otot, gerakan motoric, kiprah, dan proprioception 12. Memantau kekuatan cengkeraman 13. Memantau untuk gemetar 14. Memantau simetri wajah 15. Memantau tonjolan lidah 16. Memantau tanggapan pengamatan 17. Memantau EOMs dan karakteristik tatapan 18. Memantau untuk gangguan visual: diplopia, nystagmus, pemotongan bidang visual, penglihatan kabur, dan ketajaman visual 19. Catatan keluhan sakit kepala 20. Memantau karakteristik bicara: kelancaran, keberadaan aphapsias, atau kata temuan kesulitan 21. Pantau respon terhdap ragsangan: Verbal, taktil, dan berbahaya. 22. Memantau diskriminasi tajam/ tumpul, dan panas/dingin.



23. Memantau untuk paresthesia : mati rasa dan kesemutan. 24. Memantau indera penciuman. 25. Memonitor pola berkerigat. 26. Memantau respon Babinski. 27. Memantau respon cushing 28. Memantau craniotomy 29. Laminektomi pembalut untuk drainase 30. Pantau respon terhadap obat. 31. Konsultasikan dengan rekan kerja untuk mengkonfirmasi data. 32. Mengidentifikasi pola-pola yang muncul dalam data. 33. Meningkatkan frekuensi pemantauan neurologis 34. Hindari kegiatan yang meningkatan tekanan intracranial. 35. Ruang kegiatan keperawatan yang diperlukan yang meningkatkan tekanan intracranial. 36. Beritahu dokter dari perubahan dalam kondisi pasien. 37. Melakukan protocol darurat, sesuai kebutuhan.



4



Ketidak efektifan bersihan Jalan NOC Airway suction Nafas  Respiratory Status 1. Pastikan kebutuhan oral/ tracheal Definisi: Ketidakmampuan untuk : Ventilation suctioning membersihkan sekresi atau  Respiratory Status 2. Auskultasi suara nafas sebelum obstruksi dari saluran pernapasan : Airway Patency dan sesudah suctioning untuk mempertahankan kebersihan 3. Informasikan pada klien dan jalan napas. Setelah dilakukan keluarga tentang suctioning



Batasan Karakteristik : tindakan keperawatan 4. Minta klien nafas dalam sebelum 1. Tidak ada batuk selama ... x 24 jam. suction dilakukan 2. Suara napas tambahan Pasien tidak 5. Berikan O2 dengan menggunakan 3. Perubahan frekuensi napas mengalami ketidak nasal untuk memfasilitasi suction 4. Perubahan irama napas efektifan bersihan nasotrakeal 5. Sianosis jalan nafas, dengan : 6. Gunakan alat yang steril setiap 6. Kesulitan berbicara atau melakukan tindakan mengeluarkan suara Kriteria Hasil : 7. Anjurkan pasien untuk istirahat 7. Penurunan bunyi napas 1. Mendemonstrasik dan napas dalam setelah kateter 8. Dispneu an batuk efektif dikeluarkan dari nasotrakeal 9. Sputum dalam jumlah yang dan suara napas 8. Monitor status oksigen pasien berlebihan yang bersih, tidak 9. Ajarkan keluarga bagaimana cara 10. Batuk yang tidak efektif ada sianosis dan melakukan suction 11. Orthopneu dyspneu (mampu 10. Hentikan suction dan berikan 12. Gelisah mengeluarkan oksigen apabila pasien 13. Mata terbuka lebar sputum, mampu menunjukkan bradikardi, Faktor yang Berhubungan bernapas dengan peningkatan saturasi O2, dll. Lingkungan : mudah, tidak ada 1. Perokok pasif pursed lips) Airway Management 2. Menghisap asap 2. Menunjukkan 1. Buka jalan napas, gunakan teknik 3. Merokok jalan napas yang chin lift atau jaw thrust bila perlu Obstruksi jalan napas : paten (klien tidak 2. Posisikan pasien untuk 1. Spasme jalan napas merasa tercekik, memaksimalkan ventilasi 2. Mokus dalam jumlah berlebihan irama napas, 3. Identifikasi pasien perlunya 3. Eksudat dalam jalan alveoli frekuensi pemasangan alat jalan napas 4. Materi asing dalam jalan napas pernapasan dalam buatan 5. Adanya jalan napas buatan rentang normal, 4. Lakukan fisioterapi dada jika 6. Sekresi bertahan/sisa sekresi tidak ada suara perlu 7. Sekresi dalam bronchi napas abnormal) 5. Keluarkan secret dengan batuk Fisiologis : 3. Mampu atau suction 1. Jalan napas alergik mengidentifikasi 6. Auskultasi suara napas, catat 2. Asma dan mencegah adanya suara tambahan 3. Penyakit paru obstruktif kronik faktor yang dapat 7. Berikan bronkodilator bila perlu 4. Hiperplasi dinding bronkial menghambat jalan 8. Atur intake untuk cairan 5. Infeksi nafas mengoptimalkan keseimbangan 6. Disfungsi neuromuskular 9. Monitor respirasi dan status O2 5



Risiko Kekurangan NOC NIC Volume Cairan  Fluid balance Fluid management Definisi : Berisiko  Hydration 1. Timban popok/pembalut jika mengalami dehidrasi  Nutritional Status : diperlukan vascular, selular, dan Food and Fluid Intake 2. Pertahankan catatan intake dan intraselular. output yang akurat Faktor Risiko : Setelah dilakukan 3. Monitor status hidrasi



1. Kehilangan volume tindakan keperawatan (kelembaban mukosa, nadi cairan aktif selama ... x 24 jam. Pasien adekuat, tekanan darah 2. Kurang pengetahuan tidak mengalami resiko ortostatik), jika diperlukan 3. Penyimpangan yang kekurangan volume 4. Monitor vital sign mempengaruhi cairan, dengan : 5. Monitor masukan absorbs cairan Kriteria Hasil : cairan/makanan dan hitung 4. Penyimpangan yang 1. Mempertahankan intake kalori harian mempengaruhi akses urine output sesuai 6. Kolaborasikan cairan IV cairan dengan usia dan BB, 7. Monitor asupan nutrisi 5. Penyimpangan yang BJ urine normal, HT 8. Berikan cairan IV pada suhu mempengaruhi asupan normal ruangan cairan 2. Tekanan darah, nadi, 9. Dorong masukan oral 6. Kehilangan berlebihan suhu tubuh dalam 10. Berikan pengganti nesogastrik melalui rute normal batas normal sesuai output 7. Usia lanjut 3. Tidak ada tanda-tanda 11. Dorong keluarga untuk 8. Berat badan ekstrem dehidrasi, elastisitas membantu pasien makan 9. Factor yang turgor kulit baik. 12. Tawarkan snack mempengaruhi 4. Membrane mukosa 13. Kolaborasi dengan dokter kebutuhan cairan lembab, tidak ada rasa 14. Atur kemungkinan transfuse 10. Kegagalan fungsi haus yang berlebihan. 15. Persiapan untuk transfuse regulator Hypovolemia Management 11. Kehilangan cairan 1. Monitor status cairan termasuk melalui rute abnormal intake dan output cairan 12. Agens fermasutikal 2. Pelihara IV line 3. Monitor tingkat Hb dan hematocrit 4. Monitor tanda vital 5. Monitor respon pasien terhadap penambahan cairan 6. Monitor berat badan 7. Dorong pasien untuk menambah intake oral 8. Pemberian cairan IV monitor adanya tanda dan gejala kelebihan volume cairan 9. Monitor adanya tanda gagal ginjal 6



Risiko Ketidak NOC NIC Seimbangan Suhu Tubuh Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji tanda dan gejala Definisi : berisiko terhadap keperawatan selama ... x 24 awal hipotermia (seperti kegagalan untuk memelihara jam. Pasien tidak mengalami menggigil, pucat, bagian suhu tubuh dalam batas risiko ketidakseimbangan dasar kuku sianosis, normal suhu tubuh, dengan : pengisan ulang kapiler Factor resiko: Kriteria Hasil lambat, piloereksi,



1. Perubahan laju metabolism 2. Dehidrasi 3. Terpajan suhu lingkungan yang dingin, sejuk, hangat atau panas 4. Usia yan ekstrem 5. Berat badan yang ekstrem 6. Kesakitan atau trauma yang memengaruhi pusat pengatur suhu 7. Ketidakmampuan untuk berkeringat 8. Inaktivitas 9. Pakaian yang tidak sesuai dengan suhu lingkungan 10. Berat badan bayi yang rendah 11. Aktivitas berlebihan



7



1. Menunjukan termoregulasi : 1) Peningkatan suhu tubuh 2) Penurunan suhu tubuh 3) Hipertermia 4) Hipotermia 2. Tidak memperlihatkan berkeringat, menggigil dan merinding 3. Mempertahankan tandatanda vital dalam batas normal 4. Melaporkan suhu yang nyaman 5. Menguraikan tindakan adaptif untuk meminimaka fluktuasi suhu tubuh 6. Melaporkan tanda dan gejala awal dari hipotermia dan hipertermia



Risiko Perdarahan NOC Definisi : Berisiko  Blood lose mengalami penurunan severenty volume darah yang dapat  Blood koagulation mengganggu kesehatan. Setelah dilakukan Faktor Risiko : tindakan keperawatan



disritmia) dan hipertermia (seperti tidak berkeringat, kelemahan, mual, dan muntah, sakit kepala, delirium) 2. Untuk orang dewasa, lakukan pemeriksaan suhu oral 3. Pantau dan laporkan tanda atau gejala hipotermia serta hipertermia 4. Laporkan kepada dokter jika hidrasi adekuat tidak dapat dipertahankan 5. Berikan obat antipiretik, jika perlu 6. Sesuaikan suhu lingkungan dengan kebutuhan pasien



NIC Bleeding Precautions 1. Monitor ketat tanda tanda perdarahan 2. Catat nilai HB dan HT sebelum dan sesudah terjadinya perdarahan



1. 2. 3. 4.



Aneurisme Sirkumsisi Defisiensi pengetahuan Koagulopati intravaskuler diseminata 5. Riwayat jatuh 6. Gangguan gastrointestinal (mis: penyakit ulkus lambung, polip, varises) 7. Gangguan fungsi hati (mis: trombositopenia) 8. Komplikasi pascapartum (mis: atoni uterus, retensi plasenta) 9. Komplikasi terkait kehamilan (mis: plasenta previa, kehamilan mola, solusio plasenta) 10. Trauma 11. Efek samping terkait terapi (mis: pembedahan, pemberian obat, pemberian produk darah defisiensi trombosit, kemoterapi)



selama ... x 24 jam. Pasien tidak mengalami resiko perdarahan, dengan : Kriteria Hasil 1. Tidak ada hematuria dan hematemesis 2. Kehilangan darah yang terlihat 3. Tekanan darah dalam batas normal sistol dan diastole 4. Tidak ada perdarahan pervagina 5. Tidak ada distensi abdominal 6. Hemoglobin dan hematokrit dalam batas normal 7. Plasma, PT, PTT dalam batas normal



3. Monitor nilai lab (koagulasi) yang meliputi PT, PTT, trombosit 4. Monitor TTV ortostatik 5. Pertahankan bed rest selama perdarahan aktif 6. Kolaborasi dalam pemberian produk darah (platelet atau fresh frozen plasma) 7. Lindungi pasien dari trauma yang dapat menyebabkan perdarahan 8. Hindari mengukur suhu lewat rectal 9. Hindari pemberian aspirin dan anticoagulant 10. Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake makanan yang banyak mengandung vitamin K 11. Hindari terjadinya konstipasi dengan menganjurkan untuk mempertahankan intake cairan yang adekuat dan pembalut feses Bleeding Reduction 1. Indentifikasi penyebab perdarahan 2. Monitor trend tekanan darah dan parameter hemodinamik (CVP, pulmonary capillary/artery wedge preassure 3. Monitor status cairan yang meliputi intake dan output 4. Monitor penentu pengiriman oksigen ke jaringan (PaO2, SaO2 dan level Hb dan cardiac output) 5. Pertahankan patensi IV line bleeding reduction: wound/luka 6. Lakukan manual preassure (tekanan) pada area perdarahan 7. Gunakan ice pack pada area perdarahan 8. Lakukan pressure dressing (perban yang menekan) pada area luka 9. Tinggikan ekstremitas yang perdarahan 10. Monitor ukuran dan karakteristik hematoma



11. Monitor nadi distal dari area yang lukaatau perdarahan 12. Instrusikan pasien untuk menekan area luka pada saat bersin atau batuk 13. Instruksikan pasien untuk membatasi aktivitas Bleeding reduction: gastrointestinal 1. Observasi adanya darah dalm sekresi cairan tubuh: emesis, feses, urine,residu lambung dan drainase luka 2. Monitor complete bloodcount dan leukosit 3. Kolaborasi dalam pemberian terapi: lactulose atau vasopressin 4. Lakukan pemasangan NGT untuk memonitor sekresi dan perdarahan lambung 5. Lakukan bilas lambung dengan NaCl dingin 6. Dokumentasikan warna, jumlah dan karakteristik feses 7. Hindari pH lambung yang ekstrem dengan kolaborasi pemberian antacids histamine blocking agent 8. Kurangi faktor stress 9. Pertahankan jalan nafas 10. Hindari penggunaan anticoagulant 11. Monior status nutrisi pasien 12. Berikan cairan intra vena 13. Hindari penggunaan aspirin dan ibuprofen



8



Risiko ketidak efektifan NOC perfusi jaringan otak  Circulation status Definisi : Beresiko  Tissue Prefusion mengalami penurunan cerebral sirkulasi jaringan otak yang dapat menggangu kesehatan Kriteria Hasil



NIC Peripheral Sensation : management (manajemen sensasi perifer) 1. Monitor adanya daerah tertentu yang hanya



9



Batasan Karakteristik: 1. Massa tromboplastin parsial abnormal 2. Massa protrombim abnormal 3. Sukmen ventrikel kiri akinetik 4. Ateroklerosis aerotik 5. Diseksi arteri 6. Fibrilasi atrium 7. Tumor otak 8. Stenosis carotid 9. Aneurisme serebri 10. Koagulopati (mis: anemia sel sabit) 11. Kardiomiopati dilatasi 12. Koagulasi intravaskuler diseminata 13. Embolisme 14. Trauma kepala 15. Hierkolesterolemia 16. Hipertensi 17. Endokarditis infeksi 18. Katup prostetik mekanis 19. Stenosis mitral 20. Neoplasma otak 21. Baru terjadi infak miokardium 22. Sidrom sick sinus 23. Penyalahgunaan zat 24. Terapi trobolitik 25. Efek samping terkait terapi (bypass kardiopulmunal, obat)



1. Mendemonstrasikan status sirkulasi yang ditandai dengan 2. Tekanan systole dan diastole dalam rentang yang diharapkan 3. Tidak ada ortostatikhipertensi 4. Tidak ada tanda peningkatan tekanan intracranial (tidak lebih dari 15 mmHg) 5. Mendemonstrasikan kemampuan kognitif yang ditandai dengan 6. Berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan kemampuan 7. Menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi 8. Memproses informasi 9. Membuat keputusan dengan benar 10. Menunjukkan fungsi sensori motoricranial yang utuh : tingkat kesadaran membalik, tidak ada gerakan gerakan involunter



Risiko infeksi Definis : Mengalami peningkatan resiko terserang organisme patogenik Faktor-faktor resiko: 1. Penyakit kronis : DM



NOC Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x 24 jam. Pasien tidak mengalami resiko infeksi, dengan : Kreteria Hasil



2. 3.



4. 5. 6. 7. 8. 9.



peka terhadap panas/dingin/tajam/tum pul Monitor adanya paretese Instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada isi atau laserasi Gunakan sarun tangan untuk proteksi Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung Monitor kemampuan BAB Kolaborasi pemberian analgetik Monitor adanya tromboplebitis Diskusikan mengenai penyebab perubahan sensasi



NIC Kontrol Infeksi 1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai px lain 2. Pertahankan teknik isolasi



dan Obesitas 2. Pengetahuan yang tidak cukup untuk menghindari pemanjangan patogen 3. Pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat : gangguan peritalsis, kerusakan integritas kulit (pemasangan kateter IV, prosedur invasif) , perubahan sekresi pH, penurunan kerja siliaris, pecah ketuban dini, pecah ketuban lama, merokok, stasis ciran tubuh, trauma jaringan ( mis, trauma destruksi jaringan) 4. Ketidak adekuatan pertahanan sekunder : penurunan Hb, imunosupresan (mis. Imunitas didapat tidak aekuat, agen farmaseutikal termasuk imunosupresan,steroid, antibodi monoklonal, imunomudulator,suoresi respon inflamasi) 5. Vaksinasi tidak adekuat 6. Pemajangan terhadap patogen lingkungan meningkat : wabah 7. Prosedur invasif Malnutrisi



1. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi 2. Mendeskripsikan proses penularan penyakit , faktor yang memengaruhi penularan serta penatalaksanaannya 3. Menunjukkn kemampuan untuk mencegahtimbunya infeksi 4. Jumlah leukosit dalam batas normal 5. Menunjukkan perilaku hidup sehat



3. Batasi pengunjung bila perlu 4. Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjun meninggalkan px 5. Gunakan sabun antimikroba untuk cuci tangan 6. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan kolaboratif 7. Gunakan baju,sarung tangan sebagai alat pelindung 8. Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat 9. Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dg petunjuk 10. Gunakan kateter intermiten utk menurunkan infeksi kandung kemih 11. Tingkatkan intake nutrisi 12. Berikan terapi antibiotik bila perlu infection protection (proteksi terhadap infeksi) 13. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal 14. Monitor hitung granulosit, WBC 15. Monitor kerentanan terhadap infeksi 16. Pertahankan teknik aseptik pd px yg beresiko



17. Pertahankan teknik isolasi k/p 18. Berikan perawatan kulit pada area epidema 19. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas dan drainase 20. Inspeksi kondisi luka/insisi bedah 21. Dorong masukan nutrisi yg cukup 22. Dorong masukan cairan 23. Dorong istirahat 24. Instruksikan px utk minum antibiotik sesuai resep 25. Ajarkan px dan keluarga tanda dan gejala infeksi 26. Ajarkan cara menghindari infeksi 27. Laporkan kecurigaan infeksi 28. Laporkan kultur positif



10



Risiko cedera Definisi : Beresiko mengalami cedera sebagai akibat kondisi lingkungan yang berinteraksi dengan sumber adaptif an sumber defensive individu



NOC  Risk Control



NIC Environment Management Setelah dilakukan tindakan (Manajemen Lingkungan) keperawatan selama ... x 24 1. Sediakan lingkungan jam. Pasien tidak mengalami yang aman untuk



Factor resiko : resiko cedera, dengan : Eksternal: 1. Biologis (misalnya : tingkat Kriteria Hasil imunisasi komunitas, 1. Klien terbebas dari mikroorganisme) cedera 2. Zat kimia (misalnya : racun, 2. Klien mampu polutan, obat, agens menjelaskan farmasi, alkohol, nikotin, cara/metode untk pengawet, kosmetik, mencegah injuri/cedera pewarna) 3. Klien mampu 3. Manusia (misalnya : agens menjelaskan factor nosocomial, pola resiko dari lingkungan ketegangan, atau faktor atau perilaku personal kognitif, afektif, dan 4. Mampu memodifikai psikomotor) gaya hidup untuk 4. Cara pemindahan transpor mencegah injuri 5. Nutrisi (misalnya : desain, 5. Menggunakan fasilitas struktur, dan pengaturan kesehatan yang ada komunitas, bangunan, 6. Mampu mengenali dan/atau peralatan) perubahan status Internal: kesehatan 1. Profil darah yang abnormal 2. Disfungsi biokimia 3. Usia perkembangan (fisiologis, psikososial) 4. Disfungsi efektor 5. Disfungsi imun/auto imun 6. Disfungs integrative 7. Malnutrisi 8. Fisik (misalnya : integritas kulit tidak utuh, gangguan mobilitas) 9. Psikologis 10. Disfungsi sensori 11. Hipoksia jaringan 11



pasien 2. Identifikasi kebutuhan keamanaan pasie, sesuai dengan kndisi fisik dan fungsi kognitif pasien dan riwayat penyakit terdahulu pasien 3. Hindari lingkungan yang berbahaya (misalnya memindahkan perabotan) 4. Pasang side rall tempat tidur 5. Sediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih 6. Tempatkan saklar lampu di tempat yang mudah dijangkau pasien 7. Batasi pengunjung 8. Anjurkan keluarga untuk menemani pasien 9. Kontrol lingkungan dari kebisingan 10. Pindahkan barangbarang yang dapat membahayakan 11. Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau pengunjung adanya perubahan status kesehatan dan penyebab penyakit



Ansietas NOC NIC Definisi : Perasaan tidak nyaman atau NOC Anxiety Reduction kekawatiran yang samar disertai respon  Anxiety self- (penurunan kecemasan) autonom ( sumber sering kali tidak control 1. Gunakan pendekatan spesifik atau tidak diketahui oleh  Anxiety level yang menenangkan individu ) ; perasaan takut yang  Coping 2. Nyatakan dengan jelas



disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya. Hal ini merupakan isyarat Kriteria Hasil : kewaspadaan yang memperingatkan 1. Klien mampu individu akan akan adanya bahaya dan mengidentifikasi kemampuan individu untuk bertindak dan menghadapi ancaman mengungkapkan Batasan Karakteristik gejala cemas Perilaku: 2. Mengidentifikasi, 1. Penurunan produktivitas mengungkapkan 2. Gerakan yang ireleven dan menunjukkan 3. Gelisah tehnik untuk 4. Melihat sepintas mengontrol cemas 5. Insomnia 3. Vital sign dalam 6. Kontak mata yang buruk batas normal 7. Mengekspresikan kekawatiran 4. Postur tubuh, karena perubahan dalam peristiwa ekspresi wajah, hidup bahasa tubuh dan 8. Agitasi tingkat aktivitas 9. Mengintai menunjukkan 10. Tampak Waspada berkurangnya Affektif : kecemasan 1. Gelisah, Distres 2. Kesedihan yang mendalam 3. Ketakutan 4. Perasaan tidak adekua 5. Berfokus pada diri sendiri 6. Peningkatan kewaspadan 7. Iritabilitas 8. Gugup senang berlebihan 9. Rasa nyeri yang meningkatkan ketidak berdayaan 10. Peningkatan rasa ketidak berdayaan yang persiste 11. Bingung, menyesal 12. Ragu/ tidak percaya diri 13. Khawatir Fisiologis  Wajah tegang, tremor tangan  Peningkatan keringa  Peningkatan ketegangan  Gemetar, tremor  Suara bergetar



harapan terhadap pelaku pasien 3. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur 4. Pahami prespektif pasien terhadap situasi stress 5. Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut 6. Dorong keluarga untuk menemani anak 7. Lakukan back/ neck rub 8. Dengarkan dengan penuh perhatian 9. Identifikasi tingkat kecemasan 10. Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan 11. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi 12. Instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi 13. Berikan obat untuk mengurangi kecemasan



Simpatik  Anoreksia  Eksitasi kardiovaskular  Diare, mulut kering  Wajah merah  Jantung berdebar-debar  Peningkatan tekanan darah  Peningkatan denyut nadi  Peningkatan reflek  Peningkataan frekwensi pernapasan, pupil meleba  Kesulitan bernapas  Vasokontriksi superfisial  Lemah, Kedutan pada otot Parasimpatik  Nyeri abdomen  Penurunan tekanan darah  Penurunan denyut nadi  Diare, Mual, Vertigo  Letih, Gangguan tidur  Kesemutan pada extremitas  Sering berkemih  Anyang-anyangan  Dorongan segera berkemih Kognitif :  Menyadari gejala fisiologis  Bloking fikiran, Konfus  Penurunan lapang perseps  Kesulitan berkonsentrasi  Penurunan kemampuan belajar  Penurunan kemampuan untuk memecahkan masala  Ketakutan terhadap konsekwensi yang tidak spesifik  Lupa, Gangguan perhatian  Khawati, Melamun  Cenderung menyalahkan orang lain Faktor Yang Berhubungan :  Perubahan dalam ( status ekonomi, lingkungan, status kesehatan, pola



        



   



interaksi, fungsi peran, status peran) Pemajanan toksin Terkait keluarga Herediter Infeksi/kontaminan interpersonal Penurunan penyakit interpersonal Krisis maturasi, Krisis situasional Stres, Ancaman kematian Penyalahgunaan zat Ancaman pada (status ekonomi, lingkungan, status kesehatan, pola interaksi, fungsi peran, status peran) Konflik tidak disadari mengenai tujuan penting hidup Konflik tidak disadari mengenai tujuan penting hidup Konflik tidak disadari mngenai nilai yang esensial/penting Kebutuhan yang tidak dipenuhi



DAFTAR PUSTAKA Arif, Mansjoer. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculpius Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 3, Jakarta: EGC Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC



NANDA,NIC-NOC.2015.Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis. Jakarta : MediAction Smeltzer, Suzanne. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC