LP Cedera Kepala [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA A. KONSEP DASAR PENYAKIT 1. Definisi Cedera Kepala Cedera kepala merupakan cedera yang bisa disebabkan oleh percepatan mendadak yang memungkinkan terjadinya benturan atau karena perlambatan mendadak yang terjadi jika kepala membentur objek yang tidak bergerak. Cedera kepala (



trauma capitis) adalah cedera



mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan Luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (Ayu, 2010). Menurut lokasi trauma, cedera kepala dapat dibagi menjadi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera kepala yang paling sering terjadi dan menyebabkan penyakit neurologhik yag cukup serius diakibatkan oleh kecelakaan di jalan raya. Risiko utama pasien dengan cedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan memnyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. (Smeltzer dan Bare, 2002).



3



Cedera kulit kepala menyebabkan infeksi intrakranial. Trauma di bagian ini dapat menyebabkan abrasi, kontusio, laserasi atau avulsi. Suntikan prokain melalui subkutan dapat membuat luka menjadi mudah dibersihkan dan diobati. Daerah luka diirigasi untuk mengeluarkan benda asing dan meminimalisir masuknya mikroorganisme yang menyebabkan infeksi. Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak yang disebabkan oleh trauma. Hal ini dapat terjadi disertai atau tanpa kerusakan otak. Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat. Fraktur tengkorak diklasifikasikan menjadi terbuka dan tertutup. Jika terjadi fraktur tengkorak terbuka dipastikan lapisan duramater otak rusak, namun jika fraktur tengkorak tertutup, duramater kemungkinan tidak rusak. (Smeltzer dan Bare, 2002). Jenis cedera kepala berdasarkan lokasi terjadinya yang terakhir adalah cedera otak. Otak merupakan salah satu bagian terpenting dalam tubuh kita dan kejadian minor dapat membuat otak mengalami kerusakan yang bermakna. Otak menjadi tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa jika mengalami kerusakan yang cukup bermakna. Sel-sel serebral membutuhkan suplai darah terus-menerus untuk memperoleh makanan. Kerusakan otak tidak dapat pulih dan sel-sel mati diakibatkan karena darah yang mengalir berhenti hanya beberapa menit saja, dan kerusakan neuron tidak dapat mengalami regenerasi. 2. Penyebab Cedera Kepala (Smeltzer, Bare, 2002) a. Trauma tajam Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah yang menyebabkan robeknya otak. Misalnya tertembak peluru atau benda tajam. b. Trauma tumpul Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya. c. Cedera akselerasi



4



Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan maupun yang bukan pukulan. d. Kontak benturan. Biasanya terjadi karena suatu benturan atau tertabrak suatu obyek. e. Kecelakaan lalu lintas f. Jatuh g. Kecelakaan kerja h. Serangan yang disebabkan karena olahraga i. Perkelahian Berikut jenis etiologi berdasarkan kerusakan spesifik pada kepala : (Tabel 1.1 Jenis etiologi berdasarkan kerusakan spesifik pada kepala) Jenis cedera



Coup countrecoup



Mekanisme



dan Objek yang membentur bagian depan (coup) atau bagian belakang (countrecoup) kepala; objek yang membentur bagian samping kepala (coup atau countrecoup); kepala yang mengenai objek dengan kecepatan rendah



Hematom



Kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, kecelakaan saat olahraga



ekstradural Hematom



Kecelakaan lalu lintas atau terjatuh, khususnya pada orang



subdural



berusia tua atau orang dengan penyalahgunaan alkohol yang kronik



Perdarahan



Kontusi yang disebabkan oleh gaya dengan kekuataan yang



intracerebral



besar, biasanya akibat kecelakaan lalu lintas atau terjatuh dari jarak yang jauh



Fraktur campuran Objek yang mengenai kepala dengan kekuatan yang besar atau kepala yang membentur objek dengan sangat kuat; fraktur tulang temporal, fraktur tulang occipital, dampak ke arah atas dari vertebra cervical (fraktur dasar tulang tengkorak)



5



Cedera penetrasi



Misil (peluru) atau proyektil yang tajam (pisau, pemecah es, kapak, baut)



Cedera difus



aksonal Kepala yang sedang bergerak dan membentur permukaan yang keras atau objek yang sedang bergerak membentur kepala yang dalam kondisi diam; kecelakaan lalu lintas (saat kerja atau pejalan kaki); gerakan kepala memutar



3. Klasifikasi Cedera Kepala a. Menurut Patologi 1) Cedera kepala primer, merupakan akibat cedera awal. Cedera awal menyebabkan gangguan integritas fisik, kimia, dan listrik dari sel di area tersebut, yang menyebabkan kematian sel. 2) Cedera kepala sekunder, merupakan cedera yang menyebabkan kerusakan otak lebih lanjut yang terjadi setelah trauma sehingga meningkatkan TIK yang tak terkendali, meliputi respon fisiologis cedera otak, termasuk edema serebral, perubahan biokimia, dan perubahan hemodinamis serebral, iskemia serebral, hipotensi sistemik, dan infeksi lokal atau sistemik. b. Menurut Jenis Cedera 1) Cedera Kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak dan jaringan otak. 2) Cedera kepala tertutup dapat disamakan dengan keluhan geger otak ringan dan oedem serebral yang luas.



c. Menurut Berat Ringannya Berdasarkan GCS (Gasglow Coma Scale) 1) Cedera Kepala Ringan (kelompok risiko rendah) a) GCS 13-15 (sadar penuh, atentif, orientatif) b) Kehilangan kesadaran/amnesia tetapi kurang 30 menit c) Tak ada fraktur tengkorak d) Tak ada contusio serebral (hematom)



6



e) Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang f) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing g) Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala h) Tidak adanya criteria cedera sedang-berat 2) Cedera Kepala Sedang a) GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor) b) Kehilangan kesadaran lebih dari 30 mnt / kurang dari 24 jam (konkusi) c) Dapat mengalami fraktur tengkorak d) Amnesia pasca trauma e) Muntah f) Kejang 3) Cedera Kepala Berat a) GCS 3-8 (koma) b) Kehilangan kasadaran lebih dari 24 jam (penurunan kesadaran progresif) c) Diikuti contusio serebri, laserasi, hematoma intracranial d) Tanda neurologist fokal e) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur cranium d. Menurut Morfologi 1) Fraktur tengkorak Kranium: linear/stelatum; depresi/non depresi; terbuka/tertutup Basis: dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal, dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII 2) Lesi intracranial Fokal: epidural, subdural, intraserebral Difus: konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus 4. Gejala Klinis Cedera Kepala



7



Menurut Krisanty dkk, 2009 manifestasi klinik cedera kepala sebagai berikut: a. Trias TIK: penurunan tingkat kesadaran, gelisah atau iritable,papil edema, muntah proyektil. Penurunan fungsi neurologis seperti: perubahan bicara perubahan reaksi pupil, sensori,motorik berubah. Sakit kepala, mual, pandangan kabur (diplopia). b. Fraktur tengkorak: CSF atau darah mengalir dari telinga dan hidung, perdarahan dibelakang membran timpani, periorbital ekhimosis, battle’s sign (memar di daerah mastoid). c. Kerusakan saraf kranial dan telinga tengah dapat terjadi saat kecelakaan atau setelah terjadi kecelakaan: perubahan penglihatan akibat kerusakan nervus optikus, pendengaran berkurang akibat kerusakan auditory, hilangnya daya penciuman akibat kerusakan nervus olfaktorius, pupil dilatasi, ketidakmamuan mata bergerak akibat kerusakan nervus okulomotor, vertigo akibat kerusakan otolith di telinga tengah, nistagmus karena kerusakan sistem vestibular. d. Komosio serebri: sakit kepala sampai pusing, retrograde amnesia, tidak sadar lebih dari atau sama dengan 5 menit. e. Kontusio serebri: Kotusio serebri, tergantung area hemisfer otak yang terkena. Kontusio pada lobus temporal: agitasi, confuse. Kontusio frontal: hemiparese, klien sadar. Kontusio frototemporal: aphasia. Kontusio batang otak, respon segera menghilang dan pasien koma, penurunan tingkat kesadaran terjadi berhari-hari, bila kerusakan berat, pada sistem ritcular terjadi comatuse. Pada perubahan tingkat kesadaran respirasi dapat normal/periodik/cepat. Pupil simetris, kontriksi dan reaktif, kerusakan pada batang otak bagian atas pupil abnormal, tidak ada gerakan bola mata. 5. Pemeriksaan Diagnostik a. CT Scan (tanpa/dengan kontras) Mengidentifikasi adanya sol, hemoragik, menentukan ventrikuler, pergeseran jaringan otak. b. MRI (Magnetic Resonance Imaging)



8



Sama dengan CT Scan dengan / tanpa kontras. Menggunakan medan magnet kuat dan frekuensi radio dan bila bercampur frekuensi radio radio yang dilepaskan oleh jaringan tubuh akan menghasilkan citra MRI yang berguna dalam mendiagnosis tumor, infark dan kelainan pada pembuluh darah. c. Angiografi serebral Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak



akibat



edema,



pendarahan



trauma.



Digunakan



untuk



mengidentifikasi dan menentukan kelainan serebral vaskuler. d. Angiografi Substraksi Digital Suatu tipe angiografi yang menggabungkan radiografi dengan teknik komputerisasi untuk mempelihatkan pembuluh darah tanpa gangguan dari tulang dan jaringan lunak di sekitarnya. e. EEG Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis. EEG (elektroensefalogram) mengukur aktifitas listrik lapisan superfisial korteks serebri melalui elekroda yang dipasang di luar tengkorak pasien. f. ENG (Elektronistagmogram) Merupakan pemeriksaan elekro fisiologis vestibularis yang dapat digunakan untuk mendiagnosis gangguan system saraf pusat. g. Sinar X Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur). Pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema) adanya fragmen tulang. h. BAEK (Brain Auditon Euoked Tomografi) Menentukan fungsi korteks dan batang otak. i. PET (Positron Emmision Tomografi) Menunjukkan perubahan aktifitas metabolisme batang otak. j. Fungsi lumbal, CSS Dapat menduga kemungkinan adanya perubahan subaraknoid. k. GDA (Gas Darah Arteri)



9



Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan meningkatkan TIK. l. Kimia / elekrolit darah Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan TIK / perubahan mental. m. Pemeriksaan toksilogi Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran. n. Kadar anti konvulsan darah Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang. (Doenges 2000; Price & Wilson 2006) 6. Penalataksanaan Medis (Smeltzer, 2001; Long, 1996) a. Dexamethason / kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma. b. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi. c. Pemberian analgetik. d. Pengobatan anti edema dengan laruitan hipertonis yaitu manitol 20% glukosa 40% atau gliserol. e. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidazole. f. Makanan atau cairan infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak. g. Pembedahan. 7. Komplikasi Cedera Kepala Kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematoma intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak. Komplikasi dari cedera kepala adalah: a. Peningkatan TIK



10



Lebih dari separuh kematian karena trauma kepala disebabkan oleh hipertensi intrakranial. Kenaikan tekanan intrakranial (TIK) dihubungkan dengan penurunan tekanan perfusi dan aliran darah serebral (CBF) dibawah tingkat kritis (60 mmHg) yang berakibat kerusakan otak iskemik. Pengendalian TIK yang berhasil mampu meningkatkan outcome yang signifikan. Telah dikembangkan pemantauan TIK tapi belum ditemukan metode yang lebih akurat dan non invasive. Pemantauan TIK yang berkesinambungan bisa menunjukkan indikasi yang tepat untuk mulai terapi dan mengefektifkan terapi, serta menentukan prognosis. TIK yang normal: 5-15 mmHg TIK Ringan : 15 – 25 mmHg TIK sedang : 25-40 mmHg TIK berat : > 40 mmHg Sebagian besar CSF diproduksi oleh pleksus choroidalis dari ventrikulus lateralis, sisanya dihasilkan oleh jaringan otak kemudian dialirkan langsung ke rongga sub arachnoid untuk diabsorpsi



lewat



vili



arachnoid



di



sagitalis.



Pengikatan/penghilangan pleksus choroidalis akan menurunkan CSF 60%. Produksi CSF 0,3 – 0,5 cc/menit (450-500 cc/hari). Karena hanya ada volume 150cc CSF di otak dewasa, jadi ada 3 kali penggantian CSF selama sehari. Produksi CSF bersifat konstan dan



tidak



tergantung



tekanan.



Variasi



pada



TIK



tidak



mempengaruhi laju produksi CSF. Absorpsi CSF secara langsung dipengaruhi oleh kenaikan TIK. Tempat utama penyerapan CSF, vili arachnoidalis (merupakan suatu katub yang diatur oleh tekanan). Bila fungsi katub rusak / jika tekanan sinus vena meningkat, maka absorpsi CSF menurun, maka terjadilah peningkatan CSF. Obstruksi terutama terjadi di aquaductus Sylvii dan cisterna basalis. Kalau aliran CSF tersumbat mengakibatkan hidrocephalus tipe obstruktif. b. Iskemia



11



Iskemia adalah simtoma berkurangnya aliran darah yang dapat menyebabkan perubahan fungsional pada sel normal. Otak merupakan jaringan yang paling peka terhadap iskemia hingga episode iskemik yang sangat singkat pada neuron akan menginduksi serangkaian lintasan metabolisme yang berakhir dengan apoptosis. Iskemia otak diklasifikasikan menjadi dua subtipe yaitu iskemia global dan fokal. Pada iskemia global, setidaknya dua, atau empat pembuluh cervical mengalami gangguan sirkulasi darah yang segera pulih beberapa saat kemudian. Pada iskemia fokal, sirkulasi darah pada pembuluh nadi otak tengah umumnya terhambat oleh gumpalan trombus sehingga memungkinkan terjadi reperfusi. Simtoma terhambatnya sirkulasi darah oleh gumpalan trombus disebut vascular occlusion. (Wikipedia.org) c. Perdarahan otak 1) Epidural hematom: Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 – 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu dilobus temporalis dan parietalis. Tanda dan gejala: penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah, hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal, irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu. 2) Subdural hematoma: Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit.



12



Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan. Tanda dan gejala: Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang dan edema pupil. 3) Perdarahan intraserebral Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, vena. Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital. 4) Perdarahan subarachnoid Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat. Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk. (Smeltzer, 2001; Tucker, 1998) d. Kejang pasca trauma. Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %, terjadi di awal cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 942% (setelah 7 hari trauma). Faktor risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur depresi kranium, kontusio serebri, GCS 1/3 pasien pada stadium awal dalam bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi sentral. Penanganan farmakologi antara lain dengan menggunakan antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron,



stimulant,



benzodisepin



dan



terapi



modifikasi



lingkungan. i. Mood, tingkah laku dan kognitif Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding gangguan fisik setelah cedera kepala dalam jangka lama. Penelitian Pons Ford,menunjukkan 2 tahun setelah cedera kepala masih terdapat gangguan kognitif, tingkah laku atau emosi termasuk problem daya ingat pada 74 %, gangguan mudah lelah (fatigue) 72%, gangguan kecepatan berpikir 67%. Sensitif dan Iritabel 64%, gangguan konsentrasi 62%. Cicerone (2002) meneliti rehabilitasi kognitif berperan penting untuk perbaikan gangguan kognitif. Methyl phenidate sering digunakan pada pasien dengan problem gangguan perhatian, inisiasi dan hipoarousal (Whyte). Dopamine,



14



amantadinae dilaporkan dapat memperbaiki fungsi perhatian dan fungsi luhur. Donepezil dapat memperbaiki daya ingat dan tingkah laku dalam 12 minggu. Depresi mayor dan minor ditemukan 4050%. Faktor resiko depresi pasca cedera kepala adalah wanita, beratnya cedera kepala, pre morbid dan gangguan tingkah laku dapat membaik dengan antidepresan. j. Sindroma post kontusio Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera kepala 80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun pertama. Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual, mudah lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya, kognitif: perhatian, konsentrasi, memori Afektif: iritabel, cemas, depresi, emosi labil. B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian Keperawatan a. Pengkajian Primer 1) Airway Kepatenan jalan napas, apakah ada sekret, hambatan jalan napas. 2) Breathing Pola napas, frekuensi pernapasan, kedalaman pernapasan, irama pernapasan, tarikan dinding dada, penggunaan otot bantu pernapasan, pernapasan cuping hidung. 3) Circulation Frekuensi nadi, tekanan darah, adanya perdarahan, kapiler refill. 4) Disability Tingkat kesadaran, GCS, adanya nyeri. Tingkat Kesadaran Kualitatif dengan : a) CMC



15



Reaksi segera dengan orientasi sempurna, sadar akan sekeliling , orientasi baik terhadap orang tempat dan waktu. b) Apatis Terlihat mengantuk saat terbangun klien terlihat acuh tidak acuh terhadap lingkungannya. c) Confuse Klien tampak bingung, respon psikologis agak lambat. d) Samnolen Dapat dibangunkan jika rangsangan nyeri cukup kuat, bila rangsangan hilang, klien tidur lagi. e) Soporous Coma Keadaan tidak sadar menyerupai koma, respon terhadap nyeri masih ada, biasanya inkontinensia urine, belum ada gerakan motorik sempurna. f) Koma Keadaan tidak sadar, tidak berespon dengan rangsangan. Kuantitas dengan GCS a) Mata (eye) Selalu menutup mata dengan rangsangan nyeri



1



Membuka mata dengan rangsangan nyeri



2



Membuka mata dengan perintah



3



Membuka mata spontan



4



b) Motorik (M) Tidak berespon dengan rangsangan nyeri



1



Eksistensi dengan rangsangan nyeri



2



Fleksi lengan atas dengan rangsangan nyeri



3



Fleksi siku dengan rangsangan nyeri



4



Dapat bereaksi dengan rangsangan nyeri



5



Bergerak sesuai perintah



6



c) Verbal (V) Tidak ada suara



1



16



Merintih



2



Dapat diajak bicara tapi tidak mengerti



3



Dapat diajak bicara tapi kacau



4



Dapat berbicara, orientasi baik



5



5) Exposure Suhu, lokasi luka. b. Pengkajian Sekunder 1) Riwayat Kesehatan Sekarang Tanyakan kapan cedera terjadi. Bagaimana mekanismenya. Apa penyebab nyeri/cedera: Peluru kecepatan tinggi? Objek yang membentuk kepala ? Jatuh ? Darimana arah dan kekuatan pukulan? 2) Riwayat Penyakit Dahulu Apakah klien pernah mengalami kecelakaan/cedera sebelumnya, atau kejang/ tidak. Apakah ada penyakti sistemik seperti DM, penyakit jantung dan pernapasan. Apakah klien dilahirkan secara forcep/ vakum. Apakah pernah mengalami gangguan sensorik atau gangguan neurologis



sebelumnya.



Jika



pernah



kecelakaan



bagimana



penyembuhannya. Bagaimana asupan nutrisi. 3) Riwayat Keluarga Apakah ibu klien pernah mengalami preeklamsia/ eklamsia, penyakit sistemis seperti DM, hipertensi, penyakti degeneratif lainnya. 4)



Pengkajian Head To Toe a) Pemeriksaan kulit dan rambut Kaji nilai warna, turgor, tekstur dari kulit dan rambut pasien b) Pemeriksaan kepala dan leher Pemeriksaan mulai dari kepala, mata, hidung, telinga, mulut dan leher. Kaji kesimetrisan, edema, lesi, maupun gangguan pada indera. Pada penderita stroke biasanya terjadi gangguan pada penglihatan maupun pembicaraan c) Pemeriksaan dada Paru-paru Inspeksi



: kesimetrisan, gerak napas



17



Palpasi



: kesimetrisan taktil fremitus



Perkusi



: suara paru (pekak, redup, sono, hipersonor, timpani)



Jantung Inspeksi



: amati iktus cordis



Palpalsi



: raba letak iktus cordis



Perkusi



: batas-batas jantung Batas normal jantung yaitu: Kanan atas: SIC II RSB, kiri atas: SIC II LSB, kanan bawah: SIC IV RSB, kiri bawah: SIC V medial 2 MCS



d) Pemeriksaan abdomen Inspeksi



: keadaan kulit, besar dan bentuk abdomen, gerakan



Palpasi



: hati, limpha teraba/tidak, adanya nyeri tekan



Perkusi



: suara peristaltic usus



Auskultasi



: frekuensi bising usus



e) Pemeriksaan ekstremitas Kaji warna kulit, edema, kemampuan gerakan dan adanya alat bantu. 2. Diagnosis Keperawatan pada Pasien dengan Cedera Kepala Menurut Arif Muttaqin (2008), diagnosis keperawatan terkait dengan cedera kepala, yaitu : a. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka terbuka b. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan depresi pada pusat pernapasan di otak, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan dan perubahan perbandingan O2 dengan CO2, serta kegagalan ventilator. c. Nyeri akut yang berhubungan dengan agen injuri fisik trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder. d. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral yang berhubungan dengan edema pada otak.



18



e. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan perubahan kemampuan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan metabolisme.



DAFTAR PUSTAKA Arif, Mansjoer. 2000. Kapita Selekta ed 3. Jakarta: Media Aesculapius. Barbara C. Long. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Bandung: IAPK Pajajaran 19



Brunner dan Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 3. Jakarta: EGC Elizabeth J. Corwin. 1996. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC Hudak dan Gallo. 1994. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC Meg Gulanik. 1994. Nursing Care Plans. New York: Mosby Muttaqin, Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika Price, Sylvia A. 2002. Patofisiologi: Konsep klinis Proses-proses penyakit. Jakarta : EGC Swear Ingen. 1996. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC Wilkinson, Judith M. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 9. Jakarta : EGC



20