LP Cedera Kepala [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN “CEDERA KEPALA”



OLEH:



LUH MADE SHERLY HERMAWATI WIBHISANA NIM. 2014901235



PROGRAM STUDI PROFESI NERS INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI TAHUN 2020



LAPORAN PENDAHULUAN



CEDERA KEPALA A. TINJAUAN KASUS 1. Pengertian Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanen (nasution S.H, 2014). Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran dan dapat menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006 dalam Pratama, S. A. 2020). Jadi dapat disimpulkan bahwa cedera kepala adalah suatu trauma yang terjadi pada kepala karena adanya serangan atau benturan fisik dari luar baik secara langsung taupun tidak langsung dan tidak bersifat kongenital. Trauma tersebut akan mengakibatkan gangguan fungsi neurologi, fungsi fisik, kognitif, psikososial yang dapat bersifat temporer atau permanen. 2. Klasifikasi Berdasarkan Advanced Traumatic Life Support (ATLS, 2014 dalam Ramadiputra, G., Ismiarto, Y. D., & Herman, H. 2019) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi. a. Berdasarkan Mekanisme Percobaan biomekanika cedera kepala telah banyak dipelajari pada hewan coba, kadaver manusia, dan model eksperimental tulang kepala dan otak. Pada tahun 1943, Holbourn menunjukkan efek kekuatan rotasional dengan gel pada tengkorak manusia, dan 3 tahun kemudian merekam fenomena ini pada tengkorak monyet yang digantikan dengan plastik transparan. Perkembangan teknologi memungkinkan dengan Computed Tomography (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) mempelajari efek linier dan angular akselerasi pada otak pasien percobaan. Dengan mekanisme fisiologis pada cedera kepala akan dapat memperkirakan dampak pada cedera kepala primer. Komponen utama diantaranya kekuatan cedera (kontak atau gaya), jenis cedera (rotasional, translational, atau angular), dan besar



serta lamanya dampak tersebut berlangsung. Kekuatan kontak terjadi ketika kepala bergerak setelah suatu gaya, sedangkan gaya inersia terjadi pada percepatan atau perlambatan kepala, sehingga gerak diferensial otak relatif terhadap tengkorak. Meskipun satu proses mungkin mendominasi, sebagian besar pasien dengan cedera kepala mengalami kombinasi dari mekanisme ini. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan cedera kepala, benturan kepala dengan benda padat pada kecepatan yang cukup, beban impulsif memproduksi gerak tibatiba kepala tanpa kontak fisik yang signifikan, dan statis beban kompresi statis atau kuasi kepala dengan kekuatan bertahap. Kekuatan kontak biasanya mengakibatkan cedera fokal seperti memar dan patah tulang tengkorak. kekuatan inersia terutama translasi mengakibatkan cedera fokal, seperti kontusio dan Subdural Hematoma (SDH), sedangkan cedera rotasi akselerasi dan deselerasi lebih cenderung mengakibatkan cedera difus mulai dari gegar otak hingga Diffuse Axonal Injury (DAI). Cedera rotasi secara khusus menyebabkan cedera pada permukaan kortikal dan struktur otak bagian dalam. Percepatan sudut merupakan kombinasi dari percepatan translasi dan rotasi, merupakan bentuk yang paling umum dari cedera inersia. Karena sifat biomekanis kepala dan leher, cedera kepala sering mengakibatkan defleksi kepala dan leher bagian tengah atau tulang belakang leher bagian bawah (sebagai pusat pergerakan). Cedera lainnya merupakan trauma penetrasi atau luka tembak yang mengakibatkan perlukaan langsung organ intrakranial, yang pasti membutuhkan intervensi pembedahan. b. Berdasarkan Beratnya Cedera Terlepas dari mekanisme cedera kepala, pasien diklasifikasikan secara klinis sesuai dengan tingkat kesadaran dan distribusi anatomi luka. Kondisi klinis dan tingkat kesadaran setelah cedera kepala dinilai menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS), merupakan skala universal untuk mengelompokkan cedera kepala dan faktor patologis yang menyebabkan penurunan kesadaran. Glasgow Coma Scale (GCS) dikembangkan oleh Teasdale and Jennett pada 1974 dan saat ini digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera otak. Berdasarkan nilai GCS, maka Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat, penderita cedera otak dengan nilai GCS 9- 13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan.



c. Berdasarkan Morfologi Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi atau area terjadinya trauma. Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri dari dua, yaitu secara garis besar adalah trauma kepala tertutup dan terbuka. Trauma kepala tertutup merupakan fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak atau utuh pada kepala setelah luka. Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka tampak luka telah menembus sampai kepada dura mater. Secara morfologi cedera kepala data dibagi atas: 1) Laserasi Kulit Kepala Luka laserasi adalah luka robek yang disebabkan oleh benda tumpul atau runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda tajam lukanya akan tampak rata dan teratur. Luka robek adalah apabila terjadi kerusakan seluruh tebal kulit dan jaringan bawah kulit. Laserasi kulit kepala sering di dapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit kepala terdiri dari lima lapisan yang disingkat dengan akronim SCALP yaitu skin, connective tissue, apponeurosis galea, loose connective tissue dan percranium. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala sering terjadi robekan pada lapisan ini. 2) Fraktur Tulang Kepala Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi: a) Fraktur Linier Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala. b) Fraktur Diastastis Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulang tengkorak yang menyebabkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Jenis fraktur ini terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum menyatu dengan erat. c) Fraktur komunitif Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang memiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur. d) Fraktur Impresi Fraktur impresi tulang pepala terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala. Fraktur impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada duramater dan jaringan otak,



fraktur impresi dianggap bermakna terjadi jika tabula eksterna segmen tulang yang impresi masuk hingga berada di bawah tabula interna segmen tulang yang sehat. e) Fraktur Basis Kranii Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater yang melekat erat pada dasar tengkorak. pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya rhinorrhea dan racon eyes sign pada fraktur basis cranii fossa anterior, atau ottorhea dan battle’s sign pada fraktur basis cranii fossa media. 3) Luka Memar Luka memar pada kulit terjadi apabila kerusakan jaringan subkutan dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila otak menekan pembuluh darah kapiler pecah. Biasanya terjadi pada tepi otak seperti pada frontal, temporal dan oksipital. Kontusio yang besar dapat terlihat di CT-Scan atau MRI (Magnetic Resonance Imaging). Pada kontusio dapat terlihat suatu daerah yang mengalami pembengkakan yang disebut edema. Jika pembengkakan cukup besar dapat menimbulkan penekanan hingga dapat mengubah tingkat kesadaran. 4) Abrasi Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai pada jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang rusak. 5) Avulasi Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain intak kulit pada kranial terlepas setelah cedera. 3. Anatomi a. Kulit Kepala Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu, skin atau kulit, tissue atau jaringan, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar, pericranium.



Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis ranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu, frontal, parietal, temporal, dan oksipital. Kalvaria khususnya diregion temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat meluakai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi menjadi 3 fosa yaitu, fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum. b. Meningen Meningen adalah selaput otak yang merupakan bagian dari susunan sarafyang bersifat non neural.Meningen terdiri dari jaringan ikat berupa membran yang menyelubungi seluruh permukaan otak, batang otak dan medula spinalis. Meningen terdiri dari 3 lapisan yaitu piamater, arakhnoid dan duramater. Piameter merupakan selaput tipis yang melekat pada permukaan otak yang mengikuti setiap lekukanlekukan pada sulkus-sulkus dan fisura-fisura, juga melekat pada permukaan batang otak dan medula spinalis dan menerus ke kaudal sampai ke ujung medula spinalis setinggi korpus vertebra. c. Otak Otak merupakan suatu struktur gelatin yang terdiri dari beberapa bagian yaitu, proensefalon (otak depan) meliputi serebrum dan diensefalon, mensefalon (otak tengah), dan rhombesefalon (otak belakang) mliputi pons, medula oblongata dan serebelum. Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi mtorik,dan pusat ekspesi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orentasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses pengheliatan. Mensefalon dan pons bagian atas bersi sistem aktivitas retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebelum bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan. d. Cairan Serebrospinal Cairan serebrospinal dihasilkan oleh plekus khoroideus dengan kemampuan produksi sebanyak 30ml/jam. Plekus khoroideus terletak pada ventrikel lateralis baik sebelah kanan maupun sebelah kiri. Cairan serebrospinal mengalir melaluiforamen monreo ke ventrikel ketiga, selanjutnya pada ventrikel ke dua mengalir melalui akuaduktus dari sylvius menuju ke ventrikel ke empat. Kemudian keluar melalui



ventrikel dan masuk kedalam ruang subaraknoid yang berada di seluruh permukaan otak serta medula spinalis. Cairan serebrospinal akan di serap kedalam sirkulasi vena melalui granulasio subaraknoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam LSC dapat menyumbat granulasio araknoid sehingga mengganggu penyerapan LSC dan dapat menyebabkan penngkatan tekanan ntra kranial. e. Tentorium Teretonium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial dan ruang infratentorial. Mesensafalon menghubungkan hemisfer serebri dan batang otak dan berjalan memalui celah insisura tentral. Nervus okulomotorius berada sepanjang tentorum, dan saraf ini dapat tertekan pada keadaan herniasi tak yang disebabkan adanya masa supratentoral atau edema otak. Serabut-serabut parasimpatik berfungsi melakukan kontriksi pada pupil mata, berada pada permukaan nervus okulomotorius. Paralisis serabut-serabut parasimpatis ni dapat menyebabkan dilatasi pupil karena adanya penekanan akbat aktivitas serabut tersebut tidak dihambat. f. Vaskulasisasi Otak Otak disuplai oleh dua arteri carots interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior tak dan membentuk circulus willis venavena otak tidak mempunyai jaringan otot di dalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunya katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venous cranialis. 4. Etiologi Penyebab cedera kepala menjadi dibagi cedera primer yaitu cedera yang terjadi akibat benturan langsung maupun tidak langsung, dan cedera sekunder yaitu cedera yang terjadi akibat cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi ntrakranial, hipoksia, hiperkapnea / hipotensi sistemik. Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimia. 5. Patofisiologi Cedera kepala didasarkan pada proses patofisiologi dibagi menjadi dua yang didasarkan pada asumsi bahwa kerusakan otak pada awalnya disebabkan oleh kekuatan fisik yang lalu diikuti proses patologis yang terjadi segera dan sebagian besar bersifat permanen. Dari tahapan itu, dikelompokkan cedera kepala menjadi dua (Youmans, 2011):



a. Cedera Kepala Primer Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan mekanik yang merusak jaringan otak saat trauma terjadi (hancur, robek, memar, dan perdarahan). Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk kekuatan/tekanan seperti akselerasi rotasi, kompresi, dan distensi akibat dari akselerasi atau deselerasi. Tekanan itu mengenai tulang tengkorak, yang dapat memberi efek pada neuron, glia, dan pembuluh darah, dan dapat mengakibatkan kerusakan lokal, multifokal ataupun difus. Cedera otak dapat mengenai parenkim otak dan atau pembuluh darah. Cedera parenkim berupa kontusio, laserasi atau Diffuse Axonal Injury (DAI), sedangkan cedera pembuluh darah berupa perdarahan epidural, subdural, subarachnoid dan intraserebral, yang dapat dilihat pada CT scan. Cedera difus meliputi kontusio serebri, perdarahan subarachnoid traumatik dan DAI. Sebagai tambahan sering terdapat perfusi iskemik baik fokal maupun global. 1) Cedera kepala fokal Cedera otak fokal secara tipikal menimbulkan kontusio serebri dan traumatik Intrakranial hematoma. a) Kontusio Serebri Kontusio serebri adalah memar pada jaringan otak yang disebabkan oleh trauma tumpul maupun cedera akibat akselerasi dan deselerasi yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim otak dan perdarahan mikro di sekitar kapiler pembuluh darah otak. Pada kontusio serebri terjadi perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Pada beberapa kasus kontusio serebri dapat berkembang menjadi perdarahan serebral. Namun pada cedera berat, kontusio serebri sering disertai dengan perdarahan subdural, perdaraham epidural, perdarahan serebral ataupun perdarahan subaraknoid. Pada daerah kontusio serebri terdapat dua komponen, yaitu daerah inti yang mengalami nekrosis dan daerah perifer yang mengalami pembengkakan seluler yang diakibatkan oleh edema sitotoksik. Pembengkakan seluler ini sering dikenal sebagai perikontusional zone yang dapat menyebabkan keadaan lebih iskemik sehingga terjadi kematian sel yang lebih luas. Hal ini disebabkan oleh kerusakan autoregulasi pembuluh darah di pericontusional zone sehingga perfusi jaringan akan berkurang akibat dari penurunan Mean Arterial Pressure



(MAP) atau peningkatan tekanan intrakranial. Proses pembengkakan ini berlangsung antara 2 hingga 7 hari. Penderita yang mengalami kontusio ini memiliki risiko terjadi kecacatan dan kejang di kemudian hari. Penyebab penting terjadinya lesi kontusio adalah akselerasi kepala yang juga menimbulkan pergeseran otak dengan tulang tengkorak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat akan menyebabkan hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blokade reversibel terhadap lintasan asendens retikularis difus. Akibat hambatan itu, otak tidak mendapat input aferen sehingga kesadaran hilang selama blokade reversibel berlangsung. Kontusio serebri dapat dibagi berdasarkan mekanisme, lokasi anatomi, atau cedera yang berdekatan. Misalnya, fraktur kontusio akibat dari cedera kontak langsung dan terjadi segera disebelahnya dengan fraktur tulang tengkorak. Coup merujuk kepada trauma yang terjadi di lokasi dampak dengan tidak adanya patah tulang, sedangkan contrecoup adalah sisi yang berlawanan dengan titik dampak. Gliding adalah perdarahan fokal melibatkan korteks dan white matter yang berdekatan dari margin superior dari hemisfer serebri; terjadi karena mekanisme rotasi daripada tenaga kontak. Intermediary adalah lesi yang mempengaruhi struktur otak dalam, seperti korpus calosum, ganglia basal, hipotalamus, dan batang otak. Herniasi dapat terjadi di daerah medial lobus temporal pada tepi tentorial (yaitu, uncal herniasi) atau di mana tonsil serebelum menghubungi foramen magnum (yaitu, tonsillar herniasi). b) Traumatik Intrakrania Hematum Intrakranial hematom tampak sebagai suatu massa yang merupakan target terapi yang potensial dari intervensi bedah (sebagai lawan paling memar). Lebih sering terjadi pada pasien dengan tengkorak fraktur. Tiga jenis utama dari hematoma intrakranial dibedakan oleh lokasi relatif terhadap meninges: epidural, subdural, dan intracerebral. (1)Epidural hematum EDH adalah adanya darah di ruang epidural yaitu ruang potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan duramater. EDH dapat menimbulkan penurunan kesadaran, adanya lusid interval selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neurologis berupa hemiparesis kontralateral dan



dilatasi pupil ipsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis. (2)Subdural hematum Perdarahan subdural adalah perdarahan antara duramater dan arachnoid, yang biasanya meliputi perdarahan vena. Terbagi atas 3 bagian yaitu: (a)Pendarahan subdural akut SDH akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (0-2 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri. Gejala



klinis



berupa



sakit



kepala,



perasaan



mengantuk,



dan



kebingungan, respon yang lambat, serta gelisah. Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil. Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar dan cedera batang otak. (b)Pendarahan subdural subakut Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 2-14 hari setelah cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat. Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.



(c)Pedarahan subdural kronis Terjadi karena luka ringan. Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang subdural. Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar membran vaskuler dan secara pelan-pelan ia meluas, bisanya terjadi lebih dari 14 hari. Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik. (3)Intracereblar hematum Intracerebral Hematoma adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang terdapat di dalam parenkim otak. ICH bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal. (4)Subaranoid hematum



Perdarahan subarahnoid diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang subarahnoid. 2) Cedera kepala difui Cedera otak difus merupakan efek yang paling sering dari cedera kepala dan merupakan kelanjutan klinis cedera kepala, mulai dari gegar otak ringan sampai koma menetap pasca cedera. Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselerasi gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam. Vasospasme luas pembuluh darah dikarenakan adanya perdarahan subarahnoid traumatika yang menyebabkan terhentinya sirkulasi di parenkim otak dengan manifestasi iskemia yang luas, edema otak disebabkan karena hipoksia akibat renjatan sistemik, bermanifestasi sebagai cedera kepala difus. Dari gambaran morfologi pencitraan atau radiologi, cedera kepala difus dikelompokkan menjadi:



(a)Benturan (concussion) serebri Benturan adalah bentuk paling ringan dari cedera difus dan dianggap karena gaya rotasional akselerasi kepala dengan tidak adanya kontak mekanik yang signifikan. Dalam bentuk klasik, penderita benturan mengalami kehilangan kesadaran sementara dan cepat kembali ke keadaan normal kewaspadaan. Meskipun, gegar otak ini tidak berbahaya seperti yang diduga sebelumnya, tetapi benturan berulang sering mengakibatkan gangguan neurologis permanen. Patofisiologi benturan kurang dipahami dan mungkin karena gangguan kesadaran dari lesi batang otak dan diencephalon. Penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan benturan otak sering memiliki keterlibatan cedera otak difus, dan lesi batang otak jauh lebih jarang. Cedera otak difus menggambarkan keadaan odema sitotoksik meskipun gambaran CT scan normal dan GCS 15. (b)Cedera akson difus (Difuse axonal injury) Difus Axonal Injury (DAI) adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer



(asosiasi) dan serabut yang menghubungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer (komisura) mengalami kerusakan. DAI merupakan istilah yang kurang tepat, sebab ini bukan merupakan cedera difus pada seluruh daerah otak. Cedera yang terjadi lebih dominan pada area otak tertentu yang mengalami percepatan yang tinggi dan cedera deselerasi dengan durasi yang panjang. DAI merupakan ciri yang konsisten pada cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas dan beberapa olahraga tertentu. Gambaran patologi secara histologi dari DAI pada manusia adalah terdapat kerusakan yang luas pada akson dari batang otak, parasagittal white matter dari korteks serebri, korpus callosum dan gray-white matter junction dari korteks serebri. Pada DAI ringan dan sedang umumnya tidak terdapat kelainan pada pemeriksaan radiologi baik CT-scan dan MRI. Namun pada pemeriksaan mikroskopis akan dijumpai akson-akson yang membengkak dan putus. Mekanisme utama terjadinya DAI adalah akibat dari pergerakkan rotasional dari otak saat akselerasi dan deselerasi. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan densitas dari jaringan otak yaitu jaringan white matter lebih berat dibandingkan grey matter. Pada saat otak mengalami rotasi akibat kejadian akselerasi-deselerasi, jaringan dengan densitas lebih rendah bergerak lebih cepat dibandingkan dengan jaringan dengan densitas lebih besar. Perbedaan kecepatan inilah yang menyebabkan robekan pada akson neuron yang menghubungkan grey matter dan white matter.



Terdapat dua fase dari cedera aksonal pada DAI yaitu fase pada cedera primer dan cedera sekunder atau fase lambat. Pada cedera primer robekkan akson terjadi akibat regangan saat kejadiaan. Sedangkan pada fase lambat terjadi perubahan biokimia yang mengakibatkan pembengkakan dan putusnya aksonakson. Perubahan biokimia yang terjadi yaitu peningkatan influks natrium yang juga memicu influks kalsium. Peningkatan kadar kalsium ini akan menyebabkan aktifnya calsium-mediated proteolysis. Kerusakan akson menyebabkan kerusakan dari pengangkutan sehingga terjadi penunmpukan di dalam akson yang membengkak. Kerusakan akson yang luas akan menyebabkan atrofi otak dengan ventrikulomegali yang dapat menyebabkan kejang, spastisitas, penurunan fungsi intelektual dan yang paling berat adalah vegetative state. b. Cedera Kepala Sekunder



Cedera otak sekunder merupakan lanjutan dari cedera otak primer yang dapat terjadi karena adanya reaksi inflamasi, biokimia, pengaruh neurotransmitter, gangguan autoregulasi,



neuro-apoptosis



dan



inokulasi



bakteri.



Melalui



mekanisme



Eksitotoksisitas, kadar Ca+ intrasellular meningkat, terjadi generasi radikal bebas dan peroxidasi lipid. Perburukan mekanis awal sebagai akibat cedera kepala berefek pada perubahan jaringan yang mencederai neuron, glia, axon dan pembuluh darah. Cedera ini akan di ikuti oleh fase lanjut, yang di mediasi jalur biologis intraselular dan ekstraseluler yang dapat muncul dalam menit, jam, maupun hari, bahkan minggu setelah cedera kepala primer. Selama fase ini, banyak pasien mengalami cedera kepala sekunder yang dipengaruhi hipoksia, hipotensi, odema serebri, dan akibat peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK). Faktor sekunder inilah yang akan memperberat cedera kepala primer dan berpengaruh pada outcome pasien. Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak yang terjadi akibat proses metabolisme dan homeostatis ion sel otak, hemodinamika intrakranial dan kompartement CSS yang dimulai segera setelah trauma tetapi tidak tampak secara klinis segera setelah trauma. Cedera otak sekunder ini disebabkan oleh banyak faktor antara lain kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak (ADO), gangguan metabolisme dan homeostatis ion sel otak, gangguan hormonal, pengeluaran neurotransmitter dan reactive oxygen species (ROS), infeksi dan asidosis. Kelainan utama ini meliputi perdarahan intrakranial, edema otak, peningkatan tekanan intrakranial dan kerusakan otak. Cedera kepala menyebabkan sebagian sel yang terkena benturan mati atau rusak irreversible, proses ini disebut proses primer dan sel otak disekelilingnya akan mengalami gangguan fungsional tetapi belum mati dan bila keadaan menguntungkan sel akan sembuh dalam beberapa menit, jam atau hari. Proses selanjutnya disebut proses patologi sekunder. Proses biokimiawi dan struktur massa yang rusak akan menyebabkan kerusakan seluler yang luas pada sel yang cedera maupun sel yang tidak cedera. Proses inflamasi terjadi segera setelah trauma yang ditandai dengan aktivasi substansi mediator yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah, penurunan aliran darah, dan permeabilitas kapiler yang meningkat. Hal ini menyebabkan akumulasi cairan (edema) dan leukosit pada daerah trauma. Sel terbanyak yang berperan dalam respon inflamasi adalah sel fagosit, terutama sel leukosit Polymorphonuclear (PMN), yang terakumulasi dalam 30 - 60 menit yang memfagosit jaringan mati. Bila



penyebab respon inflamasi berlangsung melebihi waktu ini, antara waktu 5-6 jam akan terjadi infiltrasi sel leukosit mononuklear, makrofag, dan limfosit. Makrofag ini membantu aktivitas sel PMN dalam proses fagositosis. Inflamasi, yang merupakan respon dasar terhadap trauma sangat berperan dalam terjadinya cedera sekunder. Pada tahap awal proses inflamasi, akan terjadi perlekatan netrofil pada endotelium dengan beberapa molekul perekat Intra Cellular Adhesion Molecules-1 (ICAM-1). Proses perlekatan ini mempunyai kecenderungan merusak/merugikan karena mengurangi aliran dalam mikrosirkulasi. Selain itu, neutrofil juga melepaskan senyawa toksik (radikal bebas), atau mediator lainnya (prostaglandin, leukotrin) di mana senyawa-senyawa ini akan memacu terjadinya cedera lebih lanjut. Makrofag juga mempunyai peranan penting sebagai sel radang predominan pada cedera otak. Sebaliknya faktor ekstrakranial (sistemik) yang dikenal dengan istilah nine deadly H’s adalah hipoksemia (hipoksia, anemia), hipotensi (hipovolemia, gangguan jantung, pneumotorak), hiperkapnia (depresi nafas), hipokapnea (hiperventilasi), hipertermi



(hipermetabolisme/respon



stres),



hiperglikemia,



hipoglikemia,



hiponatremia, hipoproteinemia,dan hemostasis (Cohadon, 1995). Beratnya cedera primer karena lokasinya memberi efek terhadap beratnya mekanisme cedera sekunder. 6. Manifestasi Klinis Adapun manifestasi klinis yang bisanya muncul pada pasien dengan cedera kepala seperti : a. Pasien mengalami penurunan kesadaran. b. Terdapat lesi ataupun jejas pada area kepala kingga daerah bahu keatas c. Terdapat mual dan muntah. d. Pasien mengeluh nyeri pada daerah kepala. e. Bila fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea). 7. Pemeriksaan Penunjang Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan cedera kepalah yaitu : a. Glasgow coma scale (GCS) Glasgow coma scale (GCS) diciptakan oleh Jennett dan Teasdale pada tahun 1974. Sejak itu GCS merupakan tolok ukur klinis yang digunakan untuk menilai beratnya



cedera pada cedera kepala. Glasgow Coma Scale seharusnya telah diperiksa pada penderita saat awal cedera terutama sebelum mendapat obat-obat paralitik dan sebelum intubasi; skor ini disebut skor awal GCS. Derajat kesadaran tampaknya mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kesempatan hidup dan penyembuhan. GCS juga merupakan faktor prediksi yang kuat dalam menentukan prognosis, suatu skor GCS yang rendah pada awal cedera berhubungan dengan prognosis yang buruk. b. Pencitraan Pada Cedera Kepala Cedera kepala mengacu cedera pada struktur intrakranial berikut trauma fisik pada kepala. Istilah Cedera kepala mengacu pada luka yang mencakup struktur baik intrakranial dan ekstrakranial, termasuk kulit kepala dan tengkorak. Kemajuan teknologi pencitraan medis telah mengakibatkan kemajuan beberapa modalitas pencitraan baru untuk evaluasi cedera kepala. Sementara kemajuan dalam pencitraan medis telah meningkatkan deteksi dini dan informasi prognostik yang berguna. Pemilihan diagnostik yang tepat di antara berbagai teknik pencitraan yang tersedia, diantaranya: 1) Konvensional radiografi (X-ray) Patah tulang tengkorak, bahkan tanpa gejala klinis, merupakan penanda risiko independent untuk lesi intrakranial. Namun, film tengkorak terutama digunakan untuk identifikasi patah tulang tengkorak dan tidak untuk evaluasi dari patologi intrakranial. Bahkan, radiografi konvensional adalah prediktor yang buruk patologi intrakranial dan tidak boleh dilakukan untuk mengevaluasi cedera kepala. Pada cedera kepala ringan, x-ray tengkorak jarang menunjukkan temuan yang signifikan, sedangkan pada cedera kepala berat tidak adanya kelainan pada x-ray tengkorak tidak menyingkirkan cedera intrakranial utama. X-ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada. Indikasi pemeriksaan x-ray pada cedera kepala, diantaranya:



a) Kehilangan kesadaran, amnesia b) Nyeri kepala menetap c) Tanda neurologis fokal d) Cedera SCALP e) Dugaan cedera penetrating f) Cairan serebrospinal dari darah ataupun telinga g) Deformitas tengkorak tampak atau teraba



2) Computed Tomography Scanner (CT Scan)



Pemeriksaan CT scan kepala masih merupakan gold standard bagi setiap pasien dengan cedera kepala, dan merupakan modalitas pilihan karena cepat, digunakan secara luas, dan akurat dalam mendeteksi patah tulang tengkorak dan lesi intrakranial. CT scan dapat memberikan gambaran cepat dan akurat lokasi perdarahan, efek penekanan, dan komplikasi yang mengancam serta apabila membutuhkan intervensi pembedahan segera. Berdasarkan gambaran CT scan kepala dapat diketahui adanya gambaran abnormal yang sering menyertai pasien cedera kepala. Jika tidak ada CT scan kepala pemeriksaan penunjang lainnya adalah X-0ray foto kepala untuk melihat adanya patah tulang tengkorak atau wajah. Indikasi pemeriksaan CT scan pada kasus trauma kepala adalah seperti berikut: a) Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan berat. b) Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak c) Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii d) Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran e) Sakit kepala yang hebat. f) Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan otak g) Mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral. Perdarahan subaraknoid terbukti sebanyak 98% yang mengalami trauma.



3) Magnetic Resonance Imaging (MRI) Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput pada pemeriksaan CT scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT scan awal normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat



menolong menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera kepala ringan. 8. Penata Laksanaan Medis a. Farmakologi Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder terhadap otak yang telah mengalami cedera. 1) Manitol Dosis 1 gram/kg BB bolus IV Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis. Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan memperberat hypovolemia. 2) Furosemid Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan meningkatkan diuresis.Dosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB IV. 3) Metilprednisolon Penderita trauma saraf spinal akut yang diterapi dengan metilprednisolon (bolus 30 mg/kg berat badan dilanjutkan dengan infus 5,4 mg/kg berat badan per jam selama 23 jam), akan menunjukkan perbaikan keadaan neurologis bila preparat itu diberikan dalam waktu paling lama 8 jam setelah kejadian (golden hour). 4) Nalokson Pemberian nalokson (bolus 5,4 mg/kg berat badan dilanjutkan dengan 4,0 mg/kg berat badan per jam selama 23 jam) tidak memberikan perbaikan keadaan neurologis pada penderita trauma saraf spinal akut. b. Non Farmaologi Terapi pembedahan pada trauma kapitis memerlukan beberapa pertimbangan dan berbeda pada setiap Kenis trauma kepala. Pada umumnya pembedahan untuk evakuasi hematoma perlu dipertimbangkan apabila ditemukan hematoma dengan volume melebihi 25 cm pada hasil CT-scan. meskipun demikian indikasi pembedahan pada cedera kepala tidak hanya berdasarkan hasil CT-scan saja tetapi juga adanya perburukan klinis dan lokasi lesi. Salah satu indikasi utama pembedahan pada hematoma intraserebral adalah untuk menurunkan tekanan intrakranial. Walaupun belum ada data perbandingan mortalitas antara pasien yang dioperasi dan tidak beberapa penelitian menunjukkan penurunan tekanan intrakranial yang signifikan pasca-operasi. Operasi pada 48 jam pertama juga menuntukkan perbedaan



hasil yang signifikan dibandingkan dengan operasi yang dilakukan lebih dari 48 jam setelah trauma. Hasil lebih buruk didapatkan 3,8 kali lebih banyak pada pasien yang hanya mendapatkan terapi obat-obatan dibandingkan dengan yang dioperasi (Atmadja, A. S, 2016). B. TIANJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian a. Identitas pasien Pada identitas yang perlu dikaji adalah nama, nomer rekam medis, jenis kelamin, pendidikan, status, agama, pekerjaan dan umur pasien b. Riwayat kesehatan Jika pasien dlam kondisi sadar dapat menanyakan langsung ataupun padaorang yang mengantarnya ke pelayanan kesehatan. 1) Riwayat kesehatan sekarang Tanyakan kapan cedera terjadi. Bagaimana mekanismenya. Apa penyebab nyeri/cedera. Darimana arah dan kekuatan pukulan? 2) Riwayat kesehatan dahulu Apakah klien pernah mengalami kecelakaan/cedera sebelumnya, atau kejang/ tidak. Apakah ada penyakti sistemik seperti DM, penyakit jantung dan pernapasan. Apakah klien dilahirkan secara forcep/ vakum. Apakah pernah mengalami gangguan sensorik atau gangguan neurologis sebelumnya. Jika pernah kecelakaan bagimana penyembuhannya. Bagaimana asupan nutrisi. c. Pemeriksaan fisik 1) Jalan napas dan pernapasan Kepatenan jalan napas, apakah ada sekret, hambatan jalan napas. Pola napas, frekuensi pernapasan, kedalaman pernapasan, irama pernapasan, tarikan dinding dada, penggunaan otot bantu pernapasan, pernapasan cuping hidung 2) Sirkulasi Frekuensi nadi, tekanan darah, adanya perdarahan, kapiler refill. 3) Disabiliti ingkat kesadaran, GCS, adanya nyeri. 4) Makanan dan cairan Mual, muntah, mengalami perubahan selera, gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagian).



5) Kenyamanan atau nyeri Wajah menyeringi, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih. 6) Konsep diri Pasien dengan cedera kepala seingkali merasa cemas dengan keadaannya. 7) Neurosensori Pemeriksaan reflesk yang dipengaruhi oleh 12 saraf kranii. 2. Diagnosa Keperawatan a. Nyeri akut beruhubungan dengan agen pencedera fisik. b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskular c. Pola napas tidakefektif berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran d. Gangguan presepsi sensori berhubungan dengan e. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral f. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional g. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi h. Resiko infeksi i. Resiko defisit nutrisi j. Resiko jatuh 3. Perencanaan a. Nyeri akut 1) Tujuan : intensitas nyeri berkurang 2) Rencara keperawatan: a)Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, karakteristik, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri. b)Monitor vital sign c)Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri. d)Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam memilih stategi meredakan nyeri. e)Kolaborasi dalam pemberian analgetik jika perlu b. Gangguan mobilitas fisik 1) Tujuan : mobilitas fisik meningkat. 2) Rencana keperawatan : a) Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi. b) Monitor kondisi umum saat ambulasi



c) Fasilitasi mobilisasi dengan alat bantu. d) Anjurkan untukmelakukan mobilisasi dini e) Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi. c. Pola napas tidakefektif 1) Tujuan : pola napas membaik 2) Rencana keperawatan : a) Monitor pola napas b) Monitor bunyi napas c) Monitor sputum d) Pertahankan kepatenan jalan napas e) Berikan oksigen bila perlu d. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral 1) Tujuan : perfusi serebral meningkat 2) Rencana keperawatan : a) Identifikasi peingkatan TIK b) Monitor tanda dan gejala peningkatan TIK c) Monitor status pernapasan d) Meminimalkan stimulus dengan menyadakan lingkunan yang tenang e) Pertahankan suhu tubuh dalam batas normal f) Hinjadi terjadinya kejang g) Kolaborasi pemberian diuretik jika perlu. e. Ansietas 1) Tujuan : tingkat ansietas menurun 2) Rencana keperawatan : a) Monitor tanda-tanda ansietas b) Jelaskan prosedur, termasuk sesasi yang mungkin dialami c) Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan d) Ciptakan suasana terapeutik e) Informasikan secara faktual mengenai diagnosis, pengobatan,dan prognosis. f) Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jikaperlu. f. Defisit pengetahuan 1) Tujuan : tingkat pengetahuan meningkat 2) Renmeningana keperawatan : a) Idntifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi



b) Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan c) Jelaskan dan ajarkan cara merawat luka secara mandiri. d) Ajarkan perilaku hidup sehat dan bersih g. Resiko infeksi 1) Tujuan : tingkat infeksi menurun 2) Rencana keperawatan: a) Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik b) Jelaskan tanda dan gejala infeksi c) Ajarkan mencuci tangan dengan teknik yang benar d) Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau lokasi luka. h. Resiko defisit nutrisi 1) Tujuan : 2) Rencana Keperawatan : a) Identifikasi status nutrisi b) Monitor berat badan c) Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan, jika perlu d) Kolanorasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrien yang diperlukan jika perlu i. Resiko jatuh 1) Tujuan : tingkat rsiko jatuh menurun 2) Rencana Keperawatan : a) Identifikasi kebutuhan keselamatan b) Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bahaya dan resiko. c) Gunakan perangangkat pelindung d) Ciptakan konsisi lingkungn yang aman dan nyaman 4. Implementasi Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan yang dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan. Persiapan proses implementasi akan memastikan asuhan keperawatan yang efisien, aman, dan efektif. 5. Evaluasi Evaluasi merupakan suatu proses kontinu yang terjadi saat perawat melakukan kontak dengan klien, evaluasi menyediakan nilai informasi mengenai pengaruh intervensi yang telah direncanakan dan merupakan perbandingan dari hasil yang diamati dengan kriteria hasil yang telah dibuat pada tahap perencanaan.



C. WOC WOC CEDERA KEPALA Cedera Skunder



Trauama Kepala



Ekstra Krannal / Kulit Kepala



Cedera Primer



Intra Kranial / jaringan Otak



Tulang Kranial



terdapat lesi atau luka terbuka



Post Op



Intra Op



pasien merasa khawatir dengan akibat dari kndisi yang dihadapi



prosedur anastesi



terdapat luka post op



Penekanan pada susuanan saraf pusat



pasien tampak Gelisah pasien tampak tegang pasien tampak pucat



trauma jaringan



kurang terpapar informasi dalam merawat luka oprasi



luka tampak lembab penekanan pusat pernapasan



penekanan pada siestem kardiovaskuler



kerja organ pernapasan menurun



kardio utput menurun



espansi Paru menurun



suplai darah berkurang



ketidak adekuatan suplai O2



aliran darah ke otak berkurang



penggunaan otot bantu napas



RESIKO KETIDAKEFEKTIFAN PERSUSI JARINGAN SEREBRAL



ANSIETAS



pola napas abnormal



infasi bakteri RESIKO INFEKSI



menunjukkan perilaku tidak sesuai menanyakan masalah yang sedang dihadapi DEFISIT PENGETAHUAN



POLA NAPAS TIDAK EFEKTIF



Blood



Brain



bowel



robeknya arteri meningen



penumpukan darah di otak



peningkatan TIK dan Penurunan kesadaran



gangguan safar motorik



hematoma epidural



penurunan kesadaran sensori



penurunan nafsu makan



penurunan kesadaran



mual, muntah



gangguan keseimbangan



perubahan sirkulasi cairan serebrospinal



PK : PENINGKATAN TIK



penurunan kemampuan mengenali stimulus kesalahan interpretasi GANGGUAN PRESEPSI SENSORI



Bone



penurunan intake makanan dan cairan RESIKO JATUH RESIKO DEFISIT NUTRISI



gangguan koordinasi gerak ekstremitas penurunan kekuatan otot rentang gerak ROM menurun



GANGGUAN MOBILITAS FISIK



fraktur tulang tengkorak



terputusnya kontinuitas tulang mengaktivasi reseptor nyeri merangsang talamus dan korteks serebri muncul sensai nyeri pasien meringis



NYERI AKUT



pasien mengeluh nyeri



DAFTAR PUSTAKA Atmadja, A. S. (2016). Indikasi Pembedahan pada Trauma Kapitis. Cermin Dunia Kedokteran, 43(1), 29-33.



Nasution, S. H. (2014). Mild Head Injury. Jurnal Medula, 2(04), 89-96. PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan indonesia. (Dewan Pengurus Pusat PPNI, Ed.) (1st ed.). Jakarta. PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. (Dewan Pengurus Pusat PPNI, Ed.) (1st ed.). Jakarta: EGC. PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia(1st ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI. Pratama, S. A. (2020). Gambaran gejala klinis dan hasil pemeriksaan ct scan kepala pada pasien cedera kepala dengan gcs 13-15 di ruang rawat inap penyakit saraf bougenvil rsud dr. H. Abdul moeloek provinsi lampung. Jurnal Ilmu Kedokteran dan Kesehatan, 7(2). Ramadiputra, G., Ismiarto, Y. D., & Herman, H. (2019). Survey penyebab kematian berdasarkan prosedur advance trauma life support (atls) pada pasien multiple trauma di instalasi gawat darurat (igd) bedah rumah sakit hasan sadikin bandung periode januari–juli 2014. Syifa'MEDIKA: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 9(1), 10-15.