LP Nyeri [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN KEBUTUHAN RASA NYAMAN (NYERI) Disusun untuk memenuhi tugas Stase Keperawatan Dasar Profesi Ners Dosen Pembimbing : Ns. Dian Nur Wulaningrum, M.Kep.



Disusun Oleh : Risha Damayanti SN211120



PROGRAM STUDI PROFESI NERS PROGRAM PROFESI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2021/2022



LAPORAN PENDAHULUAN



A. Konsep Gangguan Kebutuhan Dasar 1. Pengertian Rasa Nyaman (Nyeri) Gangguan rasa nyaman adalah perasaan seseorang merasa kurang nyaman dan sempurna dalam kondisi fisik, psikospiritual, lingkungan, budaya dan sosialnya (Keliat dkk., 2015). Gangguan rasa nyaman adalah perasaan kurang senang, lega dan sempurna dalam dimensi fisik, psikospiritual, lingkungan dan emosional (SDKI PPNI, 2016) Nyeri adalah pengalaman sensori dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual atau potensial yang dirasakan dalam kejadian dimana terjadi kerusakan jaringan tubuh (Wahyudi & Abd.Wahid, 2016). Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa nyeri merupakan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan, presepsi nyeri seseorang sangat ditentukan oleh pengalaman dan status emosionalnya. Presepsi nyeri bersifat sangat pribadi dan subjektif. Oleh karena itu, suatu rangsang yang sama dapat dirasakan berbeda oleh dua orang yang berbeda bahkan suatu rangsang yang sama dapat dirasakan berbeda oleh satu orang karena keadaan emosionalnya yang berbeda. 2. Jenis Gangguan Rasa Nyaman Menurut (Mardella, Ester, Riskiyah, & Mulyaningrum, 2013) Gangguan rasa nyaman dapat dibagi menjadi 3 yaitu: a. Nyeri Akut



Nyeri akut merupakan pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan (SDKI PPNI, 2016).



b. Nyeri Kronis



Nyeri kronis merupakan pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat dan konstan yang berlangsung lebih dari 3 bulan (SDKI PPNI, 2016). c. Mual



Mual atau nausea merupakan perasaan tidak nyaman pada bagian belakang tenggorok atau lambung yang dapat mengakibatkan muntah (SDKI PPNI, 2016). 3. Fisiologi Nyeri Bagaimana nyeri merambat dan di persepsikan oleh individu masih belum sepenuhnya dimengerti. Akan tetapi, bisa tidaknya nyeri di rasakan dan hingga dearajat mana nyeri tersebut mengganggu di pengaruhi oleh interaksi antara sistem algesia tubuh dan transmisi sistem saraf serta interpretasi stimulus. Sistem saraf perifer terdiri atas saraf sensorik primer yang khusus bertugas mendeteksi kerusakan jaringan yang membangkitkan sensasi sentuhan, panas, dingin, nyeri dan tekanan. Reseptor yang bertugas merambatkan sensasi nyeri disebut nosiseptor. Nosiseptor merupakan ujung-ujung saraf perifer yang bebas dan tidak bermielin atau sedikit bermielin. Reseptor nyeri tersebut dapat di rangsang oleh stimulus mekanis, suhu dan kimiawi. Sedangkan proses fisiologis terkait nyeri disebut nosisepsi. Menurut Mubarak & Chayatin (2012) proses ini terdiri dari empat fase, yakni : a. Transduksi Pada fase ini, stimulus atau rangsangan yang membahayakan (misalnya bahan kimia, suhu, listrik atau mekanis) memicu pelepasan mediator biokimia yang mensensitisasi nosiseptor.



b. Transmisi Fase transmisi nyeri terdiri atas tiga bagian. Pada bagian pertama, nyeri merambat dari serabut saraf perifer ke medulla spinalis dua jenis serabut nosiseptor yang terlibat dalam proses tersebut adalah serabut C yang mentransmisikan nyeri tumpul dan menyakitkan, serta serabut A- 9 Delta yang mentransmisikan nyeri yang tajam dan terlokalisasi. Bagian kedua adalah transmisi nyeri dari medulla spinalis menuju batang otak dan thalamus melalui jaras spinotalamikus (spinothalamic tract (STT)). STT merupakan sistem diskriminatif yang membawa informasi mengenai sifat dan lokasi stimulus ke thalamus. Selanjutnya pada bagian ketiga, sinyal tersebut di teruskan ke korteks sensorik somatic tempat nyeri di persepsikan. Impuls yang di transmisikan melalui STT mengaktifkan respon otonomi dan limbik. c. Persepsi Pada fase ini individu mulai menyadari adanya nyeri. Tampaknya persepsi nyeri tersebut terjadi di struktur korteks sehingga memungkinkan munculnya berbagai strategi perilakukognitif untuk mengurangi komponen sensorik dan afektif nyeri. d. Modulasi Fase ini di sebut juga “sistem desenden”. Pada fase ini, neuron di batang otak mengirimkan sinyal-sinyal kembali ke medulla spinalis. Serabut desenden tersebut melepaskan substansi seperti opioid, serotonin, dan norepinefrin yang akan menghambat impuls asenden yang membahayakan dibagian dorsal medulla spinalis 4. Etiologi Dalam buku Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (PPNI, 2016) penyebab Gangguan Rasa Nyaman (nyeri akut) adalah : a. Agen pencedera fisiologis (misalnya inflamasi, iskemia, neoplasma) b. Agen pencedera kimiawi (misalnya terbakar, bahan kimia iritan)



c. Agen pencedera fisik (misalnya abses, amputasi, terbakar, terpotong, menganggkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan) 5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri a. Usia



Usia merupakan faktor penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada anak-anak dan lansia. Perkembangan yang ditemukan diantara



kelompok



usia



merupakan



faktor



penting



yang



mempengaruhi bagaimana anak-anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri. Anak yang masih kecil (bayi) mempunyai kesulitan mengungkapkan dan mengekspresikan nyeri. Para lansia menganggap nyeri sebagai komponen alamiah dari proses penuaan dan dapat diabaikan atau tidak ditangani oleh petugas kesehatan (Haswita & Sulistyowati, 2017). b. Jenis Kelamin



Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam



berespons



terhadap



nyeri.



Meskipun



penelitian



tidak



menemukan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam mengekspresikan nyerinya. Pengobatan ditemukan lebih sedikit pada perempuan. Perempuan lebih suka mengkominikasikan rasa sakitnya, sedangkan laki-laki menerima analgesik oploid lebih sering sebagai pengobatan untuk nyeri (Haswita & Sulistyowati, 2017). c. Kebudayaan



Kebudayaan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri. Ada perbedaan makna dan sikap dikaitkan dengan nyeri diberbagai kelompok budaya (Haswita & Sulistyowati, 2017). Latar belakang etnik dan buadaya merupakan faktor yang memengaruhi reaksi terhadap nyeri dan ekspresi nyeri. Sebagai



contoh, individu dari budaya tertentu cenderung ekspresif dalam mengungkapkan nyeri, sedangkan individu dari budaya lain justru lebih memilih menahan perasaan mereka dan tidak ingin merepotkan orang lain (Mubarak & Chayatin, 2012). d. Makna nyeri



Individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara yang berbedabeda. Arti nyeri bagi seseorang memengaruhi respons mereka terhadap nyeri. Jika penyebab nyeri diketahui, individu mungkin dapat mengintepretasikan arti nyeri dan bereaksi lebih baik terkait dengan pengalaman tersebut. Jika penyebabnya tidak diketahui, maka banyak faktor psikologis negatif (seperti ketakutan dan kecemasan) berperan dan meningkatkan derajat nyeri yang dirasakan. Jika pengalaman tersebut diartikan negatif, maka nyeri yang dirasakan akan terasa lebih intens dibandingkan nyeri yang dirasakan di situasi dengan hal yang positif. (M. Black & Hokanson Hawks, 2014). e. Perhatian



Tingkat seorang pasien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya mengalihkan dihubungkan dengan respons nyeri yang menurun (Haswita & Sulistyawati, 2017). f.



Ansietas Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas sering sekali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan



suatu



perasaan



ansietas.



Ansietas



yang



tidak



berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksi pasien dan secara aktual dapat menurunkan persepsi nyeri. Secara umum, cara yang efektif untuk menghilangkan nyeri adalah dengan mengarahkan pengobatan nyeri ketimbang ansietas (Haswita & Sulistyawati, 2017).



g. Keletihan



Keletihan



meningkatkan



persepsi



nyeri.



Rasa



kelelahan



menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping (Haswita & Sulistyawati, 2017). h. Pengalaman Terdahulu



Individu yang mempunyai pengalaman yang multiple dan berkepanjangan dengan nyeri akan lebih sedikit gelisah dan lebih toleran terhadap nyeri dibandingkan dengan orang yang hanya mengalami sedikit nyeri. Bagi kebanyakan orang, bagaimanapun, hal ini tidak selalu benar. Sering kali, lebih berpengalaman individu dengan nyeri yang dialami, makin takut individu tersebut terhadap peristiwa yang menyakitkan yang akan diakibatkan (Haswita & Sulistyawati, 2017). i.



Mekanisme Koping Mekanisme koping individu sangat mempengaruhi cara setiap orang dalam mengatasi nyeri. Ketika seseorang mengalami nyeri dan menjalankan perawatan di rumah sakit adalah hal yang sangat tak tertahankan. Secara terus-menerus klien kehilangan kontrol dan tidak mampu untuk mengontrol lingkungan termasuk nyeri. Klien sering menemukan jalan untuk mengatasi efek nyeri baik fisik maupun psikologis. Penting untuk mengerti sumber koping individu selama nyeri (Haswita & Sulistyawati, 2017).



j.



Dukungan Keluarga dan Sosial Faktor lain juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah kehadiran dari orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan nyeri sering bergantung pada keluarga untuk mensupport, mambantu atau melindungi. Ketidakhadiran keluarga atau teman terdekat



mungkin



akan



membuat



nyeri



semakin



bertambah.



Lingkungan yang asing, tingkat kebisingan yang tinggi, pencahayaan, dan aktivitas yang tinggi di lingkuan tersebut dapat memperberat nyeri. Selain itu, dukungan dari keluarga dan orang terdekat menjadi



salah satu faktor penting yang memengaruhi persepsi nyeri individu (Mubarak & Chayatin, 2014). 6. Batasan Karakteristik Gejala dan tanda gangguan rasa nyaman (nyeri kronis) dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu sebagai berikut (PPNI, 2016) : a. Gejala dan tanda mayor : Data subjektif : 1) Mengeluh nyeri 2) Merasa depresi (tertekan) Data Objektif : 1) Tampak meringis 2) Gelisah 3) Tidak mampu menuntaskan aktivitas b. Gejala dan tanda minor Data subjektif : 1) Merasa takut mengalami cedera berulang Data objektif : 1) Bersikap protektif (misalnya posisi menghindari nyeri) 2) Waspada 3) Pola tidur berubah 4) Anoreksia 5) Fokus menyempit 6) Berfokus pada diri sendiri 7. Diagnosa Keperawatan 1. Nyeri kronis b.d. kondisi pasca trauma (D.0078) 2. Gangguan mobilitas fisik b.d. gangguan muskuloskeletal (D.0054) 3. Resiko infeksi d.d. efek prosedur invasif (D.0142)



8. Intervensi Keperawatan Tujuan dan kriteria hasil menurut SLKI (2018) dan intervensi menurut SIKI (2018) : a. Nyeri Kronis (D.0078) 1) Tujuan dan Kriteria Hasil : Tingkat Nyeri (L.08066) Setelah dilakukan intervensi selama 3x24 jam, maka tingkat nyeri menurun, dengan kriteria hasil : a) Keluhan nyeri menurun b) Meringis menurun c) Sikap protektif menurun d) Gelisah menurun e) Frekuensi nadi meningkat 2) Intervensi : Manajemen nyeri (I.08238) Observasi a) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri. b) Identifikasi skala nyeri. c) Identifikasi respon nyeri non verbal d) Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri e) Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri f) Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri g) Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup h) Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan i) Monitor efek samping penggunaan analgetik Terapeutik a) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri b) Kontrol lingkungan yang memperberatrasa nyeri c) Fasilitasi istirahat dan tidur d) Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri



Edukasi a) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri b) Jelaskan strategi meredakan nyeri c) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri d) Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat e) Ajarkan teknik



nonfarmakologis untuk mengurangi rasa



nyeri Kolaborasi a) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu b. Gangguan mobilitas fisik (D.0054) 1) Tujuan dan Kriteria Hasil : Mobilitas Fisik (L.05042) Setelah dilakukan intervensi selama 3x24 jam, maka mobilitas fisik meningkat, dengan kriteria hasil : a) Pergerakan ekstremitas meningkat b) Kekuatan otot meningkat c) Rentang gerak (ROM) meningkat 2) Intervensi : Dukungan Mobilisasi (I.05173) Observasi a) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya b) Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan c) Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai mobilisasi d) Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi Terapeutik a) Failitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu b) Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, jika perlu c) Libatkan



keluarga



untuk



membantu



meningkatkan pergerakan Edukasi a) Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi b) Anjurkan melakukan mobilitas dini



pasien



dalam



c) Ajarkan ambulasi seederhana yang harus dilakukan c. Resiko infeksi (D.0142) 1) Tujuan dan Kriteria Hasil : Tingkat Infeksi (L.05042) Setelah dilakukan intervensi selama 3x24 jam, maka tingkat infeksi menurun, dengan kriteria hasil : a) Demam menurun b) Kemerahan menurun c) Nyeri menurun d) Bengkak menurun e) Kadar sel darah merah membaik f) Kadar sel darah putih membaik 2) Intervensi : Pencegahan Infeksi (I.14539) Observasi a) Monitor tanda dan gejala infeksi Terapeutik a) Batasi jumlah pengunjung b) Berikan perawatan kulit pada area edema c) Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien d) Pertahankan teknik aseptik pada pasien beresiko tinggi Edukasi a) Jelaskan tanda dan gejala infeksi b) Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar c) Ajarkan etika batuk d) Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi e) Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi f) Anjurkan meningkatkan asupan cairan Kolaborasi a) Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu



9. Daftar Pustaka Keliat, B.A., Akemat, Novy H., Heni N. (2015). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : CMHN (Basic Course). Jakarta: EGC Wahyudi, Andri Setiya dan Abd. Wahid. (2016). Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar. Jakarta: Mitra Wacana Media Mardella, E. A., Ester, M., Riskiyah, S. Y., & Mulyaningrum, M. (2013). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI Mubarak, W, I & Chayatin, N (2012). Ilmu Keperawatan Komunitas Pengantar dan Teori. Jakarta : Salemba Medika. Haswita, dan Reni Sulistyowati. (2017) Kebutuhan Dasar Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan dan Kebidanan. Jakarta: CV. Trans Media