Makalah Bantuan Hukum Dan Advokasi Kelompok 3 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH Penyitaan Dalam Perkara Perdata Dan Pidana (Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Bantuan Hukum dan Advokasi)



Dosen Pengampu: Ahmad Burhanuddin,S.H.I.,M.H.I Disusun oleh : 1. INGGIT NOVIYANTI



(1921020556)



2. JIHAN



(1921020575)



3. NADIAH PUTRI SILVIA



(1921020566)



4. NOVA DAMAI YANTI



(1921020548)



5. RISA NATASARI



(1921020571)



6. VIKO SIGIT KURNIA



(1921020556)



PROGRAM STUDI HUKUM TATANEGARA FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG 1442 H / 2021 M



i



KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Penyitaan Dalam Perkara Perdata dan Pidana”. Kami berterima kasih kepada Bapak Ahmad Burhanuddin,S.H.I.,M.H.I selaku dosen pengampu mata kuliah Bantuan Hukum dan Advokasi yang telah memberikan tugas ini kepada kami.        Kami berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Penyitaan Dalam Perkara Perdata dan Pidana. Kami berharap pula makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.



Bandar Lampung, 01 Desember 2021



Penulis



ii



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.........................................................................................................ii DAFTAR ISI......................................................................................................................iii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ........................................................................................................1 B. Rumusan Masalah....................................................................................................1 C. Tujuan......................................................................................................................2



BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Penyitaan ...............................................................................................3 B. Macam-macam Sita.................................................................................................6 C. Hakikat Sita ......................................................................................................................7



D. Tata Cara Penyitaan...............................................................................................11 E. Tugas Juru Sita Di Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah...............................12 F. Peranan Juru Sita Dalam Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah.....................12 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan............................................................................................................14 B. Saran......................................................................................................................14



DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................15



iii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam sebuah lingkup peradilan, terdapat berbagai macam hal yang harus dilakukan dan pasti akan terjadi. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Mulai dari mengajukan sebuah gugatan, pemeriksaan suatu perkara, penyitaan, pembuktian, pemberian suatu putusan sampai upaya banding untuk memertahankan suatu hak atas kebenaran yang diharapkan. Di dalam pembahasan kali ini akan memberikan penjelasan yang berkaitan dengan sita. Sita merupakan suatu tindakan dimana menempatkan harta kekayaan dari tergugat berada dalam pengawasan agar tidak terjadi pemindah tanganan kepada pihak ketiga guna memerlancar proses pemeriksaan suatu perkara. Sebagai pihak yang berada dalam lingkup persengketaan, seorang penggugat memiliki suatu hak untuk mengajukan sebuah permohonan untuk diadakan sita terhadap harta kekayaan dari tergugat. Hal tersebut dapat diajukan kepada hakim walaupun suatu perkara belum diperiksa dan diadili oleh pihak pengadilan. Dan sita pun dapat dilakukan sebelum adanya putusan dari hakim yang berkekuatan hukum tetap. Lantas pastinya akan muncul berbagai permasalahan atas sita yang dilakukan sebelum terjadinya putusan dari hakim yang berkekuatan hukum tetap tersebut. Hal tersebut selanjutnya akan dijelaskan dalam pembahasan kali ini.



B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan penyitaan? 2. Apa saja macam-macam sita? 3. Bagaimana Hakikat dari penyitaan? 4. Bagaimana proses terjadi penyitaan? 5. Bagaimana tugas juru sita dalam Peradilan Agama? 6. Bagaimana peran juru sita dalam Peradilan Agama



1



C. Tujuan 1. Untuk mengetahui Pengertian Penyitaan 2. Untuk mengetahui Macam-macam Penyitaan 3. Untuk mengetahui Hakikat dari Penyitaan 4. Untuk mengetahui proses terjadi Penyitaan 5. Untuk mengetahui tugas juru sita dalam Peradilan Agama 6. Untuk mengetahui peran juru sita dalam Peradilan Agama



2



BAB II PEMBAHASAN



A. Pengertian Penyitaan Sita adalah saat tindakan hukum oleh hakim yang bersifat eksepsional atas permohonan satu pihak yang berperkara, untuk mengamankan objek sengketa atau menjadi jaminan dari kemungkinan dipindahtangankan dibebani sesuai sebagai jaminan, dirusak atau dimusnahkan oleh pemegang atau pihak yang menguasai barang tersebut, untuk menjamin suatu putusan perdata dapaat dilaksanakan.1 Penyitaan berasal dari terminologi beslag (Belanda), dan istilah Indonesianya beslah tetapi istilah bakunya ialah sita atau penyitaan. Pengertian yang terkandung di dalamnya, antara lain: a.       Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada dalam keadaan penjagaan (to take costody the property of a defendant). b.      Tindakan paksa penjagaan (custody) itu dilakukan secara resmi (official) berdasarkan perintah pengadilan atau hakim. c.       Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang disengketakan, tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat pembayaran atas pelunasan utang debitur atau tergugat, dengan jalan menjual lelang (ezecutorial verkoop) barang yang disita tersebut, d.      Penetapan dan penjagaan barang yang disita, berlangsung selama proses pemeriksaan, sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan sah atau tidak tindakan penyitaan tersebut.2 Penyitaan adalah salah satu upaya paksa (dwang middelen) yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), yaitu dalam Pasal 1 angka 16 KUHAP, Pasal 38 s/d 46 KUHAP, Pasal 82 ayat (1) dan ayat (3) KUHAP dalam konteks Praperadilan, Pasal 128 s/d 130 KUHAP, Pasal 194 KUHAP, dan Pasal 215 KUHAP. Definisi dari Penyitaan telah dirumuskan dalam Pasal 1 angka 16 KUHAP, yaitu:



1



Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syari’ah (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 124. 2



M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), 282.



3



“Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.” Oleh karena Penyitaan termasuk dalam salah satu upaya paksa (dwang middelen) yang dapat melanggar Hak Asasi Manusia, maka sesuai ketentuan Pasal 38 KUHAP, Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, namun dalam keadaan mendesak, Penyitaan tersebut dapat dilakukan penyidik lebih dahulu dan kemudian setelah itu wajib segera dilaporkan ke Ketua Pengadilan Negeri, untuk memperoleh persetujuan. Menurut Pasal 39 KUHAP, benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah: a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagai diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagian hasil dari tindak pidana; b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana; d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Contoh yang sederhana dan sering terjadi di sekitar kita. Misalnya perkara pencurian sepeda motor milik seseorang, yang pelaku pencuriannya tersebut sudah tertangkap oleh pihak kepolisian. Dalam perkara pencurian tersebut, sepeda motor yang merupakan milik yang sah dari orang tersebut tentunya akan disita sebagai barang bukti oleh penyidik, dengan tujuan untuk kepentingan pembuktian dalam perkara tersebut. Dalam perkara tersebut, pemilik yang sah dari sepeda motor tersebut (yang dapat dibuktikan dengan Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor/BPKB dan Surat Tanda Nomor Kendaraan/STNK), akan berkapasitas sebagai saksi korban/saksi pelapor, yang akan memberikan keterangan kepada penyidik bahwa benar sepeda motor tersebut adalah miliknya. Keterangan pemilik sepeda motor tersebut akan dimuat dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), yang menjadi acuan dibuatnya surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum, sebagai dasar bagi hakim dalam menjatuhkan putusan.



4



Untuk melindungi kepentingan publik, dalam hal ini adalah pemilik yang sah dari benda yang disita oleh Penyidik tersebut, maka Pasal 46 KUHAP juga telah mengatur tentang mekanisme pengembalian benda sitaan, yaitu: (1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak, apabila: a. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi; b. Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata



tidak



merupakan tindak pidana; c. Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana. (2)



Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.  



Berdasarkan ketentuan diatas, dapat disimpulkan bahwa secara hukum, sepeda motor



yang menjadi barang bukti dalam perkara pencurian tersebut akan dikembalikan kepada orang yang paling berhak (pemiliknya)/kepada mereka yang namanya disebut dalam Putusan Pengadilan tersebut.3 Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat. Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan diatas, penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya (pasal 38). Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan diatas dalam pasal 39. Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti dalam pasal 40. 3



http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5190a6861fe04/masalah-penyitaan-dan-benda-sitaan , diakses pada hari Rabu, 30 November 2021, jam 09:00



5



Dalam hal tertangkap tangan penyidik berwenang menyita paket atau surat benda yang penyangkutannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, perusahaan, pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka yang berasal daripadanya dan untuk itu kepada tersangka kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, pengangkutan yang bersangkutan, harus diberikan surat tanda penerimaan. Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan. Surat atau tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk diserahkan kepada penyidik jika surat atau tulisan itu berasal dari tersangka atau ditujukan kepadanya jikalau benda tersebut merupakan alat untuk melakukan tindak pidana dalam pasal 42.4



B. Macam-macam Sita 1. Sita Jaminan (Consevatior Beslaag) Sita ini dilakukan untuk menjamin hak-hak pihak yang dimenangkan dalam suatu perkara sehingga gugatannya tidak sia-sia (Illusior). Dasar hukumnya Pasal 227 HIR/ 261 RBg. Tujuannya untuk menjamin terlaksananya putusan pengadilan. Sita ini dapat dilakukan jika ada permintaan dari penggugat dengan mengemukakan alasan ada dugaan atau



sangkaan



bahwa



tergugat



akan



berusaha



menghilangkan,



merusak,



memindahtangankan benda-benda harta kekayaan miliknya. Benda-benda yang menjadi objek sita ini adalah benda bergerak dan benda tidak bergerak milik tergugat. 2. Sita Revindiksi (Revindicatior Beslaag) Adapun yang dimaksud dengan sita revindiksi, yaitu penyitaan terhadap barang milik penggugat yang berada ditangan tergugat. Dasar hukumnya Pasal 226 HIR / 260 RBg. Tujuannya untuk menjamin suatu hak kebendaan dari pemohon dan berakhir dengan penyerahan barang yang disita. Objeknya hanya terdapat pada benda yang bergerak dan sita ini hanya terbatas atas sengketa hak milik.5 3. Sita Harta Bersama (Maritale Beslaag)



C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,  (Jakarta: Balai Pustaka), 1989, 366-369. 5 Martha Eri Safira, Hukum Acara Perdata (Ponorogo: Senyum Indonesia, Tt), 1-2. 4



6



Adapun yang dimaksud dengan sita harta bersama, yaitu sita yang diletakkan atas harta gono gini yang berada pada suami ataupun istri dalam perkara permohonan cerai, gugat cerai, atau gugatan harta bersama. 4. Sita Eksekusi (Executorial Beslaag) Adapun yang dimaksud dengan sita eksekusi, yaitu sita yang dilakukan sebagai bagian dari pelaksanaan putusan, yakni sita yang dilakukan setelah ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.6 C. Hakikat Sita Dari pengertian tersebut, dapat dikemukakan beberapa esensi fundamental sebagai landasan penerapan penyitaan yang perlu diperhatikan, yakni: 1. Sita merupakan tindakan eksepsional



Hukum acara membolehkan dilakukan tindakan penyitaan terhadap harta kekayaan debitur atau tergugat tetapi perlu diingat, bahwa penyitaan merupakan tindakan hukum yang bersifat eksepsional. Hal ini disebabkan: a. Penyitaan memaksakan kebenaran gugatan Sesuai dengan pasal 227 HIR maupun pasal 720 Rv, penggugat dapat meminta agar dilakukan proses penyitaan terhadap harta kekayaan tergugat. Atas permintaan tersebut, hakim diberi wewenang untuk mengabulkan pada tahap awal sebelum dimulainya proses pemeriksaan perkara. Dalam hal yang demikian, sebelum pengadilan mengetahui secara jelas dan konkret dasardasar alasan gugatan, pengadilan telah bertindak menempatkan harta kekayaan tergugat dalam penjagaan seolah-olah harta itu diasingkan dari penguasaan tergugat sebagai pemilik. Dengan demikian, tanpa memedulikan kebenaran dalil gugatan yang diajukan kepada tergugat, hakim atau pengadilan bertindak memaksakan kepada tergugat akan kebenaran dalil penggugat, sebelum kebenaran tersebut diuji dan dinilai berdasarkan fakta-fakta melalui proses pemeriksaan. Inilah salah satu sifat eksepsional dari tindakan penyitaan. Pada dasarnya, tindakan ini merupakan tindakan yang kurang layak (unfair), oleh karena itu, walaupun tindakan penyitaan ini diperbolehkan oleh undang-undang tetapi sedapat mungkin tindakan ini dihindari, kecuali 6



Mardani, Hukum Acara Perdata...., 124.



7



sedemikian nyatanya kebenaran dalil gugatan karena didukung oleh faktafakta yang bersifat objektif sehingga tindakan penyitaan dapat ditolerir.7 b.



  



Penyitaan membenarkan putusan yang belum dijatuhkan. Sekiranya tindakan penyitaan dilakukan oleh hakim sesudah proses



pemeriksaan pokok perkara berlangsung, hal itu tetap diambil mendahului putusan, seolah-olah kepada tergugat dipaksakan kebenaran putusan yang menyatakan dirinya wanprestasi sebelum putusan yang bersangkutan diambil dan dijatuhkan. Meskipun dengan demikian, oleh karena undang-undang memberi wewenang kepada hakim meletakkan sita sebagai tindakan eksepsional. a) Hakim



dapat



menempatkan



menghukum harta



tergugat



kekayaannya



di



berupa bawah



tindakan penjagaan,



meskipun putusan tentang kesalahannya belum dijatuhkan b)



Dengan demikian, sebelum putusan diambil dan dijatuhkan, tergugat telah dijatuhi hukuman berupa penyitaan harta kekayaan tergugat.



Tindakan eksepsional penyitaan pada tahap proses ini, jauh lebih layak dibanding dengan yang diletakkan pada tahap awal proses pemeriksaan. Penyitaan yang diambil sesudah proses pemeriksaan pokok perkara berjalan, dianggap lebih objektif dan rasional, karena pengabulan sita yang diberikan telah memiliki landasan pertimbangan yang lebih memadai. Oleh karena itu, sistem ini yang tepat direkomendasikan untuk mengabulkan permohonan sita.8 2. Sita merupakan tindakan perampasan Seperti yang telah dijelaskan, bahwa penyitaan berarti menempatkan harta kekayaan tersita di bawah penjagaan pengadilan untuk memenuhi kepentingan pemohon, dalam hal ini penggugat atau kreditor. Ditinjau dari segi nilai HAM, penyitaan tidak berbeda dengan perampasan harta kekayaan tergugat. Padahal, salah satu hak asasi yang paling dasar adalah hak mempunyai milik, dan Pasal 36 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 menegaskan bahwa pada prinsipnya seseorang tidak boleh dirampas hak miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum.



7 8



M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata..., 283. Ibid.,283-284.



8



Akan tetapi, meskipun hak itu bersifat universal namun berdasarkan landasan eksepsional yang diberikan kepada hakim oleh undang-undang, tindakan perampasan itu dijustifikasi hukum acara, sehingga tindakan itu sah menurut hukum, walaupun tergugat sebagai pemilik belum dinyatakan salah dan bertanggungjawab atas perkara yang disengketakan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sehubungan dengan hal itu, tanpa mengurangi kebolehan meletakkan sita pada harta kekayaan tergugat sebelum putusan pengadilan dijatuhkan dan berkekuatan hukum tetap, pengabulan permintaan sita harus benar-benar dinilai dan dipertimbangkan dengan seksama dan objektif.9 3. Penyitaan berdampak psikologis Salah satu hal yang perlu mendapat perhatian ialah dampak psikologis yang timbul dari penyitaan. Dari segi pelaksanaan, penyitaan sifatnya terbuka untuk umum: a) Pelaksanaannya secara fisik dilakukan ditengah-tengah kehidupan masyarakat sekitarnya. b) Secara resmi disaksikan oleh dua orang saksi maupun oleh kepala desa, namun dapat dan boleh pula disaksikan oleh anggota masyarakat luas. c) Secara administratif yustisial, penyitaan barang tertentu harus diumumkan dengan jalan mendaftarkan dalam buku register kantor yang bersangkutan, agar diketahui umum sesuai dengan asas publisitas. Berdasarkan hal tersebut, penyitaan berdampak psikologis yang sangat merugikan nama baik atau kredibilitas seseorang baik sebagai pribadi, apalagi sebagai pelaku bisnis. Tindakan penyitaan meruntuhkan kepercayaan orang atas bonafiditas korporasi dan bisnis yang dijalankan, padahal belum tentu penyitaan yang dilakukan dibenarkan dan dikuatkan sampai akhir proses penyelesaian perkara. Sekiranya pun pada akhirnya penyitaan dinyatakan tidak sah dan diperintahkan untuk diangkat, sangat sulit bagi tersita untuk mengembalikan dan memulihkan citra yang baik kepada kondisi semula. Pengaruh buruk penyitaan dari segi psikologis bukan hanya ditanggung dan menimpa diri pribadi dan bisnis tersita, tetapi berdampak luas kepada keluarga dalam pergaulan sosial.



9



Ibid.



9



Oleh karena itu, pengadilan tidak layak terlampau menyederhanakan pengabulan permintaan sita tanpa dasar alasan dalam pertimbangan yang serius.10 4. Sita merupakan tindakan hukum, yang artinya: a) Sita dilakukan menurut dan berdasarkan aturan hukum (hukum acara perdata). b) Sita belum merupakan tindakan realistis karena belum ada tindakan riil, melainkan hanya bersifat formil semata, kecuali dalam hal eksekusi. 5. Sita merupakan tindakan hakim, yang artinya: a) Sita hanya dapat dilakukan atas perintah hakim yang memeriksa perkaranya itu. b) Hakim lain atau pejabat lainnya tidak berwenang untuk memeriksa sita. 6. Sita hanya dilakukan atas permohonan pihak yang bersengketa, yang artinya: a) Sita hanya dapat dilakukan jika ada permohonan b) Hakim tidak dapat meletakkan sita tanpa adanya permohonan c) Yang berhak mengajukan permohonan adalah pihak yang bersengketa itu saja d) Pihak ketiga tidak berhak mengajukan permohonan sita 7. Tujuan akhir dari sita ialah untuk menjamin agar putusan hakim nantinya, sekiranya tuntutan dalam pokok perkara dikabulkan dan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, yang artinya: a) Putusan hakim secara nyata dapat diwujudkan b) Putusan hakim tidak hampa karena barang sengketa telah tiada, rusak atau dipindah tangan pada pihak ketiga dan sebagainya. c) Sita



merupakan



tindakan



persiapan



untuk



menjamin



dilaksanakannya putusan perdata.11



10



Ibid., 285 H.A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2011), 70-71. 11



10



D. Tata Cara Penyitaan Secara garis besar tata penyitaan sebagai berikut: 1) Sita hanya dapat dilaksanakan atas dasar penetapan pengadilan. Artinya sita baru dapat dilaksanakan bila sudah ada penetapan Pengadilan Agama. Pennetapan tersebut harus mengandung kriteria sebagai berikut: a. Adanya petitum yang berisi perintah kepada panitera atau juru sita untuk melaksanakan sita terhadap objek yang disebutkan dalam surat penetapan. Dalam amar putusan atau penetapan tersebut juga diperintahkan agar pelaksanaan sita dibantu oleh 2 orang saksi. b. Adanya penjelasan dalam surat penetapan tentang objek yang akan disita. 2) Penyitaan dilakukan oleh juru sita atau panitera berdasarkaan surat tugas yang ditunjuk dalam surat penetapan. 3) Pemberitahuan penyitaan secara formal harus sudah diberitahukan kepada termohon sita atau penggugat. Surat pemberitahuan tersebut berisi jam, hari, dan tanggal pelaksanaan sita, menyebutkan objek sita dan menghadirkan juru sita. 4) Pelaksanaan sita dituangkan dalm Berita Acara Penyitaan. Berita Acara Sita antara lain memuat hari dan tanggal pelaksanaan sita, penetapan sita, para pihak yang berperkara, objek sita, kehadiran pihak yang disita pada waktu pelaksanaan sita, nama jelas juru sita, dan dua orang saksi. 5) Pendaftaran sita. Berita Acara Penyitaan didaftarkan dan diumumkan dikantor pendaftaran yang berwenang. Misalnya, harta sitaan berupa tanah bersertifikat didaftarkan di Badan Pertanahan Nasional. Sedangkan, tanah yang belum bersertifikat dicatatkan dikantor lurah atau desa.12 6) Menempatkan barang sitaan ditempat semula, dengan ketentuan sebagai berikut: 7) Penjagaan sita benda bergerak atau tidak bergerak diserahkan kepada tergugat atau termohon sita. a. Penjagaan sita benda bergerak atau tidak bergerak diserahkan kepada tergugat atau termohon sita. b. Tidak boleh menyertakan penjagaan dan penguasaan kepada permohon sita (penggugat) atau kepada pihak ketiga atau kepala desa. 12



Ibid., 125.



11



c. Termohon sita berhak memakai, menikmati, dan menjalankan kegiatan usaha yang melekat pada barang sita, kecuali bila barang sita dapatt menjadi habis dalam pemakaian.13 E. Tugas Juru Sita Di Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Kedudukan juru sita pada Pengadilan Agama diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada Pasal 38 berbunyi ”Pada setiap Pengadilan Agama ditetapkan adanya Juru Sita dan Juru Sita Pengganti”. Dalam Pasal 103 Jo. Pasall 10, 13, 16 KMA/004/Sk/11/92, tercantum bahwa tugas juru sita sebagai berikut: 1. Juru Sita bertugas: a. Melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Ketua Sidang. b. Menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran, dan pemberitahuan penetapan atau putusan Pengadilan menurut cara-cara berdasarkan ketentuan undang-undang. c. Melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan. d. Membuat berita acara penyitaan, yang salinan resminya diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. 2. Juru Sita berwenang melakukan tugasnya didaerah hukum Pengadilan yang bersangkutan.14 F. Peranan Juru Sita Dalam Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Kedudukan Juru Sita dalam struktur organiisasi Peradilan Agama jelas bahwa kedudukan Juru Sita memiliki koordinasi dengan Paniitera, dimana kedudukan tugasnya membantu Panitera. Sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, bahwa: Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Agama dibantu oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, beberapa orang Panitera Pengganti, dan beberapa orang Juru Sita Kemudian secara spesifik, Juru Sita memiliki tugas-tugasnya yang lebih rinci, karena Juru Sita pada pelaksanaan tugasnya lebih menitik beratkan pada bidang pekerjaan teknis, yaitu meliputi:



13 14



Ibid Ibid.



12



1) Bertanggung jawab atas sah dan patut tugas kejurusitaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 2) Berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait dalam tugas Juru Sita Pengganti secara vertikal dan horizontal. 3) Melaksanakan tugas perintah Ketua Pengadilan melaksanakan penyitaan terhadap objek sengketa tertentu dalam perkara. 4) Bertanggungjawab terhadap misi dan visi serta integrritas citra pengadilan yang terkait dengan pelaksanaan tugas kejurusitaan. 5) Meneliti instrumen dan PHS yang diterima terutama hari dan tanggal sidang serta alamat para pihak yang akan dihubungi. 6) Mempersiapkan blanko-blanko dan surat kejurusitaan yang akan disampaikan kepada pihak yang berkepentingan. 7) Mengetik surat yang akan disampaikan kepada pihak yang berkepentingan. 8) Menyampaikan surat-surat kejusitaan kepada alamat yang bersangkutan.15 9) Dalam menyampaikan surat pemanggilan dengan memperhatikan alokasi waktu sidang agar klasifikasi surat menjadi patut. 10) Mengupayakan penyampaian surat kejurusitaan agar benar-benar diterima oleh pihak yang berhak atau yang berwenang sehingga klasifikasi surat menjadi sah. 11) Berusaha menyampaikan surat kejurusitaan pada saat waktu dan tempat yang tepat agar berhasilguna dan berdayaguna. 12) Membuat dan menandatangani berita acara penyitaan. 13) Menyerahkan salinan resmi berita acara penyitaan kepada pihak yang berkepentingan. 14) Menyerahkan surat-surat yang telah menjadi akta autentik kepada pihak yang berkepentingan. 15) Menyampaikann informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan tentang situasi di lapangan. 16) Memberikan informasi kepada pihak terkait untuk kelancaran pelaksanaan tugas.16



15 16



Ibid., 127 Ibid



13



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dalam hukum perdata penyitaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1942, pada saat penajahan



Jepang



berdasarkan



Undang-Undang



tersebut



penyitaan



tetap



diakui



keberadaannya dan diperkenankan melaksanakan seluruh kegiatannnya sebagai yang diberlakukan pada masa pemerintah penjajahan Belanda. Ketentuan Sita dan penyitaan pemerintah Militer Jepang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1942 dan Nomor 34 Tahun 1942. Dalam ketentuan ini hamper semua apa yang tersebut dalam HIR dan R.Bg dipakai dalam pelaksaan sita dan penyitaan di lingkungan Pengadilan Negeri yang berlaku di Jawa, Madura dan di daerah seberang. Ada 16 prinsip pokok yang sita yang terdapat di dalamnya dan juga ada 16 peran jurusita dalam pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah B. Saran Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan baik itu yang penulis sadari dan tidak, baik itu dari segi materi maupun segi sistemasi penulisan. Maka dari itu sudilah saudara memberi saran yang berguna untuk diri pribadi penulis supaya mampu memperbaiki kekurangan-kekurangan dari diri penulis.



14



DAFTAR PUSTAKA Mardani. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syari’ah. Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2014. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5190a6861fe04/masalah-penyitaan-danbenda-sitaan C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989. afira, Martha Eri. Hukum Acara Perdata. Ponorogo: Senyum Indonesia, Tt. Arto, H.A. Mukti. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2011.



15