Makalah Dap Kelompok 2 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

DEVELOPMENTALLY APPROPRIATE PRACTICE (DAP) MAKALAH



KELOMPOK 2 Nida Adilah Nur Aenahar Nur Faizah Sri Nurafifah



7526168051 7526168053 7526168054 7526168063



S2 DIKDAS A 2016



Makalah yang Ditulis untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Pendidikan Dasar yang diampu oleh: Dr. M. Syarif Sumantri, M. Pd.



PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2017



KATA PENGANTAR



Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul : “Developmentally Appropriate Practice (DAP)” Kami menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini. Kami menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, kami telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, kami dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan, saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca. Jakarta, Mei 2017 Kelompok 2



i



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ...................................................................



i



DAFTAR ISI ................................................................................



ii



DAFTAR TABEL ..........................................................................



iii



BAB I PENDAHULUAN .............................................................



1



A. Latar Belakang Masalah .........................................................



1



B. Rumusan Masalah ..................................................................



3



C. Tujuan Penulisan Makalah .....................................................



4



D. Manfaat Penulisan Makalah ...................................................



4



E. Metode Penulisan Makalah ....................................................



5



BAB II PEMBAHASAN ..............................................................



6



A. Pengertian Developmentally Appropriate Practice (DAP) ............



6



B. Karakteristik anak sekolah dasar ............................................



15



C. Dasar teori perembangan pada konsep Developmentally Approriate Practice (DAP) ......................................................



20



D. Prinsip pokok Developmentally Approriate Practice (DAP).....



54



E. Tahap-tahap pembelajaran Developmentally Approriate Practice (DAP) ........................................................................



61



F. Pelaksanaan Developmentally Approriate Practice (DAP) ....



63



BAB III PENUTUP .......................................................................



75



A. Kesimpulan ...................................................... ………………



75



...................................................... ………………



78



DAFTAR PUSTAKA ....................................................................



79



B. Saran



ii



DAFTAR TABEL



Tabel 1 Prinsip dan Praktik DAP .....................................................



54



Tabel 2 Pelaksanaan DAP di TK/PAUD ........................................ ..



70



Tabel 3 Pelaksanaan DAP di Sekolah Dasar ..................................



72



iii



BAB I PENDAHULUAN



A.



Latar Belakang Anak sebagai penerus generasi bangsa tiga puluh tahun ke depan mulai



perlu dipikirkan mulai dari sekarang. Bekal yang paling utama bagi mereka adalah pendidikan yang diharapkan nantinya dapat digunakan untuk membangun masa depan bangsa. Pendidikan yang harus diberikan pada anak usia dini adalah pendidikan yang akan mengantar mereka untuk menyukai belajar



sepanjang



masa



dalam



semua



situasi.



Pendidikan



yang



menyenangkan bagi anak usia dini akan berdampak jauh ke depan, yaitu memberikan kesenangan pada anak untuk terus belajar. Konsep pendidikan yang menyenangkan bagi anak, adalah pendidikan yang sesuai dengan perkembangan anak. Pendidikan yang sesuai dengan perkembangan anak diartikan sebagai pendidikan yang cocok untuk individu dan usia anak. Tentunya perlu diketahui lebih jelas konsep pendidikan yang sesuai dengan anak, bukan sekedar pendidikan yang tidak menarik minat anak, tetapi lebih pada membawa anak pada pengalaman-pengalaman langsung, berinteraksi dengan orang-orang dan lingkungan.



1



2



Konsep pendidikan yang sesuai dengan perkembangan anak atau sering disebut dengan Developmentally Appropriate Practice (DAP) akan mengubah bentuk pendidikan di seluruh dunia secara umum , termasuk di Indonesia secara khusus. Kelas yang dahulu cenderung tradisional mulai berubah menjadi kelas yang lebih modern dengan design lebih menarik. Pembelajaran sudah tidak lagi berpusat pada guru, namun anak lebih diprioritaskan menjadi pusat pembelajaran. Bukan guru lagi yang aktif memberikan banyak informasi kepada anak, tetapi anaklah yang terlibat aktif dalam mengeksplorasi dan menginvestigasi dunia dan lingkungannya. Developmentally Appropriate Practice (DAP) mencerminkan suatu pembelajaran yang interaktif dan berpandangan konstruktivisme. Kunci dari pendekatan ini adalah prinsip bahwa anak pada dasarnya membangun atau mengkonstruk sendiri pengetahuannya melalui interaksi dengan lingkungan sosial dan fisik mereka. Dalam pendekatan ini diupayakan agar anak dapat memotivasi dan mengarahkan diri secara intrinsik, pembelajaran yang efektif yang mampu membangkitkan keingintahuan mereka melalui kegiatan eksplorasi, eksperimen dan dalam pengalaman nyata. Developmentally Appropriate Practice (DAP) merupakan sebuah tuntutan yang menawarkan praktek pendidikan dengan pendekatan yang patut, menyenangkan, sesuai dengan tingkat perkembangan, karakteristik dan minat anak serta daya dukung pembelajaran pendidikan Agama Islam artinya orientasi yang dituju tidak hanya berhenti pada aspek penanaman



3



pengetahuan (kognitif) semata, namun juga akan mampu menanamkan nilai nilai serta keterampilan secara utuh. Dalam tulisan ini penulis mencoba membahas tentang teori DAP dari berbagai literature serta bagaimana menerapkannya pada sistem pendidikan dasar.



B.



Rumusan Masalah Rumusan masalah dilakukan agar penulisan terarah, terfokus, tidak



menyimpang dan sesuai dengan latar belakang. Oleh karena itu tim penyusun memfokuskan kepada pembahasan atas beberapa masalah pokok yang dibatasi dalam konteks permasalahan yang terdiri dari : 1.



Apa pengertian Developmentally Approriate Practice (DAP)?



2.



Bagaimana karakteristik anak sekolah dasar?



3.



Apa saja dasar teori perkembangan pada konsep Developmentally Approriate Practice (DAP)?



4.



Apa prinsip pokok Developmentally Approriate Practice (DAP)?



5.



Bagaimana tahap-tahap pembelajaran Developmentally Approriate Practice (DAP)?



6.



Bagaimana pelaksanaan Developmentally Approriate Practice (DAP)?



4



C.



Tujuan Penulisan Makalah Tujuan penyusunan makalah ini diantaranya:



1.



Mengetahui pengertian Developmentally Approriate Practice (DAP)



2.



Menjelaskan karakteristik anak sekolah dasar



3.



Menganalisis dasar teori perkembangan pada konsep Developmentally Approriate Practice (DAP)



4.



Mendeskripsikan prinsip pokok Developmentally Approriate Practice (DAP)



5.



Menyebutkan tahap-tahap pembelajaran Developmentally Approriate Practice (DAP)



6.



D.



Menjelaskan pelaksanaan Developmentally Approriate Practice (DAP)



Manfaat Penulisan Makalah Manfaat penyusunan makalah ini adalah:



1.



Bagi



kepentingan



penulis



sendiri



untuk



memberikan



tambahan



pengetahuan dan wawasan secara teoritis mengenai Developmentally Approriate Practice (DAP) 2.



Dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan;



3.



Dapat memberikan informasi mengenai intelektualitas dan pemahaman pendalaman materi Developmentally Approriate Practice (DAP)



5



4.



Sebagai bahan informasi dan bahan kajian dasar bagi para mahasiswa di dalam mengadakan penelitian lebih lanjut.



E.



Metode Penulisan Metode yang dipakai dalam penelitian ini di antaranya adalah studi



literatur dan studi pustaka, disertai dengan pemaparan pembahasan dengan deskriptif dan naratif. Metode studi kepustakaan yaitu suatu metode dengan membaca telaah pustaka. Selain itu, penulis juga memperoleh data dari buku, internet dan jurnal.



BAB II PEMBAHASAN



A.



Pengertian Develomentally Approriate Practice (DAP) Pendidikan adalah faktor penting dalam pembangunan suatu bangsa.



Kualitas suatu system pendidikan akan memengaruhi kualitas sumber daya manusia dari suatu bangsa di masa depan. Jika sebuah bangsa mengalami keterpurukan dan kemunduran serta diperparah dengan buruknya kualias SDM, maka hal yang pertama dilihat adalah system pendidikannya. Saat ini sudah semakin disadari bahwa pendidikan sangat penting bahkan dimulai sejak anak lahir. Bahkan yang lebih menarik lagi, pendidikan dapat dimulai semenjak anak masih dalam kandungan. Pentingnya pendidikan sejak dini karena didorong oleh berbagai teori belajar yang menyebutkan bahwa pada usia tersebutlah berbagai aspek perkembangan mengalami masa yang sangat cepat dan menentukan. Perkembangan berbagai aspek dari seorang individu anak tidak terjadi secara terpisah tetapi berjalan secara holistik serta dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah berbagai aspek perkembangan yang dimiliki oleh anak, sementara faktor eksternal adalah guru, keluarga, dan berbagai sumber belajar yang lainnya. Jika anak telah masuk pada suatu program pendidikan, maka 6



7



satu hal yang tidak kalah penting adalah kurikulum yang diterapkan oleh sekolah. Pendidikan yang dilaksanakan seharusnya disesuaikan dengan tahap perkembangan anak serta bagaiamana anak belajar. Sehingga pendidikan pada anak tidak berarti sebagai program ”pemaksaan” terhadap anak untuk melakukan sesuatu atau untuk memiliki suatu kemamuan sesuai keinginan orang dewasa tanpa mempertimbangkan kondisi anak. Salah satu konsep yang relevan dengan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan anak adalah konsep Developmentally Appropriate Practice (DAP) atau dalam bahasa Indonesia berarti ”Pendidikan yang patut sesuai dengan tahapan perkembangan anak” Menurut Bredekamp, et.al., dalam Megawangi, konsep Developmentally Approriate Practice (DAP) muncul dikarenakan banyaknya kurikulum yang berkembang di sekolah-sekolah Amerika pada kurun waktu 1960-an sampai 1970-an yang tidak sesuai dengan perkembangan anak sebagai peserta didik, khususnya pada anak berusia dibawah 8 tahun. Kurikulum-kurikulum yang ada dianggap telah gagal menghasilkan siswa yang dapat berpikir kritis dan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam kehidupan1. Kritikan terhadap kurikulum terus berlanjut pada tahun 1980-an terutama dipelopori oleh para pakar yang terhimpun dalam organisasi NAEYC



1



Megawangi, R. dkk., Pendidikan yang Patut dan Menyenangkan: Penerapan Teori Depelovmentally Appropriate Practice (DAP). (Depok : Indonesian Heritage Foundation, 2005), h. 3



8



(National Association for the Education of Young Children) yang menganggap telah mematikan semangat dan kecintaan anak untuk belajar. NAEYC akhirnya membuat sebuat petisi untuk mereformasi pendidikan agar sesuai dengan konsep DAP, yang dimotori oleh Sue Bredekamp. Oleh karena itu, sejak tahun 1980-an



sekolah-sekolah



menerapkan



konsep



di



lama.



AS



sudah



NAEYC



melakukan



perbaikan



mengembangkan



untuk



prinsip-prinsip



pelaksanaan DAP untuk rentang usia sampai 8 tahun. Prinsip-prinsip ini kemudian dikembangkan oleh NAEYC seiring dengan perkembangan dan penerapan konsep DAP dalam program-program pendidikan anak usia dini. Developmentally appropriate practice adalah cara mengajar yang tepat, yang sesuai dengan usia anak-anak, pengalaman, kemampuan, dan minat, dan yang membantu mereka mencapai tujuan yang menantang dan dapat dicapai. Dasar-dasar praktik sesuai dengan tahapan perkembangan, seperti yang didefinisikan saat ini, terletak pada sejarah pendidikan anak usia dini. Hal yang mendasar adalah premis bahwa mengajar anak muda anak-anak harus didasarkan pada apa yang diketahui tentang bagaimana mereka berkembang dan belajar secara optimal. DAP atau dalam terjemahan bebas Bahasa Indonesia adalah pendidikan yang patut dan menyenangkan sesuai dengan tahapan perkembangan anak, mencerminkan proses pembelajaran yang bersifat interaktif. Konsep DAP yang dikembangkan melalui baragam kegiatan yang sesuai dengan tahapan perkembangan anak menyebabkan anak memiliki



9



pengalaman yang kongkrit serta menyenangkan saat terjadinya proses belajar, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran (awareness) pada anak. Menurur Russel, Developmentally Approriate Practice (DAP) yaitu sesuai



dengan



pertumbuhan



dan



karakteristik



anak,



kelebihannya,



ketertarikannya dan pengalaman - pengalamannya. Pengalaman anak-anak adalah membedah perasaan, dan tidak hanya perilaku terbuka dengan meberikan anak -anak suatu lingkungan dan emosi-emosi yang dikehendaki akan lazim dan emosi -emosi yang tidak dikehendaki menjadi jarang.2 Menurut Bredekamp dan Rosegrant menyatakan bahwa: Developmentally appropriate practice reflect an interactive, constructivist view of learning. Key ti his approach is the principle tahat the child constructs his or her own knowledge through interactions with the social and physical environment b ecause the child is viewed as intrinsically motivated and self directed, effective teaching capitalizes on the child’s motivation to explore, experiment, and to make of his or her experience.3 DAP mencerminkan suatu pembelajaran yang interaktif dan berpandangan konstruktivisme. Kunci dari pendekatan ini adalah prinsip bahwa anak pada dasarnya membangun atau mengkonstruk sendiri pengetahuannya melalui interaksi dengan lingkungan sosial dan fisik mereka. Dalam pendekatan ini diupayakan agar anak dapat memotivasi dan mengarahkan diri secara intrinsik, pembelajaran yang efektif yang mampu



2



Bertrand Russel, Pendidikan Dan Tatanan Sosial (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), h. 43 3 Sue Bredekamp, Developmentally Appropriate Practice in Early Childhood Programs Serving Children from Birth Throught Age 8. (Wasington : NAEYC, 1987), h. 36



10



membangkitkan



keingintahuan



mereka



melalui



kegiatan



eksplorasi,



eksperimen dan dalam pengalaman nyata. Pengertian dari konsep DAP menurut Sue Bredekamp (1987), konsep dari DAP memiliki dua dimensi, yiatu : patut menurut usia (age appropriate) dan patut menurut anak sebagai individu yang unik (individual appropriate).4 Sementara Gary Glassenapp dalam Megawangi, menambahkan 1 dimensi lagi, yaitu : patut menurut lingkungan dan budaya.5 1.



Patut menurut usia (age appropriate) Penelitian Bredekamp tentang perkembangan manusia menunjukkan



bahwa proses perkembangan bersifat universal serta urutan perkembangan dapat diprediksikan dan ini terutama perjadi pada anak usia sampai 9 tahun. 6 Perkembangan yang dapat diprediksikan ini terjadi pada seluruh domain perkembangan seperti fisik, emosi, sosial, dan kognitif. Pengetahuan tentang berbagai ciri perkembangan anak pada berbagai jenjang usia atau program pendidikan akan memberikan kerangka kerja bagai guru. Secara umum, tahapan perkembangan anak dapat memeberikan pengetahuan tentang aktivitas, materi, pengalaman, dan interaksi sosial apa saja yang sesuai, menarik, aman, mendidik, dan menantang bagi anak. Dalam hal ini, peran guru adalah menyiapkan lingkungan belajar serta merencanakan pengalaman



4



Ibid., h. 44. Megawangi, R. dkk., Op. Cit., h. 5 6 Sue Bredekamp, Op. Cit., h. 2 5



11



yaang patut bagi anak. Dalam



dimensi



ini



pendidik



diharapkan



memahami



tahapan



perkembangan anak secara kronologis.7 Pemahaman tentang hal ini dapat menjadi bekal bagi pendidik untuk mengetahui aktifitas, materi, dan interaksi social apa saja yang sesuai, menarik, aman, mendidik, dan menantang bagi anak. Hal ini sangat penting sebagai acuan dalam merancang dan menerapkan kurikulum, serta menyiapkan lingkungan belajar yang patut dan menyenangkan.



2.



Patut menurut anak sebagai individu yang unik (individual appropriate) Setiap anak adalah pribadi yang unik berikut dengan pola dan jadwal



perkembangannya, seperti kepribadian, gaya belajar, dan latar belakang keluarga. Baik kurikulum dan interaksi orang dewasa dengan anak harus memperhatikan perbedaan individu. Belajar bagi anak-anak adalah hasil dari interaksi antara cara berpikir anak dengan pengamalan bersama benda konkrit, pendapat (ide), dan orang lain. Pengalaman seperti itu harus sesuai dengan perkembangan kemampuannya, dan juga harus mendorong siswa menjadi tertarik dan paham. Para pendidikan juga harus memahami keunikan setiap anak, oleh karena itu, para pendidikan hendaknya dapat menyesuaikan



7



Pasaribu N. B. Simanjutak, Proses Belajar Mengajar (Bandung: Farsito, 1983), h. 115



12



diri dengan keunikan-keunikan tersebut. Pendidik juga harus memahami bahwa setiap anak merupakan pribadi yang unik, dimana ia membawa bakat, minat, kelebihan dan kekurangannya, serta pengalaman masing–masing anak dalam berinteraksi. Program DAP yang dikemukakan oleh Bredekamp bahwasanya pada proses pembelajaran hendaknya menyediakan berbagai aktivitas dan bahan bahan yang kaya serta menawarkan pilihan bagi siswa sehingga siswa dapat memilihnya untuk kegiatan kelompok kecil maupun mandiri dan memberikan kesempatan bagi siswa untuk berinisiatif sendiri, melakukan keterampilan atas prakarsa sendiri sebagai aktivitas yang dipilihnya.8 Pembelajaran terpadu juga menekankan integrasi berbagai aktivitas untuk mengeksplorasi objek, topik, atau tema yang merupakan kejadian-kejadian, fakta, dan peristiwa yang otentik. Pelaksanaan pembelajaran terpadu pada dasarnya agar kurikulum itu bermakna bagi anak. Proses pembelajaran seharusnya memperhatikan kebermaknaan artinya apa yang bermakna bagi anak menunjuk pada pengalaman belajar yang sesuai dengan minat-minatnya.



8



Sue Bredekamp, Op. Cit., h. 4.



13



3.



Patut menurut lingkungan dan budaya. Para pendidik harus mengetahui latar belakang sosial dan budaya anak



karena latar belakang sosial dan budaya anak dapat menjadi bahan acuan guru dalam mempersiapkan materi pelajaran yang relevan dan berarti bagi kehidupan anak. Selain itu, guru jug adapat mempersiapkan anak menjadi individu yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan kehidupan sosialnya. Pemahaman atas pekembangan peserta didk sekaligus dengan keunikannya, akan sangat dibutuhkan guru dalam mengidentifikasi rentang perilaku yang cocok (perilaku pada diri anak) sebagai tujuan yang dapat dicapai dalam pengajaran, kegiatan dan pengalaman belajar yag telah diciptakan, dan bahan pengajaran yang padan bagi kelompok usia tertentu, serta sistem evalasi yang akan digunakan. Pemahaman akan dimensi individual yang mengakui adanya keragaman latar belakang peserta didik, maka DAP dengan sendirinya memandang penting keterlibatan aktif orang tua baik sebagai pembuat keputusan mengenai ketepatan perlakuan atau pelayanan individual bagi pendidikan anak. Untuk pemahaman lebih lanjut di bawah ini akan diuraikan karakteristik anak sekolah dasar . Berdasarkan pemaparan diatas, maka secara garis besar dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan DAP dapat membantu peserta didik untuk lebih memahami proses pembelajaran. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Nyoman Yogi Parama Putra,I



14



Nyoman Sudiana, dan I Nengah Martha yang menyebutkan ada 3 temuan penting dalam penelitian yang berjudul Penerapan Strategi Pembelajaran Developmentally Approriate Practice (DAP) dengan Menggunakan Media Cerpen Untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Pemahaman Siswa Kelas VII C SMP Negeri 1 Seririt. Temuan-temuan tersebut adalah : 1.



Siswa dapat mendiskusikan cerpen yang diberikan, memahami cerpen dan melakukan kegiatan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik pada cerpen yang diberikan.



2.



Peningkatan kemampuan siswa dalam membaca pemahaman melalui penerapan media cerita pendek di dalam menerapkan strategi pembelajaran DAP dengan peningkatan nilai rata-rata siswa pada siklus I adalah 57,00 dan setelah diberi perlakuan menjadi 74,4. Ini berarti terjadi peningkatan nilai rata-rata membaca pemahaman siswa sebesar 8,4 Pada siklus II, skor rata-rata siswa adalah 82,8. Pada siklus I ratarata skor siswa lebih rendah dibandingkan siklus II



3.



Penerapan strategi pembelajaran DAP membuat siswa lebih aktif dan kreatif dalam mengikuti pembelajaran membaca, khususnya membaca pemahaman.9



9



Martha Nengah, dkk. Penerapan Strategi Pembelajaran Developmentally Approriate Practice (DAP) dengan Menggunakan Media Cerpen Untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Pemahaman Siswa Kelas VII C SMP Negeri 1 Seririt. Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja



15



B.



Karakteristik Anak Sekolah Dasar Masa usia sekolah dasar (sekitar 6–12 tahun) ini merupakan tahapan



perkembangan



penting



dan



bahkan



fundamental



bagi



kesuksesan



perkembangan selanjutnya. Karena itu, guru tidaklah mungkin mengabaikan kehadiran dan kepentingan mereka. Ia akan selalu dituntut untuk memahami betul karakteristik anak, arti belajar dan tujuan kegiatan belajar bagi mereka di sekolah dasar. Dalam kesempatan ini, diuraikan karakteristik anak usia sekolah dasar secara umum sebagaimana dikemukakan Bassett, Jacka, dan Logan dalam Sumantri dan Permana berikut ini: 1.



Mereka secara alamiah memiliki rasa ingin tahu yang kuat dan tertarik akan dunia sekitar yang mengelilingi diri mereka sendiri.



2.



Mereka senang bermain dan lebih suka bergembira/riang



3.



Mereka suka mengatur dirinya untuk menangani berbagai hal, mengeksplorasikan suatu situasi dan mencobakan usaha-usaha baru.



4.



Mereka biasanya tergetar perasaannya dan terdorong untuk berprestasi sebagaimana mereka tidak suka mengalami ketidakpuasan dan menolak kegagalan-kegagalan.



5.



Mereka belajar secara efektif ketika mereka merasa puas dengan situasi yang terjadi.



6.



Mereka belajar dengan cara bekerja, mengobservasi, berinisiatif dan



16



mengajar anak-anak lainnya.10 Berikutnya karakteristik menurut Piaget dalam Iskandar, anak pada usia 6-12 tahun (masa operasi konkret) ini memiliki kecenderungan sebagai berikut: 1.



Mulai memandang dunia secara obyektif bergeser dari satu aspek ke aspek lain secara refleksif dan memandang unsur-unsur kesatuan secara serentak



2.



Mulai berpikir secara operasional, misalnya kelompok elemen menjadi satu kesatuan yang utuh dan dapat melihat hubungan elemen dengan kesatuan/keseluruhan secara bolak-balik.



3.



Mempergunakan cara berpikir operasional untuk mengklasifikasikan benda- benda.



4.



Membentuk dan mempergunakan keterhubungan aturan-aturan, prinsip ilmiah sederhana, dan mempergunakan hubungan sebab akibat.



5.



Memahami konsep substansi, volume zat cair, panjang, lebar, luas dan berat.11 Pada sekolah dasar di kenal istilah sekolah dasar kelas tinggi dan



sekolah dasar kelas rendah. Pembagian ini tidak terlepas dari karakteristik peserta didik pada setiap jenjang tersebut. Untuk mengetahui karakteristik



10



M. Sumantri dan J. Permana, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: Depdikbud Dirjen Pendidikan Proyek Pendidikan Guru Sekolah Dasar, 1999), h. 36. 11 Srini M. Iskandar, Kecenderungan Pembelajaran di Sekolah Dasar (Jakarta: Depdikbud, 1998), h. 12.



17



peserta didik pada kedua jenjang tersebut dapat dilihat dari kategorisasi yang dikemukakan oleh para pakar psikologi perkembangan, seperti Piaget, Montesori dan lainnya. Untuk melihat karakteristik masing-masing peserta didik pada jenjang tersebut digunakan kategorisasi yang dikemukakan oleh Piaget, karena teori inilah yang dewasa ini paling popular dan banyak digunakan. Pembahasan perkembangan peserta didik yang didasari teori tersebut akan memperjelas posisi perkembangan kognitif siswa SD kelas rendah yang pada akhirnya dapat digunakan sebagai dasar dalam pelaksanaan pembelajaran. Piaget membagi perkembangan anak dan remaja kedalam empat tahap, yaitu; (1) Sensorimotor (sejak lahir sampai usia 2 tahun), (2) Praoperasional (2-7 tahun), (3) Operasi Kongkrit (7-11), dan (4) Operasi Formal (11 tahun keatas)12 Di lihat dari teori perkembangan kognitif di atas, maka anak SD di Indonesia berada pada tahap operasi kongkrit dan operasi formal. Peserta didik SD kelas rendah berada pada fase operasi konkrit, sedangkan peserta didik SD kelas tinggi berada pada fase operasi kongkrit dan operasi formal. Hal ini dapat dilihat dari rentang usia peserta didik pada setiap jenjang tersebut, dimana peserta didik kelas I sampai III berada pada usia 6/7 sampai 9/10 tahun, sedangkan peserta didik kelas IV-VI berada pada usia 9/10 sampai



12



Suparno Paul, Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget (Yogyakarta: Kanisius,1997), h. 35



18



12/13. Kategorisasi ini didasarkan pada asumsi anak-anak Indonesia memasuki bangku sekolah pada usia 6 atau 7 tahun, karena fase perkembangan kognitif peserta didik SD kelas rendah dan kelas tinggi berbeda, maka sudah barang tentu karakteristik yang dimiliki juga berbeda. Di sini hanya akan dibahas tentang karakteristik peserta didik kelas rendah yang fase perkembangan kognitifnya masih berada pada operasi kongkrit. Menurut Flavel dan Piaget ciri-ciri umum anak operasi kongkrit adalah anak berkecendrungan praktis, kongkrit, dan terikat pada dunia keseharian. Selain itu, anak juga dapat membentuk konsep, melihat hubungan, dan memecahkan masalah sepanjang mereka melibatkan obyek-obyek dan situasi-situasi yang ia kenal. Lebih lanjut Piaget mengemukakan beberapa karakteristik yang mencirikan tahap perkembangan operasi kongkrit13, yaitu; (1) anak sudah tidak lagi egosentris, tetapi sudah berfikir desentris. Dia sudah menyadari bahwa orang lain bisa saja memiliki pemikiran yang berbeda dengannya. Oleh sebab itu, perbedaan-perbedaan tersebut bisa diterimanya. (2) pemikiran anak bersifat reversibel. Artinya, anak sudah bisa mengerti sesuatu dari dua arah, atau sudah bisa berfikir terbalik. Hal ini bisa dilakukan anak karena sistem pemikiran yang dimiliki sudah didasari pada aturan-aturan yang logis. (3) anak sudah bisa mengurutkan (seriasi) dan melakukan klasifikasi obyek. (4)



13



Ibid.



19



pemikiran anak sudah lebih decentering, artinya anak pada tahap ini dapat melihat suatu objek atau persoalan dari berbagai macam segi atau secara menyeluruh. Akan tetapi sistem operasinya masih didasarkan pada hal -hal yang konkrit, belum bersifat abstrak apalagi hipotesis. (5) anak sudah bisa berfikir kausalitas secara lebih mendalam. Pada tahap ini anak suka bertanya mengapa sesuatu itu bisa terjadi. Dari apa yang dikemukakan di atas jelas bahwa pada aspek perkembangan kognitif, peserta didik SD kelas rendah berada pada fase operasi kongkrit. Pada fase ini anak baru mulai mengembangkan kemampuan berfikir dan konsep dirinya. Hal ini terlihat dari sistem berfikir anak yang masih bersifat kongkrit dan lemah dalam berfikir abstrak. Pada fase ini pula anak baru membangun konsep dirinya. Dalam kondisi seperti inilah guru harus mampu menjalankan fungsi dan perannya sebagai pelaksana pembelajaran. Guru dalam melakukan pembelajaran hendaknya sekonkrit mungkin dan sebanyak mungkin melibatkan pengalaman-pengalaman fisik. Di samping itu guru harus hati-hati dalam bersikap, berbicara, dan berbuat karena sangat berpengaruh terhadap kepribadian peserta didik. Sedangkan dari aspek perkembangan moral, peserta didik SD kelas rendah berada pada fase prakonvensional, dimana pada fase ini peserta didik masih menjadi anak yang penurut, penerima, dan baik. Selain itu, anak pada fase ini cendrung melakukan sesuatu berdasarkan upah dan hukuman (reward and punishment) yang akan diberikan. Dalam kondisi seperti ini guru harus



20



mampu menjadi pigur teladan yang baik bagi peserta didiknya dan mampu memberikan stimulasi agar peserta didiknya terdorong untuk bersikap dan berprilaku sesuai dengan nilai, moral dan norma yang ada.



C.



Dasar Teori Perkembangan pada Konsep DAP Memahami teori perkembangan anak adalah penting untuk menyusun



program pendidikan sesuai dengan konsep DAP. Berikut ini adalah sekilas teori perkembangan anak yang relevan dengan konsep DAP, seperti yang uraikan dalam Megawangi.14 1.



Perkembangan Kognitif (Jean Piaget) Piaget sangat terkenal dengan teorinya tentang bagaimana seorang



anak belajar melalui tindakan yang dilakukannya. Menurutnya, pemahaman anak dibangun (constructed) melalui action, sehingga teori ini sering disebut juga dengan teori ”constructivism”. Seorang anak dapat memahami suatu konsep melalui pengalaman konkrit. Hal yang tepenting dari teori Piaget adalah bahwa setiap individu termasuk



mengalami



4



tahapan



perkembangan tersebut adalah :



14



Megawangi, R. dkk., Op. Cit., h. 6-10.



perkembangan



kognitif.



Tahapan



21



a. Tahap sensorimotor (usia 0 – 18 bulan) Sepanjang tahap ini mulai dari lahir hingga berusia dua tahun, bayi belajar tentang diri mereka sendiri dan dunia mereka melalui indera mereka yang sedang berkembang dan melalui aktivitas motor.15 Aktivitas kognitif terpusat pada aspek alat dria (sensori) dan gerak (motor), artinya dalam peringkat ini, anak hanya mampu melakukan pengenalan lingkungan dengan melalui alat drianya



dan



pergerakannya.



Keadaan



ini



merupakan



dasar



bagi



perkembangan kognitif selanjutnya, aktivitas sensori motor terbentuk melalui proses penyesuaian struktur fisik sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan.16 b. Tahap preoperasional (usia 18 bulan – 6 atau 7 tahun) Pada tingkat ini, anak telah menunjukkan aktivitas kognitif dalam menghadapi berbagai hal diluar dirinya. Aktivitas berfikirnya belum mempunyai sistem yang teroganisasikan. Anak sudah dapat memahami realitas di lingkungan dengan menggunakan tanda-tanda dan simbol. Cara berpikir anak pada pertingkat ini bersifat tidak sistematis, tidak konsisten, dan tidak logis. Hal ini ditandai dengan ciri-ciri: 1) Transductive reasoning, yaitu cara berfikir yang bukan induktif atau deduktif tetapi tidak logis



15



E. Papalia Diane, Sally Wendkos Old and Ruth Duskin Feldman, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Kencana, 2008), h. 212. 16 Mohd. Surya, Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran (Bandung: Yayasan Bhakti Winaya, 2003), h. 57.



22



2) Ketidak jelasan hubungan sebab-akibat, yaitu anak mengenal hubungan sebab akibat secara tidak logis 3) Animisme, yaitu menganggap bahwa semua benda itu hidup seperti dirinya 4) Artificialism, yaitu kepercayaan bahwa segala sesuatu di lingkungan itu mempunyai jiwa seperti manusia 5) Perceptually bound, yaitu anak menilai sesuatu berdasarkan apa yang dilihat atau di dengar 6) Mental experiment, yaitu anak mencoba melakukan sesuatu untuk menemukan jawaban dari persoalan yang dihadapinya 7) Centration, yaitu anak memusatkan perhatiannya kepada sesuatu ciri yang paling menarik dan mengabaikan ciri yang lainnya 8) Egosentrisme, yaitu anak melihat dunia lingkungannya menurut kehendak dirinya.17 c.



Tahap operasional konkrit (usia 8 – 12 tahun) Pada tahap ini, anak sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran



logika atau operasi, tetapi hanya untuk objek fisik yang ada saat ini. Dalam tahap ini, anak telah hilang kecenderungan terhadap animism dan articialisme. Egosentrisnya berkurang dan kemampuannya dalam tugas-tugas konservasi menjadi lebih baik. Namun, tanpa objek fisik di hadapan mereka, anak-anak pada tahap operasional kongkrit masih mengalami kesulitan besar dalam



17



Ibid., h. 58.



23



menyelesaikan tugas-tugas logika.18 Sebagai contoh anak-anak yang diberi tiga boneka dengan warna rambut yang berlainan (edith, susan dan lily), tidak mengalami kesulitan untuk mengidentifikasikan boneka yang berambut paling gelap. Namun ketika diberi pertanyaan, “rambut edith lebih terang dari rambut susan. Rambut edith lebih gelap daripada rambut lily. Rambut siapakah yang paling gelap?”, anak-anak pada tahap operasional kongkrit mengalami kesulitan karena mereka belum mampu berpikir hanya dengan menggunakan lambang-lambang. d. Tahap formal operasional (usia 12 tahun – usia dewasa) Pada umur 12 tahun keatas, timbul periode operasi baru. Periode ini anak dapat menggunakan operasi-operasi konkritnya untuk membentuk operasi yang lebih kompleks.19 Kemajuan pada anak selama periode ini ialah ia tidak perlu berpikir dengan pertolongan benda atau peristiwa konkrit, ia mempunyai kemampuan untuk berpikir abstrak. Anak-anak sudah mampu memahami bentuk argumen dan tidak dibingungkan oleh sisi argumen dan karena itu disebut operasional formal.



2.



Teori Perkembangan Emosi (Erik Erikson) Erik Erikson berpendapat bahwa perkembangan emosi positif sangat



penting dalam perkembangan jiwa anak, dan ini sangat tergantung pada peran



18 19



Matt Jarvis, Teori-Teori Psikologi (Bandung: Nusa Media, 2011), h. 149-150. Ibid., h. 111.



24



orang tua dan guru. Setiap anak akan dihadapkan pada dua keadaan yang saling bertolak belakang: emosi positif dan emosi negatif. Pada setiap tahapan perkembangan, seseorang akan mengalami konflik tarik menarik antara kedua emosi tersebut, keberhasilan dalam mengelola konflik ini terwujud apabila anak dapat mencapai emosi positif. Ada delapan tahapan perkembangan emosi anak. Yang relevan dengan konteks DAP adalah 4 tahapan berikut, yaitu:20 a.



Tahap percaya vs tidak percaya (0 - 18 tahun) Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira terjadi pada umur 0-1



atau 1 ½ tahun. Pada tahap ini bayi mengalami konflik antara percaya dan tidak percaya. Tugas yang harus dijalani pada tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan. dan merasa terancam terus menerus. Rasa percaya tersebut menuntut perasaan nyaman secara fisik. Pada saat itu, hubungan bayi dengan ibu menjadi sangat penting. Ketika sadar bahwa ibu selalu menyediakan makanan secara teratur, mereka pun mulai belajar rasa percaya dasar. Jika mereka terus belajar mendengarkan secara konsisten suara ibu yang menyenangkan dan ritmis, mereka mengembangkan lebih banyak lagi rasa percaya mendasar. Ketika mereka dapat bersandar kepada lingkungan visual yang menyenangkan, mereka dapat memadatkan rasa percaya dasar mereka lebih kuat lagi. Dengan kata lain, jika pola mereka



Psikologi, “Erik Erikson”, diakses dari http://psikologi.net/erik-erikson/ pada tanggal 13 Mei 2017 pukul 5:51. 20



25



menerima hal-hal yang berkaitan dengan cara budaya memberikan hal-hal, maka bayi dapat belajar rasa percaya dasar. Sebaliknya, bayi akan belajar rasa tidak percaya mendasar jika tidak menemukan kaitan anatar kebutuhankebutuhan oral-pengindraan mereka dengan lingkungan tempat mereka tinggal. Rasa percaya dasar biasanya bersifat sitonik, sedangkan rasa tidak percaya



mendasar



bersifat



distonik.



Meskipun



begitu



bayi



harus



mengembangkan kedua sikap ini. Terlalu banyak rasa percaya membuat mereka naif dan rapuh terhadap tipu muslihat dunia, sementara terlalu sedikit rasa percaya membawa kepada rasa frustasi, kemarahan, kebencian, sinisme atau depresi. Keduanya rasa percaya dan tidak percaya mendasar merupakan pengalaman yang tidak terelakkan bagi bayi. Semua bayi yang bertahan hidup sudah medapatkan makan dan perawatan yang baik sehingga mereka cukup memiliki alasan untuk percaya. Selain itu, semua bayi yang sudah difrustasikan oleh rasa sakit, lapar, dan tidak nyaman memiliki alasan yang cukup untuk tidak percaya. Erikson yakni bahwa rasio percaya dan tidak percaya cukup kritis bagi kemampuan manusia untuk beradaptasi. Konflik tak terelakkan antara rasa percaya mendasar dan rasa tidak percaya



mendasar



menghasilkan krisis psikososial pertama manusia. Jika manusia berhasil menyelesaikan krisis ini, mereka akan mendapatkan kekuatan dasar pertama harapan mereka.



26



b.



Tahap kemandirian vs malu/ragu (18 bulan – 3,5 tahun) Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages), masa



ini biasanya disebut masa balita yang berlangsung mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun atau pada akhir masa bayi dan masa mulai berjalan. Setelah memperoleh kepercayaan, bayi mulai menemukan bahwa perilaku mereka adalah milik mereka sendiri. Mereka mulai menyatakan rasa mandiri atau otonomi mereka. Mereka menyadari kemauan mereka. Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Pada tahap ini bila orang tua selalu memberikan dorongan kepada anak agar dapat berdiri diatas kaki mereka sendiri, sambil melatih kemampuan mereka, maka anak akan mampu mengembangkan pengendalian atas otot, dorongan, lingkungan dan diri sendiri. Sebaliknya, jika orang tua cenderung menuntut terlalu banyak atau terlalu membatasi anak untuk menyelidiki lingkungannya, maka anak akan mengalami rasa malu dan ragu-ragu. c.



Tahap inisiatif vs merasa bersalah (3,5 tahun – 6 tahun) Tahap ketiga adalah tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage)



atau yang biasa disebut tahap bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai 5 atau 6 tahun (pra sekolah). Tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan. Pada umumnya di tahap ini anak terlihat sangat aktif, suka berlari, berkelahi, memanjat dan suka



27



menantang lingkungannya. Dengan menggunakan bahasa, fantasi dan permainan khayalan, dia memperoleh perasaan harga diri. Bila orangtua berusaha memahami, menjawab pertanyaan anak, dan menerima keaktifan anak dalam bermain, maka anak akan belajar untuk mendekati apa yang diinginkan, dan perasaan inisiatif menjadi semakin kuat. Sebaliknya bila orangtua kurang memahami, kurang sabar, suka memberi hukuman dan menganggap bahwa pengajuan pertanyaan, bermain dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan anak tidak bermanfaat, maka anak akan merasa bersalah dan menjadi enggan untuk mengambil inisiatif untuk mendekati apa yang diinginkannya. d.



Tahap berkarya/etos kerja vs minder (6 tahun – 10 tahun) Tahap keempat adalah tahap laten yang terjadi pada usia sekolah dasar



antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah dengan mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah diri. Pada tahap ini anak mulai memasuki dunia yang baru, yaitu sekolah dengan segala aturan dan tujuan. Anak mulai mengarahkan energi mereka menuju penguasaan pengetahuan dan ketrampilan intelektual. Alat-alat permainan dan kegiatan bermain berangsurangsur digantikan oleh perhatian pada situasi produktif serta alat-alat yang dipakai untuk bekerja. Akan tetapi, bila anak tidak berhasil menguasai ketrampilan dan tugas-tugas yang dipilihnya atau yang diberikan oleh guru dan orangtuanya, maka anak akan mengembangkan perasaan rendah diri.



28



3.



Teori Sosio Kultural (Vigotsky) Vigotsky berpendapat sama dengan Piaget bahwa cara belajar yang



efektif melalui praktek nyata (action). Anak-anak akan lebih mudah memahami konsep baru ketika mereka mencoba memecahkan suatu masalah dengan objek konkrit. Menurut Vigotsky, perkembangan intelktual anak menackup bagaimana mengaitkan bahasa dengan pikiran. Pada awal perkembangan anak, antara bahasa dan pikiran tidak ada keterkaitan. Misalnya anak yang megoceh tanpa memahami artinya. Selanjutnya, secara bertahap, anak mulai mengaiitkan bahasa dengan pikiran. Pada usia sekolah dasar anak akan memakai bahasa dalam proses belajar. Piaget dan Vigotsky bersama-sama disebut sebagai tokoh aliran konstruktivism. Bedanya, konstruktivisme Piaget adalah bersifat individu sementara Vigotsy adalah konstruktivisme sosial.



4.



Teori Perkembangan Moral (Kohlberg dan Thomas Lickona) Kohlberg



adalah



seorang



pionir



dalam



menyususn



tahapan



perkembangan moral anak dengan memodifikasi teori Piaget. Sedangkan Thomas Lickona mengembangan lebih lanjut teori ini sampai pada bagaimana metode pendidikan karakter dapat dijalankan secara konkrit bagi orang tua dan



29



guru. Secara singkat tahapan perkembngan moral yang relevan untuk pengembangan DAP adalah sebagai berikut:21 a. Tahap berpikir egosentris - self oriented morality (1 tahun – 4 atau 5 tahun) Anak pada usia ini cenderung egois. Sulit bagi anak usia ini untuk berbagi mainan dengan teman-temannya. Oleh karena itu, sekolah yang baik harus menyiapkan lebih dari satu mainan yang jenisnya sama. Dengan begitu tidak ada konflik antarteman di sekolah. Walau begitu, anak pada usia ini sudah dapat diperkenalkan sopan santun dan juga perbuatan baik-buruk. Anak pada usia ini cukup sulit diatur sehingga memerlukan kesabaran orang tua. Lickona mengatakan bahwa selain egois, anak pada tahap ini juga senang melanggar aturan, memamerkan diri, dan senang memaksakan keinginannya. Bahkan terkadang anak melakukan hal ini secara manipulatif dan berbohong. Guru sebaiknya melakukan 3 hal ini: 1) Memberi insentif agar anak berperilaku baik (misalnya dengan pujian); 2) Memberikan arahan yang jelas tentang wujud perbuatan baik (misalnya anak yang baik tidak memukul temannya); 3) Memberikan aturan dan sanksi yang jelas (misalnya anak yang berteriak tidak sopan tidak akan diberi kesempatan menggambar di papan tulis). Cara ini efektif karena anak-anak pada tahap egosentris akan menurut selama kepentingannya dapat terpenuhi. Anak-anak pada tahap ini juga sudah



21



Megawangi, R. dkk., Op. Cit., h. 11-12.



30



bisa berempati. Oleh karena itu, cukup efektif bila seorang anak diajarkan untuk melihat dari perspektif orang lain. Misalnya saja dengan mengatakan, “Ibu akan sedih kalau kamu berbohong," atau “Ibu guru akan sangat senang kalau kamu mau membantu ibu untuk tidak berteriak di dalam kelas." Penting untuk diingat bahwa tahapan moral yang egosentris ini sangatlah normal pada anak-anak usia ini. Para pendidik perlu mengerti bahwa anakanak pada usia ini agak sulit ditangani, namun ini tidak akan berlanjut lama. b. Tahap patuh tanpa syarat – authority oriented morality (4,5 tahun – 6 tahun) Anak-anak pada tahap ini lebih mudah menurut dan diajak kerja sama. Oleh karena itu anak mau mengerjakan perintah orang tua maupun guru. Namun ada kalanya anak-anak usia ini masih menunjukkan perilaku anakanak tahap 1. Hal ini menandakan perkembangan moral anak tersebut belum optimal. Lickona mengungkapkan bahwa ciri khas perekembangan moral pada tahap patuh tanpa syarat adalah: 1) Dapat menerima pandangan orang lain, namun pandangan yang dianggap benar adalah pandangan orang dewasa. 2) Bisa menghormati otoritas orang tua atau guru. 3) Menganggap orang dewasa itu mahatahu dan mampu melihat kawannya yang nakal atau melanggar aturan.



31



4) Senang mengadukan temannya yang nakal karena menganggap orang dewasa itu satu-satunya panutan moral. Anak-anak pada tahap ini menganggap bahwa yang melanggar peraturan harus dihukum dan anak yang baik harus diberi hadiah. 5) Walau mereka berpikir bahwa mereka harus mematuhi aturan, jika tak ada orang dewasa/guru yang melihat, mereka cenderung melanggarnya. Mereka belum mengerti mengapa peraturan dibuat. c.



Tahap balas-membalas – exchange stage (6,5 tahun – 8 tahun) Lickona mengatakan bahwa pada tahap ini, sikap egois anak masih



menonjol. Selain untuk kepentingan pribadi, alasan anak berbuat baik adalah sebagai balasan dari perbuatan orang lain. Prinsip anak tahap ini: “saya harus berbuat baik pada orang-orang yang berbuat baik pada saya." Ciri-ciri perkembangan moral anak pada tahap ini adalah: 1) Anak-anak merasa bahwa mereka juga memiliki hak seperti orang dewasa 2) Anak-anak merasa memiliki keinginan untuk mandiri, tidak lagi berpikir bahwa orang dewasa bisa memerintah anak-anak. 3) Mempunyai konsep keadilan yang kaku, yaitu balas-membalas. Ia berbuat baik hanya pada orang yang berbuat baik padanya, begitu juga dalam membalas perbuatan buruk. 4) Memahami perlunya berperilaku baik sebagai cara agar disenangi orang lain.



32



5) Sering membanding-bandingkan dan meminta perlakuan adil. Selain itu ia juga cenderung melanggar perintah kalau tidak mendapat hal yang ia anggap adil. 6) Berpotensi untuk bertindak kasar dan bisa bersikap tidak sensitif terhadap perasaan orang lain. Akibatnya otoritas orang dewasa di mata anak semakin turun. Hal ini terjadi karena pada tahap ini anak masih kesulitan melihat dari sisi orang lain (anak masih egosentris). 7) Kurang bisa melihat tindakan yang salah kecuali kalau melihat hasilnya yang membahayakan. Anak juga sering beranggapan bahwa berbohong atau curang itu diperbolehkan. 8) Lebih banyak terlibat perkelahian dan saling mengejek dengan temantemannya karena beranggapan bahwa segala sesuatu harus dibalas. Mengajarkan moral pada anak tahap ini dapat memakai kecenderungan prinsip timbal balik mereka. Misalnya dengan peraturan, “Kamu harus melakukan itu kalau saya melakukan ini untuk kamu." d. Tahap memenuhi harapan lingkungan – peer oriented morality (8 tahun sampai 13/14 tahun) Pada tahap sebelumnya, kebenaran ditentukan oleh figur otoritas. Sementara pada tahap ini kebenaran ditentukan oleh teman sebayanya. Kohlberg menyebutnya dengan tahap “anak baik" (good boy/good girl stage). Anak-anak pada tahap ini ingin diterima oleh teman-temannya sehingga tindakannya cenderung ingin disesuaikan dengan harapan teman sebayanya.



33



Walau pada tahap ini anak sudah paham moral baik dan buruk, namun faktor dominan yang mendorong anak berbuat baik adalah keinginan untuk dikatakan sebagai “anak baik" oleh lingkungannya. Lickona mengatakan tahap ini dapat berlangsung pada usia 8 ½ – 14 tahun. Menurutnya, ciri khas perkembangan pada tahap ini adalah: 1) Anak ingin mendapat penghargaan sosial dari orang lain. Ia mau berbuat sesuatu dnegan tujuan orang lain berpikir “dia ini anak yang baik." 2) Sudah dapat mengerti konsep golden rules: “harus memperlakukan orang lain seperti kamu mengharapkan orang lain memperlakukan kamu". 3) Dapat mengerti apa yang dibutuhkan orang lain, tidak semata-mata berpikir “apa yang bisa saya peroleh." Jika anak bisa menempatkan dirinya pada posisi orang lain, anak bisa melakukan kebaikan. 4) Bisa menerima otoritas orang tua dan berpikir: “orang tua itu bijak dan saya perlu mengikuti nasihatnya". 5) Bisa menerima tanggung jawab dan melakukannya untuk kepentingan keluarganya karena anak sudah memiliki perspektif sebagai anggota dari kelompok. 6) Karena orientasi anak pada tahap ini adalah diterima kawannya, maka anak cenderung kurang percaya diri. Hal ini terutama terjadi pada masa awal pubertas. Dampaknya adalah anak rentan terjerumus pada hal-hal negatif untuk diterima kawannya.



34



7) Sudah mulai mempunyai nurani (rasa bersalah dan malu), namun belum mantap karena masih mudah terpengaruh oleh lingkungan luarnya, terutama yang berkaitan dengan konsep diri yakni anak ingin diterima oleh lingkungannya. Lickona memberi tips pada orang tua dan pendidik untuk membantu anak pada tahap ini agar dapat meningkatkan perkembangan moral ke tahap selanjutnya. 1) Memelihara hubungan baik daengan menjalin komunikasi dengan anak, ikut membantu dalam pemecahan masalah anak, dan membantu anak untuk menemukan identitas diri 2) Membantu membangun konsep diri yang positif, yakni dengan cara: a) Tidak membanding-bandingkan anak dengan kawannya b) Beri penghargaan pada perilaku positif yang anak lakukan c) Dorong anak untuk mencari teman-teman yang baik d) Bantu anak untuk mengembangkan hobi dan kemampuannya e) Bantu anak menghilangkan kebiasaan mengecilkan orang lain f)



Diskusikan masalah moral



3) Menyeimbangkan antara memberi kebebasan terhadap anak dengan mengontrol tindakan anak a) Gunakan kekuasaan yang Anda miliki berdasarkan cinta kasih b) Katakan “ya" atau “tidak" kalau diperlukan, namun beri anak kesempatan untuk memilih



35



c) Beri anak kesempatan untuk menolak dengan cara yang baik d) Jangan berlebihan dalam menimbulkan rasa bersalah ketika anak berbuat salah. Hal ini dapat menimbulkan citra diri yang negatif e) Gunakan kontrol secara tidak langsung. Beri kebebasan pada anak namun jelas batasannya. Misalnya dengan mengatakan, “Boleh bermain, tapi tetap di dalam rumah," atau “Boleh memakai baju yang kamu suka, asalkan rapi." Dengan begitu anak tidak merasa terlalu dikekang.



5.



Teori Ekologi dan Konstektual (Bronfenbrenner) Bronfenbrenner mengembangkan teori perkembngan anak yang



dipengaruhi oleh berbgai faktor yang melingkupi kehidupan manusia. Perkembangan dipengaruhi oleh : a.



Konteks mikrosistem, yaitu : keluarga, sekolah dan kawan-kawan



b.



Konteks mesosistem, yaitu : hubungan antara keluarga dengan sekolah, sekolah dengan peer group, atau keluarga dengan peer group yang semuanya memeprngaruhi individu



c.



Konteks ekosistem, seperti pekerjaan orang tua dana kebijakan pemerintahan



d.



Konteks makrosistem, yaitu : pengaruh lingkungan budaya, norma agama, dan lingkungan sosial dimna individu dibesarkan.



36



6.



Brain Based Learning Manusia mempunyai kemampuan alami untuk belajar, asalkan tidak



bertentangan dengann prinsip bekerjanya struktur dan fungsi otak. Sistem sekolah tradisional sering tidak sesuai dengan prinsip alami ini, sehingga justru menghambat proses belajar. Perhatian terhadap otak dan fungsinya tidak hanya diarahkan pada bagian-bagian otak yang memiliki fungsi berbeda-beda, tetapi kepada sistem otak itu sendiri sebagai satu kesatuan. Menurut Barbara K. Given berdasarkan berbagai hasil penilitian, otak mengembangkan lima sistem pembelajaran, yaitu : sistem pembelajaran emosional, sistem pembelajaran sosial, sistem pembelajaran kognitif, sistem pembelajaran fisik dan sistem pembelajaran reflektif. Pembelajaran yang baik, adalah pembelajaran yang memperhatikan lima sistem pembelajaran sebagai suatu kesatuan sistem.22



7.



Multiple Intellegences (Howard Gardner) Cara tradisional mengukur kepandaian seseorang adalah denga tes IQ.



Padahal ukuran IQ hanya terbatas pada kemampuan kognitif dan verbal saja. Akan tetapi, pandangan tersebut mulai bergeser seiring dengan hasil penelitian tentang cara kerja otak dimana setiap individu memiliki keunikan cara belajar.



22



Barbara K. Given, Brain Based Learning (terj.) (Bandung : Mizan Media Utama, 2007), h. 13.



37



Howard Gardner kemudian mengenalkan istilah kecerdasan majemuk (multiple intlligences) yang berarti bahwa manusia belajar dan berhasil melalui berbagai kemampuan kecerdasan yang tidak terukur melalui IQ. Menurut Gardner dalam Megawangi, kecerdasan adalah kemampuan memecahkan masalah atau kemampuan berkarya menghasilkan sesuatu yang berharga untuk lingkungan sosial, budaya atau lingkungannya.23 Ada delapan kecerdasan menurut Gardner yang kemudian dalam Megawangi ditambah satu, yaitu kecerdasan spiritual.24 Berikut 9 kecerdasan berikut a. Picture Smart (Kecerdasan Gambar/Spasial) Kecerdasan



ini



ditandai



dengan



kepekaan



mempersepsi



dunia



visualspasial secara akurat dan mentransformasi persepsi awal. Seseorang yang memiliki kecerdasan ini cenderung menyukai arsitektur, bangunan, dekorasi, apresiasi seni, desain, atau denah. Mereka juga menyukai dan efektif dalam membuat dan membaca chart, peta, koordinasi warna, membuat bentuk, patung dan desain tiga dimensi lainnya, menciptakan dan menginterpretasi grafik, desain interior, serta dapat membayangkan secara detil benda-benda, pandai dalam navigasi, dan menentukan arah. Mereka suka melukis, membuat sketsa, bermain game ruang, berpikir dalam image atau bentuk, serta memindahkan bentuk dalam angan-angan. Informasi mengenai



23 24



Megawangi, R. dkk., Op. Cit., h. 15 Ibid.



38



kecerdasan visual-spasial pada anak-anak dapat diperoleh melalui observasi terhadap: 1) Kemampuan menangkap warna serta mampu memadukan warna-warna saat mewarnai, dan mendekorasi; 2) Kesenangan mereka mencoret-coret, menggambar, berkhayal, membuat desain sederhana; 3) Kemampuan anak dalam memahami arah dan bentuk; 4) Kemampuan anak mencipta suatu bentuk, seperti bentuk pesawat terbang, rumah, mobil, burung, atau bentuk lain yang mengesankan adanya unsur transformasi bentuk yang rumit. Anak yang cerdas dalam visual-spasial terkesan kreatif, memiliki kemampuan membayangkan sesuatu, melahirkan ide secara visual dan spasial dalam bentuk gambar atau bentuk yang terlihat mata. Mereka memiliki kemampuan mengenali identitas objek ketika objek tersebut ada dari sudut pandang yang berbeda. Mereka juga mampu memperkirakan jarak dan keberadaan dirinya dengan sebuah objek Cara belajar terbaik untuk anak yang cerdas visual-spasial adalah melalui warna, coretan, arah, bentuk, dan ruang.25



25



Takdiroatun Musfiroh, Pengembangan Kecerdasan Majemuk (Tangerang: Universitas Terbuka, 2015), h. 1.14-1.15.



39



b. People Smart (Kecerdasan Interpersonal) Kecerdasan ini ditandai dengan kemampuan mencerna dan merespons secara tepat suasana hati, temperamen, motivasi, dan keinginan orang lain. Seseorang yang optimal dalam kecerdasan ini cenderung menyukai dan efektif dalam hal mengasuh dan mendidik orang lain, berkomunikasi, berinteraksi, berempati dan bersimpati, memimpin dan mengorganisasikan kelompok, berteman, menyelesaikan dan menjadi mediator konflik, menghormati pendapat dan hak orang lain, melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang, sensitif atau peka pada minat dan motif orang lain, dan handal bekerja sama dalam tim. Tanda utama kecerdasan interpersonal sangat mudah diidentifikasi. Anak yang memiliki kecerdasan interpersonal sangat menyenangkan bagi teman sebayanya. Indikator kecerdasan interpersonal dapat diketahui melalui observasi terhadap: 1) Kepekaan anak terhadap perasaan, kebutuhan, dan peristiwa yang dialami teman sebayanya. Kepekaan ini mendorong anak memberikan perhatian yang tinggi pada anak lain, senang membantu teman lain; 2) Kemampuan anak mengorganisasi teman-teman sebayanya. Kemampuan ini mendorong anak menggerakkan teman-temannya untuk tujuan bersama, dan cenderung memimpin; 3) Kemampuan anak memotivasi dan mendorong orang lain untuk bertindak. Hal ini disebabkan oleh kemampuan mereka mengenali dan membaca pikiran orang lain, dan karenanya anak dapat mengambil sikap yang tepat;



40



4) Sikap yang ramah, senang menjalin kontak, menerima teman baru, dan cepat bersosialisasi di lingkungan baru. Hal ini disebabkan oleh dorongan anak untuk selalu bersama orang lain dan menjalin komunikasi dengan sesama; 5) Kecenderungan anak untuk bekerja sama dengan orang lain, saling membantu, berbagi, dan mau mengalah; 6) Kemampuan untuk menengahi konflik yang terjadi di antara teman sebayanya, menyelaraskan perasaan teman-teman yang bertikai, dan kemampuan memberikan usulan-usulan perdamaian. Cara belajar terbaik bagi anak yang cerdas interpersonal adalah melalui interaksi dengan orang lain. Anak dengan kecerdasan ini akan tampak sebagai individu yang manis, baik hati, dan suka perdamaian, oleh karena itu, mereka disukai banyak orang. Untuk mengembangkan kecerdasan ini, pendidik perlu memberikan tugas-tugas menarik yang harus diselesaikan anak secara berpasangan dan berkelompok. Kegiatan bermain bersama di bawah pengawasan pendidik sangat disarankan.26 c.



Body Smart (Kecerdasan Kinestetik atau Fisik) Kecerdasan ini ditandai dengan kemampuan mengontrol gerak tubuh dan



kemahiran mengelola objek. Seseorang yang optimal dalam kecerdasan ini cenderung menyukai dan efektif dalam hal mengekspresikan dalam mimik atau



26



Ibid., h. 1.17-1.18.



41



gaya, atletik, menari dan menata tari; kuat dan terampil dalam motoric halus, koordinasi tangan dan mata, motorik kasar dan daya tahan. Mereka juga mudah belajar dengan melakukan, mudah memanipulasikan bendabenda (dengan tangannya), membuat gerak-gerik yang anggun, dan pandai menggunakan bahasa tubuh. Informasi mengenai kecerdasan kinestetik pada anak-anak sangat mudah diperoleh. Tanda-tanda yang dimunculkan sangat terlihat seperti kecerdasan verbal-linguistik. Indikator kecerdasan ini dapat diperoleh melalui observasi terhadap: 1) Frekuensi gerak anak yang tinggi serta kekuatan dan kelincahan tubuh; 2) Kemampuan koordinasi mata-tangan dan mata-kaki, seperti menggambar, menulis, memanipulasi objek, menaksir secara visual, melempar, menendang, menangkap; 3) Kemampuan, keluwesan, dan kelenturan gerak lokomotor, seperti berjalan, berlari, melompat, berbaris, meloncat, mencongklak, merayap, berguling, dan merangkak, serta keterampilan nonlokomotor yang baik, seperti



membungkuk,



menjangkau,



memutar



tubuh,



merentang,



mengayun, jongkok, duduk, berdiri; 4) Kemampuan



mereka



mengontrol



dan



mengatur



tubuh



seperti



menunjukkan kesadaran tubuh, kesadaran ruang, kesadaran ritmik, keseimbangan,



kemampuan



untuk



mengambil



menghentikan gerak, dan mengubah arah;



start,



kemampuan



42



5) Kecenderungan memegang, menyentuh, memanipulasi, bergerak untuk belajar tentang sesuatu serta kesenangannya meniru gerakan orang lain. Anak



yang



memiliki



kecerdasan



gerak-kinestetik



membutuhkan



kesempatan untuk bergerak, dan menguasai gerakan. Mereka perlu diberi tugas-tugas motorik halus, seperti menggunting, melipat, menjahit, menempel, merajut, menyambung, mengecat, dan menulis, serta motoric kasar, seperti berlari, melompat, berguling, meniti titian, berjalan satu kaki, senam irama, merayap, dan lari jarak pendek. Adanya rangsangan stimulus terhadap kecerdasan gerak-kinestetik membantu perkembangan dan pertumbuhan anak. Sesuai dengan sifat anak, yakni



suka



bergerak,



proses



belajar



hendaklah



memperhatikan



kecenderungan ini. Anak-anak dengan kecenderungan kecerdasan ini belajar dengan menyentuh, memanipulasi, dan bergerak. Mereka memerlukan kegiatan belajar yang bersifat kinestetik dan dinamis. Mereka membutuhkan akses ke lapangan bermain, lapangan rintangan, kolam renang, dan ruang olahraga. Oleh karena itu, proses pembelajaran yang menuntut konsentrasi anak dalam konteks pasif (duduk tenang di kelas) dalam waktu lama sangat menyiksa mereka.27



27



Ibid., h. 1.16-1.17.



43



d. Word Smart (Kecerdasan Bahasa) Kecerdasan ini ditunjukkan dengan kepekaan seseorang pada bunyi, struktur, makna, fungsi kata, dan bahasa. Anak yang memiliki kecerdasan ini cenderung menyukai dan efektif dalam hal berkomunikasi lisan dan tulisan mengarang cerita, diskusi dan mengikuti debat suatu masalah, belajar Bahasa asing, bermain “game” bahasa, membaca dengan pemahaman tinggi, mudah mengingat ucapan orang lain, tidak mudah salah tulis atau salah eja, pandai membuat lelucon, pandai membuat puisi, tepat dalam tata bahasa, kaya kosa kata, dan menulis secara jelas. Kecerdasan verbal-linguistik anak usia dini dapat diketahui melalui kegiatan: 1) Mengobservasi kemauan dan kemampuan berbicara. Anak yang cerdas dalam verbal-linguistik banyak bicara, suka bercerita, pandai melucu dengan kata-kata. Anda dapat mengamati bagaimana mereka berbicara, bernegosiasi,



mengekspresikan



perasaan



melalui



kata-kata,



dan



mempengaruhi orang lain; 2) Mengamati kemampuan anak-anak melucu dengan kata-kata dan menangkap kelucuan; 3) Mengamati kegiatan di kelas dan mengamati bagaimana anak-anak bermain dengan huruf-huruf, seperti mencocok huruf, menukarkan huruf, menebak kata-kata, dan kegiatan bermain lain yang melibatkan bahasa, baik lisan maupun tulis;



44



4) Mengamati kesenangan mereka terhadap buku serta kemampuan mereka membaca dan menulis. Cara belajar terbaik bagi anak-anak yang cerdas dalam verbal-linguistik adalah dengan mengucapkan, mendengarkan, dan melihat tulisan. Oleh karena itu, ajak anak-anak ke toko buku, beri kesempatan berbicara, sediakan banyak buku-buku, rekaman, serta menciptakan peluang mereka untuk menulis, menyediakan peralatan membuat tulisan, tape recorder, mesin ketik, keyboard, untuk belajar mengidentifikasi huruf dalam kata-kata.28 e. Self Smart (Kecerdasan Interpersonal – Mengenal Diri) Kecerdasan ini ditandai dengan kemampuan memahami perasaan sendiri dan kemampuan membedakan emosi, serta pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan diri. Seseorang yang optimal dalam kecerdasan ini cenderung menyukai dan efektif dalam hal berfantasi, “bermimpi”, menjelaskan tata nilai dan kepercayaan, mengontrol perasaan, mengembangkan keyakinan dan opini yang berbeda, menyukai waktu untuk menyendiri, berpikir, dan merenung. Mereka selalu melakukan introspeksi, mengetahui dan mengelola minat dan perasaan, mengetahui kekuatan dan kelemahan diri, pandai memotivasi diri, mematok tujuan diri yang realistis, dan memahami. Anak-anak yang cerdas intrapersonal sering tampak sebagai sosok anak yang pendiam



28



Ibid., h. 1.13.



45



dan mandiri. Kecerdasan intrapersonal anak dapat diketahui melalui observasi yang cukup cermat terhadap: 1) Kecenderungan anak untuk diam (pendiam), tetapi mampu melaksanakan tugas dengan baik, cermat; 2) Sikap dan kemauan yang kuat, tidak mudah putus asa, kadang-kadang terlihat keras; 3) Sikap percaya diri, tidak takut tantangan, tidak pemalu 4) Kecenderungan



anak



untuk



bekerja



sendiri,



mandiri,



senang



melaksanakan kegiatan seorang diri, tidak suka diganggu 5) Kemampuan mengekspresikan perasaan dan keinginan diri dengan baik. Anak-anak yang cerdas secara intrapersonal belajar sesuatu melalui diri mereka sendiri. Mereka mencermati apa yang mereka alami dan rasakan. Awal masa anak-anak merupakan saat yang menentukan bagi perkembangan intrapersonal. Anak-anak yang memperoleh kasih sayang, pengakuan, dorongan, dan tokoh panutan cenderung mampu mengembangkan konsep diri yang positif dan mampu membentuk citra diri sejati. Kecerdasan intrapersonal dirangsang melalui tugas, kepercayaan, dan pengakuan. Anak perlu diberi tugas yang harus dikerjakan sendiri, dipercaya untuk berkreasi dan mencari solusi, dan didorong untuk mandiri. Dorongan tumbuhnya kecerdasan intrapersonal harus disertai dengan sikap positif para guru dalam menilai setiap perbedaan individu. Pujian yang tulus, sikap tidak mencela, dukungan yang positif, menghargai pilihan anak, serta kemauan



46



mendengarkan cerita dan ide-ide anak merupakan stimulasi yang sesuai untuk kecerdasan intrapersonal ini.29 f.



Sound Smart (Kecerdasan Musik) Kecerdasan



ini



ditandai



dengan



kemampuan



menciptakan



dan



mengapresiasi irama pola titi nada, dan warna nada; juga kemampuan mengapresiasi bentuk-bentuk ekspresi musikal. Seseorang yang optimal dalam



kecerdasan



ini



cenderung



menyukai



dan



efektif



dalam



hal



menyusun/mengarang melodi dan lirik, bernyanyi kecil, menyanyi dan bersiul. Mereka juga mudah mengenal ritme, mudah belajar/mengingat irama dan lirik, menyukai mendengarkan dan mengapresiasi musik, memainkan instrumen musik, mengenali bunyi instrumen, mampu membaca musik, mengetukkan tangan dan kaki, serta memahami struktur musik. Informasi mengenai kecerdasan musikal pada anak-anak dapat diperoleH melalui observasi terhadap: 1) Kesenangan dan kemampuan mereka menyanyi dan menghafal lagu-lagu, bersiul, bersenandung, dan mengetuk-ngetuk benda untuk membuat bunyi berirama; 2) Kepekaan dan kemampuan mereka menangkap nada-nada, irama, dan kemampuan menyesuaikan suara dengan nada yang mengiringi;



29



Ibid., h. 1.20-1.21.



47



3) Kecenderungan musikal saat anak berbicara dan kemerduan suara mereka pada saat menyanyi; 4) Kesenangan dan kemampuan mereka memainkan alat musik; 5) Kemampuan mereka mengenali berbagai jenis suara di sekitarnya, mulai dari suara manusia, mesin, hewan, dan suara-suara khas lainnya. Hampir semua anak memiliki kecerdasan ini, dan cara belajar yang terbaik untuk mereka adalah dengan nada, irama, dan melodi. Oleh karena itu, guru perlu memfasilitasi anak agar dapat berekspresi secara musical melalui salam berirama, deklamasi, menyanyi bersama, tepuk bernada, dan, bila mungkin, orkestra kaleng bekas, dan latihan membedakan bunyi dan suara di sekitarnya.30 g. Nature Smart (Kecerdasan Mempelajari Alam) Kecerdasan ini ditandai dengan keahlian membedakan anggota-anggota suatu spesies, mengenali eksistensi spesies lain, dan memetakan hubungan antara beberapa spesies, baik secara formal maupun informal. Seseorang yang optimal kecerdasan naturalisnya cenderung menyukai dan efektif dalam menganalisis persamaan dan perbedaan, menyukai tumbuhan dan hewan, mengklasifikasi flora dan fauna, mengoleksi flora dan fauna, menemukan pola dalam alam, mengidentifikasi pola dalam alam, melihat sesuatu dalam alam secara detil, meramal cuaca, menjaga lingkungan, mengenali berbagai



30



Ibid., h. 1.15-1.16.



48



spesies, dan memahami ketergantungan pada lingkungan. Anak yang cenderung cerdas dalam naturalis tampak sebagai penyayang binatang dan tumbuhan, serta peka terhadap alam. Kecerdasan mereka dapat diidentifikasi melalui observasi terhadap: 1) Kesenangan



mereka



terhadap



tumbuhan,



bunga-bungaan,



dan



kecenderungan untuk merawat tanaman, tampak “seolah-olah berbicara” dengan tumbuhan; 2) Sikap mereka yang sayang terhadap hewan piaraan (membelai, memberi makan-minum, mengoleksi binatang atau gambar atau miniatur), 3) Kemampuan mereka dalam mengenal dan menghafal nama-nama/jenis binatang dan tumbuhan. Mereka hafal nama-nama ikan, nama-nama burung, dan mengenali tumbuhan; 4) Kesukaan anak melihat gambar binatang dan hewan, serta sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentangnya. Apabila sudah dapat membaca, anak sering memilih bacaan tentang hewan atau tumbuhan untuk dibaca; 5) Kepekaan terhadap bentuk, tekstur, dan ciri lain dari unsur alam, seperti daun-daunan, bunga-bungaan, awan, batu-batuan; 6) Kesenangan terhadap alam, menyukai kegiatan di alam terbuka, seperti pantai, tanah lapang, kebun, sungai, sawah, dan dalam alam terbatas menghabiskan waktu di dekat kolam, dekat aquarium.



49



Anak-anak dengan kecerdasan naturalis tinggi cenderung tidak takut memegang-megang serangga dan berada di dekat binatang. Sebagian besar anak berusaha memenuhi rasa ingin tahunya dengan cara bereksplorasi di alam terbuka, mereka mencari cacing di sampah, membongkar sarang semut, menelusuri sungai. Pendidik sering menilai kegiatan mereka sebagai kenakalan dan menjijikkan. Larangan dan hukuman pun sering diberikan pada anak-anak yang menonjol dalam kecerdasan naturalis. Pendidik yang cerdas akan membawa anak-anak didik mereka ke alam terbuka, menyediakan materi-materi yang tepat untuk mempertimbangkan kecerdasan naturalis, seperti membiasakan menyiram tanaman, menciptakan permainan yang berkaitan dengan unsur-unsur alam, seperti membandingkan berbagai bentuk daun dan bunga, mengamati perbedaan tekstur pasir, tanah, dan kerikil, mengoleksi biji-bijian, dan menirukan karakteristik binatang tertentu. Sebaiknya, buku-buku dan VCD yang memuat seluk-beluk hewan, alam, dan tumbuhan dengan gambar-gambar yang bagus dan menarik perlu di pajang di depan anak. Dalam kadar kecil, kecerdasan naturalis dapat diwujudkan dalam kegiatan investigasi, eksperimen, menemukan elemen, fenomena alam, pola cuaca, kondisi yang mengubah karakteristik sebuah benda, misalnya es mencair ketika terkena panas matahari. Kecerdasan naturalis memiliki peran yang besar dalam kehidupan. Pengetahuan anak mengenai alam, hewan, dan tumbuh-tumbuhan dapat mengantarkan mereka ke berbagai profesi strategis,



50



seperti dokter hewan, insinyur pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, ahli farmasi, ahli geodesi, geografi, dan ahli lingkungan.31 h. Number Smart (Kecerdasan Logika – Matematika) Kecerdasan ini ditandai dengan kepekaan pada pola-pola logis dan memiliki kemampuan mencerna pola-pola tersebut, termasuk juga numerik serta mampu mengolah alur pemikiran yang panjang. Seseorang yang memiliki kecerdasan ini cenderung menyukai dan efektif dalam hal: menghitung dan menganalisis



hitungan,



menemukan



fungsi-fungsi



dan



hubungan,



memperkirakan, memprediksi, bereksperimen, mencari jalan keluar yang logis, menemukan adanya pola, induksi dan deduksi, mengorganisasikan/membuat garis besar, membuat langkah-langkah, bermain permainan yang perlu strategi, berpikir abstrak dan menggunakan simbol abstrak, dan menggunakan algoritma. Informasi mengenai kecerdasan logis-matematis anak-anak dapat diperoleh melalui observasi terhadap: 1) Kesenangan mereka terhadap angka-angka, mampu membaca angka, dan berhitung. Anak yang cerdas dalam logis-matematis cepat dan efektif dalam menjumlah, mengurangi, dan membaca simbol angka; 2) Kemahiran mereka berpikir dan menggunakan logika. Anak yang cerdas logis-matematis mampu memecahkan masalah secara logis, cepat



31



Ibid., h. 1.18-1.20.



51



memahami permasalahan, mampu menelusuri sebab dan akibat suatu masalah; 3) Kesukaan mereka bertanya dan selalu ingin tahu; 4) Kecenderungan mereka untuk memanipulasi lingkungan dan menggunakan strategi coba-ralat, serta menduga-duga dan mengujinya; 5) Kecenderungan mereka untuk bermain konstruktif, bermain dengan polapola, permainan strategi, menikmati permainan dengan komputer atau kalkulator; 6) Kecenderungan untuk menyusun sesuatu dalam kategori atau hierarki seperti urutan besar ke kecil, panjang ke pendek, dan mengklasifikasi benda-benda yang memiliki sifat sama. Cara belajar terbaik anak-anak yang cerdas logis-matematis adalah melalui



angka,



berpikir,



bertanya,



mencoba,



menduga,



menghitung,



menimbang, mengurutkan, mengklasifikasi, dan mengonstruksi. Oleh karena itu, sediakan alat-alat bermain konstruktif, puaskan rasa ingin tahu anak, dan beri kesempatan anak untuk bertanya, menduga, dan mengujinya. 32 i.



Spiritual Smart (Kecerdasan Spiritual) Zohar dan Marshal mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai



kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks



32



Ibid., h. 1.13-1.14.



52



makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dari pada yang lain.33 Lima karakteristik orang yang cerdas secara spiritual: 1) Kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material. 2) Kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak. 3) Kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari. 4) Kemampuan



untuk



menggunakan



sumber-sumber



spiritual



untuk



menyelesaikan masalah. 5) Kemampuan untuk berbuat baik. Dua karakteristik yang pertama sering disebut sebagai komponen inti kecerdasan spiritual. Anak yang merasakan kehadiran Tuhan atau makhluk ruhaniyah di sekitarnya mengalami transendensi fisikal dan material. Ia



memasuki dunia spiritual. Ia mencapai kesadaran kosmis yang



menggabungkan dia dengan seluruh alam semesta. Ia merasa bahwa alamnya tidak terbatas pada apa yang disaksikan dengan alat-alat indrianya. Ciri yang ketiga yaitu sanktifikasi pengalaman sehari-hari akan terjadi ketika kita meletakkan pekerjaan biasa dalam tujuan yang agung. Misalnya: Seorang



wartawan



bertemu



dengan



dua



orang



pekerja



yang



sedang mengangkut batu-bata. Salah seorang di antara mereka bekerja



33



Zohar dan Ian Marshal, SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spritual dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan (Bandung: Mizan, 2001), h. 4.



53



dengan muka cemberut, masam, dan tampak kelelahan. Kawannya justru bekerja dengan ceria, gembira, penuh semangat. Ia tampak tidak kecapaian. Kepada keduanya ditanyakan pertanyaan yang sama, “Apa yang sedang Anda kerjakan? “Yang cemberut menjawab, “Saya sedang menumpuk batu.”Yang ceria berkata, “Saya sedang membangun masjid!” Yang kedua telah mengangkat pekerjaan “menumpuk bata” pada dataran makna yang lebih luhur. Ia telah melakukan sanktifikasi. Orang yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup hanya secara rasional atau emosional saja. Ia menghubungkannya dengan makna



kehidupan secara spiritual yaitu melakukan hubungan dengan



pengatur kehidupan. Contoh: Seorang anak diberitahu bahwa orang tuanya tidak akan sanggup menyekolahkannya ke Jerman, ia tidak putus asa. Ia yakin bahwa kalau orang itu bersungguh-sungguh dan minta pertolongan kepada Tuhan, ia akan diberi jalan. Tetapi anak tersebut juga menampakkan karakteristik yang ke lima memiliki rasa kasih yang tinggi pada sesama makhluk. Tuhan. Memberi maaf, bersyukur atau mengungkapkan terimakasih,



bersikap



rendah



hati,



menunjukkan kasih sayang dan kearifan, hanyalah sebagian dari kebajikan.



54



D.



Prinsip Pokok Developmentally Approriate Practice (DAP) Berdasarkan teori-teori di atas walaupun masih banyak teori pendukung



DAP yang tidak disajikan – maka prinsip-prinsip teoritis dari DAP serta bagaimana seharusnya metode pendidikan merespon kebutuhan anak tersebut. Prinsip-prinsip ini didasarkan pada yang dikembangkan oleh Bredekamp et. al., dalam Megawangi sebagai berikut.



Tabel 1 Prinsip dan Praktek DAP34 Prinsip



Praktek



Belajar paling efektif bagi DAP memperhatikan kebutuhan biologis anak. anak-anak adalah ketika Pada usia TK dan SD anak-anak memerlukan kebutuhan fisiknya sudah aktivitas fisik yang membuat mereka aktif, terpenuhi,



dan



ketika sehingga



dapat



membantu



pembentukan



secara psikologis mereka kepercayaan dirinya. Contohnya, anak tidak merasa nyaman



aman



dan disuruh duduk, menulis, dan mendengarkan ceramah guru dalam waktu yang lama. DAP memberikan peluang bagi anak untuk aktif, bermain, waktu tenang, belajar, dan beristirahat secara seimbang. Anak-anak akan lebih cepat



34



Ibid., h. 21



55



mempelajari



suatu



konsep



dengan



keterlibatannnya secara aktif, misalnya bekerja dengan objek nyata/tiruannya atau kerja tangan, daripada hanya disuruh menedengarkan guru. Lingkungan belajar juga harus aman sehingga semua anak merasa aman dan diterima oleh lingkungannya. Anak-anak membangun Pengetahuan anak yang dibangun merupakan pengetahuannya



hasil dari interaksi dinamis anatara individu, dengan lingkungan fisik dan sosialnya. Artinya, anak



mendapatkan



pengetahuan



melalui



eksplorasi dan eksperimen aktif. Salah satu eksperimen yang berharga adalah membuat kesalahan yang konstruktif yang merupakan hal yang penting bagi perkembangan mentalnya, yaitu belajar dari kesalahan. Anak-anak perlu membangun hipotesisnya dengan mengadakan percobaan dan berbagai bentuk manipulasi, mengamati apa yang terjadi, membandingkan hasilnya, mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan mencari jawabannya.



56



Anak-anak



belajar Contoh terpenting adalah hubungan antara



melalui interaksi sosial orang tua dan anak. Para guru akan mendorong dengan



para



orang agar



hubungan



dapat



terjalin



lebih



kuat,



dewasa di sekitarnya dan termasuk dengan kawan sebayanya dan orang teman-temannya.



dewasa lainnya, sehingga proses pembelajaran akan lebih efektif. Tugas guru adalah memberi dukungan, motivasi,



mengarahkan, sehingga



berinteraksi



dan



dan



anaka



menjadi



memberikan



dapat



belajar



individu



mandiri.



Kurikulum DAP akan memberikan kesempatan bagi anak untuk mengerjakan suatu pekerjaan berkelompok, sehingga anak dapat belajar berkomunikasi dan berinteraksi dengan kawankawannya. Termasuk juga diskusi di kelas yang dipandu langsung oleh gurunya. Anak-anak melalui bermain



belajar Bermain dapat memberikan kesempatan pada anak



untuk



berekspresi,



bereksperimen,



memanipulasi, yang semuanya adalah hal yang paling penting untuk membangun pengetahuan dan



membangun



kemampuan



berpikir



representative. Ketika bermain, anak-anak dapat



57



belajar



mengkaji



dan



meningkatkan



daya



pikirnya melalui respon yang diperoleh dari lingkungan



fisik



dan



sosialnya.



Melalui



bermainlah anak-anak dapat mengembangkan daya imajinasi dan kreativitasnya. Pada usia SD permainan anak-anak menjadi lebih berorientasi pada



peraturan



dan



dapat



meningkatkan



kemandirian dan kerja sama, sehingga dapat mendukung perkembangan sosial, emosi, dan intelektualnya. Ketertarikan



anak-anak Anak-anak membutuhkan pengalaman yang



terhadap sesuatu, dan mempunyai arti penting bagi mereka. Dalam rasa ingin tahunya yang kelas yang sesuai dengan DAP, para guru akan tinggi



dan



belajar anak.



memotivasi mencari cara dan strategi untuk membuat anak tertarik dan memberikan peluang bagi anak untuk memecahkan persoalan secara bersama. Guru akan mencari berbagai aktivitas dan kegiatan yang dapat menarik minat anak, sehingga motivasi anak untuk belajar meningkat. Hal ini akan menumbuhkan kecintaan anak untuk belajar, rasa ingin tahu, perhatian, dan motivasi



58



dari dalam diri anak untuk terus mencapai pengetahuan.



Metode pembelajaran yang sejalan dengan konsep DAP adalah metode pembelajaran yang menyenangkan bagi anak. Metode ini, selain sesuai dengan tahapan perkembangan anak, juga memperhatikan keunikan setiap anak.35 Metode pembelajaran dengan konsep DAP dianggap dapat mempertahankan, bahkan meningkatkan gairah belajar anak -anak. Konsep DAP memperlakukan anak sebagai individu yang utuh (the whole child) yang melibatkan empat komponen, yaitu pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), sifat alamiah (dispositions), dan perasaan (feelings); karena pikiran, emosi, imajinasi, dan sifat alamiah anak bekerja secara bersamaan dan saling berhubungan. Dengan kata lain, metode pembelajaran yang baik adalah metode pembelajaran yang dapat melibatkan semua aspek ini secara bersamaan, sehingga perkembangan intelektual, sosial, dan karakter anak dapat terbentuk secara simultan. Telah



disebutkan



bahwa



pendidikan



di sekolah



seharusnya



bertujuan untuk membangun manusia holistik.36 Agar tujuan itu tercapai, maka prinsip pendidikan harus mengacu kepada prinsip-prinsip pembelajaran yang



35



Abdul Azis Ahyadi, Psikologi Agama (Bandung Sinar Baru, 1991), h. 68 Uus Ruswandi, “Orientasi Pendidikan Umum dan Pembinaaan akhlak Remaja”,dalam Tedi Priatna (Ed.),Cakrawala Pemikiraan Pendidikan Islam (Bandung: Mimbar Pustaka, 2014 ), h. 45. 36



59



dapat mengarahkan proses pembelajaran secara efektif. Berdasarkan hasil studi pustaka dari berbagai sumber. Maka dapat disimpulkan bahwa ada tiga prinsip antara lain: 1.



Pembelajaran memerlukan pastisipasi aktif para siswa (belajar aktif). Motivasi



belajar



akan



meningkat



kalau



siswa



terlibat



aktif



(mempraktekan) dalam mempelajari hal-hal yang konkrit, bermakna, dan relevan dalam konteks kehidupannya. 2.



Setiap anak belajar dengan cara dan kecepatan yang berbeda Anakanak dapat belajar dengan efektif ketika mereka dalam suasana kelas yang kondusif (conducive learning community), yaitu suasana yang memberikan rasa aman dan penghargaan, tanpa ancaman, dan memberikan semangat.



3.



Prinsip pembelajaran tersebut didukung oleh beberapa hasil riset otak yang mempunyai implikasi terhadap pendidikan. National Research Council dalam Megawangi, mengumpulkan dan mengkompilasikan berbagai hasil riset otak yang harus menjadi acuan bagi para pendidik agar proses pendidikan dapat berjalan dengan efektif.37 Beberapa hasil riset tersebut adalah :



1.



Proses belajar melibatkan seluruh dimensi manusia (tubuh, pikiran,dan emosi)



37



Megawangi, R. dkk., Op. Cit., h. 25



60



2.



Faktor emosi sangat berperan dalam mempengaruhi system limbic otak yang dikenal sebagai otak emosi. Sistem limbik ini berperan dalam memfilter segala macam persepsi yang masuk. Apabila persepsi yang masuk berupa ancaman, ketakutan, kesedihan, maka bagian batang otak yang merupakan otak reptil (binatang) akan lebih berperan sehingga seseorang akan berada dalam modus bertahan atau menyelamatkan diri. Suasana di kelas tradisional yang kaku akan menurunkan fungsi otak menuju batang otak, sehingga anak tidak bisa berpikir efektif. Sedangkan dalam kondisi yang menyenangkan, aman, dan nyaman akan mengaktifkan bagian neo-cortex (otak berpikir), sehingga dapat mengoptimalkan proses belajar dan meningkatkan kepercayaan diri anak.



3.



Informasi yang menarik dan bermakna akan disimpan lebih lama dalam memori, sedangkan informasi yang membosankan dan tidak relevan, akan mudah dilupakan.



4.



Kaitan erat antara aspek fisiologi, emosi dan daya ingat mempunyai implikasi penting bagi proses belajar, yaitu : suasana belajar yang menyenangkan, melibatkan seluruh aspek sensori manusia (pancaindera), relevan atau kontekstual, dan yang terpenting, proses belajar harus memberikan rasa kebahagiaan.



61



5.



Manusia akan lebih mudah mengerti kalau terlibat secara langsung dalam mengerjakannya, atau dengan ingatan spatial (bentuk atau gambar). Terkait dengan penelitian disekolah dasar maka terdapat beberapa



prinsip pembelajaran efektif berikut: 1.



Berangkat dari apa yang dimiliki anak



2.



Belajar harus menantang pemahaman anak



3.



Belajar dilakukan sambil bermain



4.



Menggunakan alam sebagai sarana pembelajaran



5.



Belajar dilakukan melalui sensorinya



6.



Belajar sambil melakukan.



E.



Tahap-Tahap Pembelajaran Developmentally Approriate Practice (DAP) Dalam pembelajaran dengan menggunakan DAP maka, sebagai guru



kita akan melihat beberapa kegiatan yang akan dilaksanakan pada proses pembelajaran. Prinsip-prinsip di atas telah memberikan dampak terhadap



62



perubahan metode belajar yang sejalan dengan konsep pendidikan yang patut. Adapun tahapan-tahapannya adalah sebagai berikut:38 1.



Menciptakan lingkungan belajar yang dapat membuat anak asyik dalam pengalaman belajar, yaitu dengan melibatkan aspek fisiologi anak. Misalnya dengan games (kegiatan yang menyenangkan) akan melibatkan seluruh aspek fisik, emosi, sosial dan kognitif anak secara bersamaan (simultan).



2.



Menciptakan kurikulum yang dapat menimbulkan minat anak dan kontekstual, sehingga anak menangkap makna atau dari apa yang dipelajarinya



3.



Menciptakan suasana belajar yang bebas tekanan dan ancaman, tetapi tetap menantang bagi anak untuk mencari tahu lebih banyak



4.



Berikan mata pelajaran dengan melibatkan pengalaman kongkrit, terutama dalam pemecahan masalah, karena proses belajar paling efektif bukan dengan ceramah, tetapi dengan memberikan pengalaman nyata.



Oursani, “Paradigma Baru dalam Mendidik Anak”, diakses dari http://Oursani.com/31/05/2008/Index.php/Terbaru/Paradigma_Baru_Dalam_Mendidik_Anak _html pada tanggal 13 Mei 2017 pukul 9:27. 38



63



F.



Pelaksanaan Developmentally Approriate Practice (DAP) Konsep pembelajaran dengan DAP dapat diterapkan di TK/PAUD



bahkan di SMP atau di SMA tergantung dengan kebutuhan dari guru dan karakter perkembangan peserta didik. Menurut Bejamin Fraklin39, proses kegiatan aktivitas dan praktek dari konsep DAP adalah sebagai berikut : 1.



Based on what we know about how young children learn



2.



Relevant to children’s life experiences



3.



Based on the children’s current knowledge and abilities



4.



Respectful of cultural and individual differences and learning styles



5.



Responsive to the interests and needs of the children



6.



Focused on the learning process, not the end product



7.



Thought provoking - stimulating and challenging the minds of young children



8.



Based on the philosophy that children are competent and trustworthy, and can make good decisions if given the opportunity and practice NAEYC dalam Bredekamp, memaparkan petunjuk praktis pelaksanaan



DAP. Pelaksaan DAP meliputi komponen-komponen, yaitu: kurikulum, interaksi anak dan orang dewasa, hubungan antara program sekolah dan rumah, serta evaluasi perkembangan anak.40



39 40



Franklin, Benjamin. Developmentally Appropriate Practices with Young Children. h. 4 Sue Bredekamp, Op. Cit., h. 53



64



1.



Kurikulum Kurikulum yang sesuai DAP untuk anak usia dini harus sesuai atau patut



dengan rentang usia anak dalam kelompoknya serta memperhatikan perbedaan kebutuha, minat, tingkat perkembangan anak. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam kurikulum DAP adalah sebagai berikut. a.



Kurikulum harus dapat mencakup seluruh dimensi perkembangan anak seperti fisik, emosi, sosial, dan kognitif melalui pendekatan terpadu.



b.



Kurikulum harus irencanakan berdasarkan observasi guru dan laporan dari setiap minat dan kemajuan perkembangan anak.



c.



Perencanaan kurikulum harus memperhatikan proses pembelajaran yang aktif. Guru harus mempersiapkan lingkungan belajar untuk belajar anak melalui kegiatan ekspliorasi dan interaksi dengan orang dewasa, anak yang lain dan alat belajar. - Aktivitas belajar dan alat belajar harus konkrit, nyata, dan relevan dengan dunia/kehidupan anak.



d.



Program pendidikan harus memenuhi ketertarikan anak walalpun pada halhal yang tahapan kronologis anak. Guru atau orang tua harus mempersiapkan untuk memenuhi kebutuhan anak yang memiliki minat dan dan kemampuan di luar perkembangan yang normal.



e.



Guru harus menyajikan berbagai aktivitas yang beragam dan alat-alat belajar. Guru meningkatkan tingkat kesulitan, kompleksitas, dan aktivitas yang lebih menantang bagi anak sesuai dengan pemahaman dan keterampilan anak.



65



f.



Orang dewasa (guru dan orang tua) harus memberi peluang kepada siswa untuk memilih berbagai macam aktivitas, alat belajar, dan perlengkapan serta waktu dalam kegiatan ekplorasi yang aktif.



g.



Guru harus memberikan kepada anak berbagai usia pengalaman, alat belajar, dan perlengkapan yang berbasis multikultural dan tidak gender.



h.



Orang dewasa harus memberikan keseimbangan antara istirahat dan kegiatan aktif pada anak melalui program harian.



i.



Guru harus menyediakan kegiatan di luar kelas bagia anak berbagai tingkatan usia.



2.



Interaksi Orang Tua, Guru dan Anak Pelaksanaan DAP pada program pendidikan anak usia dini melihat



pentingnya interaksi antara guru/orang tua dan anak. Interaksi yang sesuai/patut adalah interaksi yang didasarkan atas pemahaman orang tua/guru serta prilaku yang diharapkan dari anak dengan memperhatikan perbedaan individu. Berikut ini adalah prinsip interaksi yang diharapkan dalam DAP untuk dilakukan oleh orang tua dan guru. a.



Merespon dengan cepat dan langsung terhadap kebutuhan, keinginan, dan pesan anak dan melakukannya sesuai dengan berbedaan gaya dan kemampuan anak.



b.



Memberikan berbagai keempatan pada anak untuk berkomunikasi.



66



c.



Mendorong anak untuk dapat menyelesaian tugas dengan sukses, yaitu dengan memberikan arahan, perhatian yang fokus, dan kata-kata yang memberikan semangat.



d.



Mengetahui tanda-tanda anak yang mengalami stres, dan mengetahui bagaimana mengatasinya.



e.



Menumbuhkan



kepercayaan



diri



anak



dengan



menghormati,



meneriman, dan memberikan rasa aman kepada mereka. f.



Menumbuhkan



kemampuan



mengontrol



diri



anak



dengan



memperlakukan mereka secara hormat. g.



Memberikan pengawasan dan perlindungan kepada anak-anak yang berada di bawah pengawasannya.



3.



Hubungan antara Rumah dan Sekolah dan Program Untuk menghasilkan suatu individu anak yang berprestasi dari program



pendidikan, guru harus bekerja secara partnership dengan keluarga dan melakukan



komunikasi



secara



rutin



tentang



kemajuan



belajar



dan



perkembangan anak. a.



Orang tua mempunyai hak dan kewajiban untuk turut serta dalam mengambil keputusan tentang pengasuhan dan pendidikan anakanaknya.



Orang



berpartisipasi.



tua



harus



didorong



untuk



mengamati



dan



67



b.



Orang tua dan guru harus berkomunikasi tentang keadaan anak sehingga pendidik mengerti latar belakang masing-masing anak yang dilaksanakan dalam suatu pertemuan khusus.



c.



Guru, keluarga, agensi, program, dan konsultan yang memiliki tanggung jawab terhadap pendidikan anak melakukan pertemuan untuk saling tukar informasi.



4.



Evaluasi Perkembangan Anak Penilaian terhadap perkembangan individu anak dan belajarnya adalah



penting dalam perencanaan dan penerapan DAP. Evaluasi anak usia dini harus dilakukan serara hati-hati, karena dapat mendiskriminasikan anak. Untuk mengevaluasi anak usia dini sebaiknya memakai data observasi yang dilakukan guru dan sifatnya uraian deskriptif. a.



Mengambil keputusan yang dapat berdampak besar terhadap kehidpan anak, seperti penerimaan murid baru, penempatan kelas, kenaikan kelas, tidak boleh hanya berdasarkan satu jenis alat penilaian saja, tetapi juga harus mempertimbangkan informasi lain yang relevan, terutama pengatan yang dilakukan oleh guru dan orang tuanya. Diperlukan juga sistem evaluasi untuk mengidentifikasi anak-anak berkebutuhann khusus, atau anak-anak yang mempunyai resiko tinggi



68



sehingga pendidikan dapat merencanakan pembelajaran yang sesuai dengan mereka, dan merekomendasikan kepada orang tua. b.



Mengukur kemajuan anak pada usia dini dengan menggunakan tes standarisasi dan masing-masing anak dibandingkan hasil tesnya dengan yang lain, masih dipertanyakan kegunaannya. Sebaiknya membandingkan lihat teori menurut Bronfenbenner. Berdasarkan hal diatas maka dapat dijabarkan tentang salah satu pelaksanaan penggunakan DAP di TK/PAUD dan di SD:



a.



TK/PAUD Di masa ini menurur Erikson dikatakan sebagai tahap kelamin-



lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai 5 atau 6 tahun, dan tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan. Masa-masa bermain merupakan masa di mana seorang anak ingin belajar dan mampu belajar terhadap tantangan dunia luar, serta mempelajari kemampuan-kemampuan baru juga merasa memiliki tujuan. Dikarenakan sikap inisiatif merupakan usaha untuk menjadikan sesuatu yang belum nyata menjadi nyata, sehingga pada usia ini orang tua dapat mengasuh anaknya dengan cara mendorong anak untuk mewujudkan gagasan dan ide-idenya. Akan tetapi, semuanya akan terbalik apabila tujuan dari anak pada masa



69



genital ini mengalami hambatan karena dapat mengembangkan suatu sifat yang berdampak kurang baik bagi dirinya yaitu merasa berdosa dan pada klimaksnya mereka seringkali akan merasa bersalah atau malah akan mengembangkan sikap menyalahkan diri sendiri atas apa yang mereka rasakan dan lakukan. Berdasarkan hal tersebut maka beberapa hal yang dapat kita lakukan dalam menerapkan pembelajaran dengan menggunakan DAP adalah sebagai berikut : 1)



Matematika : Pada usia ini anak dapat dikenalkan dengan konsep berhitung dengan menggunakan benda konkrit yaitu menggunakan benda-beda yang ada di sekitar mereka, seperti misalnya menghitung jumlah kursi, jumlah meja, jumlah teman-teman kelas mereka, jumlah pulpen atau pensil.



2)



Menulis : Guru dapat membantu anak untuk mengenal huruf-huruf pada benda disekitar mereka. Misalnya mengenalkan huruf awal pada buahbuahan, huruf awal pada nama mereka dan benda-benda yang ada disekitar mereka.



3)



Menggambar : Anak dibiarkan bebas berimajinasi dan bereksplorasi saat ingin menggambar atau mewarnai sesuatu tanpa dibatasi.



4)



Sains : Guru dapat mengenalkan tentang matahari, bumi, dan planet lainnya dengan menggunakan gambar dan objek. Anak juga diperkenalkan dengan kegunaan benda-benda langit tersebut secara sederhana.



70



Secara sederhana dibawah ini dijelaskan contoh pelaksanaan DAP di TK/PAUD. Tabel 2 Pelaksanaan DAP Di TK/PAUD. Bidang Matematika



Cara yang Patut



Anak memahami konsep Anak diajarkan sekedar menghafal berhitung



dengan nama



menggunakan



angka-angka



tanpa



benda memahami konsep bilangan yang



konkrit



Menulis



Cara yang Tidak Patut



disebutkan



Anak



dibiarkan Anak



bereksplorasi



belajar



menulis



dengan



sendiri engikuti titik yang sudah dibuat



mencoba menulis hurup- oleh



guru,



anak



juga



tidak



hurup atau kata-kata yang memahami apa yang ia tulis. ingin ia buat. Guru hanya memberikan



contoh



(kalau diperlukan). Membaca



Anak



mengenal



hurup Anak diminta menghafal abjad dan



lewat tulisan-tulisan yang menuliskannya di buku dengan ada



pada



bendabenda jumlah tertentu



yang ada disekitarnya



71



Menggambar Anak



dibiarkan



berimajinasi



bebas Anak



menggambar



harus



dan mengikuti contoh yang diberikan



bereksplorasi saat ingin oleh guru menggambar



atau



mewarnai sesuatu Sains



Guru



mengajarkan Guru



mengajarkan



tentang



tentang matahari, bumi matahari, bumi dan planet lainya dan planet lainnta dengan dengan menggunakan



bercerita



tanta



gambdar menggunakan benda konkrit yang



dan objek. Anak juga dapat membantu anak memahami diperkenalkan



dengan sesuatu



kegunaan benda benda langit tersebut



b.



Sekolah Dasar Secara sederhana dibawah ini dijelaskan contoh pelaksanaan DAP di



Sekolah Dasar



72



Tabel 3 Pelaksanaan DAP Di Sekolah Dasar Bidang



Cara yang Patut



Cara yang Tidak Patut



Matematika Anak dikenalkan konsep Anak diberikan lembar kerja menjumlah



atau yang berupa



mengurang



angka



tanpa



dengan diberikan benda konkritnya.



menggunakan objek biji, stik, tusuk gigi, kancing, dan



sebagainya



(benda



konkrit) Matematika



dihubungkan Matematika diajarkan sebagai



dengan mata pelajaran lain mata



pelajaran



terpisah



atau pengalaman konkrit dengan mata pelajaran yang anak sehingga anak dapat lain sehingga anak tidak dapat mengimpelemntasikannya



mengimplementasikannya



dalam kehidupan sehari- dalam kehidupan sehari-hari hari



73



IPS



Kegiatan



pembelajaran Kegiatan



memberi



kesempatan berbentuk



pada



anak



hafalan



secara



untuk kognitif dan menyelesaikan LK



bereksplorasi



dan yang



beriskusi.



Kegitan



pembelajaran



ada



dalam



buku



penuntun IPS.



IPS



dengan



dipadukan Kegiatan



pembelajaran



pelajaran- diberikan secara terpisah dan



pelajaran lain seperti seni, terstruktur tanpa dipadukan musik,



menari,



drama, dengan pelajaran lain.



bahasa, keterampilan dan permainan yang relevan.



IPA



Kegiatan IPA dirancang Anak



hanya



diminta



dalam bentuk percobaan memperhatikan dan guru yang yang



dapat



dilakukan mendemontsrasikan



sendiri oleh anak (bukan anak



melihat



mendemontrasikan).



guru



BAB III PENUTUP



A.



Kesimpulan Developmentally Appropriate Practice adalah cara mengajar yang tepat,



yang sesuai dengan usia anak-anak, pengalaman, kemampuan, dan minat, dan yang membantu mereka mencapai tujuan yang menantang dan dapat dicapai. Dasar-dasar praktik sesuai dengan tahapan perkembangan, seperti yang didefinisikan saat ini, terletak pada sejarah pendidikan anak usia dini. Hal yang mendasar adalah premis bahwa mengajar anak muda anak-anak harus didasarkan pada apa yang diketahui tentang bagaimana mereka berkembang dan belajar secara optimal. DAP atau dalam terjemahan bebas Bahasa Indonesia adalah pendidikan yang patut dan menyenangkan sesuai dengan tahapan perkembangan anak, mencerminkan proses pembelajaran yang bersifat interaktif. Konsep DAP yang dikembangkan melalui baragam kegiatan yang sesuai dengan tahapan perkembangan anak menyebabkan anak memiliki pengalaman yang kongkrit serta menyenangkan saat terjadinya proses belajar, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran (awareness) pada anak. Konsep dari DAP memiliki tiga dimensi, yiatu: patut menurut usia (age 75



76



appropriate) dan patut menurut anak sebagai individu yang unik (individual appropriate), patut menurut lingkungan dan budaya. Aspek perkembangan kognitif, peserta didik SD kelas rendah berada pada fase operasi kongkrit. Pada fase ini anak baru mulai mengembangkan kemampuan berfikir dan konsep dirinya. Sedangkan dari aspek perkembangan moral, peserta didik SD kelas rendah berada pada fase prakonvensional, dimana pada fase ini peserta didik masih menjadi anak yang penurut, penerima, dan baik. Selain itu, anak pada fase ini cendrung melakukan sesuatu berdasarkan upah dan hukuman (reward and punishment) yang akan diberikan. Adapun dasar teori perkembangan pada konsep DAP antara lain: perkembangan kognitif (Jean Piaget), teori perkembangan emosi (Erik Erikson), teori sosio kultural (Vigotsky), teori perkembangan moral (Kohlberg dan Thomas Lickona), teori ekologi dan konstektual (Bronfenbrenner), dan multiple intellegences (Howard Gardner) Prinsip pokok Developmentally Approriate Practice (DAP) yaitu: 1) berangkat dari apa yang dimiliki anak, 2) belajar harus menantang pemahaman anak, 3) belajar dilakukan sambil bermain, 4) menggunakan alam sebagai sarana pembelajaran, 5) belajar dilakukan melalui sensorinya, dan 6) belajar sambil melakukan. Tahap-tahap pembelajaran Developmentally Approriate Practice (DAP) adalah sebagai berikut:



77



1.



Menciptakan lingkungan belajar yang dapat membuat anak asyik dalam pengalaman belajar, yaitu dengan melibatkan aspek fisiologi anak. Misalnya dengan games (kegiatan yang menyenangkan) akan melibatkan seluruh aspek fisik, emosi, sosial dan kognitif anak secara bersamaan (simultan).



2.



Menciptakan kurikulum yang dapat menimbulkan minat anak dan kontekstual, sehingga anak menangkap makna atau dari apa yang dipelajarinya



3.



Menciptakan suasana belajar yang bebas tekanan dan ancaman, tetapi tetap menantang bagi anak untuk mencari tahu lebih banyak



4.



Berikan mata pelajaran dengan melibatkan pengalaman kongkrit, terutama dalam pemecahan masalah, karena proses belajar paling efektif bukan dengan ceramah, tetapi dengan memberikan pengalaman nyata. Menurut Bejamin Fraklin, proses kegiatan aktivitas dan praktek dari



konsep DAP adalah sebagai berikut : 1.



Based on what we know about how young children learn



2.



Relevant to children’s life experiences



3.



Based on the children’s current knowledge and abilities



4.



Respectful of cultural and individual differences and learning styles



5.



Responsive to the interests and needs of the children



6.



Focused on the learning process, not the end product



78



7.



Thought provoking - stimulating and challenging the minds of young children



8.



Based on the philosophy that children are competent and trustworthy, and can make good decisions if given the opportunity and practice Prinsip DAP yang diterapkan mengandung asumsi bahwa kurikulum,



interaksi anak dan orangtua atau guru, interaksi sekolah dan rumah, serta penilaian harus sesuai dengan prinsip DAP. Berdasarkan hal tersebut, prinsip DAP mengembangkan contoh-contoh pembelajaran yang patut sesuai dengan perkembangan anak. DAP sendiri dapat diterapkan baik di SD.



B.



Saran Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak



kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Saran yang membangun kami harapkan untuk tindak lanjut selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA



Ahyadi, Abdul Azis. 1991. Psikologi Agama. Bandung: Sinar Baru. Benjamin, Franklin. Developmentally Appropriate Practices with Young Children Bredekamp, Sue. 1987. Developmentally Appropriate Practice in Early Childhood Programs Serving Children from Birth Throught Age 8. Wasington: NAEYC. Diane, E. Papalia, Sally Wendkos Old and Ruth Duskin Feldman. 2008. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencana. Iskandar, Srini M. 1998. Kecenderungan Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta: Depdikbud. Jarvis, Matt. 2011. Teori-Teori Psikologi. Bandung: Nusa Media. K. Given, Barbara. 2007. Brain Based Learning. (terj.). Bandung: Mizan Media Utama. Musfiroh, Takdiroatun. 2015. Pengembangan (Tangerang: Universitas Terbuka.



Kecerdasan



Majemuk



N. B. Simanjutak, Pasaribu. 1983. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Farsito. Nengah, Martha, dkk. Penerapan Strategi Pembelajaran Developmentally Approriate Practice (DAP) dengan Menggunakan Media Cerpen Untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Pemahaman Siswa Kelas VII C SMP Negeri 1 Seririt. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha. Oursani. 31 Mei 2008. “Paradigma Baru Dalam Mendidik Anak”. Diperoleh 12 Mei 2017 pada pukul 20:23, dari http://Oursani.com/31/05/2008/Index.php/Terbaru/Paradigma_Baru_Dala m_Mendidik_Anak_html Paul, Suparno. 1997. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius.



79



80



Psikologi. 14 November 2013. “Erik Erikson”, diperoleh 13 Mei 2017 pada pukul 5:51, dari http://psikologi.net/erik-erikson/. R. Megawangi, dkk. 2005. Pendidikan yang Patut dan Menyenangkan: Penerapan Teori Depelovmentally Appropriate Practice (DAP). Depok: Indonesian Heritage Foundation. Russel, Bertrand. 1993. Pendidikan Dan Tatanan Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Ruswandi, Uus. 2014. “Orientasi Pendidikan Umum dan Pembinaaan akhlak Remaja”,dalam Tedi Priatna (Ed.),Cakrawala Pemikiraan Pendidikan Islam. Bandung: Mimbar Pustaka. Sumantri, M. dan Permana, J. 1999. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Depdikbud Dirjen Pendidikan Proyek Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Surya, Mohd. 2003. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung: Yayasan Bhakti Winaya. Zohar dan Ian Marshal. 2001. SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spritual dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan. Bandung: Mizan.