Makalah Farmakoterapi DBD PD Pediatri 1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH FARMAKOTERAPI TERAPI OBAT PADA ANAK STUDI KASUS “GAMBARAN POLA PENATALAKSANAAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) PADA ANAK DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN BULELENG TAHUN 2013”



Disusun oleh: Ami Rahmawati Sukamto (15330032)



FAKULTAS FARMASI PROGRAM STUDI FARMASI S1 INSTITUT SAINS TEKNOLOGI NASIONAL 2017-2018



BAB I TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Latar Belakang



Perkembangan golongan non-communicable diseases (NCD) dan penyakit infeksi sebagai double burden diseases dinyatakan sebagai penyakit penyebab permasalahan dan kerugian multidimensi dunia, salah satu nya adalah infeksi virus dengue.Penyakit ini memiliki spektrum klinis beragam dari fase infeksi asimtomatik sampai syok (shock). Demam berdarah dengue (DBD) atau dengue hemorrhagic fever (DHF) merupakan penyakit demam akut (acute febrile illness) akibat infeksi virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk betina Aedes aegypti dan Aedes albopictus.Menurut data World Health Assembly, dewasa ini terdapat 17 jenis penyakit tropis terabaikan (neglected tropical diseases) yang telah disepakati bersama World Health Organization (WHO) dimana fokus tertuju pada DBD sebagai penyebab ancaman skala besar di seluruh dunia.5 Menurut WHO, diperkirakan terjadi 50-100 juta kasus infeksi dengue global setiap tahunnya, dengan 250.000-500.000 kasus DBD dan angka kematian 24.000 jiwa setiap tahunnya. Sekitar 90% infeksi terjadi pada golongan anak di bawah 15 tahun. Indonesia sebagai negara tropis dan berkembang masih memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi akibat penyakit DBD dimana selama tahun 2011 terdapat 13 kabupaten/kota dari tujuh provinsi yang melaporkan timbulnya Kejadian Luar Biasa (KLB). Bali sebagai salah satu provinsi di Indonesia memiliki data jumlah kasus DBD tahun 2012 di kabupaten Buleleng mencapai 125 kasus dari total 2.649 kasus sehingga kabupaten ini menduduki peringkat keempat di Bali, sedangkan pada Januari-Oktober 2013 terjadi lonjakan menjadi 900 kasus. Bali sebagai kawasan pariwisata menuntut pentingnya usaha dalam menjaga kesehatan masyarakat melalui pilar penatalaksanaan penyakit secara komprehensif, sebab DBD termasuk tropical and traveler disease yang juga menjadi perhatian dunia. Saat ini tidak ada vaksin untuk penyakit demam berdarah dengue. Penatalaksanaan DBD pada dasarnya ditentukan oleh derajat keparahan penyakitnya dimana prinsipnya merupakan pengobatan supportif-simtomatis dengan elemen utama berupa terapi cairan (volume replacement) dan antipiretik (penurun panas).Berbagai panduan standar terbaru telah



1



dikeluarkan baik dari tingkat nasional maupun internasional, namun aspek penerapannya di berbagai penyedia layanan kesehatan masih tergolong sangat rendah. Hal ini memicu gagalnya target penurunan beban kesehatan akibat DBD sehingga merupakan urgensi diperlukannya suatu pengkajian dan evaluasi terhadap pola penatalaksanaan DBD yang mampu meningkatkan indikator kesehatan terkait DBD. Berdasarkan atas fakta-fakta tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan studi epidemiologi mengenai pola penantalaksanaan DBD pada anak di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Buleleng pada tahun 2013. 1.2 Rumusan masalah 1. 2. 3. 4.



Apa yang dimaksud dengan demam berdarah dengue (DBD) dan patofisiologi nya? Bagaimana cara perhitungan dosis obat pada anak? Apa saja terapi pengobatan yang diberikan pada penderita dbd pada anak? Apa saja yang harus diperhatikan dalam terapi pengobatan pada bayi dan anak?



1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui definisi tentang demam berdarah dengue (DBD) beserta patofisiologi nya 2. Untuk mengetahui bagaimana cara perhitungan dosis obat pada anak 3. Untuk mengetahui terapi pengobatan apa saja yang diberikan pada penderita dbd pada pasien pediatric 4. Untuk mengetahui hal-hal yang harus diperhatikan dalam terapi pengobatan pada bayi dan anak



2



BAB II TEORI DASAR 1. Definisi Demam Berdarah Dengue (DBD)



Demam berdarah dengue (DBD) merupakan suatu penyakit epidemik akut yang disebabkan oleh virus yang ditransmisikan oleh Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Penderita yang terinfeksi akan memiliki gejala berupa demam ringan sampai tinggi, disertai dengan sakit kepala, nyeri pada mata, otot dan persendian, hingga perdarahan spontan (WHO, 2010). Terdapat sekitar 2,5 miliar orang di dunia beresiko terinfeksi virus dengue terutama di daerah tropis maupun subtropis, dengan perkiraan 500.000 orang memerlukan rawat inap setiap tahunnya dan 90% dari penderitanya ialah anak-anak yang berusia kurang dari 15 tahun (WHO, 2011). Pemberian terapi pengobatan yang optimal pada penderita DBD dapat menurunkan jumlah kasus dan kematian akibat penyakit ini (Chen dkk, 2009). Pengobatan DBD pada dasarnya bersifat suportif dan simptomatik (Soegijanto, 2001). Pengobatan suportif berupa pengobatan dengan pemberian cairan pengganti seperti cairan intavena dengan memahami patogenesis,



perjalanan penyakit, gambaran



klinis dan



pemeriksaan



laboratorium, sehingga diharapkan penatalaksanaannya dapat dilakukan secara efektif dan efisien (Chen dkk, 2009). Pengobatan simptomatik yakni berupa pemberian antipiretik misalnya parasetamol bila suhu >38,50C (Hadinegoro dkk, 2004).



2. Patofisiologi Demam Berdarah Dengue (DBD)



Pada DBD peningkatan akut permeabilitas vaskuler merupakan patofisiologi primer.Hal ini akan mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Pada kasus-kasus berat volume plasma menurun lebih dari 20% meliputi efusi pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia. Lesi destruktif vaskuler yang nyata tidak terjadi. Terdapat tiga faktor yang menyebabakan perubahan hemostasis pada DBD yaitu: perubahan vaskuler, trombositopenia dan kelainan



3



koagulasi. Hampir semua penderita dengue mengalami peningkatan fragilitas vaskuler dan trombositopeni, serta koagulogram yang abnormal.



Infeksi virus dengue mengakibatkan muncul respon imun humoral dan seluler, antara lain anti netralisasi, anti hemaglutinin, anti komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, mulai muncul pada infeksi primer, dan pada infeksi sekunder kadarnya telah meningkat. Pada hari kelima demam dapat ditemukan antibodi dalam darah, meningkat pada minggu pertama hingga minggu ketiga dan menghilang setelah 60-90 hari.pada infeksi primer antibodi IgG meningkat pada hari ke-14 demam sedangkan pada infeksi sekunder kadar IgG meningkat pada hari kedua. Karenanya diagnosis infeksi primer ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari kelima sakit, sedangkan pada infeksi sekunder diagnosis dapat ditegakkan lebih dini. Pada infeksi primer antibodi netralisasi mengenali protein E dan monoclonal antibodi terhadap NS1, Pre M dan NS3 dari virus dengue sehingga terjadi aktifitas netralisasi atau aktifasi komplemen sehingga sel yang terinfeksi virus menjadi lisis. Proses ini melenyapkan banyak virus dan penderita sembuh dengan memiliki kekebalan terhadap serotipe virus yang sama. Apabila penderita terinfeksi kedua kalinya dengan virus dengue serotipe yang berbeda, maka virus dengue tersebut akan berperan sebagai super antigen setelah difagosit oleh makrofag atau monosit. Makrofag ini akan menampilkan Antigen Presenting Cell (APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari Major Histocompatibility Complex (MHC II). Antigen yang bermuatan peptida MHC II akan berikatan dengan CD4+ (TH-1 dan TH-2) dengan perantaraan T Cell Receptor (TCR) sebagai reaksi terhadap infeksi.Kemudian limfosit TH-1 akan mengeluarkan substansi imunomodulator yaitu INFγ, IL -2, dan Colony Stimulating Factor (CSF). IFNγ akan merangsang makrofag untuk mengeluarkan IL-1 dan TNFα.Interleukin-1 (IL-1) memiliki efek pada sel endotel, membentuk prostaglandin, dan merangsang ekspresi intercelluler adhasion molecule 1 (ICAM 1). Colony Stimulating Factor (CSF) akan merangsang neutrophil, oleh pengaruh ICAM 1 Neutrophil yang telah terangsang oleh CSF akan beradhesi dengan sel endothel dan mengeluarkan lisosim yang mambuat dinding endothel lisis dan endothel terbuka. Neutrophil



4



juga membawa superoksid yang akan mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs, sehingga endothel menjadi nekrosis dan mengakibatkan terjadi gangguaan vaskuler.



Antigen yang bermuatan MHC I akan diekspresikan di permukaan virus sehingga dikenali oleh limfosit T CD8+ yang bersifat sitolitik sehingga menhancurkan semua sel yang mengandung virus dan akhirnya disekresikan IFNγ dan TNFα.



3. Etiologi Demam Berdarah Dengue (DBD)



Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam mononukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. Terdapat 4 stereotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotype dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese encehphalitis dan West Nile virus Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti tikus, kelinci, anjing, kelelawar, dan primate. Survei epidemiologi pada hewan ternak didapatkan antibody terhadap virus dengue pada hewan kuda, sapi, dan babi. Penelitian pada artropoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus Aedes (Stegomyia) dan Toxorhynchites



5



4. Dosis obat pada anak



Masa bayi dan anak merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Anak bukan dewasa kecil sehingga penggunaan obat untuk anak merupakan hal khusus yang terkait dengan perbedaan laju perkembangan organ, sistem enzim yang bertanggung jawab terhadap metabolisme dan ekskresi obat. Hal ini ditunjang dengan belum banyaknya penelitian tentang penggunaan obat pada bayi dan anak. Data farmakokinetik, farmakodinamik, efikasi dan keamanan obat untuk bayi dan anak-anak masih sangat jarang. Hal penting yang harus diperhatikan untuk pediatri adalah dosis yang optimal, regimen dosis tidak dapat disederhanakan hanya berdasarkan berat badan atau luas permukaan tubuh pasien pediatri yang diperoleh dari ekstrapolasi data pasien dewasa. Bioavalaibilitas, farmakokinetik, farmakodinamik, efikasi dan informasi tentang efek samping dapat berbeda secara bermakna antara pasien pediatri dan pasien dewasa karena adanya perbedaan usia, fungsi organ dan status penyakit. Perkembangan yang signifikan telah dibuat untuk farmakokinetik untuk pediatri selama dua dekade ini, tetapi hanya sedikit penelitian yang mempunyai korelasi secara farmakokinetik dengan outcome efikasi, efek samping dan kualitas hidup. Ada beberapa pengertian yang mengatur batasan pediatri. Pediatri berasal dari bahasa Yunani yaitu pedos yang berarti anak dan iatrica yang berarti pengobatan anak. Beberapa penyakit memerlukan penanganan khusus untuk pasien pediatri. Untuk menentukan dosis obat, The British Paediatric Association (BPA) mengusulkan rentang waktu berikut yang didasarkan pada saat terjadinya perubahan – perubahan biologis 



Neonatus : Awal kelahiran sampai usia 1 bulan ( dengan subseksi tersendiri untuk bayi yang lahir saat usia kurang dari 37 minggu dalam kandungan).







Bayi







Anak



: :



1 bulan sampai 2 tahun 2 sampai 12 tahun (dengan subseksi: anak di bawah usia 6 tahun



memerlukan bentuk sediaan yang sesuai) 



Remaja



:



12 sampai 18 tahun



6



Perubahan biologis yang diwakili oleh tiap rentang waktu tersebut adalah : 



Neonatus : terjadi perubahan klimakterik







Bayi



: awal pertumbuhan yang pesat







Anak



: masa pertumbuhan secara bertahap







Remaja



: akhir perkembangan secara pesat hingga menjadi orang dewasa



Perkembangan penanganan klinik penyakit untuk pasien pediatri sangat berarti. Ada banyak prinsip farmakoterapi yang harus dipertimbangan dalam penanganan pasien pediatri. Beberapa definisi yang berhubungan dengan pediatri adalah : 



Pediatri : anak yang berusia lebih muda dari 18 tahun







Prematur : bayi yang dilahirkan sebelum berusia 37 minggu







Neonatus : usia 1 hari sampai 1 bulan







Bayi



: usia 1 bulan sampai 1 tahun







Anak



: usia 1 tahun sampai 11 tahun







Remaja : usia 12 tahun sampai 18 tahun



Menurut The European Medicine Evaluation Agency 



Bayi baru lahir



: 0 -27 hari







Bayi



: 28 hari -23 bulan







Anak



: 2 -11 tahun







Remaja



:12–16/18tahun



:



5. Perhitungan Dosis Pada Anak Cara-cara perhitungan dosis obat untuk yang dapat dipakai adalah sebagai berikut: 1. Didasarkan perbandingan dengan dosis obat untuk orang dewasa (tidak dapat diperlukan bagi semua obat) a. Menurut perbandingan umur (dibandingkan dengan umur orang dewasa 20-24 tahun) seringkali kurang tepat b. Menurut perbandingan berat badan (dibandingkan dengan berat badan orang dewasa 70kg) c. Menurut perbandingan Luas Permukaan Tubuh (LPT) (dibandingkan dengan LPT dewasa 1,73 m2)



7



(lihat tabel 1) Tabel 1. Konsentrasi obat dalam cairan tubuh pada neonatus dibanding orang dewasa Referensparameter dan Dosis (D) LPT D= 100 mg/m2 Berat badan D=100 mg/Kg



Penderita



Ratio Konsentrasi obat dalam Cairan ekstraCairan intraCairan tubuh sellular sellular seluruhnya



Neonatus Dewasa Neonatus Dewasa



1 1 1 2



1 0,35 1 0,8



1 0,5 1 1,1



2. Didasarkan atas ukuran fisik anak secara individual Dasar ini dipergunakan bagi banyak jenis obat. Perhitungan dosis secara individual ini lebih baik daripada perhitungan/perbandingan dengan dosis dewasa. Ada dua cara untuk menghitung dosis individual untuk anak, yaitu: a. Sesuai dengan berat badan anak dalam Kg. b. Sesuai dengan LPT anak dalam m2 (LPT anak dapat diperhitungkan dari tinggi dan berat badan anak menurut rumus Du Bois & Du Bois atau dapat dilihat pada Nomogram Du Bois & Du Bois (lihat Nomogram) c. memakai rumus R.O.Mosteller LPT anak/m2 = T BB



= Tinggi/cm = berat badan/kg



Hasil yang didapat dari perhitungan Mosteller dan perhitungan Du Bois & Du Bois hampir sama (P=< 0,02)



8



BAB III STUDI KASUS 3.1 Metode Penelitian



Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional dengan pendekatan crosssectional. Sampel penelitian adalah anak dengan DBD berusia maksimal 15 tahun yang menjalani rawat inap dalam kurun 14 hari pada periode Juli sampai September 2013 di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Buleleng dan tidak memiliki riwayat penyakit kronis. Sampel dipilih dengan menggunakan metode total sampling sehingga dalam penelitian ini rekam medis 51 orang dipilih secara keseluruhan. Jenis penatalaksanaan pasien dikelompokkan menjadi 4 macam, yaitu rehidrasi intravena, antipiretik-analgetik, antibiotik, dan terapi tambahan (antiemesis, anti-inflamasi, imunomodulator, dan vitamin).



3.2 Hasil Penelitian Karakteristik subyek Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa sebagian besar pasien lelaki, yaitu sebanyak 26 orang (51%) dan tergolong middle childhood (6-11 tahun) sejumlah 22 orang (43,1%). Dari segi derajat penyakitnya, subyek lebih dominan grade I sejumlah 37 orang (72,5%). Sebagian besar pasien yang datang memiliki durasi perawatan rumah sakit kurang dari 7 hari, yaitu sebesar 46 orang (90,2%).



9



Pola penatalaksanaan DBD pada anak Berdasarkan Tabel 2, dapat dijelaskan bahwa semua pasien anak dengan diagnosis DBD pasca masuk ke rumah sakit telah diberikan penanganan awal berupa cairan intravena kristaloid isotonis, dimana rincian jenis cairannya sebagian besar berupa ringer laktat 45 orang (88,2%) sedangkan sisanya adalah glukosa lima persen di dalam larutan NaCl 0,45% (D ½ NS) sebanyak 6 orang (11,8%). Berdasarkan aspek antipiretik-analgetik, 98% subyek sudah mendapat terapi, dengan obat parasetamol sebesar 41 orang (80,4%), terapi kombinasi (parasetamol dengan ibuprofen) pada 1 orang (2%), dan terapi analgetik (Antrain) sebanyak 8 orang (15,7%).



10



Subyek yang tidak mendapat terapi antipiretik maupun analgetik hanya 1 orang (2%). Pemberian obat antibiotik dilakukan pada 21 orang (41,2%). Jenis antibiotik yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 4 dimana antibiotik yang dominan diberikan adalah cefotaxime (third generation cephalosporin) berjumlah 16 orang (76,2%). Pemberian terapi tambahan seperti antiemesis, antiinflamasi, imunomodulator, dan vitamin masing-masing sebesar 47,1 %, 15,7 %, 23,5 %, dan 47,1 %.



3.3 Pembahasan Data penelitian menggambarkan kondisi subyek tidak jauh berbeda pada kelompok lelaki maupun perempuan, meskipun lelaki memiliki jumlah sedikit lebih tinggi. Berdasarkan berbagai penelitian sebelumnya, sebagian besar menyatakan bahwa antara subyek lelaki dan perempuan memilik proporsi yang serupa. Hal ini dapat disebabkan jenis kelamin bukan merupakan suatu faktor risiko ataupun determinan terjadinya infeksi. Hasil lain didapatkan pada penelitian oleh Karyanti dan Hadinegoro (2009) yang menemukan bahwa anak lelaki lebih banyak terkena DBD dibandingkan perempuan dengan perbandingan 1,4:1 Fenomena ini diasumsikan terjadi terkait dengan mobilitas lelaki yang



11



lebih tinggi dibandingkan perempuan yang mengacu pada kemungkinan lelaki terinfeksi virus dengue lebih rentan daripada perempuan Berdasarkan usia, infeksi dengue paling banyak pada kelompok umur middle childhood (6-11 tahun), namun tidak ditemukan kasus pada kelompok umur infants (0-1 tahun). Rentang usia subyek adalah 2-15 tahun, hal ini sesuai data epidemiologi dimana epidemi DBD terutama pada negara tropis 95% menyerang anak golongan di bawah 15 tahun.Dyah dkk (2012) mendapatkan bahwa di daerah endemis, anak dengan usia 5-9 tahun merupakan kelompok tertinggi terjangkit DBD, sedangkan menurut Strickman (2000) kecenderungan usia muda untuk terjangkit DBD lebih besar daripada usia tua. Nyamuk Aedes aegypti yang aktif menggigit pada siang hari pada dua puncak aktivitas, yaitu pukul 08.00 – 12.00 dan 15.00 – 17.00, dimana pada jam tersebut anak-anak biasanya lebih aktif beraktivitas di luar rumah menyebabkan anak lebih mudah terjangkit DBD. Faktor daya tahan tubuh anak yang belum sempurna juga berperan dalam predisposisi morbiditas keterjangkitan DBD. Berdasarkan derajat penyakit, subyek lebih dominan berada pada grade I, disusul grade II, sebagian kecil grade III, namun tidak ditemukan pasien pada grade IV (Tabel 1). Hal ini sesuai penelitian Rachmawati (2012) yang menemukan kondisi pasien anak dengan DBD grade I sebesar 19 orang (39,4%), grade II sebanyak 12 orang (37,5%), dan grade III ditemukan 1 orang (3,1%). Diagnosis DBD didapatkan sesuai kesan tenaga medis berdasarkan kondisi umum dan manifestasi klinis gejala pada subyek sehingga presentasi subyek pada saat awal masuk rumah sakit dan pertimbangan tenaga medis (dokter) sangat menentukan penggolongan derajat DBD. Umumnya orang tua juga dengan segera akan membawa anaknya ke rumah sakit segera setelah timbul gejala panas selama beberapa hari sehingga kondisi ini membantu diagnosis awal keparahan penyakit yang berada pada grade I. Beberapa faktor juga memengaruhi beratnya penyakit, seperti faktor host, serotipe virus atau genotype, sekuens infeksi virus, perbedaan antibodi cross-reactive dengue, dan respons sel T. Berdasarkan karakteristik lama rawat di rumah sakit, durasi perawatan pada kelompok