Makalah Kel 5-Ketahanan Pangan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH KETAHANAN PANGAN DAN GLOBALISASI Diajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah Lingkungan Kesehatan Global



UNIVERSITAS INDONESIA



KELOMPOK 5 AYLINDA WAHYUNI PUTRI



1806167730



DEA FARAH ZAKIA



1806167775



JUMAINA



1806254251



KARTIKA ESTIANI



1806254264



KHAIRUN NISA’IL HULWAH



1806168203



NUR MILA SARI



1806168481



SUCI RENO MONALISA



1806168872



USEP RUSEPENDHI



1806254876



FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT DEPOK 2018



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI..............................................................................................................................................2 BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................................2 1.1 Latar Belakang...................................................................................................................................2 1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................................................3 1.3 Tujuan................................................................................................................................................4 BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................................4 2.1 Gambar Pohon Masalah.....................................................................................................................4 2.2 Pengertian Ketahanan Pangan menurut UU Pangan Nomor 10 Tahun 2012.....................................5 2.3 Aspek Ketahanan Pangan..................................................................................................................5 2.4 Kedaulatan Pangan dan Kemandirian Pangan....................................................................................8 2. 5 Perbandingan Ketahanan Pangan Menurut UU No. 7 Tahun 1996 (Lama) Dengan UU N0.18 Tahun 2012 (Baru)..................................................................................................................................9 2.6 Swasembada Pangan........................................................................................................................11 2.7 Parameter yang digunakan untuk Mengukur Kinerja Ketahanan Pangan........................................13 2.8 Tantangan yang Dihadapi dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan yang Berkelanjutan..................14 2.9 Alternatif- Alternatif Arah Kebijakan yang dapat diimplementasikan Untuk Mencapai Ketahanan Pangan yang Berkelanjutan...................................................................................................................19 2.10 Strategi apa yang dapat digunakan untuk dapat memanfaatkan pangan secara optimal?..............24 2.11 Jelaskan dampak yang terjadi bila ketahanan pangan tidak tercapai?............................................27 BAB III KESIMPULAN.........................................................................................................................31 DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................33



2



BAB I PENDAHULUAN



1. 1 Latar Belakang



Adanya fenomena pertambahan jumlah penduduk yang semakin cepat memicu bertambahnya kebutuhan pangan bagi masyarakat. Dalam konteks pemenuhan kebutuhan pangan berkelanjutan, diperlukan adanya upaya bagaimana mendorong produktivitas sumber daya berbasis pangan dalam kerangka pengelolaan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Ketahanan pangan dalam tatanan ekonomi global dan nasional yang berkelanjutan sangat didambakan oleh setiap negara tidak terkecuali



Indonesia. Ketahanan pangan bersifat



multidimensi dan mencakup aspek ekonomi, sosial, politik dan lingkungan. Berbagai masalah dan



tantangan dihadapi oleh berbagai negara guna mewujudkan ketahanan pangan yang



berkelanjutan. Identifikasi masalah dan tantangan tersebut dapat dilakukan melalui analisis penawaran dan analisis permintaan pangan. Diperlukan terobosan kebijakan untuk mengatasi tantangan kebijakan ketahanan pangan di masa mendatang. 1.2 Rumusan Masalah



1. Apa pengertian ketahanan pangan menurut UU pangan Nomor 18 tahun 2012? 2. Aspek apa saja yang penting dari pengertian ketahanan pangan tersebut, berikan penjelasan ? 3. Apa yang dimaksud dengan konsep kedaulatan pangan dan kemandirian pangan, berikan penjelasan ? 4. Bandingkan pengertian ketahanan pangan menurut UU No. 7 tahun 1996 (lama)dengan UU N0.18 tahun 2012 (baru), buatkan matriks. 5. Apa yang dimaksud dengan swasembada pangan ? Komoditi manakah yang saat ini sudah mengalami swasembada di Indonesia? 6. Parameter apa saja yang digunakan untuk mengukur kinerja ketahanan pangan ? 7. Apa saja tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan? 3



8. Jelaskan alternatif- alternatif arah kebijakan yang dapat diimplementasikan untuk mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan ? 9. Strategi apa yang dapat digunakan untuk dapat memanfaatkan pangan secara optimal? 10. Jelaskan dampak yang terjadi bila ketahanan pangan tidak tercapai?



1.3 Tujuan



1. Mengetahui pengertian ketahanan pangan menurut UU pangan Nomor 18 tahun 2012 2. Menjelaskan aspek apa saja yang penting dari pengertian ketahanan pangan tersebut 3. Memahami maksud konsep kedaulatan pangan dan kemandirian pangan, berikan penjelasan? 4. membandingkan pengertian ketahanan pangan menurut UU No. 7 tahun 1996 (lama)dengan UU N0.18 tahun 2012 (baru) 5. Apa yang dimaksud dengan swasembada pangan ? Komoditi manakah yang saat ini sudah mengalami swasembada di Indonesia? 6. Parameter apa saja yang digunakan untuk mengukur kinerja ketahanan pangan ? 7. Apa saja tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan? 8. Jelaskan alternatif- alternatif arah kebijakan yang dapat diimplementasikan untuk mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan ? 9. Strategi apa yang dapat digunakan untuk dapat memanfaatkan pangan secara optimal? 10. Jelaskan dampak yang terjadi bila ketahanan pangan tidak tercapai?



4



BAB II PEMBAHASAN 2.1 Gambar Pohon Masalah



Sumber: Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia 2009



2.2 Pengertian Ketahanan Pangan menurut UU Pangan Nomor 10 Tahun 2012



5



Ketahanann pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyrakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. 2.3 Aspek Ketahanan Pangan 1. Ketersediaan Pangan Ketersediaan pangan memiliki dua sisi yaitu: sisi pasokan pangan dan sisi kebutuhan pangan penduduk. Pada sisi pasokan, ketersediaan pangan terkait dengan kapasitas produksi dan perdagangan (impor/ekspor) pangan. Tergantung pada kapasitas produksi yang dimilikinya, sumber pasokan pangan suatu negara dapat bersumber dari produksi domestic, impor atau kombinasi produksi domestic dan impor. Kapasitas produksi pangan merupakan fungsi gabungan serangkaian faktor, meliputi: luas lahan, agroklimat, infrastruktur, dan teknologi. Semakin besar kapasitas produksi pangan yang dimiliki semakin kecil ketergantungannya pada sumber impor atau bahkan tidak bergantung sama sekali (Swasembada). Kondisi ideal terjadi pada negara yang memiliki kapasitas produksi yang memadai kebutuhan seluruh penduduknya dan juga memiliki ketahanan pangan yang mantap, seperti di Amerika Serikat, Australia dan Brunei. Namun, tidaklah berarti bahwa sebuah negara dengan kapasitas produksi pangan cukup akan otomatis juga memiliki ketahanan pangan yang mantap, seperti di Indonesia, Philipina dan Myanmar. Ini dimungkinkan karena negara dimaksud  masih memiliki kelemahan pada aspek-aspek ketahanan pangan selain ketersediaan pangan. Pada sisi kebutuhan pangan penduduk, ketersediaan pangan berhubungan terutama dengan faktor jumlah penduduk dan pola konsumsi pangannya. Jumlah penduduk dan pola konsumsinya menentukan jumlah dan kualitas pangan yang dibutuhkan atau yang perlu disediakan. Pertumbuhan jumlah penduduk berarti jumlah pangan yang harus disediakan semakin banyak untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk.  Sementara itu, dinamika faktor-faktor kapasitas produksi pangan menunjukan kecenderungan yang terus menurun. Luas lahan cenderung menurun dari tahun ke tahun. Kondisi agroklimat cenderung berubah seiring dengan peningkatan degradasi lahan dan peningkatan suhu 6



global. Infrastruktur pendukung produksi pangan (jaringan irigasi) juga menunjukan kecenderungan penurunan kualitas seiring dengan meningkatnya alih fungsi lahan pertanian akibat urbanisasi, terutama di negara-negara sedang berkembang. Perkembangan teknologi produksi pangan dinilai oleh banyak kalangan belum mampu menghasilkan lonjakan produktivitas yang berarti sebagaimana capaian teknologi dalam era revolusi hijau tahun 1970an. 2. Stabilitas Pangan Sistim produksi pangan tersusun atas unit-unit usahatani dimana para petani membudidayakan tanaman dan atau hewan untuk memproduksi bahan pangan yang bersifat musiman dan spesifik lokasi. Faktor lokasi adalah penting kerena proses produksi pangan umumnya juga membutuhkan kondisi lingkungan alamiah (seperti tanah, air, dan sinar matahari) yang mendukung, disamping menggunakan sarana produksi (seperti benih/bibit, pupuk dan bahan kimia lainnya). Sebagai pengelola usahatani, para petani dapat mengendalikan jumlah dan kualitas sarana produksi yang digunakan dalam proses produksi pangannya, tapi mereka umumnya tidak dapat mengendalikan faktor kondisi lingkungan alamiah usahatani pangannya. Sebagai akibat, produktivitas pangan cenderung bervariasi antar musim (waktu) dan lokasi. Oleh karena itu, ketersediaan pangan yang stabil memerlukan sistim manajemen logistik dan distribusi pangan yang dapat secara efektif dan efisien menselaraskan disparitas produksi dan konsumsi pangan antar waktu dan tempat. Untuk menjamin stabilitas ketersediaan pangan sepanjang tahun, The ASEAN Food Security Information and Training Center  menyarankan rasio cadangan pangan terhadap kebutuhan domestik minimal sebesar 20 persen untuk menstabilkan ketersediaan pangan sepanjang tahun. 3. Aksesibilitas Pangan Ketersediaan pangan yang cukup dan stabil lintas waktu dan wilayah saja belumlah dapat menjamin  bahwa setiap orang akan memperoleh pangan yang dibutuhkannya. Jumlah dan kualitas pangan yang dibutuhkan seorang acapkali bervariasi antara satu dan lainnya, sesuai dengan selera, perilaku makan, budaya, kepercayaan, dan agama. Ada yang suka makan nasi, gandum, jagung ataupun ubi sebagai makanan pokok. Ada makan sebanyak 3x sehari dan ada 7



yang 2x sehari. Ada yang makan dalam jumlah banyak saat makan siang dan ada yang saat malam hari. Sementara itu, kemampuan seseorang untuk memproleh makanan yang dibutuhkannya dipengaruhi oleh kapasitas ekonomis dan sosialnya, disamping ketersediaan pangan itu sendiri di dalam wilayah jangkauan fisiknya. Pada masa sekarang, dimana bahan pangan merupakan komoditas ekonomis dan kebanyakan orang tidak memproduksi sendiri bahan pangan yang dibutuhkannya, seseorang yang tidak memiliki daya beli umumnya akan menghadapi kesulitan untuk memproleh bahan pangan yang dibutuhkannya. Pada masyarakat tertentu masih terdapat nilai sosial dimana penyuguhan pangan diutamakan pada anggota keluarga yang produktif, lelaki, ataupun yang terhormat. Dalam masyarakat demikian dan bila persediaan pangan keluarga terbatas maka anggota keluarga yang tidak produktif, wanita dan anak akan memproleh makanan yang kurang dari cukup  Upaya penguatan ketahanan pangan, karenanya;  perlu memperhatikan hal-hal terkait dengan aspek akses penduduk terhadap pangan berikut: aksesibilitas secara fisik, aksesibilitas secara ekonomis, aksesibilitas secara sosial, selera makan, tingkah laku makan, budaya makan, serta nilai-nilai kepercayaan dan agama terkait dengan makanan. 4. Penggunaan Pangan Untuk hidup sehat dan aktif seseorang perlu mengkonsumsi pangan yang higenis, dan mengandung gizi memenuhi kebutuhan asupan gizi tubuhnya. Standar kecukupan asupan gizi yang berlaku di Indonesia, misalnya, adalah sebanyak 2.000 kilo kalori pet kapita per hari. Pangan yang higenis baru diproleh bila kebersihannya terjaga dari kontaminasi bahan-bahan beracun dan bibit penyakit. Pangan dengan kandungan gizi yang cukup diproleh dengan mengkonsumsi makanan yang berbahan mengandung gizi dalam jumlah cukup, berimbang, dan tidak mengalami penyusutan dalam proses pengolahannya. Oleh karena itu, pada tingkat mikro, upaya penguatan ketahanan pangan juga perlu memperhatikan kecukupan asupan gizi, pola konsumsi pangan, kualitas pengolahan pangan, kualitas air, dan sanitasi lingkungan, disamping kecupan perolehan kebutuhan pangan penduduknya.  2.4 Kedaulatan Pangan dan Kemandirian Pangan



8



Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Dalam konsep kedaulatan pangan, tiap negara berhak menentukan dan mengendalikan sistem produksi, distribusi, dan konsumsi pangan sendiri, sesuai dengan kondisi ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya lokal, serta tidak adanya campur tangan dari negara lain. Kedaulatan pangan bertujuan mengangkat kesejahteraan petani kecil yang selama ini masih terpinggirkan. Pendekatan kedaulatan pangan lebih menghargai budaya lokal, sehingga petani dapat menanam varietas sendiri yang disukai, dengan cara sendiri, dan memasak dengan selera sendiri karena menjunjung tinggi prinsip diversifikasi pangan sesuai dengan budaya lokal yang ada. Kedaulatan pangan mendukung sepenuhnya pola-pola pertanian yang berbasis keluarga, di mana petani menanam sendiri tanaman yang diinginkan dan memakan sendiri hasil panennya. Kedaulatan pangan dapat diposisikan sebagai strategi pokok untuk mencapai tujuan pembangunan nasional yakni ketahanan pangan. Kedaulatan pangan menjadi pendukung untuk mencapai ketahanan pangan yang kokoh dan berkeadilan. Strategi alternatif untuk membangun kedaulatan pangan yaitu dengan memanfaatkan sumber daya lokal yang ditopang oleh industri berbasis pertanian di pedesaan yang akan menciptakan pasar bagi produk pertanian dan menciptakan lapangan pekerjaan baru dalam usaha mengurangi kemiskinan di Indonesia. Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. Terdapat lima komponen dalam mewujudkan kemandirian pangan yaitu ketersediaan yang cukup, stabilitas ketersediaan, keterjangkauan, mutu/keamanan pangan yang baik dan tidak ada ketergantungan pada pihak luar. Dengan adanya lima komponen tersebut, kemandirian pangan dapat menciptakan daya tahan yang tinggi terhadap perkembangan dan gejolak ekonomi dunia. Sebagai negara agraris dengan keberagaman sumber daya hayati, Indonesia berpotensi besar untuk memproduksi pangan dalam jumlah yang cukup. Indonesia mempunyai bermacam pangan lokal untuk mendukung program diversifikasi pangan yang dimaksudkan agar masyarakat tidak terpaku pada satu jenis makanan pokok saja dan terdorong untuk mengkonsumsi bahan pangan lainnya sebagai pengganti 9



makanan pokok. Oleh karena itu, tidak ada alasan bahwa Indonesia tidak mampu membangun kemandirian pangan yang bergantung pada keberdayaan petani dalam meningkatkan produktivitas, kualitas produk, dan nilai tambah sehingga mempunyai posisi tawar dan daya saing tinggi melalui pengembangan sentra produksi komoditas pangan unggulan



2. 5 Perbandingan Ketahanan Pangan Menurut UU No. 7 Tahun 1996 (Lama) Dengan UU N0.18 Tahun 2012 (Baru) 



Pengertian menurut Undang-Undang No.7 tahun 1996 Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.







Pengertian menurut Undang-Undang No.18 tahun 2012 Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Ada perbedaan pengertian Ketahanan Pangan berdasarkan Undang-Undang No.7 tahun



1996 dengan Undang-Undang No.18 tahun 2012, yaitu tentang ruang lingkup, kandungan pangan, jenis pangan, dan manfaat pangan. Matrik Pengertian Ketahanan Pangan Berdasarkan UU no.7 tahun 1996 (lama) dan UU no.18 tahun 2012 (baru) UU Pangan No.7 Tahun No



Bahasan



1996 (Lama)



UU Pangan No 18 Tahun 2012 (Baru)



10



1



Ruang



Didasarkan



pada



lingkup/cakupan



pangan rumah tangga



kondisi Didasarkan



pada



pangan



kondisi



perseorangan



2 3



Ketersediaan pangan Cukup jumlah dan mutu Keamanan dan Aman dan merata



sampai kondisi negara Cukup jumlah dan mutu Aman dan merata



4 5 6 7



sebaran pangan Akses pangan Kandungan pangan Jenis pangan Kearipan pangan



Terjangkau Bergizi Beragam Tidak bertentangan dengan



Terjangkau -



agama, 8



Manfaat pangan



-



keyakinan,



budaya Hidup sehat,



aktif,



produktif



dan dan secara



berkelanjutan



2.6 Swasembada Pangan Swasembada pangan adalah usaha mencukupi kebutuhan pangan secara bebas, mandiri, dan otonom. Dimana, pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam UUD 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Dengan demikian pemenuhan kecukupan pangan bagi seluruh rakyat merupakan kewajiban, baik secara moral, sosial, maupun hukum. Amanat Undang Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan secara tegas mengemukakan perlunya dibangun ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Hal ini antara lain oleh kondisi dasar negara Indonesia sebagai negara kepulauan yang sangat luas dan berpenduduk besar, sehingga kepentingan penyediaan pangan yang cukup dan dapat diakses oleh seluruh rumah tangga setiap saat menjadi sangat strategis, dari aspek sosiologis, politis dan yuridis. Sejalan dengan aspek strategis tersebut, maka upaya untuk membangun ketahanan dan kemandirian pangan yang kokoh selalu menjadi fokus pembangunan pertanian nasional dari sejak penjajahan, orde lama, orde baru dan era reformasi sampai saat ini. Mengacu kepada UU 18 tahun



2012 tentang Pangan, kemandirian



pangan adalah



kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam 11



negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. Kemandirian mengacu kepada peningkatan kemampuan negara dan bangsa untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan yang beragam yang bersumber dari dalam negeri melalui pendayagunaan sumber daya dalam negeri dan kearifan lokal secara optimal. Sebagai suatu proses, kemandirian dicirikan oleh kemampuannya dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya, hasrat untuk maju dan mampu bersaing dalam rangka perbaikan dirinya serta martabat di bidang pangan. Kecepatan proses menuju kemandirian sangat ditentukan oleh cepat atau lambatnya melepaskan diri dari ketergantungan dan keterkaitan terhadap pihak luar. Membangun kemandirian pangan mengandung pula pengertian kemampuan dalam menyediakan pangan sendiri, mampu memecahkan persoalan yang dihadapi melalui pengembangan inovasi dan teknologi menuju peningkatan daya saing. Dari perspektif sejarah walaupun Indonesia dalam suatu kurun waktu berhasil mencapai swasembada suatu komoditi seperti beras namun tidak dapat dihindari terjadinya krisis pangan pada tahun tahun tertentu yang disebabkan oleh berbagai faktor baik yang bersifat internal maupun eksternal sistem produksi nasional. Oleh karena itu yang menjadi pertanyaan adalah apakah suatu negara berdasarkan pengalamannya mempunyai kemampuan untuk membangun kemandirian pangan. Swasembada pangan yang dituangkan dalam program pembangunan pertanian Indonesia sejak awal kemerdekaan, selalu memperoleh prioritas tinggi. Walaupun pada awal kemerdekaan lahan pertanian subur dan ketersediaan air melimpah, namun kecukupan pangan dari produksi dalam negeri hampir belum pernah tercapai secara meyakinkan. Swasembada beras pada tahun 1984 hanya bersifat temporer, tidak berswasembada lagi pada tahun-tahun berikutnya. Demikian juga swasembada beras tahun 2008. Program surplus beras 10 juta ton tahun 2014 yang telah dicanangkan sejak tahun 2010 ternyata tidak dapat tercapai dan bahkan Indonesia masih tetap mengimpor beras. Hal tersebut harus menyadarkan seluruh warga bangsa Indonesia dan terutama Pejabat Pemerintah Pusat, bahwa menyediakan kecukupan pangan bagi 250 juta orang tidak mudah, apabila hanya mengandalkan sumber daya lahan yang tersedia. Tantangan membangun kemandirian pangan adalah kemampuan penyediaan produksi pangan domestik dalam memenuhi



permintaan pangan yang cende rung terus meningkat.



Tantangan penyediaan pangan tersebut akan terus menjadi semakin berat, disamping untuk



12



memenuhi kebutuhan konsumsi rumahtangga, produksi pangan juga dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan bahan untuk pakan, bahan baku industri pengolahan pangan dan energi. Hambatan dan masalah yang menjadi ganjalan dalam peningkatan produksi pangan utamanya adalah terbatasnya sumberdaya pertanian terutama sumberdaya lahan dan air, sumberdaya manusia dan penerapan iptek. Disamping itu adanya faktor perubahan iklim global telah mempengaruhi sistem produksi dan meningkatkan resiko produksi pertanian. Ketersediaan pangan yang cukup merupakan prasyarat terbangunnya kemandirian pangan. Ketersediaan pangan tersebut harus dibangun atas dasar kemampuan produksi dalam negeri (swasembada) melalui optimalisasi seluruh potensi di dalam negeri. Untuk itu upaya untuk meningkatkan kapasitas produksi pangan dari dalam negeri perlu terus dilakukan. Keberhasilan penyediaan pangan yang cukup salah satunya dapat pula diukur dari tingkat stabilisasi harga pangan di masyarakat. Sejalan dengan itu, disamping menjaga stabilisasi pasokan yang utamanya berasal dari peningkatan produksi dalam negeri, diperlukan instrumen kebijakan harga bahan dan pengelolaan cadangan dan distribusi pangan. Kebijakan penerapan kebijakan HPP ditujukan untuk menjaga harga gabah di tingkat petani, dan kebijakan pengelolaan cadangan dan distribusi pangan untuk stabilisasi harga beras ditingkat konsumen. Kebijakan bantuan pangan ditujukan untuk peningkatan akses pangan bagi kelompok masyarakat miskin dan korban bencana. Kementerian Pertanian (Kemtan) mengklaim bahwa Indonesia sudah mengalami swasembada pangan khususnya untuk komoditas padi, jagung, bawang merah dan cabai. Berdasarkan data Kemtan, produksi padi pada 2017 akan mencapai 81,3 juta ton gabah kering giling, jagung sebesar 27,9 juta ton, bawang merah sebesar 1,68 juta ton, sementara cabai merah sekitar 1,28 juta ton dan cabai rawit sekitar 986 ribu ton.



2.7 Parameter yang digunakan untuk Mengukur Kinerja Ketahanan Pangan Ketahanan Pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah, maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Ketahanan pangan merupakan hal yang penting dan strategis, karena berdasarkan pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa tidak ada satu negarapun yang dapat melaksanakan pembangunan secara mantap sebelum mampu mewujudkan ketahanan pangan terlebih dahulu. Untuk mewujudkan ketahanan pangan yang kuat dan



berkesinambungan, 13



berdasarkan Undang-Undang Pangan Nomor 18 tahun 2012 tentang pangan, maka implementasi pembangunan ketahanan pangan dilaksanakan dengan memperhatikan 3 (tiga) komponen utama yang harus dipenuhi, yaitu: (1) Ketersediaan pangan yang cukup dan merata; (2) Keterjangkauan pangan yang efektif dan efisien; serta (3) Konsumsi pangan yang beragam dan bergizi seimbang. Ketiga komponen tersebut dapat diwujudkan sampai tingkat rumah tangga, apabila: (1) Memanfaatkan potensi sumberdaya lokal



yang beragam untuk pening katan ketersediaan



pangan; (2) Melaksanakan diversifikasi pangan untuk mendorong konsumsi pangan masyarakat yang beragam, bergizi seimbang, dan aman; (3) Menjamin pasokan pangan ke seluruh wilayah dan terjangkau



oleh masyarakat; (4) Memanfaatkan pasar pang an internasional



bijaksana bagi pemenuhan konsumen yang beragam;



secara



serta (5) Memberikan jaminan bagi



masyarakat miskin di perkotaan dan perdesaan dalam mengakses pangan yang bersifat pokok. Perdebatan panjang acapkali terjadi pada kalangan praktisi dan politisi tentang ketahanan pangan Indonesia. Ada yang mengklaim ketahanan pangan Indonesia cukup baik. Namun, ada yang menilai ketahanan pangan Indonesia kurang baik dan bahkan ada yang menilai dalam kondisi rawan pangan. Perdebatan panjang ini terjadi akibat persepsi (cara pandang) tentang ketahanan pangan yang berbeda dan kepentingan yang berbeda dari kondisi ketahanan pangan itu sendiri. Cara pandang dan kepentingan praktisi dan politisi selalu berbeda maka untuk menentukan apakah ketahanan pangan Indonesia dalam kondisi baik atau buruk harus terlebih dahulu disesuai dengan cara pandang dan kepentingan yang sama. Badan dunia (PBB) yang menangani masalah kesehatan atau World Health Organization (WHO) telah membuat definisi tentang komponen utama ketahanan pangan yakni ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan. Tiga komponen utama ketahanan pangan ini bila diuraikan yakni: 1. Ketersediaan pangan merupakan kemampuan seseorang, sekelompok orang (rumah tangga) memiliki sejumlah pangan yang cukup untuk kebutuhan dasar. 2. Akses pangan merupakan kemampuan untuk memiliki sumber daya secara ekonomi maupun secara fisik untuk mendapatkan bahan pangan bernutrisi. 3. Komponen pemanfaatan pangan merupakan kemampuan dalam memanfaatkan bahan pangan dengan benar dan baik serta proporsional. 14



Apa bila tiga komponen utama ketahanan pangan ini telah terwujud maka ada komponen yang sangat penting dari tiga komponen utama ketahanan pangan yakni kestabilan dari ketiga komponen utama ketahanan pangan untuk waktu lama. Parameter ketahanan pangan ini harus ada, tidak bisa tidak ada karena dari parameter itu dapat diukur secara akurat, ilmiah tentang kondisi dari ketahanan pangan di Indonesia. Parameter ketahanan pangan yang digunakan akan memberikan gambaran jelas tentang kondisi ketahanan pangan Indonesia yang sesungguhnya.



2.8 Tantangan yang Dihadapi dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan yang Berkelanjutan



Tantangan Ketahanan Pangan Berkelanjutan Sisi Penyediaan Pasokan Tantangan untuk mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan dalam kurun waktu tertentu misalnya 10 tahun ke depan diharapkan dapat diprediksi dengan lebih akurat. Tantangan dapat dikelompokkan menjadi dua,yaitu : 1. Tantangan dari sisi penawaran atau penyediaan pasokan pangan 2. Tantangan dari sisi permintaan atau kebutuhan dan pemanfaatan pangan. Dari sisi penyediaan pasokan, ada lima hal yang perlu mendapat perhatian : 1. Kendala sumber daya alam. Kompetisi pemanfaatan lahan termasuk perairan dan air akan semakin tajam karena adanya sasaran pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan peningkatan penduduk dalam persentase dan jumlah yang besar. Pada saat ini angka konversi lahan pertanian yang sering dikemukakan kepada publik oleh para pejabat atau akademisi berkisar antara 60.000 ha sampai 100.000 ha per tahun. Kualitas lahan dan air juga makin terdegradasi karena dampak penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang terus menerus digunakan dalam kurun waktu panjang dan limbah industri yang merembes ke lahan pertanian. Selain itu, prasarana pertanian yang sudah ada juga sebagian rusak. Sebagai contoh, menurut Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum (2013) sekitar 36 persen atau 2,6 juta ha dari total 7,2 juta ha jaringan irigasi rusak. Kondisi ini 15



saja sudah akan menurunkan kapasitas produksi pangan nasional, karena produksi pangan Indonesia masih berbasis lahan (land base). 2.



Dampak perubahan iklim global. Dalam tiga tahun terakhir ini, kejadian iklim ekstrem di Indonesia terasa lebih nyata. Masyarakat mengalami kejadian fenomena iklim ekstrem yang frekuensinya makin sering. Pola dan intensitas curah hujan yang berbeda dari sebelumnya, kenaikan temperatur udara, banjir dan kekeringan yang semakin sering terjadi, dan intensitas serangan hama serta penyakit yang semakin tinggi, merupakan beberapa gejala perubahan iklim yang dapat berdampak pada penurunan produktivitas tanaman pangan. Oleh karena itu, diperlukan penyesuaian dalam proses usahatani pangan seperti penyesuaian waktu tanam, pola tanam, penggunaan varietas yang lebih tahan terhadap cekaman iklim, dan pengelolaan air secara efisien. Para peneliti di International Rice Research Institute (IRRI) dengan menggunakan data rentang waktu tahun 1979 sampai 2003 menyimpulkan rata-rata tahunan temperatur maksimum dan minimum telah meningkat masing-masing sebesar 0,35 dan 1,23 derajat Celsius. Lebih lanjut para peneliti tersebut berpendapat produktivitas padi dapat menurun 10 persen untuk setiap kenaikan 1 derajat Celcius temperatur minimum di malam hari di musim tanam pada musim kering (Peng et al., 2004). Penelitian pada tanaman padi di Sulawesi Utara menyimpulkan hal serupa, kenaikan suhu udara 1 derajat Celsius dan curah hujan 5 persen, dapat menurunkan produksi padi sekitar 7,7 persen (Hosang et al., 2012). Sementara itu, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2011) telah melakukan review komprehensif mengenai dampak negatif perubahan iklim terhadap produksi berbagai komoditas pertanian melalui beberapa variabel, seperti perubahan pola curah hujan, suhu udara, dan kenaikan muka air laut. Hasil review juga menyimpulkan perubahan iklim global mempunyai dampak negatif terhadap produktivitas berbagai tanaman pangan.



3. Pertanian Indonesia dicirikan atau didominasi oleh usahatani skala kecil. Berdasarkan data Sensus Pertanian 2013 dari BPS, jumlah rumah tangga petani sebanyak 26,14 juta dengan rata-rata penguasaan lahan 0,98 ha dan sekitar 56 persen atau 14, 6 juta rumah tangga rata-rata mengusahakan lahan di bawah 0,5 ha. Sementara itu, rata-rata pengusahaan lahan petani padi sawah kurang dari 0,2 ha (Direktorat Pangan dan 16



Pertanian, Bappenas, 2013). Petani kecil ini dihadapkan pada persoalan klasik yang belum berhasil diatasi dengan baik, seperti keterbatasan akses terhadap pasar, permodalan, informasi, dan teknologi (Suswono, 2013). Bila tidak ada rekayasa sosial untuk mengatasi permasalahan tersebut, akan sangat berat bagi Indonesia untuk mencapai ketahanan pangan berkelanjutan. 4. Ketidakseimbangan produksi pangan antarwilayah. Hampir untuk semua komoditas, proporsi produksi pangan di Jawa lebih dari 50 persen dari produksi pangan nasional. Ketidakseimbangan ini akan meningkatkan permasalahan upaya pemerataan pangan dan ongkos distribusi pangan, sehingga mempersulit penyediaan pangan secara spasial merata ke seluruh daerah di Indonesia. Bila tidak dilakukan pembangunan infrastuktur dan sistem logistik pangan antarwilayah, akan sulit untuk mengatasi ketidakseimbangan produksi antarwilayah. 5. Proporsi kehilangan hasil panen dan pemborosan pangan masih cukup tinggi. Kehilangan pangan (food losses) karena ketidaktepatan penanganan pangan mulai dari saat panen sampai dengan pengolahan dan berlanjut pada pemasaran, dipercayai masih sekitar 10 persen sampai 20 persen, bergantung pada komoditas, musim, dan teknologi yang digunakan. Sementara itu, pemborosan pangan (food waste) yang terjadi mulai dari pasar konsumen akhir sampai dibawa dan disimpan di rumah, lalu disajikan di meja makan namun tidak dimakan, diperkirakan mencapai lebih dari 30 persen. FAO melaporkan sepertiga dari bagian pangan yang dapat dikonsumsi terbuang percuma atau diboroskan (FAO, 2011b). Demikian juga permasalahan pemborosan pangan di Indonesia cukup besar, seperti banyaknya makanan yang terbuang di restoran, resepsi pernikahan, atau acara rapat/pertemuan, bahan pangan yang terbuang sebelum dimasak, dan makanan yang sudah disajikan di meja makan di rumah namun tidak termakan seluruhnya. Walaupun sudah lama disadari adanya kehilangan hasil pangan pada saat penanganan dan distribusinya, namun belum ada program pemerintah yang berhasil mengatasinya secara tuntas. Sementara itu, untuk mengatasi persoalan pemborosan pangan diperlukan pemahaman dan kesadaran akan besarnya nilai ekonomi yang dibuang percuma dari para pelaku pada sistem distribusi dan pemasaran, anggota rumah tangga, maupun aparat pemerintah.



17



Sisi Pemenuhan Kebutuhan Ada empat tantangan yang dihadapi dari sisi kebutuhan dan pemanfaatan pangan, yaitu terkait dengan peningkatan pendapatan per kapita, peningkatan penduduk dan dinamika karakteristik demografis, perubahan selera karena akses terhadap informasi atau promosi pangan global yang sangat tinggi, dan persaingan pemanfaatan bahan pangan. Penjabaran lebih lanjut dari tantangantantangan dari sisi kebutuhan dan pemanfaatan pangan disajikan berikut ini. 1. Pertama, adanya pertumbuhan penduduk yang tinggi beserta dinamika karakteristik demografisnya, di antaranya urbanisasi dan peningkatan proporsi wanita masuk pasar tenaga kerja. Kuantitas atau jumlah kebutuhan pangan setiap tahun akan meningkat selaras dengan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, yaitu 1,35 persen per tahun. Karena jumlah penduduk yang besar (tahun 2014 sebesar 252 juta jiwa), maka tambahan permintaan pangan per tahun juga akan sangat besar. Urbanisasi yang merupakan salah satu dinamika kependudukan masih akan terus berlanjut dengan alasan dorongan keluar (push factor) dari sektor pertanian, karena sektor ini tidak dapat menampung angkatan kerja baru atau tidak dapat memenuhi harapan terkait upah yang diterima atau kondisi kerja yang dinilai tidak nyaman. Selain urbanisasi, perubahan beberapa daerah yang sebelumnya berciri desa bertransformasi menjadi tempat yang mempunyai karakter kota kecil atau kota sedang akan terus berlangsung seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan otonomi daerah. 2. Kedua faktor ini akan mempercepat peningkatan penduduk kota atau daerah berciri kota. Pada saat ini penduduk kota sebesar 49,5 persen dan diperkirakan akan terus meningkat menjadi 60 persen pada tahun 2025. Hal ini akan membawa konsekuensi proporsi pola permintaan pangan berciri preferensi penduduk kota menjadi lebih besar. Pola permintaan tersebut pada umumnya akan lebih beragam, lebih memperhatikan kualitas dan keamanan pangan, serta proporsi pengeluaran makanan untuk makanan jadi dan makan di luar rumah yang lebih besar. Partisipasi angkatan kerja wanita juga meningkat. Menurut data BPS, pada tahun 2010 sebesar 36,4 persen total angkatan kerja adalah wanita. Dari total wanita yang bekerja, sekitar 57,6 persen bekerja di luar sektor pertanian. Dalam 10 tahun ke depan diperkirakan akan semakin besar lagi proporsi wanita yang bekerja. Hal ini akan memperkuat peningkatan permintaan untuk makanan jadi, baik yang dimakan di luar rumah maupun di dalam rumah. Kedua, pertumbuhan 18



ekonomi 10 tahun terakhir cukup tinggi rata-rata di atas 5 persen per tahun. Dalam 10 tahun mendatang, sasaran pertumbuhan ekonomi tinggi tersebut akan terus dipertahankan karena memang negeri ini perlu mengejar ketertinggalan pembangunan ekonomi dari negara-negara yang sudah maju. Pertumbuhan ekonomi tinggi berdampak pada peningkatan pendapatan per kapita atau daya beli masyarakat, walaupun sebarannya tidak merata ke setiap individu. Situasi ini akan meningkatkan permintaan pangan dari sisi kualitas, keragaman, mutu, dan keamanannya. Salah satu upaya untuk menanganinya dan sekaligus memanfaatkan peluang bisnis pangan olahan adalah melalui penguasaan dan penerapan teknologi pangan agar dapat merespon perubahan permintaan pangan, sehingga mampu menyediakan pangan sesuai dinamika permintaan pasar dan preferensi konsumen dengan baik. 3.



Ketiga, pada saat ini sedang berlangsung perubahan selera konsumsi pangan yang mulai meninggalkan pangan lokal dan makanan tradisional. Pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh sumber daya pangan di sekitarnya, daya beli masyarakat, pengetahuan tentang pangan dan gizi, dan selera konsumen. Perubahan selera pangan pada saat ini dibentuk dan dipengaruhi secara kuat oleh perkembangan pesat teknologi informasi media yang dimanfaatkan oleh media promosi/periklanan, termasuk pengiklan yang menjajakan makanan dan minuman yang mencitrakan produknya berlabel tren masa kini, keren, dan global. Imanto (2012) lebih jauh menilai iklan televisi cenderung menawarkan produk yang mencerminkan budaya konsumerisme dan gaya hidup konsumtif. Dengan semakin tersebarnya jaringan televisi sampai ke pelosok negeri dengan isi iklan pangan bersifat persuasif untuk menarik minat dan selera pemirsa, yang menawarkan pangan bercitra keren dan global, maka pola konsumsi pangan masyarakat secara perlahan akan bergeser ke arah itu. Makanan berciri global yang disediakan di restoran, konsumsi makanan cepat saji, dan makan di luar rumah akan semakin diminati. Sebaliknya, makanan yang berlabel atau diidentikkan dengan makanan tradisional atau lokal secara perlahan akan ditinggalkan konsumen. Tren ini akan makin berakselerasi dalam 10 tahun ke depan. Pemanfaatan teknologi pangan, teknologi informasi, dan kampanye gerakan cinta pangan lokal Nusantara diharapkan dapat mengimbangi tantangan perubahan selera pangan akibat iklan makanan tersebut.



19



4. Keempat, persaingan permintaan atas komoditas pangan untuk konsumsi manusia (food), pakan ternak (feed), bahan baku energi bio (biofuel), dan bahan baku industri nonpangan akan terus berlangsung dan semakin ketat dalam 10 tahun ke depan. Persaingan permintaan ini diturunkan dari peningkatan permintaan untuk produk ternak, semakin tingginya harga energi berbahan baku fosil, dan peningkatan permintaan produk industri yang memanfaatkan bahan pangan dalam proses produksinya. Permasalahan ini harus dapat diantisipasi secara arif melalui peningkatan produksi komoditas pangan yang tinggi dan pelibatan industri pangan



2.9 Alternatif- Alternatif Arah Kebijakan yang dapat diimplementasikan Untuk Mencapai Ketahanan Pangan yang Berkelanjutan Arah Kebijakan dan Strategi Ketahanan Pangan Berkelanjutan Alternatif Arah Kebijakan Untuk menghadapi tantangan dan permasalahan seperti diuraikan di atas agar dapat dicapai ketahanan pangan berkelanjutan menuju 2025, perlu ada penyesuaian atau perubahan arah kebijakan yang saat ini diimplementasikan. Perubahan pendekatan arah kebijakan yang disarankan meliputi tujuan, cara, dan sasaran pembangunan ketahanan pangan : 1. Pertama, tujuan untuk mencapai swasembada pangan diubah menjadi mencapai kemandirian pangan. Dengan pendekatan swasembada, seringkali untuk pencapaiannya dilakukan dengan mengabaikan prinsif efisiensi usaha dan kelayakan teknis, ekonomi, ataupun sosial, sehingga dapat terjadi misalokasi sumber daya untuk pembangunan. Dengan pendekatan kemandirian pangan, sesuai arahan UU Pangan, pencapaiannya dapat dilakukan dengan meningkatkan kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beranekaragam dengan memanfaatkan potensi sumber daya (alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal) secara bermartabat. Praktik operasional pencapaiannya dapat dilakukan dengan menerapkan prinsip keunggulan komparatif atau kompetitif, dan prinsip efisiensi dan dayasaing.



20



Dengan pendekatan ini, dalam RPJMN harus sudah ditetapkan rancangan pengembangan produksi pangan ke dalam tiga kelompok komoditas, yaitu: a) jenis komoditas pangan yang dapat dikembangkan tidak hanya mencapai swasembada tetapi juga mengisi pasar ekspor (promosi ekspor), b) jenis pangan yang memiliki potensi untuk dikembangkan sehingga dapat memenuhi seluruh kebutuhan dalam negeri dengan pemanfaatan teknologi yang telah tersedia dan dapat diimplementasikan segera (substitusi impor), dan c) beberapa jenis pangan yang memang sebagian atau seluruhnya terpaksa harus diimpor karena ada permintaan untuk pangan tersebut di dalam negeri, namun Indonesia belum memiliki dayasaing untuk memproduksinya. 2. Kedua, cara pencapaian ketahanan pangan melalui peningkatan produksi pangan diubah menjadi peningkatan pendapatan petani dan masyarakat perdesaan. Untuk melaksanakan pendekatan ini, UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani telah memberikan tuntunan cara memberdayakan petani untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi dan dayasaing (Suryana, 2013c). Untuk para petani kecil yang mengusahakan lahan ratarata kurang dari 1,0 ha, dalam upaya meningkatkan efisiensi dan keuntungan petani, rekayasa sosial-ekonomi seperti usahatani korporasi (corporate farming), usahatani koperasi (cooperative farming), atau pendekatan sekolah lapang (field school approach) dapat dipertimbangkan untuk diterapkan secara luas. 3. Ketiga, sasaran pemenuhan konsumsi pangan secara kuantitas diubah menjadi pemenuhan konsumsi pangan yang beragam bergizi seimbang dan aman (B2SA). Untuk itu perlu dilakukan promosi penganekaragaman pangan dari sisi penyediaan dan sisi pemanfaatannya. Pengembangan sumber pangan dan jenis makanan baru yang mempunyai cita rasa, citra, dan harga yang bersaing perlu dilakukan. Di sisi lain, kampanye diversifikasi konsumsi pangan dengan meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi pangan B2SA perlu dijadikan gerakan nasional. Untuk itu, pemanfaatan teknologi pangan dalam rangka pengembangan produk pangan baru atau memperkenalkan pola konsumsi dan pemanfaatan pangan berbasis sumber pangan lokal menjadi suatu keharusan. 21



Ketiga pendekatan baru untuk menuju ketahanan pangan Indonesia berkelanjutan 2025, strategi umum pembangunan ketahanan pangan adalah untuk: (1) mengembangkan kapasitas nasional dalam peningkatan produksi pangan secara mandiri dan berkelanjutan; (2) mempromosikan diversifikasi pangan berbasis sumber daya pangan lokal untuk mencapai pola konsumsi pangan B2SA; (3) menyediakan pangan yang cukup dari sisi jumlah, keragaman, kualitas, dan keamanan, dengan tingkat harga terjangkau daya beli masyarakat luas, serta menjaga stabilitas harga pangan pokok; dan (4) menyediakan pangan bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan melalui pendistribusian bantuan pangan atau pangan bersubsidi. Strategi menuju ketahanan pangan Indonesia berkelanjutan 2025 dikelompokkan menurut subsistem dalam sistem ketahanan pangan seperti diatur dalam UU Pangan, yaitu ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, dan pemanfaatan pangan. Seluruh strategi yang ditawarkan dalam artikel ini dirancang sejalan dengan arahan dari UU Pangan (Suryana, 2013b) Strategi Ketersediaan Pangan Ketersediaan pangan merupakan subsistem pertama dari tiga subsistem dalam sistem ketahanan pangan dan pangkal dari upaya menujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan. Modal utama dalam mewujudkan ketersediaan pangan adalah kekayaan sumber daya yang beragam, ketersediaan teknologi, dan pengembangan kemitraan strategis dengan berbagai komponen pemangku kepentingan. Empat strategi yang diajukan dalam membangun ketersediaan pangan adalah sebagai berikut. 1) Pertama, membangun penyediaan pangan berasal dari produksi domestik dari cadangan pangan nasional Bila dari kedua sumber pangan tersebut tidak dapat memenuhi atau mencukupi kebutuhan, pangan dapat diimpor dengan jumlah sesuai kebutuhan (UU Pangan pasal 14 dan 15). Untuk itu perlu upaya:



22



a) meningkatkan produksi pangan penting secara ekonomi, sosial, dan politik dengan menggunakan sumber daya domestik secara optimal; b) membangun cadangan pangan pokok pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat yang kuat; dan c) bila diperlukan, menetapkan kebijakan impor pangan yang dirancang secara cermat untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, namun tidak berdampak negatif terhadap agribisnis pangan domestik. 2) Kedua, untuk memberdayakan usaha pangan skala kecil yang menjadi ciri dominan pada ekonomi pertanian Indonesia, perlu dilakukan: (a) menyelaraskan atau mengintegrasikan aktivitas usaha pangan skala kecil ke dalam rantai pasok pangan (food supply chain) dan (b) upaya menghimpun usahatani skala kecil sehingga mencapai skala ekonomi dengan menerapkan rekayasa sosial-ekonomi seperti corporate farming atau contract farming dalam satu luasan skala tertentu, seperti telah disebutkan sebelumnya. 3) Ketiga, mempercepat diseminasi teknologi dan meningkatkan kapasitas petani dalam mengadopsi teknologi tepat-guna untuk peningkatan produktivitas tanaman dan efisiensi usaha. Salah satu langkah operasional yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kapasitas penyuluh dan petani, baik dari aspek teknis maupun kapabilitas manajerial dalam mengelola usahatani. 4) Keempat, mempromosikan pengurangan kehilangan pangan melalui pemanfaatan teknologi penanganan, pengolahan, dan distribusi pangan. Peningkatan aksesibilitas petani secara fisik dan ekonomi terhadap teknologi pengolahan pangan tersebut mutlak diperlukan. Selain itu, perlu upaya untuk mengurangi pemborosan pangan melalui gerakan pengurangan pemborosan pangan secara sistematis dan masif ke berbagai lapisan masyarakat dengan pendekatan sosial budaya. Strategi Keterjangkauan Pangan Subsistem ketejangkauan pangan terkait dengan aksesibilitas perseorangan terhadap pangan baik dari aspek fisik ataupun aspek ekonomi. Aspek fisik terkait dengan kualitas prasarana dan sarana transportasi, sistem distribusi dan logistik pangan, dan kebijakan pemasaran dan perdagangan pangan. Aspek ekonomi terkait dengan daya beli perseorangan dan rumah tangga yang dicerminkan oleh pendapatan dan sistem kekerabatan dalam mengatasi masalah pangan dalam suatu keluarga besar. Dengan demikian, strategi keterjangkauan pangan meliputi: 23



(1) memperkuat dan memfasilitasi pengembangan pemasaran dan perdagangan pangan yang efisien serta pengembangan pasar pangan di perdesaan; (2) menjaga stabilitas pasokan dan harga pangan pokok melalui pengelolaan cadangan pangan pokok pemerintah pusat dan daerah, dan memanfaatkan instrumen kebijakan perdagangan internasional pangan dengan mendahulukan pertimbangan kepentingan nasional namun juga selaras dengan kesepakatan internasional; (3) merevitalisasi sistem kelembagaan lumbung pangan masyarakat menjadi sistem cadangan pangan masyarakat yang dikelola dengan prinsip efisiensi ekonomi, namun tetap mempunyai fungsi sosial; dan (4) menyalurkan bantuan pangan ataupun pangan bersubsidi sesuai pola konsumsi pangan setempat bagi yang masyarakat miskin dan kekurangan pangan. Strategi Pemanfaatan Pangan Kualitas pemanfaatan pangan dipengaruhi oleh daya beli, selera, pengetahuan dan kesadaran gizi masyarakat, dan ketersediaan pangan itu sendiri. Pemanfaatan pangan merupakan muara dari suatu sistem ketahanan pangan karena akan menentukan kualitas perseorangan untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif. Karena itu, strategi pemanfaatan pangan tidak kalah pentingnya dengan dua strategi sebelumnya dalam sistem ketahanan pangan. Strategi pemanfaatan pangan terdiri dari: (1) mempromosikan diversifikasi konsumsi pangan berdasarkan potensi sumber daya pangan lokal, keragaman makanan daerah, dan kearifan lokal, dengan acuan pola konsumsi pangan B2SA; (2) memperbaiki status gizi masyarakat melalui pengayaan atau fortifikasi untuk zat gizi tertentu pada pangan yang dikonsumsi sebagian besar masyarakat, seperti beras, minyak goreng, dan garam dan; (3) mengupayakan agar tercipta kemampuan untuk menjamin pangan yang diedarkan atau diperdagangkan kepada masyarakat mem punyai karakteristik aman, higienis, berkualitas,



24



bergizi, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat. (Suryana,S . 2014) . 2.10 Strategi apa yang dapat



digunakan untuk dapat memanfaatkan pangan secara



optimal?



Pasal 13 Undang-undang RI Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan Pemerintah berkewajiban mengelola stabilisasi pasokan dan harga Pangan Pokok, mengelola cadangan Pangan Pokok Pemerintah, dan distribusi Pangan Pokok untuk mewujudkan kecukupan Pangan Pokok yang aman dan bergizi bagi masyarakat. Pemenuhan konsumsi Pangan tersebut harus mengutamakan produksi dalam negeri dengan memanfaatkan sumber daya dan kearifan lokal secara optimal. Untuk mewujudkan hal tersebut, tiga hal pokok yang harus diperhatikan adalah (i) ketersediaan pangan yang berbasis pada pemanfaatan sumber daya lokal secara optimal, (ii) Dampak Masalah , serta (iii) pemanfaatan pangan atau konsumsi Pangan dan Gizi untuk hidup sehat, aktif, dan produktif. Pewujudan ketersediaan pangan yang berbasis pada pemanfaatan sumber daya lokal secara optimal dilakukan dengan Penganekaragaman Pangan dan pengutamaan Produksi Pangan dalam negeri. Pewujudan keterjangkauan Pangan dari aspek fisik dan ekonomi dilakukan melalui pengelolaan stabilisasi pasokan dan harga Pangan Pokok, pengelolaan cadangan Pangan Pokok, dan pendistribusian Pangan Pokok. Pemanfaatan pangan atau konsumsi Pangan dan Gizi akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan. Hal itu dilakukan melalui pemenuhan asupan Pangan yang beragam, bergizi seimbang, serta pemenuhan persyaratan Keamanan Pangan, Mutu Pangan, dan Gizi Pangan. Strategi yang akan dilakukan meliputi: 1. Peningkatan ketersediaan pangan melalui penguatan kapasitas produksi dalam negeri, yang meliputi komoditas padi, jagung, kedelai, daging, gula, cabai dan bawang merah.



25



2. Peningkatan kualitas distribusi pangan dan aksesibilitas masyarakat terhadap pangan, 3. Perbaikan kualitas konsumsi pangan dan gizi masyarakat, 4. Mitigasi gangguan terhadap ketahanan pangan dilakukan terutama mengantisipasi bencana alam dan dampak perubahan iklim dan serangan organisme pengganggu tanaman dan penyakit hewan, 5. Peningkatan kesejahteraan pelaku utama penghasil bahan pangan.



Dalam rangka mencapai ketahanan pangan yang mantap dan berkesinambungan, ada 3 (tiga) komponen pokok yang harus diperhatikan, yaitu: (1) Ketersediaan pangan yang cukup dan merata; (2) Keterjangkauan pangan yang efektif dan efisien; dan (3) Konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, aman dan halal. Ketiga komponen tersebut diwujudkan sampai tingkat rumah tangga, dengan : (1) Memanfaatkan potensi sumberdaya lokal yang beragam untuk peningkatan ketersediaan pangan dengan teknologi spesifik lokasi dan ramah lingkungan; (2) Mendorong masyarakat untuk mau dan mampu mengkonsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman untuk kesehatan; (3) Mengembangkan perdagangan pangan regional dan antar daerah, sehingga menjamin pasokan pangan ke seluruh wilayah dan terjangkau oleh masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); (4) Memanfaatkan pasar pangan internasional secara bijaksana bagi pemenuhan konsumen yang beragam; dan (5) Memberikan jaminan bagi masyarakat miskin di perkotaan dan perdesaan dalam mengakses pangan yang bersifat pokok. Untuk penguatan strategi tersebut dilakukan kegiatan sebagai berikut : 



Pemantapan Ketersediaan dan Penanganan Rawan Pangan







Penyusunan dan analisis Neraca Bahan Makanan (NBM)







Penyusunan dan analisis Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Peta FSVA)







Implementasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG), serta intervensi dan mitigasi penanganan rawan/kurang Pangan







Pemberdayaan Kawasan Mandiri Pangan







Pemantauan Ketersediaan dan Kerawanan Pangan



Peningkatan Kesejahteraan Petani Kecil, melalui 26







Pemberdayaan petani kecil dan gender







Pengembangan rantai nilai tanaman perkebunan







Pengembangan pemasaran dan produksi pertanian



Peningkatan Kemampuan Kelembagaan Distribusi dan Cadangan Pangan serta Stabilitas Harga Pangan, melalui 



Penguatan lembaga distribusi pangan masyarakat (LDPM)







Pemberdayaan lumbung pangan masyarakat (LPM)







Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat (PUPM)/Toko Tani Indonesia (TTI)







Pemantauan pasokan harga pangan menghadapi hari besar keagamaan nasional (HBKN)







Pemantauan pasokan, harga, distribusi dan cadangan pangan serta tindaklanjut gejolak harga pangan



Peningkatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan dan Keamanan Pangan, melalui 



Pemberdayaan pekarangan pangan







Advokasi, kampanye, promosi dan sosialisasi tentang konsumsi pangan lokal kepada aparat dan masyarakat







Pemantauan penganekaragaman konsumsi pangan







Analisis pola konsumsi dan kebutuhan konsumsi pangan







Pengembangan usaha pengolahan pangan lokal UMKM dan rumah tangga







Pengawasan keamanan dan mutu pangan



2.11 Jelaskan dampak yang terjadi bila ketahanan pangan tidak tercapai? 1. Terjadi kasus rawan pangan diberbagai wilayah Indonesia. Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Keuangan memanfaatkan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas0FSVA) sebagai salah satu rujukan dalam menetapkan lokasi program ketahanan pangan. FSVA merupakan peta 27



tematik yang menggambarkan visualisasi geografis dari hasil analisa data indikator kerentanan terhadap kerawanan pangan. Informasi dalam FSVA menjelaskan lokasi wilayah  rentan terhadap kerawanan pangan dan indikator utama daerah tersebut rentan terhadap kerawanan pangan. Hasil sementara FSVA 2018 menunjukan sebanyak 81 kabupaten termasuk dalam katagori rentan terhadap rawan pangan yang terbagi atas 26 kabupaten (6,3%) prioritas 1, 21 kabupaten (5%) prioritas 2 dan 34 kabupaten (8,2%) Prioritas 3. Indikator utama pada wilayah yang rentan tersebut adalah: tingginya rasio konsumsi normatif terhadap ketersediaan pangan; tingginya balita stunting, dan tingginya penduduk miskin. 2. Melejitnya harga kebutuhan pokok khususnya pagan. Inflasi bahan makanan selama tiga tahun terakhir sekitar dua kali lipat disbanding inflasi umum. Disatu pihak petani membutuhkan insentif harga agar mereka mau meningkatkan kualitas produksi dan dilain pihak masyarakat miskin terbebani dengan kenaikan harga 3. Mendonimasi produk pangan impor yang menunjukan kecenderungan peningkatan secara berkala. Seperti kedelai, gandum, daging, gula, beras, dll. Pemenuhan kebutuhan daging juga tidak bisas dicukupi dengan pasokan domestic. Produksi gula mengikuti perkembangan konsumsi. 4. Ketidakberdayaan petani sebagai produsen sekaligus konsumen. Peristiwa kasat mata yang terjadi terkait membanjirnya produk gula impor yang membuat petani tebu dengan terpaksa harus membakar lahan tebunya sebagai bukti ketidaksetujuan atas kebijakan pemerintah membuka kran impor gula tersebut. Petani dihadapkan pada gejolak tingginya harga pangan sehingga menyebabkan kerugian pada petani. 5. Menguatnya fenomena korporasi multinasional dalam rantai pasok pangan domestic. Sebagai Negara agraris, pemerintah dalam memenuhi hak-hak dasar warga negaranya secara nyata dan jelas dijamin konstitusi Negara. Sesuai dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 2 “cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara; ayat 3 Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan digunaan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 6. Ketergantungan pada impor sehingga harga menjadi mahal sebagai contoh pada kedelai yang semakin meningkat baik volume maupun nilainya, sangat membahayakan terhadap 28



ketahanan pangan nasional. Bukti empiris adanya lonjakan harga kedelai di atas ambang batas psikologis telah membuat susah banyak orang karena adanya “multiplier effect” dari adanya gejolak ini, adanya impor kedelai yang sebenarnya dapat di produksi petani dalam negeri, membuat turunnya semangat petani untuk meningkatkan produksi. Peningkatkan produksi kedelai dalam negeri menjadi amad penting guna meperkuat ketahanan pangan , terus merosotnya produksi kedelai dalam negeri dengan konsekuensi mengimpor kedelai dalam jumlah yang sangat besar telah mengancam ketahanan pangan nasional, di perlukan peluasan areal yang di sertai peningkatan produktivitas (terutama mengatasi senjang hasil antara petani dengan hasil riset), stabilitas hasil, pengurangan kehilangan hasil panen dan pasca panen, upaya lain di perlukan mendapat prioritas adalah perbaikan infrastruktur dan mengefektifkan kerja penyuluhan yang dikaikan dengan  penelitian serta melibatkan pihak swasta untuk menjalin kemitraan dengan petani atau kelompok tani yang di dukung oleh kebijakan makro yang kondusif langkah ini sangat penting untuk tingkat pertumbuhan penduduk dengan menggencarkan kembali program awal. 7. Masalah gizi yaitu gangguan kesehatan seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh tidak seimbangnya pemenuhan kebutuhannya akan zat gizi yang diperoleh dari makanan. Masalah gizi yang dalam bahasa Inggris disebut malnutrition, dibagi dalam dua kelompok yaitu masalah gizi-kurang (under nutrition) dan masalah gizi-lebih (over nutrition), baik berupa masalah gizi-makro ataupun gizi-mikro. Gangguan kesehatan akibat masalah gizi-makro dapat berbentuk status gizi buruk, gizi kurang, atau gizi lebih. Sedang gangguan kesehatan akibat masalah gizi mikro hanya dikenal sebutan dalam bentuk gizi kurang zat gizi mikro tertentu, seperti kurang zat besi, kurang zat yodium, dan kurang vitamin A. Masalah gizi makro, terutama masalah kurang energi dan protein (KEP), telah mendominasi perhatian para pakar gizi selama puluhan tahun.



Apa pendapat saudara mengenai berita bahwa pemeliharaan ternak sapi dapat merusak lingkungan karena setara dengan pemborosan bahan bakar?



29



Kementerian Lingkungan Hidup (2010), menyatakan bahwa secara sektoral, pertanian berada pada urutan keempat dalam penyumbang emisi gas rumah kaca setelah sektor kehutanan, energi dan limbah. Sektor pertanian yang terdiri dari peternakan, budidaya padi sawah, pembakaran padang sabana, pembakaran limbah pertanian dan tanah pertanian setidaknya menyumbang 5 % dari keseluruhan emisi gas rumah kaca. Kegiatan peternakan menyumbang sekitar 24,1% dari total emisi yang berasal dari sektor pertanian. Emisi yang berasal dari peternakan bersumber dari aktivitas pencernaan ternak dan pengelolaan kotoran ternak (Harianto dan Thalib, 2009). Gas rumah kaca yang dihasilkan oleh kegiatan peternakan sebagian besar adalah gas metana (CH4) yang dampaknya 21 kali lebih berbahaya dibandingkan dengan CO2. Gas metana yang bersumber dari peternakan berasal dari dua sumber emisi yaitu pencernaan dan feses. Gas metana ini adalah salah satu gas yang bertanggung jawab terhadap pemanasan global dan perusakan ozon, dengan laju 1 % per tahun dan terus meningkat. Apalagi di Indonesia, emisi metana per unit pakan atau laju konversi metan lebih besar karena kualitas hijauan pakan yang diberikan rendah. Semakin tinggi jumlah pemberian pakan kualitas rendah, semakin tinggi produksi metana. Sesuai dengan Undang – Undang nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka setiap usaha disamping mendapatkan keuntungan atau profit hendaknya juga menjaga kelestarian lingkungan dengan meminimalkan timbulnya limbah bahkan mengolah limbah hingga menjadi produk yang bernilai. Limbah akan dapat diatasi dan bisa menjadi bukan lagi sebuah masalah, bahkan dari limbah dapat menjadi sesuatu yang bermanfaat jika dikelola dengan baik dan benar. Berbagai bentuk penanganan limbah peternakan sapi, antara lain: 1.



Pengomposan Pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara



biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Proses pengomposan melibatkan  sejumlah organisme tanah termasuk bakteri, jamur, protozoa, aktinomisetes, nematoda, cacing tanah, dan serangga. Populasi dari semua organisme ini berfluktuasi, tergantung dari proses pengomposan. Pada prinsipnya, teknologi pengomposan yang selama ini diterapkan meniru proses terbentuknya humus oleh alam dengan bantuan mikroorganisme. Melalui rekayasa kondisi lingkungan kompos dapat dibuat serta



30



dipercepat prosesnya. Proses pengomposan dapat dilakukan secara aerobik dan anaerobik, biasanya dengan bantuan EM4 (Rorokesumaningwati, 2000). Proses pengomposan dapat terjadi secara aerobik (menggunakan oksigen) atau anaerobik (tidak ada oksigen). Proses yang dijelaskan sebelumnya adalah proses aerobik, dimana mikroba menggunakan oksigen dalam proses dekomposisi bahan organik. Proses dekomposisi dapat juga terjadi tanpa menggunakan oksigen yang disebut proses anaerobik. Namun, proses ini tidak diinginkan, karena selama proses pengomposan akan dihasilkan bau yang tidak sedap. Proses anaerobik akan menghasilkan senyawa-senyawa yang berbau tidak sedap, seperti: asam-asam organik (asam asetat, asam butirat, asam valerat, puttrecine), amonia, dan H2S (Crawford, 2003). Kecepatan pengomposan dipengaruhi oleh banyak-sedikitnya jumlah mikroorganisme yang membantu pemecahan atau penghancuran bahan organik yang dikomposkan. Dari sekian banyak mikroorganisme, diantaranya adalah bakteri asam laktat yang berperan dalam menguraikan



bahan



organik,



bakteri



fotosintesis



yang



dapat



memfiksasi



nitrogen,



dan Actinomycetes yang dapat mengendalikan mikroorganisme patogen sehingga menciptakan kondisi yang baik bagi perkembangan mikroorganisme lainnya (Isroi, 2008). Prinsip yang digunakan dalam pembuatan kompos adalah proses dekomposisi atau penguraian yang merubah limbah organik menjadi pupuk organik melalui aktifitas biologis pada kondisi yang terkontrol. Dekomposisi pada prinsipnya adalah menurunkan karbon dan nitrogen (C/N) ratio dari limbah organik sehingga pupuk organik dapat segera dimanfaatkan oleh tanaman. Pada proses dekomposisi akan terjadi peningkatan temperatur yang dapat berfungsi untuk membunuh biji tanaman liar (gulma), bakteri-bakteri patogen dan membentuk suatu produk perombakan yang seragam berupa pupuk organik (Kaharudin dan Sukmawati, 2010). 2.



Biogas Biogas adalah suatu jenis gas yang bisa dibakar, yang diproduksi melalui proses



fermentasi anaerobic bahan organic seperti kotoran ternak dan manusia, biomassa limbah pertanian atau campuran keduanya, di dalam suatu ruang pencerna (digester). Proses terjadinya biogas adalah fermentasi anaerob bahan organik yang dilakukan oleh mikroorganisme sehingga menghasilkan gas yang mudah terbakar. Secara kimia, reaksi yang terjadi pada pembuatan biogas cukup panjang dan rumit, meliputi tahap hidrolisis, tahap pengasaman, dan tahap metanogenik. 31



Komposisi biogas yang dihasilkan dari fermentasi tersebut terbesar adalah gas metana (CH4) sekitar 54-70% serta gas karbondioksida (CO2) sekitar 27-45%. Gas metana (CH4) yang merupakan komponen utama biogas merupakan bahan bakar yang berguna karena mempunyai nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu sekitar 4800 sampai 6700 Kkal/m³, sedangkan gas metana murni mengandung energi 8900 Kkal/m³. Karena nilai kalor yang cukup tinggi itulah biogas dapat dipergunakan untuk keperluan penerangan, memasak, menggerakkan mesin dan sebagainya. Sistim produksi biogas juga mempunyai beberapa keuntungan seperti mengurangi pengaruh gas rumah kaca dan mengurangi polusi bau yang tidak sedap (Nurhasanah, 2005).



BAB III KESIMPULAN 1. Ketahanann pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyrakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan 2. Aspek ketahanan pangan yaitu: Ketersediaan Pangan, Stabilitas Pangan, Aksesibilitas Pangan, dan Penggunaan Pangan 3. Kedaulatan Pangan dan Kemandirian Pangan ada lima komponen yaitu ketersediaan yang cukup, stabilitas ketersediaan, keterjangkauan, mutu/keamanan pangan yang baik dan tidak ada ketergantungan pada pihak luar 4. Swasembada pangan adalah usaha mencukupi kebutuhan pangan secara bebas, mandiri, dan otonom. 5. Tiga komponen utama ketahanan pangan yaitu: (1) Ketersediaan pangan yang cukup dan merata; 32



(2) Keterjangkauan pangan yang efektif dan efisien; serta (3) Konsumsi pangan yang beragam dan bergizi seimbang 6. Tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan ketahanan pangan yaitu dikelompokkan menjadi dua yaitu: a. Tantangan dari sisi penawaran atau penyediaan pasokan pangan b. Tantangan dari sisi permintaan atau kebutuhan dan pemanfaatan pangan 7. Alternatif arah kebijakan yaitu: a. tujuan untuk mencapai swasembada pangan diubah menjadi mencapai kemandirian pangan. b. cara pencapaian ketahanan pangan melalui peningkatan produksi pangan diubah menjadi peningkatan pendapatan petani dan masyarakat perdesaan c. sasaran pemenuhan konsumsi pangan secara kuantitas diubah menjadi pemenuhan konsumsi pangan yang beragam bergizi seimbang dan aman (B2SA) 8. strategi yang dapat digunakan untuk dapat memanfaatkan pangan secara optimal yaitu: 



Peningkatan ketersediaan pangan melalui penguatan kapasitas produksi dalam negeri, yang meliputi komoditas padi, jagung, kedelai, daging, gula, cabai dan bawang merah.







Peningkatan kualitas distribusi pangan dan aksesibilitas masyarakat terhadap pangan,







Perbaikan kualitas konsumsi pangan dan gizi masyarakat,







Mitigasi gangguan terhadap ketahanan pangan dilakukan terutama mengantisipasi bencana alam dan dampak perubahan iklim dan serangan organisme pengganggu tanaman dan penyakit hewan,







Peningkatan kesejahteraan pelaku utama penghasil bahan pangan.



9. Dampak bila ketahanan pangan tidak tercapai yaitu: a. Terjadi kasus rawan pangan diberbagai wilayah Indonesia. b. Melejitnya harga kebutuhan pokok khususnya pagan c. Mendonimasi produk pangan impor yang menunjukan kecenderungan peningkatan secara berkala. d. Ketidakberdayaan petani sebagai produsen sekaligus konsumen e. Menguatnya fenomena korporasi multinasional dalam rantai pasok pangan domestic f. Ketergantungan pada impor sehingga harga menjadi mahal 33



g. Masalah gizi yaitu gangguan kesehatan seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh tidak seimbangnya pemenuhan kebutuhannya akan zat gizi yang diperoleh dari makanan



DAFTAR PUSTAKA Achmad



Suryana,



2014.



MENUJU



KETAHANAN



PANGAN



INDONESIA



BERKELANJUTAN 2025: TANTANGAN DAN PENANGANANNYA, Pusat Sosial Ekonomi



dan



Kebijakan



http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/fae/article/view/3813/3162,



Pertanian. diunduh



4



November 2018 bkp.pertanian.go.id, diakses 5 November 2018 pukul 11.30 wib Crawford, J. 2003. Composting of Agricultural Waste in Biotechnology Applications and Research. p. 68-77. Harianto, B. dan Thalib, A. 2009. Emisi Metan dari Fermentasi Entrik: Kontribusinya secara Nasional dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya pada Ternak. Balai Penelitian Ternak. Kaharudin dan Sukmawati. 2010. Manajemen Limbah Ternak untuk Kompos dan Biogas. Nusa Tenggara Barat: Balai Pengkajian dan Teknologi Pertanian. 34



Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. http://www.menlhk.go.id. Diakses tanggal 3 November 2018. Laporan Kinerja Badan Ketahanan Pangan, 2017 Malau,



Fadmin Prihatin. 2013. Mengukur Ketahanan Pangan Indonesia. http://www.neraca.co.id/article/34126/mengukur-ketahanan-pangan-indonesia-oleh-irfadmin-prihatin-malau-dosen-komunikasi-agribisnis-di-fakultas-pertanian-univmuhammadiyah-sumatera-utara-medan. Diakses pada 4 November 2018.



Media



Online Kontan. 2017. Benarkah Indonesia swasembada https://nasional.kontan.co.id/news/benarkah-indonesia-swasembada-pangan. pada 4 November 2018.



pangan?. Diakses



Nurhasanah. 2005. Biogas Sebagai Energi Alternatif. Jakarta: Penerbit Media Pustaka Press.  republika.co.id/berita/ekonomi/pertanian diakses 5 november 2018 pukul 10.15 wib Rorokesumaningwati. 2000. Pupuk dan Pemupukan. Samarinda: Universitas Mulawarman Press. Simatupang, A., H. 2018. Penanggulangan Limbah Peternakan untuk Mengurangi Dampak Negatif



terhadap



Lingkungan.



https://sivitasakademika.wordpress.com/2018/04/04/penanggulangan-limbah-peternakanuntuk-mengurangi-dampak-negatif-terhadap-lingkungan/. Sumarno. 2017. Pangan Kemandirian Pangan Nasional Mengapa Sulit Dicapai dan Apa yang Harus dilakukan. Litbang Pertanian. http://www.litbang.pertanian.go.id/buku/swasembada/BAB-V-1.pdf. Diakses pada 4 November 2018. Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan. Undang-undang RI Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/APBN Menuju Ketahanan Pangan Nasional



35