Makalah Kelompok 1 Teori New Historicism [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Tugas Kelompok 1



SASTRA BANDINGAN “TEORI NEW HISTORICISM”



OLEH : MARCELLA DIONI ETRIS ARMIAS ADIN PURNOMO AJI JUMILA BERLIANA SARI MUHAMMAD RIF'AT HIDAYAT WA ODE WINDRA SARI CICI FANISA HARUSU SITI HADIJAH MONICA SANDY ANI NURMINA WA ANANG HASRI NOFIYANTI ASNAL ERLIANTI SUCI SUKMAYANTI ANWAR HILDA ZULHIJAH



(N1D119008) (N1D119060) (N1D119044) (N1D119074) (N1D119054) (N1D119082) (N1D119114) (N1D119024) (N1D119100) (N1D119030) (N1D119046) (N1D119040) (N1D119068) (N1D119050) (N1D119026) (N1D119106) (N1D118032) (N1D118068)



JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2021



KATA PENGANTAR



Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga dalam pembuatan makalah ini dapat terselesaikan sebagaimana mestinya. Salam dan shalawat semoga tetap tercurah kepada rasulullah Muhammad SAW, kepadasahabat-sahabatnya, dan kepada umatnya hingga akhir zaman. Pertama-tama kami mengucapkan terimakasih kepada dosen yang dengan kegigihan dan keikhlasannya membimbing kami sehingga kami bisa mengetahui sedikit demi sedikit apa yang sebelumnya kami tidak ketahui. Juga tak lupa teman-teman seperjuangan yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah “TEORI NEW HISTORICISM” ini. Makalah ini kami buat dengan sesederhana mungkin dan jika ada kesalahan dalam penyusunan makalah ini, kami berharap dan memohon saran serta kritikan dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini kedepannya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.



Kendari, Desember 2021



Penyusun



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah new historicism pertama kali digunakan oleh Stephen Greenblatt untuk menawarkan perspektif baru dalam kajian renaissance, menekankan keterkaitan teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang melingkupinya. Dalam Beginning Theory, Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya, terjemahan karya Peter Barry, dalam bahasa Indonesia digunakan istilah “sejarah baru” dan “historis baru”. New historicism mengandung dua hal yaitu, mengerti sastra melalui sejarah dan mengetahui budaya, sejarah, serta pemikiran melalui sastra. Karena itu, new historicism tidak membedakan teks sastra dengan nonsastra, seperti pandangan old history (sejarah sebagai latar belakang karya sastra) atau new criticism (sastra otonom atau ahistory). New historicism menerapkan metode kerja interteks dengan membaca beberapa teks secara paralel karena semua teks yang merupakan produk zaman dan saling berhubungan. Penerapan metode new historicism, membaca sastra “dalam rangkaian arsip” (Barry, 2010:203). New historicism memaknai sastra dalam kerangka hubungan dengan teks nonsastra, karena argumen tentang makna teks sastra sering sekali mudah diuraikan dengan melihat sejarah. New historicism menempatkan teks sastra dalam kerangka teks nonsastra (Barry, 2010:202). Hal ini sejalan dengan pendapat Greenblatt dalam rumusan “nothing comes of nothing” ketika mengkaji Shakespeare. Sehubungan dengan Shakespeare, Greenblatt bertanya: “dari mana ia memperoleh bahan-bahan”, “bagaimana ia bekerja dengan bahan-bahan itu”, dan “apa yang ia lakukan dengan bahanbahan itu”? New historicism tidak menilai produk budaya (tinggi-rendah, sastra-nonsastra, serius-populer) melainkan untuk menunjukkan bagaimana berbagai ragam teks saling terkait dengan persoalan zamannya karena sastra dan sejarah seperti jejaring teks. New historicism memandang bahwa sastra bukan sebagai cerminan transparan dan pasif sejarah, melainkan ikut membangun, mengartikulasikan,



dan mereproduksi konvensi, norma, nilai budaya melalui tindak verbal dan imajinatif kreatif. Menurut Barry (2010:202), dokumen sejarah tidak disubordinasikan sebagai konteks, melainkan dianalisis sebagai teks tersendiri, disebut “ko-teks”. Ko-teks atau ”teks dampingan” dalam Ismayasari (2011). Teks dan ko-teks dalam kajian new historicism dilihat sebagai ekspresi momen sejarah yang sama. Hakikat objektivitas kenyataan menjadi relatif sebab objektivitas kenyataan tidak diberikan melainkan terus-menerus harus dibangun, dengan konsekuensi tidak ada kenyataan yang sesungguhnya (Ratna, 2007:330-331). Sejarah dan karya sastra adalah dua objek yang berbeda. Karya sastra adalah fiksi sedangkan sejarah adalah fakta. Meski demikian, posisi sejarah tidak bisa dibedakan secara mentah antara kandungan fiksi dan fakta. Bahkan sebagai realitas, kedudukan sejarah dan sastra memiliki kesamaan. Wellek dan Warren (1995) menyatakan bahwa sebuah karya sastra dapat dilihat sebagai deretan karya yang tersusun secara kronologis berdasarkan kesesuaian fakta dan merupakan bagian dari proses sejarah. Penciptaan sebuah karya sastra, imajinasi pengarang akan dipengaruhi oleh kehidupan nyata baik itu dari masa lampau maupun pada masa sekarang.



B. Rumusan Masalah Rumusan masalah pada makalah ini yaitu : 1. Bagaimana sejarah tentang New Historicism? 2. Bagaimana pengertian dan definisi New Historicism?



C. Tujuan Tujuan dari makalah ini yaitu : 1. Untuk mengetahui sejarah tentang New Historicism 2. Untuk mengetahui pengertian dan definisi New Historicism



BAB II PEMBAHASAN A. Sejarah New Historicism New Historicism mencul pertama kali dalam jurnal Genre pada tahun 1982. Kata ini diungkapkan oleh Stephen Greenblat. Asal muasal dari studi atau kajian New Historicism ini menempatkan kajian kesusastraan dalam masa abad Renaissance dengan berbagai aspek di luar teks, seperti sosial, ekonomi, dan politik. Sesuai dengan nama, yakni New Historicism, kajian ini juga menghubungkan antara teks sastra dengan sejarah. Sastra sendiri dalam pandangan New Historicism tidak bisa dipisahkan dari kekuatan dan bidang sosial, ekonomi, dan politik. Sastra berada dalam bagian itu dan ikut membentuk bagian itu pula. Dalam konteks ini sastra memiliki sifat aktif, yakni menjadi penyebab ataupun penggerak dari terbentuknya suatu keadaan dan realitas dengan bidang-bidang yang lain, seperti sosial, ekonomi, dan politik. Kelahiran new historicism tidak dapat dilepaskan dari dinamika ilmu pengetahuan, khususnya kajian sastra. Sejak Perang Dunia II, kajian sastra menjadi disiplin yang eksklusif. Mereka membahas berbagai karya sastra dari aspek keindahan, struktur kebahasaan dan pesan-pesan tekstual yang terkandung di dalamnya. Pada tahun 1960-an diantara para profesor sastra Eropa daratan muncul keinginan untuk menjadikan disiplin sastra memiliki peran dalam memahami dan memecahkan problem sosial aktual. Untuk itu, karya sastra perlu dilihat tidak lagi hanya secara eksklusif dari aspek estetika, tetapi ditempatkan sebagai representasi atau produk budaya dari zamannya. New Historicism “tidak mengadakan pemisahan” lagi yang disebut teks sastra dan teks yang bukan sastra. Artinya baik sastra dan bukan sastra merupakan suatu produk yang sama, yang dihasilkan oleh zaman yang sama. Perspektif yang dibawa oleh New Historicism ini menawarkan suatu anggapan bahwa terbentuknya sejarah lokal merupakan bagian dari konstruksi sosial yang mana, baik sastra dan nonsastra memiliki peran yang sama dan saling bersifat aktif satu dengan yang lain. Dalam memandang produk kesusastraan,



perspektif ini sudah tidak lagi membicarakan persoalan budaya yang konamik dan budaya yang picisan. Semuanya dipandang dan diperlakukan sama. Mereka semua disebut budaya dan disebut sastra saja. New Historicism tidak lagi melakukan kritik, pemaknaan ataupun penilaian terhadap produk budaya yang dianggap sama itu, tetapi lebih mempersoalakan tentang hubungan dan dampak-dampak produk itu pada situasi zamannya. Hal ini menandakan satu konsep tentang intertekstualitas. Bila dalam kajian-kajian kesusastraan, terutama sosiologi sastra pendekatan tekstual hanya mempersoalkan sastra atau teks sastra sebagai satu cermin yang pasif terhadap realitas di luarnya, yang dipandang sebagai bentuk refleksi saja, perspektif yang ditawarkan oleh New Historicism sangat berbeda. Karya sastra atau teks sastra itu dipandang memiliki partisipasi yang aktif dalam membangun dan menciptakan keaadan pada zamannya. Karya sastra dalam konteks ini mampu mengucapkan kembali, memproduksi nilai-nilai, dan aspek berbudayaan dan suatu masyarakat pada zamannya.



B. Pengertian dan Definisi New Historicism New historicism merupakan salah satu teori sastra yang beranggapan bahwa sebuah karya sastra haruslah dipertimbangkan sebagai sebuah produk zaman, tempat, dan lingkungan penciptanya, dan bukan sebagai sebuah karya genius yang terisolasi. New historicism juga memandang sejarah seperti buku. Baginya, sejarah terdiri dari lembaran-lembaran yang memiliki satu versi dalam memandang realitas. Namun, fakta sejarah dalam konteks ini tidaklah absolut atau tunggal. Fakta sejarah sendiri terdiri dari berbagai macam pertentangan, ketidaksinambungan, plural, serta keanekaragaman sudut pandang dan cara menulis. Dalam konteks ini, baik karya sastra dan sejarah memiliki hubungan intertekstual. Fakta sejarah memiliki hubungan intertekstual dengan teks-teks kesusastraan dan yang bukan kesusastraan. Hal ini dikarenakan kedua-duanya dihasilkan oleh satu produk dan zaman yang sama. Dapat dilihat dari ungkapan yang mengatakan bahwa "sejarah sastra" dan "sastra sejarah". Hal itu memiliki



maksud membaca kesusastran sama artinya dengan membaca sejarah. Begitupun sebaliknya, membaca sejarah sama artinya dengan membaca kesusastraan. Berhubungan dengan hal ini pada hakikatnya fakta sejarah dipandang sebagai hasil dari konstruksi semata. Pandangan New Historicism yang beranggapan bahwa sastra bukanlah sesuatu yang otonom dan berdiri sendiri juga muncul di Inggris pada tahun 1960-an dikenal dengan nama Cultural Materialism. Cultural Materialism ini memiliki pandangan bahwa kesusastraan ataupun teks-teks sastra tidak lepas dari pendukungnya, seperti politik, ekonomi, serta hal lainnya. Baik yang sastra maupun yang bukan sastra saling mendukung dan menguatkan satu sama lain. Pelopor dari Cultural Materialism adalah Raymond Williams. Raymond Williams menekankan bagaimana pentingnya peranan kondisi material pada masa karya sastra tersebut dilahirkan pada zamannya. Pendekatan yang dikembangkan oleh Raymond Williams ini lebih menekankan pada satu usaha untuk merekonstruksi keadaan material ketika karya itu dihadirkan, baik ruang dan waktunya pun menjadi pertimbangan tersendiri. Dalam Cultural materialism yang diteliti adalah bagaimana produksi dan resepsi dari satu produk kesusastraan. Kekuatan ekonomi dan kapitalisme menjadi pertimbangan yang utama budaya dari pendekatan Cultural Materialism dikarenakan pendekatan ini pada hakikatnya merupakan bagian dari pendekatan neo-Marxis. Pelopor New Historicism lainnya seperti Stephen Greenblatt, dan Louis A.



Montrose,



Walter



Ben



Michaels



menggunakan



teori-teori



pascastrukturalisme dalam metode pembacaannya. Metode dekonstruksi dari Jacques Derrida adalah salah satu contohnya. Begitu juga tulisan dari Roland Barthes, ia menitikberatkan kebudayaan sebagai sistem tanda yang secara tidak langsung menghadirkan sesuatu dengan "tidak seperti adanya". Sejarah dan juga berbagai produk fisik budaya menjadi bagian yang tidak terlepas dari sistem tanda karena mereka juga termasuk tanda. Mereka melakukan penyeleksian dan berbagai tujuan tertentu untuk hadir. Penyeleksian dan hadirnya sejarah dan produk fisik budaya seperti uang, potret, lukisan, sastra,



dan lain-lain mengisyaratkan adanya ideologi, sikap, pandangan politis, ekonomis, dan cita-cita tertentu. Mereka dapat dimaknai secara plural atau beragam karena mereka hadir sebagai tanda. New Historicism melakukan semacam lompatan yang berguna untuk melengkapi pembacaan mereka terhadap suatu fenomena. Lompatan yang dimaksud diwujudkan dengan melibatkan intertekstualitas terhadap berbagai produk budaya. Teks-teks sastra, biografi politik, tulisan-tulisan politik, gambar (potret, poster, lukisan), buku harian, praktik ilmu, hingga resep masakan dan lain-lain, semua itu mempunyai hubungan dengan ideologi dalam konstruksi budaya. Dengan melihat kenyataan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa New Historicism ini pada hakikatnya memiliki satu kesamaan dengan pendekatan pascastruktural yang lainnya, yaitu seperti pascakolonial, feminis, dan cultural studies yang menekankan pada dimensi politis ideologis terhadap produk-produk budaya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa New Historicism tidak telepas



dari



persoalan



hubungan



kekuasaan.



Michel



Foucault



telah



membicarakan hubungan antara kekuasaan dengan bahasa. Relasi itu dihadirkan melalui sebuah wacana. New Historicism tersebut pada dasarnya menyerang kekosongan pada pendekatan yang bersifat formalisme yang melepaskan aspek sejarah dari pendekatannya. Seperti yang dikatakan oleh Clifford Geerzt, Victor Tuner, dan beberapa ahli-ahli antropologi budaya lainnya, New Historicism pada pendekatannya menggunakan satu metode pembacaan dengan sebuah metode pendeskripsi budaya melalui ataupun melibatkan tindakan sehingga cara ini sering disebut dengan thick description (Veeser, 1989: xi). New Historicism mempunyai beberapa aspek kunci yang lain. Aspek-aspek tersebut di antaranya: 1. Tiap aksi yang bersifat ekspresif sulit dicabut dalam jaringan praktik-praktik budaya yang material 2. Setiap aksi untuk memberi kritikan, perlawananan, dan pembongkaran satu kekuatan tidak bisa memakai mekanisme sarana-sarana budaya yang dikritiknya dan akan mudah terjebak dalam praktik yang sama.



3. Teks sastra dan teks yang bukan sastra memiliki sirkulasi yang sepadan. 4. Tidak ada teks atau wacana, imajinatif atau yang arsip/faktual, memberikan akses yang utuh pada kebenaran-kebenaran dan ekspresi kemanusian yang tidak berubah. 5. Akhirnya, setiap metode kritik dan bahasa yang digunakan dalam rangka membicarakan budaya yang terkait kapitalisme tidak bisa melepaskan dirinya dari konstruksi ekonomi yang telah mapan (Vesser, 1989: xi).



Kajian New Historicism memang tidak bisa dilepaskan dari definisi kekuasaan menurut Michel Foucault. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, kekuasaan dipandang sebagai suatu kekuatan yang berpotensi pada



bersirkulasi



terus-menerus,



tiada



berhenti,



dan



menimbulkan



produktifitas. Karya sastra bisa mendatangkan relasi kuasa melalui bahan bahasa. Kebudayaan pada pandangan New Historicism diartikan sebagai wilayah yang tarik-menarik, yaitu kekuatan-kekuatan pendukung budaya dalam praktik dan nilai-nilai sehingga memberikan satu kesimpulan mengenai modelmodel budaya, penilaian moralitas, serta sikap-sikap yang diidealkan. Produk budaya dapat menjadi suatu sarana praktik serta ekspresi yang langsung dari berbagai nilai budaya. Mengatur suatu budaya adalah satu usaha konstruksi batas-batas yang menjadi dasar eksistensi dari budaya itu sendiri. Salah satu tujuan dari New Historicism ini yaitu ingin menunjukan bahwa ideologi dapat berkerja dalam teks dengan bermacam-macam cara, kompleks, labil, dan memiliki kekuatan yang terus untuk berproses. Untuk melakukan pembacaan berdasarkan New Historiscim terhadap teks atau produk budaya, ada hal-hal yang harus diperhatikan untuk tujuan analisisnya. Beberapa hal berikut adalah cara untuk menyelesaikan berbagai permasalahan dari kajian yang dilakukan oleh New Historicism. 1. Bagaimanakah teks sastra berfungsi sebagai bagian dari rangkaian dengan sejarah yang lain dan teks-teks budaya dari periode yang sama, misalnya kode-kode hukum, upacara kelahiran, prioritas pendidikan, hingga persoalan hukuman pada anak-anak, bentuk-bentuk budaya pop yang lain, dan



persoalan seksualitas. Menjadi bagian dari thick description yang diberikan oleh kebudayaan untuk sumbangan pada sejarah. 2. Bagaimanakah menggunakan karya sastra untuk peta/memetakan hubungan timbal balik antara wacana yang tradisional dan yang subversi dalam sirkulasi budaya. 3. Menggunakan semacam analisis retoris yakni apakah teks sastra menambahkan sesuatu pemahaman dengan memanfaatkan kesusastraan, dan yang bukan kesusastraan, seperti politik, ilmu pengetahuan, ekonomi, pendidikan, dan berbagai teori yang lain. Kebudayaan apakah saling melengkapi, mendahului, tumpang-tindih, dan saling keterkaitan dalam monumen historis yang sama. 4. Apakah teks sastra itu menghadirkan atau memiliki peluang akan hadirnya kelompok-kelompok tertentu yang salah ditafsirkan dan di representasikan secara tidak benar dalam tradisi sejarah yang telah ada, seperti buruh, tahanan politik, perempuan, warna kulit, kelompok homoseksual, dan lainlain. New Historicism berusaha mengkaji dan melacak hubungan antara teks sastra dan yang bukan kesusastraan dengan interpretasi yang memfokuskan pada sirkulasi kekuatan dan dinamika individu serta identitas kelompok. 5. Bagaimana tanggapan terhadap karya yang dilakukan oleh institusi kesusastraan (kritikus, media kesusastraan, sarjana sastra, dan lain-lain) dan pembaca secara umum. Dalam konteks ini, resepsi itu meliputi keaslian, perubahan respon, dan hubungannya dengan penikmat, telah menentukan kebudayaan yang telah diterimanya (Tyson, 2006 : 299-300).



Selain itu, Greenblatt (dalam Keesey, 1994 : 446) juga memberikan semacam kunci-kunci untuk menganalisis teks sastra dengan perspektif New Historicism. Masalah tersebut erat kaitannya dengan proses produksi dan reproduksi dari tatanan budaya. Kunci-kunci untuk menganalisis teks itu diantaranya adalah praktik budaya yang mana saja yang dikuatkan atau diusung oleh teks. Selain itu, persoalan pembaca pada masa tertentu dalam memberikan pemaknaan karya sastra juga menjadi fokus perhatian. Sebagai seorang kritikus



sastra, persoalan perbedaan nilai atau norma budaya antara kritikus sastra dengan teks yang ditelitinya juga menjadi perhatiannya. Makna sosial dalam teks juga dikaitkan dalam pemahaman sosial teks itu sehingga pertanyaan yang muncul adalah pemahaman sosial apa sajakah yang mendasari terciptanya karya itu. Hadirnya karya sastra juga dilandasi atau digerakkan oleh satu kekuatan yang lain. Persoalan siapa yang menggerakkan karya sastra ini juga menjadi persoalan baik secara eksplisit dan implisit. Selain itu karya sastra juga memungkinkan mengandung struktur yang lebih luas yang berkaitan dengan teks itu sendiri. Metode thick description yang dikenalkan oleh Clifford Geertz juga ikut memberikan sumbangan terhadap kajian New Historicism. Metode thick description diartikan sebagai satu metode etnografi guna melakukan pemahaman satu produk budaya yang lain secara detail, jelas, dan rinci melalui pengupasan lapisan-lapisan makna yang begitu kompleks dan kode-kode budaya yang melatarbelakanginya. Clifford Geertz sendiri telah melakukan semacam perbandingan dalam metode interpretasi antropologi tersebut dengan satu cara dalam analisis naskah yang dilakukan dengan cara menyeleksi kodekode yang tersusun, dimana hal itu menjadi patokan tentang nilai-nilai sosialnya (Geertz, 1973: 10). Bagi metode ini, memahami tingkah laku manusia harus dibaca sebagai suatu tindakan simbolik seperti yang ditemukan dalam pengucapan bahasa, degradasi warna dalam sebuah lukisan, baris-baris dalam tulisan, atau komposisi nada-nada dalam permainan musik. Kebudayaan sebagai bentuk pertukaran dan menda]sari kajian dari New Historicism. Hal ini mengungkapkan bahwa kebudayaan merupakan suatu jaringan negosiasi untuk pertukaran benda-benda fisik, ide-ide, baik melalui lembaga perkawinan, perbudakan, dan lain-lain yang sering diistilahkan melalui pertukaran manusia itu sendiri. Karya sastra dalam konteks ini mempunyai peran sebagai pengatur mobilitas dan batas-batas manusia dalam budaya tertentu. Produk sosial, kultural, ekonomi, dan politis dalam pertukaran manusia itu kait-mengait satu dengan yang lain. Mekanisme ini kemudian mewujudkan semacam batas antara ekonomi dan yang bukan ekonomi. Atas



dasar pemikiran ini, determinasi atau peran dari kapitalis menjadi rangkaian dari sudut pandang New Historicism. New Historicism sendiri pada dasarnya lahir dari suatu tatanan masyarakat yang melahirkannya, yakni tatanan masyarakat kapitalis. Dalam hal ini kebenaran tidak dapat dipungkiri ketika New Historicism memanfaatkan istilah-stilah seperti negosiasi, pertukaran, sirkulasi, dan lain dimana hal itu tidak lain adalah bagian dari metafor sistem ekonomi yang berlandaskan pada sirkulasi uang dan modal.



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan New Historicism mencul pertama kali dalam jurnal Genre pada tahun 1982. Kata ini diungkapkan oleh Stephen Greenblat. Asal muasal dari studi atau kajian New Historicism ini menempatkan kajian kesusastraan dalam masa abad Renaissance dengan berbagai aspek di luar teks, seperti sosial, ekonomi, dan politik. Sesuai dengan nama, yakni New Historicism, kajian ini juga menghubungkan antara teks sastra dengan sejarah. Sastra sendiri dalam pandangan New Historicism tidak bisa dipisahkan dari kekuatan dan bidang sosial, ekonomi, dan politik. New historicism merupakan salah satu teori sastra yang beranggapan bahwa sebuah karya sastra haruslah dipertimbangkan sebagai sebuah produk zaman, tempat, dan lingkungan penciptanya, dan bukan sebagai sebuah karya genius yang terisolasi. New historicism memandang sejarah seperti buku. Baginya, sejarah terdiri dari lembaran-lembaran yang memiliki satu versi dalam memandang realitas. Namun, fakta sejarah dalam konteks ini tidaklah absolut atau tunggal. Fakta sejarah sendiri terdiri dari berbagai macam pertentangan, ketidaksinambungan, plural, serta keanekaragaman sudut pandang dan cara menulis.



DAFTAR PUSTAKA



Ardhianti Mimas.(2016). Kajian New Historicism Novel Hatta:Aku Datang Karena Sejatah Karya Sergius Sutanto.No. 1. Universitas Pgri Adi Buana Surabaya. Artika Wayan I.( 2015 ). Pengajaran Satra Dengan Teori New Historicism. Prasi. Vol. 10. No. 20. Jurusan Pendidakan Bahasa Dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa Dan Seni, Universitas Pendidikan Ganesha. Barry Petter. ( 2010 ). Pengantar Komprehensif Teori Sastra Dan Budaya Beginning Theory. ( Widiawati Harviyah Dan Setyarini Evi, Terjemahan ). Yogyakarta:Jalasutra. Qadriani Nurlailatul Dan Masda Arysandi. (2020). Fakta Sejarah Dalam Novel Rumpa'na Bone Karya Andi Makmur Makka (Kajian New Historicim). Jurnal Pembelajaran Bahasa Dan Sastra Indonesia. Jurusan Satra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Halu Oleo. Susanto Dwi, S.S,M. Hum. (2011). Pengantar Teori Sastra. Yokyakarta:Caps.