5 0 170 KB
INFORMED CONSENT
Oleh: Kelompok 4 Asariawati (P00341018054) Hastuti (P00341018064) Nur Hasan (P00341018074) Shafira Nurul Asni (P00341018084) Waode Ayu Sundari (P00341018095)
Dosen Pengampuh: Anita Rosanty, SST.,M.Kes NIP.196711171989032001
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN KENDARI JURUSAN AHLI TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK 2020
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penyusun dapat merampungkan penyusunan makalah Kendali Mutu Laboratorium Kesehatan dengan judul "INFORMED CONSENT” Penyusunan makalah semaksimal mungkin di upayakan dan didukung bantuan
dari
berbagai
pihak,
sehingga
dapat
memperlancar
dalam
penyusunannya.Untuk itu tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam merampungkan makalah ini. Namun tidak lepas dari semua itu, penyusun menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya.Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penyusun harapkan
Kendari, 2 November 2020
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................i DAFTAR ISI...................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang................................................................................. 1.2.Rumusan Masalah............................................................................ BAB II PEMBAHASAN 2.1. Pengertian Informed Consent......................................................... 2.2. Sejarah Informed Consent.............................................................. 2.3. Fungsi Informmed Consent........................................................... 2.4. Tujuan Informed Consent............................................................... 2.5. Dasar Hukum Informed Consent.................................................... 2.6 Bentuk Informed Consent…………………………………………. 2.7 Hal-hal yang dapat di Informasikan………………………………. 2.8 Aspek Hukum Informed Consent………………………………… BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan..................................................................................... DAFTAR PUSTAKA........................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa kesehatan adalah merupakan hak asasi manusia. Pada pasal 28 H dijelaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan jidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pelaksanaan
pelayanan
kesehatan
dalam
rangka
mempertahankan
kesehatan yang optimal harus dilakukan bersama-sama, oleh semua tenaga kesehatan sebagai konsekuensi dari kebijakan. Pelayanan kesehatan di rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat menempatkan tenaga keperawatan sebagai tenaga kesehatan mayoritas yang sering berhubungan dengan pasien sebagai pengguna jasa pelayanan rumah sakit. Perawat hadir 24 jam bersama pasien dan memiliki hubungan yang lebih dekat dengan pasien dibandingkan tenaga kesehatan lain. Pelayanan keperawatan berupa bantuan yang diberikan karena adanya kelemahan fisik dan/atau mental, keterbatasan pengetahuan serta kurangnya kemauan melaksanakan kegiatan sehari-hari secara mandiri. Informed consent berasal dari hak legal dan etis individu untuk memutuskan apa yang akan dilakukan terhadap tubuhnya, dan kewajiban etik dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk meyakinkan individu yang bersangkutan untuk membuat keputusan tentang pelayanan kesehatan terhadap diri mereka sendiri. Dalam permenkes 585/Men.Kes/Per/ IX/1989 tentang persetujuan medik pasal 6 ayat 1 sampai 3 disebutkan bahwa yang memberikan informasi dalam hal tindakan bedah adalah dokter yang akan melakukan operasi, atau bila tidak ada, dokter lain dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang
1
bertanggung jawab. Dalam hal tindakan yang bukan bedah (operasi) dan tindakan invasif lainnya, informasi dapat diberikan oleh dokter lain atau perawat, dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab. Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan pasal 22 ayat 1 disebutkan bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk diantaranya adalah kewajiban untuk menghormati hak pasien, memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan, dan kewajiban untuk meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan. Tenaga
kesehatan
yang
tidak
menunaikan
hak
pasien
untuk
memberikan informed consent yang jelas, bisa dikategorikan melanggar case law (merupakan sifat hukum medik) dan dapat menimbulkan gugatan dugaan mal praktek. Belakangan ini masalah malpraktek medik (medical malpractice) yang cenderung merugikan pasien semakin mendapatkan perhatian dari masyarakat dan sorotan media massa. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan Pusat di Jakarta mencatat sekitar 150 kasus malpraktik telah terjadi di Indonesia. Meskipun data tentang malpraktek yang diakibatkan oleh informed consent yang kurang jelas belum bisa dikalkulasikan, tetapi kasus-kasus
malpraktek
baru
mulai
bermunculan.
Dalam hal ini pun berkaitan dengan Penelitian Kesehatan. Penelitian kesehatan merupakan langkah metode ilmiah yang berorientasikan atau memfokuskan kegiatannya pada masalah-masalah yang timbul di bidang kesehatan. Kesehatan itu sendiri terdiri dari dua sub bidang pokok, yakni pertama kesehatan individu yang berorientasikan klinis, pengobatan. Sub bidang kedua yang berorientasi pada kelompok atau masyarakat, yang bersifat pencegahan. Selanjutnya sub bidang kesehatan inipun terdiri dari berbagai disiplin ilmu, seperti kedokteran, keperawatan, epidemiologi, pendidikan kesehatan, kesehatan lingkungan, manajemen pelayanan kesehatan, gizi dsb. Sub bidang tersebut saling berkaitan dan mempengaruhi kondisi kesehatan
1
masyarakat pada umumnya. Sehingga berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian kesehatan dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk memahami permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam bidang kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitative serta masalah yang berkaitan dengan unsure tersebut; dengan mencari bukti dan dilakukan melalui langkah-langkah tertentu yang bersifat ilmiah, sistematis dan logis. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa itu Informed Consent dan bagaimana pengaturannya lebih jauh?
1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Informed Consent Informed consent adalah persetujuan individu terhadap pelaksanaan suatu tindakan, seperti operasi atau prosedur diagnostik invasif, berdasarkan pemberitahuan lengkap tentang risiko, manfaat, alternatif, dan akibat penolakan. Informed consent merupakan kewajiban hukum bagi penyelengara pelayanan kesehatan untuk memberikan informasi dalam istilah yang dimengerti oleh klien sehingga klien dapat membuat pilihan. Persetujuan ini harus diperoleh pada saat klien tidak berada dalam pengaruh obat seperti narkotika. Secara harfiah informed consent adalah persetujuan bebas yang didasarkan atas informasi yang diperlukan untuk membuat persetujuan tersebut. Dilihat dari pihak-pihak yang terlibat , dalam praktek dan penelitian medis, pengertian “informed consent” memuat dua unsur pokok, yakni: 1. Hak pasien (atau subjek manusiawi yang akan dijadikan kelinci percobaanmedis) untuk dimintai persetujuannya bebasnya oleh dokter (tenaga medis) dalam melakukan kegiatan medis pada pasien tersebut, khususnya apabila kegiiatan ini memuat kemungkinan resiko yang akan ditanggung oleh pasien. 2. Kewajiban dokter (tenaga riset medis) untuk menghormati hak tersebut dan untuk memberikan informasi seperlunya, sehingga persetujuan bebas dan rasional dapat diberikan kapada pasien. Dalam pengertian persetujuan bebas terkandung kemungkinan bagi pasien untuk menerima atau menolak apa yang ditawarkan dengan disertai penjelasan atau pemberian informasi seperlunya oleh tenaga medis. Dilihat dari hal-hal yang perlu ada agar informed consent dapat diberikan oleh pasien maka, seperti yang dikemukakan oleh Tom L. Beauchamp dan
1
James F. Childress, dalam pengertian informed consent terkandung empat unsur, dua menyangkut pengertian informasi yang perlu diberikan dan dua lainnya menyangkut perngertian persetujuan yang perlu diminta. Empat unsur itu adalah: pembeberan informasi, pemahaman informasi, persetujuan bebas, dan kompetensi untuk membuat perjanjian. Mengenai unsur pertama, pertanyaan pokok yang biasanya muncul adalah seberapa jauh pembeberan informasi itu perlu dilakukan. Dengan kata lain, seberapa jauh seorang dokter atau tenaga kesehata lainnya memberikan informasi yang diperlukan agar persetujuan yang diberikan oleh pasien atau subyek riset medis dapat disebut suatu persetujuan informed. Dalam menjawab pertanyaan ini dikemukakan beberapa standar pembeberan, yakni: a. Standar praktek profesional (the professional practice standard) b. Standar pertimbangan akal sehat (the reasonable person standard) c. Standar subyektif atau orang perorang (the subjective standard) Munurut Permenkes No.585/Menkes/Per/IX/1989, PTM berarti ”persetujuan yang diberikan pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan
mengenai
tindakanmedik
yang
akan
dilakukan
terhadap pasien tersebut”. Dari pengertian diatas PTM adalah persetujuan
yang
diperoleh
sebelum
melakukan
pemeriksaan, pengobatan atau tindakan medik apapun yang akan dilakukan. Persetujuan tersebut disebut dengan Informed Consent Informed. Consent hakikatnya adalah hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan ini sangat berhubungan dengan tanggung jawab profesional menyangkut perjanjian perawatan dan perjanjian terapeutik. Aspek perdata Informed Consent bila dikaitkan dengan Hukum Perikatan yang di dalam KUH Perdata BW Pasal 1320 memuat 4 syarat sahnya suatu perjanjjian yaitu: a. Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan penipuan. b. Para pihak cakap untuk membuat perikatan
1
c. Adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh peraturan perundang undangan serta merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi. 2.2 Sejarah Informed Consent Konsep informed consent dapat dikatakan merupakan suatu konsep yang relatif masih baru dalam sejarah etika medis. Secara histori konsep ini muncul sebagai suati prinsip yang secara formal ditegaskan hanya setelah Perang dunia ke II, yakni sebagai reaksi dan tindakan lanjut dari apa yang disebut pengadilan Nuremberg, yakni pengadilan terhadap para penjahat perang zaman Nazi. Prinsip informed consent merupakan reaksi terhadap kisah-kisah yang mengerikann tentang pemakaian manusia secara paksa sebagai kelinci percobaan medis di kamp-kamp konsentrasi. Sejak pengadilan Nuremberg, prinsip inforned consent cukup mendapat perhatian besar dalma etika biomedis. Dalam hukum Inggris-Amerika, akjaran tentang informed consent juga berkaitan dengan kasus-kasus malpraktek yang melibatkan perbuatan tertentu pada tubuh pasien yang kompeten tanpa persetujuannya dalam kasus tersebut dipandang tidak dapat diterima lepas dari pertimbangan kualitas pelayanan. Mengingat pentingnya informed consent dalam pelayanan medis, maka dalam salah satu butir panduan (yakni butir No. 11) dan butir-butir panduan etis untuk Lembaga-lembaga Pelayanan Medis Katolik di Amerika terdapat pernyataan sebagai berikut. Pasien adalah pembuat keputusan utama dalam semua pilihan yang berhubungan dengan kesehatan dan perawatannya, ini berarti ia adalah pembuat keputusan pertama, orang yang diandaikan memprakarsai keputusan berdasarkan keyakinan hidup dan nilai-nilainya. Sedangkan pembuat keputusan sekunder lainnya juga mempunyai tanggung jawab. Jika secara hukum pasien tidak mampu membuat keputusan atau mengambil inisiatif, seorang pelaku yang lain yang menggantikan pasien.
1
Biasanya keluarga pasien, kecuali kalau sebelumnya pasien telah menunjuk orang lain yang bertanggung jawab untuk berusaha menentukan apa yang kiranya akan dipilih oleh pasien, atau jika itu tidak mungkin, berusaha dipilih apa yang paling menguntungkan bagi pasien. Para pemegang profesi pelayanan kesehatan juga merupakan pembuat
keputusan
kedua,
dengan
tanggung
jawab
menyediakan
pertoongan dan perawatan untuk pasien sejauh itu sesuai dengan keyakinan hidup dan nilai-nilai mereka. Kebijakan dan praktek rumah sakit harus mengakui serangkai tanggung jawab ini. Para pemegang profesi pelayanan kesehatan bertanggung jawab untuk memberikan informasi yang mencukupi dan untuk memberikan dukungan yang memadai kepada si pasien, sehingga ia mampu memberikan keputusan yang dilandasi pengetahuan mengenai perawatan yang mestinya dijalani. Perlu disadari bahwa bantuan dalam profesi pengambilan keputusan merupakan bagian penting dalam perawatan kesehatan. Kebijakan dan dokumen mengenai informed consent haruslah diupayakan untuk meningkatkan dan melindungi otanomi pasien, bukan pertama-tama melindungi rumah sakit dan petugas pelayanan medis dari perkara pengaduan hukum.
2.3 Fungsi Informed Consent
Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia
Penghormatan terhadap hak otonomi perorangan yaitu hak untuk menentukan nasibnya sendiri
Proteksi terhadap pasien sebagai subjek penerima pelayanan kesehatan (health care receiver = HCR)
Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
1
Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan
Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk melakukan introspeksi terhadap diri sendiri.
Menurut Katz & Capran, fungsi informed Consent :
promosi otonomi individu.
Proteksi terhadap pasien dan subjek.
Menghindari kecurangan, penipuan dan paksaan.
Mendorong adanya penelitian yang cermat.
Promosi keputusan yang rasional
Menyertakan
publik
Semua
tindakan
medik/keperawatan
yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan baik lisan maupun tulisan. 2.4 Tujuan Informed Consent:
Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya.
Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 ).
2.5 Dasar Hukum Informed Consent. .
1
Dasar hukum informed consent
UU No. 36 Tahun 2009 Pasal 56 tentang Kesehatan
Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1998 Tentang tenaga Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 159 b/Menkes/SK/Per/II/1998 Tentang RS
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 749A/Menkes/Per/IX/1989 tentang Rekam medis/ Medical record
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585/Menkes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medis
Kep Menkes RI No. 466/Menkes/SK dan standar Pelayanan Medis di RS
Fatwa pengurus IDI Nomor: 139/PB/A.4/88/Tertanggal 22 Februari 1988 Tentang Informed Consent
Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 1981 Tertanggal 16 juni 1981Tentang Bedah Mayat Klinik dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan/atau Jaringan Tubuh Manusia
2.6 Bentuk Informed Consent Ada dua bentuk informed consent
Implied constructive Consent (Keadaan Biasa) Tindakan yang biasa dilakukan , telah diketahui, telah dimengerti oleh
masyarakat
umum,
sehingga
tidak
perlu
lagi
di
buat
tertulis
misalnya pengambilan darah untuk laboratorium, suntikan, atau hecting luka terbuka.
Implied Emergency Consent (keadaan Gawat Darurat) Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan
medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu : 1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak
1
pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent) 2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien 3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya. 2.7 Hal – hal yang dapat di Informasikan Hasil Pemeriksaan Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah dilakukan. Misalnya perubahan keganasan pada hasil Pap smear. Apabila infomasi sudah diberikan, maka keputusan selanjutnya berada di tangan pasien. Risiko Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya antisipasi yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi idiosinkratik dan kematian yang tak terduga akibat pengobatan selama ini jarang diungkapkan dokter. Sebagian kalangan berpendapat bahwa kemungkinan tersebut juga harus diberitahu pada pasien. Jika seorang dokter mengetahui bahwa tindakan pengobatannya berisiko dan terdapat alternatif pengobatan lain yang lebih aman, ia harus memberitahukannya pada pasien. Jika seorang dokter tidak yakin pada kemampuannya untuk melakukan suatu prosedur terapi dan terdapat
1
dokter lain yang dapat melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien. Alternatif Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan terapi. Ia harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya yang ditimbulkan dari beberapa pilihan tersebut. Sebagai contoh adalah terapi hipertiroidisme. Terdapat tiga pilihan terapi yaitu obat, iodium radioaktif, dan subtotal tiroidektomi. Dokter harus menjelaskan prosedur, keberhasilan dan kerugian serta komplikasi yang mungkin timbul. Rujukan atau konsultasi Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa kemampuan dan pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan terapi pada pasien-pasien tertentu. Pengadilan menyatakan bahwa dokter harus merujuk saat ia merasa tidak mampu melaksanakan terapi karena keterbatasan kemampuannya dan ia mengetahui adanya dokter lain yang dapat menangani pasien tersebut lebih baik darinya. Prognosis Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele, ketidaknyamanan, biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk tidak mendapat pengobatan atau tidak mendapat tindakan apapun. Pasien juga berhak mengetahui apa yang diharapkan dari dan apa yang terjadi dengan mereka. Semua ini berdasarkan atas kejadian-kejadian beralasan yang dapat diduga oleh dokter. Kejadian yang jarang atau tidak biasa bukan merupakan bagian dari informed consent.
1
2.8 Aspek Hukum Informed Consent Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak. Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan. Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan gantirugi”.Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan berat” (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana. Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)
1
berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya; Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP. Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa “informed consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.
1
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Informed
consent
adalah
persetujuan
individu
terhadap
pelaksanaan suatu tindakan, seperti operasi atau prosedur diagnostik invasif, berdasarkan pemberitahuan lengkap tentang risiko, manfaat, alternatif, dan akibat penolakan. Informed consent merupakan kewajiban hukum bagi penyelengara pelayanan kesehatan untuk memberikan informasi dalam istilah yang dimengerti oleh klien sehingga klien dapat membuat pilihan. Persetujuan ini harus diperoleh pada saat klien tidak berada dalam pengaruh obat seperti narkotika. Secara harfiah informed consent adalah persetujuan bebas yang didasarkan atas informasi yang diperlukan untuk membuat persetujuan tersebut. Dilihat dari pihak-pihak yang terlibat , dalam praktek dan penelitian medis, pengertian “informed consent” memuat dua unsur pokok, yakni: 1. Hak pasien (atau subjek manusiawi yang akan dijadikan kelinci percobaanmedis) untuk dimintai persetujuannya bebasnya oleh dokter (tenaga medis) dalam melakukan kegiatan medis pada pasien tersebut, khususnya apabila kegiiatan ini memuat kemungkinan resiko yang akan ditanggung oleh pasien. 2. Kewajiban dokter (tenaga riset medis) untuk menghormati hak tersebut
dan
untuk
memberikan
informasi
seperlunya,
persetujuan bebas dan rasional dapat diberikan kapada pasien.
1
sehingga
DAFTAR PUSTAKA Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja. 2005.Bioetik dan Hukum Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum. Penerbit Pustaka Dwipar. J. Guwandi. Informed consent Consent. FKUI. Jakarta. 2004. M.jusuf H & Amri Amir. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. EGC. Jakarta. 1999. Anonim.
(2012). Persetujuan dan Penolakan terhadap Tindakan Medis.http://informedconsent_a1.webs.com/persetujuanpenol akan.htm. Diakses pada tanggal 2 November2020, pukul 12.36 WITA
Anonim. (2012). Mengenal “Informed Consent”.http://www.scribd.com/doc/ 22040447/All-About-Informed-Consent. Diakses pada tanggal 2 November 2020, pukul 12.38 WITA
1