Makalah Kelompok 7 Madzhab [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MADZHAB HANAFI DAN MALIKI : PENGERTIAN, SEJARAH, DAN PERANANNYA DALAM HUKUM ISLAM



Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah studi fiqih Yang diampu oleh: Aris Mahmudi, MA



Oleh: Nabila Safira (200401110167) Riyan Aditiya (200401110164) M. Wildan Rafif Ahnaf (200401110153) Muhammad Ichsan Mulyadi (200401110211) Varikhatus Zahriyah (200401110061)



FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2021



1



DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL........................................................................................



1



DAFTAR ISI....................................................................................................



2



KATA PENGANTAR......................................................................................



3



BAB I PENDAHULUAN.............................................................................



4



1.1



LATAR BELAKANG..........................................................................



4



1.2



RUMUSAN MASALAH......................................................................



5



1.3



TUJUAN...............................................................................................



5



BAB II PEMBAHASAN DAN ISI 2.1



SEJARAH PEMBENTUKAN MAZDHAB.....................................



6-7



2.2



SEJARAH SINGKAT IMAM ABU HANIFAH..............................



8-11



2.3



SEJARAH SINGKAT IMAM MALIK............................................. 12-13



2.4



PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA’FIQIH.................................. 14-15



BAB III PENUTUP...……………………………………………………… .



16



3.1



KESIMPULAN ...............................................................................



16



3.2



SARAN .............................................................................................



16



DAFTAR PUSTAKA



………………………....................................



17



2



KATA PENGANTAR



Assalamu’alaikum Wr. Wb.



Puja dan puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang. Berkat limpahan karunia nikmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Madzhab Hanafi dan maliki meliputi pengertian, sejarah, dan peranannya dalam hukum islam” ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan besar kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita ke dunia yang penuh dengan kedamaian. Disamping itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada segenap pihak yang telah berkontribusi secara maksimal dalam penyelesaian makalah ini. Meski demikian, penulis menyadari bahwa masih banyak sekali kekurangan dan kekeliruan di dalam penulisan makalah ini, baik dari segi tanda baca, tata bahasa maupun isi. Sehingga penulis secara terbuka menerima segala kritik dan saran positif dari pembaca.



Wassalamu’alaikum Wr.Wb.



Malang, 29 Oktober 2021 Penulis



Kelompok 7



3



BAB I PENDAHULUAN I.



LATAR BELAKANG



Di dalam agama islam, ada banyak tata cara dalam beribadah yang melatar belakangi lahirnya fiqih yaitu ilmu tentang tata cara melakukan ibadah yang bersumber dari Al Quran dan Hadist. Di dalam agama islam, Fiqih mengenal madzhab. Madzhab yaitu pandangan atau pendapat para imam madzhab tentang hukum suatu perkara dalam agama, baik itu ibadah ataupun yang lainnya. Terdapat banyak madzhab pada perkembangannya, tetapi terdapat empat madzhab yang paling mahsyur diantaranya madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab syafi'i, dan madzhab Hambali. Di makalah ini akan di bahas dua madzhab diantaranya madzhab Hanafi dan madzhab Maliki, mengenai pengertian, sejarah, dan peranannya dalam hukum islam. Abu Hanifah adalah pendiri mazhab Hanafi yang kemudian dikenal dengan sebutan al-Imam al-A’zham (imam besar). Imam Abu Hanifah dipanggil dengan nama Abu Hanifah disebabkan karena beliau mempunyai seorang anak yang diberi nama Hanifah.



Abu Hanifah belajar ilmu fiqh di Kuffah yang



merupakan pusat pertemuan para ulama fiqih . Di Irak terdapat Madrasah Kuffah, yang didirikan oleh Abdullah Ibn Mas’ud (wafat 63 H/682 M). selanjutnya Kepemimpinan madrasah Kufah



berpindah kepada Ibrahim al- Nakha’i, dan



kemudian Hammad Ibn Abi Sulaiman dimana dia adalah salah seorang imam besar pada masa itu. yang merupakan murid dari Alqamah Ibn Qais dan al-Qadhi Syuriah. Mereka berdua adalah pakar dan tokoh besar dan terkenal di Kufah dari golongan tabi’in. Dari Hammad Ibn Sulaiman itulah Abu Hanifah belajar ilmu fiqih dan hadits. Mazhab Syafi'i didirikan oleh Imam Syafi’i. Nama Syafi’i dinisbatkan kepada kakeknya yang ketiga, yaitu Syafi’i bin As-Saaib, yang kemudian dikenal di masyarakat dengan nama Imam Syafi’i. Imam Syafi’i memiliki nama lengkap 4



Muhammad bin Idris As-Syafi'i. Imam Syafi’i lahir pada tahun 150 H di Gaza, Palestina. Imam Syafi’i dikenal sebagai Ulama yang cerdas. Kecerdasan Imam Syafi’i terlihat sejak kecil. Imam Syafi’i sanggup menghafal Al-Quran ketika masih diusia tujuh tahun dan mampu menghafal kitab Al-Muwatta’ yang merupakan karya Imam Malik pada usia sepuluh tahun.



II.



RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana sejarah terbentuknya madzhab? 2. Bagaimana riwayat Imam abu Hanifah? 3. Bagaimana riyawat Imam Maliki? 4. Apa saja yang menjadi sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat para ulama’ fiqih?



III.



TUJUAN 1. Untuk mengetahui sejarah terbentuknya madzhab 2. Untuk mengetahui dan memahami seputar riwayat Imam abu Hanifah 3. Untuk mengetahui dan memahami seputar riwayat Imam Maliki 4. Untuk mengetahui dan memahami sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat para ulama’ fiqih BAB II



PEMBAHASAN A. SEJARAH PEMBENTUKAN



Saat Nabi masih hidup, seluruh persoalan hukum senantiasa terselesaikan dengan gemilang tanpa menimbulkan perbedan yang berarti. Hal ini karena Nabi sebagai satu-satunya rujukan dari setiap persoalan yang ada. Sebagai rujukan tunggal, nabi mampu memberikan solusi terbaik dan diterima oleh semua kalangan. Nabi sendiri, ketika menghadapi beragam persoalan, tak jarang juga melakukan ijtihad. Namun ijtihad yang beliau lakukan, dipastikan kebenarannya, karena langsung, 5



berada dalam bimbingan dan koreksi wahyu. Sehingga, praktis hal ini membawa kepada nuansa kesatuan hukum yang harmonis. Meski muncul beberapa benih ijtihad dikalangan sahabat, namun hasil akhirnya tetap 'dikonsultasikan' kepada nabi. Sehingga ketika ijtihad itu kurang tepat, akan langsung mendapat koreksi dan diganti dengan yang sesuai. Pasca nabi wafat, tidak ada lagi pemegang tunggal persoalan hukum. Setiap sahabat memiliki posisi yang sama dalam proses legislasi, tentu dengan pertimbangan alamiah kapabilitas masing-masing. Di sisi lain, wilayah islam telah merambah kawasan yang lebih luas, dengan beragam tradisi di dalamnya. Hal ini membawa pengaruh semakin kompleksnya persoalan hukum yang ada. Akibatnya, kenyataan ini memaksa para sahabat untuk berupaya mendayagunakan ijtihad dalam rangka mencari solusi hukum dari persoalan yang dihadapi Pada posisi ini, para sahabat lantas mengeluarkan fatwa hukum sebagai respon dari persoalan yang dihadap'i. Fatwa ini merupakan fatwa pribadi yang dihasilkan sebagai akumulasi kognisi keislaman para sahabat yang 'berdioalog' dengan realitas kehidupan tempat ia berada.



Persinggungan langsung antara hukum dan realitas sosial membawa nuansa yang khas. Artinya, ketika norma hukum berkolaborasi dengan tradisi satu wilayah, akan menghasilkan warna hukum yang berbeda dengan hukum di wilayah lain ketika corak tradisinya berbeda. Dua corak ini membawa kepada munculnya corak hukum yang berbeda antara satu sahabat dengan yang lain Bila diruntut ke belakang, mahzab fiqih itu sudah ada sejak zaman sahabat. Misalnya mazhab Aisyah ra, mazhab Ibn Mas’ud ra, mazhab Ibn Umar. Masingmasing memiliki kaidah tersendiri dalam memahami nash Al-Qur’an Al-Karim 6



dan sunnah, sehinga terkadang pendapat Ibn Umar tidak selalu sejalan dengan pendapat Ibn Mas’ud atau Ibn Abbas. Tapi semua itu tetap tidak bisa disalahkan karena masing-masing sudah melakukan ijtihad. Di masa tabi’in, kita juga mengenal istilah fuqaha al-Madinah yang tujuh orang yaitu; Said ibn Musayyib, Urwah ibn Zubair, Al-Qasim ibn Muhammad, Kharijah ibn Zaid, Ibn Hisyam, Sulaiman ibn Yasan dan Ubaidillah. Termasuk juga Nafi’ maula Abdullah ibn Umar. Di kota Kufah kita mengenal ada AlQamah ibn Mas’ud, Ibrahim An-Nakha’i guru al-Imam Abu Hanifah. Sedangkan di kota Bashrah ada al-Hasan Al-Bashri. Dari kalangan tabiin ada ahli fiqh yang juga cukup terkenal; Ikrimah Maula Ibn Abbas dan Atha’ ibn Abu Rabbah, Thawus ibn Kiisan, Muhammad ibn Sirin, Al-Aswad ibn Yazid, Masruq ibn al-A’raj, Alqamah an Nakha’i, Sya’by, Syuraih, Said ibn Jubair, Makhul ad Dimasyqy, Abu Idris al-Khaulani.



B. SEJARAH SINGKAT ABU HANIFAH Abu Hanifah dilahirkan pada tahun 80 Hijriah (696 M) dan meninggal di Kufah pada tahun 150 Hijriah (767 M). Diceritakan bahwa sebelum Imam Hanafi menghembuskan nafas terakhir, ia berpesan (wasiat) supaya mayatnya dikebumikan di tanah perkeburan yang baik beliau maksudkan dengan tanah yang baik, yaitu yang tidak dirampas oleh seorang raja atau ketua negeri . Abu Hanifah hidup selama 52 tahun dalam masa Amawiyah dan 18 tahun dalam masa Abbasi. Maka segala daya pikir, daya cepat tanggapnya dimiliki di masa Amawi, walaupun akalnya terus tembus dan ingin mengetahui apa yang belum diketahui, istimewa akal ulama yang terus mencari tambahan. Apa yang dikemukakan di masa Amawi adalah lebih banyak yang dikemukakan di masa Abbasi1. Nama beliau dari kecil ialah Nu’man bin Tsabit bin Zauta bin Mah. Ayah beliau keturunan dari bangsa persi (Kabul-Afganistan).



7



Imam Hanafi terkenal sebagai seorang yang alim dibidang Ilmu Fiqih dan Tauhid. Menurut sebagian ahli sejarah bahwa beliau mempelajari Ilmu Fiqih dari Ibrahim, Umar, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas‟ud dan Abdullah bin Abbas. Di antara guru-gurunya ialah Hamad bin Abu Sulaiman al-Asy‟ari. Beliau banyak sekali memberi pelajaran kepadanya. Imam Hanafi telah mendapat kelebihan dalam Ilmu Fiqih dan juga Tauhid dari gurunya. Imam Hanafi juga belajar kepada Hasan Bashri di Bashrah, Atha‟ bin Rabbah di Makkah, Sulaiman dan Salim di Madinah. Dengan demikian Imam Hanafi banyak guru pada masa itu. Dalam menetapkan hukum islam Abu Hanifah menggunakan metode, yaitu : 1. Al-Qur’an Merupakan satu-satunya sumber hukum umat islam untuk berpegang teguh dan mencari solusi atas semua masalah yang ada. Kita sebagai umat islam harus mengembalikan semua masalah kepada alquran untuk mencari petunjuk atau hukumhukum yang ada pada alqur’an dan semua madzab yang ada juga setuju bahwa al-qur’an adalah sumber dalil yang utama juga kuat untuk menetapkan suatu hukum. 2. Al-Hadist Adalah sumber kedua yang paling kuat setelah al-qur’an, karena didalamnya mencakup kehidupan manusia, baik perkara ghaib berupa akidah ataupun keyakinan, urusan hukum, politik, pendiidkan dan lain sebagainya. As-sunnah atau hadis ini tidak boleh dibantah oleh pendapat, ijtihat maupun qiyas selagi hadist tersebut shahih dan nash nya pun juga shohih. Seperti yang dikatakan oleh imam Syaf’i dalam akhir kitabnya “Tidak halal menggunakan qiyas takkala ada hadist (shahih). Dan tercantum juga dalam kaidah ushul yang menyatakan “Tidak ada ijtihad apabila ada nash yang (shahih)”. 3. Aqwalush Shabah (Perkataan sahabat) Para sahabat adalah orang-orang yang hidup pada zaman rasululah dan termasuk orang yang membantu untuk menyampaikan risalah Allah Swt, sehingga mereka tau tentang asbabul nuzulnya al-qur’an akan tetapi tidak semua sahabat mampu mengetahui peristiwa tersebut. Selain itu mereka (para sahabat) juga dapat mengetahui keterkaitan antara hadis dan alqur’an karena mereka juga hidup serta bergaul pada zaman Rasulullah. 8



Imam hanafi menetapkan bahwa perkataan para sahabat memperoleh posisi yang kuat, karena orang-orang tersebut dianggap mampu membawa ajaran rosulullah sesudah generasinya. Dengan demikian, pengetahuan dan pernyataan keagmaan mereka lebih didekatkan pada perkara yang benar sehingga cocok untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Ketetapan sahabat terbagi menjadi dua bentuk, yaitu ketentuan hukum yang diterapkan dalam bentuk ijma’ dan ketentuan hukum dalam bentuk fatwa. Ketentuanketentuan hukum yang lewat ijmak itu sifatnya mengikat, sedangkan fatwa itu sifatnya mengikat. 4. Ijma’ Dalam segi etimologi ijma’ memiliki arti yakni berupa ketetapan hati terhadap sesuatu. Sedangkan pengertian secara terminologi ialah kesepakatan para ulam’ dalam menetapkan suatu hukum berdasarkan alqu’an dan hadist atas perkara yang belum ada hukumnya. 5. Al-Qiyas Secara bahasa berarti qadr (ukuran atau bandingan), sedangkan secara istilah ialah suatu penetapan hukum ats perkara yang belom ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya, serta berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Menurut Ibnu As-Subkhi, beliau berkata “ qiyah adalah menyamakan hukum sesuatu dengan hukum sesuatu yang lain karena adannya kesamaan illah hukum menurut meujtahid yang menyamakan hukumnya. 6. Al-Istihsan Imam Hanafi termasuk salah satu imam yang paling banyak menggunakan istihsan pada saat qiyas tidak memenuhi syarat, menurutnys, selama istihsan yang digunakan tidak keluar dari jalur nash dan qiyas, dan tetap berpegang teguh pada keduanya beliau bersih kukuh untuk lebih menggunakan istihsan. Dan oleh sebab itu beliau sering mendapat cemooh dari orang-orang yang tidak sepaham dengan beliau termasuk tiga imam lainnya yang masing-masing memiliki pendapatnya sendiri. Istohsan 9



dibagi menjadi dua berdasarkan sifatnya yaitu: qiyas khafi (samar atau tersembunyi) dan qiyas jali (jelas atau nyata). 7. Al-Urf (adat yang berlaku diadalm masyarakat umat islam) Menurut bahasa yakni sesuatu yang sifatnya baik dan diterima ooleh akal sehat. Sedangkan menurut terminologi ‘urf merupakan sesuatu yang mudah dan sering dipahami atau dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisinya baik berupa ucapan ataupun perbuatan atau adat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ‘urf ialah suatu kebiasan yang telah lama dilakukan oleh masyarakat yang mamu dipandang baik, berupa peekataan maupun perbuatan yan tidak bertentangan dengan syari’at islam. 8. Alhiyal yaitu bentuk jamak dari al-hilah, sedangkan al-syari’ah merupakan suatu upaya untuk menghindari atau menjauh dari kemudharatan atau yang sifatnya haram dengan cara tidak menentang ketetapan pada alqur’an dan hadis. Singkatnya yaitu tidak menghalalkan yang haram. Terdapat faktor-faktor yang melatar belakangi Abu Hanifah mencapai ketinggian ilmunya, antara lain: a. Sifat-sifat kepriabdiannya, yakni sifat-sifat yang mampu mengarahkan abu hanifah untuk berfikir secara rasioanl dan global serta kebiasaan yang ada pada dirinya. b. Adanya guru pendamping sehingga mampu meberikan solusi, motivasi atas problem yang sedang dihadapi oleh Abu Hanifah c. Kehidupan pribadinya, berupa pengalaman-pengalaman serta penderitaan yang pernah beliau lalui sehingga mampu mendorongnya hingga sukses d. Lingkungan hidupnya, karena dari lingkungan tersebut mampu mempengaruhi daya serta sifat-sifat pribadinya. Selain itu, sifat-sifat yang dimiliki oleh Abu Hanifa yakni: 1) Seseorag yang teguh pendirian



10



2) Berani mengatakan sesuatu yang sifatnya salah, tanpa melihat jabatan dan latar belakang orang tersebut 3) Memiliki jiwa yang merdeka, tidak mudah larit dalam pribadi orang lain. Atau lebih singkatnya yakni tidak mudah bergantung pada orang lain. 4) Suka dengan hal-hal baru dan bersifat unik 5) Memiliki daya tangkap yang luar biasa sehingga mampu mematahkan hujjah lawan.



C. SEJARAH SINGKAT IMAM MALIK Mazhab Maliki  bahasa arab : ‫المالكية‬, . al-mālikīyah) adalah satu dari empat mazhab fiqih atau hukum Islam. Dianut oleh sebagian umat muslim  yang kebanyakannya berada di kawasan Hijaz (kini bagian dari Arab Saudi), terutama di Madinah, kemudian juga di Afrika Utara



 seperti



Mesir,



Libya, Tunisia,



dan Aljazair,



bahkan



hingga



ke Eropa seperti Sisilia di Italia dan Andalusia di Spanyol. Mazhab ini didirikan oleh salah satu imam dan ahli hadis di Madinah, Malik bin Anas atau bernama lengkap Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirul Ashbani. Mazhab ini adalah mazhab yang berdiri kedua dari empat mazhab Sunni, setelah mazhab Hanafi. Seperti halnya mazhab lainnya, mazhab Maliki memiliki pedoman dasar yang sistematis. Mazhab ini berpegang pada: Nash Al-Qur’an, Dhâhir Al-Qur’an, Mafhum Al-Qur’an atau



11



mafhum muwâfaqah, Dalil Al-Qur’an atau mafhum muchâlafah, Tanbieh Al-Qur’an, Nash Hadis Dhâhir Hadis, Mafhum Hadis, Dalil Hadis, Tanbieh Hadis, Ijma’ ahlul Madinah. Imam Malik memiliki metodologi yang berbeda dibandingkan dengan imam mazhab yang lain. Perbedaan itu diantaranya; Imam Malik menjadikan amal ahli Madinah (hujjah) lebih dahulu dari qiyas. Imam Malik menjadikan mashlahat mursalah sebagai salah satu penetapan hukum. Imam Malik terkadang memposisikan atsar di atas qiyas. Imam Malik tidak mensyaratkan kamahsyuran hadis dalam urusan perkara umum. Imam Malik juga menggunakan hadis mursal. Beliau juga mensyaratkan penerimaan hadis ahad, selama hadis itu tidak menyalahi amal ahli Madinah. Imam Malik juga menetapkan hukum dengan istihsan, tetapi tidak sebanyak penggunaannya pada para fuqahamazhab Hanafi. Perbedaan yang paling mencolok dari mazhab Maliki ialah beliau berpegang pada riwayat ahli Hijaz dalam hal perawi Hadis. Imam Malik adalah salah satu imam mujtahid yang membukukan dan menyusun sendiri kitabnya. Kitab yang disusun oleh Imam Malik itu adalah Al-Muwatta, kitab ini pula yang menjadi pegangan dan pedoman bagi penganut mazhab Maliki di berbagai belahan dunia. Tetapi murid-murid Imam Malik juga ada yang membukukan fatwa-fatwanya. Murid Imam Malik yang pertama membukukan fatwa Imam Malik ialah Asad Ibn Furâd. Kitab yang dibukukan oleh Asad Ibn Furâd kemudian diberinama Al-Asadijah. Kemudian murid Imam Malik lainnya, yakni Ibnu Qâsim juga membukukan kitab yang diberinama Al-Mudauwanah yang didalamnya meliputi kurang lebih 36000 perkara. Kitab Al-Mudauwanah juga menjadi pegangan para penganut mazhab Maliki. Selain kitab-kitab di atas, para fuqaha mazhab Maliki juga memiliki kitab-kitab tersohor lainnya. Kitab-kitab tersebut antara lain: Al-Muchtasharul Kabier, Al-Muchtarasul Ausath AlMuchtarasul Shagier (ditulis oleh Abdul Hakam), Ahkâmul Qurän, Al-Watsâiq, Adabul Qudlâh (ditulis oleh Muhammad Ibn Abdillah Ibn Abdil Hakam), Al-Djâmi’ (ditulis oleh Sahnun), AlMadjmu’ah (ditulis oleh Muhammad Ibnu Ibrahiem),Al-Mabsuth (ditulis oleh Isma’il Ibn Ishâq Al-Qâdli) Imam Malik dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H (717 M) dan menuntut ilmu kepada ulama-ulama di sana. Beliau dilahirkan 13 tahun setelah kelahiran Imam Abu Hanifah. Orang 12



yang pertama menjadi gurunya adalah Abdurrahman bin Hurmuz, beliau tinggal bersamanya dalam waktu tujuh tahun tanpa diselingi dengan yang lainnya. Beliau kemudian belajar hadits dari Nafi Mawla Ibnu Umar dan Ibnu Syihab az-Zuhri. Sedangkan gurunya dalam bidang fiqih adalah Rabi‟ah bin Abdurrahman yang dikenal dengan Rabi‟ah ar-Ra‟yu. Selain itu, beliau juga berguru kepada Ja‟far bin Muhammad al-Baqir, Abdurrahman bin Zakuan, Yahya bin Said alAnshari, Abu Hazim Salmah bin Dinar, Muhammad bin al-Munkadir, dan masih banyak lagi yang lainnya. Kehebatan Imam Maliki tersiar di seluruh penjuru dan kemasyhurannya terkenal di belahan bumi, orang-orang dari setiap pelosok berdatangan kepadanya dan mereka berdesakdesakan di majelisnya dan berkumpul untuk menuntut ilmu. Imam Malik menyusun kitab Muwatha‟ yang merupakan depresentasi dari penguasaannya terhadap hadits dan fiqih. AlMuwatta, salah satu kitab yang terdiri dari kumpulan hadis yang disusun oleh Imam Malik. Kitab ini juga merupakan salah satu karya Imam Malik yang paling terkenal.



D. Perbedaan Pendapat Dikalangan Ulama Fiqih Dalam masalah hukum perbedaan adalah suatu hal yang bisa terjadi. Seperti yang kita semua ketahui, dalam fiqih terdapat banyak sekali perbedaan pendapat dari para ulama’ fiqih. Menurut Muhammad bin Abdul Rahman al-Dimasyqi al-Syafi’i berpendapat bahwa perbedaan pendapat ulama merupakan rahmat bagi umat, dikarenakan mereka telah berijtihad dengan mengerahkan tenaga dan pikirannya untuk mencari sebuah kebenaran untuk kemaslahatan umat. Dalam mengistinbathkan hukum, Abu Hanifah berpegang kepada dalil hukum yang sistematika atau tertib. Abu Hanifah menempatkan al-Qur’an sebagai dalil pertama. Apabila tidak ditemukan ketentuan hukum permasalahan di dalamnya ia, menetapkan hukum berdasarkan sunnah Rasulullah, jika dalam kedua sumber itupun tidak ditemukannya, maka ia menggunakan fatwa Sahabat Rasulullah SAW sebagai dasar menetapkan hukum, terutama yang sudah menjadi 13



ijma’ di kalangan mereka. Berkaitan dengan fatwa sahabat Rasulullah SAW, yang kadang kala berbeda antara satu dengan yang lainnya, Abu Hanifah memilih fatwa yang dianggapnya paling kuat atau paling cocok dengan situasi serta kondisi yang dijadikan sebagai standar ketentuan untuk menerima pendapat ulama pada waktu itu. Namun, dalam mengistinbathkan hukum abu hanifah tidak menggunakan fatwa Tabi’in sebagai sandaran hukum. Sedangkan, pengistinbathan hukum menurut imam malik mempergunakan beberapa pegangan sebagai sandaranya antara lain : -



Al- Quran Imam Malik menjadikan al-Qur’an sebagai sumber hukum yang pertama dan berada diatas yang lainnya, karena dalam al-Qur’an tertuang semua hukum syara’ bagi orang mukallaf.



-



as-Sunnah Imam Malik berpendapat bahwa kedudukan as- Sunnah terhadap al-Qur’an ada tiga: Men-taqrir hukum atau mengkokohkan hukum al-Qur’an, Menerangkan apa yang dikehendaki al-Qur’an, men-taqyid kemutlakannya dan menjelaskan keglobalanya. Sunnah dapat mendatangkan hukum baru yang tidak disebut dalam al-Qur’an.



-



Ijma’ Ahl al-Madinah



-



Fatwa Sahabat Menurut Imam Malik, para sahabat besar tidak akan memberi fatwa kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah SAW.



-



Qiyas Metode Qiyas dipraktekkan atau digunakan oleh Imam Malik apabila ada nash tertentu, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah yang mendasarinya.



-



Al-Istihsan Karena al-istihsan selalu melihat dampak sesuatu ketentuan hukum, jangan sampai membawa dampak merugikan tapi harus mendatangkan maslahah atau menghindari mudarat.



-



Al-Maslahah al-Mursalah



14



Azaz atau pondasi fiqih Islam adalah kemaslahatan umat , tiap-tiap maslahah dituntut oleh syara’ dan tiap-tiap yang memberi mudarat dilarang oleh syara’. -



Sadd az-Zari’ah Menurut metode ini semua jalan atau sebab yang menuju kepada haram atau terlarang, hukumnya adalah haram atau terlarang, dan semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang halal, maka halal pula hukumnya.



-



Istishab Istishab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau.



-



‘Urf dan Adat Kebiasaan Golongan Malikiyyah meninggalkan qiyas apabila qiyas itu berlawanan dengan ‘Urf, namun harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat setempat, sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak bertentangan atau menghilangkan kemaslahatan yang menyangkut masyarakat tersebut. Perbedaan pendapat para ulama fiqih tidaklah muncul karena sekedar mengikuti hawa



nafsu ataupun kepentingan duniawi, melainkan karena beberapa sebab, Syaikh Musthafa Said alKhin dalam bukunya Atsarul Ikhtilaf fil Qawaid al-ushuiyyah fi Ikhtilafil Fuqaha menyebutkan sebab-sebab perbedaan pendapat parra ulama dikarenakan sebagai berikut: 1. Perbedaan Qira’at (bacaan). Al-Qur’an diterima oleh para sahabat tidak dalam satu tipe qira’at saja, melainkan dalam berbagai bentuk qira’at. Banyaknya tipe qira’at ini turut serta dalam menciptakan perbedaan pendapat ulama dalam hukum Islam. 2. Tidak mengetahui adanya hadits Nabi. Para sahabat berbeda intensitasnya dalam berinteraksi dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga mereka berbeda dalam mengetahui haditshaditsnya. Ada sahabat yang mengetahui banyak hadits, sebaliknya ada sahabat yang hanya mengetahui sedikit hadits. Perbedaan pengetahuan tentang hadits ini menyebabkan perbedaan pendapat ulama. 3. Ragu-ragu akan kesahihan sebuah hadits. Para ulama tidak langsung mengamalkan hadits yang mereka dapatkan tanpa terlebih dahulu meneliti kesahihannya. Perbedaan dalam menghukumi kesahihan hadits menyebabkan perbedaan dalam hukum fiqih.



15



Hikmah yang bisa diambil dari perbedaan pendapat para ulama fiqih adalah diantaranya : 1.



Menjadikan kita lebih bersemangat dalam membahas dan mudzakaroh ilmu-ilmu fiqih



2.



Memperkaya pengetahuan mengenai pendapat-pendapat para ulama tentang kaidah fiqih.



3.



Bisa memperoleh pandangan yang luas tentang pendapat para ulama dan mentarjihkan



mana pendapat yang terkuat. 4.



Bisa melatih dalam memahami perbedaan, sehingga menumbuhkan rasa saling



menghormati dan mengahragai pendapat orang lain.



BAB III PENUTUP KESIMPULAN Hukum Islam adalah hukum yang dinamis, fleksibel sehingga dapat menyesuaikan dengan tempat dan waktu. Bisa disimpulkan bahwa, madzhab adalah suatu pendapat atau aliran dari Imam Mujtahid mengenai hukum-hukum islam yang didasari atau diambil dari Al-Qur’an dan hadits.Periode terbentuknya madzhab ini dimulai sejak awal abad kedua hijriyah, yakni pada akhir pemerintahan Bani Umayyah. Ketika itu, pemikiran hukum Islam mulai berkembang dari praktik administratif dan popular yang dibentuk oleh ajaran etika dan keagamaan dalam al-Qur’an dan Hadist. Macam-macam madzhab yakni madzhab Hanafi, dan madzhab hambali, dll. Dan perbedaan pandangan antara imam madzhab seperti dalam materi diatas yakni imam abu hanifah dan imam maliki terjadi karena sebab-sebab yang sudah disebutkan, yakni salah satunya adalah perbedaan metode istinbath hukum yang dipegang kedua imam. meskipun demikian hal ini sangat banya membawa manfaat bagi kemaslahatan umat islam. 16



SARAN Dari keseluruhan materi yang telah disampaikan di makalah perihal madzhab, saran yang dapat di sampaikan yaitu dalam memandang pola pikir dan pandangan para imam madzhab yang berbeda , agar para pembaca dapat memahami dengan benar dari berbagai sudut pandang para imam madzhab agar tidak terjadinya kesalahpahaman. Bermadzhab secara benar dapat dilakukan dengan cara memahami perbedaan pendapat di kalangan imam madzhab. Makalah ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan bagi sesama, walaupun masih terdapat banyak kekurangan, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.



Daftar Pustaka Ahmad Nahrawi, Al-Imam asy-Syafi'i fi Mazhabayhi al-Qadim wa al-Jadid, (Kairo: Darul Kutub, 1994), 208. Subhi Mahmashani, Falsafah al-Tasyri' fi al-Islam, terj.Ahmad Sujono, (Bandung: AlMa'arif 1981), 35. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997), 71. M.Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh, (Beirut: Darul Bayariq, 1995), 197 M.Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh, Ibid. Muhammad Ali Hasan, Perbandingan mazhab, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,1995), 86. Ahmad Nahrawi, Al-Imam asy-Syafi’i fi Mazhabayhi al-Qadim wa al-Jadid, (Kairo: Darul Kutub, 1994), 208. Subhi Mahmashani, Falsafah al-Tasyri’ fi al-Islam, terj.Ahmad Sujono, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), 35. Nugraha, R. A., & Sulfinadia, H. (2020). Ushul Mazhab Hanafi dan Maliki: Kehujahan Khabar Ahad dan Qiyas serta Impilkasinya dalam Penetapan Hukum. IJTIHAD, 36(1).



17



Ahmad Asy-syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 14 Ahmad Djazuli, Ilmu Fiqih Penggalian Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 127 M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 189 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 145-146 Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1955), Cet. ke-9, h. 19. Syaikh Ahmad Farid, Min A’lam as-Salaf, Penerjemah Masturi Ilham dan Asmu’i Taman, 60 Biografi Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka al- Kausar, 2007), Cet. ke-2, h. 170. Hendri Andi Bastoni, 101 Kisah Tabi’in, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2006), Cet. ke-1,h. 46. Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. ke-1, h. 95.



18