Makalah Kelompok XI Ayat Dan Hadits Tentang Akuntansi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

AYAT DAN HADITS TENTANG AKUNTANSI Diajukan Sebagai Syarat Untuk Melengkapi Tugas Kelompok



Disusun Oleh Kelompok XI: Bima Suganda



(2041000022)



M.Khairulipanda Nasution (2041000029)



Mata Kuliah Dosen Pengampu



: AYAT DAN HADITS EKONOMI : Riswan Rambe S.Sos.I, ME



JURUSAN EKONOMI SYARIAH FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS POTENSI UTAMA 2021



1



KATA PENGANTAR



Puji syukur kami ucapakan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kesehatan kepada kita semua. Salawat beriring salam kami kirimkan kepada junjungan alam yakni nabi besar Muhammad SAW yang telah membuat umat dari alam kebodohan sampai alam yang berilmu pengetahuan yang kita rasakan saat ini. Makalah ini disusun berdasarkan sumber buku dan jurnal yang ada, yang berkenaan langsung dari makalah yang kami susun ini dengan topik pembahasan makalah ini, yaitu “ AYAT DAN HADITS TENTANG AKUNTANSI ”. Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya, Kami sebagai penulis menerima kritikan dan saran yang dapat membangun makalah ini. Kami sebagai penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan makalah ini. Atas kritikan dan sarannya Kami ucapkan terima kasih.



Medan, 14 Maret 2021



Penyusun



2



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR....................................................................................



1



DAFTAR ISI...................................................................................................



2



BAB I



BAB II



BAB III



PENDAHULUAN A. Latar Belakang .........................................................................



3



B. Rumusan Masalah ....................................................................



3



C. Tujuan Masalah ........................................................................



4



PEMBAHASAN A. Teks Al-Qur’an Tentang Akuntansi.......................................



5



B. Terjemahan Al-Qur’an Surah Al-Baqarah Ayat 282..............



5



C. Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 282.........................................



6



D. Pembahasan Tentang Akuntansi.............................................



13



E. Teks Hadits Tentang Akuntansi..............................................



14



PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................



17



B. Saran ......................................................................................



17



DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................



18



3



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan manusia mempunyai dua kegiatan yang pokok yaitu ibadah dan muamalah. Dalam Islam istilah ibadah mempunyai makna segala bentuk kegiatan dalam rangka penyembahan seorang muslim kepada Allah SWT atau yang sering disebut dengan Habluminallah. Sedangkan muamalah mempunyai makna segala kegiatan yang dilakukan dalam rangka perbaikan hubungan antar sesama manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan kehidupan dunia. Salah satu kegiatan muamalah adalah pencatatan keuangan atau sering disebut dengan akuntansi. Akuntansi bukanlah ilmu baru bagi umat manusia. Sejarah mencatat bahwa akuntansi sudah ada dan dipraktekkan sejak sekitar 8.000 tahun sebelum masehi. Dalam pengertian yang sederhana, akuntansi dapat dipahami sebagai kegiatan pencatatan kegiatan usaha bisnis, baik komersial maupun nonkomersial, untuk tujuan tertentu. Akuntansi syariah merupakan hal penting bagi semua pemakai lembaga keuangan yang berbasis syariah dan yang berkepentingan terhadapnya. Akuntansi syariah merupakan suatu akuntansi yang sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh Allah SWT. Akuntansi syariah merupakan bagian dari upaya kita dalam membangun ilmu sosial profetik di bidang akuntansi. Perintah normatif telah ada dalam Al-Qur’an, berikutnya adalah menerjemahkan Al-Qur’an dalam bentuk teori akuntansi syariah yang pada gilirannya digunakan untuk memberikan arah tentang praktek akuntansi yang sesuai dengan syariah.



B. Rumusan Masalah 1. Surat apa yang menjadi dasar akuntansi dalam Al-Qur’an? 2. Apa arti/terjemahan dari surat Al-Qur’an tentang akuntansi tersebut?



4



3. Bagaimana penafsiran dari ayat tentang akuntansi tersebut? 4. Bagaimana penjelasan tentang akuntansi tersebut? 5. Hadits apa yang menjelaskan tentang akuntansi? C. Tujuan Penulisan 1. Mengetahui surat dalam Al-Qur’an tentang akuntansi. 2. Mengetahui terjemahan dari surat tersebut. 3. Mengetahui penafsiran dari ayat akuntansi tersebut. 4. Mengetahui penjelasan tentang akuntansi. 5. Mengetahui hadits tentang akuntansi.



5



BAB II PEMBAHASAN A. Teks Al-Qur’an Tentang Akuntansi ۡ َ‫يَ ٰـٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا إِ َذا تَدَايَنتُم بِد َۡي ٍن إِلَ ٰ ٓى أَ َج ۬ ٍل ُّم َس ۬ ًّمى ف‬ Dَ ُ‫ب كَاتِبٌ أَن يَ ۡكت‬ ‌ِۚ ‫ ب َّۡينَ ُكمۡ ڪَ اتِ ۢبُ بِ ۡٱل َع ۡد‬D‫ٱڪتُبُو ۚ‌هُ َو ۡليَ ۡكتُب‬ ُ‌ۚ ‫ هُ ٱهَّلل‬DD‫ب ڪَ َما عَلَّ َم‬ َ ‫ل َواَل يَ ۡأ‬ ۬ ۡ ۚ ۡ ُّ ‫فَ ۡليَڪۡتُ ۡب َو ۡليُمۡ لِ ِل ٱلَّ ِذى َعلَ ۡي ِه ۡٱل َح‬ َ َ َ ۡ َّ ۡ ‫ق ٱهَّلل َ َربَّهُ ۥ َواَل يَ ۡب‬ ُّ ‫ا‌ فَإِن َكانَ ٱل ِذى َعلَ ۡي ِه ٱل َح‬Dًًٔ‫خَس ِمنهُ ش َۡئـ‬ ‫ع أن‬Dُ ‫ت َِطي‬D ‫ ِعيفًا أ ۡو اَل يَ ۡس‬D ‫ض‬ َ ‫ق َسفِيهًا أ ۡو‬ ِ َّ‫ق َوليَت‬ ۬ ْ ‫ٱست َۡش ِہد‬ ُّ َ‫ ۡونَ ِمن‬D ‫ض‬ ۡ ‫ل َو‬ ‫ہَدَٓا ِء أَن‬D ‫ٱلش‬ ‌ِۚ ‫يُ ِم َّل ه َُو فَ ۡليُمۡ ِل ۡل َو ِليُّهُ ۥ ِب ۡٱل َع ۡد‬ َ ‫َان ِم َّمن ت َۡر‬ ِ ‫ُوا ش َِہيد َۡي ِن ِمن رِّ َجا ِلڪ ُۖمۡ‌ فَإِن لَّمۡ يَ ُكونَا َر ُجلَ ۡي ِن فَ َر ُج ٌل َوٱمۡ َرأَت‬ ۚ ۚ ۡ ُ ‫أۡل‬ ۡ َ ْ ْ ۡ ُّ ُۡ‫يرً ا إِلَ ٰ ٓى أَ َجلِ ِۚۦ‌ه َذٲلِكم‬DDِ‫ ِغيرً ا أَ ۡو ڪَ ب‬D‫ص‬ ُ َ ۡ ٰ ‫اَل‬ ‫اَل‬ ‌ D‫ا ُد ُع‬DD‫ہَدَٓا ُء إِذا َم‬D‫ب ٱلش‬ ‌ ‫َض َّل إِ ۡحد َٰٮهُ َما فَتُ َذڪِّ َر إِ ۡحد َٰٮهُ َما ٱ خ َر‬ َ ُ‫وه‬DDُ‫ ُم ٓوا أن تَكتب‬Dََٔ‫وا َو تَسٔـ‬D َ ‫أ‬DDَ‫ى َو ي‬ ِ ‫ت‬ ۖ ۬ ۗ‌‫ا‬D َ‫ا ٌح أَاَّل ت َۡكتُبُوه‬DDَ‫س َعلَ ۡي ُكمۡ ُجن‬ َ ْ َ ‫ ِديرُونَهَا بَ ۡينَڪُمۡ فَلَ ۡي‬D ُ‫ َرةً ت‬D ‫اض‬ ِ ‫ونَ تِ َج ٰـ َرةً َح‬DD‫اب ُٓو‌ا إِٓاَّل أن تَ ُك‬DDَ‫ َو ُم ِلل َّشہَ ٰـ َد ِة َوأَ ۡدن ٰ َٓى أَاَّل ت َۡرت‬D‫ َد ٱهَّلل ِ َوأَ ۡق‬D ‫طُ ِعن‬D ‫أَ ۡق َس‬ ْ Dُ‫ق ِبڪ ُۗمۡ‌ َوٱتَّق‬ ْ Dُ‫ ِهي ۬ۚ ٌ‌د َوإِن ت َۡف َعل‬D‫اتِ ۬بٌ َواَل َش‬DD‫ٓا َّر َك‬D‫ُض‬ ُ ۢ ‫و‬D‫وا فَإِنَّهُ ۥ فُ ُس‬D ‫ ۡى ٍء َعلِي ٌم‬D‫لِّ َش‬DDُ‫وا ٱهَّلل ۖ‌َ َويُ َعلِّ ُمڪُ ُم ٱهَّلل ۗ‌ُ َوٱهَّلل ُ ِبڪ‬D َ ‫مۡ‌ َواَل ي‬Dُۚ‫ايَ ۡعت‬DDَ‫ ِهد ُٓو ْا إِ َذا تَب‬D‫َوأَ ۡش‬ QS. Al-Baqarah : 282۬



B. Terjemahan Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 282 “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berhutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhan-nya, dan janganlah dia mengurangi sedikitpun daripadanya. Jika orang yang berhutang itu kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu 6



tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”1 C. Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 282 Inilah ayat terpanjang dalam al-Quran, dan yang dikenal oleh para ulama dengan nama ayat al-mudayanah (ayat utang piutang). Ayat ini antara lain berbicara tentang anjuran atau menurut sebagian ulama kewajiban menulis utang piutang dan mempersaksikannya dihadapan pihak ketiga yang dipercaya (notaris), sambil menekankan perlunya menulis utang walau sedikit, disertai dengan jumlah dan ketetapan waktunya. Ayat ini ditempatkan setelah uraian tentang anjuran bersedekah dan berinfaq (ayat 271-274), kemudian disusul dengan larangan melakukan riba (ayat 275279), serta anjuran memberi tangguh kepada yang tidak mampu atau bahkan menyedekahkan sebagian atau semua hutang itu (ayat 280). Penempatan uraian tentang anjuran atau kewajiban menulis hutang piutang setelah anjuran dan larangan di atas, mengandung makna tersendiri. Anjuran bersedekah dan melakukan infaq di jalan Allah, merupakan pengejawantahan rasa kasih sayang yang murni; selanjutnya larangan riba merupakan pengejawantahan kekejaman dan kekerasan hati, maka dengan perintah menulis hutang piutang yang mengakibatkan terpeliharanya harta, tercermin keadilan yang mengakibatkan terpeliharanya harta, tercermin keadilan yang didambakan al-Quran, sehingga lahir jalan tengah antara rahmat murni yang diperankan oleh sedekah dengan kekejaman yang diperagakan oleh pelaku riba. Larangan mengambil keuntungan melalui riba dan perintah bersedekah, dapat menimbulkan kesan bahwa al-Quran tidak bersimpati terhadap orang yang memiliki harta atau mengumpulkannya. Kesan keliru itu dihapus melalui ayat ini, yang intinya memerintahkan memelihara harta dengan menulis hutang piutang 1



Al-Qur'an Al-Baqarah ayat 282



7



walau sedikit, serta mempersaksikannya. Seandainya kesan itu benar, tentulah tidak akan ada tuntutan yang sedemikian rinci menyangkut pemeliharaan dan penulisan hutang piutang.2 Ayat 282 ini dimulai dengan seruan Allah swt kepada kaum yang menyatakan beriman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.” Perintah ayat ini secara redaksional ditunjukkan kepada orang-orang beriman, tetapi yang dimaksud adalah mereka yang melakukan transaksi hutang-piutang, bahkan yang lebih khusus adalah yang berhutang. Ini agar yang memberi piutang merasa lebih tenang dengan penulisan itu, karena menulisnya adalah perintah atau tuntunan yang sangat dianjurkan, walau kreditor tidak memintanya. Perintah utang piutang dipahami oleh banyak ulama sebagai anjuran, bukan kewajiban. Demikian praktek para sahabat ketika itu. Memang sungguh sulit perintah diterapkan diterapkan oleh kaum muslimin ketika turunnya ayat ini jika perintah menulis hutang piutang bersifat wajib, karena kepandaian tulis menulis ketika itu sangat langka. Namun demikian ayat ini mengisyaratkan perlunya belajar tulis menulis, karena dalam hidup ini setiap orang mengalami pinjam dan meminjamkan. Sufyan ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Ayat ini diturunkan berkaitan dengan masalah salam (mengutangkan) hingga waktu tertentu. Firman Allah, “hendaklah kamu menuliskannya” merupakan perintah dari-Nya agar dilakukan pencatatan untuk arsip. Perintah disini merupakan perintah yang bersifat membimbing, bukan mewajibkan.3 Selanjutnya Allah swt menegaskan: “Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menulisnya dengan adil.” Yakni dengan benar, tidak menyalahi ketentuan Allah dan perundangan yang berlaku dalam masyarakat. Tidak juga merugikan salah satu pihak yang bermuamalah, sebagaimana dipahami dari kata adil dan di 2



M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Misbah”, Volumue 1 (Ciputat Tangerang: Lentera Hati, 2005), h. 601-609 Muhammad Ar-Rifa’i, “Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir”, Jilid 1, Penerjemah: Syihabuddin (Jakarta: Gema Insani, 1999), 462-463. 3



8



antara kamu. Dengan demikian dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis, yaitu kemampuan menulis, pengetahuan tentang aturan serta tatacara menulis perjanjian, dan kejujuran. Selanjutnya Allah swt menegaskan: “Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menulisnya dengan adil.” Yakni dengan benar, tidak menyalahi ketentuan Allah dan perundangan yang berlaku dalam masyarakat. Tidak juga merugikan salah satu pihak yang bermuamalah, sebagaimana dipahami dari kata adil dan di antara kamu. Dengan demikian dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis, yaitu kemampuan menulis, pengetahuan tentang aturan serta tatacara menulis perjanjian, dan kejujuran. Ayat ini mendahulukan penyebutan adil daripada penyebutan pengetahuan yang diajarkan Allah. Ini karena keadilan, di samping menuntut adanya pengetahauan bagi yang akan berlaku adil, juga karena seseorang yang adil tapi tidak mengetahui, keadilannya akan mendorong dia untuk belajar. Berbeda dengan yang mengetahui tetapi tidak adil. Ketika itu pengetahuannya akan digunakan untuk menutupi ketidakadilannya. Ia akan mencari celah hukum untuk membenarkan penyelewengan dan menghindari saksi. Selanjutnya kepada para penulis diingatkan, agar janganlah enggan menulisnya sebagai tanda syukur, sebab Allah telah mengajarnya, maka hendaklah ia menulis. Penggalan ayat ini meletakkan tanggung jawab di atas pundak penulis yang mampu, bahkan setiap orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan sesuatu sesuai dengan kemampuannya. Setelah menjelaskan tentang hukum penulisan hutang piutang, penulis, kriteria, dan tanggung jawabnya, maka dikemukakan tentang siapa yang mengimlakkan kandungan perjanjian, yakni dengan firmannya: Dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan apa yang disepakati untuk ditulis. Mengapa yang berhutang, bukan yang memberi hutang? Karena dia dalam posisi lemah, jika yang memberi hutang yang mengimlakkan, bisa jadi suatu ketika yang berhutang mengingkarinya. Dengan mengimlakkan sendiri hutangnya, dan didepan penulis, serta yang memberinya juga, maka tidak ada alasan bagi yang



9



berhutang untuk mengingkari isi perjanjian. Sambil mengimlakkan segala sesuatu yang diperlukan untuk kejelasan transaksi, Allah mengingatkan yang berhutang agar hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya. Kemudian ayat selanjutnya adalah menyatakan nasihat, janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya, baik yang berkaitan dengan kadar hutang, waktu, cara pembayaran dan lain-lain, yang dicakup kesepakatan bersama. Bagaimana kalau yang berhutang, karena suatu dan lain hal tidak mampu mengimlakkan? Lanjutan ayat menjelaskannya, jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya, tidak pandai mengurus harta, karena suatu dan lain sebab, atau lemah keadaannya, seperti sakit, atau sangat tua, atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, karena bisu atau tidak mengetahui bahasa yang digunakan, atau boleh jadi malu, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Setelah menjelaskan penulisan, maka uraian berikut adalah menyangkut persaksian, baik dalam tulis menulis maupun selainnya. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orng lelaki di antara kamu. Dua orang saksi dimaksud adalah saksi-saksi lelaki yang merupakan anggota masyarakat muslim. Atau kalau tidak ada demikian tim Departemen Agama RI dan banyak ulama menerjemahkan dan memahami lanjutan ayat-atau kalau bukan- menurut hemat penulis yakni kalau bukan dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, yakni yang disepakati oleh yang melakukan transaksi. Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa kesaksian dua orang lelaki, diseimbangkan dengan satu lelaki dan dua perempuan. Yakni seseorang lelaki diseimbangkan dengan satu lelaki dan dua perempuan? Ayat ini menjelaskan bahwa hal tersebut adalah supaya jika salah seorang dari perempuan itu lupa maka seorang lagi, yakni yang menjadi saksi bersamanya mengingatkannya. Mengapa kemungkinan ini disebutkan dalam konteks kesaksian wanita. Apakah karena kemampuan intelektualnya kurang, seperti diduga sementara ulama atau karena emosinya sering tidak terkendali? Hemat penulis tidak ini dan tidak itu.



10



Persoalan ini harus dilihat pada pandangan dasar Islam tentang tugas utama wanita dan fungsi utama yang dibebankan atasnya. Al-Quran dan Sunnah mengatur pembagian kerja antara wanita dan pria, suami dan istri. Suami bertugas mencari nafkah dan dituntut untuk memberi perhatian utama dalam hal ini untuk menyediakan kecukupan nafkah untuk anak istrinya. Sedang tugas utama wanita atau istri adalah membina rumah tangga dan memberi perhatian besar bagi pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa anakanaknya. Namun perlu dicatat, bahwa pembagian kerja itu tidak ketat. Tidak jarang istri para sahabat Nabi ikut bekerja mencari nafkah, karena suaminya tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga, dan tidak sedikit pula suami yang melakukan aktivitas di rumah serta mendidik anak-anaknya. Pembagian kerja yang disebut di atas, dan perhatian berbeda yang dituntut terhadap masingmasing jenis kelamin, menjadikan kemampuan dan ingatan mereka menyangkut objek perhatiannya berbeda. Ingatan wanita dalam soal rumah tangga, pastilah lebih kuat dari pria yang perhatiannya lebih banyak atau seharusnya lebih banyak banyak tertuju kepada kerja, perniagaan, termasuk hutang piutang. Ingatannya pasti juga lebih kuat dari wanita yang perhatian utamanya tidak tertuju atau tidak diharapkan tertuju kesana. Atas dasar besar kecilnya perhatian itulah tuntunan di atas ditetapkan. Dan, karena al-Quran menghendaki wanita memberi perhatian lebih banyak kepada rumah tangga atau atas dasar kenyataan pada masa turunnya ayat ini, wanita-wanita tidak memberi perhatian yang cukup terhadap hutangpiutang, baik suami tidak mengizinkan keterlibatan mereka maupun oleh sebab lain, maka kemungkinan mereka lupa lebih besar dari kemungkinannya oleh pria. Karena itu demi menguatkan persaksian, dua orang wanita diseimbangkan dengan seorang pria, supaya jika seseorang lupa maka seseorang lakgi mengingatkannya. Sekali lagi hemat penulis ayat ini tidak berbicara tentang kemampuan intelektual wanita, tidak juga berarti bahwa kemampuannya menghafal lebih rendah dari kemampuan pria. Sebagaimana Allah berpesan kepada para penulis, kepada para saksipun Allah berpesan, “janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan apabila mereka



11



dipanggil,” karena keengganannya dapat mengakibatkan hilangnya hak atau terjadi korban. Yang dinamai saksi adalah orang yang berpotensi menjadi saksi, walaupun ketika itu dia belum melaksanakan kesaksian, dan dapat juga secara aktual telah menjadi saksi. Jika anda melihat satu peristiwa, katakanlah tabrakan, maka ketika itu anda telah berpotensi memikul tugas kesaksian, sejak saat itu anda telah dapat dinamai saksi walaupun belum lagi melakukan kesaksian itu di pengadilan. Ayat ini dapat berarti, janganlah orang-orang yang berpotensi menjadi saksi enggan menjadi saksi apabila mereka diminta. Memang, banyak orang, sejak dahulu apalagi sekarang, yang enggan menjadi saksi, akibat berbagai faktor, paling sedikit karena kenyamanan dan kemaslahatan pribadinya terganggu. Karena itu, mereka perlu dihimbau. Perintah ini adalah anjuran, apalagi jika ada orang lain yang memberi keterangan, dan wajib hukumnya bila kesaksiannya mutlak untuk menegakkan keadilan. Setelah mengingatkan para saksi, ayat ini kembali berbicara tentang penulisan hutang piutang, tapi dengan memberi penekanan pada hutang piutang yang jumlahnya kecil, padahal yang kecil pun dapat menyebabkan permusuhan, bahkan pembunuhan. Memang menulis yang kecil-kecil, apalagi seringkali dapat membosankan. Karena itu, ayat ini mengingatkan, janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai yakni termasuk batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, yakni penulisan hutang-piutang dan persaksian yang dibicarakan itu, lebih adil disisi Allah, yakni dalam pengetahuan-Nya dan dalam kenyataan hidup, dan lebih dapat menguatkan persaksian, yakni lebih membantu penegakan persaksian, serta lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguan di antara kamu. Petunjuk-petunjuk di atas adalah jika muammalah dilakukan dalam bentuk hutang-piutang. Tetapi jika ia merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu tidak menulisnya. Dan



12



persaksikanlah apabila kamu berjual beli; perintah di sini oleh mayoritas ulama dipahami sebagai petunjuk umum, bukan perintah wajib. Saksi dan penulis yang diminta atau diwajibkan untuk menulis dan menyaksikan, tentu saja maempunyai aneka kepentingan pribadi atau keluarga; kehadirannya sebagai saksi, dan atau tugasnya menulis, dapat mengganggu kepentingannya. Di sisi lain, mereka yang melakukan transaksi jual beli atau hutang piutang itu, dapat juga mengalami kesulitan dari para penulis dan saksi jika karena menyelewengkan kesaksiasn atau menyalahi ketentuan penulisan. Karena itu Allah berpesan dengan menggunakan satu redaksi yang dapat dipahami sebagai tertuju kepada penulis saksi, kepada penjual dan pembeli, serta yang berhutang dan pemberi hutang. Wala yudharra katibun wa la syahid, dapat berarti janganlah penulis dan saksi memudharatkan yang bermuamalah, dan dapat juga berarti janganlah yang bermuamalah memudharatkan para saksi dan penulis. Salah satu bentuk dari mudharat yang dapat dialami oleh saksi dan penulis adalah hilangnya kesempatan memperoleh rejeki, karena itu tidak ada salahnya memberikan mereka ganti transport dan biaya administrasi sebagai imbalan jeri payah dan penggunakan waktu mereka. Di sisi lain, para penulis dan saksi hendaknya tidak juga merugikan yang bermuamalah dengan memperlambat kesaksian, apalagi menyembunyikannya, atau melakukan penulisan yang tidak sesuai dengan kesepakatan mereka. Jika kamu, wahai para saksi dan penulis serta yang melakukan muammalah, melakukan yang demikian, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Kefasikan terambil dari akar kata yang bermakana terkelupasnya kulit sesuatu. Kefasikan adalah keluarnya seseorang dari ketaatan kepada Allah swt atau dengan kata lain kedurhakaan. Ini berarti, siapa pun yang melakukan suatu aktivitas yang mengakibatkan kesulitan bagi orang lain, maka dia dinilai durhaka kepada Allah serta keluar dari ketaatan kepada-Nya. Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Dan bertaqwalah kepada Allah mengajar kamu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Menutup ayat ini



13



dengan perintah bertaqwa yang disusul dengan mengingatkan pengajaran ilahi, merupakan penutup yang amat tepat, karena seringkali yang melakukan transaki perdagangan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dengan berbagai cara terselubung untuk mencari keuntungan sebanyak mungkin. Dari sini peringatan tentang perlunya taqwa serta mengingat pengajaran Ilahi menjadi sangat tepat.4 D. Pembahasan Tentang Akuntansi Pada dasarnya, kegiatan akuntansi merupakan kegiatan mencatat, dilanjutkan dengan menganalisis, menyajikan dan menafsirkan data keuangan dari aktifitas berhubungan dengan produksi, pertukaran barang-barang danjasa-jasa, atau berhubungan dengan pengelolaan dana-dana bagi perusahaan yang bertujuan memperoleh keuntungan, akuntansi memberikan metode untuk menentukan apakah lembaga tersebut memperoleh keuntungan atau sebaliknya menderita kerugian, sebagai hasil dan transaksi-transasi yang dilakukan. Akuntansi sebagai alat bantu  manajemen (tool management) dapat memberikan informasi tentang kondisi keuangan dan hasil operasi perusahaan seperti tercermin pada catatan keuangan perusahaan yang bersangkutan. Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabawiyyah, Ijma (kesepakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu), dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi dalam Islam, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat Islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.5 E. Teks Hadits Tentang Akuntansi



‫ُف بْنُ هَّللا ِ ُع َب ْي ُد َح َّد َث َنا‬ َ ‫بْنُ م َُح َّم ُد َح َّد َث َنا َقا َل ْال َع َتكِيُّ ْال َح َس ِن بْنُ َو َجمِي ُل ْال ُج َبي ِْريُّ يُوس‬ 4 5



14



‫ان‬ َ ‫َتاَل َقا َل ْال ُخ ْد ِريِّ َسعِي ٍد أَ ِبي َعنْ أَ ِبي ِه َعنْ َنضْ َر َة أَ ِبي بْنُ ْال َملِكِ َع ْب ُد َح َّد َث َنا ْالعِجْ لِيُّ َمرْ َو‬ ‫ِين أَ ُّي َها َيا } اآْل َي َة َه ِذ ِه‬ َ ‫ْن َتدَا َي ْن ُت ْم إِ َذا آ َم ُنوا الَّذ‬ ٍ ‫أَم َِن َفإِنْ َبلَ َغ َح َّتى م َُس ًّمى أَ َج ٍل إِلَى ِب َدي‬ ْ ‫َق ْبلَ َها َما َن َس َخ‬ ً ْ‫ت َه ِذ ِه َف َقا َل { َبع‬ ‫ض ُك ْم‬ ُ ْ‫ضا َبع‬ Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Yusuf Al Jubairi dan Jamil bin Al Hasan Al Atiki keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Marwan Al Ijli berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik bin An Nadlrah dari Bapaknya dari Abu Sa'id Al Khudri ia berkata ketika dia membaca ayat ini: ' Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian berhutang piutang untuk waktu tertentu, hendaklah kalian menuliskannya, hingga ayat: ' Akan tetapi jika sebagian kalian percaya kepada sebagian yang lain', ia mengatakan, "Ayat ini menghapus ayat yang sebelumnya." (IBNU MAJAH - 2356) Dalam hadits tersebut diterangkan bahwa orang yang melakukan hutang piutang harus melakukan pencatatan. Pencatatan ini berfungsi agar orang yang berhutang dan orang yang dihutangi akan tetap ingat akan hutangnya. Manusia mungkin saja bisa lupa terhadap sesuatu termasuk hutangnya. Pencatatan juga bertujuan untuk meminimalisir kesalah pahaman terhadap orang yang berhutang dan yang dihutangi. Seseorang yang melakukan pencatatan harus mencatat transaksi yang telah terjadi dengan teliti dan jujur. Ketelitian seseorang sangat dibutuhkan dalam proses pencatatan agar tidak terjadi kesalahan. Dan kejujuran merupakan sifat yang harus dimiliki oleh setiap orang termasuk orang yang melakukan pencatatan transaksi. Jika orang tersebut tidak juju, maka orang tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Proses pencatatan hendaknya juga harus disaksikan oleh beberapa saksi. Ada beberapa hadist lain mengenai akuntansi yaitu : 1. Hadits tentang penghitungan



15



Raulullah bersabda ”Hitunglah diri kalian sebelum kalian dihitung (hisab) timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang. Adalah lebih ringan kalian menghitung diri kalian sebelum besok dihitung” Tafsir : Hadis diatas mendorong manusia untuk melakukan penghitungan yang sebenar-benarnya, dan memperbaiki apa yang telah mereka hitung sebelum dipertanggung jawabkan di akhirat kelak. Pada hal ini kejujuran sangat diperlukan



untuk



mendapatkan



hasil



yang



sebenar-benarnya



dalam



penghitungan tersebut. 2. Hadits tentang Kejujuran Abdullah bin Mas’ud berkata: “Bersabda Rasulullah : Kalian harus jujur karena sesungguhnya jujur itu menunjukan kepada kebaikan dan kebaikan itu menunjukkan kepada jannah. Seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur sehingga ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian dusta karena sesungguhnya dusta itu menunjukkan kepada keburukan dan keburukan itu menunjukkan kepada neraka. Seseorang senantiasa berdusta dan berusaha untuk berdusta sehingga ditulis disisi Allah sebagai seorang pendusta” (HR Muslim) Tafsir : Dalam hadits ini mengandung isyarat bahwa siapa yang berusaha untuk jujur dalam perkataan maka akan menjadi karakternya dan barangsiapa sengaja berdusta dan berusaha untuk dusta maka dusta menjadi karakterya. Dengan latihan dan upaya untuk memperoleh, akan berlanjut sifat-sifat baik dan buruk. Hadits diatas menunjukkan agungnya perkara kejujuran dimana ujungujungnya akan membawa orang yang jujur ke jannah serta menunjukan akan besarnya keburukan dusta dimana ujung-ujungnya membawa orang yang dusta ke neraka. 3. Hadits tentang ketelitian Rasulullah saw: Perlahan-lahan itu dari Allah dan tergesa-gesa itu dari setan. (Al Mahâsin)



16



Tafsir : Hadis diatas menjelaskan perlahan-lahan memiliki arti bersabar dan penuh ketelitian dalam menjalankan sesuatu adalah bimbingan Allah. Dan tergesagesa itu diartikan sebagai pengaruh nafsu setan.6



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Nilai terpenting dari kesadaran yang harus dimiliki oleh manusia adalah sifat ketundukan dan kepatuhannya kepada tuhan semesta ala mini, menjadikan konsekuensi bahwa manusia dalam melakukan semua aktifitas dalam seluruh masa hidupnya harus dioperasikan atas dasar nilai-nilai etika atau syariah yang berlaku, yang dalam kaitannya dengan akuntansi dinamakan etika akuntansi (akuntansi syariah). Sebuah prinsip dasar dalam akuntansi perbankan syari’ah adalah kejujuran, keadilan, ketelitian, kecermatan dan asas kesungguhsungguhan. Setiap angkuntan perbankan syariah harus berpegang teguh pada 6



Suwikno, Dwi. 2010. Ayat-ayat Ekonomi Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar,  h. 9



17



ajaran islam sebagai landasan filsofis. Suatu hal yang terpenting adalah kejujuran dalam menjalankan tugasnya yaitu mencatat. Akuntan diminta menyajikan laporan sesuai dengan fakta yang ada. Ada suatu kasus akuntan memberikan laporan keuangan yang berbeda. Misalnya terkait dengan pajak. Akuntan membuat laporan yang seramping mungkin untuk mendapatkan beban pajak yang kecil. Pada saat membuat laporan untuk BI dan dewan direksi akuntan lebih pandai dengan membuat laporan keuangan yang fantastic. Hal ini tidak pernah dibenarkan dalam islam.Menurut pemakalah kejujuran seorang akuntan dalam penghitungan adalah pilar utama dalam mewujudkan Perbankan syari’ah yang benar-benar 100% syari’ah. Perbankan syari’ah seharusnya jangan takut melepaskan diri dari prinsip konvensional. B. Saran Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan khususnya pada Penulis sendiri. Pemakalah menyadari bahwa makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan, maka dari itu pemakalah mengharapkan kritik dan saran yang membangun, demi lebih baiknya makalah ini. DAFTAR PUSTAKA Al-Qur'an Al-Baqarah ayat 282 Muhammad Ar-Rifa’i, “Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir”, Jilid 1, Penerjemah: Syihabuddin (Jakarta: Gema Insani, 1999) M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Misbah”, Volumue 1 (Ciputat Tangerang: Lentera Hati, 2005) Suwikno, Dwi. 2010. Ayat-ayat Ekonomi Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar



18