13 0 74 KB
BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Arab Saudi yang dibuka sejak tahun 1947 telah banyak peningkatan yang dicapai diantara
kedua
negara.
Indonesia,
yang
mana
mayoritas
penduduknya muslim -bahkan terbesar di dunia- merupakan mitra yang strategis bagi Arab Saudi. Dalam perjalanannya, kedua negara telah menjalin hubungan yang sangat baik dan banyak hal mewarnai hubungan bilateral tersebut. Salah satu isu yang mewarnai hubungan bilateral RI-Arab Saudi saat ini adalah permasalahan Warga Negara Indonesia Overstayer(WNIO) yang berada di Arab Saudi. Warga Negara Indonesia Overstayer merupakan WNI yang melakukan kunjungan atau tinggal di Arab Saudi dengan berbagai keperluan namun telah habis masa ijin tinggalnya. Para Warga Negara Indonesia Overstayer memiliki berbagai alasan melakukan hal ini antara lain para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang kabur dari majikannya karena disiksa, gaji tidak dibayar atau ingin bekerja pada majikan lain dengan gaji besar. Namun, ada pula Warga Negara IndonesiaOverstayer yang sebenarnya adalah WNI yang menggunakan visa untuk melakukan ibadah umroh tetapi setelah masa visa tersebut habis masih ingin tetap tinggal di Arab Saudi dan bekerja disana secara ilegal. Seluruh Warga Negara Indonesia Overstayer bermasalah ini biasanya tidak mengikuti prosedur yang diterapkan Pemerintah Arab Saudi terkait
keimigrasian.
Alasan
Indonesia Overstayer tidak
mau
para mengurus
Warga
Negara
perijinan
karena
keterbatasan dana untuk berurusan dengan birokrasi. Untuk menghindari
masalah
lebih
lanjut,
para
Warga
Negara
Indonesia Overstayer ini
memilih
untuk
tinggal
di
kolong
jembatan. Salah satu kolong jembatan yang banyak dijadikan sebagai tempat
berlindunganya
para
Warga
Negara
Indonesia Overstayer ini adalah jembatan Kandara. Berbagai Warga Negara Indonesia Overstayer dengan berbagai macam permasalahan
berkumpul
disini
dan
menunggu
untuk
di
deportasi ke Indonesia. Tidak jarang juga banyak Warga Negara Indonesia Overstayer yang harus mendekam di penjara beberapa bulan karena berbagai masalah yang ia hadapi. Masalah keterbatasan dana membuat mereka hanya dapat mengandalkan proses deportasi yang dilakukan pemerintah baik yang dilakukan Pemerintah Indonesia ataupun Pemerintah Arab Saudi. Namun, proses deportasi tidak semudah yang dibayangkan. Jumlah Warga Negara Indonesia Overstayer telah mencapai ribuan orang sehingga hal ini menjadi kebingungan pemerintah Indonesia maupun pemerintah Arab Saudi karena biaya yang diperlukan untuk melakukan deportasi juga sangat besar. Di
sisi
lain,
permasalahan
Warga
Negara
Indonesia Overstayer tersebut tentunya menimbulkan pekerjaan berat untuk Pemerintah Arab Saudi sebagai pemilik wilayah yuridiksi. Penambahan warga negara ilegal tersebut telah mengakibatkan peningkatan kemiskinan dan kriminalitas di Arab Saudi sehingga banyak Warga Negara Indonesia Overstayer yang harus berurusan hukum disana. Permasalahan ini semakin berlarut
ketika
pihak
pemerintah
Arab
Saudi
meminta
pemerintah Indonesia untuk memulangkan para Warga Negara IndonesiaOverstayer tersebut dengan biaya yang seluruhnya ditanggung oleh Pemerintah Indonesia. B. RUMUSAN MASALAH
Dari penjelasan diatas, penulis menemukan tiga pertanyaan yang dikemukakan, pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut : 1. 2. 3.
Kasus TKI di Arab Saudi Faktor penyebab kekerasan pada TKI Solusi dan Peran Pemerintah dalam melindungi TKI di Arab Saudi
A.
BAB 2 PEMBAHASAN Kasus TKI di Arab Saudi SUKABUMI, KOMPAS.com — Seorang
tenaga
kerja
wanita asal Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Kokom, warga Desa
Cijatu,
Kecamatan
Jampangkulon,
menjadi
korban
penyiksaan hingga lumpuh oleh majikannya di Arab Saudi. "Selama bekerja di dua majikannya tersebut, Kokom tidak pernah mendapatkan gaji, bahkan hampir setiap waktu mendapatkan
penyiksaan
dari
majikannya
yang
menyebabkan beberapa bagian tubuhnya lumpuh seperti kaki, mata, dan telinga," kata Jejen Nurjanah, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Jabar, Selasa (8/10/2013). Informasi yang dihimpun Antara dari Serikat Buruh Migran Indonesia cabang Jawa Barat, Kokom yang saat ini berusia sekitar 35 tahun sudah 14 bulan bekerja di Arab Saudi di dua majikan yang berbeda. Majikan pertama diketahui bernama
Kholifah Al Mudib dan majikan yang kedua yakni Munah Ilham Muhamad Al Rizky. Keterangan yang didapat Jejen dari korban,
di
majikannya
yang
pertama
Kokom
sering
mendapatkan pukulan oleh benda tumpul dan gajinya pun tidak dibayarkan. Karena tidak kuat dengan penyiksaan yang dilakukan majikannya akhirnya Kokom kabur. Kokom pun mendapatkan majikan baru yakni Munah. Alihalih mendapatkan majikan yang lebih baik, Munah ternyata lebih kejam dari majikannya yang pertama. Kokom kembali menerima
berbagai
bentuk
penyiksaan
meskipun
tidak
melakukan kesalahan. "Saat ini Kokom berada di Konsulat Jenderal RI di Jeddah, Arab Saudi, dan di tubuh korban masih terlihat luka bekas siksaan majikannya, bahkan kaki, mata, dan telinga serta tangan korban tidak bisa berfungsi," tambahnya. Menurut Jejen, saat ini keluarga korban sudah datang ke Kementerian Luar Negeri RI dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI dengan didampingi oleh SBMI. Selain itu, pihaknya juga akan melaporkan kasus penyiksaan ini kepada Komnas Perempuan dan polisi, serta meminta pemerintah mengusut kasus ini dan berkoordinasi dengan Kerajaan Arab Saudi untuk menangkap kedua majikan Kokom tersebut. "Kami berharap pemerintah proaktif dalam memberikan bantuan hukum kepada para TKI yang menjadi korban penyiksaan karena hampir setiap tahun ada kasus yang serupa," katanya. Namun, lanjut Jejen, hukuman paling berat untuk pelaku penyiksaan hanya beberapa tahun saja, atau berupa denda. Setelah itu hak-hak TKI, seperti gaji, tidak diberikan, sehingga tidak sedikit TKI yang pulang hanya mambawa baju atau luka bekas penyiksaan. B.
Faktor penyebab kekerasan pada TKI
Luar biasa hebatnya pemberitaan media massa atas kasus penyiksaan TKI diluar negeri akhir-akhir ini. Media telah menempatkan penyiksaan TKI luar negeri
sebagai
berita istimewa melebihi kasus mafia hukum dan Korupsi. Berbagai elemen masyarakatpun angkat bicara dengan porsinya masing-masing untuk mendudukan permasalahan TKI ada dimana. Melihat opini yang berkembang, Sejumlah pandangan terkesan tidak berimbang dan cenderung memberi vonis bahwa TKI adalah korban kekerasan
yang tidak pernah
berhenti karena rule of law pemerintah terlalu lemah. Tidak salah memang, jika aspek hukum menjadi persoalan yang dijadikan acuan utama. Tapi bila kita melihat penempatan TKI secara lebih luas, maka akan ada sejumlah persoalan lain terkait lemahnya rule of law tadi. Sesungguhnya, pemberitaan gencar media massa baik cetak maupun elektronik yang kita lihat adalah pandangan atas kelalaian Negara dalam tata kelola perlindungan hukum bagi TKI. Pandangan yang muncul banyak mempersoalkan perlindungan TKI oleh Negara dari siksaan semata tanpa melihat aspek kesuksesan bagi
sebagian besar TKI dan
aspek keuntungan Negara yang lebih luas dari sector ekonomi dan psikososialnya. Termasuk kondisi ril Negara ditengah kebutuhan dan kemiskinan sebagian rakyat yang belum bisa diatasi Negara. Secara hukum, persoalan TKI akan berada didalam wilayah ‘ Dua Negara ‘ , Dimana setiap negara
ditetapkan bertanggung jawab
atas terjadinya
tindakan kesalahan. Pertanyaan, apakah penyiksaan TKI sudah mendapat perlindungan dari Negara ?. Sepanjang kejadian siksaan terhadap TKI, bisa dibilang Negara telah lalai dalam tanggung-jawabnya. Hampir dipastikan
baik
Negara asal maupun sejumlah Negara penempatan tidak
berfungsi efektif
memberi
pelayanan dan perlindungan
TKI. Dalam situasi Negara mengalami situasi politik yang panas, dan tata kelola hukum pemerintah yg lemah, maka penyiksaan dilibatkan
TKI yang
harus
diakui
kemudian
menjadi
dipolitisir
issu
untuk
strategis
melengkapi
buruknya pengelolaan hukum Negara oleh pemerintahan yang ada.
Politisasi kasus TKI-pun semakin lancar dan
membias karena dukungan media massa lebih menyukai pemberitaan bermasalah dari pada kesuksesan TKI yang jauh lebih besar. Berangkat dari sejarah penempatan TKI keluar negeri yang awalnya dirintis pihak swasta kemudian Negara terlibat melalui UU dan sejumlah peraturan untuk memberi adanya jaminan perlindungan serta peningkatan kualitas,
maka
penempatan
TKI
luar
negeri
dengan
sendirinya telah menjadi program nasional yang sama dengan
program
kemiskinan.
transmigrasi
Namun dalam
maupun
pengentasan
implementasinya, TKI hanya
menjadi subyek untuk mewajibkan mengikuti aturan-aturan Negara
tanpa
mendapat
pelayanan
dan
perlindungan
maksimal. Munculnya pilihan menjadi TKI bekerja sebagai pembantu rumah tangga di negeri orang semakin hari terus meningkat tidak juga bisa kita salahkan. Fakta- fakta yang memberi gambaran obyektif dan langsung dari kemiskinan nyata banyak yang sukses menjadi
TKI didepan mata,
Lantas dengan keterbatasan berpikir, hanya menjadi TKI lah bagi sebagian rakyat bisa melepaskan diri dari kungkungan ekonomi
dinegeri sendiri. Sebuah fakta memang yang
harus dilakukan oleh sebagian besar rakyat miskin yang tidak memiliki kemampuan untuk berkompetitif dengan ketidak-tersediaan lapangan kerja dalam negeri. Keterlibatan Negara
terhadap
penempatan
memang memberi keuntungan,
dan disatu
perlindungan hal
TKI
terbukti
membawa dampak social yg baik dan memberi keuntungan dalam sector ekonomi melalui devisa.
Namun melihat
kemiskinan nyata yang signifikan serta kasus yang dialami TKI di luar negeri
yang
kehilangan perlindungan, maka
Negara terpojokan dalam posisi dilematis. Disatu sisi Negara berhadapan kemiskinan dan disisi lain belum mampu memberi perlindungan optimal bagi TKI. Pemerintah serta PPTKIS
sebagai
wakil
Negara
dalam
pelaksana
penempatan TKI senantiasa dihujat sebagai biang kerok lemahnya
perlindungan
karena
dituding
dan
peningkatan
pemalsuan
kualitas
document
TKI, dan
sebagainya. Tetapi semua pihak tidak mau melihat bahwa pemalsuan document juga banyak dilakukan oleh TKI dan keluarganya . Tindakan ini
terpaksa
dilakukan karena
hukum Negara seperti pembatasan usia minimal 21 tahun oleh UU 39 Tahun 2004, dianggap telah membatasi hak mereka untuk bekerja dan mendapat kehidupan layak. Bicara perlindungan dan peningkatan kualitas TKI dalam Negeri , harus dilihat dari sejumlah ketentuan yang dibuat pemerintah. Ketentuan TKI diwajibkan menjalani tahapan proses peningkatan kualitas dan perlindungan dalam negeri seperti pemeriksaan Kesehatan, BLK-LN, Paspor. Asuransi
Pra
pemberangkatan
dan
Asuransi
pemberangkatan telah di ikuti dan sepenuhnya dibiayai dari dana Negara Negara
penempatan, bukan dana APBN. Artinya
penempatan
cukup
koperatif
terkait
upaya
peningkatan kualitas dan perlindungan TKI. Aspek lainya adalah
multiple-efek,
dimana
TKI
memberi
masukan
signifikan bagi penerbangan kita, pedagang kaki –lima disemua pos pelayaan TKI, dan miliaran rupiah masuk di tiap daerah dari kiriman TKI tiap hari . Termasuk dana pembinaan dan perlindungan
sebesar 15 Dollar per TKI kepada
pemerintah sejak 25 tahun lalu yang hingga kini tidak jelas kemana arah
pengelolaannya.
Cukup jelas begitu besar
dampak positif dari program penempatan dan perlindungan TKI. Namun, persoalan penting disini adalah keterlibatan Negara
yang belum optimal dalam peningkatan kualitas
kerja dan kualitas mentalitas TKI. Dua aspek ini cenderung menjadi
sumber
masalah
munculnya
sejumlah
kasus,
apalagi pihak penggunan jasa ( majikan ) merasa telah mengeluarkan banyak anggaran. C.
Solusi dan Peran Pemerintah dalam melindungi TKI di Arab Saudi Terjadinya banyak kasus penganiayaan dan penyiksaan TKI yang berada di luar negeri disebabkan oleh banyak faktor.
Faktor-faktor
tersebut
tak
jarang
bermula
dari
ketidakprofesionalan pihak-pihak yang menangani kebijakan penyaluran tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Berikut ini beberapa faktor yang menyebabkan berbagai penganiayaan dialami oleh para tenaga kerja terutama kaum wanita; 1. 2.
Kemampuan berbahasa yang tak memadai Kemampuan mengenal budaya negara yang akan dituju 3. Kemampuan intelektualitas 4. Penciptaan Lapangan Kerja Baru Pengiriman TKI besar-besaran adalah dampak dari kurang tersedianya lapangan kerja di negara kita, sehingga angka pengangguran dan kemiskinan semakin meningkat. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatifpengangguran. Salah satu diantaranya adalah membuka usaha sendiri. Selain memberdayakan diri, membuka usaha berarti juga menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang lain. Pemerintah menggalakkan program kewirausahaan bagi para pemuda, mahasiswa dan remaja. Maksud program ini jelas bahwa seorang mahasiswa yang telah lulus tidak semata-mata mencari
pekerjaan untuk dirinya sendiri. Tapi yang terpenting adalah menciptakan lapangan kerja baru. Program tersebut mencakup bantuan modal usaha maupun pelatihan entrepreneurship di kalangan mahasiswa dan pemuda. Namun kini, banyak juga anak muda yang memang sejak awal bercita-cita tidak menjadi pegawai. Bagi mereka, sekolah atau kuliah tetap penting tapi bukan yang utama. Karena itu banyak kita jumpai, para mahasiswa yang sudah mulai berbisnis kecil-kecilan. Ada yang turun langsung mengurus bisnisnya sendiri. Namun adapula yang mempekerjakan orang lain sebagai pegawai, sementara mereka bertindak sebagai manajer. Misalnya mahasiswa yang membuka bisnis makanan yang dijajakan dengan gerobak dorong. Walau nampak sederhana, usaha ini sungguh mulia. Mereka sudah belajar untuk berbisnis, membuka lapangan kerja dan mengurangi dampak negatif pengangguran. Setelah lulus, mereka dapat mengembangkan bisnisnya menjadi lebih besar ataupun berbisnis baru yang lebih besar namun dengan ‘ilmu jalanan’ yang telah mereka dapatkan sebelumnya. 6. Mencegah (bukan mengobati) Kekerasan pada TKI Penyebab kekerasan pada TKI bisa karena beberapa hal, misalnya
tidak
adanya
memberi
jaminan
undang-undang
perlindungan
yang
terhadap
TKI,
benar-benar kurangnya
keterampilan TKI sehingga mendapat marah sang majikan, dan masih banyak penyebab lain. Berikut ini beberapa cara untuk mencegah kekerasan TKI di luar negeri : ·
Bagi
para
calon
TKI,
sebaiknya
gunakan
jalur
penyaluran tenaga kerja yang legal dan terpercaya.Penyalur tenaga kerja yang baik adalah lembaga/perusahaan yang bisa menentukan di mana sebaiknya TKI tersebut bekerja sesuai kemampuannya. ·
Para penyalur TKI ke luar negeri hendaknya memberi
pembinaan dan pelatihan khusus pada calon TKI. Tak hanya tentang cara bekerja, tapi juga bagaimana kebiasaan orang luar negeri dan tata cara bersikap. Hal ini tentu sangat berguna
agar TKI tidak menjadi sasaran kemarahan majikan karena salah mengerjakan tugas. Baik
penyalur
maupun pemerintah hendaknya
selalu
memantau para TKI agar kekerasan pada TKI bisa diminimalisir, seperti memberlakukan aturan kepada setiap TKI di luar negeri agar melakukan pelaporan setiap 3 bulan sekali agar TKI tersebut terpantau dan bisa diketahui keadaannya. Pemerintah harus menindak tegas para penyalur TKI ilegal yang bisa menyebabkan para calon TKI mendapat hal-hal yang tidak menyenangkan saat bekerja di luar negeri. Pemerintah
harus
bisa
memberi
jaminan
perlindungan
terhadap para TKI di luar negeri. Selama ini, undang-undang tentang TKI tidak bisa melindungi para pekerja tersebut dengan baik. Sampai saat ini, pemerintah masih dinilai sangat lemah dalam menangani kasus kekerasan pada TKI. Pemerintah harus benar-benar bekerja sama secara baik dengan
pemerintah
suatu perjanjian untuk
tempat
TKI
melindungi
bekerja,
para
TKI
menjalin
dari
tindak
kekerasan. Itulah beberapa cara untuk mencegah kekerasan pada TKI. Dalam
hal
ini
Pemerintah
adalah faktor penting
dalam
keselamatan para TKI yang sedang bekerja di luar negeri. Memang harus diakui, pencegahan kekerasan pada TKI ini memang sangat sulit karena menyangkut watak orang lain (majikan), apalagi pemerintah Indonesia tidak bisa menuntut pelaku
kekerasan
begitu
saja
karena
tidak
terjadi
dalam
wilayah Indonesia. Namun, ada satu cara lagi untuk mencegah kekerasan pada TKI,
yaitu
menghentikan
pengiriman
TKI
ke
luar
negeri.
Pemerintah harus sadar, kenapa banyak sekali masyarakat yang tetap ingin menjadi TKI walau sudah banyak kasus kekerasan yang disebarkan oleh media.
tentu karena faktor ekonomi yang rendah, yang kemudian mendorong masyarakat untuk mencari rezeki di luar negeri yang
gajinya
mungkin
Indonesia.nUntuk
itu
bisa
lebih
pemerintah
banyak
sebaiknya
daripada serius
di
untuk
mengentaskan kemiskinan di negara ini, agar masyarakat bisa hidup tentram dan tidak terpaksa ke luar negeri hanya untuk mencari uang.
BAB III PENUTUP A.
Kesimpulan Alasan utama kebanyakan TKI bekerja ke luar negeri terutama Arab Saudi adalah faktor ekonomi. Kebanyakan mereka adalah orang miskin. Jasa tenaga kerja mereka tidak dapat disalurkan di dalam negeri karena negara tidak menyediakan lapangan kerja yang cukup. Dengan bahasa lain, negara sebenarnya telah gagal merealisasikan kesejahteraan bagi warga negaranya.
B.
Saran Kita harus bisa melihat potensi dan keterampilan dari setiap TKI sehingga penyaluran Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dapat terwujud lebih terarah demi menghindari adanya tindak kekerasan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tengah bekerja di luar negeri.
DAFTAR PUSTAKA WWW.ORGANISASI.ORG>ARTIKEL>DUNIA KERJA>ID PUSAKABIBA.BLOGSOT.COM WWW.KASKUS.CO.ID REGIONAL.KOMPAS.COM JALALUDINEGA.BLOGSPOT.COM HTTP://EYRANUCWAEMTEA.BLOGDETIK.COM