Makalah Ushul Fiqh [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH METODE PENULISAN USHUL FIQH THARIQAH MUTAKALLIMIN , HANAFIYAH DAN GABUNGAN



Mata Kuliah : Ushul Fiqh Dosen : Dr. KH. Ja’far Ath-Thayyar, Lc.MA



Disusun oleh :



NURLIA AZKA



UNIVERSITAS ISLAM AL-IHYA (UNISA) KUNINGAN TAHUN 2020



KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT. yang telah menurunkan Nabi Muhammad SAW. untuk umatnya di dunia ini sebagai petunjuk untuk menggapai kehidupan di dunia ini menuju kehidupan abadi. Sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang telah membimbing kita dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang, yakni dengan tersiarnya agama Islam. Dengan Hidayah, Rahmat dan Anugrah Allah SWT. Makalah Fiqh Ushul Fiqh ini dapat diselesaikan. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung atas terselesaikannya makalah ini dan juga sangat mengharapkan kepada semua pihak untuk memberi saran perbaikan makalah ini, karena makalah ini masih jauh akan kesempurnaan. Adapun harapan kami, semoga makalah ini dapat memberikan manfa’at kepada kita semua, Amin.



Kuningan, 05 Desember 2020



Penyusun



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Penulisan BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian dari Ushul Fiqh 2.2 Sejarah ringkas perkembangan ilmu ushul fiqh 2.3 Aliran-Aliran dalam Penulisan Kitab Ilmu Ushul Fiqh 2.4 Metode Gabungan ( Thariqat al-Jam’i ) BAB III PENUTUP DAFTAR PUSTAKA



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keragaman dan perbedaan adalah suatu hal yang lekat dalam kehidupan umat manusia. Tidak hanya dalam hal fisik umat manusia berbeda seperti dalam hal warna kulit, bentuk tubuh, rambut, mata dan sebagainya, namun perbedaan dalam hal budaya, pemikiran, pendapat, nilai-nilai, pandangan hidup juga mudah ditemukan. Perbedaan pendapat, metode, paradigma dalam dunia ilmu juga tak terelakkan terjadi, tak terkecuali dalam lapangan hukum Islam (fiqih) termasuk ushul fiqhinya. Membaca kitab-kitab ushul fiqh dari masa klasik hingga modern terasa asyik dan menyenangkan sekaligus juga terkadang membingungkan. Hal ini dikarenakan kita menjumpai model-model penulisan yang tidak seragam. Ada yang sederhana, luas bahkan terkesan bertele-tele, ada pula yang singkat bahkan terlalu singkat unutk ukuran sebuah kitab yang untuk memahaminya diperlukan penjelasan yang cukup terutama bagi pelajar pemula. Dalam dunia penulisan ushul fiqh, kita dikenalkan sekurangnya tiga thariqah atau metode penulisan yakni thariqah mutkallimin, thariqah fuqaha` atau Hanafiyah dan thariqah al-jam’u atau gabungan dari dua thariqah. Model-model penulisan tersebut hingga sekarang masih mudah dapat kita jumpai. Seperti apa karakteristik masing-masing, serta apa kelebihan dan kekurangan masing-masing, makalah singkat ini akan mencoba memaparkannya. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa Pengertian dari Ushul Fiqh ? 2. Apa Sejarah ringkas perkembangan ilmu ushul fiqh ? 3. Apa saja Aliran-Aliran dalam Penulisan Kitab Ilmu Ushul Fiqh? 4. Apa Metode Gabungan ( Thariqat al-Jam’i ) ?



1.3 Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui Pengertian dari Ushul Fiqh 2. Untuk mengetahui Sejarah ringkas perkembangan ilmu ushul fiqh 3. Untuk mengetahui Aliran-Aliran dalam Penulisan Kitab Ilmu Ushul Fiqh 4. Untuk mengetahui Metode Gabungan ( Thariqat al-Jam’i )



BAB II PEMBAHASAN



2.1 Pengertian Ushul Fiqh Pengertian Ushul Fiqh dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua kata, yaitu kata Ushul dan Fiqh. Ditilik dari tata bahasa Arab, rangkaian kata Ushul dan kata Fiqh tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh. [2] Kata Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa berarti : ‫اأْل َصْ ُل َما يُ ْبتَنَى َعلَ ْي ِه َغ ْيرُه‬ “ sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain ”.[3] Berdasarkan pengertian Ushul menurut bahasa tersebut, maka Ushul Fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh.[4] Memperhatikan pengertian ashl seperti di atas, dapat disimpulkan bahwa Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua kata ( idhafah ), secara sederhana berarti dalil-dalil bagi fiqh atau dapat juga dikatakan ketentuan-ketentuan umum bagi fiqh. Sementara Fiqh itu sendiri menurut bahasa, berarti paham atau tahu tahu secara mendalam. Adapun secara istilah fiqh didefinisikan oleh para ahli ushul dengan tentang hukum-hukum syara’ mengenai terperinci.”[5]



“Ilmu



perbuatan dari dalil-dalilnya yang



Dengan redaksi yang kurang lebih sama



seperti dikatakan oleh



Abdul Wahab Khallaf, fiqih memiliki pengertian yakni: “Kumpulan hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci”.[6] Yang dimaksud dengan dalil-dalilnya yang terperinci, ialah bahwa satu persatu dalil, baik dari al-Qur`an maupun al-Hadis menunjuk kepada suatu hukum tertentu, seperti firman Allah menunjukkan kepada kewajiban shalat.[7] Dengan penjelasan pengertian fiqh seperti tersebut di atas, maka pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu dalil-dalil bagi hukum syara’ mengenai perbuatan dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi pengambilan hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.



Ahli ushul fiqh dalam mendefinisikan pengertian ushul fiqh tidak jauh berbeda dari pengertian bahasa di atas. Sebut saja misalnya pakar Abdul Wahhab Khallaf memberi definisi atau



ushul fiqh kontemporer pengertian Ilmu Ushul Fiqh



dengan: “Ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-pemhahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.[8] Maksud dari kaidah-kaidah itu dapat dijadikan sarana untuk memperoleh hukumhukum syara’ mengenai perbuatan, yakni bahwa kaidah-kaidah tersebut merupakan cara-cara atau jalan-jalan ( masalik ) yang harus ditempuh oleh mustanbith untuk memperoleh hukum-hukum syara’; sebagaimana dapat ditemukan dalam rumusan pengertian Ilmu Ushul Fiqh yang dikemukakan oleh al-‘Allamah Muhammad Abu Zahrah dalam kitab ushul fiqhnya sebagai berikut : “Ilmu tentang kaidah-kaidah yang menggariskan jalan-jalan utuk memperoleh hukumhukum syara’ mengenai perbuatan dan dalil-dalilnya yang terperinci.”[9] Lebih jauh Muhammad Abu Zahrah menjelaskan bahwa Ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu yang menjelaskan jalan-jalan yang ditempuh oleh imam-imam mujtahid dalam mengambil hukum dari dalil-dalil yang berupa nash-nash syara’ dan dalil-dalil yang didasarkan kepadanya, dengan menentukan ‘illat yang dijadikan dasar ditetapkannya hukum serta kemaslahatan-kemaslahatan yang dikehendaki oleh syara’. Oleh karena itu Ilmu Ushul Fiqh dapat juga dikatakan dengan redaksi lain : “Kumpulan kaidah-kaidah yang menjelaskan kepada faqih (ahli hukum Islam) caracara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syara’.”[10] 2.2 Sejarah ringkas perkembangan ilmu ushul fiqh Ilmu ushul fiqh pada dasarnya lahir bersamaan dengan kelahiran ilmu fiqh itu sendiri. Karena ilmu fiqh muncul mutlak memerlukan metodologi tertentu yang di belakang hari lazim di sebut dengan ushul fiqh, walau harus ditegaskan kemunculan fiqh lebih dahulu muncul dibanding kemunculan ilmu ushul fiqh itu sendiri. Embrio ilmu ushul muncul pada abad II H itupun masih bercampur dengan ilmu fiqh. Pada masa sebelumnya, yakni masa Rasulullah SAW, kehadiran ilmu ini dirasa belum diperlukan, karena dalam hal menetapkan hukum Rasulullah SAW mendasarkan atas wahyu yang diterima serta dikuatkan dengan ijtihad fitrinya tanpa memerlukan dasardasar dan kaidah-kaidah untuk mengistimbathkan hukum. Sepeninggal Rasulullah



SAW, para sahabat dengan bekal penguasaan bahasa Arab yang dalam serta pengetahuan dan pengalaman bersama Rasulullah SAW, pengetahuan tentang asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, serta pengetahuan seputar maqashid asy-syari’ah, mereka mengistimbathkan hukum walau belum secara sistematis seperti yang tersusun dalam ilmu ushul fiqh seperti sekarang ini.[12] Pada masa tabi’in, tabi’it-tabi’in dan para imam mujtahid, di sekitar abad II dan III H wilayah kekuasaan Islam berkembang semakin luas, merambah daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab yang dengan sendirinya juga tidak berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. Dengan semakin tersebarnya agama Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin kompleks persoalan-persoalan hukum yang timbul yang belum dijumpai ketentuan hukum sebelumnya. Untuk itu para ulama yang tinggal di berbagai daerah itu berusaha mengistinbathkan hukum guna mengisi kekosongan hukum itu.[13] Dari waktu ke waktu persoalan-persoalan hukum yang timbul semakin banyak dan kompleks, sementara di sisi lain kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang juga



berkembang dengan pesat yang terjadi pada masa ini, kegiatan ijtihad pun



dituntut untuk mampu merespon mengimbangi perkembangan tersebut. Pada waktu yang bersamaan pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan antara ulama yang satu dengan yang lain mengenai metode dan hasil hasil ijtihad. Fakta-fakta di atas mendorong para ulama ushul untuk perlu menyusun kaidah-kaidah syari’ah yakni kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara’ dalam menetapkan hukum atau istinbath. [14] Di samping itu, dengan semakin meluasnya wilayah kekuasan Islam dan banyaknya penduduk Ajam ( non Arab ) memeluk agama Islam, maka terjadilah pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka. Dari pergaulan ini membawa akibat terjadinya penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik dalam hal ejaan, mufradat maupun dalam susunan kalimat, baik dalam bentuk ucapan maupun dalam tulisan. Hal



demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan, kesamaran dan



kemungkinan-kemungkinan kesalahan dalam memahami nash-nash syara’ yang ditulis dalam bahasa Arab yang fasih. Hal ini menantang



para ulama untuk menyusun



kaidah-kaidah kebahasaan (lughawiyah ), agar dapat memahami nash-nash syara’ sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab tatkala turun atau datangnya nash-nash tersebut. Dengan disusunnya kaidah-kaidah syar’iyah dan kaidah-kaidah lughawiyah



pada abad II H, maka telah lahirlah sebuah ilmu yang dikenal dengan nama Ilmu Ushul Fiqh. [15] 2.3 Aliran-Aliran dalam Penulisan Kitab Ilmu Ushul Fiqh Penerapan ushul-fiqh sering direpotkan masalah ketika ushuliyun akan membuat fiqh, terutama ketika mencari bentuk aliran, apakah ushul-fiqh aliran rakyu atau aliran mutakallimin. Dua aliran ini, secara etimologis memang berbeda secara prinsip dan mendasar. Keduanya memiliki implikasi metodologis yang berbeda terutama jika dikaitkan dengan masalah furu’. Rakyu atau metode fuqaha`/Hanafiyah adalah aliran dalam ushul-fiqh yang teoriteorinya dibangun atau disusun sesudah fiqh terbentuk. Artinya, mujtahid ini mengamati perilaku orang-orang mukallaf yang ada pada masyarakat, kemudian dia memproduksi fiqh secara induktif. Dapat juga dijelaskan, teori atau kaidah ushul versi aliran ini bertolak dari furu’ terlebih dahulu yang telah diwarisi dari imam pendahulu baru kemudian disusunlah kaidah atau teori yang relevan dengan masalah furu’ yang telah ditetapkan tadi. Karena itu wajarlah, apabila ‘urf (tradisi), mashalih al-mursalah, dan istihsan dijadikan sebagai landasan



hukum fiqh. Dalil-dalil ini, biasanya



dirumuskan berdasarkan istiqra` (penelitian) untuk mencari bentuk fiqh. Ushul fiqh aliran ini lazim dianut oleh fuqaha` Madzhab Hanafi, sebagian Madzhab Maliki, dan Mu’tazilah.[16] Sebaliknya, jika ushuliy



itu menyusun ushul fiqh terlebih dahulu, kemudian



memproduksi fiqh berdasarkan ushul fiqh tadi, berarti ushul fiqh ini disebut aliran mutakallimin. Aliran ini berfikir deduktif, dengan berusaha menyesuaikan perilaku mukallaf (af’al al-mukallafin) kepada teori-teori ushul-fiqh tadi. Model semacam ini dipakai antara lain oleh kebanyakan fuqaha` Madzhab Syafi’iy, Madzhab Hanbali, Madzhab Zhahiri, dan Madzhab Syi’ah Itsna Asyariyah. Kelompok



ini dalam



menetapkan ushul fiqhnya tidak memakai ‘uruf, mashalih al-mursalah, dan istihsan, karena semua dalil ini dianggap dapat bertentangan dengan qiyas umum (qiyas ‘am). Sebagai gantinya, kelompok ini menggunakan istishhab sebagai salah satu dalil tambahan.[17] Ushul fiqh model ini agak sempit dan seperti membatasi diri pada kondisi lapangan tertentu, terutama jika kita melihat perkembangan kehidupan yang cepat berubah. Akibatnya, teori-teori ushul-fiqh hanya terpaku pada pemahaman dasar (al-Qur’an, alHadits, al-Ijma’ dan al-Qiyas) dan beberapa dalil yang berorientasi ke belakang seperti



istishhab, dan syar’u man qablana. Dengan kata lain, ada kelemahan bagi aliran ini, yaitu kurang menghargai fenomena dan realitas. Berbeda dengan aliran rakyu yang menggunakan dalil ‘uruf dan istihsan, bisa masuk ke dalam rangka (a) Ushuliyun bisa mengolah semua permasalahan yang muncul di tengah masyarakat dengan teori-teori ushulfiqhnya. (b) Ushuliyun bisa berhubungan langsung secara akrab dengan masyarakat yang memakai madzhab tertentu (c) Ushuliyun dapat menguraikan latar belakang secara penuh, sehingga uraian fiqhnya bisa mengangkat dalil-dalil kulli dengan meninggalkan dalil juz’iy yang sama-sama zhanni.[18] Untuk lebih jelasnya, berikut akan kami paparkan karakteristik dan perbedaan masingmasing dari kecenderungan dua aliran ini. 1. Aliran Mutakallimin [19] Seperti telah dikemukaan di muka, penulisan ushul fiqh menurut Thaha Jabir al-‘Alwani pada umumnya mengikuti salah satu dari dua pola yakni metode Syafi’iyyah atau metode mutakallimin dan Hanafiyah atau Fuqaha`. Metode ini biasanya diikuti fuqaha` Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanabilah dan Mu’tazilah.[20] Disebut metode mutakallimin karena para penulis ushul jenis ini dalam pembahasannya menyinggung sebagian masalah-masalah teologis dan filosofis seperti pembahasan mengenai persoalan baik dan buruk (The Good and the Reprehensible ), hukum asal sebelum turunnya wahyu syara’ (The Legal Status of Matters Prior to the Revelation of Shari’ah ), kewajiban syukur kepada sang pemberi nikmat (The Necessity of Gratitude to the Bestower ), dan persoalan siapakah al-Hakim itu ( The Possessor of Sovereignty ). Alasan lain disebutnya aliran ini dengan metode mutakallimin adalah penggunaan metode deduktif dalam mendefinisikan dasar-dasar dari sumber metodologi, memastikan validitas dari prinsip-prinsip itu, dan dalam hal menolak pendapat-pendapat lain yang berbeda tanpa terpengaruh dengan masalah furu’ yang berasal dari penerapan kaidah ini.[21] Dari berbagai sumber, penulis dapat menyimpulkan beberapa ciri dari metodologi yang diterapkan ulama ushul versi Mutakallimin adalah sebagai berikut : 1. Aliran ini mengembangkan penulisan Ushul Fiqih dengan memasukkan beberapa obyek pembahasan Ilmu Kalam, seperti yang kita dapati di dalam muqaddimah “ Al Mustashfa “ karya Al Ghazali. 2. Para penulis metodologi ini, kebanyakan di samping ahli ushul fiqh juga tokohtokoh Ilmu Kalam, yang diwakili oleh ulama-ulama Asy ‘ariyah seperti Qodhi Al



Baqillani dengan kitabnya,” At Taqrib wal Irsyad “ , dan Imam al-Haramain dengan kitabya “ Al Burhan “ dan diwakili juga oleh ulama-ulama Mu’tazilah seperti : Qadhi Abdul Jabar dengan bukunya “ Al Ahdu “ , dan Abul Hasan Al Bashri dengan bukunya “ Al Umdah“ . 3. Dalam penulisan Ilmu Ushul Fiqh, mereka terlalu berlebihan di dalam menggunakan dalil-dalil akal serta banyak larut dalam perdebatan untuk menunjukkan kelemahan argumen atau pendapat lawan-lawannya seperti dapat dibaca dalam karya al-Amidi dengan al-Ihkamnya. 4. Terlalu banyak berkutat pada teori-teori belaka, dan sedikit mengaplikasikannya di dalam masalah-masalah furu’ amaliyah. Sebagai bahan perbandingan, rasanya perlu juga diungkapkan suatu analisis lain akan ciri-ciri manhaj mutakallimin dalam penulisan ushul fiqh sebagai berikut : 1. Metode ini lebih memusatkan diri pada kajian teoritis murni untuk menciptakan kaidah-kaidah ushul yang kokoh, walaupun kaidah yang dibuat itu boleh jadi tidak mendukung madzhab fiqh penulisnya. 2. Dalam mengkaji dan menetapkan kaidah ushul, metode ini sangat menekankan pada kajian bahasa Arab yang mendalam, menggunakan dalalah (indikator) yang ditunjukkan oleh lafazh kata atau kalimat, logika akal, dan pembuktian dalildalilnya. 3. Metode ini boleh dikata terlepas dari pembahasan cabang-cabang fiqh atau masalah furu’iyyah dan fanatisme madzhab tertentu, jika masalah furu’ disebutkan tidak lain hanyalah sebagai contoh penerapan saja. 4. Metode ini sering menggunakan gaya dialog atau perdebatan ilmiah. Ungkapan yang sering kita jumpai misalnya ungkapan: ‫فإن قلتم… قلنا‬ “Jika Anda mengatakan…, maka kami jawab …” Tak dapat dipungkiri, aliran mutakallimin memiliki sejumlah keunggulan. Kelebihan-kelebihan dari aliran mutakallimin menurut Abdul Karim Zaidan adalah sebagai berikut : Kecenderungan pada penggunaan/istidlal dengan akal.



Tidak fanatik kepada madzhab tertentu. Sedikit menampilkan masalah-masalah furu’ fiqhiyah, jika menyebutkan hanya sekedar memberikan contoh saja.[22] Selanjutnya marilah kita tengok kitab apa saja yang disusun oleh penulisnya yang menggunakan metode atau thariqah al-mutakallimin ini. Di antara kitab-kitab klasik atau periode awal Ilmu Ushul Fiqh yang disusun dalam aliran ini, dapat disebutkan sebagian di antaranya yaitu : [23] Kitab Al-Mu’tamad yang disusun oleh Abdul Husain Muhammad bin Aliy alBashriy al-Mu’taziliy asy-Syafi’iy (w. 463 H). Kitab Al-Burhan disusun oleh Abdul Ma’aliy Abdul Malik bin Abdullah alJawainiy an-Naisaburiy asy-Syafi’iy yang terkenal dengan nama Imam AlHaramain ( w. 487 H). Kitab al–Mushtashfa disusun oleh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazaliy Asy Syafi ‘ iy ( w. 505 H). Al-‘Umad karya al-Qadhi Abdul Jabbar ( w. 415 H) Empat kitab di atas pada dasarnya adalah induk dari kitab-kitab ushul fiqh yang disusun dengan metode mutakallimin. Kitab-kitab ushul yang ditulis berikutnya yang menempuh metode ini banyak merujuk atau mengembangkan dari salah satu dari empat di atas. Dua orang ulama berikutnya berhasil menggabungkan dan meringkas kitab ushul di atas yakni Imam Fakhruddin ar-Razi dengan nama alMahshul dan al-Amidi dengan al-Ihkam fi Uhul al-Ahkam.[24] Dari empat kitab tersebut, pada dasarnya yang dapat ditemui secara utuh hanyalah kitab Al-Mushtshfa karangan al-Ghazali, sedangkan dua kitab lainnya hanya dapat dijumpai nukilan-nukilannya yang tercecer dalam kitab yang disusun oleh para ulama berikutnya, seperti nukilan kitab dari Al Burhan oleh Al-Asnawiy dalam kitab Syarhul Minhaj.[25] Kitab-kitab yang datang berikutnya yakni kitab AlMahshul disusun oleh Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar Raziy Asy Syafi’iy (w. pada tahun 606 H). Kitab ini merupakan ringkasan dari tiga kitab yang disebutkan di atas ( selain al-‘Umad). Kitab Al-Mahshul ini dalam perkembangannya diringkas lagi oleh dua orang yaitu : Tajuddin Muhammad bin Hasan Al Armawiy (w. 656 H ) dalam kitabnya yang diberi nama Al–Hashil.



Mahmud bin Abu Bakar A1 Armawiy (w. 672 H ) dalam kitabnya yang berjudul At-Tahshil. [26] Berikutnya datang Al-Qadliy Abdullah bin Umar Al-Baidlawiy (w. pada tahun 675 H) menyusun kitab Minhajul Wushul ila ‘Ilmil Ushul yang isinya disarikan dari kitab At-Tahshil. Akan tetapi karena terlalu ringkasnya isi kitab tersebut, maka sulit untuk dicerna dan dipahami. Hal ini rupanya mendorong para ulama berikutnya untuk menjelaskan atau membuat syarhnya. Di antara ulama tersebut adalah Abdur Rahim bin Hasan Al-Isnawiy Asy Syafi’iy (w. pada tahun 772 Hjjriyah) dengan menyusun sebuah kitab yang menjelaskan isi kitab MinhajuI WushuI ila ‘Ilmil Ushul tersebut. [27] Selain kitab Al–Mashul yang merupakan ringkasan dari kitab-kitab Al-Mu’tamad, Al Burhan dan Al Mushtashfa, masih ada kitab yang juga merupakan ringkasan dari tiga kitab tersebut, yaitu kitab Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam. Penulisnya adalah Abul Hasan Aliy yang terkenal dengan nama Saifuddin Al Amidiy Asy Syafi’iy (w. 631 H). Kitab Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam yang cukup tebal ini kemudian diringkas kembali oleh Abu Amr Utsman bin Umar yang terkenal dengan nama Ibnul Hajib Al-Malikiy (w. 646 H ) dengan kitabnya yang diberi nama Muntahal Su’uli wal Amal fi ‘Ilmil Ushul wal Jidal. Aktifitas ringkas meringkas tidak berhenti sampai di sini, seterusnya kitab itu beliau ringkas lagi dalam sebuah kitab, dengan nama Mukhtasharul Muntaha.[28] Kitab ini mirip dengan kitab Minhajul Wushul ila ‘Ilmil Ushul, sulit difahami saking ringkasnya. Tak aneh jika para ulama berikutnya terpanggil buat membuat syarahnya. Sebut saja salah satunya ialah ‘ Alauddin ‘Abdur Rahman bin Ahmad Al Ajjiy (w. 756 H ) dengan menyusun sebuah kitab yang menjelaskan kitab Mukhtasharul Muntaha tersebut. Demikianlah sekelumit penjelasan mengenai thariqah al-Mutakallimin dalam menuliskan kitab ushul fiqh beserta contoh kitab-kitab yang ditulis dengan metode tersebut. Selanjutnya kita simak uraian thariqah yang ke dua yakni thariqah alFuqaha` atau Hanafiyah. 2. Aliran Hanafiyah. [29] Menurut penjelasan Thaha Jabir al-Alwani dalam bukunya Usul Al Fiqh Al Islami Source Methodology In Islamic Jurisprudence:Methodology For Research And Knowledge menyatakan, metode Hanafiyah dalam menulis ushul fiqh menyusunnya dengan terlebih dahulu merujuk pada furu’ imamnya baru kemudian menetapkan



kaidah-kaidahnya. Jadi studinya ditujukan untuk menguatkan furu’ imamnya dan bukan sebaliknya. Jadi, siapa saja yang mempelajari ushul fiqh dari aliran ini akan menjumpai masalah furu’ yang telah ditetapkan oleh Imam Abu Hanifah baru kemudian menganalisisnya kemudian menetapkan kaidah yang pas buat fatwa



tersebut. Contoh



kaidah dalalah ‘am adalah qath’iy ditarik dari furu’ atau fatwa dari Imam Abu Hanifah bahwa membaca al-Fatihah dalam salat tidaklah wajib, yang wajib adalah membaca sesuatu dari al-Qur`an tidak harus al-Fatihah sebagaimana ditetapkan dalam hadis ahad, sementara ayat al-Qur`an hanya menyuruh membaca sesuatu yang mudah dari alQur`an. [30] Memang, dapat disimpulkan metode ini banyak dipengaruhi oleh furû‘ yang telah ada. Bahkan tak jarang kaidah diciptakan untuk membenarkan atau menguatkan hukumhukum fikih dalam madzhabnya. Seperti kaidah yang mengatakan bahwa lafal khusus adalah mubayyan, dalalah-nya lafal umum adalah qath‘iy, mafhûm mukhâlafah adalah hujjah, dan lain sebagainya. [31] Selanjutnya dapat dijelaskan, metode ini memiliki sejumlah karakter sebagai berikut: Pertama: Keterkaitan erat antara Ushul Fiqh dengan masalah cabang-cabang fiqh di mana ia dijadikan dalil dan sumber utama kaidah-kaidah ushul yang mereka buat. Apabila ada kaidah ushul yang bertentangan dengan ijtihad fiqh para imam dan ulama madzhab Hanafi, mereka menggantinya dengan kaidah yang sesuai. Dus ini berarti kaidah ushul ditetapkan untuk ‘mengabdi’ pada furu’ yang sudah ada. Kedua: Dapat dikatakan tujuan utama dari metode ini adalah mengumpulkan hukumhukum fiqh hasil ijtihad para ulama madzhab Hanafi dalam kaidah-kaidah ushul. Ketiga: Metode ini terlepas dari kajian teoritis dan lebih bersifat praktis, yakni mengokohkan dan membela ketetapan fiqh yang dibuat imamnya. Munculnya metode ini dapat dimengerti mengingat para imam madzhab Hanafi tidak meninggalkan kaidah ushul yang terkumpul dan tertulis bagi murid-murid mereka sebagaimana yang diperbuat oleh Imam asy-Syafi’i untuk murid-muridnya. Yang ditemui dalam buku para imam madzhab Hanafi hanyalah masalah-masalah fiqh dan beberapa kaidah yang terserak di sela-sela pembahasan fiqh tersebut. Akhirnya mereka mengumpulkan masalah-masalah fiqh yang sejenis dan mengkajinya untuk dikeluarkan darinya kaidah-kaidah ushul.[32] Untuk lebih memudahkan ingatan, selanjutnya, secara ringkas dapat dikemukakan ciriciri dari metode Hanafiyah dalam penulisan ushul fiqh adalah :



1. Terlalu mendetail di dalam membahas masalah-masalah furu ‘. 2. Mereka meletakkan kaidah-kaidah Ushul Fiqh dengan menyimpulkan dari permasalahan-permasalah fiqih yang ada . 3. Di dalam merumuskan kaidah-kaidah Ushul Fiqh tersebut, mereka banyak terpengaruh dengan kaidah-kaidah Madzhab Hanafi. [33] Di antara kitab-kitab Ilmu Ushul Fiqh yang ditulis dengan menempuh metode Hanafiyyah ini, dapat disebutkan di antaranya yaitu : Kitab Ma`akhidz asy-Syara`i’ karya Abu Manshur al-Maturidi (w. 330) Kitab fi al-Ushul karya Imam al-Karkhi ( w. 340) Kitab yang disusun oleh Abu Bakar Ahmad bin’ Aliy yang terkenal dengan sebutan Al Jashshash bernama ushul al-Jashash (w. 380 H) Kitab yang disusun oleh Abu Zaid ‘ Ubaidillah bin ‘Umar Al Qadliy Ad Dabusiy (w. 430 H), kitab Taqwim al-Adillah dan Ta`sis an-Nazhar yang disusun oleh Syamsul Aimmah Muhammad bin Ahmad As Sarkhasiy (w. 483 H ). Ushul al-Bazdawi karya Fakhr al-Islam al-Bazdawi ( w. 483) Kitab yang disebut terakhir ini diberi penjelasan oleh Alauddin Abdul ‘Aziz bin Ahmad Al Bukhariy (w. 730 H ) dalam kitabnya yang diberi nama Kasyful Asrar . Ushul as-Sarakhsi karangan Imam Abi Bakar Muhammad bin Ahmad as-Sarkhasi ( w. 490) Masuk juga kitab ushul fiqh dalam aliran ini ialah kitab yang disusun oleh Hafidhuddin ‘Abdullah bin Ahmad An-Nasafiy (w. 790 H) yang diberi judul AlManar, dan syarahnya yang terbaik yaitu Misykatul Anwar.[34] Demikianlah sekelumit penjelasan corak aliran ushul fiqh kelompok Hanafiyah dengan contoh kitab-kitab yang ditulis dengan mengikuti thariqah tersebut. 2.4 Metode Gabungan ( Thariqat al-Jam’i ) Metode ini muncul pertama kali pada permulaan abad ke-7 H melalui seorang alim Irak bernama Ahmad bin Ali bin Taghlib yang dikenal dengan Muzhaffaruddin Ibnus Sa’ati (w. th 694 H) dengan bukunya Badi’un-Nizham Al-Jami’ baina Ushul AlBazdawi Wal-Ihkam.[36] Dalam abad-abad itu muncul pula para ulama yang dalam pembahasannya memadukan antara dua aliran tersebut di atas, yakni dalam menetapkan kaidah, memperhatikan alasan-alasannya yang kuat dan memperhatikan pula persesuaiannya dengan hukum-hukum furu ‘.



Sebagian di antara mereka itu dapat dikemukakan ialah : Mudhafaruddin Ahmad bin ‘Aliy As Sya’atiy Al Baghdadiy (w. 694 H) dengan menulis kitab Badi’un Nidham yang merupakan paduan kitab yang disusun oleh Al Bazdawiy dengan kitab Al Ihkam fi Ushulil Ahkam yang ditulis oleh Al Amidiy; dan Syadrusiy Syari’ah ‘Ubaidillah bin Mas’ud Al Bukhariy Al Hanafiy (w. 747 H) menyusun kitab Tanqihul Ushul yang kemudian diberikan penjelasan-penjelasan dalam kitabnya yang berjudul At Taudlih . Kitab tersebut merupakan ringkasan kitab yang disusun oleh Al-Bazdawiy, kitab AI Mahshul oleh Ar -Raziy dan kitab Mukhtasharul Muntaha oleh Ibnul Hajib. Demikian pula termasuk ulama yang memadukan dua aliran tersebut di atas, yaitu Tajuddin ‘Abdul Wahhab bin’ Aliy As Subkiy Asy -Syafi’iy (w. 771 H) dengan menyusun kitab Jam’ul Jawami’ dan Kamaluddin Muhammad ‘Abdul Wahid yang terkenal dengan Ibnul Humam (w. 861 H) dengan menyusun kitab yang diberi nama At-Tahrir. Dalam kaitan dengan pembahasan Ilmu Ushul Fiqh ini, perlu dikemukakan bahwa Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Asy Syatibiy ( w. 760 H) telah menyusun sebuah kitab Ilmu Ushul Fiqh, yang diberi nama A1-Muwafaqat. Dalam kitab tersebut selain dibahas kaidah-kaidah juga dibahas tujuan syara’ ( maqashid asy-syari’ah ) dalam menetapkan hukum. Di antara keistimewaan terpenting dari metode ini adalah penggabungan antara kekuatan teori dan praktek yaitu dengan mengokohkan kaidah-kaidah ushul dengan argumentasi ilmiah disertai aplikasi kaidah ushul tersebut dalam kasus-kasus fiqh dengan menambahkan beberapa hal dari yang telah ditetapkan oleh fuqaha` Hanafiyyah. Penulis ushul fiqh dengan metode gabungan ini kebanyakan bersala dari fuqaha Syafi’iyyah dan Hanafiyah. Buku-buku penting yang ditulis dengan metode gabungan dapat disebutkan selain yang telah disebutkan di atas di antaranya : Badi’un-Nizham Al-Jami’ baina Ushul Al-Bazdawi Wal-Ihkam karya Ibnus-Sa’ati. Tanqih Al-Ushul karya Taj Asy-Syari’ah Ubaidullah bin Mas’ud Al-Bukhari (w. th 747 H), buku ini adalah ringkasan dari Ushul Bazdawi, Al-Mahshul karya Ar-Razi, dan Mukhtashar Ibnul-Hajib. At-Tahrir Fi Ushul Al-Fiqh karya Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid yang dikenal dengan nama Ibnul-Hammam Al-Hanafi (790-861 H). Buku ini lebih dekat ke metode Syafi’iyyah, meskipun penulisnya menyebutkan dalam muqaddimah bahwa ia menulisnya dengan metode gabungan.



Jam’ul-Jawami’ karya Tajuddin Abdul Wahab bin Ali As-Subki Asy-Syafi’i (w. th 771 H). Al-Qawa’id wal-Fawaid Al-Ushuliyyah karya Ali bin Muhammad bin Abbas alHambali yang terkenal dengan sebutan Ibnul-Lahham (752-803 H). Musallam Ats-Tsubut karya Muhibbuddin bin Abdus-Syakur Al-Hanafi (w. th 1119 H). Irsyad Al-Fuhul Ila Tahqiq ‘Ilm Al-Ushul karya Muhammad bin Ali bin Abdullah Asy-Syaukani Asy-Syafi’i (w. th 1250 H). 7.



Al-Muwafaqat Fi Ushul Al-Ahkam karya Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Asy-



Syathibi Al-Maliki (w. 790 H). Buku ini istimewa karena penulisnya menggabungkan antara kaidah-kaidah ushul dengan maqashid (tujuan), asrar (rahasia), serta hikmah syariat dengan bahasa yang mudah dan penjelasan yang gamblang. Dalam perkembangan berikutnya, para sarjana kontemporer juga tak ketinggalan menyusun kitab ushul fiqh yang pada dasarnya menggabungkan dua metode tersebut. Beberapa buku Ushul Fiqh kontemporer yang cukup di kenal khususnya di lingkungan perguruan tinggi Islam dapat disebutkan sebagian di antaranya : Tahshil Al-Wushul Ila Ilmil-Ushul karya Muhammad Abdur Rahman Al-Mahlawi AlHanafi (w. 1920 M). Ushul Al-Fiqh karya Muhammad Al-Khudhari (w. 1927 M). Ushul Al-Fiqh karya Abdul Wahab Khalaf (w. 1955 M). Ushul Al-Fiqh karya Muhammad Abu Zahrah (w. 1974 M). Ushul Al-Fiqh karya Muhammad Zuhair Abun-Nur. Ushul Al-Fiqh Al-Islami karya Syaikh Syakir Al Hambali. Ushul Al-Fiqh Al-Islami karya Wahbah Zuhaili. Ushul Al-Fiqh Al-Islami karya Zakiuddin Sya’ban. Ushul At-Tasyri’ Al-Islami karya Ali Hasbullah dan lain-lain.[39] Khatimah : Turats Ushul Fiqh Sebagai khulashah dari uraian di atas, berikut kami paparkan ringkasannya sebagai berikut : Menyangkut Turast Ushul Fiqh, kita tidak bisa dilepaskan dari beberapa kenyataan seperti di bawah ini : [40]



a. Semula Ilmu Ushul Fiqh disusun pertama kali oleh nashir as-sunnah Imam Syafi’I , sebagai alat untuk memahami nash-nash yang ada di dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Oleh karenanya, kita dapatkan pembahasan – pembahasan di dalam karya-nya Ar-Risalah ,-walaupun ditulis dengan metodologi yang masih sangat sederhana dan jauh dari sistimatis, namun isinya padat dan berbobot, serta tidak tercampur dengan ilmu-ilmu lainnya, seperti lmu Kalam, dan pembahasan tentang bahasa yang sangat melebar. b. Selanjutnya pembahasan Ushul Fiqh yang sangat masih sangat sederhana ini dikembangkan dan disempurnakan oleh para pengikut Imam Syafi’I dan para pihak yang setuju dengannya dengan metodologi yang lebih luas, yang kemudian dikenal sebagai metodologi Al- Mutakallimin “ . c. Di sisi lain, ada sebagian ulama, terutama dari kalangan Madzab Hanafi, yang cenderung menulis buku Ushul Fiqh, dengan menggunakan metodologi yang sering dipakai oleh para ahli fiqh, yang kemudian terkenal dengan metodologi Al- Fuqaha`. Perlu di catat di sini, bahwa sebagian kecil ulama Madzhab Syafi’i terdapat pula yang cenderung menulis Ilmu Ushul Fiqh dengan metodologi



Al Fuqaha



di atas,



diantaranya adalah Al-Zinjani, di dalam bukunya Takhrij Al Furu’ ’ a la al Ushul dan al-Isnawi di dalam bukunya Al Tamhid fi Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul. d. Kemudian datanglah generasi berikutnya yang menginginkan perubahan di dalam penulisan Ushul Fiqh. Menurut mereka, bahwa penggabungan dua metodologi di atas, merupakan metodologi yang paling relevan, yang kemudian dikenal dengan metodologi Al-Mutakhhirin . Di antara tokoh-tokohnya adalah : Al Qarafi dengan bukunya Al Furuq , As Syatibi dengan bukunya Al Muwafaqat, Ibnu Qayyim dengan bukunya I’lam Al Muwaqi’in . [41] Di masa sekarang, metodologi seperti apa yang dapat ditawarkan?.



DAFTAR PUSTAKA



Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz Fi Ushul Al-Fiqh, Cet. IV, ( Bairut : Muassasah ArRisalah, 1994) Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, ( Delhi : Adam Publisher & Distributors, 1994 ) Ali Hasballah, Ushul At-Tasyri’ Al-Islami, Cet. IV, ( Kairo : Dar Al-Ma’arif, 1971) Abdul Wahhab Khallaf, Mashadir At-Tasyri’ Fi Ma La Nashha Fih, ( Kuwait : Dar AlQalam, 1972 ) Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul Al-Fiqh, Cet. XII, ( Ttp : Dar Al-Qalam, 1978) Ibrahim Usman, Ushul Al-Fiqh; Al-Madkhal Wa Al-Hukm Asy-Syar’i, Cet. I, ( Ttp : Dar Al-Quds, 1994) Ignaz Goldzhiher, Introduction To Islamic Theology And Law, ( New Jersey : Princeton University Press, 1981 ) Ja’far As-Subhani, Tarikh Al-Fiqh Al-Islami Wa Adwaruhu, ( Bairut : Dar Al-Adhwa`, 1999 ) Jamaluddin ‘Athiyyah, At- Tanzhir Al-Fiqhiy, Cet. I, ( T.T.P : T.N.P, 1987) Joseph Schacht, An Introduction To Islamic Law, ( Oxford : Clarendon Press, 1964 ) Mukhtar Yahya & Fatchurrahman,



Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam, Cet. X,



( Bandung : Al-Ma’arif, 1993) Muh. Abu Zahrah, Ushul Al-Fiqh, ( Kairo : Dar Al-Fikr Al-‘Arabi, Tt.) Muhammad Khudhary Bik, Ushul Al-Fiqh, ( Bairut : Dar Al-Fikr, 1988 ) Muhammad Musthafa Asy-Syalabi, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, ( Beirut : Dar An-Nahdhat Al-‘Arabiyyat, 1986)Rut Muhammad Jawad Mughniyyat, Ilmu Ushul Al-Fiqh Fi Tsaubihi Al-Jadid, ( Bairut : Dar Dar Al-‘Ilmi Li Al-Malayin, 1977) Musthafa Sa’id Al-Khin, Atsarul Ikhtilaf Fi Al-Qawa’id Al-Ushuliyyah Fi Ikhtilaf AlFuqaha`, Cet. V, ( Bairut : Mu`Assasah Ar-Risalah, 1994 ) Thaha Jabir Al-‘Alwani, Ushul Al-Fiqh Al-Islami; Source Methodology In Islamic Jurisprudence, (Virginia : The International Institute Of Islamic Thought, T.T ) Wael B. Hallaq, A History Of Islamic Legal Theories, ( United Kingdom : Cambridge University Press, 1997 )



Wahbah Az-Zuhaily, Al-Wasith Fi Ushul Al-Fiqh, ( Damasjus : Mathba’ah Al-‘Ilm Iyyat, 1969) Http://abdurrahman.org/aqeeda/usulalfiqhalawani.html http://www.islamicity.com/forum/forum_posts.asp?tid=3306&pn=1 http://www.witness-pioneer.org/vil/books/ta_uaf/ch5.html http://almanaar.wordpress.com/2007/11/07/metode-penulisan-ushul-fiqh/ . http://ahmadzain.wordpress.com/2007/03/15/turast/ akses 4 maret 2008 [4] Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-fiqh, Cet. IV, ( Bairut : Mu`assasah arRisalah, 1994), hlm. 7-8. [5] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, hlm. 5. Lihat juga penjelasan yang lebih luas pengertian fiqh dalam Hasyiyah al-‘Aththar Syarh al-Jalal al-Mahally ‘Ala Jam’ alJawami’, hlm. 155, dalam al-Maktabah asy-Syamilah al-Ishdar ats-Tsani. [6] Abdul Wahhab Khallaf, Mashadir at-Tasyri’ fi ma la nashha Fih, ( Kuwait : Dar alQalam, 1972 ), hlm. 11. [7] Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, Cet. XII, ( Ttp : Dar al-Qalam, 1978), hlm. 12. [8] Ibid. [9] Muhamad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, ( Kairo : Dar al-‘Arabi, tt. ), hlm. 6. [10]



Muhammad



Abu



Zahrah,



Ushul



al-Fiqh,



hlm.



6.



Periksa



juga



http://bhell.multiply.com/reviews/item/80, diakses 10 Maret 2008. [11] Sejarah perkembangan ilmu ushul fiqh agak lengkap dapat dibaca dalam karya Jamaluddin ‘Athiyyah, at-Tanzhir al-Fiqhiy, Cet. I, ( ttp : tnp., 1987), hlm. 17 dst. Sebagai bahan perbandingan baca juga , Abdul Karim Zaidan, hlm. 13 dst. Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, hlm. 8 dst. Muhammad Khudhary Bik, Ushul Fiqh, ( Bairut : Dar al-Fikr, 1988 ), hlm. 3 dst. [12] Mukhtar Yahya & Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, hlm. 21. [13] http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/8/1/pustaka-139.html diakses 24 Maret 2008. [14] Ibid. [15] Mukhtar Yahya & Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, hlm. 21. [16]Epistemologi Ushul Fiqh, Chozin Nasuha Guru Besar pada Fakultas Syari’ah Ketua Konsentrasi



Studi



Al-Qur’an



Pascasarjana



http://www.ditpertais.net/annualconference/ %20Nasuha.doc –. Akses 10 Maret 2008.



UIN



Bandung,



dikutip



dari



situs



ancon06/makalah/Makalah%20Chozin



[17] Ibid. [18] Ibid. [19] Lihat Muhammad Abu Zahrah, hlm. 15. Ibrahim Usman, hlm. 14. Abdul Wahhab Khallaf, hlm. 18. Ja’far as-Subhani, Tarikh al-Fiqh al-Islami wa Adwaruhu, ( Bairut : Dar al-Adhwa`, 1999 ), hlm. 17. [20] Taha Jabir al-‘Alwani, Source Methodology in Islamic Jurisprudence, Second Edition, ( Virginia : IIIT, 1994), hlm. 71. [21] Dikutip dari situs http://abdurrahman.org/aqeeda/usulAlFiqhAlAwani.html, diakses 19 maret 2008.



Lihat dan bandingkan dengan pula di situs http://www.witness-



pioneer.org/vil/Books/TA_uaf/ch5.html diakses 19 Maret 2008 . [22] Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-fiqh, Cet. IV, ( Bairut : Muassasah arRisalah, 1994), hlm. 17. [23] Daftar kitab ushul fiqh yang menggunakan thariqah mutakallimin secara agak lengkap dapat dibaca dalam tulisan Jamaluddin ‘Athiyyah, at-Tanzhir al-Fiqhiy, hlm. 2931. Ja’far as-Subhani, Tarikh al-Fiqh al-Islamiy…, hlm. 450 dst. [24] Jamaluddin Athiyyah, at-Tanzhir al-Fiqhiy , hlm. 31. Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, hlm. 16. [25] Muhammad Khudhary Bik, Ushul al-Fiqh, hlm. 6-7. [26] Jamaluddin ‘Athiyyah, at-Tanzhir al-Fiqhiy, hlm. 32. Muhammad Khudhary Bik, Ushul al-Fiqh, hlm. 7. [27] Ibid. [28] Jamaluddin ‘Athiyyah , at-Tanzhir al-Fiqhiy, hlm. 33. [29] Ibrahim Usman, Ushul al-Fiqh; al-Madkhal wa al-Hukm asy-Syar’i, Cet. I, ( TTp : Dar al-Quds, 1994), hlm. 15-16. Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, hlm. 16. [30] http://www.witness-pioneer.org/vil/Books/TA_uaf/ch5.html akses 19 Maret 2008 .



[31] Contoh-contoh perbedaan kaidah ushul dan aplikasinya dapat dilihat tulisan dari Musthafa Sa’id al-Khinn dalam Atsar al-Ikhtilaf fi Qawa’id al-Ushuliyyah fi Ikhtilaf alFuqaha`, Cet. V, ( Bairut : Muassasah ar-Risalah, 1994 ) [32] http://www.dakwatuna.com/index.php/fiqh-islam/ushul-fiqh/2007/metode-penulisanushul-fiqh/ akses 19 Maret 2008.



[33] Bandingkan juga dengan penjelasan Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, hlm. 1718. [34] Jamaluddin ‘Athiyyah, hlm. 37. [35] Ibrahim Usman, hlm. 16-17. [36] Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, hlm. 18. [37] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, hlm, 19. [38] Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, hlm. 18-19. [39] http://almanaar.wordpress.com/2007/11/07/metode-penulisan-ushul-fiqh/ . Akses 10 Maret 2008. [40] http://ahmadzain.wordpress.com/2007/03/15/turast/ akse 10 maret 2008 [41] http://ahmadzain.wordpress.com/2007/03/15/turast/ akse 10 maret 2008