MAKALAH Ushul Fiqh [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH SEJARAH PERKEMBANGAN USHUL FIQIH DOSEN PENGAMPU: H.Ibnu Khalil, M.Ag.



DI SUSUN OLEH : KELOMPOK 4 KHAIRUNNISA (NIM: 1501091159) MAYA SASMIATI (NIM: 1501091169)



JURUSAN TADRIS / PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN TINGGI (FITK) INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI MATARAM 2016.



KATA PENGANTAR. Bismillahirohmanirrakhim ُ‫علَيكُم َو َرح َمةُ هللا َوبَ َركَاتُه‬ َ ‫سالَ ُم‬ َّ ّ‫ال‬ Alhamdulillah, penulisan makalah “Ushul Fiqh” ini dapat diselesaikan berkat hidayah dan inayah Allah SWT. Ilmu ushul fiqh adalah salah satu bidang ilmu keislaman yang pentng dalam menjalani syari’at Islam dari sumber aslinya, Al-Qur’an dan Sunnah. Melalui ushul fiqh dapat diketahui kaidah-kaidah, prinsip-prinsip umum syari’at islam, cara memahami suatu dalil dan penerapannya dalam kehidupan manusia. Disamping itu, kaidah – kaidah ushul fiqh bukanlah suatu yang mudah untuk dipahami, karena untuk menetapkan dan menerapkan suatu kaidah, para pakar ushul fiqh mengemukakan berbagai analisis mendalam sehingga untuk menukilkannya kedalam bahasa Indonesia, merupakan kesulitan lain yang penulis hadapi. Penulis menyadari akan pepatah kita yang menyatakan bahwa tak ada gading yang tak retak, sehingga sebagai manusia biasa, dalam tulisan ini mungkin masih terdapat kekurangan atau mungkin masih ada kesalahan dan kekeliruan. Pada kesempatan ini penulis dengan tangan terbuka dan senang hati berharap kiranya para pembaca, khususnya para ahli ushul fiqh, dapat mengemukakan kritik dan saran untuk penyempurnaan makalah ini. Terakhir, kepada Alah SWT penulis mohon taufiq dan hidayah-Nya, serta memanjatkan rasa syukur atas telah selesainya penulisan makalah ini, karena dengan petunjuk dan lindungan-Nya sehingga penulisan makalah ini dapat diselesaikan. Semoga makalah ini dapat membantu dan bermanfaat bagi para kami pada khususnya dan para mahasiswa pada umunya. Sukron katsiron ُ‫علَيكُم َو َرح َمةُ هللا َوبَ َركَاتُه‬ َ ‫سالَ ُم‬ َّ ‫َوال‬



Selasa 1 maret 2016.



penyusun



BAB I PENDAHULUAN A.



LATAR BELAKANG. Hukum islam dalam perjalanan panjangnya senantiasa mengalami dinamika. Masa



perjalanan hukum islam sendiri sebenarnya dapat di klasifikasikan menjadi beberapa fase, yaitu masa rasulullah, masa sahabat, dan masa tabi’in, selain itu juga di susul dengan masa tabi’it tabi’in.pada masa rasulullah persoalan hukum yang di hadapi oleh umat islam terbilang belum begitu kompleks. Selain itu penetapan suatu hukum atas persoalan yang terjadi masih di serahkan penuh kepada rasulullah SAW. Kemudian pasca beliau wafat, persoalan yang di hadapi oleh umat islam semakin kompleks, dan terkadang suatu permasalahan yang di hadapi oleh umat islam pada saat itu belum di jumpai pada zaman rasulullah. Atas dasar itu lahirlah sebuah ilmu ushul fiqh sebagai jawaban atas persoalan yang di hadapi oleh umat islam. Jika di lihat lebih jauh lagi, sebenarnya embrio ushul fiqh telah ada sejak Rasulullah masih hidup. Kemudian setelah beliau wafat kajian mengenai ushul fiqh semakin mendapatkan perhatian yang cukup besar besar dari kalangan ahli hukum Islam. Ada beberapa pendapat yang menjelaskan mengenai asal dari ushul fiqh. Secara teoritis, ilmu ushul fiqh lebih dahulu lahir dari ilmu fiqh, karena ushul fiqh sebagai alat untuk melahirkan fiqh. Akan tetapi, fakta sejarah menjukkan, ushul fiqh bersamaan lahirnya fiqh. Sedangkan dari segi penyusunannya, ilmu fiqh lebih dahulu lahir dari pada ilmu ushul fiqh. [1] Namun, Terlepas dari hal itu, dalam pembahasan makalah ini akan dijelaskan secara rinci mengenai hal ikhwal sejarah perkembangan ushul fiqh.



B.



C.



RUMUSAN MASALAH. 1.



Bagaimana Periodisasi Embrio Ushul Fiqih pada Masa Nabi, Sahabat, dan Tabi’in?



2.



Bagaimana Latar Belakang Terbentuk dan Tumbuh Berkembangnya Ushul Fiqih?



TUJUAN 1.



Untuk mengetahui dan memahami Sejarah perkembangan Usul Fiqh dari masa Rasulullah sampai pada masa Tabi’in - Tabi’in.



BAB II PEMBAHASAN



A.



PERIODE EMBRIO USHUL FIQH PADA MASA NABI, SAHABAT, DAN TABI’IN. 1.



Periode Nabi. Pertumbuhan ushul fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak zaman Nabi SAW hingga pada masa tersusunya ushul fiqh sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2 H. Pada zaman Nabi SAW, sumber hukum Islam ada 2, yaitu Alqur’an dan sunnah. Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu wahyu yang menjelaskan kasus hukum tersebut. Apabila wahyu tidak turun maka Nabi menetapkan kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadis dan sunah. Dalam menetapkan hukum dari berbagai kasus yang ada di zamanya, ulama ushul fiqh menyimpulkan ada isyarat bahwa Nabi melakukannya melalui ijtihad. Hasil ijtihad Nabi ini secara otomatis menjadi sunnah bagi ummat.



Dalam beberapa kasus, Nabi SAW juga mengaplikasikan qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat. Cara-cara beliau dalam menetapkan hukum inilah yang menjadi bibit munculnya ilmu ushul fiqh. Oleh sebab itu, para ushuliyyin menyatakan bahwa ushul fiqh itu sendiri bersamaan hadirnya dengan fiqh, yakni sejak zaman Nabi SAW. Bibit ini semakin jelas di zaman para sahabat karena persoalan yang mereka hadapi semakin berkembang, sedangkan Al-qur’an dan sunnah telah selesai turun seiring dengan wafatnya Nabi SAW. [2]



2.



Periode Sahabat. Pada masa ini kajian tentang fiqih mulai dirumuskan, yaitu setelah wafatnya Rasulullah SAW. Sebab pada masa hidupnya Rasulullah SAW, semua persoalan hukum yang timbul diserahkan kepada Beliau. Meskipun satu atau dua kasus hukum yang timbul terkadang disiasati para sahabat Beliau dengan ijtihad, tetapi hasil akhir dari ijtihad tersebut, dari segi tepat atau tidaknya ijtihad mereka



itu, dikembalikan kepada Rasulullah SAW. Hal ini karena Rasulullah SAW adalah satu-satunya pemegang otoritas kebenaran Agama, melalui wahyu yang diturunkan kepada Beliau.



Pada periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum, pada hakikatnya para sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk berijtihad. Hanya saja, ushul fiqh yang mereka gunakan baru dalam bentuknya yang paling awal, dan belum banyak terungkap dalam rumusan-rumusan sebagaimana yang kita kenal sekarang.



Contoh cikal bakal ilmu ushul fiqh yang terdapat pada masa Rasulullah SAW dan masa sahabat, antara lain berkaitan dengan ketentuan urutan penggunaan sumber dan dalil hukum, sebagai bagian dari ushul fiqh, misalnya dapat dilihat dari informasi tentang dialog antara Rasulullah SAW dan Mu’az bin Jabal, ketika Rasulullah SAW mengutus Mu’az ke Yaman. “ketika Rasulullah SAW bermaksud mengutus Mu’az ke Yaman, beliau bertanya: “ bagaimana kamu memutuskan bila suatu kasus diajukan kepadamu? Ia menjawab: “saya akan putuskan berdasarkan kitab Allah” beliau bertanya lagi: “jika kamu tidak menemukannya dalam kitab Allah? ia menjawab: “ saya yakan putuskan berdasarkan sunah Rasulullah SAW ” beliau bertanya lagi: “jika kamu tidak menemukannya dalam kitab Allah maupun sunnah Rasulullah?Ia menjawab: “saya akan berijtihad, namun saya tidak akan ceroboh.” beliau berkata sambil menepuk dada Mu’az : “ segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq utusan Rasulullah kepada apa yang di ridhai Rasul itu.”



Para sahabat Rasulullah SAW selain karena kedekatan mereka kepada Beliau, mereka juga menimba banyak pengalaman dari Beliau dan memahami secara mendalam pembentukan hukum Islam (tasyri’), juga karena mereka sendiri memiliki pengetahuan bahasa arab yang sangat baik. Dengan bekal pengalaman dan kemampuan tersebut, maka ketika Rasulullah SAW wafat mereka telah dapat melakukan ijtihad untuk mengatasi masalah kekosongan hukum atas peristiwaperistiwa baru yang terjadi yang belum ada ketentuan hukumnya secara eksplisit dalam Alqur’an dan sunnah. Mereka juga tidak banyak mengalami kesulitan



memahami



ayat-ayat



Alqur’an



dan



maksud



sunnah



untuk



melakukan



pengembangan hukum Islam, terutama melalui metode qiyas.



Langkah-langkah yang ditempuh para sahabat apabila menghadapi persoalan hukum ialah menelusuri ayat-ayat Al qur’an yang berbicara tentang masalah tersebut. Apabila tidak ditemukan hukumnya dalam Al qur’an maka mereka mencarinya di dalam sunnah. Apabila di dalam sunnah pun tidak ditemukan barulah mereka berijtihad. [3]



3.



Periode Tabi’in. Sejalan dengan berlalunya masa sahabat, timbullah masa tabi’in. Pada masa ini, sejalan dengan perluasan wilayah-wilayah Islam, dimana pemeluk Islam semakin heterogen bukan saja dari segi kebudayaan dan adat istiadat lokal, tetapi juga dari segi bahasa, peradaban , ilmu pengetahuan, teknologi dan perekonomian, banyak bermunculan kasus-kasus hukum baru, yang sebagiannya belum dikenal sama sekali pada masa Rasulullah SAW dan masa sahabat. Untuk menjawab kasus-kasus hukum ini, lahir tokoh-tokoh Islam yang bertindak sebagai pemberi fatwa hukum. Mereka ini sebelumnya telah lebih dahulu menimba pengalaman dan pengetahuan di bidang ijtihad dan hukum dari para sahabat pendahulu mereka. Para ahli hukum generasi tabi’in ini, antara lain, Said bin al-Musayyab (15-94H) sebagai mufti di Madinah. Sementara di Irak tampil pula Alqamah bin al-Qais (w. 62H) dan Ibrahim an-Nakha’i (w. 96H), di samping para ahli hukum lainnya.



Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum generasi tabi’in juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan para pendahulu mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk Alquran dan sunnah, mereka telah memiliki tambahan rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ ahl al-Madinah, fatwa ash-shahabi, qiyas, dan mashlahah mursalah, yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat.



Terhadap sumber rujukan yang baru itu, mereka memiliki kebebasan memilih metode yang mereka anggap paling sesuai. Oleh karena itu, sebagian



ulama tabi’in ada yang menggunakan metode qiyas, dengan cara berusaha menemukan ‘illah hukum suatu nashsh dan kemudian menerapkannya pada kasus-kasus hukum yang tidak ada nashsh-nya tetapi memiliki ‘illah yang sama. Sementara sebagian ulama lainnya lebih cenderung memilih metode mashlahah, dengan cara melihat dari segi kesesuaian tujuan hukum dengan kemaslahatan yang terdapat dalam prinsip-prinsip syara’. Perbedaan cara yang ditempuh oleh kedua kelompok tabi’in ini, terutama timbul karena perbedaan pendapat: apakah fatwa ash-shahabi dapat menjadi dalil hukum (hujjah)? Dan apakah ijma’ ahl al-Madinah merupakan ijma’ sehingga berkedudukan sebagai hujjah qath’iah (dalil hukum yang bersifat pasti)?



Adanya kedua kelompok ulama di atas merupakan cikal bakal lahirnya dua aliran besar dalam ilmu ushul fiqh dan fiqh, yaitu aliran Mutakallimin atau asy-Syafi’iyyah, yang dianut jumhur (mayoritas) ulama, dan aliran fuqaha’ atau hanafiyyah yang pada mulanya berkembang di Irak.1[4]



B.



LATAR BELAKANG TERBENTUK DAN TUMBUH BERKEMBANGNYA USHUL FIQH.



Ilmu ushul Fiqih, lahir sejak abad ke-2 H. Ilmu tersebut, pada abad pertama Hijriyah memang tidak diperlukan karena keberadaan Rasulullah SAW. masih bisa mengeluarkan fatwa dan memutuskan suatu hukum berdasarkan ajaran Alqur’an, Sunnah dan apa yang diwahyukan kepada beliau. Disamping itu secara fithri, ijtihad Rasul tidak memerlukan Ushul atau kaidah-kaidah yang dijadikan sebagai istinbat dan ijtihad. Begitu pula dengan para sahabat, mereka memberikan fatwa hokum dan memutuskan suatu keputusan berdasarkan nash-nash yang dipahami lantaran kemampuan potensial mereka dibidang bahasa arab yang benar, tanpa memerlukan kaidah-kaidah bahasa yang dapat dijadikan sebagai dasar pemahaman nash. Para sahabat juga melakukan istinbat terhadap hukum yang tidak ada



nashnya berdasarkan kemampuan potensial mereka dalam membina hokum syari’at Islam yang terpusat di dalam jiwa mereka yang disebabkan akrabnya mereka dengan Rasulullah di dalam pergaulan. Selain itu, para sahabat juga ikut menyaksikan sebab-sebab turunnya AlQur’an dan sebab-sebab dikeluarkannya hadits, serta memahami maksud dan tujuan syari’ (pembuat hokum, yakni Allah) disamping prinsip-prinsip pembentukan hokum Islam.



Namun ketika dunia Islam semakin berkembang luas dengan hasil kemenangan yang diraih, dan bangsa Arab telah banyak bergaul dengan bangsa-bangsa lain, sehingga timbul interaksi bahasa lisan dan tulis-menulis, maka beberapa sinonim dan gaya bahasa Arab tercampur dengan bahasa lain. Sebagai akibatnya, naluri bahasa mereka menjadi tidak murni lagi. Maka terjadilah kerancuan dan kemungkinan yang terjadi di dalam cara memahami nash. Sehingga dianggap perlu menyusun batas-batas dan kaidah-kaidah bahasa yang dapat mendukung pemahaman nash, sebagaimana bangsa arab mampu memahami nash sesuai bahasa yang ia gunakan. Penyusunan kaidah itu tidak jauh berbeda dengan penyusunan kaidah-kaidah Nahwu yang dapat membantu kemampuan berbahasa secara baik.



Demikian setelah waktu lama dari awal pembentukan hukum Islam, banyak terjadi perdebatan antara Ahli Hadits dan Ahli Ra’yu. Banyak juga orang yang hanya berdasarkan keberanian mengeluarkan suatu hujjah yang tidak pantas sebagai hujjah, bahkan menolak hujjah yang sebenarnya. Kondisi ini mendorong peletakan batasan-batasan dan bahasa tentang dalil syar’iyyah dan syarat-syarat atau cara menggunakan dalil-dalil. Seluruh pembahasan tentang penggunaan dalil, batasan-batasan atau kaidah-kaidah bahasa ini yang disebut sebagai ilmu ushul fiqh.



Namun, ilmu tersebut tumbuh dalam kondisi yang sangat sederhana, seperti halnya anak kecil yang baru lahir. Kemudian, secara bertahap ilmu tersebut tumbuh semakin meningkat sehingga mencapai usia 200 tahun. Sejak itu, mulailah ilmu itu berkembang dengan pesatnya, tersebar dan memencar bersama berkembangnya hukum Fiqh, sebab setiap Imam mujtahid , baik Imam yang empat atau yang lainnya, selalu memberi petunjuk dengan dalil hukum yang disertai dengan ilmu Ushul Fiqh dan arahan pengambilan dalil dengan ilmu itu juga. Sedang para mujtahid yang tidak menggunakan cara tersebut, berarti telah membuat



hujjah dengan jalan yang menyimpang. Padahal, semua pengambilan dalil dan penggunaan hujjah selalu mengandung kaidah-kaidah Ushul.2[5] Orang pertama yang menghimpun kaidah-kaidah yang berserakan itu, ialah Imam Abu yusuf, seorang pengikut setia imam Abu Hanifah. Hal ini, dikatakan oleh Ibnu Nadim dalam kitabnya yang bernama Al Fahrasat . Namun sangat disayangkan catatan-catatan tersebut tidak sampai ketangan



kita. Oleh ahli ushul fiqih dianggap yang pertama



mengumpulkan dan menyusun ilmu ini adalah Imam Syafi’i dalam kitabnya yang bernama Ar-Risalah. Dan setelah itu,



muncullah para penulis lain yang melengkapi dan



menyempurnakannya seperti Imam Ghazali dalam kitabnya yang bernama Al-Mustasyfa, AlAmidi dalam kitabnya yang bernama Al-Minhaj yang disyaratkan oleh Asnawi.3[6]



Dari kalangan madzhab Hanafi yang terkenal Abu Zaid Al Dabbas dalam kitabnya yang bernama Ushul, Fadhul Islam Al Basdawi dalam kitabnya yang bernama Ushul dan Nasafi dalam kitabnya yang bernama Al Manar. Disamping itu lahirlah pula kitab yang bernama Badi’un Nizam Al Jami Baina Bazdawi wal ‘itisom oleh Muzafaruddin Al Baghdadi Al Hanafi, kitab tahrir oleh kamal bin Humam dan kitab Jam’ul jawani oleh ibnu Subki. Di abad sekarang ini ada pula beberapa buah kitab yang ditulis oleh beberapa ulama’, diantaranya kitab Irsyadul Fuhul oleh Syaukani, kitab Ushul Fiqh oleh Hudari Bek, kitab Tahsilul wushul oleh Muhammad Abdurrahman Mahlawi. Dan masih banyak kitab-kitab Ushul Fiqh yang lainya.



BAB III PENUTUP A.



KESIMPULAN. a. Periodisasi embrio ushul fiqih pada masa Nabi, Sahabat, dan Tabi’in Periode Nabi SAW: para ushuliyyin menyatakan bahwa ushul fiqh itu sendiri



bersamaan hadirnya dengan fiqh, yakni sejak zaman Nabi SAW. Bibit ini semakin jelas di zaman para sahabat karena persoalan yang mereka hadapi semakin berkembang, sedangkan Al-qur’an dan sunnah telah selesai turun seiring dengan wafatnya Nabi SAW. Periode Sahabat Pada masa ini kajian tentang fiqih mulai dirumuskan, yaitu setelah wafatnya Rasulullah SAW. Pada periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum, pada hakikatnya para sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk berijtihad. Hanya saja, ushul fiqh yang mereka gunakan baru dalam bentuknya yang paling awal, dan belum banyak terungkap dalam rumusan-rumusan sebagaimana yang kita kenal sekarang. Periode Tabi’in: Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum generasi tabi’in juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan para pendahulu mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk Alquran dan sunnah, mereka telah memiliki tambahan rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ ahl al-Madinah, fatwa ash-shahabi, qiyas, dan mashlahah mursalah, yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat. b.



Latar belakang terbentuk dan tumbuh berkembangnya ushul fiqih . Ilmu ushul Fiqih, lahir sejak abad ke-2 H. Ilmu tersebut, pada abad pertama Hijriyah



memang tidak diperlukan karena keberadaan Rasulullah SAW. masih bisa mengeluarkan fatwa dan memutuskan suatu hukum berdasarkan ajaran Alqur’an, Sunnah dan apa yang diwahyukan kepada beliau. Namun ketika dunia Islam semakin berkembang luas dengan hasil kemenangan yang diraih, dan bangsa Arab telah banyak bergaul dengan bangsa-bangsa lain, sehingga timbul interaksi bahasa lisan dan tulis-menulis, maka beberapa sinonim dan gaya bahasa Arab tercampur dengan bahasa lain. Sebagai akibatnya, naluri bahasa mereka



menjadi tidak murni lagi. Demikian setelah waktu lama dari awal pembentukan hukum Islam, banyak terjadi perdebatan antara Ahli Hadits dan Ahli Ra’yu. Banyak juga orang yang hanya berdasarkan keberanian mengeluarkan suatu hujjah yang tidak pantas sebagai hujjah, bahkan menolak hujjah yang sebenarnya. Kondisi ini mendorong peletakan batasan-batasan dan bahasa tentang dalil syar’iyyah dan syarat-syarat atau cara menggunakan dalil-dalil. Seluruh pembahasan tentang penggunaan dalil, batasan-batasan atau kaidah-kaidah bahasa ini yang disebut sebagai ilmu ushul fiqh.



B.



SARAN.



Demikian makalah yang dapat kami buat. Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca demi lebih baiknya penulisan makalah yang selanjutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua.



DAFTAR PUSTAKA



Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqih. Jakarta: AMZAH. 2011. Dahlan , Abd. Rahman. Ushul Fiqih. Jakarta: AMZAH. 2011. Karim A, Syafi’I, Fiqih-Ushul Fiqih, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1997. Wahab, Abdul khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Gema Risalah Press, 1996.



[1] Abd. Rahman, Dahlan, Ushul Fiqih, Jakarta: AMZAH, 2011, hlm. 20. [2] Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqih, Jakarta: AMZAH, 2011, hlm. 6. [3] Abd. Rahman, Dahlan, Ushul Fiqih, 2011, hlm. 20-23. [4] Abd. Rahman, Dahlan, Ushul Fiqih, hlm. 23-24. [5] Wahab, Abdul khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Gema Risalah Press, 1996, hlm. 2930. [6]Karim A, Syafi’I, Fiqih-Ushul Fiqih, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1997, hlm. 46.