Paper Waktu Paruh, Waktu Henti Dan Residu Obat Antibiotik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

NAMA NIM MATA KULIAH KELAS/RUANGAN



: RESKI AMALIA RAHIM DM : 1702101010090 : FARMAKOLOGI VETERINER II : 04/04



WAKTU PARUH DAN WAKTU HENTI OBAT SERTA RESIDU ANTIBIOTIKA Antibiotika adalah senyawa berat dengan molekul rendah yang membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Sebagian besar antibiotika dihasilkan oleh mikroorganisme, khususnya Streptomyces spp. dan jamur. Antibiotika dapat dikelompokkan berdasarkan struktur dari antibiotika tersebut ataupun berdasarkan target kerjanya pada sel yaitu, broad spektrum, mempunyai kemampuan membunuh mikroorganisme dari berbagai spesies dan narrow spectrum hanya mampu membunuh mikroorganisme secara spesifik. Adapun mekanisme kerja antibitotika dibagi dalam empat kategori, yaitu: menghambat sintesa dinding sel (antibiotika golongan beta-laktam, basitrasin dan vankomisin), menghambat sintesa protein (aminoglikosida, linkosamida, makrolida, pleuromutilin dan tetrasiklin), merusak fungsi membran sel (polimiksin dan polyenes) dan menghambat fungsi asam nukleat (nitroimidazol, nitrofuran, quinolon dan rifampin). Antibiotika didalam tubuh akan mengalami beberapa fase seperti yaitu, absorpsi, transpor, biotransformasi, distribusi dan ekskresi. 1. Absorpsi Antibiotika yang diberikan secara oral masuk ke dalam lambung, kemudian di usus hancur menjadi molekul kecil dan menembus dinding usus halus. Penyerapan obat dari usus ke sirkulasi darah melalui filtrasi, difusi atau transfor aktif, kecepatan resorpsi tergantung pada pemberian, cara pemberian dan sifat fisikokimiawi obat. Disini kecepatan larut partikel obat (dissolution rate) mempunyai peranan yang penting, semakin halus obat semakin cepat larut dan resorpsi obat. Contohnya sulfonamida dan khloramfenikol (Mutchler, 1999 dan Phillips et al., 2004) . 2. Transpor Agar transpor obat ke target sasaran tercapai dalam organ tubuh, zat aktif diolah menjadi suatu bentuk pemberian. Bentuk utama transpor yaitu, secara lokal (intranasal, intraokuler, intra vaginal, intrapulmonal dan kulit) dan sistemis (oral, sublingual, injeksi, inplantasi subkutan dan rektal). Molekul zat kimia melintasi membran semipermeabel berdasarkan adanya perbedaan konsentrasi seperti, melintasi dinding pembuluh ke ruang antar jaringan (interstitium) (Adam, 2002). Mekanisme transpor terbagi dua secara pasif dan aktif, transpor pasif tidak memerlukan energi dan menggunakan cara filtrasi melalui pori-pori kecil dari membran dan difusi zat larut dalam lapisan lemak dari membran sel. Sedangkan transfor aktif memerlukan energi, tidak tergantung konsentrasi obat dan dilakukan dengan mengikat zat hidrofil (makromolekul dan ion) pada suatu protein pengangkut spesifik yang berada di membran sel (carrier), setelah membran dilintasi obat dibebaskan kembali (Tjay dan Raharja, 2005). 3. Biotransformasi Tubuh akan berupaya merombak obat yang masuk menjadi metabolit yang tidak aktif dan bersifat lebih hidrofil agar memudahkan proses ekskresi di ginjal. Di dalam hati metabolit yang tidak aktif lagi mengalami proses detoksifikasi atau bioinaktivasi (first pass effect). Reaksi transformasi di dalam hati dilakukan oleh enzim mikrosomal dengan reaksi biokimia yakni, reaksi oksidasi oleh enzim oksidatif cytochrom P 450 dan reaksi reduksi. Kecepatan biotransformasi bertambah bila konsentrasi obat meningkat, fungsi hati, umur, faktor genetis dan penggunaan obat lain (Focosi, 2003; Tjay dan Raharja, 2005). 4. Distribusi Melalui peredaran darah secara merata ke seluruh tubuh (kapiler dan cairan ekstra sel) diangkut ke dalam sel (cairan intra sel) organ atau otot sasaran. Distribusi obat juga dapat terjadi tidak merata akibat gangguan (rintangan) darah ke otak (cerebro spinal barrier), terikatnya obat pada protein darah atau jaringan lemak. Antibiotika seperti penisilin, khloramfenikol dan tetrasiklin dapat melintasi rintangan ini dengan dosis besar, bila diberikan injeksi intra vena. Sebagian obat di dalam darah



diikat secara reversibel pada protein plasma. Zat bersifat asam terikat pada albumin, zat basa mengikat diri pada glikoprotein asam seperti globulin contoh, doksisiklin (Phillips et al., 2004). 5. Eskresi Organ tubuh yang paling berperan dalam proses eliminasi obat adalah ginjal, obat dikeluarkan dalam bentuk yang tidak berubah (parent drug) atau dalam bentuk metabolit (setelah mengalami biotransformasi) dan kebiasaannya berupa metabolitnya dan hanya sebagian kecil dalam keadaan utuh seperti, penisilin dan terasiklin. Obat yang diekskresi secara aktif tidak terpengaruh oleh pengikatan, seperti benzilpenisilin persentase pengikatan sampai 50% hampir diekskresi seluruhnya dengan cepat. Selain itu obat dapat dieliminasi melalui sistem empedu masuk ke dalam usus kecil dan dieliminasi melalui feces. Eliminasi melalui jalur ini, obat atau metabolitnya masih dapat mengalami resorpsi (memasuki siklus enterohepatik) Waktu Paruh Obat Plasma half life eliminasi atau masa paruh (t ½), yaitu jarak waktu dimana kadar obat dalam plasma pada fase eliminasi turun sampai separuhnya. Waktu paruh merupakan ukuran untuk lamanya efek obat dan penting sebagai dasar untuk menentukan dosis dan frekuensi pemberian obat yang rasional. Kecepatan eliminasi obat dan plasma t ½ tergantung dari absorpsi, kecepatan biotransformasi dan ekskresi. obat dengan metabolisme cepat waktu paruhnya juga pendek, sebaliknya zat yang tidak mengalami biotransormasi atau yang direabsorpsi kembali oleh tubuli ginjal waktu paruhnya akan lebih panjang.



Waktu Henti Obat Waktu henti obat adalah kurun waktu dari saat pemberian obat terakhir hingga ternak boleh dipotong atau produknya dapat dikonsumsi. Ini merupakan waktu yang cukup sampai konsentrasi obat dalam tubuh hewan menurun ke batas toleransi. Waktu henti obat hewan sangat bervarisasi bergantung pada jenis obat, spesies hewan, faktor genetika ternak, iklim setempat, cara pemberian, dosis obat, status kesehatan hewan, batas toleransi residu obat dan formulasi obat



Tabel Waktu Henti Obat pada Beberapa Jenis Hewan



Tabel Waktu Henti Obat pada Kambing



Tabel Waktu Henti Obat pada Babi



Residu Antibiotika Residu adalah senyawa asal dan atau metabolitnya yang terdapat dalam jaringan produk hewani dan termasuk residu hasil uraian lainnya dari obat tersebut. Semua cara pemberian antibiotika dapat menyebabkan terjadinya residu dalam pangan asal hewan seperti, daging susu dan telur (Phillips et al., 2004). Perhatian besar telah diperlihatkan selama 40 tahun mengenai adanya residu antibiotika pada daging ayam di Amerika Serikat. residu antibiotika terjadi akibat penggunaan antibiotika untuk kontrol atau mengobati penyakit infeksi tidak memperhatikan waktu henti obat, penggunaan antibiotika yang melebihi dosis yang dianjurkan, penggunaan antibiotika sebagai feed additive dalam pakan hewan. Pada pangan asal hewan residu meliputi senyawa asal yang tidak berubah (nonaltered parent drug), metabolit dan atau konyugat lain. Beberapa metabolit obat diketahui bersifat kurang atau tidak toksik dibandingkan senyawa asalnya, namun beberapa diketahui lebih toksik. Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi obat dalam tubuh (fase farmakokinetika) yaitu, perfusi darah melalui jaringan, kadar gradien, pH dan ikatan zat dengan makromolekul, partisi ke dalam lemak, transpor aktif, barier (sawar) dan ikatan obat dengan protein plasma atau jaringan. Secara umum fase farmakokinetik obat dipengaruhi oleh: keragaman dalam satu spesies, perbedaan spesies, interaksi antar obat, faktorfaktor biofarmasetik, keberadaan kinetika non linear dan penyakit. Pakan yang mengandung antibiotika akan berinteraksi dengan jaringan (organ) dalam tubuh ternak, meskipun dalam jumlah yang kecil pengaruh yang ditimbulkan tidak secara langsung tetapi akan berefek kronis dan tetap berada dalam tubuh ternak Senyawa induk dan metabolitnya sebagian akan dikeluarkan dari tubuh melalui air seni dan feces, tetapi sebagian lagi akan tetap tersimpan di dalam jaringan (organ tubuh) yang disebut sebagai residu. Jika pakan yang dicampur antibiotika secara terus menerus, maka residu antibiotika tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan dengan konsentrasi yang bervariasi antara organ tubuh (Bahri et al, 2005). Antibiotika yang paling sering dideteksi dalam daging yaitu, penisilin (termasuk ampisilin), tetrasiklin (termasuk khlortetrasiklin dan oksitetrasiklin), sulfonamida (termasuk sulfadimethoksin, sulfamethazin dan sulfamethoksazol), neomisin, gentamisin dan streptomisin (Phillips et al., 2004). Residu dari semua jenis obat hewan paling tinggi terdapat dihati dan ginjal dibandingkan pada jaringan otot. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar residu beberapa antibiotika berbeda pada jaringan berbeda dalam tubuh ayam. Secara farmakokinetik dapat dijelaskan mengenai metabolisme dan distribusi jenis obat pada hewan yang berbeda, pada fase ini juga dapat diperkirakan waktu henti



obat untuk menghilangkan kadar obat pada jaringan yang berbeda (Adam, 2002). Menurut Anthony (1997), dampak negatif keberadaan residu antibiotika yaitu, reaksi alergi, toksisitas, mempengaruhi flora usus, respon immun, dan resistensi terhadap mikroorganisme. a. Reaksi Alergi Alergi atau intoleransi adalah reaksi abnormal yang berhubungan dengan substansi alami yang tidak membahayakan banyak individu. Reaksinya meliputi urtikaria pada membran mukosa dan kulit, bintik ruam dan pengelupasan kulit b. Toksisitas Antibiotika dapat mempengaruhi kesehatan manusia secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung antibiotika memiliki sifat toksik bagi manusia, sebagai contoh khloramphenikol memiliki efek samping yang cukup serius, yaitu penekanan aktivitas sumsum tulang yang berakibat gangguan pembentukan sel-sel darah merah. Kondisi ini dapat menyebabkan aplastik anemia yang secara potensial berakibat fatal c. Mempengaruhi Flora Usus Sebagai hasil penggunaan antibiotika yang panjang, perkembangan yang tidak menyenangkan bakteri dalam saluran pencernaan merupakan masalah pada manusia dan hewan. Pada banyak kasus penggunaan neomisin melalui oral meningkatkan pertumbuhan jamur dalam usus. Tetrasiklin menghasilkan iritasi gastrointestinal pada banyak individu dan menyebabkan perubahan dalam flora usus seperti, diare akibat infeksi (Anthony, 1997). Penggunaan antibiotika tidak hanya menyebabkan resistensi pada bakteri patogen yang sedang ditangani tetapi juga pada mikroorganisme lain yang ada dalam saluran pencernaan. Kemungkinan lain adalah adanya gangguan terhadap flora normal yang ada pada saluran pencernaan manusia karena adanya residu antibiotika pada makanan (Mazell dan Davies, 1999; Boothe dan Arnold, 2003). Semakin panjang waktu bakteri terpapar dengan antibiotika maka akan semakin tinggi kesempatan terjadinya mutasi, sehingga menimbulkan strain yang kurang sensitif terhadap antibiotika tersebut. d. Respon Immun Berbagai penelitian dilaporkan bahwa antibiotika tidak hanya bekerja sebagai bakterisid tetapi juga mengatur fungsi dari sel immun. Pengaruh antibiotika pada respon immun terjadi secara langsung pada sel imuno kompeten atau secara tidak langsung dengan merubah struktur atau metabolit dari organisme menyebabkan terjadinya konsentrasi hambat sub minimal terhadap bakteri e. Resistensi terhadap mikroorganisme Masalah resistensi mikroba terhadap antibiotika bukanlah masalah yang baru, sejak tahun 1963, WHO telah mengadakan pertemuan tentang aspek kesehatan masyarakat dari penggunaan antibiotika dalam makanan dan bahan makanan. Penggunaan antibiotika pada pakan hewan sebagai pemacu pertumbuhan telah mengakibatkan pertumbuhan bakteri yang resisten terhadap antibiotika yang umum digunakan untuk terapi. Resistensi diakibatkan oleh mikroba mensintesis enzim yaitu resistensi mikroba terhadap penisilin. Dimana mikroba tersebut menghasilkan enzim penisilinase yang mampu memecah cincin beta-laktam penisilin menjadi penicilloic acid yang tidak aktif. Demikian pula pada sefalosporin yang didegradasi oleh beta laktamase (Salyers dan Whitt, 2003). Banyak bakteri mampu memproduksi beta-laktamase, seperti bakteri gram positif dan negatif, dimana enzim ini mempunyai peranan yang besar dalam menyebabkan resistensi bakteri gram positif terhadap penisilin dan sefalosporin. Upaya yang dilakukan untuk menghilangkan residu antibiotika antara lain Waktu henti obat antibiotik harus dilewati, baru setelah itu hewan dipotong dan penggunaan alternatif pengganti antibiotika seperti, probiotik dan prebiotik, imunomodulator, asam-asam organik, minyak essential, herbal dan enzim. Sedangkan salah satu cara yang dapat digunakan untuk menekan bahaya potensial yang diakibatkan residu pada manusia adalah dengan melakukan pemasakan jaringan hewan apabila hendak dikonsumsi. Hal ini akan menurunkan konsentrasi dari beberapa mikroba antara lain penisilin dan tetrasiklin. Beberapa antibiotika seperti kloramfenikol dan streptomisin bersifat lebih stabil terhadap panas (Crawford dan Franco, 1994).



Menurut Lukman (1994) kandungan residu doksisiklin dalam daging dada, kaki, hati dan ampela dapat diinaktivasi dengan pemanasan 1000C selama 20 menit, 1000C selama 10 menit, 800C selama 20 menit, 800C selama 10 menit. Sumber Pustaka Martaleni. (2007). Deteksi residu antibiotika pada karkas, organ dan kaki ayam pedaging yang di peroleh dari pasar tradisional Kabupaten Tangerang. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.