PR Bedah Plastik Fistula Palatal [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS PR BEDAH PLASTIK



FISTULA PALATAL POST PALATOPLASTY ATAS INDIKASI PALATOSCHISIS



Oleh: Prima Canina



G99161076



Ulfa Puspita Rachma



G99171043



Destri Lisyam Prasanti



G99162054



Anisa Hasanah



G99162125



Periode : 2 – 6 Januari 2018 Pembimbing: dr. Amru Sungkar, SpB., SpBP-RE



KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2018



BAB I TINJUAN PUSTAKA I.



PALATOSCHISIS A. Definisi Cleft palate atau palatoschisis merupakan kelainan kongenital pada wajah dimana atap/langitan dari mulut yaitu palatum tidak berkembang secara normal selama masa kehamilan, mengakibatkan terbukanya (cleft) palatum yang tidak menyatu sampai ke daerah cavitas nasalis, sehingga terdapat hubungan antara rongga hidung dan mulut. Cleft lips and palate (CLP) adalah suatu kecacatan kongenital pada kraniofasial yang paling sering ditemui. Permasalahan pada penderita celah bibir dan langit-langit sudah muncul sejak penderita lahir. Derita psikis yang dialami pula oleh penderita setelah menyadari dirinya berbeda dengan yang lain. Secara fisik adanya celah akan membuat kesukaran minum karena adanya daya hisap yang kurang dan banyak yang tumpah atau bocor ke hidung, Se1ain itu terjadi permasalahan dalam segi estetik/kosmetik, perkembangan gigi yang tidak sempuma serta gangguan pertumbuhan rahang dan gangguan bicara berupa suara sengau. Penyulit yang juga mungkin terjadi pada penderita celah bibir adalah infeksi pada telinga tengah hingga gangguan pendengaran B. Etiologi CLP merupakan cacat pada wajah yang paling sering, ditemukan satu tiap 700 kelahiran hidup di seluruh dunia. Fogh Andersen di Denmark melaporkan kasus bibir sumbing dan celah langit-langit 1,47/1000 kelahiran hidup. Hasil yang hampir sama juga dilaporkan oleh Woolf dan Broadbent di Amerika Serikat serta Wilson untuk daerah Inggris. Neel menemukan insiden 2,1/1000 penduduk di Jepang.



Pada 25 % pasien, terdapat riwayat celah pada wajah (facial clefting) di keluarga, tidak diikuti resesif atau pun dominan paternal. Timbulnya celah tidak ada hubungannya dengan pola warisan Mendelian, dan hal tersebut menunjukkan bahwa celah yang timbul diwariskan secara heterogen. Pandangan ini didukung dengan fakta dari beberapa penelitian pada anak kembar yang menunjukkan pengaruh relatif genetik dan non-genetik terhadap timbulnya celah. Pada isolated cleft palate dan CL/P, proband tidak memiliki pengaruh pada keluarga tingkat pertama dan kedua, secara empiris resiko pada saudara yang lahir dengan cacat/kelainan yang sama 3-5%. Akan tetapi jika terdapat proband dengan CL/P kombinasi yang mempengaruhi keluarga tingkat pertama dan kedua, resiko bagi saudara atau keturunan berikutnya 10-20%. C. Etiologi dan Faktor Resiko Penyebab terjadinya palatoschisis belum diketahui dengan pasti. Kebanyakan ilmuwan berpendapat bahwa palatoschisis muncul sebagai akibat dari kombinasi faktor genetik dan faktor-faktor lingkungan. Di Amerika Serikat dan bagian barat Eropa, para peneliti melaporkan bahwa 40% orang yang mempunyai riwayat keluarga palatoschisis akan mengalami palatoschisis. Ibu yang mengkonsumsi alcohol dan narkotika, kekurangan vitamin (terutama asam folat) selama trimester pertama kehamilan, atau menderita diabetes akan lebih cenderung melahirkan bayi/ anak dengan palatoschisis. Faktor risiko terjadinya cleft lip and palate ini, dapat berasal dari bayi sendiri maupun dari ibunya. Faktor risiko tersebut antara lain: 



Bayi yang memiliki cacat lahir lainnya







Memiliki saudara kandung, orang tua, atau saudara dekat lain yang lahir dengan sumbing wajah.







Ibu mengkonsumsi alkohol selama kehamilan







Memiliki penyakit atau infeksi saat hamil







Kekurangan asam folat pada pembuahan atau selama kehamilan awal



D. Patofisologi Gejala patologis pada celah bibir mencakup kesulitan pemberian makanan dan nutrisi, infeksi telinga yang rekuren, hilangnya pendengaran, perkembangan



pengucapan yang abnormal dan kelainan pada perkembangan wajah. Adanya hubungan antara saluran mulut dan hidung menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk mengisap pada bayi. Cacat terbentuk pada trimester pertama kehamilan, prosesnya karena tak terbentuk mesoderm pada daerah tersebut sehingga bagian yang telah menyatu (prosesus nasalis dan maksilaris) pecah kembali, Semua yang mengganggu pembelahan sel dapat rnenyebabkan ini: defisiensi, bahan-bahan obat sitostatik, radiasi. Problem yang ditimbulkan akibat cacat ini adalah psikis, fungsi dan estetik Ketiganya saling berhubungan, Problem psikis yang mengenai orang tua dapat diatasi dengan penerangan yang baik. Bila cacat terbentuk lengkap sampai langit-langit, bayi tak dapat mengisap. Karena sfingter muara tuba Eustachii kurang normal lebih mudah terjadi infeksi ruang telinga tengah. Sering ditemukan hipolplasia pertumbuhan maksilla sehingga gigi geligi depan atas/rahang atas kurang maju pertumbuhannya. Insersi yang abnormal dari tensor veli palatini menyebabkan tidak sempurnanya pengosongan pada telinga tengah. Infeksi telinga rekuren menyebabkan hilangnya pendengaran yang dapat rnernperburuk pengucapan yang



abnormal.



Mekanisme



veloparingeal



yang



utuh



penting



dalam



menghasilkan suara non nasal dan sebagai modulator aliran udara dalarn produksi fonem lainnya yang membutuhkan nasal coupling, Maniputasi anatomi yang kompleks dan sulit dari mekanisme veloparingeal, jika tidak sukses dilakukan



pada



awal



perkernbangan



pengucapan,



dapat



menyebabkan



berkurangnya pengucapan normal yang dapat dicapai. E. Diagnosa Deteksi prenatal dapat dilakukan dengan beragam teknik. Fetoskopi telah digunakan untuk memberikan gambaran wajah fetus. Akan tetapi teknik ini bersifat invasif dan dapat menimbulkan resiko menginduksi aborsi. Namun demikian, teknik ini mungkin tepat digunakan untuk konfirmasi pada beberapa cacat/kelainan pada kehamilan yang kemungkinan besar akan diakhiri. Teknik lain seperti ultrasonografi intrauterine, magnetic resonance imaging, deteksi kelainan



enzim



pada



cairan



amnion



dan



transvaginal



ultrasonografi



keseluruhannya dapat mendeteksi dengan sukses CLP secara antenatal. Tetapi, pemeriksaan-pemeriksaan



tersebut dibatasi



pada



biaya,



invasifitas



dan



persetujuan pasien. Ultrasound transabdominal merupakan alat yang paling sering digunakan pada deteksi antenatal CLP, yang memberikan keamanan dalam prosedur, ketersediaannya, dan digunakan secara luas pada skrining anatomi antenatal. Deteksi dini memperkenankan kepada keluarga untuk menyiapkan diri terlebih dahulu terhadap suatu kenyataan bahwa bayi mereka akan memiliki suatu kelainan/cacat. Mereka dapat menemui anggota dari kelompok yang memiliki CLP, belajar mengenai pemberian makanan khusus dan memahami apa yang harus diharapkan ketika bayi lahir. Sebagai pembanding, ibu yang menerima konseling pada 2 pekan awal kehidupan mungkin akan lebih merasa bingung dan kewalahan. Deteksi dini juga memperkenankan kepada ahli bedah untuk bertemu dengan keluarga sebelum kelahiran dan mendiskusikan pilihan perbaikan. Dengan waktu konseling dan rencana yang tepat, memungkinkan untuk melaksanakan perbaikan dari unilateral cleft lip pada minggu pertama kehidupan. F.



Manifestasi Klinis Manifestasi klinis dari kelainan palatoschisis antara lain : 1.



Masalah asupan makanan Merupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi penderita labiognatopalatochizis.



Adanya



labiognatopalatochizis



memberikan



kesulitan pada bayi untuk melakukan hisapan pada payudara ibu atau dot. Bayi yang hanya menderita labioschisis atau dengan celah kecil pada palatum biasanya dapat menyusui, namun pada bayi dengan labioplatoschisis biasanya



membutuhkan penggunaan dot khusus. Dot



khusus (cairan dalam dot ini dapat keluar dengan tenaga hisapan kecil) ini dibuat untuk bayi dengan labiopalatoschisis dan bayi dengan masalah pemberian makan/ asupan makanan tertentu. 2.



Masalah Dental



Anak mempunyai



yang



lahir



dengan



labiognatopalatochizis



mungkin



masalah tertentu yang berhubungan dengan kehilangan,



malformasi, dan malposisi dari gigi geligi pada arean dari celah bibir yang terbentuk. Infeksi telinga Anak



dengan labiognatopalatochizis



lebih



mudah untuk menderita infeksi telinga karena terdapatnya abnormalitas perkembangan dari otot-otot yang mengontrol pembukaan dan penutupan tuba eustachius. 3.



Gangguan berbicara Pada bayi dengan labiopalatoschisis biasanya juga memiliki abnormalitas pada perkembangan otot-otot yang mengurus palatum mole. Saat palatum mole tidak dapat menutup ruang/



rongga nasal



pada saat bicara, maka didapatkan suara dengan kualitas nada yang lebih tinggi (hypernasal quality of speech). Meskipun telah dilakukan reparasi palatum, kemampuan otot-otot tersebut diatas untuk menutup ruang/ rongga nasal pada saat bicara mungkin tidak dapat kembali sepenuhnya normal. Anak mungkin mempunyai kesulitan untuk menproduksi suara/ kata "p, b, d, t, h, k, g, s, sh, and ch", dan terapi bicara (speech therapy) biasanya sangat membantu. G. Klasifikasi Malformasi kraniofasial, dimana salah satunya adalah facial cleft telah mengalami beberapa tahap klasifikasi. Dimulai dari tahun 1887 oleh Morian, muncullah klasifikasi Morian yang mengklasifikasikan facial cleft menjadi dua tipe yaitu tipe I yang merupakan oculonasal cleft dan tipe II, dari foramen infraorbita hingga aspek luar wajah. Setelah itu, klasifikasi tersebut mengalami beberapa penyesuaian dan pembaharuan seperti klasifikasi AACPR(American Association of Cleft Palate Rehabilitation) pada tahun 1962, klasifikasi BooChai, klasifikasi Karfik, klasifikasi Tessier, dan klasifikasi van de Meulen. Dua klasifikasi



yang



diterima



secara



luas



adalah



sistem



klasifikasiTessier dan van de Meulen. Klasifikasi Tessier didasarkan pada posisi anatomi celah. Pada sistem klasifikasi ini, cleft berdasarkan posisinya diberi nomor 0-14 dengan nomor 30 menunjukkan simfisis media dari mandibula. Penomoran ini memudahkan



nomenklatur cleft. Sistem ini murni bersifat deskriptif dan tidak berkaitan dengan faktor-faktor embriologi maupun patologi.Berbeda dengan klasifikasi Tessier, klasifikasi Van de Meulen didasarkan pada hubungan cleft dengan asal embriogenesisnya. Klasifikasi Tessier merupakan cara paling mudah untuk mendeskripsikan cleft dan nomenklaturnya, sehingga menjadi klasifikasi yang paling sering digunakan hingga sekarang.



Gambar 1. Klasifikasi tessier pada tulang tengkorak dan wajah



Klasifikasi celah bibir dan celah langit-langit Klasifikasi yang diusulkan oleh Veau dibagi dalam 4 golongan yaitu : -



Golongan I : Celah pada langit-langit lunak (gambar A).



-



Golongan II : Celah pada langit-langit lunak dan keras dibelakang foramen insisivum (gambar B).



-



Golongan III : Celah pada langit-langit lunak dan keras mengenai tulang alveolar dan bibir pada satu sisi (gambar C).



-



Golongan IV : Celah pada langit-langit lunak dan keras mengenai tulang alveolar dan bibir pada dua sisi (gambar D).



Gambar 2. Klasifikasi Veau



Berikut ini merupakan klasifikasicleft lip and palatemenurut Freitas :  Cleft Lip Kelompok ini melibatkan celah yang mempengaruhi bibir dengan atau tanpa mempengaruhi alveolar dan mungkin unilateral, bilateral atau median.Berdasar



luasnya,



cacat



yang



berkisar



dari



lekukan



ringan



padavermillion lip, disebut cicatricial cleft, apabila melibatkan bibir dan alveolar ridge, mencapai foramen incicivus, disebut complete cleft. Sedangkan disebut inclomplete cleft apabila cacat hanya melibatkan bibirtanpa melibatkan alveolar.  Complete Cleft Lip and Palate Menurut klasifikasi, jenis celah ini benar-benar melibatkan bibir, alveolar dan langit-langit.Celah melintasi foramen incisivus, mungkin unilateral, bilateral atau median (Gambar 1.2).  Cleft Palate Kelompok ini hanya mencakup sumbing pada palatum.Jenis sumbing dapat melibatkan luasan yang berbeda, total atau sebagian, selain itu juga digambarkan sebagai lengkap atau tidak lengkap sesuai dengan luasnya langitlangit yang terlibat (Gambar 1.2).  Rare facial cleft Kelompok ini terdiri dari sumbing langka, yang belum tentu melibatkan foramen incisivus, biasanya terjadi jauh dari wilayah pembentukan palatum primer dan sekunder. Seringkali didefinisikan sebagai celah atipikal karena mereka melibatkan struktur wajah lain selain bibir dan / atau langit-langit, seperti sumbing oro-okular, unilateral dan / atau bilateral macrostomia, sumbing bibir bawah, sumbing mandibula , sumbing palpebra dan sumbing oblique, dan lain-lain. H. Penatalaksanaan



Rencana terapi dari celah wajah dibuat setelah diagnosis. Rencana ini mencakup setiap operasi yang dibutuhkan dalam 18 tahun pertama kehidupan pasien untuk merekonstruksi wajah sepenuhnya. Perlakuan terhadap cleft lip and palate dapat dibagi di berbagai wilayah wajah: anomali tengkorak, anomali orbit dan mata, anomaly hidung dan anomali midface mulut. Bayi yang baru lahir dengan CLP segera dipertemukan dengan pekerja sosial untuk diberi penerangan agar keluarga penderita tidak mengalami stress dan menerangkan harapan yang bisa didapatkan dengan perawatan yang menyeluruh bagi anaknya, Selain itu dijelaskan juga masalah yang akan dihadapi kelak pada anak. Menerangkan bagaimana memberi minum bayi agar tidak banyak yang tumpah. Pekerja sosial membuatkan suatu record psicososial pasien dari sini diambil sebagai bagian record CLP pada umumnya. Pekerja sosial akan mengikuti perkembangan psikososial anak serta keadaan keluarga dan lingkungannya. Adapun beberapa perbaikan yang dapat dilakukan, diantaranya : 1.



Operasi



perbaikan



terhadap



bibir



disebut



Cheiloraphy atau Labioplasty. Dilakukan pada usia 3 bulan. Sebe1um dilakukan observasi pada penderita melihat kondisi bayi harus sehat, tindakan pembedahan mengikuti tata cara ""rule of ten": bayi berumur lebih 10 minggu, berat 10 pon atau 5 kg, dan memiliki hemoglobin lebih dari 10 gr% dan lekosit di bawah 10.000. 2. Perbaikan langit-langit disebut Palatoraphy Dilakukan pada usia 10 - 12 bulan, usia tersebut akan memberikan hasil fungsi bicara yang optimal karena memberikan kesempatan jaringan pasca operasi sampai matang pada proses penyembuhan luka sehingga sebelum penderita mulai bicara dengan demikian soft palate dapat berfungsi dengan baik. Jika operasi dilakukan terlambat sering hasil operasi dalam hal kemampuan mengeluarkan suara normal, tak sengau, sulit dicapai 3. Speech therapy Setelah operasi, pada usia anak dapat belajar dari orang lain, speech therapy dapat diperlukan setelah operasi palatoraphy yang akan meminimalkan suara sengau. Namun apabila masih saja didapatkan suara sengau, maka dapat dilakukan phayngoplasty. Operasi ini akan membuat “bendungan" pada faring



untuk memperbaiki fonasi, biasanya dilakukan pada usia 5-6 tahun ke atas. 4. Alveolar Bone Graft Pada usia 8-9 tahun dilakukan operasi penambalan tulang pada celah alveolar/maxilla untuk tindakan bone graft dimana ahli orthodonti yang akan mengatur pertumbuhan gigi caninus kanan-kiri celah agar normal. Bone graft ini diambil dari bagian spongius crista iliaca. 5. Advancement Osteotomy Le Fort I Evaluasi pada perkembangan selanjutnya pada penderita CLP sering didapatkan hipoplasia pertumbuhan maxilla sehingga terjadi dish face muka cekung. Keadaan ini dapat dikoreksi dengan cara operasi advancement ostetomi Le Fort I pada usia 17 tahun dimana tulang-tulang muka telah berhenti pertumbuhannya. Hal ini dilakukan oleh bedah ortognatik, memotong bagian tulang yang tertinggal pertumbuhannya dan merubah posisinya maju ke depan. Ahli THT untuk mencegah dan menangani timbulnya otitis media dan kontrol pendengaran. Penderita CLP mengalami gangguan pada tuba eustachia dimana akan tetjadi kelumpuhan otot levator palatine dan tensor vili palatine yang terinsersi dengan daerah tepi pada langit-langit keras. Dengan bertambahnya usia maka insiden terjadi kegagalan fungsi tuba eustachia semakin tinggi pula. Evaluasi dilakukan setiap 3-4 bulan hingga ada perbaikan. Indikasi untuk dilakukan miringotomi dan insersi pada tuba sangat konduktif untuk mengatasi kehilangan pendengaran dan otitis media yang tidak kunjung sembuh. I.



Komplikasi Komplikasi dari celah bibir dan langit-langit bila tidak di operasi adalah secara fisik membuat kesulitan dalam makan dan minum karena daya hisap yang kurang maksimal dan banyak yang tumpah atau bocor ke hidung, gangguan kosmetik, gangguan bicara berupa suara sengau, retardasi mental, infeksi telinga tengah, gangguan pendengaran dan gangguan pertumbuhan gigi. Komplikasi yang dapat timbul pada operasi adalah perdarahan, obstruksi saluran pernapasan, infeksi, deviasi septim nasi dan terjadinya fistula. Perdarahan yang banyak jarang terjadi, tapi mungkin memerlukan operasi kembali untuk mengontrol perdarahan. Penyumbatan pernapasan juga jarang terjadi jika tidak



ada perdarahan yang berlebihan tetapi dapat mengancam jiwa. Saluran harus dipantau secara hati-hati. Monitor saturasi O2 bisa digunakan di ruang perawatan atau pasien dapat di pantau dalam ruang ICU. Fistula palatum bisa ada karena celah asimptomatik atau menyebabkan gejala-gejala seperti masalah pengucapan dan kesulitan kebersihan gigi. J.



Pencegahan 1. Menghindari merokok Ibu yang merokok mungkin merupakan faktor risiko lingkungan terbaik yang telah dipelajari untuk terjadinya celah orofacial.Ibu yang menggunakan tembakau selama kehamilan secara konsisten terkait dengan peningkatan resiko terjadinya celah-celah orofacial. Mengingat frekuensi kebiasaan kalangan perempuan di Amerika Serikat, merokok dapat menjelaskan sebanyak 20% dari celah orofacial yang terjadi pada populasi negara itu. 2. Menghindari alkohol Peminum



alkohol



berat



selama



kehamilan



diketahui



dapat



mempengaruhi tumbuh kembang embrio, dan langit-langit mulut sumbing telah dijelaskan memiliki hubungan dengan terjadinya defek sebanyak 10% kasus pada sindrom alkohol fetal (fetal alcohol syndrome). Dalam banyak penelitian tentang merokok, alkohol diketemukan juga sebagai pendamping, namun tidak ada hasil yang benar-benar disebabkan murni karena alcohol. 3. Memperbaiki Nutrisi Ibu Nutrisi yang adekuat dari ibu hamil saat konsepsi dan trimester I kehamilan sangat penting bagi tumbuh kembang bibir, palatum dan struktur kraniofasial yang normal dari fetus. a. Asam Folat Peran asupan folat pada ibu dalam kaitannya dengan celah orofasial sulit untuk ditentukan dalam studi kasus-kontrol manusia karena folat dari sumber makanan memiliki bioavaibilitas yang luas dan suplemen asam folat biasanya diambil dengan vitamin, mineral dan elemen-elemen lainnya yang juga mungkin memiliki efek protektif terhadap terjadinya celah orofasial.Folat merupakan bentuk poliglutamat alami dan asam folat ialah bentuk monoglutamat sintetis.Pemberian asam folat pada ibu



hamil sangat penting pada setiap tahap kehamilan sejak konsepsi sampai persalinan. Asam folat memiliki dua peran dalam menentukan hasil kehamilan. Satu, ialah dalam proses maturasi janin jangka panjang untuk mencegah anemia pada kehamilan lanjut. Kedua, ialah dalam mencegah defek kongenital selama tumbuh kembang embrionik.Telah disarankan bahwa suplemen asam folat pada ibu hamil memiliki peran dalam mencegah celah orofasial yang non sindromik seperti bibir dan/atau langit-langit sumbing. b. Vitamin B-6 Vitamin B-6 diketahui dapat melindungi terhadap induksi terjadinya celah orofasial secara laboratorium pada binatang oleh sifat teratogennya, demikian juga kortikosteroid, kelebihan vitamin A, dan siklofosfamid.Deoksipiridin, atau antagonis vitamin B-6, diketahui menginduksi celah orofasial dan defisiensi vitamin B-6 sendiri cukup untuk membuktikan terjadinya langit-langit mulut sumbing dan defek lahir lainnya pada binatang percoban.Namun penelitian pada manusia masih kurang untuk membuktikan peran vitamin B-6 dalam terjadinya vitamin B-6. c. Vitamin A Asupan vitamn A yang kurang atau berlebih dikaitkan dengan peningkatan resiko terjadinya celah orofasial dan kelainan kraniofasial lainnya. Hale adalah peneliti pertama yang menemukan bahwa defisiensi vitamin A pada ibu menyebabkan defek pada mata, celah orofasial, dan defek kelahiran lainya pada babi. Penelitian klinis manusia menyatakan bahwa paparan fetus terhadap retinoid dan diet tinggi vitamin A jugadapat menghasilkan kelainan kraniofasial yang gawat.Pada penelitian prospektif lebih dari 22.000 kelahiran pada wanita di Amerika Serikat, kelainan kraniofasial dan malformasi lainnya umum terjadi pada wanita yang mengkonsumsi lebih dari 10.000 IU vitamin A pada masa perikonsepsional. 4. Modifikasi Pekerjaan



Dari data-data yang ada dan penelitian skala besar menyarankan bahwa ada hubungan antara celah orofasial dengan pekerjaan ibu hamil (pegawai kesehatan, industri reparasi, pegawai agrikulutur).Teratogenesis karena trichloroethylene



dan



tetrachloroethylene



pada



air



yang



diketahui



berhubungan dengan pekerjaan bertani mengindikasikan adanya peran dari pestisida, hal ini diketahui dari beberapa penelitian.namun tidak semua.Maka sebaiknya pada wanita hamil lebih baik mengurangi jenis pekerjaan yang terkait. Pekerjaan ayah dalam industri cetak, seperti pabrik cat, operator motor, pemadam kebakaran atau bertani telah diketahui meningkatkan resiko terjadinya celah orofasial. 5. Suplemen Nutrisi Beberapa usaha telah dilakukan untuk merangsang percobaan pada manusia untuk mengevaluasi suplementasi vitamin pada ibu selama kehamilan yang dimaksudkan sebagai tindakan pencegahan.Hal



ini



dimotivasi oleh hasil baik yang dilakukan pada percobaan pada binatang. Usaha pertama dilakukan tahun 1958 di Amerika Serikat namun penelitiannya kecil,



metodenya



dilaporkan.Penelitian



sedikit



dan



lainnya



tidak



dalam



ada



analisis



usaha



statistik



memberikan



yang



suplemen



multivitamin dalam mencegah celah orofasial dilakukan di Eropa dan penelitinya mengklaim bahwa hasil pemberian suplemen nutrisi adalah efektif, namun penelitian tersebut memiliki data yang tidak mencukupi untuk mengevaluasi hasilnya.Salah satu tantangan terbesar dalam penelitian pencegahan terjadinya celah orofasial adalah mengikutsertakan banyak wanita dengan resiko tinggi pada masa produktifnya. II.



FISTULA PALATAL A. Definisi Fistula palatal adalah keadaan dimana terdapatnya hubungan abnormal antara hidung dan mulut melalui palatum. Kondisi ini merupakan komplikasi tersering dan paling umum terjadi pada tindakan palatoplasty pada kondisi palatoschisis atau cleft palate. B. Insiden



Fistula palatal adalah komplikasi operasi palatoplasty yang cukup sering terjadi. Insidensi terjadinya fistula palatal setelah operasi palatoplasty bervariasi dari 0-68%. Terdapat laporan yang menyebutkan bahwa pada lebih dari setengah anak yang menjalani operasi palatoplasty ditemukan adanya fistula palatal. Data dari RS Cipto Mangunkusumo menunjukkan angka kejadian fistula palatal pasien yang menjalani one stage-palatoplasty mencapai 20,4%, dengan proporsi laki-laki 53,8% dan wanita 46,2%. Fistula palatal lebih sering ditemukan setelah perbaikan awal palatum. Resiko bentuk fistula terlihat sangat berhubungan dengan ukuran dari celah yang asli. Metode perbaikan yang digunakan oleh ahli bedah dapat mempengaruhi perjalanan fistula. Laporan terbaru menunjukkan bahwa palatoplasty dengan 2 flap dihubungkan dengan tingkat yang rendah (3,4%) pada pembentukan fistula palatal. Daerah yang paling umum untuk perkembangan residu palatal yaitu pada pertemuan palatum keras dan lunak diikuti oleh anterior palatum keras dan region foramen insisivus. Hampir semua fistula yang terlihat dini pada periode pasca operasi, setelah perbaikan dan merupakan hasil langsung dari luka lokal sebagai akibat gangguan tekanan atau vascular. Periode waktu lainnya ketika fistula palatal kemungkinan ditemukan selama tahap I perawatan ortodontik (pre bone graft), khususnya ketika ekspansi maksila telah dilakukan. C. Klasifikasi



Gambar 3. Klasifikasi Fistula menurut Pittsburgh



Selain klasifikasi fistula menurut Pittsburgh, pembagian fistula berdasarkan ukurannya dibagi menjadi tiga kategori: small fistula (1-2mm), medium (23mm), large (>5mm). D. Indikasi Perbaikan Fistula Palatal Rekomendasi mengenai waktu penutupan fistula secara signifikan bervariasi dan menjadi topic yang controversial. Beberapa ahli bedah dapat memberikan penanganan yang relative agresif untuk penutupan fistula lebih awal setelah perbaikan palatum. Pada bayi, penutupan fistula yang kecil (1 sampai 4 mm), fistula non fungsional secara umum dapat di tangguhkan sampai pada masa anak-anak. Pada beberapa kasus perbaikan fistula dapat dihubungkan dengan sejumlah prosedur yang penting untuk kedepannya seperti bedah faringeal untuk ketidaksesuaian velofaringeal atau rekonstruksi bone graft dari celah maksila dan alveolus sepanjang tidak menggangu fungsi berbicara atau fungsi konsumsi makanan. Pada fistula yang lebih besar (> 5 mm), terdapat kecenderungan fungsi fungsional yang akan di hadapi seperti terperangkapnya udara pada nasal yang akan memepengaruhi cara berbicara, refluks makanan dan cairan pada nasal,dan kesulitan yang berhubungan dengan hygene. Pada situasi klinik dimana tidak terdapat masalah fungsional yang signifikan, penutupan dini dari fistula yang



persisten diindikasikan sebagai proses pengambilan keputusan, ahli bedah harus menimbang keuntungan perbaikan fistula terhadap dampak negative pada bedah palatal kedua yang melibatkan lapisan terluar dari mukoperiosteum dari perkembangan maksila sebelumnya. Pertimbangan lainnya dalam merencanakan waktu yang tepat dari penutupan fistula adalah tipe dari teknik perbaikan yang digunakan untuk perbaikan ini. Usaha untuk menutup fistula dengan flap lokal atau palatoplasty dapat dilakukan selama masa bayi atau kanak-kanak secara dini. Dengan kata lain pada kasus dimana penggunaan flap regional (misalnya, lidah) diperlukan, anak-anak harus cukup umur untuk mampu menerima regimen perioperatif. E. Teknik Operasi Fistula Palatal Salah satu prosedur yang paling sering digunakan untuk penutupan fistula residual adalah penggunaan flap jaringan lunak local yang dibuat sampai mukosa palatal dan dirotasi diatas daerah yang rusak untuk penutupan (Gambar 1). Komponen pendekatan ini adalah pembuatan turn over flaps disekeliling daerah yang rusak untuk penutupan daerah nasal, elevasi pada palatal finger flap dan rotasi pada bayi, flap untuk menutupi kerusakan.daerah yang tampak dengan tulang yang terbuka dibiarkan pada daerah donor,dan hal ini digunakan untuk cacat palatal yang sangat kecil dan berhubungan dengan tingkat kegagalan yang relatif tinggi. Flap rotasional yang kecil dalam jaringan palatum yang mengandung jaringan parut yang luas dari prosedur pembedahan sebelumnya sulit untuk dimobilisasi tanpa residual tension dan kemungkinan menurunkan suplai darah yang menghasilkan kapasitas penyembuhan yang kurang ideal dan kemungkinan besar terjadinya luka. Pendekatan lain adalah prosedur Bardach atau Font Langenback. Pendekatan ini memberikan penutupan yang adekuat bahkan untuk cacat yang besar dengan penggunaan flap jaringan luka yang besar, lapisan pada daerah nasal dan rongga mulut dan penutupan secara tension free line (Gambar 2). Kemudian,jumlah tulang yang dibiarkan terbuka setelah perbaikan adalah minimal bahkan sampai tidak ada. Hal ini karena kedalaman vertikal dari ubah palatal dialihkan kedalam perluasan jaringan lunak ke medial sehingga hasilnya



berupa flap jaringan lunak palatal yang secara adekuat menutupi dasar tulang dengan lapisan pada death space antara palatal shelves dan tepi mukosa oral. ”Bardach palatoplasty “ (dua flap) merupakan operasi yang dipilih pada kasus dimana cacat fistula adalah ≥ 5mm. Keuntungan primer dari pendekatan ini adalah kemampuannya untuk mendapatkan flap jaringan lunak yang besar, yang dapat dimobilisasi dengan mudah dan memberikan kemudahan untuk visualisasi dan penutupan pada mukosa nasal.sebagai pembanding,salahsatu keuntungan secara teori dengan prosedur font langenback adalah pembuatan bipedicled flaps yang mempertahankan suplai darah anterior dan posterior, sementara anterior pedicled yang memberikan tambahan perfusi, juga dihasilkan flap yang kurang bebas bergerak dengan akses yang terbatas, begitu juga dengan visualisasi pada jaringan teoi nasal.



Gambar 4. Penggunaan flap rotasional untuk penutupan fistula palatal residual. A. Turn over flap digunakan untuk mendapatkan penutupan daerah nasal dan mucosa palatal flap dibentuk. B. Pola acak, full-thickness mucoperiostal flap dielevasi dan dimobilisasi untuk penutupan daerah cacat.



Gambar 5. Modifikasi teknik palatoplasty dua flap untuk penutupan fistula palatal residual. A. Dua flap mukoperiostal yang besar dibuat dengan diseksi meluas sampai ke titik posterior cacat fistula. Mukosa nasal dikembalikan sebagai lapisan terpisah. B. Penutupan pada daerah rongga mulut. Awalnya midline ditutup dengan menggunakan interrupted sutures, kemudian insisi lateral diperkirakan. Pada situasi dimana terdapat cacat yang besar (>1,5cm) keberhasilan penutupan mengharuskan ahli bedah menambah jaringan lunak dengan menggunakan flap regional. Cacat fistula sampai palatum keras posterior atau palatum lunak dapat dirawat dengan menggunakan prosedur palatoplaty modifikasi, seperti yang dijelaskan di atas utamanya dengan flap pharyngeal. Setelah flap palatal diperluas dan diseksi tepi nasal selesai, flap pharyngeal dibuka. Flap jaringan lunak pharyngeal kemudian disatukan ke dalam daerah penutupan tepi nasal dimana fistula tampak. Dengan menggunakan teknik ini, sejumlah tambahan jaringan lunak diperlukan untuk perbaikan “tension-free” pada cacat palatum. Ketika fistula terletak pada dua per tiga anterior dari palatum keras, prosedur pilihan untuk pengambilan tambahan jaringan lunak ke anterior didasarkan pada flap dorsal lidah. Pertama, penutupan sisa nasal dari cacat palatum dilakukan dengan turnover flap dengan multiple interrupted sutures. Kemudian teknik ini memerlukan perluasan ke anterior berdasar flap lidah yaitu panjangnya sekitar 5 cm dengan 1 – 2/3 lebar lidah. Flap lidah diperluas sepanjang underlying musculature dan kemudian disisipkan dengan menggunakan multiple mattress suture untuk penutupan pada daerah rongga mulut. Recipent bed sampai ke lidah



ditutup. Setelah pembedahan awal, flap awal akan sembuh sekitar dua minggu. Pada saat itu, pasien kembali di operasi. Intubasi dengan nasal-fiber optic diindikasikan untuk prosedur kedua sebab lidah masih terjahit sampai pada langit-langit, membatasi visualisasi normal dari jalan nafas. Flap kemudian dipotong dan ujung daerahdonor dirapikan dan disipkan ke dalam lidah. Penggunaan flap lidah ke arah lateral dan posterior juga telah diperlihatkan pada literature mengenai celah (Gambar 3).



Gambar 6. Penggunaan flap dorsal lidah anterior untuk mrnutupi fistula besar pada palatum keras anterior. A. Diagram dari cacat palatal dan elevasi dari flap lidah anterior. Turn over flap awalx digunakan untuk memperbaiki daerah nasal kemudian flap lidah dilakukan. Lebar flap sekitar 2/3 lebar lidah dan panjangnya sekitar 4-6 cm. B. Daerah donor ditutup dengan menggunakan multiple interrupted sutures dan flap lidah disisipkan dan dijahit disekeliling mukosa yang rusak. C dan D. Gambaran intraoperasi pada pembuatan flap lidah dan penempatannya.



DAFTAR PUSTAKA Abdollahi S, Moghaddam YJ, Reza R, et al. (2008). Results of Difficult Large Palatal Fistula Repair by Tongue Flap. Rawal Med J 2008;33:56-58 Aslam M, Ishaq I, Malik S, et al. (2015). Frequency of Oronasal Fistulae in Complete Cleft Palate Repair. Journal of the College of Physicians and Surgeons Pakistan 2015, Vol. 25 (1): 46-49 Atthahirah AI, Pamungkas KA, Mursali LB (2015). Angka Kejadian Fistula Palatum Pada Pasien Post-Palatoplasty Di Rs Awal Bros Sudirman Pekanbaru Periode Januari 2011-Desember 2013. JOM FK Volume 2 No. 2 Oktober 2015 Bykowski et al (2015). The Rate of Oronasal Fistula Following Primary Cleft Palate Surgery: A Meta-Analysis. Cleft Palate–Craniofacial Journal. 52(4). pp: 81-87 Coronella M, Foti PV, Vasta G, et al (2009). Oroantral fistulas: CT evaluation with Dentascan software. European Society of Radiology Diah E, Lo L, Yun C, et al. (2007). Cleft Oronasal Fistula: A Review of Treatment Results and A Surgical Management Algorithm Proposal. Chang Gung Med J 2007;30:529-37 Eberlinc A, Kozˇel V (2012). Incidence of Residual Oronasal Fistulas: A 20-Year Experience. The Cleft Palate-Craniofacial Journal 49(6) pp. 643–648 El-Leathy MM, Attia MF (2009). Closure of Palatal Fistula with Bucco-labial Myomucosal Pedicled Flap. Annals of Pediatric Surgery, Vol 5, No 2, April 2009, PP 104-108 Engelbrecht H, Butow KW (2013). Hard palate cleft and oro-nasal fistula reconstruction utilising a resorbable sheet. SADJ February 2013, Vol 68 no 1 p24 - p28 Kale TP, Urolagin S, Khurana V et al. (2010). Treatment of Oroantral Fistula using Palatal Flap – A Case Report and Technical Note. J. Int Oral Healt 2010 Vol 2 (Issue 3) Khanna S, Dagum AB (2012). Waltzing a Facial Artery Musculomucosal Flap to Salvage a Recurrent Palatal Fistula. The Cleft Palate-Craniofacial Journal 49(6) pp. 750–752 November 2012 Klima LJ (2010). Modern Techniques in Oronasal Fistula Repair



Landheer JA, Breugem CC, Mink van der Molen AB (2010). Fistula Incidence and Predictors of Fistula Occurrence After Cleft Palate Repair: Two-Stage Closure Versus One-Stage Closure. Cleft Palate–Craniofacial Journal, November 2010, Vol. 47 No. 6 Lithovius et al (2014). Incidence of palatal fistula formation after primary palatoplasty in northern Finland. Journal of Oral and Maxillofacial Surgery. Maine RG, Hoffman WY, Palacios-Martinez JH, et al. (2012). Comparison of Fistula Rates after Palatoplasty for International and Local Surgeons on Surgical Missions in Ecuador with Rates at a Craniofacial Center in the United States. Plastic and Reconstructive Surgery 2012 Volume 129, Number 2 Martelli, et al (2015). Association between maternal smoking, gender, and cleft lip and palate. Brazilian Journal of Otorhinolaryngology Moghe S, Gupta MK, Pillai A, et al. (2014). Repair of Oronasal fistula with Splitthickness Palatal graft. IOSR Journal of Dental and Medical Sciences Volume 13, Issue 5 Ver. IV. (May. 2014), PP 89-92 Murthy J (2011). Descriptive study of management of palatal fistula in one hundred and ninety-four cleft individuals. Indian Journal of Plastic Surgery January-April 2011 Vol 44 Issue 1 Passos et al (2014). Prevalence, Cause, and Location of Palatal Fistula in Operated Complete Unilateral Cleft Lip and Palate: Retrospective Study. Cleft Palate– Craniofacial Journal. 51(2). pp: 158-164. Rohleder NH, Loeffelbein DJ, Feistl W, et al. (2013). Repair of Oronasal Fistulae by Interposition of Multilayered Amniotic Membrane Allograft. Plastic and Reconstructive Surgery 2013, Volume 132, Number 1 Seim H (2013). Oronasal Fistula Repair. Western Veterinary Conference 2013 Shah SA, Khan F, Bilal M (2011). Frequency of Fistula Formation After Two Stage Repair of Cleft Palate. JKCD December 2011, Vol. 2, No. 1 Smith DM, Vecchione L, Jiang S, et al. (2007). The Pittsburgh Fistula Classification System: A Standardized Scheme for the Description of Palatal Fistulas. Cleft Palate–Craniofacial Journal, November 2007, Vol. 44 No. 6



Utama D, Buchari F, Sudjatmiko (2013). The Incidence of Palatal Fistula Postpalatoplasty in Children with Dental Caries: A Multi Centre Study. Jurnal Plastik Rekonstruksi - April - June 2013, Volume 2 - Number 2 Vityadewi N, Bangun K (2013). Incidence of Palatal Fistula after One-Stage Palatoplasty and Factors Influencing the Fistula Occurrence. Jurnal Plastik Rekonstruksi - April - June 2013, Volume 2 - Number 4