Refarat Pemeriksaan Sensibilitas Pada Pasien Morbus Hansen [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFARAT



MARET 2019



“PEMERIKSAAN SENSIBILITAS PADA PASIEN MORBUS HANSEN”



Disusun Oleh: Nama



: Fikriah Amining



Stambuk



: N 111 18 056



Pembimbing Klinik dr. Asrawati Sofyan., Sp. KK., M. Kes



KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO PALU 2019



1



LEMBAR PENGESAHAN



Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa : Nama



:Fikriah Amining



NIM



:N 111 18 056



Judul Referat



:Pemeriksaan Sensibilitas pada Pasien Morbus Hansen



Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako.



Palu, Pembimbing Klinik,



dr. Asrawati Sofyan., Sp. KK., M. Kes



Maret 2019 Mahasiswa,



Fikriah Amining



2



DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL



.........................................................................i



LEMBAR PENGESAHAN .........................................................................ii DAFTAR ISI



.........................................................................iii



BAB I PENDAHULUAN



..........................................................................1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



...............................................................4



A. DEFINISI



..............................................................4



B. EPIDEMIOLOGI



...............................................................4



C. ETIOLOGI



...............................................................5



D. PATOGENESIS



...............................................................6



E. SISTEM SENSORIK



..............................................................8



F. KRITERIA DIAGNOSTIK



....................................................11



G. PEMERIKSAAN KLINIS



..................................................11



BAB III KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA



........................................................................19 ........................................................................



3



BAB I PENDAHULUAN Morbus hansen atau kusta atau lepra adalah suatu penyakit granuloma kronik progesif yang disebabkan oleh bakteri Mycrobacterium leprae, yang menyerang kulit dan sistem saraf tepi.



[1]



Kusta termasuk salah satu penyakit



menular dengan angka kejadian yang tinggi di dunia.



[2]



Kusta merupakan



penyakit kronik yang jarang menyebabkan kematian, namun paling sering menyebabkan kecacatan. Kusta merupakan salah satu penyebab neuropati perifer non-traumatik.



[3]



Minimnya pengetahuan dan tingginya stigma negatif



masyarakat terhadap kusta membuat penderita enggan untuk berobat dan menyembunyikan penyakitnya. Hal ini menyebabkan transmisi infeksi terus terjadi dan angka kecacatan semakin tinggi. [4] Kusta merupakan penyakit endemis pada negara tropis, terutama negara yang tidak berkembang atau sedang berkembang. Kurang lebih terdapat 105 negara endemis kusta yang lokasinya tersebar di Asia Tenggara, Amerika, Afrika, Pasifik Timur dan Mediterania Barat.



[5]



Saraf tepi/perifer merupakan afinitas



pertama, lalu kulit dan mukosa saluran nafas bagian atas, kemudian dapat ke organ tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat.



[6]



Atas dasar defisini tersebut,



maka untuk mendiagnosis kusta di cari kelainan yang berhubungan dengan gangguan saraf tepi dan kelainan yang tampak pada kulit. [7] Lesi pada kusta dapat berupa hipopigmentasi hingga eritematosa sesuai dengan tipe kusta. Predileksi kusta dapat di semua bagian tubuh, terutama pada bagian yang bersifat dingin seperti daun telinga dan ujung jari. Pada pemeriksaan sensibilitas pasien kusta dapat ditemukan gejala neuritis yang dapat diikuti dengan gangguan fungsi saraf. [1] Gejala kusta mirip dengan gejala Tinea corporis, Ptiriasis rosea dan Lupus eritematous. Pada Tinea corporis didapatkan lesi berupa skuama, vesikel dan pustul. Lesi menimbulkan rasa gatal, dan berdasarkan predileksi di badan, tungkai dan lengan.



[1]



Selain itu, lesi kusta juga mirip dengan Ptiriasis rosea



berupa makula patch dan terdapat herald patch dan dengan predileksi di badan,



4



lengan atas bagian proksimal, dan paha atas, sehingga seperti pakaian renang wanita jaman dahulu.



[8]



Lesi kusta juga dapat menyerupai Lupus eritematous



bentuk diskoid. Pada Lupus eritematous, lesi berupa malar rash dan atau diskoid rash muncul jika dipicu oleh sinar matahari dan stress. [9] Penyakit kusta selain berpotensi menimbulkan masalah kesehatan, juga memiliki dampak psikologis akibat stigma dan diskriminasi dari akibat kecacatan yang ditimbulkannya. Kusta merupakan penyebab utama neuropati perifer dan kecacatan di antara penyakit infeksi.



[10]



Kecacatan fisik terkait penyakit kusta



dapat terjadi akibat infiltrasi langsung M. leprae ke susunan saraf tepi dan organ atau dapat terjadi karena reaksi kusta.[11] Kecacatan yang terjadi tergantung pada komponen saraf yang terkena, dapat sensoris, motoris, otonom, atau kombinasi ketiganya. Derajat cacat kusta menurut WHO dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu tingkat 0 tidak ada anestesi dan kelainan anatomis, tingkat 1 ada anestesi tetapi tidak ada kelainan anatomis serta tingkat 2 yang didapatkan kelainan anatomis.[11] Cacat yang ditimbulkan pada penyakit kusta dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok cacat primer dan sekunder. Kelompok cacat primer adalah kelompok cacat yang disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit, terutama kerusakan akibat respons jaringan terhadap M. leprae. Yang termasuk cacat primer adalah cacat pada fungsi saraf sensoris (anastesi), fungsi saraf motorik (claw hand, wrist drop, foot drop, claw toes, lagophtalmos) dan fungsi saraf otonom (gangguan elastisitas kulit, anhidrosis). Kelompok cacat sekunder, yang terjadi akibat cacat primer. Anestesi akan memudahkan terjadinya luka akibat trauma mekanis atau termis yang dapat mengalami infeksi sekunder dengan segala akibatnya. Kelumpuhan motorik menyebabkan kontraktur sehingga dapat menimbulkan gangguan menggenggam atau berjalan, yang juga memudahkan terjadinya luka. Kelumpuhan saraf otonom menyebabkan kulit kering dan elastisitas berkurang, akibatnya kulit mudah retak-retak dan dapat terjadi infeksi sekunder.[11] Kecacatan dapat terjadi apabila penderita kusta tersebut terlambat didiagnosis dan tidak mendapatkan MDT sehingga memiliki risiko tinggi mengalami kerusakan saraf. Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf,



5



hilangnya sensibilitas, dan berkurangnya kekuatan otot.



[9]



Prinsip pencegahan



kecacatan adalah 3 M, yaitu memeriksa, melindungi dan merawat diri. [10]



6



BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Kusta didefinisikan sebagai penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae dan terutama menyerang kulit dan saraf perifer. [12] Kusta berasal dari bahasa India kustha yang telah dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama dr. Gerhard Armauwer Hansen yang menemukan bakteri penyebabnya pada tahun 1874 di Norwegia.



[13]



Kusta



merupakan penyakit yang dapat menimbulkan komplikasi berupa ulserasi, mutilasi, dan deformitas. Komplikasi terjadi akibat kerusakan saraf sensorik dan motorik yang irreversibel, serta akibat adanya kerusakan berulang pada daerah anestesi yang disertai paralisis dan atrofi otot. [14]



B. Epidemiologi Berdasarkan data WHO tahun 2016, angka kejadian kasus kusta baru adalah sebesar 216.108 (0,21 per 10.000 penduduk) yang berasal dari 145 negara di dunia. Di Indonesia, angka prevalensi kusta mencapai 0,71 per 10.000 penduduk dengan angka penemuan kasus baru sebesar 16.826 kasus (6,50 per 100.000 penduduk) pada tahun 2016. Dari jumlah kasus baru tersebut, 4,19% diantaranya adalah tipe multibasiler. Sedangkan menurut jenis kelamin, 62,47% diantaranya berjenis kelamin laki-laki dan 37,53% lainnya berjenis kelamin perempuan. [13] Secara nasional, Indonesia telah mencapai status eliminasi kusta pada tahun 2000, dimana prevalensi kusta mencapai