Referat Blok NU - Urethritis Gonorrhea Final [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



REFERAT BLOK NEPHRO URINARY URETHRITIS GONORHEA



Tutor : dr. Anton B D Sp. THT KELOMPOK 12 Tyasa Budiman



GIA010005



Sofia Kusumadewi



GIA010006



Eka Wijaya W



GIA010112



Handika Rezha A



GIA010100



Irfani Ryan Ardiansyah



GIA010104



Intan Puspita Hapsari



GIA010109



Masromi Hendriya W



GIA010088



Celestia Wohingati



GIA010089



Tini Rohmantini



GIA008027



Fahmy Ben Bella



GIA008047



Aryo Widagdho



GIA007129



FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN PURWOKERTO 2012 KATA PENGANTAR



2



Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas referat yang berjudul “Urethritis Gonorhea” referat ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas pada blok nephrourinary pada semester ganjil 2012. Dalam penulisan referat ini penulis masih merasa banyak kekurangankekurangan baik pada teknik penulisan maupun materi mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan referat ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini perkenankanlah penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih, penghargaan, serta rasa hormat kepada teman-teman semua, para pembimbing dan pengurus blok nephrourinary. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan referat ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.



Purwokerto, 12 September 2012



Kelompok 12



DAFTAR ISI



3



Judul ……………………………………………………….. i Kata Pengantar …………………………………………….. ii Daftar Isi …………………………………………………… iii Pendahuluan ……………………………………………….. 1 Tinjauan Pustaka A. Etiologi …………………………………………….. 4 B. Patogenesis ………………………………………… 4 C. Patofisiologi ……………………………………….. 7 D. Penegakan Diagnosis 1. Tanda gejala ……………………………….. 7 2. Anamnesis …………………………………..9 3. Pemeriksaan Fisik …………………………..9 4. Pemeriksaan Penunjang …………………….10 E. Penetalaksanaan ………………………………….... 12 F. Prognosis ………………………………………........13 G. Komplikasi ……………………………………..….. 13 Pembahasan ………………………………………….....…. 18 Kesimpulan …………………………………………….…. 23 Daftar Pustaka …………………………………………….. 24



BAB I PENDAHULUAN



4



Gonore merupakan penyakit yang mempunyai insidens yang tinggi diantara infeksi menular seksual lainnya. Pada pengobatannya terjadi pula perubahan karena sebagian disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae yang telah resisten terhadap penicilin dan disebut Pencillinase Producing Neisseria gonorrhoeae ( P.P.N.G ). Kuman ini meningkat di banyak negeri termasuk Indonesia. Pada umumnya penularannya melalui hubungan kelamin yaitu genito-genital, orogenital, dan anogenital. Tetapi, disamping itu dapat juga terjadi secara manual melalui alat-alat, pakaian, handuk, termometer, dan sebagainya. Oleh karena itu secara garis besar dikenal gonore genital dan gonore ekstra genital (Djuanda, 2010). Istilah gonore pertama kali digunakan oleh Galen di Yunani pada abad ke dua, yang mengandung arti “benih yang mengalir”. Gonore dapat ditemukan di seluruh dunia, mengenai pria dan wanita pada semua usia terutama kelompok dewasa muda dengan aktifitas seksual tinggi. Gonore umumnya ditularkan melalui hubungan seks baik secara genito-genital, oro-genital, dan ano-genital. Di samping itu penularan juga dapat terjadi secara manual melalui alat-alat, pakaian, handuk, termometer serta penularan dari ibu kepada bayi saat melalui jalan lahir yang manifestasinya dapat berupa infeksi pada mata yang dikenal blenorrhea. Penularan dari pria kepada wanita lebih sering karena adanya retensi ejakulat yang terinfeksi di dalam vagina. Pada pria umumnya menyebabkan uretritis akut sementara pada wanita menyebabkan servitis yang biasanya asimptomatis (Rizal, 2011). Faktor resiko untuk infeksi Neisseria gonorrhoeaea antara lain : status sosial ekonomi yang rendah, aktivitas seksual yang dini, hidup serumah tanpa ikatan perkawinan, homoseksual, heteroseksual, biseksual, adanya riwayat infeksi Neisseria gonorrhoeaea sebelumnya, pengobatan gonore dengan antibiotik tidak adekuat dan seks bebas (Rizal, 2011). Hanya sedikit negara-negara di dunia yang melaporkan estimasi insidensi penyakit ini secara akurat. Kejadian gonore mengalami penurunan sejak tahun 1980an, terutama pada negara berkembang (termasuk Amerika Serikat), dan hal ini dikaitkan dengan meningkatnya kampanye tentang risiko PMS. Angka gonorea di Amerika Seikat lebih tinggi daripada di negara-negara industri lainnya, dengan



5



perkiraan 50 kali lebih banyak daripada Swedia dan 8 kali daripada Kanada (CDC, 2000). Setelah infeksi oleh N. gonorrhoeae tidak timbul imunitas alami, sehingga infeksi dapat berjangkit lebih dari satu kali. Angga gonorea di Amerika Serika terus memperlihatkan penurunan sejak pertengahan tahun 1970an sampai 1997, kemudian terjadi peningkatan 9% antara tahun 1997 dan 1999. Angka kejadian tetap stabil sampai tahun 2005, dilaporkan terjadi 339.593 kasus. Angka infeksi paling tinggi pada kaum muda, dengan yang tertinggi pada perempuan berusia 15 sampai 19 tahun dan laki-laki berusia 20 sampai 24 tahun, dan pada laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama jenis (Price, 2005; Jawas, 2008). Diperkirakan terdapat lebih dari 150 juta kasus gonore di dunia setiap tahunnya, meskipun di beberapa negara cenderung menurun, namun negara lainnya cenderung meningkat. Perbedaan ini menunjukkan bervariasinya tingkat keberhasilan sistem dan program pengendalian IMS yang meliputi peningkatan informasi data, deteksi awal dengan menggunakan fasilitas diagnosis yang baik, pengobatan dini dan penelusuran kontak (Sjaiful, 2007). Di Swedia, dengan pengendalian IMS yang baik, insidens penyakit gonore terus menurun. Di Inggris pada tahun 1962 ratio pria dibanding wanita dari 4 : 1, dan pada tahun 1985 menjadi 1,5 : 1. Penurunan rasio tersebut kemungkinan akibat meningkatnya liberalisasi seksual di kalangan wanita. Sedangkan di AS terjadi peningkatan yang mencapai puncaknya pada tahun 1975 yaitu antara 473 per 100.000 penduduk pertahun kemudian menurun 324 per 100.000 penduduk pada tahun 1987. Rasio wanita dan pria yang semula sebesar 3 : 1 pada tahun 1966 berubah meenjadi 1,5 : 1 pada tahun 1974. Di Singapura juga terjadi penurunan insidens IMS yaitu 684 per 100.000 penduduk tahun 1979 menjadi 318 pada tahun 1985. Di Malaysia prevalensi gonore dikalangan WTS 20%, di Ethiopia pada kelompok wanita, prevalensi gonore sebesar 59% (Sjaiful, 2007). Di Indonesia, dari data yang diambil dari beberapa RS bervariasi, di RSU Mataram tahun1989 dilaporkan kasus gonore yang sangat tinggi yaitu sebesar 52,87% dari seluruh penderita IMS. Di RS Dr. Pirngadi Medan 16% dari sebanyak 326 penderita IMS, sedangkan klinik IMS Dr. Soetomo antara januari 1990-Desember 1993 terdapat 3055 kasus uretritis atau25,22% dari total penderita IMS dan 1853 atau 60,65%



6



diantaranya menderita uretritis gonore, di RS. Kariadi Semarang, gonore menmpati urutan ke3 atau sebesar 17,56% dari seluruh penderita IMS tahun 1990-1994, di RSUP Palembang prevalensi gonore sebesar 39% pada tahun 1990. Data tersebut di atas menunjukkan bahwa insidens gonore sangat bervariasi akibat pengaruh kondisi sosial budaya setempat, fasilitas pelayanan kesehatan dan metode penelitian yang digunakan.Setelah tahun 1976 di Amerika dilaporkan temuan kasus gonore yang resisten terhadap antibiotik yang dikenal sebagai Neisseria gonorrhoeae penghasil penisilinase ( NGPP ), penyakit gonore kembali menjadi masalah (Sjaiful, 2007). Pada tahun 1982 kasus-kasus NGPP meningkat menjadi 4500 kasus dan tahun 1987 diperkirakan menjadi 16.000 pertahun. Di Inggris jumlah NGPP sejak tahun 1976 dengan cepat sebesar 2 kali lipat setiap tahunnya. Demikian juga di Thailand dilaporkan pertama kali pada tahun 1977, setelah 3 tahun menjadi 41,6%. DiIndonesia NGPP pertama kali dilaporkan pada tahun 1980 di Jakarta yang kemudian diikuti laporan kasus di Surabaya, Medan, Denpasar, dll. Prevalensi NGPP di Jakarta dari data yangdi ambil dari lokasi Kramat Tunggak, sebesar 52,7% (Sjaiful, 2007). Bila tidak diobati, infeksi menyebar ke prostat, vesika seminalis, dan epididimis. Bila menjadi infeksi menahun, dapat timbul abses, nekrosis, dan luka cacat, seperti strikura urethrae. Ini dapat menimbulkan hidonefrosis. Epididmis dapat berakibat steril. Komplikasi lain adalah artritis, endokarditis bakteri, dan meningitis (Tambayong, 2000). Berdasarkan data diatas, angka kejadian penyakit gonore dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Selain itu, komplikasi yang dapat ditimbulkan pun cukup bermakna. Oleh karena itu perlu dikaji lebih dalam penyebab dari penyakit gonnore melaui referat ini dan diharapkan ada langkah nyata untuk menaggulangi penyakit infeksi menular seksual ini. BAB II TINJAUAN PUSTAKA



A. Etiologi



7



Etiologi dari urethritis gonnorhea adalah bakteri Neisseria gonorrhoeae, sebuah bakteri gram negative, berbentuk kokus, aerobic (Billker, 2002)



Gambar 1. Bakteri Neisseria gonorrhoeae (Sumber: Billker et al. 2002. In The EMBO Journal vol 21) B. Pathogenesis Secara morfologik, gonokok ini terdiri atas 4 tipe, yaitu tipe 1 dan 2 yang mempunyai pili dan bersifat virulen, serta tipe 3 dan 4 yang tidak mempunyai pili dan bersifat nonvirulen. Pili akan melekat pada mukosa epitel dan akan menimbulkan reaksi radang. Daerah yang paling mudah terinfeksi adalah daerah dengan mukosa epitel kuboid atau lapis gepeng yang belum berkembang, yaitu pada vagina wanita sebelum pubertas (Daili, 2010) Infeksi ekstragenital di faring, anus dan rektum dapat dijumpai pada kedua jenis kelamin. Untuk dapat menular, harus terjadi kontak langsung mukosa ke mukosa. Tidak semua orang yang terpajan gonore akan terjangkit, dan resiko penularan laki-laki ke perempuan lebih besar terutama karena lebih luasnya selaput lendir yang terpajan dan eksudat yang berdiam lama di vagina. Setelah infeksi oleh Neisseria gonorrhoeae tidak timbul imunitas alami, sehingga infeksi dapat terjadi lebih dari satu kali. Ada masa tenggang (masa inkubasi) selama 2 -10 hari setelah kuman masuk ke dalam tubuh melalui hubungan seks (Daili, 2010).



8



Faktor virulensi lain adalah produksi kapsular in vivo, resistensi terhadap aksi imun bakterisidal pada serum, dan kemampuan gonokok untuk bertahan di antara berbagai organisme komensal yang bersaing. Semua Neisseria tahan terhadap kelembaban membran mukosa. Akibat hal-hal tersebut, meningokokus dan gonokokus dapat berproliferasi dengan cepat dan bahkan masuk ke aliran darah (Daili, 2010). Kuman N. gonorrhoeae menyerang membran mukosa berepitel kolumner. Pada wanita, endoserviks merupakan tempat primer dari infeksi gonore (80-90%), kemudian pada uretra (80%), rektum (40%), dan faring (1020%). Dapat terjadi infeksi asenden hingga mencapai tuba falopii dan ovarium saat teijadinya menstruasi. Kuman ini mempunyai pili dan beberapa protein permukaan, sehingga dapat melekat pada sel epitel kolumner dan menuju ruang subepitelial. Dengan adanya lipooligosakarida akan menimbulkan invasi dan destruksi sel epitel mukosa dan lapisan submukosa secara progresif, disertai dengan respons dari lekosit polimorfonuklear yang hebat. Peradangan dan destruksi sel epitel tersebut menimbulkan duh tubuh mukopurulen (Daili, 2010)



9



Gambar 4 Patogenesis infeksi N.Gonore (Daili, 2010)



10



C. Pathofisiologi



(Braun, 2007) D. Penegakan Diagnosis 1. Tanda dan Gejala Masa tunas 2-5 hari pada pria Pada wanita sukar ditentukan karena asimptomatik Spesifik urethritis gonorrhea Disuria atau polakisuria



11



Subjektif : rasa gatal, panas sekitar OUE Keluar discharge purulent (dapat diikuti darah) (Zenilman, 2012)



Gambar 2. Penis dengan discharge purulen (Sumber: Burn, Tony et al. 2010. Rook’s Textbook of Dermatology) Jika tidak ditangani dapat mengakibatkan penile lymfangitis atau edema Gejala klinis pada gonorrhea secara umum Pada laki-laki : •



Rasa terbakar dan nyeri ketika miksi







Peningkatan frekuensi urin dan urgensi







Keluar Discharge dari penis (warna putih, kuning atau hijau)







Kemerahan atau bengkak pada ujung penis(urethra)







Testikel yang bengkak







Pada gonorrhea faringitis(timbul radang tenggorokan)



Gejala pada wanita jarang terjadi atau biasanya nonspesifik •



Discharge Vagina







Rasa terbakar dan nyeri ketika miksi







Peningkatan frekuensi miksi







Nyeri tenggorokan pada faringitis gonorrhea







Nyeri saat koitus



12







Nyeri berat pada abdomen bagian bawah







Demam



Dapat terjadi infeksi sistemik seperti demam, ruam maupun gejala yang menyerupai arthritis (NCBI, 2012). 2.



Anamnesis Keluhan utama



: kencing nanah,sakit saat kencing, keputihan.



Onset



: 2-5 hari



Kuantitas



: setiap buang air kecil



Kualitas



: sangat sakit saat buang air kecil



Faktor memperberat : sakit saat verhubungan seksual. Gejala penyerta



: sakit pada perut bagian bawah,mulut saluran kencing merah dan bengkak,sakit saat buang air besar,demam sampai meng gigil.



Penyakit dahulu



: keluarga yang punya penyakit yang sama.



Riwayat sosial



: sering berhubungan dengan berganti-ganti pasangan.jarang membersihkan kelamin setelah melakukan hubungan seksual.



3. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik di tinjau dari berbagai aspek. Predeleksi



:pada pria didapatkan uretra bagian anterior sedangkan pada wanita servik uteri dan uretra (Siregar,2005).



Efloresensi



: pria didapatkan OUE merah, udem, ektropian keluar ecoulement sedang kan pada wanita posio uteri merah, udem dengan sekret mukupurulen (Siregar,2005).



Pada inspeksi dapat diperoleh: Edema pada urethra Bengkak pada testikel Discharge kental



13



Kemerahan atau bengkak pada urethra (Bickley, 2009). 4. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang terdiri dari 5 tahap 1) Sedian langsung Pada sedian langsung dengan pewarnaan akan di temukan gonokok negatifgram,intraselular dan ekstraseluler (Djuanda,2002). 2) Kultur Identifikasi juga dapat di lakukan dengan pembiakan dengan menggunakan media transpor dan media pertumbuhan (Djuanda,2002). 3) Tes definitif Tes definitif terdiri dari 2 cara. Dapat dilakuan dengan tes oksidatif dan tes fermentasi.dari hasil tes oksidatif dapat di temukan perubahan warna koloni yang semula bening menjadi merah muda samap dengan merah tua.sedangkan untuk tes fermentasi menggunakan glukosa,maltosa,dan sukrosa yang nantinya hanya glukosa yang akan diragikan (Djuanda,2002). 4) Tes beta laktamase Pemeriksaan dengan tes ini menggunakan cefinase TMN disk. Bbl 961192 yang akan mengubah warna sedian dri kuning menjadi merah (Djuanda,2002). 5) Tes thomson Tes ini hanya di gunakan untuk menentukan sampai dimana infeksi sudah berlangsung (Djuanda,2002). Tabel 1. Penegakan diagnosis Definisi



Etiologi



Infeksi genital nonspesifik Peradangan di uretra, rektum, atau



Gonore Peradangan uretra dengan



serviks yang disebabkan oleh



penyebab kuman N.



kuman nonspesifik Chlamydia trachomatis



Gonorrhoeae N. gonorrhoeae



14



Ureaplasma urealyticum Mycoplasma hominis Gardnerella vaginalis Alergi Masa inkubasi Gambaran klinis



Bakteri 2-3 minggu disuria ringan, perasaan tidak enak di uretra, sering kencing, dan duh tubuh seropurulen



1-7 hari - Nyeri atau gatal pada ujung kemaluan - Discharge retra: banyak pada pagi hari, makin lama makin banyak, mukopurulen - BAK sakit / pedih - Tampak mukosa



Px penunjang



- Pemeriksaan gram dari uretral smear: leukosit pmn >5 - Specimen FPU (first pass urine): leukosit pmn 10



Terapi



- Azytroycin 1gr (dosis tunggal) - Doxycycline 2x100mg



Komplikasi



eritem , edem - Pemeriksaan gram dari uretral smear: leukosit pmn >5 - Specimen FPU (first pass urine): leukosit pmn 10 - Ceftriaxon 125 mg IM dosis tunggal - Cefixim 400 mg



(selama 7 hari) Pria : prostatitis, vesikulitis,



peroral dosis tunggal Pria : Tysonitis, parauretritis,



epididimitis, dan striktur uretra.



litritis, cowperitis



Wanita : Bartolinitis, prokitis,



Ascendens : Prostatitis,



salpingitis, dan sistitis. Peritonitis



Vesikulitis, Vas drferenitis,



dan hepatitis juga pernah



Epididimitis



dilaporkan



15



Wanita : salphingitis, PID (Farer, 2005) E.Penatalaksanaan a. Medikamentosa Pemilihan rejimen pengobatan gonore membutuhkan pertimbangan resistensi strain N. Gonorrhoeae terhadap antimikroba, kemungkinan koinfeksi dan letak infeksi.Untuk servisitis gonore non komplikata, rejimen yang direkomendasikan CDC tahun 1998 adalah : cefixim 400 mg p.o dosis tunggal, ceftriaxon 125 mg IM dosis tunggal, ciprofloxacin 500 mg p.o dosis tunggal, ofloxacin 400 mg p.o dosis tunggal. Untuk mengobati koinfeksi G. trachomatis ditambah pemberian doksisiklin100 mg p.o 2 kali sehari selama 7 hari atau azitromisin 1 gr p.o dosis tunggal. Rejimen alternatif dengan : 1) spektinomisin 2 gr IM dosis tunggal bagi penderita yang tidak tahan quinolon atau cephalosporin; 2) golongan cephalosporin dosis tunggal dengan: a) ceftizoxim 500 mg IM, b) cefotaxim 500 mg IM, c) cefotetan 1gr IM, d) cefoxitin 2 gr IM ditambah probenisisd 1 gr p.o ; 3) golongan quinolone dosis tunggal dengan : enoxacin 400 mg p.o, lomefloxacin 400 mg p.o dan norfloxacin 800 mg p.o. (Wolff, 1996) Saat ini terdapat penurunan kepekaan N. Gonorrhoeae terhadap beberapa antibiotika,termasuk



obat-obat



yang



direkomendasikan



CDC



tahun



1998.Tingkat penurunan kepekaansemakin bertambah dari tahun ketahun, dan bervariasi di masing- masing daerah Sehingga untuk mendapatkan obat yang efektifitasnya tinggi guna mengontrol gonore, perlu dilakukan pemeriksaan kultur dan uji kepekaan. (Wolff, 1996). b.Non medikamentosa Cara yang nyata untuk menghindari penularan infeksi menular seksual adalah dengan menghentikan hubungan seksual dengan pasangan yang



16



berganti-ganti atau dengan menjalin hubungan pernikahan yang berkualitas dengan pasangan yang sudah periksa dan diketahui tidak terinfeksi. Kondom yang terbuat dari latex, yang mana digunakan secara benar dan konsisten, dapat mengurangi risiko penularan gonorrhoe. (CDC, 2008) F.Prognosis Bila di tangani dengan tepat,prognosis dari penyakit ini cukup baik untuk di lakukan pentalaksanaan dan bisa di lakukan pencegahan dari penyebaran penyakit ini (Siregar,2005). Quo ad vitam: ad bonam Quo ad functionam: ad bonam Quo ad sanationam : ad bonam (Siregar, 2005) G. Komplikasi Komplikasi dari penyakit ini di bedakan dari wanita dan pria dan juga di lihat dari infeksi pertama yang terjadi serta dari susunan anatominya (Djuanda,2002). Pada pria dengan infeksi pertama uretritis terdapat komplikasi lokal dan ascenden. Komplikasi lokal terdiri dari penyakit tysonitis, parauteritis, littritis, cowperitis. Sedangkan komplikasi ascenden terdiri dari penyakit prostatitis, vesikulitis, funikulitis, vas deferentitis, epididimitis, dan trigonitis (Djuanda,2002). Sama seperti pria, wanita pun di lihat dari infeksi pertama nya serta terdapat komplikasi lokal dan ascenden. Infeksi pertama uretritis dapat menimbulakan komplikasi lokal seperti parauteritis, dan bartholitis dan bila yang terjadi infeksi pertama servisitis maka dapat terjadi komplikasi ascenden nya berupa salpingitis dan P.I.D (Djuanda,2002). Terdapat juga komplikasi diseminata pada pria dan wanita dapat berupa artritis, miokarditis, endokarditis, perikarditis, meningitis dan dermatitis.



17



Sedangkan kelainan yang timbul akibat hubungan kelamin selain cara genitogenital dapat berupa orofaringitis,proktitis dan konjungtivitis (Djuanda, 2002) . Komplikasi gonore sangat erat hubungannya dengan susunan anatomi dan faal genitalia. (Daili, 2010; Harkness, 2012).



Pada pria Infeksi pertama Uretritis Komplikasi Lokal: Tysonitis Kelenjar Tyson adalah kelenjar yang menghasilkan smegma. Infeksi biasanya terjadi pada penderita dengan preputium yang sangat panjang dan kebersihan yang kurang baik. Diagnosis dibuat berdassarkan ditemukannnya butir pus atau pembengkakan pada daerah frenulum yang nyeri tekan. Bila duktus tertutup akan timbul abses dan merupakan sumber infeksi laten (Daili, 2010). Parauretritis Sering pada orang dengan orifisium uretra eksternum terbuka atau hipospadia. Infeksi pada duktus ditandai dengan butir pus pada kedua muara parauretra (Daili, 2010). Littritis Tidak ada gejala khusus, hanya pada urin ditemukan benang-benang atau butirbutir. Bila salah satu saluran tersumbat, dapat terjadi abses folikular. Didiagnosis dengan uretroskopi (Daili, 2010). Cowperitis Bila hanya duktus yang terkena biasanya tanpa gejala. Kalau infeksi terjadi pada kelenjar Cowper dapat terjadi abses. Keluhan berupa nyeri dan adanya benjolan pada daerha perineum disertai rasa penuh dan panas, nyeri pada waktu defekasi, dan disuria. Jika tidak diobati abses akan pecah melalui kulit perineum, uretra, atau rektum dan mengakibatkan proktitis (Daili, 2010). Asenden:



18



Prostatitis Prostatitis akut ditandai dengan perasaan tidak enak pada daerah perineum dan suprapubis, malaise, demam, nyeri kencing samapi hematuri, spasme otot uretra sehingga terjadi retensi urin, tenesmus ani, sulit buang air besar, dan obstipasi.Pada pemeriksaan teraba pembesaran prostat dengan konsistensi kenyal, nyeri tekan, dan didapatkan fluktuasi bila telah terjadi abses. Jika tidak diobati, abses akan pecah, masuk ke uretra posterior atau ke arah rektum mengakibatkan proktitis (Daili, 2010). Bila prostatitis menjadi kronik, gejalanya ringan dan intermiten, tetapi kadangkadang menetap. Terasa tidka enak pada perineum bagian dalam dan rasa tidak enak bila duduk terlalu lama. Pada pemeriksaan prostat terasa kenyal, berbentuk nodus, dan sedikit nyeri pada penekanan. Pemeriksaan dengan pengurutan prostat biasanya sulit menemukan kuman diplokok atau gonokok (Daili, 2010). Vesikulitis Vesikulitis adalah radang akut yang mengenani vesikula seminalis dan duktus ejakulatorius, dapat timbul menyertai protatitis akut atau epididimitis akut. Gejala subyektif menyerupai gejala prostatitis akut, berupa demam, polakisuria, hematuria terminal, nyeri pada waktu ereksi atau ejakulasi, dan spasme mengandung darah. Pada pemeriksaan melalui rektum dapat diraba vesikula seminalis yang membengkak dan keras seperti sosis, memanjang di atas prostat. Ada kalanya sulit menemukan batas kelenjar prostat yang membesar (Daili, 2010). Vas deferentitis/funikulitis Gejala berupa perasaan nyeri pada daerah abdomen bagian bawah pada sisi yang sama (Daili, 2010). Vas deferntitis Epididimitis Epididimitis akut biasanya unilateral, dan setiapepididimitis biasanya disertai derefentitis. Keadaan yang mempermudah timbulnya epididimitis adalah trauma pada uretra posterior yang disebabkan oleh salah penanganan atau kelalaian penderita sendiri. Faktor yang mempenngaruhi keadaan ini antara lain irigasi yang



19



terlalu sering dilakukan, cairan irigator terlalu panas atau terlalu pekat, instrumentasi yang kasar, pengurutan prostat yang berlebihan, atau aktivitas seksual dan jasmani yang berlebihan. Epididimitis dan tali spermatika membengkak dan teraba panas, juga testis, sehingga menyerupai hidrokel sekunder. Pada penekanan terasa nyeri sekali. Bila mengenai kedua epididimitis dapat menngakibatkan sterilitas (Daili, 2010). Trigonitis Infeksi asenden dari uretra posterior dapat mengenai trigonum vesika urinaria. Trigonitis menimbulkan gejala poliuria, disuria terminal, dan hematuria (Daili, 2010). Pada wanita Infeksi pertama Uretritis Komplikasi Lokal: Parauretritis Kelenjar parauretra dapat terkena, tetapi abses jarang terjadi. Bartholinitis Labium mayor pada sisi yang terkena membengkak, merah dan nyeri tekan. Kelenjar Bartholin membengkak, terasa nyeri sekali bila penderita berjalan dan penderita sukar duduk. Bila saluran kelenjar tersumbat dapat timbul abses dan dapat pecah melalui mukosa atau kulit. Kalau tidka diobati dapat terjadi rekuren atau menjadi kista. (Daili, 2010) Infeksi pertama Servisitis Asenden: Salpingitis Peradangan dapat bersifat akut, subakut atau kronis. Ada beberapa faktor predisposisi, yaitu: 1.



masa puerpurium (nifas)



2.



dilatasi setelah kuretase



3.



pemakaian IUD, tindakan AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim)



20



Cara infeksi lanngsung dari serviks melalui tuba Fallopii sampai pada daerah salping dan ovarium sehingga dapat menimbulkan penyakit radang panggul (PRP) (Daili, 2010). Infeksi PRP ini dapat menimbulkan kehamilan ektopik dan sterilitas. Kira-kira 10% wanita dengan gonore akan berakhir dengan PRP. Gejalanya terasa nyeri pada abdomen bawah, duh tubuh vagina, disuria, dan menstruasi yang tidak teratur dan abnormal. Harus dibuat diagnosis banding dengan beberapa penyakit lain yang menimbulkan gejala hampir sama, misalnya: kehamilan di luar kandungan, apendisitis akut, abortus septik, endometriosis, ileitis regional, dan divertikulitis. Untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan pungsi kavum Douglas dan dilanjutkan kultur atau dengan laparoskopi mikroorganisme. Selain mengenai alat-alat genital, gonore juga dapat menyebabkan infeksi (Daili, 2010)



BAB III PEMBAHASAN



21



A. Penjelasan teori baru mengenai penatalaksanaan masalah dalam referat Gonorrhea disebabkan oleh infeksi Neisseria gonorrhoeae, dan manifestasi klinik yang umum terjadi pada urethritis dan cervicitis. Kasus gonorrhea yang tidak rumit dapat diobati dengan terapi antimikrobial dosis tunggal, yang dapat membantu memastikan kepatuhan pasien. Meskipun demikian, kemunculan antibiotik yang resisten terhadap strain Neisseria gonorrhoeae membatasi pilihan terapeutik. Resistensi penisilin dan tetrasiklin terhadap strain Neisseria gonorrhoeae telah didokumentasikan dengan baik di seluruh dunia, dan oleh karena itu penisilin dan tetrasiklin tidak dianjurkan sebagai pengobatan untuk gonorrhea. Resistensi florokuinolon diidentifikasi pertama kali pada tahun 1992. Resistensi florokuinolon saat ini yang paling umum di Asia, tetapi telah didokumentasikan di negara lain termasuk UK, Amerika Serikat, dan Kanada (Mann, 2004). Gejala uretritis pada pria biasanya termasuk dischage uretra, penis gatal atau paralisis, dan disuria. Diagnosis dapat ditegakkan bila terdapat gejala sebagai berikut: discharge, hasil positif pada pemeriksaan leukosit esterase pada urin pertama, atau sekurang-kurangnya 10 sel leukosit per lapang pandang dari sedimen urin. Patogen primer yang berhubungan dengan uretritis adalah Chlamydia trachomatis dan Neisseria gonorrhoeae. Sasaran dari pengobatan termasuk mengurangi gejala; mencegah komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dan pasangannya; mengurangi transmisi koinfeksi (terutama pada pasien HIV); mengidentifikasi dan mengobati orang-orang yang telah kontak dengan pasien; dan menganjurkan pasien untuk merubah kebiasaan sehingga dapat menurunkan resiko terjadinya rekurens. Kombinasi azitromisin atau doksisiklin dengan seftrakson dan sefiksim dianggap sebagai terapi empirik lini pertama pada pasien dengan uretritis (Brill, 2010).



B. Penjelasan kekurangan dan kelebihan teori baru tersebut dibandingkan dengan teori sebelumnya



22



Pada teori lama, pengobatan pada penyakit ini dilakukan dengan memperhatikan apakah daerah tempat terjadinya penyakit urethritis gonorrhea tersebut tinggi akan insidensi Neisseria gonorrhoeae penghasil penisilin (N.G.P.P.). Prinsipnya pertama kali ditujukan pada uretheritis gonorrhea dan bila kemudian di temukan ureteritis nongonorrhea maka pengobatannya baru dilaksanakan setelah infeksi gonorrheanya telah teratasi (Djuanda, 2002). Secara epidemiologis pengobatan yang dianjurkan adalah obat dengan dosis tunggal. Adapun macam-macam obat yang dapat digunakan adalah : a) Penisilin Yang efektif ialah penisilin G prokain akua. Obat ini pun dapat menutupi



dari



gejala



sifilis.



Angka



kesembuhan



dengan



menggunakan obat ini cukup tinggi. b) Sefalosporin Seftriakson



dari



generasi



ketiga



cukup



efektif



dalam



tatalaksana penyakit ini. Obat ini pun di lakukan dengan cara intra muskular. c) Spektinomisin Obat ini sangat baik untuk penderita yang alergi terhadap penisilin. Dan juga terhadap penderita yang di duga menderita sifilis. d) Kanamisin Sama seperti spektinomisin baik untuk penderita yang alergi terhadap penisilin. Dan juga terhadap penderita yang di duga menderita sifilis. e) Kuinolon Dari golongan kuinolon, obat yang menjadi pilihan adalah ofloksasin 400 mg, siprofloksasin 250-500 mg secara oral.



23



Kefektifitasan obat ini pun masih sangat baik dan sangat di anjurkan untuk di gunakan (Djuanda, 2002). Adapun teori baru terhadap pengobatan urethritis gonorrhea adalah sebagai berikut: a. Sefalosporin Injeksi tunggal seftriakson memberikan peningkatan level bakterisidal yang terus menerus di dalam darah. Pengalaman klinis yang luas mengindikasikan bahwa seftriakson aman dan efektif untuk mengobati gonorrhea yang ringan pada urogenital dan infeksi anorektal. Dosis tunggal lainnya, dapat diinjeksi, aman, dan sangat efektif adalah seftiroksim, sefoksitin dengan probenesid, dan sefotaksim, namun tidak satupun yang memiliki kemampuan sebesar seftriakson. Sefiksim memiliki spektrum antimikrobial yang hampir sama dengan seftriakson, namun tidak sebesar seftriakson. Keuntungan dari sefiksim adalah obat ini dapat digunakan secara oral. b. Spektinomisin Spektinomisin telah lama dikenal sebagai pilihan yang aman dan efektif untuk mengobati infeksi dengan Neisseria gonorrhoeae. Namun, obat ini harus diberikan secara injeksi intramuskular, yang kemungkinan cukup mahal dan sulit untuk diperoleh, dan memiliki efektifitas yang rendah terhadap infeksi faringeal. Spektinomisin memiliki kecenderungan untuk menjadi resisten sebagai pengobatan terhadap



gonorrhea.



Tingkat



resistensi



yang



tinggi



pada



spektinomisin dapat dikarenakan hasil dari langkah mutasi tunggal. c. Azitromisin



24



Azitromisin efektif secara oral untuk mengobati infeksi gonococcal. Namun, tidak dianjurkan sebagai pengobatan untuk gonorrhea pada dosis tertentu, karena dosis tersebut dapat memicu penyakit traktus gastrointestinal. Selain itu, azitromisin juga cukup mahal dan memiliki kecenderungan untuk resisten terhadap Neisseria gonorrhoeae. d. Penisilin/tetrasiklin Meskipun penisilin adalah pengobatan utama terhadap gonorrhea dalam beberapa tahun ini, munculnya PPNG pada tahun 1976 dan penyebarluasan selanjutnya PPNG dan kromosom dimediasi resistensi penisilin menjadikan penisilin pengobatan yang tidak dapat diterima untuk gonorrhea. Resistensi tetrasiklin muncul 10 tahun kemudian, selanjutnya larangan penggunaan tetrasiklin sebagai pengobatan gonorrhea meluas (Newman, 2007). Pada pasien yang telah didiagnosis sebagai penderita uretritis, dianjurkan untuk melakukan pengobatan untuk gonorrhea dan chlamydia secara bersamaan. Kombinasi dari 1 g azitromisin (Zithromax) dosis tunggal secara oral atau 100 mg doksisiklin secara oral dua kali sehari selama tujuh hari (untuk chlamydia) ditambah dengan 400 mg sefiksim oral (Suprax) atau 125 mg seftriakson secara intramuskular (Rocephin; untuk gonorrhea) adalah terapi primer. Oleh karena terjadi peningkatan resistensi, florokuinolon tidak lagi direkomdasikan sebagai terapi empirik untuk gonorrhea. Meskipun mungkin florokuinolon berhasil jika digunakan secara tidak sengaja, dalam kasus ini disarankan untuk dilakukan tes kesembuhan. Pada pria dengan gejala uretral namun tanpa tanda dan gejala yang objektif, pengobatannya harus ditunda hingga hasil tes tersedia. Kecuali pasien dengan resiko tinggi infeksi menular seksual yang tidak mungkin kembali untuk mengambil hasil tes dan melakukan pengobatan (Brill, 2010).



25



Bagan 1. Flowchart Penatalaksanaan Uretritis Gonorrhea pada Pria (Lewis, 2010): Pasien dengan keluhan discharge uretra +/- disuria



- Anamnesis dan pemeriksaan fisik - Milk uretra jika tidak tampak discharge



Tidak



Perlu dipertimbangkan



- Penekanan pada tes HIV Terdapat discharge +/disuria



Ya



Pengobatan dengan kombinasi: - Sefiksim, oral, 400 mg dosis tunggal** - Doksisiklin, oral, 100 mg, tiap 12 jam selama 7 hari Jika masih terdapat gejala setelah Pengobatan 7 hari, periksa: dengan: Minta pasien untuk datang kembali dalam seminggu jika gejala masih ada - Apakah pasien melakukan - hubungan Metronidazol, seksual oral, 2tanpa g dosis menggunakan tunggal pengaman? (infeksi ulang) Ulangi Minta pasien untuk datang kembali dalam seminggu jika - Apakah pengobatan kepatuhan Ya Follow pasien up setelah dalam gejala minum seminggu, masih obat ada. ulangi kurang? Tidakpengobatan jika masih terdapat gejala



26



KESIMPULAN 1. Gonorrhea disebabkan oleh infeksi Neisseria gonorrhoeae, dan salah satu manifestasi klinik yang umum terjadi adalah pada urethritis. 2. Beberapa gejala dari urethtritis gonorrhea antara lain adanya kencing nanah, sakit saat kencing, dan keputihan.



27



3. Diagnosis dari urethtritis gonorrhea dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. 4. Pengobatan yang dianjurkan untuk urethtritis gonorrhea adalah obat dengan dosis tunggal.



Adapun



macam-macam



obat



yang



dapat



digunakan



adalah



penisilin/tetrasilkin, sefalosporin, spektinomisin, dan azitromisin. 5. Komplikasi dari penyakit ini di bedakan dari wanita dan pria. a. Pada pria dengan infeksi pertama uretritis terdapat komplikasi lokal dan ascenden. Komplikasi lokal terdiri dari penyakit tysonitis, parauteritis, littritis, cowperitis. Sedangkan komplikasi ascenden terdiri dari penyakit prostatitis, vesikulitis, funikulitis, vas deferentitis, epididimitis, dan trigonitis. b. Pada wanita: Infeksi pertama uretritis dapat menimbulakan komplikasi lokal seperti parauteritis,dan bartholitis dan bila yang terjadi infeksi pertama servisitis maka dapat terjadi komplikasi ascenden nya berupa salpingitis dan P.I.D.



DAFTAR PUSTAKA



Bickley, Lynn S et al.2009. Bates' Guide to Physical Examination and History Taking. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins Billker et al. 2002. Distinct mechanisms of internalization of Neisseria gonorrhoeae by members of the CEACAM receptor family involving Rac1- and Cdc42-



28



dependent and -independent pathways. The EMBO Journal. Volume 21 Number 4 page 560-571. Braun, Carie A. Anderson, Cindy. 2007. Pathophysiology: Functional Alterations in Human Health. Baltimore: Lippincot Williams and Wilkins Brill, John R. 2010. Diagnosis and Treatment of Urethritis in Men. American Family Physician Volume 81(7): 873 – 878. Burn, Tony et al. 2010. Rook’s Textbook of Dermatology. UK : Blackwell Publishing. Centers for Disease Control and Preventif, 2008. Gonorrhea - CDC Fact Sheet . 25Juni 2009 Daili, S.F., 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Djuanda, Adhi. 2002. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Djuanda, Adhi, Mochtar H, Siti Aisah dkk. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-6. Jakarta; Badan penerbit FKUI. hal : 363-79.2. Farer H. 2005. Perawatan Maternitas. EGC. Jakarta Harkness, A.H., 2012. The Pathology of Gonorrhoea. Br J Vener Dis, 24, pp.137-47. Jawas, Fitri Abdullah, Dwi Murtiastutik. 2008. Penderita Gonore di Divisi Penyakit Menular Seksual Unit Rawat Jalan Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSU Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2002-2006. Surabaya : Dep/SMF Kesehatan Kulit dan Kelamin, FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo. Lewis, David A. Eva Marumo. 2010. Revision of the national guideline for first-line comprehensive management and control of sexually transmitted infections: What’s New and Why?. SA Pharmaceutical Journal: 34 – 40. Mann, Janice. Rhonda Kropp. Tom Wong. 2004. Gonorrhea treatment guidelines in Canada: 2004 update. Canadian Medical Association Journal; 171 (11): 1345 – 1346.



29



National Center for Biotechnology Information. 2012. Gonorrhea. Dikutip dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0004526/ pada tanggal 12 September 2012. Newman, Lori M. John S Moran. Kimberly A Workowski. 2007. Update on the Management of Gonorrhea in Adults in the United States. Clinical Infectious Diseases; 44 (3): S84 – S101. Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC Sjaiful FD, Wresti Indriatmi BM, Jubianto J. 2007. Infeksi Menular Seksual Edisi ke3. Jakarta: Badan penerbit FKUI. Rizal, Yosse. 2011. Hubungan Perilaku Cara Mendapatkan Pengobatan Pada Penderita Uretritis Gonore Akuta Non Komplikata Pria Terhadap Retensi Obat. Padang : Program Pendidikan Dokter Spesialis, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. (Thesis) Siregar, R.S. 2005. Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC. Hal 196 Wolff K, Goldsmith L. A., Katz B. A., Paller D. J., (2002). Gonorrhea and other Veneral Diseases. Dalam : Fitzpatrick. Dermatology in General Medicine. Ed 7 th. New York. McGraw Hill Company. P: 1996 Zenilman, Jonathan. Shahmanesh , Mohsen. 2012. Sexually Transmitted Infections: Diagnosis, Management, and Treatment. Sudbury: Jones and Barlett Learning